Anda di halaman 1dari 13

MEMBANGUN KARAKTER UNTUK

MEMPERKOKOH PERSATUAN DAN


KESATUAN BANGSA

Seminar Nasional Pendidikan Karakter


(Webinar)

Prof. Dr. Dasim Budimansyah, S.Pd., M.Si.


E-mail: budimansyah@upi.edu
Blog: budimansyah.professor.upi.edu

Departemen Pendidikan Kewarganegaraan


Universitas Pendidikan Indonesia
2020
TOPIK BAHASAN

1. Pengantar
2. Apa isu kritis pendidikan karakter?
3. Benarkan tujuan pendidikan karakter itu pengembangan peradaban?
4. Mengapa lemahnya pertimbangan etis menjadi faktor penghambat
pendidikan karakter?
5. Daptkah pembenahan proses pendidikan karakter dimulai dari
penyesuaian kurikulum pembelajaran?
6. Bagaimana urgensinya menggeser kurikulum sekolah yang terlalu berpusat
pada kelas ke arah pembelajaran yang lebih memperhatikan keragaman
individu?
7. Penutup
8. Referensi
PENGANTAR [1]

1. Karakter itu menyentuh bagian yang terdalam dari hati manusia,


bukan sekedar perilaku biasa apalagi hanya sekedar mengikuti
kaprah umum.
2. Seseorang yang berkarakter baik, ekspresi dari hatinya yang
terdalam itu terwujud dalam sikap dan perilakunya yang baik pula,
tulus dan ikhlas, tidak mengada-ada apalagi dibuat-buat.
3. Ketulusan hati itu terpancar secara nyata dari gerak-gerik, tutur kata,
ekspresi wajah maupun bahasa tubuh lainnya.
APA ISU KRITIS PENDIDIKAN KARAKTER?

Peradaban yang
Alat untuk maju
memajukan 1. Teknologi
2. Seni
peradaban
3. Etika
4. Religi (Spiritualitas)
Pendidikan
Karakter
bukan tujuan,
melainkan
alat
BENARKAH TUJUAN PENDIDIKAN KARAKTER ITU
PENGEMBANGAN PERADABAN?
Teori Radiasi Budaya (Toynbee, 1957) [2]

Teknologi

Etika Seni

Spiritua-
litas
MENGAPA LEMAHNYA PERTIMBANGAN ETIS MENJADI
FAKTOR PENGHAMBAT PENDIDIKAN KARAKTER? [3]
❑ Ada tendensi di kalangan para ahli ekonomi dan manajemen
berhaluan positivistik, untuk berargumen bahwa ekonomi itu ilmu
murni dan pasar itu bekerja di luar moralitas.
❑ Maka dari itu, pertimbangan etis dalam ranah ini dianggap tak
berlaku.
❑ Di bawah pengaruh pandangan seperti itu, para pengusaha
cenderung meniadakan etika dan perilaku etis dari model bisnis
intinya.
Lanjutan….

❑ Pandangan demikian terbukti keliru. Pertama, tidak ada ilmu yg


bebas nilai. Kedua, bisnis sebagai aktivitas sosial tak bisa lepas dari
imperatif moral. Bahwa berbuat etis itu menciptakan rasa percaya
(trust).
❑ Trust menumbuhkan hubungan yang kuat; dan dari hubungan itu
lahirlah nilai (tambah).
❑ Bila kita bisa membangun hubungan yg kuat dan berkelanjutan serta
mampu menciptakan nilai (tambah) secara efektif dan efisien, tak
pelak lagi akan menghasilkan uang.
❑ Singkat kata, hidup etis dan bertindak etis itu bukanlah suatu
kemewahan yg sia-sia; malahan bisa jadi sumber daya kunci yang
powerful bagi pencapaian keunggulan kompetitif, yang dapat
menumbuhkan kemakmuran secara lebih lestari.
DAPATKAH PEMBENAHAN PROSES PENDIDIKAN
KARAKTER DIMULAI DARI PENYESUAIAN KURIKULUM
PEMBELAJARAN? [4]
❑ Mengapa pada banyak negara, termasuk China, mengubah kurikulum
pembelajaran dari spesialisasi berlebihan menuju penyiapan pembelajar
generalis yang mampu berpikir independen dan inovatif?
❑ Lewat studi komparatif secara ekstensif dan lintas-profesi, disimpulkan
bahwa kepercayaan lama tentang perlunya menekuni spesialisasi secara dini
sebagai jalan menuju sukses ternyata hanyalah suatu perkecualian
(exception), bukan ketetapan (rule).
❑ Dalam profesi dengan bidang permainan (ruang manuver) yang terbatas,
bersifat repetitif dan terukur dengan aturan yang tetap, fokus secara dini
dalam spesialisasi ini memang bisa mengantarkan sukses seperti yg diraih
Tiger Wood (dalam golf) dan Polgar bersaudara (dalam catur).
❑ Namun, dalam profesi dengan bidang permainan yang kompleks, saling
berhubungan, berubah cepat dan sulit diprediksi, spesialisasi dini tidak
menolong. Diperlukan range berfikir yang lebih luas dan adaptif dengan
konteks dan perubahan.
Lanjutan….
❑ Disrupsi kehidupan akibat perkembangan artificial intelligence (AI), big data,
dan connectivity, menambah arti penting wawasan berfikir generalis.
❑ Dengan adanya AI, keterampilan teknis-taktikal bisa ditangani lebih baik
oleh mesin. Yang dibutuhkan manusia justru kemampuan berfikir strategis
dengan pemikiran holistik.
❑ Dengan big data dan connectivity, yg diperlukan manusia adalah daya
analitis-sintetis dengan wawasan interdisiplin dan trans-disiplin.
❑ Singkat kata, kelebihan manusia atas mesin, dan yg perlu lebih ditekankan,
adalah kemampuan melihat hutan secara keseleruhan, ketimbang melihat
satuan-satuan pohon.
Semua ini ada implikasinya pada dunia pendidikan.
❑ Spesialisasi tak perlu diperkenalkan secara tergesa-gesa. Hingga tingkat
sekolah menengah tak perlu ada penjurusan.
❑ Sebaliknya, sekolah harus memberi kesempatan pada peserta dididik untuk
mengenali berbagai disiplin ilmu.
❑ Pada tingkat ini, yang perlu dilakukan adalah wawasan generalis, namun
terhubung dgn realitas hidup lewat experiencial learning.
BAGAIMANA URGENSINYA MENGGESER KURIKULUM
SEKOLAH YANG TERLALU BERPUSAT PADA KELAS KE ARAH
PEMBELAJARAN YANG LEBIH MEMPERHATIKAN
KERAGAMAN INDIVIDU? [5]
❑ Mengapa kurikulum sekolah yang terlalu berpusat pada kelas harus beringsut ke
arah pembelajaran yang lebih memperhatikan keragaman individu?
❑ Pada awal sejarah pendidikan di kebanyakan negara, kelas disusun bukanlah
berdasarkan kesamaan umur, melainkan kesamaan minat akan mata pelajaran.
❑ Alhasil, orang dari ragam usia bisa dalam kelas yang sama sejauh meminati
pelajaran yang sama. Dalam tradisi pesantren, hal itu disebut dengan
praktik bandongan atau wetonan.
❑ Sistem kelas berdasarkan kelompok usia mulai diperkenalkan di Prusia (Jerman dan
sekitarnya) pada awal abad ke-19, sebagai strategi untuk merestorasi kekuatan
militer Prusia pasca kekalahan yang memalukan dari tentara Perancis di bawah
Napoleon Bonaparte pada Perang Jena dan Auerstadt pada 1806.
❑ Dalam rangka menanamkan semangat tempur dan menumbuhkan kembali
kebanggaan Prusia sebagai bangsa gemar berperang, para pemimpin Prusia
mengorganisasikan sekolah seperti unit-unit militer.
Lanjutan….

❑ Siswa dikelompokkan ke dalam peleton-peleton berdasarkan


kesamaan umur di bawah komando seorang kepala skuadron; suatu
sistem persekolahan sebagai transisi lurus menuju pelayanan militer.
❑ Karena pertimbangan efisiensi, sistem sekolah seperti ini lantas
diadopsi berbagai negara, hingga saat ini seolah menjadi norma,
termasuk di Indonesia.
❑ Meski sistem kelas berdasarkan kelompok usia sulit dihindari, sistem
pembelajaran harus mempertimbangkan perbedaan kecerdasaan dan
preferensi siswa.
❑ Oleh karena itu, di tingkat sekolah menengah, mata pelajaran wajib
(mandatory subjects) harus dibuat ringkas, untuk memberi lebih
banyak ruang bagi pelajaran pilihan (elective subjects).
PENUTUP

❑ Dengan spirit Ketuhanan, kemanusiaan dan persatuan,


dikembangkan daya-daya spiritualitas dalam sosiabilitas yang
berperikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah dan terbebas dari
berhala materialisme-hedonisme; serta sanggup menjalin persatuan
(gotong-royong) dengan semangat pelayanan (pengorbanan).
❑ Tantangan ke depan adalah bagaimana mengembangkan ranah
material-teknologikal agar peradaban bangsa Indonesia maju dalam
penguasaan ekonomi dan teknologi.
❑ Pendidikan karakter harus berkontribusi untuk menjadikan
warganegara Indonesia memiliki visi membangun peradaban yang
maju.
REFERENSI

[1] Budimansyah, D. (2018). Proyek belajar karakter: Bahan pelatihan


penguatan pendidikan karakter di sekolah, Bandung: Widya Aksara
Press.
[2] Toynbee, A. (1957). Study of history,
[3] Witzel, M. (2018). The ethical leader: Why doing the right thing can
be the key to competitive advantage,
[4] Epstein, D. (2019). Range: Why generasts triumph in a specialized
world,
[5] Bauer, S.W. (2018). Rethinking school,

Anda mungkin juga menyukai