OLEH :
Anggita Septiani
M. Farhan Muharromy
Nurhasanah
Nurul Fatimah
Pratiwi Lilapraba
Siskayanti Muslimah
Titi Ashayati
Wahanayang Gemilang. R
A. Latar Belakang
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan sehat
fisik, mental, sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan. Orang
yang memiliki kesejahteraan emosional, fisik, dan sosial dapat memenuhi tanggung jawab
kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan puas dengan
hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri.
Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang
terkihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku, dan koping yang efektif,
konsep diri positif, dan kestabilan emosional. Kesehatan jiwa dipengaruhi oleh banyak
faktor. Faktor tersebut antara lain otonomi dan kemandirian, memaksimalkan potensi diri,
menoleransi ketidakpastian hidup, harga diri, menguasai lingkungan, orientasi realitas dan
manajemen stress.
American Psychiatric Association (1994) mendefinisikan gangguan jiwa sebagai suatu
sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada
seseorang dan dikaitkan dengan adanya distres atau disabilitas disertai peningkatan resiko
kematian, nyeri, disabilitas, atau sangat kehilangan kebebasan. Gangguan jiwa menyebabkan
penderitanya tidak sanggup menilai dengan baik kenyataan, tidak dapat lagi menguasai
dirinya untuk mencegah mengganggu orang lain atau merusak/menyakiti dirinya sendiri
(Baihaqi,dkk, 2005).
Setiap tahun, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia terus meningkat, baik
gangguan jiwa berat maupun ringan. Berdasarkan data hasil Riskesdas tahun 2007,
persentase gangguan jiwa mencapai 11,6 persen dari sekitar 19 juta penduduk yang berusia
di atas 15 tahun. Namun masih sedikit yang memiliki perhatian terhadap kesehatan jiwa di
Indonesia. Program promosi kesehatan jiwa di masyarakat pun masih belum banyak,
sehingga diperlukan mental health nurses(perawat jiwa) di masyarakat yang melakukan
promosi kesehatan, terutama kesehatan jiwa.
Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan yang komprehensif meliputi
kesehatan jiwa dan fisik sangat diperlukan untuk mencegah meningkatnya angka gangguan
jiwa. Perawatan klien gangguan jiwa di rumah sakit membutuhkan dukungan dari banyak
aspek sehingga kesejahteraan klien dapat tercapai. Salah satu tujuan perawatan klien dengan
gangguan jiwa di rumah sakit adalah dengan melatih klien untuk mandiri dan mampu
berinteraksi dengan orang lain. Ketika klien mampu berinteraksi diharapkan klien dapat
kembali berfungsi di masyarakat dan mampu melakukan perannya di masyarakat. Bentuk
pelatihan berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain adalah dengan melakukan terapi
aktivitas kelompok.
Terapi aktivitas kelompok diperlukan dalam praktik keperawatan jiwa untuk
mengatasi gangguan interaksi dan komunikasi serta merupakan salah satu keterampilan
terapeutik. Terapi aktivitas kelompok merupakan bagian dari terapi modalitas yang berupaya
meningkatkan psikoterapi dengan sejumlah klien dalam waktu yang bersamaan. Terapi
aktivitas kelompok memiliki dua tujuan umum, yaitu tujuan terapeutik dan tujuan
rehabilitatif.
Tujuan terapeutik untuk memfasilitasi interaksi, mendorong sosialisasi dengan
lingkungan (hubungan dengan luar diri klien), meningkatkan stimulus realitas dan respon
individu, memotivasi dan mendorong fungsi kognitif dan afektif, meningkatkan rasa
dimiliki, meningkatkan rasa percaya diri, dan belajar cara baru dalam menyelesaikan
masalah. Sedangkan tujuan rehabilitatif untuk meningkatkan kemampuan untuk ekspresi
diri, meningkatkan kemampuan empati, meningkatkan keterampilan sosial, serta
meningkatkan pola penyelesaian masalah.
B. Tujuan Kegiatan
1. Tujuan Umum
Setelah 40 menit klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, diharapkan klien mampu
mengenal halusinasinya dan mengontrol halusinasinya
2. Tujuan Khusus
Klien mampu mengenal halusinasinya
Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi
Klien mengenal situasi terjadinya halusinasi
Klien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi
Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi halusinasi
Klien dapat memahami dan memperagakan cara menghardik halusinasi, cara
mengobrol dan dengan melaksanakan kegiatan yang sering dilakukan
A. Definisi
B. Macam-macam Halusinasi
1. Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk
kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan
sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran
yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk
melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan.
2. Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,gambar
kartun,bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias menyenangkan atau
menakutkan seperti melihat monster.
3. Penciuman
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-
bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke, tumor,
kejang, atau dimensia.
4. Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
5. Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum
listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6. Cenesthetic
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makan
atau pembentukan urine
C. Faktor Prediposisi
Menurut Stuart (2007), faktor predisposisi terjadinya halusinasi adalah:
1. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-
penelitian yang berikut:
a. Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas
dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik
berhubungan dengan perilaku psikotik.
b. Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan
masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya
skizofrenia.
c. Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi
yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia
kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi
otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi
(post-mortem).
2. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi
psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan,
konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi
disertai stress.
D. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak
berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan
kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi
serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak
untuk diinterpretasikan.
2. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan
untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku
3. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
E. Manifestasi Klinik
1. Fase Pertama / comforting / menyenangkan
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian. Klien
mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang menyenangkan untuk
menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini menolong untuk sementara. Klien masih
mampu mengotrol kesadarnnya dan mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi
meningkat.
Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa
bersuara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asyik dengan
halusinasinya dan suka menyendiri.
2. Fase Kedua / comdemming
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal,
klien berada pada tingkat “listening” pada halusinasi. Pemikiran internal menjadi
menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas
klien takut apabila orang lain mendengar dan klien merasa tak mampu mengontrolnya.
Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah
halusinasi datang dari orang lain.
Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti peningkatan
denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan halusinasinya dan tidak bisa
membedakan dengan realitas.
3. Fase Ketiga / controlling
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa dan tak
berdaya pada halusinasinya. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan
mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.
Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya beberapa
menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor dan tidak mampu
mematuhi perintah.
4. Fase Keempat / conquering/ panik
Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya.
Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah
dan memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk
dengan halusinasinya klien berada dalam dunia yang menakutkan dalam waktu singkat,
beberapa jam atau selamanya. Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap perintah kompleks
dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
Klien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku dengan
pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba
marah atau menyerang oranglain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati
sesuatu. Juga keterangan dari klien sendiri tentang halusinasi yang dialaminya ( apa
yangdilihat, didengar atau dirasakan). Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan
halusinasi (Budi Anna Keliat, 1999) :
1. Tahap I : halusinasi bersifat menyenangkan
Gejala klinis :
a. Menyeringai/ tertawa tidak sesuai
b. Menggerakkan bibir tanpa bicara
c. Gerakan mata cepat
d. Bicara lambat
e. Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan
2. Tahap 2 : halusinasi bersifat menjijikkan
Gejala klinis :
a. Cemas
b. Konsentrasi menurun
c. Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata
3. Tahap 3 : halusinasi yang bersifat mengendalikan
Gejala klinis :
a. Cenderung mengikuti halusinasi
b. Kesulitan berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah
d. Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti petunjuk)
4. Tahap 4 : halusinasi bersifat menaklukkan
Gejala klinis :
a. Pasien mengikuti halusinasi
b. Tidak mampu mengendalikan diri
c. Tidak mampu mengikuti perintah nyata
d. Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
F. Akibat Yang Ditimbulkan
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensori: halusinasi dapat beresiko
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Resiko mencederai merupakan suatu
tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
Tanda dan Gejala :
1. Memperlihatkan permusuhan
2. Mendekati orang lain dengan ancaman
3. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
4. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
5. Mempunyai rencana untuk melukai
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan klien akibat
halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan dilakukan secara individual dan
usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien disentuh atau dipegang.
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali klien menolak obat yang diberikan sehubungan dengan rangsangan
halusinasi yang diterimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif.
Perawat harus mengamati agar obat yang diberikan betul ditelannya, serta reaksi obat
yang diberikan.
3. Menggali permasalahan klien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah
klien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi
masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga klien
atau orang lain yang dekat dengan klien.
4. Memberi aktivitas pada klien
Klien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah
raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan
klien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Klien diajak
menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga klien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data klien agar ada
kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari
percakapan dengan klien diketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki
yang mengejek.
BAB III
LANDASAN TEORI TAK
A. Definisi
Terapi aktivitas kelompok adalah terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada
sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas yang
digunakan sebagai terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan. Di dalam
kelompok terjadi dinamika interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan dan
menjadi laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki
perilaku lama yang maladaptif.
B. Kriteria Klien
Memilih klien yang akan ikut serta dalam TAK. Klien sebagai anggota yang
mengikuti therapy aktifitas kelompok ini adalah:
1. Klien dengan riwayat schizoprenia dengan disertai gangguan persepsi sensori; halusinasi.
2. Klien yang mengikuti TAK ini tidak mengalami perilaku agresif atau mengamuk, dalam
keadaan tenang.
3. Klien dapat diajak kerjasama (cooperative).
C. Media
1. Tempat : Taman
2. Hari/Tanggal : Senin, 20 Oktober 2014
3. Waktu : 16.00 WIB
4. Durasi : 30 menit
5. Strategi
F. Pengorganisasian
1. Nama klien
Maylia
Titi
Mila
Nurwanti
Nanda
Nama cadangan:
Santi
Suryani
1. Leader
Tugas:
Memimpin jalannya TAK
Merencanakan, mengontrol dan mengatur jalannya TAK
Menciptakan situasi dan suasana yang memungkinkan klien termotivasi untuk
mengekspresikan perasaannya
Mengarahkan proses TAK ke arah pencapaian tujuan dengan cara memotivasi kepada
anggota kelompok untuk terlibat dalam kegiatan
Menetapkan tata tertib dan kontrak waktu
2. Co leader:
Tugas:
Membuka dan menutup acara diskusi
Mendampingi leader dan membantu tugas leader
Mengambil alih tugas leader bila leader pasif (blocking)
Menyampaikan informasi dari fasilitator leader atau sebaliknya
Mengingatkan leader jika kegiatannya menyimpang
Menyerahkan kembali posisi kepada leader
3. Fasilitator:
Tugas :
Memfasilitasi klien dalam kegiatan TAK
Mempertahankan keikutsertaan klien dalam kegiatan
Mengarahkan dan memotivasi klien untuk berdiskusi
Mencegah gangguan atau hambatan terhadap jalannya kegiatan
Memberi stimulus kepada anggota yang kurang aktif
Ikut serta dalam kegiatan kelompok dan berperan sebagai role model bagi klien
sebagai proses aktivitasi kelompok
4. Observer:
Tugas:
Mencatat serta mengamati proses jalannya TAK dari awal sampai akhir (dicatat pada
format yang tersedia)
Memberikan penilaian pada klien selama terapi berlangsung
Memberikan umpan balik terhadap proses kegiatan mulai dari persiapan sampai
acara selesai
Menyampaikan hasil observasi pada kelompok
Mengawasi jalannya aktivitas kelompok dari mulai persiapan, proses, hingga
penutupan
H. Pelaksanaan
1. Fase Pra-Interaksi:
Memilih klien sesuai indikasi, yaitu klien dengan perubahan sensori persepsi:
halusinasi
Membuat kontrak dengan klien
Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Fase Orientasi:
Salam tarapeutik
Salam dari terapis kepada klien
Perkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama)
Menanyakan nama dan panggilan semua klien ( beri papan nama )
Evaluasi/validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
Terapis menanyakan pengetahuan dan pengalaman mengenai halusinasi
3. Kontrak
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal
halusinasi dan cara mengontrol halusinasinya
Menjelaskan aturan main berikut: Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok,
harus minta izin kepada terapis. Lama kegiatan 40 menit. Setiap klien mengikuti
kegiatan dari awal sampai selesai
4. Fase Kerja:
Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal halusinasi
tentang isinya, waktu terjadinya, situasi terjadinya, perasaan klien pada saat terjadi
dan cara mengontrol halusinasi yang klien mampu.
Klien menyusun angka dan huruf yang terbuat dari karton sesuai dengan kata yang
diinginkan. Bagi klien yang tidak selesai pada waktunya maka akan menerima
hukuman. Kemudian terapis meminta klien menceritakan isi halusinasinya, kapan
terjadinya, situasi yang membuat terjadi perasaan klien saat halusinasi, dan cara klien
mengontrol halusinasinya.
Beri pujian setiap klien selesai cerita
Terapis menjelaskan kembali cara mengatasi halusinasi yang benar ketika saat
halusinasi muncul
Terapis meminta masing-masing klien memperagakan cara mengatasi halusinasi
ketika mendapat giliran
Terapis memberikan pujian dan mengajak semua klien bertepuk tangan setiap klien
memperagakan cara mengatasi halusinasi
5. Fase terminasi:
Evaluasi
o Terapis menanyakan perasan klien setelah mengikuti TAK
o Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
Tindak lanjut
o Terapis meminta klien untuk melaporkan isi, waktu, situasi, dan perasaannya jika
terjadi halusinasi
o Terapis mengajarkan klien untuk menerapkan cara yang telah dipelajari jika
halusinasi muncul
o Memasukkan kegiatan ke dalam jadwal kegiatan harian klien
Kontrak yang akan datang
o Terapis membuat kesepakatan dengan klien untuk TAK berikutnya yaitu cara
mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
o Terapis membuat kesepakatan waktu dan tempat TAK berikutnya
2. Proses
Terapis atau kelompok
Melaksanakan TAK sesuai perencanaan
Terapis mengantisipasi hal yang tidak dikehendaki selama TAK berlangsung
Memotivasi klien untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan TAK
3. Hasil
Terapis dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan sesuai tujuan
Klien dapat menceritakan kembali isi halusinasinya, kapan terjadinya, situasi yang
membuat terjadi, dan perasaan klien saat halusinasi
Klien dapat menangkap materi sesuai tujuannya
Klien dapat mengikuti kegiatan sesuai dengan tujuan terapis aktivitas kelompok
J. Tata Tertib Pelaksanaan TAK
1. Peserta bersedia mengikuti kegiatan TAK sampai selesai
2. Berpakaian rapi dan bersih
3. Peserta tidak diperkenankan meninggalkan ruangan setelah tata tertib dibacakan
4. TAK berlangsung selama 40 menit dari pukul 10.00 sampai 10.40 WIB
5. Sebelum acara dimulai yang ingin kebelakang untuk BAB dan BAK dipersilahkan ke
kamar mandi dahulu
6. Anggota kelompok wajib hadir 5 menit sebelum acara dimulai
7. Peserta dan anggota kelompok tidak diperkenankan untuk makan dan minum, merokok
selama acara berlangsung