Anda di halaman 1dari 23

KONSENSUS

Rekomendasi Penatalaksanaan
Kejang pada Neonatus

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


2019
KONSENSUS
Rekomendasi Penatalaksanaan
Kejang pada Neonatus

Penyunting:
Sofyan Ismael
Setyo Handryastuti
Rizalya Dewi

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


2019
KONSENSUS IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA
Diagnosis dan Penatalaksanaan Kejang Neonatus

Penyunting: Sofyan Ismael, Setyo Handryastuti, Rizalya Dewi


Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Unit Kerja Koordinasi Neonatologi

Ikatan Dokter Anak Indonesia


2019

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh


isi buku ini dengan cara dan bentuk apa pun juga tanpa seizin penulis dan
penerbit

Type setting: Astri

Disusun oleh:
Ikatan Dokter Anak Indonesia

Diterbitkan pertama kali tahun 2019


Cetakan pertama
Kontributor Konsensus
Diagnosis dan Penatalaksanaan
Kejang Neonatus

1. Prof. Dr. Sofyan Ismael, SpA(K) Jakarta


2. DR. Dr. Setyo Handryastuti, SpA(K) Jakarta
3. Dr. Ana Tjandrajani, SpA(K) Jakarta
4. Dr. Dewi Hawani, SpA(K) Bandung
5. Dr. Rizalya Dewi, SpA(K) Jakarta

Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia iii


Kata Sambutan
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan
Dokter Anak Indonesia

iv Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Pada Neonatus


Kata Pengantar

Kejang neonatus merupakan problem yang kerap dijumpai dalam praktek


sehari-hari, terutama sejawat dokter anak yang berkecimpung di bidang
neonatologi. Sebagian problem kejang neonatus akan dikonsultasikan
ke konsultan neurologi anak, terutama jika kejang tidak teratasi, mencari
etiologi, menentukan prognosis maupun interpretasi pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) neonatus. Tatalaksana kejang neonatus sendiri
merupakan kompetensi semua dokter anak.
Pedoman ini ditujukan bagi seluruh teman sejawat dokter spesialis anak
dan dokter spesialis lain sehingga diharapkan terdapat suatu keseragaman
pengetahuan dan wawasan mengenai diagnosis dan tatalaksana kejang
neonatus. Pedoman ini adalah hasil diskusi dan kesepakatan antara UKK
Neurologi dan UKK Neonatologi, sehingga diharapkan tidak terdapat lagi
kontroversi mengenai diagnosis dan tatalaksana kejang neonatus.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
anggota UKK Neurologi dan UKK Neonatologi, yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberikan sumbang saran untuk
penyusunan
Harapan kami semoga pedoman ini bermanfaat bagi kita semua dalam
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia.

Setyo Handryastuti, DR. dr. SpA(K)


Ketua UKK Neurologi PP-IDAI 2017

Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia v


Daftar Isi

Kontributor......................................................................................... iii
Kata Sambutan Ketua Umum PP IDAI................................................iv
Kata Pengantar Penyunting...................................................................v

Definisi kejang.......................................................................................1
Epidemiologi ........................................................................................1
Etiologi..................................................................................................2
Manifestasi klinis...................................................................................2
Pemeriksaan Penunjang.........................................................................6
Pemeriksaan laboratorium..................................................................... 6
Elektroensefalografi (EEG)....................................................................6
EEG konvensional................................................................................ 6
Amplitude integrated EEG (aEEG)...................................................... 7
Pencitraan..............................................................................................7
Prognosis...............................................................................................8
Penatalaksanaan....................................................................................8
Lama pemberian obat anti konvulsan..................................................12
Penghentian obat kejang......................................................................12

Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia vii


viii Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Pada Neonatus
Konsensus Rekomendasi
Penatalaksanaan Kejang Pada Neonatus

Definisi kejang
Kejang klinis: Kejang yang tampak secara klinis, yaitu perubahan fungsi
neurologis (perilaku, motor, atau autonomik) yang bersifat paroksismal.
Kejang elektrografik: Kejang yang hanya tampak dari gambaran
elektroensefalografi (EEG), yaitu :(1) Perubahan mendadak pada gambaran
elektroensefalografi (EEG); (2) pola gelombang berulang yang berevolusi
dalam morfologi, frekuensi, dan/atau lokasi; (3) Amplitudo ≥2 μV; (4)
durasi ≥10 detik, atau durasi < 10 detik tetapi timbul berulang-ulang (5)
kejang disebut terpisah jika berjarak minimal 10 detik, (6) tanpa atau disertai
kejang klinis.
Abend NS, et al. Neonatal seizures. In: Volpe’s Neurology of the Newborn, 6th ed. 2018.
Tsuchida TN, et al. J Clin Neurophysiol. 2013;30:161-73.

Epidemiologi
Angka kejadian adalah 58 per 100 kelahiran hidup pada neonatus berat lahir
sangat rendah, 1 hingga 3-5 per 100 kelahiran hidup pada bayi cukup bulan
Glass HC, et al. J Pediatr Neurol. 2009;7:13-7.
Lawrence R, et al. Semin Pediatr Neurol. 2010;17:163-8..

Tipe kejang neonatal


•• Kejang Elektroklinikal
Kejang elektrografik berupa abnormalitas aktifitas listrik korteks
paroksismal yang berevolusi dari waktu ke waktu dan diikuti dengan
tanda klinis yang berhubungan
•• Kejang EEG saja (subklinis, non-konvulsif, occult)
Kejang elektrografik tanpa tanda klinis

Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia 1


•• Kejang klinis saja
Kejang yang tampak secara klinis namun abnormalitas aktifitas listrik saat
itu tidak terdeteksi dengan EEG permukaan. Perlu diambil kesimpulan
dengan hati-hati mengingat adanya kemungkinan gerakan tersebut
bukan kejang (jitteriness tremor, Nonepileptic myoclonus, Hyperekplexia).
Abend NS, et al. Neonatal seizures. In: Volpe’s Neurology of the Newborn, 6th ed. 2018.
Tsuchida TN, et al. J Clin Neurophysiol. 2013;30:161-73.

Etiologi
•• Ensefalopati hipoksik iskemik (EHI)
Merupakan penyebab kejang pada neonatus yang paling sering dengan
median prevalensi 38-48%
•• Hipoglikemia
Prevalensi 3-7,5% dan dapat berhubungan dengan gejala lanjutan
termasuk didalamnya epilepsi.
•• Hipokalsemia
Prevalensi 2,3-9% dengan kecenderungan menurun dengan manajemen
nutrisi yang baik pada neonatus. Hal ini terlihat dari tingginya angka
kejadian pada studi tahun 1970an.
•• Infeksi susunan saraf pusat
Prevalensi 5,5-10,3%
•• Lainnya
Epilepsi dependen piridoksin merupakan penyakit yang jarang dengan
angka kejadian 1:396 000. Angka ini sangat rendah dibandingkan
dengan angka kejadian kejang pada neonatus yang mencapai 1:71 s/d
1:1001000
*Tidak terdapat perbedaan bermakna antara prevalensi 4 penyebab
tersering kejang neonatus pada kelompok bayi prematur maupun matur
WHO. Guidelines on Neonatal Seizure.2011.

Manifestasi klinis
Karena sebagian besar fasilitas neonatologi di Indonesia tidak memiliki alat
amplitude EEG (aEEG ) maupun EEG maka pengamatan secara klinis sangat
diperlukan untuk membedakan serangan yang tampak kejang atau bukan,

2 Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Pada Neonatus


serta menentukan tipe kejang neonatus. Perekaman dengan video pada saat
serangan juga sangat membantu ketika ada gerakan-gerakan tidak biasa yang
dicurigai sebagai kejang, terutama pada neonatus yang berisiko tinggi kejang
seperti asfiksia sedang-berat, prematur dan sepsis. Kejang biasanya timbul
secara repetitif dan stereotipi, sehingga pengamatan klinis atau rekaman
video dalam waktu yang cukup sangat membantu diagnosis klinis.
Manifestasi klinis kejang pada bayi baru lahir seringkali berbeda
dibandingkan dengan anak yang lebih besar sehingga terkadang tidak
disadari. Gambaran klinis kejang pada neonatus adalah:

•• Kejang subtle
Manifestasi klinis yang sering terlewatkan bahkan oleh tenaga kesehatan
yang terlatih. Kejang jenis ini lebih sering ditemukan pada bayi prematur
dibandingkan dengan bayi matur. Pada bayi matur, kejang subtle sering
tidak menunjukkan manifestasi pada EEG. Tampilan klinis yang terlihat:
− Fenomena Okular
»» Deviasi mata horizontal bersifat tonik dengan atau tanpa kedutan
mata.
»» Mata yang terus terbuka dengan fiksasi okular
− Gerakan oral-buccal-lingual
»» Mengunyah
− Manifestasi lain
»» Gerakan tungkai (pedaling, rowing, boxing)
»» Fenomena otonom
»» Episode apnea (Terutama bila berhubungan dengan aktivitas
kejang pada EEG dan terutama lebih jarang berhubungan dengan
bradikardia ). Episode apnea biasanya juga disertai manifestasi
kejang subtle yang lain

•• Kejang klonik
Kejang dengan karakteristik gerakan ritmis dari suatu kelompok
otot dengan distribusi fokal yang terdiri dari suatu fase cepat diikuti
dengan gerakan kembali yang lambat. Bentuk kejang ini paling sering
berhubungan dengan kejang pada aktivitas EEG. Tampilan klinis yang
terlihat:
− Kejang klonik fokal
»» Kedutan klonik yang terlokalisasi

Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia 3


»» Umumnya tidak terjadi gangguan kesadaran
»» Kerap berhubungan dengan kejang pada EEG
− Kejang konik multifokal
»» Kedutan klinik yang terjadi secara simultan atau berurutan pada
beberapa lokasi multipel
»» Migrasi tidak beraturan (non-jacksonian)
»» Kerap berhubungan dengan kejang pada EEG
− Kejang klonik umum
»» Menyebar secara bilateral dengan gerakan yang simetris dan
sinkron
»» Jarang ditemukan pada neonatus

•• Kejang Tonik
Kejang tonik merupakan bentuk kejang dengan fleksi atau ekstensi yang
menetap baik aksial atau apendikular pada sekelompok otot. Kejang
tonik terbagi menjadi 2 kelompok:
− Kejang tonik fokal
Kejang berupa kekakuan postur salah satu ekstremitas atau kekakuan
asimetris batang tubuh atau leher. Kejang tonik fokal berhubungan
erat dengan kejang EEG
− Kejang tonik umum
Kejang berupa ekstensi tonik maupun fleksi ekstremitas superior dan
inferior. Sekitar 85% kejang tipe ini tidak diikuti aktivitas kejang
pada EEG karena gejala klinis ini sering ditemukan pada postur
deserebrasi atau dekortikasi yang berhubungan dengan perdarahan
intraventrikel.

•• Kejang Mioklonik
Mioklonus adalah gerakan menyentak yang cepat dan terisolasi yang
dapat memengaruhi satu atau beberapa kelompok otot dengan etiologi
iktal maupun non-iktal dan dapat timbul akibat cedera pada berbagai
level sistem saraf pusat. Kejang mioklonik umumnya tidak berhubungan
dengan kejang EEG.
− Kejang mioklonik fokal dan multifokal
Gerakan yang terlokalisasi, tunggal atau multipel, umumnya pada
ekstremitas, dan kerap kali tidak diikuti dengan gambaran kejang
pada EEG

4 Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Pada Neonatus


− Kejang mioklonik umum
Sentakan bilateral, ditunjukkan dengan fleksi ektremitas atas dan
terkadang ekstremitas bawah. Tipe kejang ini dapat menunjukkan
spasme infantile jika diikuti dengan pola EEG suppression burst dan
hypsarrhytmia. Tipe kejang ini sering. Berhubungan dengan kejang
pada EEG
Abend NS, et al. Neonatal seizures. In: Volpe’s Neurology of the Newborn, 6th ed. 2018.

Terdapat gerak pada neonatus yang bukan kejang yang kerap sulit
dibedakan tanpa pemeriksaan EEG. Gerak tersebut adalah jitteriness, tremor,
mioklonus non epileptik dan hiperekpleksia.

•• Jitteriness
Gerakan seperti gemetar yang kadang-kadang mirip klonik. Perbedaan
jitteriness dengan kejang : (1) tidak terdapat gerak mata atau gaze yang
abnormal, pada kejang ada. (2) dapat distimulasi, pada kejang tidak, (3)
gerak dominan tremor, sedangkan pada kejang clonic jerking, (4) gerak
menghilang dengan fleksi pasif, kejang tidak dapat menghilang dengan
maneuver apapun, (5) jitteriness tidak disertai perubahan otonom, kejang
disertai perubahan otonom.

•• Tremor
Kerap sulit dibedakan dengan kejang klonik. Tremor adalah gerak ritmik
dua fase dengan amplitudo rendah dan kecepatan tinggi yang sama di
kedua fase. Sedangkan klonik adalah gerak cepat diikuti gerak fase lambat.
Gerak pada klonik beramplitudo tinggi dengan kecepatan lambat.

•• Hiperekplekesia
Reaksi abnormal berupa startle yang berlebihan disertai tonik spasm
sebagai respons terhadap rangsang auditori, visual dan taktil.
Abend NS, et al. Neonatal seizures. In: Volpe’s Neurology of the Newborn, 6th ed. 2018.

Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia 5


Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium bertujuan mencari penyebab kejang pada
neonatus.
•• Gula darah
Mengingat angka kejadian hipoglikemia sangat besar, keadaan ini perlu
diekslusi dan diatasi terlebih dahulu sebelum diberikan obat anti kejang.
Jika pemeriksaan gula darah tidak tersedia dapat dipertimbangkan
pemberian glukosa secara empiris.
•• Pungsi lumbal
Pungsi lumbal perlu dilakukan jika ada kecurigaan kearah sepsis atau
meningitis. Pemeriksaan ini sangat penting untuk mengeksklusi atau
memberikan antibiotik yang tepat pada infeksi susunan saraf pusat. Jika
tidak memungkinkan dapat dipertimbangkan pemberian terapi empirik
pada neonatus dengan tanda klinis sepsis atau meningitis
•• Kalsium serum
Perlu dilakukan pemeriksaan kalsium serum bila memungkinkan
pada semua neonatus dengan kejang. Tatalaksana harus dilakukan bila
terdapat hipokalsemia.
Pemeriksaan lain seperti USG/MRI kepala, metabolik, kromosom,
neurotransmiter dilakukan sesuai dengan indikasi
WHO. Guidelines on Neonatal Seizure.2011.

Elektroensefalografi (EEG)
EEG konvensional
EEG konvensional hingga saat ini merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling penting dalam menegakkan diagnosis kejang dan mengetahui lokasi
dimulainya kejang. Saat ini monitor EEG kontinu yang kerap dilengkapi
dengan rekaman video mulai digunakan di NICU. EEG perlu dilakukan
karena:
•• Memastikan diagnosis kejang karena banyaknya gerakan serupa kejang
sehingga ketepatan klinisi mendiagnosis kejang tidak baik dan akan
menimbulkan penggunaan obat anti kejang yang tidak tepat.

6 Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Pada Neonatus


•• Terdapat banyak neonatus yang tidak menunjukkan gejala kejang secara
klinis (kejang EEG saja). Suatu studi terhadap 526 episode kejang pada
EEG yang terdeteksi pada populasi 51 bayi cukup bulan, hanya 34%
yang menunjukkan adanya manifestasi klinis pada rekaman video. Studi
lain dengan populasi bayi dengan ensefalopati hipoksik iskemik (EHI)
yang mendapat terapi hipotermia, 43% kejang tidak bermanifestasi
klinis.
•• Pada pasien dengan kejang neonatus, meskipun dalam terapi obat anti
kejang masih dapat terjadi kejang EEG saja. Peran EEG pada keadaan ini
sangat penting untuk tatalaksana kejang
•• Gambaran irama dasar (background) EEG bermanfaat untuk memberikan
informasi prognostik yang penting.
Abend NS, et al. Neonatal seizures. In: Volpe’s Neurology of the Newborn, 6th ed. 2018.
Pisani F, Pavlidis E. The role of electroencephalogram in neonatal seizure detection. Expert Rev.
Neurother. 2018;18(2):95–100.

Amplitude integrated EEG (aEEG)


Pada fasilitas yang tidak dapat menggunakan EEG kontinu di NICU
mulai digunakan aEEG untuk memonitor aktivitas otak bayi. Alat ini
menggunakan elektroda yang jauh lebih sedikit dari EEG konvensional
dan menghasilkan rekaman single channel (2 elektroda) atau dual-channel(4
elektroda). Sinyal EEG ini kemudian akan dimodifikasi dan dikompresi
menggunakan algoritma yang sedikit berbeda antar perusahaan pembuat.
Alat aEEG ini mudah digunakan dan diinterpretasi untuk membantu
menegakkan diagnosis status epileptikus dengan sangat baik namun
akan melewatkan kejang yang singkat, fokal, atau beramplitudo rendah.
Sensitifitas yang didapatkan adalah 33,7% pada kejang tunggal dan 86%
pada beberapa episode kejang yang terjadi pada neonatus.
Abend NS, et al. Neonatal seizures. In: Volpe’s Neurology of the Newborn, 6th ed. 2018.
Pisani F, Pavlidis E. The role of electroencephalogram in neonatal seizure detection. Expert Rev.
Neurother. 2018;18(2):95–100.

Pencitraan
Investigasi radiologi kepala (ultrasound, computer tomography, dan magnetic
resonance imaging) tidak dianjurkan digunakan untuk mendeteksi terjadinya

Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia 7


kejang klinis atau untuk mengevaluasi efikasi tatalaksana obat antiepilepsi
pada neonatus. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan untuk mencari
etologi kejang dan menentukan kemungkinan luaran neonatus dengan
kejang. Pemilihan jenis pemeriksaan disesuaikan dengan keadaan setempat
dan kemungkinan etiologi mengingat masing-masing modalitas memiliki
kelebihan dan kekurangan.

Prognosis
Faktor penentu utama prognosis kejang pada neonatus adalah proses patologi
di susunan saraf pusat yang mendasari. Sebagai contoh, kejang akibat EHI
menghasilkan luaran 50% bayi memiliki perkembangan yang normal, akan
tetapi bayi dengan perdarahan intraventrikular hanya 10% yang memiliki
perkembangan normal.
Prognosis kejang pada neonatus sudah cukup membaik dari tahun
ke tahun dalam hal mortalitas akan tetapi sekuelae neurologis masih kerap
terjadi. Suatu studi yang mengamati lebih dari 2000 kasus kejang neonatus
menunjukkan kematian sebelum dan sesudah tahun 1969 adalah 45% vs
15% dengan angka kejadian sekuelae neurologis adalah 20% vs 35%.
Gambaran gelombang irama dasar (background) EEG dapat membantu
memperkirakan prognosis kejang pada neonatus. Sekuele neurologis pada
kejang dengan gambaran latar EEG normal terjadi pada ≤ 10% kasus
sedangkan pada gambaran latar EEG burst suppression, interburst interval
yang memanjang (>20 detik), penekanan voltase yang bermakna, dan
electrocerebral silence dapat terjadi pada ≥ 90% kasus.
Abend NS, et al. Neonatal seizures. In: Volpe’s Neurology of the Newborn, 6th ed. 2018.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kejang neonatus masing-masing negara maupun rumah
sakit dapat berbeda satu sama lain. Hal ini tentu mengingat ketersediaan
obat dan fasilitas yang ada.
Algoritme di bawah ini mencoba untuk memfasilitasi berbagai macam
tipe rumah sakit di Indonesia, oleh karena itu penerapan algoritme tentu
disesuaikan dengan PPK masing-masing RS.

8 Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Pada Neonatus


Bayi dengan klinis kejang* atau risiko tinggi kejang**:
• Segera konfirmasi dengan EEG/aEEG dan mulai pemantauan 1) Cari dan atasi penyebab lain kejang
EEG/aEEG secara kontinyu bila memungkinkan • Hipoglikemia
• Lakukan pemeriksaan penyebab kejang yang dapat segera • Hipokalsemia: kalsium glukonas 10% dengan dosis 0,5 mL/kgBB IV
dikoreksi (gula darah/elektrolit***) • Hipomagnesemia: magnesium sulfat 40% dengan dosis 0,2 mmol/kgBB
• Mulai pemberian antibiotik jika ada kecurigaan infeksi
SSP****
• Segera lakukan pungsi lumbal setelah kejang telah terkontrol
• Pastikan ventilasi dan perfusi adekuat (ABC)

Jika terdapat satu tanda kejang pada EEG/aEEG dan tidak ada EEG/aEEG untuk memantau respons
penyebab yang dapat dikoreksi, segera berikan klinis terhadap pemberian terapi
FENOBARBITAL anti kejang (dipantau setiap 15-20
Dosis inisial 20 mg/kg IV selama 10-15 menit dan mulai rumatan
L 24 jam setelah dosis inisial, dosis 4-6 mg/kgBB/hari dibagi 2
menit)
I dosis IV

N
Cek kadar Mulai pemantauan
I FENOBARBITAL EEG/aEEG secara
dalam darah dalam kontinyu bila belum 2) Pertimbangkan keuntungan dan kerugian dari kedua pilihan obat antikejang:
1-2 jam setelah dilakukan
• Efektivitas mengontrol kejang
S pemberian dosis
inisial***** • Toksisitas/efek samping segera dari obat
A • Minimalisasi risiko sedasi/gangguan respirasi
T • Antisipasi kecepatan respons obat
• Interaksi obat
U Jika masih kejang:
Ulangi FENOBARBITAL selang minimal 15 menit • Kebutuhan pemantauan kadar obat dalam darah
dosis 10-20 mg/kg IV • Kemampuan untuk melanjutkan obat sebagai terapi rumatan
(dosis maksimal 50 mg/kg IV dalam 24 jam)
• Pembatasan penggunaan berbagai macam jenis obat antikejang (memberikan obat inisial yang
juga dapat digunakan sebagai rumatan

Jika masih kejang

Fenitoin TIDAK Lidokain IV


TIDAK
dapat
tersedia?
L diberikan?

I
N YA
YA
I
FENITOIN LIDOKAIN
Dosis inisial: 20 mg/kgBB IV dengan Dosis inisial: 2 mg/kgBB IV dalam 10
kecepatan 1 mg/kgBB/menit (frekuensi
D dan ritme jantung harus dimonitor
menit, dilanjutkan dengan 7
mg/kgBB/jam selama 4 jam,
U selama pemberian obat) kemudian diturunkan setengah
dosis setiap 12 jam selama 24 jam
Lakukan pemberian kadar fenitoin total
A dan bebas pada darah dalam 1 jam, dan
Kemudian
dilanjutkan infus
pengulangan pemeriksaan pada waktu 1 mcg/kg/menit
yang berbeda untuk menilai potensi
interaksi obat

Dilanjutkan dengan rumatan FENITOIN


(dosis sesuai usia, dapat dilihat pada
tabel daftar dosis)
Fenobarbital rumatan tetap dilanjutkan

Jika masih kejang Pertimbangkan pemberian MIDAZOLAM


Dosis inisial: 0,15 mg/kg IV diikuti dengan infus 1
Bila masih kejng, tatalaksana
PIRIDOKSIN 100 mg IV****,
mcg/kg/menit IV dapat dinaikkan 0,5-1 mcg/kg/menit selanjutnya tergantung kebijakan
dilanjutkan dengan
MIDAZOLAM
tiap 2 menit hingga dosis maksimal 18 mcg/kg/menit klinisi

Mulai penyapihan setelah 24 jam bebas kejang pada


3) Pyridoxine dependency harus dipertimbangkan ketika pemantauan EEG/aEEG
kejang tidak respons terhadap pemberian obat antikejang lini Lanjutkan terapi rumatan yang telah digunakan
dua. Pemberian piridoksin harus disertai EEG kontinu dan sebelumnya
pengawasan ketat terhadap adanya apnea, kejang berulang,
dan fungsi kardiovaskular

• Jika tersedia aEEG, lakukan pemantauan aEEG Penghentian obat antikejang:


• Konsultasi neurologi anak untuk konfirmasi dengan EEG konvensional dan pencarian etiologi • Setelah kejang berhenti dan etiologinya teratasi, jika pemeriksaan neurologis normal, maka
kejang semua obat antikonvulsan dapat dihentikan. Jika pemeriksaan neurologis abnormal, lakukan
• Jika sedang dalam terapi rumatan fenobarbital, lakukan pemeriksaan kadar obat dalam darah EEG ulang.
atas indikasi (kecurigaan kekurangan/kelebihan dosis) bila pemeriksaan tersedia dan hasil bisa • Jika EEG normal dan penyebab kejang adalah gangguan metabolik yang bersifat sementara,
didapatkan sesegera mungkin fenobarbital rumatan dapat dihentikan.
• Jika EEG abnormal, fenobarbital rumatan dilanjutkan. Evaluasi ulang Jika pasien akan
• Lakukan pemeriksaan lanjutan untuk mempertegas etiologi kejang:
dipulangkan..
• Jika curiga infeksi SSP, lakukan pungsi lumbal • Jika selama perawatan diberikan fenitoin, maka obat tersebut dihentikan pada saat jalur
• Pemeriksaan penunjang lain dilakukan atas indikasi, misalnya pencitraan otak (MRI bila intravena dihentikan, meskipun pemeriksaan neurologi abnormal. Jika masih dibutuhkan
memungkinkan), pemeriksaan genetik, metabolik, atau neurotransmiter. antikonvulsan rumatan, maka diberikan fenobarbital oral.

Gambar 1. Algoritma tatalaksana kejang neonatus pada fasilitas lengkap

Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia 9


Keterangan gambar 1.
Protokol tatalaksana kejang pada fasilitas yang lengkap. Jika tidak terdapat fasilitas
aEEG/EEG bedside, maka diagnosis kejang ditegakkan secara klinis, dibantu perekaman
video. Jika terdapat pemeriksaan aEEG, maka harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
EEG konvensional bedside minimal 2 kali yaitu hari pertama perawatan dan untuk
evaluasi pemberian obat.
Perekaman dapat dilakukan dengan gawai atau yang lebih baik dengan video yang
terpasang di inkubator neonatus.

* Bayi dengan klinis kejang : sesuai dengan manifestasi kejang neonatus secara
klinis dengan/tanpa bantuan rekaman video.
** Bayi risiko tinggi kejang : bayi dengan asfiksia sedang dan berat, bayi prematur,
sepsis, jika terdapat kejang atau gerakan-gerakan berulang dan stereotipi yang
menyerupai kejang diobservasi, jika memungkinkan lakukan perekaman video
untuk observasi lebih lama. Observasi juga dilakukan pada neonatus dengan
kecurigaan kejang seperti apneu/desaturasi berulang tanpa penyebab yang
jelas.
*** Neonatus kerap mengalami hipoglikemia maupun gangguan keseimbangan
elektrolit yang dapat menyebabkan kejang, oleh karena itu secara rutin diperiksa
dan dikoreksi jika terdapat kelainan.
**** Kecurigaan infeksi SSP jika ditemukan : (1) bayi dengan kejang disertai tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti UUB membonjol, (2) bayi
dengan sepsis disertai kejang. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan cairan
serebrospinal.
***** Pemeriksaan kadar obat dalam darah dilakukan jika hasil pemeriksaan dapat
diperoleh dalam waktu kurang dari 24 jam.

Lini pertama Fenobarbital masih dipergunakan sebagai obat lini pertama


Lini kedua da 2 pilihan yaitu fenitoin dan lidokain IV. Jika fenitoin tidak tersedia/
terdapat kontraindikasi/mudah menggumpal/akses vena yang sulit
maka dapat diberikan lidokain IV. Jika lidokain IV juga tidak tersedia
maka obat kejang bisa langsung obat lini ketiga yaitu midazolam
drip.
Lini ketiga Midazolam dan piridoksin. Piridoksin dapat dipertimbangkan pada
kejang neonatus yang tidak teratasi dengan obat antikonvulsan
standar. Monitoring EEG diperlukan pada saat pemberian piridoksin
IV untuk melihat apakah aktifitas epileptiform berhenti dengan
pemberian injeksi piridoksin.

10 Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Pada Neonatus


Bayi klinis kejang: Definisi fasilitas terbatas:
• Lakukan pemeriksaan penyebab kejang yang dapat segera • Tidak tersedia pilihan obat yang lengkap
dikoreksi (gula darah/elektrolit) • Kesulitan memasang akses intravena
• Mulai pemberian antibiotik jika ada kecurigaan infeksi SSP • Fasilitas untuk melakukan intubasi tidak tersedia
• Pastikan ventilasi dan perfusi adekuat (ABC) • Tenaga medis tidak kompeten melakukan intubasi

PEMBERIAN M IDAZOLAM DAN DIAZEPAM


TERUTAMA BILA DILANJUTKAN DENGAN
Jika tidak ada penyebab yang dapat dikoreksi secepatnya, harus PEMBERIAN FENOBARBITAL DAPAT
segera memberikan obat antikejang akut MENYEBABKAN DEPRESI SSP DAN
KARDIORESPIRASI

Tersedia Tidak tersedia


fenobarbital fenobarbital

PILIHAN UTAMA
L FENOBARBITAL ALTERNATIF 1 ALTERNATIF 2 ALTERNATIF 3
I Dosis inisial: MIDAZOLAM
FENITOIN
N IV: 20 mg/kgBB selama 10-15 menit Dosis inisial:
Dosis inisial:
I IM: 30 mg/kgBB Atau 0,15 mg/kgBB IV
20 mg/kgBB IV
Dilanjutkan rumatan 24 jam setelah
dengan kecepatan
S dosis inisial, dosis 4-6 mg/kgBB/hari
1 mg/kgBB/menit Kemudian
A dibagi 2 dosis IV/PO dilanjutkan infus
T 1 mcg.kg/menit
Pem berian do sis
U
ulangan tidak
Jika masih kejang: dianjurkan apabila
Pemberian fenobarbital dapat DIAZEPAM IV kontinu*
kadar fenito in dalam
diulang selang waktu minimal 15 darah tid ak dapat dalam dekstrosa 5% dosis 0,3 mg/kgBB/jam
menit diperiksa (dosis maksimal 2,75 mg/jam)

Bila IV: ditambahkan 10-20 mg/kgBB DIAZEPAM rektal**


hingga dosis maks 24 jam 50 m g/kgBB dosis 0,5 mg/kgBB
Bila IM: dapat diulang hanya 1 kali
L dengan dosis 30 mg/kgBB
I
N Monitor napas dan nadi
I selama pem berian
Masih kejang ?
D
U
A
FENITOIN RUJUK
Bila kejang belum teratasi

Masih kejang?

MIDAZOLAM

BILA MASIH KEJANG, RUJUK SECEPATNYA


• Bila tidak memungkinkan untuk dirujuk, optimalisasi dosis midazolam
• Dosis dapat dinaikkan 0,5-1 mcg/kg/menit tiap 2 menit hingga dosis maksimal 18 mcg/kg/menit

* Diazepam merupakan pilihan terakhir bila tidak tersedia pilihan apapun.Pilihan utama adalah infus diazepam kontinyu
**Diazepam rektal diberikan bila sediaan IV tidak tersedia atau sulit memperoleh akses IV

Gambar 2. Algoritma tatalaksana kejang neonatus pada fasilitas terbatas

Keterangan gambar 2.
Protokol tatalaksana kejang pada fasilitas yang terbatas.
Lini pertama tetap memakai fenobarbital, jika tidak tersedia terdapat beberapa
alternatif :
1. Langsung ke obat lini kedua yaitu fenitoin
2. Langsung ke obat lini ketiga yaitu midazolam
3. Jika semua obat antikonvulsan standar seperti fenobarbital, fenitoin, midazolam
tidak ada, dapat dipakai diazepam IV.

Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia 11


Lama pemberian obat anti konvulsan
Pertimbangkan penghentian obat anti kejang setelah 72 jam jika pemeriksaan
neurologi dan atau pemeriksaan EEG normal.
WHO. Guidelines on Neonatal Seizure.2011.

Penghentian obat kejang


Pada praktek sehari-hari di perawatan neonatologi, sejawat dokter anak
menemui masalah untuk menghentikan obat anti kejang karena tidak
terdapat pemeriksaan aEEG atau EEG bed-side dan bayi secara klinis belum
stabil untuk dibawa ke ruang pemeriksaan EEG biasa, sehingga rekomendasi
WHO di atas tidak dapat diterapkan. Faktor penentu penghentian obat : (1)
Pemeriksaan neurologi, (2) Etiologi kejang, (3) Gambaran EEG.
Hal yang perlu diingat mayoritas etiologi kejang neonatus adalah
simtomatik akut seperti ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), kelainan
elektrolit, hipoglikemia dan infeksi SSP sehingga jika etiologi dapat diatasi
maka tidak ada alasan untuk memperpanjang pemberian obat anti konvulsan.
Secara ideal, obat kejang dihentikan jika secara klinis bayi tidak kejang dan
dari pemeriksaan aEEG maupun EEG bed-side tidak ditemukan aktivitas
epileptiform, sehingga obat anti kejang dapat dihentikan karena obat anti
kejang yang berkepanjangan berefek negatif terhadap perkembangan otak.
Jika tidak tersedia fasilitas pemeriksaan aEEG maupun EEG bed-side
maka panduan penghentian obat kejang adalah sebagai berikut :

12 Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Pada Neonatus


Pemeriksaan neurologi

Ya Tidak
Normal

Pemeriksaan
OAE Stop Etiologi
Bayi masih EEG
dirawat dan
kondisi stabil
ATAU akan
dipulangkan Etiologi kelainan Ya
EEG Normal
metabolik

Tidak
OAE Stop
OAE Lanjutkan

Evaluasi ulang usia 1 bulan atau 1 bulan


setelah dipulangkan

Gambar 3. Algoritma penghentian obat anti epilepsi pada kejang neonatus di fasilitas
yang tidak memiliki aEEG atau EEG bedside

Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia 13


Pemeriksaan neurologi

Ya Tidak
Normal

Usia 1 bulan OAE Stop Pemeriksaan EEG


atau setelah
dipulangkan

Ya
OAE Stop EEG Normal

Tidak

OAE Lanjutkan

Evaluasi ulang pada saat usia 3 bulan dengan cara yang sama dengan saat usia 1 bulan.
Pemberian obat kejang rumatan pasca kejang neonatus direkomendasikan tidak lebih dari
usia 3 bulan

Gambar 4. Algoritma evaluasi penghentian obat anti epilepsi pada kejang neonatus
usia 1 bulan atau setelah dipulangkan
Abend NS, et al. Neonatal seizures. In: Volpe’s Neurology of the Newborn, 5th ed. 2008.

14 Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Pada Neonatus

Anda mungkin juga menyukai