Anda di halaman 1dari 24

4

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Makula dan Membran Bruch

Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan


multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata.
Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan
akhirnya di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm
di belakang garis Schwalbe pada sistem temporal dan 5,7 mm di belakang garis
ini pada sisi nasal. (American Academy of Ophthalmology, 2019)

Secara garis besar retina dibagi atas 2 bagian: kutub posterior dan perifer yang
dipisahkan oleh ekuator retina. Kutub posterior sampai ekuator retina, ini
merupakan area posterior retina. Kutub posterior retina terbagi atas 2 area: optik
disk dan makula lutea. Retina perifer di posterior dibatasi oleh ekuator retina dan
anterior dengan oraserrata. Oraserrata merupakan batas yang paling perifer tempat
retina berakhir, terbagi dalam 2 bagian; anterior pars plikata dan posterior pars
plana. oraserrata juga tempat melekat vitreous dan koroid. (Kanski, 2012)

Gambar 2.1 Ketebalan dari retina

Gambar 2.2 Gambaran Gross dari retina

Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis, makula dapat


didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh
pigmen luteal atau xantofil. Definisi alternatif secara histologis adalah bagian
retina yang lapisan ganglionnya mempunyai lebih dari satu lapis sel. Secara
topografi makula terdiri dari umbo, foveola, fovea, parafovea, dan perifovea.
Umbo adalah pusat dari foveola, secara histologis terdiri dari suatu lamina basal
yang tipis, sel-sel muller dan sel kerucut. Foveola merupakan area pusat cekungan
di dalam fovea, dengan lokasi ± 4 mm ke arah temporal dan ± 8 mm ke inferior
dari pusat papil optik, dengan diameter sekitar 0,35 mm dan ketebalan sekitar 0,1
mm pada pusatnya. Berisi sel – sel kerucut, sel –sel muller, dan sel-sel glial.
Fovea adalah pusat dari makula berupa cekungan dengan diameter ± 1,5 mm.
Pada daerah ini sel kerucut akan terdorong ke rah tepi, lapisan plesiforma luar
(lapisan Henle) menjadi horisontal, sedangkan seat sel muller tersusun secara
miring. Di dalam fovea, dengan diameter 250-600µm terdapat fovea avascular

zone (FAZ). Parafovea setebal 0,5 mm mengelilingi fovea. Para fovea terdiri dari
sepuluh lapisan retina. Perifovea mengelilingi parafovea setebal 1,5 mm, area ini
merupakan bagian yang paling luar dari makula. (Khurana, 2007)

Gambar 2.3 Topografi regio makula 1. Umbo, 2. Foveola, 3. Fovea, 4.


Parafovea, 5. Perifovea

Membran Bruch adalah suatu lapisan tipis, aselular, bermatriks ekstraselular


lapis lima yang terletak antara retina dan choroid. Membran ini meluas secara
anterior ke ora serrata, dibatasi oleh saraf optik. Membran bruch terletak antara
RPE dan dasar kapiler (choriocapillaris) dan juga berperan sebagai substrat dari

RPE dan dinding kapiler. Membran bruch mempunyai keterlibatannya yang utama
dalam AMD dan penyait chorio-retina lain. (Ryan, 2017)
Membran Bruch mempunyai 5 lapisan yaitu RPE Basal Lamina, Inner
Collagenous Layer, Elastic Layer, Outer Collagenous Layer, Choriocapillaris
Basal Lamina yang pada setiap lapis mempunyai komponen penting seperti
kolagen, elastin, proteoglican dan rantai glucoaminoglican. (Ryan, 2017)
RPE Basal Lamina sebagai lapisan pertama membran bruch merupakan
lapisan dengan tebal 0.15 mikrometer yang dimana lapisannya mirip seperti
halnya pada laminas di bagian tubuh lain. Lapisan ini yang menyerupai endotel
choriocapillaris dan berisikan heparan sulfat proteoglycans dengan beberapa
sulfation motif. Pada lapisan kedua yaitu Inner Collagenous Layer yang ketebalan
1.4 mikrometer dan memiliki fiber kolagen 1,3,5 di beberapa lapis dimana
kolagen ini berhubungan dengan interaksi antar molekul. Elastic Layer atau
lapisan ketiga merupakan lapisan fiber elastin mempunyai ketebalan 0.8
mikrometer dan merupakan lapisan yang cukup panjang dari tepi nervus optik
sampai badan siliar yang teridiri dari kolagen 4, fibronekton dan beberapa
protein,berfungsi memberikan sifat pertahanan pada pembuluh darah, dan
pelindung antiangiogenik. Lapisan keempat yaitu Outer Collagenous Layer yang
mempunyai kesamaan dengan Inner Collagenous Layer. Lapisan terakhir,
Choriocapillaris Basal Lamina merupakan lapisan endotel yang mempunyai
kemampuan menghambat migrasi sel endotel ke membran brusch. (Ryan, 2017)

2.2 Fisiologi Makula dan Membran Bruch

Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu
reseptor kompleks, dan sebagai suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan
kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi
suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf
optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan. Retina mengandung sel batang lebih
dari tiga puluh kali lebih banyak dari sel kerucut (100 juta sel batang
dibandingkan 3 juta sel kerucut per mata). Makula bertanggung jawab untuk

ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian
besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1
antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal
ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Di retina perifer, banyak fotoreseptor
dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang
lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itu adalah bahwa makula terutama
digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fototopik) sedangkan
bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang,
digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik). (American
Academy of Ophthalmology, 2019)

Membran bruch yang merupakan suatu membran pada retina dimana sebagai
dinding pembuluh darah dari koroid, mempunyai fungsi utama adalah strukturnya,
seperti dinding pembuluh darah lainnya. Secara struktur, membran bruch
melongkari lebih dari setelah mata. Membran bruch juga tertarik bersama
korneosklera sesuai tekanan bola mata dan mempertahankan bentuknya. Hal ini
untuk mengakomodai volume darah koroid. Selain itu, sebagai per pada lensa
untuk akomodasi. Selain itu, Membran bruch mempunyai fungsi kedua sebagai
media transportasi cairan,nutrien dan mikromolekul yang transportasi ini dibantu
oleh RPE-lipoprotein dan RPE-Fluid Pump. Hal ini juga bila terjadi gangguan
transportasi terutama semakin berusia yaitu terjadinya deposit lipoprotein dan lesi
extraseluler diantara RPE Basal lamina dan Inner Collagenous Layer yang
penyakitnya kita sebut AMD. (Ryan, 2017)

2.2 Age-Related Macula Degeneration (AMD)

2.2.1 Definisi
Berdasarkan American Academy of Opthalmology, AMD adalah gangguan
pada makula yang dikarakteristikkan dengan satu atau lebih dari tanda-tanda
berikut: (1) terbentuknya drusen, (2) abnormalitas dari epitelium pigmen retina
seperti hipopigmentasi ataupun hiperpigmentasi, (3) atrofi geografik dan
koriokapiler, dan (4) neovaskular makulopati. National Health and Nutrition Eye
Study, mendefinisikan degenerasi makula terkait usia sebagai suatu keadaan

dimana hilangnya refleks makular, dispersi dan penggumpalan dari pigmen retina,
dan terbentuknya drusen yang berhubungan dengan ketajaman penglihatan.
(Bhutto, 2012)
2.2.2 Prevalensi
Berdasarkan WHO perkiraan pada tahun 2002, salah satu penyebab
terbanyak kebutaan di dunia adalah degenerasi makula terkait usia yang
menempati urutan ke-4 sebesar 8,7%. AMD merupakan penyebab utama
hilangnya ketajaman penglihatan dengan lebih dari 10 % pada populasi usia 65-
74 tahun dan 25 % pada populasi usia lebih dari 74 tahun. Diperkirakan 15 juta
warga negara Amerika Utara menderita AMD. Prevalensi AMD adalah 85-90%
pada AMD non eksudatif dan 10 – 15 % pada eksudatif AMD. Sekitar 10 – 20 %
dari pasien yang mengalami AMD noneksudatif akan berlanjut menjadi AMD
eksudatif, akibatnya 1,75 juta pasien dengan AMD lanjut akan kehilangan
penglihatan yang disebabkan oleh efek sekunder dari neovaskular koroid dari
AMD. (National Eye Institute, 2019; Friedman, 2004)
2.2.3 Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya degenerasi makula terkait usia,
dimana faktor risiko yang telah banyak diteliti adalah usia, ras, riwayat keluarga,
dan merokok, sedangkan beberapa faktor risiko yang mungkin lainnya adalah
jenis kelamin, status sosioekonomi, warna iris, densitas pigmen makula, katarak
dan operasinya, gangguan refraksi, rasio cup/disc, penyakit kardiovaskular,
hipertensi, kadar lemak tubuh dan asupan lemak, indeks massa tubuh, faktor
hematologi, infeksi Chlamydia pneumonia, reproduksi, degenerasi dermal
elastotic, enzim antioksidan, paparan sinar matahari, mikronutrien, asupan ikan,
dan konsumsi alkohol. Usia merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh
pada degenerasi makula terkait usia. Pada Frammingham Eye Study, 6,4 % pasien
usia 65-74 tahun dan 19,7 % pasien usia lebih dari 75 tahun memiliki tanda-tanda
AMD. Sama dengan Frammingham Eye Study, The Eye Disease Research
Prevalence Group menemukan bahwa pasien usia di atas 80 tahun memiliki
prevalensi 6 kali lipat dibandingkan dengan pasien usia 60-64 tahun. (Ryan, 2017;
; Tany, 2016)

Sedangkan AMD lebih sering terjadi pada pasien ras kaukasia dibandingkan
dengan Afrika-Amerika yang berkulit hitam, sedangkan pada orang Asia dijumpai
adanya peningkatan dibandingkan dengan dengan Afrika-Amerika yang berkulit
hitam. Penelitian kohort oleh Klein, dkk, menunjukkan prevalensi AMD pada
empat ras yaitu kulit putih(kaukasia), hitam, hipanik, dan chinese pada pasien usia
45-80 tahun adalah 2,4 % pada kulit hitam, 4,2 % pada hispanik, 4,6 % pada
chinese, dan 5,4% pada kulit putih (kaukasia). (Ryan, 2017)
Riwayat keluarga juga dapat memberikan Beberapa predisposisi terjadinya
AMDseperti faktor genetik yaitu gen CHF (kromosom 1), BF (komplemen faktor
B), C2 (komplemen 2) (kromosom 6), dan gen LOC (kromosom 10). Sekitar 10-
20% pasien dengan AMD memiliki sekurang-kurangnya satu keluarga derajat satu
yang mengalami kebutaan. Penelitian menunjukan AMD dengan kebutaan terjadi
pada sedikitnya satu orang dari orangtua atau saudara dari pasien dengan AMD.
(Ryan, 2017)
Hubungan antara merokok dengan meningkatnya resiko terjadinya AMD
telah dilaporkan pada beberapa penelitian. Perokok memiliki resiko 2,4-2,5 kali
menderita AMD dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok. Hal ini dapat
dijelaskan dengan menurunnya level CFH pada perokok sehingga terjadi aktivasi
jalur komplemen yang mengakibatkan inflamasi pada makula. (Ryan, 2017)
Walaupun tidak dapat dikatakan pasti, Data dari beberapa penelitian dengan
populasi yang banyak, termasuk the Beaver Dam study, the Third National Health
and Nutrition Examination Survey, dan the Framingham study menunjukkan
bahwa wanita lebih beresiko menderita AMD dibandingkan dengan pria. (Ryan,
2017)

10

Gambar 2.4 Faktor-faktor risiko degenerasi makula terkait usia

2.2.4 Klasifikasi
Pada penyakit AMD terdapat 2 tipe yaitu tipe kering/dry dan tipe
basah.wet. Hal ini dibedakan karena pada penampakan berbeda dan juga
penanganan berbeda.Perbedaan pada penanganan ini dikarenakan tipe basah lebih
buruk prognosa dibanding tipe kering terutama apabila tidak kita obati. Rata-rata
90% kasus degenerasi makula terkait usia adalah tipe kering. Kebanyakan kasus
ini bisa memberikan efek berupa kehilangan penglihatan yang sedang. Tipe ini
bersifat multipel, kecil, bulat, bintik putih kekuningan yang di sebut drusen dan
merupakan kunci identifikasi untuk tipe kering. Bintik tersebut berlokasi di
belakang mata pada level retina bagian luar. Drusen adalah endapan putih kuning,
bulat, diskret, dengan ukuran bervariasi di belakang epitel pigmen dan tersebar di
seluruh makula dan kutub posterior. Seiring dengan waktu, drusen dapat
membesar, menyatu, mengalami kalsifikasi dan meningkat jumlahnya. Secara

11

histopatologis sebagian besar drusen terdiri dari kumpulan lokal bahan eosinifilik
yang terletak di antara epitel pigmen dan membran Bruch; drusen mencerminkan
pelepasan fokal epitel pigmen. (Khurana, 2004)
Berdasarkan ukurannya, drusen dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu
kecil (diameter < 64µm), sedang (diameter 64-124 µm), dan besar (diameter ≥
125 µm). Berdasarkan batasnya, drusen dapat dibagi tiga yaitu keras (menyebar
dan batas tegas), lunak (tidak berbentuk/amorf dan batas tidak tegas), dan
konfluens (drusen yang bergabung jadi satu). (Ryan, 2017)
Akhir-akhir ini klasifikasi AMD dilakukan menurut kelompok peneliti Age-
Related Eye Disease Study (AREDS) berdasarkan ukuran drusen. Ukuran drusen
dapat diperkirakan dengan membandingkannya dengan kaliber vena besar di
sekitar papil yaitu kurang lebih 125 mikron dimana AMD dini: terdapat banyak
drusen kecil (diameter < 63), disertai beberapa drusen sedang (diameter 63-124),
atau kelainan epitel pigmen retina (RPE), AMD menengah: terdapat sangat
banyak drusen sedang dan paling sedikit terdapat satu drusen besar (diameter >
125 ±), atau atrofi geografikan yang tidak melibatkan sentral fovea, AMD lanjut:
adanya satu atau lebih tanda berikut: atrofi geografikan RPE dan koriokapiler
yang melibatkan sentral fovea, makulopati neovaskular seperti neo-vaskularisasi
koroid, hemorrhagic detachment retina sensoris atau RPE, eksudat lemak,
proliferasi fibrovaskular subretina dan sikatrik disiformis. (Hanafi, 2010)
Selain drusen, terdapat abnormalitas dari epitelium pigmen retina seperti
atrofi geografik, atrofi nongeografik, dan fokal hiperpigmentasi. Atrofi geografik
adalah kondisi dimana epitelium pigmen retina tidak ada yang dapat disebabkan
oleh regresi dari drusen yang lunak dan konfluens. Pada daerah atrofi geografik,
pembuluh darah koroid lebih tampak dan lapisan luar retina tampak lebih tipis.
Apabila daerah atrofi tidak luas dan menyatu, daerah atrofi tampak seperti bercak-
bercak depigmentasi yang disebut sebagai atrofi nongeografik. Peningkatan
pigmentasi diluar retina dapat menyebabkan fokal pigmentasi. (Hanafi, 2010)
Sedangkan pada Degenerasi Makula tipe eksudatif (tipe basah). Degenerasi
makula tipe ini adalah jarang terjadi namun lebih berbahaya di bandingkan
dengan tipe kering. Kira kira didapatkan adanya 10% dari semua degenerasi

12

makula terkait usia dan 90% dapat menyebabkan kebutaan. Tipe ini ditandai
dengan adanya neovaskularisasi subretina dengan tanda-tanda degenerasi makula
terkait usia yang mendadak atau baru mengalami gangguan penglihatan sentral
termasuk penglihatan kabur, distorsi atau suatu skotoma baru. Pada pemeriksaan
fundus, terlihat darah subretina, eksudat, lesi koroid hijau abu-abu di makula.
Neovaskularisasi koroid merupakan perkembangan abnormal dari pembuluh
darah pada epitel pigmen retina pada lapisan retina. Pembuluh darah ini bisa
mengalami perdarahan dan menyebabkan terjadinya scar yang dapat
menghasilkan kehilangan pusat penglihatan. Scar ini disebut dengan Scar
Disciform dan biasanya terletak di bagian sentral dan menimbulkan gangguan
penglihatan sentral permanen. (Hanafi, 2010)
2.2.5 Patofisiologi
AMD merupakan penyakit retina yang diturunkan secara autosomal
dominan dan juga dipengaruhi oleh faktor genetik maupun faktor lingkungan.
Patofisiologi pasti dari AMD masih relatif sulit untuk dipahami, dimana beberapa
penelitian terbaru meningkatkan pemahaman kita mengenai AMD. Penelitian-
penelitian terbaru memusatkan perhatian pada kompleks epitel pigmen retina,
fotoreseptor dan membran bruch. Epitel pigmen retina merupakan lapisan
metabolisme aktif yang menyokong fungsi dari fotoreseptor retina. Sel pada
pigmen ini memfagositosis lapisan luar dari sel fotoreseptor dan mengganti ulang
secara bertahap serta memproses bahan-bahan metabolisme yang digunakan untuk
fungsi fotoreseptor. (Ryan, 2017)

Seiring dengan penuaan sel pigmen retina, bahan-bahan residual


intraseluler yang mengandung lipofusin bertumpuk pada sel ini. Diperkirakan
lipofusin merupakan hasil degradasi yang tidak sempurna dari bahan-bahan
residual yang terperangkap pada lisosom sekunder. Lipofusin mengandung
sedikitnya sepuluh fluorofor yang berbeda (atom flouresen pada molekul). Eldred
dan Lasky (1993) mengidentifikasi A2E (N-retinyledin-N-retylethanolamin)
sebagai flourofor utama yang dihasilkan melalui reaksi Schiff-base dari
etanolamin dan aldehid vitamin A. Kedua substansi ini banyak terdapat di lapisan
luar retina. Telah dilaporkan A2E memiliki efek toksik melalui beberapa

13

mekanisme molekular. A2E menginduksi inhibisi enzim lisosom dengan


menghambat pompa proton tergantung ATP pada lisosom yang bakhirnya kan
meningkatkan pH melebihi pH lisosomal yang optimal untuk aktivitas enzim
lisosom. Efek lebih lanjut dari A2E adalah efek detergen akibat peningkatan
tajam konsentrasi A2E yang menginduksi disintegrasi membran- membran pada
organel khususnya lisosom dan mitokondria. Akhirnya, A2E menyebabkan efek
fototoksik. (Ryan, 2017)

Gambar 2.5 Efek Molekular yang diinduksi oleh lipofusin-A2E pada sel
pigmen retina

Pada sel pigmen retina normal, bahan –bahan residu akan dibuang melalui
pembuluh darah koriokapiler, keadaan dimana terjadi penurunan fungsi dari sel
pigmen ini akan menyebabkan deposisi bahan-bahan tersebut di antara lapisan
pigmen retina dengan membran bruch, yang tampak sebagai drusen. Peneliti
menemukan bahwa koriokapiler pada pasien-pasien AMD lebih tipis sehingga
meningkatkan kemungkinan penurunan klirens dari bahan-bahan ekstraseluler
yang berperan dalam pembentukan drusen. Drusen terdiri dari vibronectin (plasma
multifungsional dan matriks ekstraseluler), lemak, protein terkait inflamasi,
amiloid terkait protein, dan bahan-bahan lain. Penelitian terbaru menyatakan

14

bahwa pembentukan drusen dapat menginisiasi terjadinya kaskade inflamasi yang


berperan pada progresi AMD. Penelitian terhadap gen menunjukkan bahwa jalur
komplemen memiliki peranan primer. Hubungan yang kuat anatara AMD dengan
gen single nucleotide polymorfism di CFH dan PLEKHA serta LOC387715.
Berlawanan dengan faktor komplemen B yang memiliki efek protektif. (Ryan,
2017)
CFH merupakan inhibitor jalur komplemen, dimana abnormalitas dari CFH
akan mengaktivasi kaskade komplemen dan selanjutnya respon inflamasi pada
jaringan subretinal. Berdasarkan penelitian, drusen mengandung komponen
inflamasi dari kaskade ini. Sebagai tambahan, merokok akan menurunkan kadar
CFH yang secara signifikan meningkatkan resiko terjadinya AMD dibandingkan
dengan orang yang tidak merokok. Pembentukan drusen bukan hanya
mengindikasikan adanya disfungsi lapisan pigmen retina tetapi juga dapat
menunjukkan bahwa terdapat tanda hilangnya lapisan tersebut dan lapisan
fotoreseptor retina. Degenerasi lanjut dari lapisan pigmen ini dapat menyebabkan
disfungsi membran bruch yang memisahkan koriokapiler dari lapisan pigmen
retina. Kerusakan pada membran bruch akan menyebabkan peningkatan VEGF
yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah koroid abnormal
(neovaskularisasi koroid) di bawah lapisan pigmen retina. Pembuluh-pembuluh
darah ini dapat bocor dan menimbulkan perdarahan dan lama- kelamaan akan
menyebabkan terjadinya skar. Stadium akhir dari AMD eksudatif adalah
terbentuknya skar disciform pada makula yang menyebabkan kebutaan. (Ryan,
2017)

Gambar 2.6 Patogenesis AMD tipe wet

15

2.2.6 Diagnosis
Pasien dengan AMD dapat kita diagnosa dengan menanyakan amanesa dan
juga pemeriksaan fisik mata yang telah kita kerjakan sehari-hari. Pada Anamnesis,
Pasien dengan AMD sering mengeluhkan penurunan penglihatan sentral
penglihatan yang tidak disertai nyeri yang dpat terjadi secara akut ataupun
perlahan-lahan. Pasien yang mengalami perdarahan subretinal dari
neovaskularisasi AMD pada AMD eksudatif biasanya penurunan penglihatan
terjadi secara akut. Selain itu, dapat terjadi distorsi penglihatan (objek-objek
terlihat salah ukuran atau bentuk, metamorfosia), garis-garis lurus mengalmi
distorsia terutama di bagian pusat penglihatan, kehilangan kemampuan untuk
membedakan warna secara jelas, ada daerah kosong atau gelap di pusat
penglihatan (skotoma), kesulitan membaca dimana kata-kata tampak kabur atau
berbayang. (Ryan, 2017)
Secara Pemeriksaan fisik mata, AMD biasanya terjadi bilateral tetapi sering
asimetris. Ketajaman penglihatan akan menurun. Test yang dapat dilakukan
adalah test Amsler grid dan tes penglihatan warna. Test Amsler Grid, dimana
pasien diminta suatu halaman uji yang mirip dengan kertas milimeter grafis untuk
memeriksa luar titik yang terganggu fungsi penglihatannya. Kemudian retina
diteropong melalui lampu senter kecil dengan lensa khusus). Test penglihatan
warna, untuk melihat apakah penderita masih dapat membedakan warna, dan tes-
tes lain untuk menemukan keadaan yang dapat menyebabkan kerusakan pada
makula. (Kanski, 2012)
Namun secara Pemeriksaan laboratorium darah, tidak ada dari hasil
laboratorium yang dapat menegakkan diagnosa dari AMD. tetapi dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang lain seperti Angiografi flouresens (Flourescein
Angiography, FA) yang merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya kelainan pada makula oleh karena AMD. Pada
pemeriksaan ini, zat warna flouresens akan diinjeksikan secara intravenous dan
foto serial dari retina akan diambil seiring perjalanan zat tersebut melalui koroid
dan pembuluh darah retina. Abnormalitas yang dapat tampak adalah adanya

16

daerah dimana zat tersebut berkumpul (hiperfluoresens) dan daerah dimana zat
tersebut tidak tampak (hipofluoresens). (Hanafi, 2010; Mookiah, 2014)

Gambar 2.7 Angiografi Flouresens

Atrofi geografik skar laser

Detachment RPE
Tear RPE

17

Lemak Skar disciform

Perdarahan pada retina Exudative retinal Detachment

Gambar 2.8 Angiografi Flouresens pada AMD

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat membantu adalah Indocyanine green


angiography (ICGA) dan OCT. ICGA dapat digunakan untuk mengidentifikasi
Choroidal Neovascular (CNV) yang tampak sebagai daerah hiperflouresens fokal
baik ‘hot spot’ atau ‘plaque’, pemeriksaan ini jauh lebih baik dibandingkan
dengan FA karena beberapa alasan yaitu: Meningkatkan sensitivitas dalam
mendeteksi CNV dimana CNV dengan adanya perdarahan densitas rendah, cairan
atau pigmen yang kurang tampak pada FA, Membedakan CNV dengan diagnosis
lain yang memiliki presentasi yang sama terutama retinal angiomatous
proliferation (RAP) daan central serous chorioretinopathy (CSR), Identifikasi
vascular feeder complexes yang menyuplai daerah CNV. (Hanafi, 2010;
Kanagasingam, 2014)

18

Gambar 2.9 Indocyanine green angiography pada AMD

Untuk OCT sendiri, OCT sangat membantu dalam menentukan adanya


cairan subretinal dan dalam menentukan tingkat ketebalan retina. OCT
menawarkan kemampuan unik untuk menunjukkan gambaran cross sectional dari
retina yang tidak mungkin dengan teknologi pencitraan lain dan dapat membantu
dalam mengevaluasi respon dari retina dan RPE terhadap terapi dengan
memungkinkan pengamatan terhadap perubahan struktural secara akurat. (Heier,
2012; Abramoff, 2013; Mookiah, 2014)

19

Gambar 2.10 High Defenition Optical coherence tomography AMD


noneksudatif

Gambar 2.10 High Defenition Optical coherence tomography AMD


2.3.7 Tatalaksana
Tatalaksana AMD noneksudatif meliputi edukasi dan follow up,
mikronutrien, perubahan gaya hidup, dan laser fotokoagulasi. Edukasi dan follow
up merupakan hal yang penting untuk mencegah progresi AMD menjadi lebih
lanjut. Penggunaan Amsler grid penting untuk tes penglihatan pada pasien dan
dilakukan setiap hari. Amsler grid adalah suatu tes dengan garis-garis berwarna
hitam pada latar putih dengan titik fiksasi di tengah. Setiap mata diperiksa

20

berganti-gantian dengan menggunakan kacamata baca untuk mengevaluasi adanya


metamorfosia yang baru, skotoma, dan perubahan penglihatan sentral. Setiap
perubahan pada Amsler grid harus dievaluasi. (Ryan 2017)
Mikronutrien, beberapa penelitian menunjukkan kegunaan dari konsumsi
mikronutrien. The Age-Related Eye Diseases Study (AREDS) telah melakukan
penelitian pada pasien dengan AMD noneksudatif ringan dan sedang yang
diberikan suplemen antioksidan (15 mg betakaroten, 500 mg vitamin C, vitamin E
400 IU, seng 80 mg, dan tembaga 2 mg) dengan hasil adanya penurunan progresi
AMD menjadi AMD lanjut walaupun efek tersebut kecil. Data menunjukkan
kegunaan lain yaitu mencegah AMD non eksudatif menjadi eksudatif. Penelitian
lain oleh Rotterdam Study yang mencari hubungan asupan antioksidan dengan
penurunan resiko menjadi AMD pada lebih dari 4000 orang yang berusia 55 tahun
atau lebih di Belanda. Pada penelitian ini asupan tinggi betakaroten, vitamin C,
vitamin E, dan seng berhubungan dengan penurunan resiko AMD pada orang
usia tua. (Ryan 2017)
Berdasarkan American Academy of Ophtalmology, suplemen mikronutrien
yang disarankan adalah vitamin C 500 mg, vitamin E 400 IU per hari, betakaroten
15 mg, seng 80 mg, dan tembaga 2 mg. Suplemen lain adalah omega-3 long chain
polyunsaturated fatty acids (LCPUFAs:docohexaechonoic acid [DHA], dan
eicosapentaenoic acid [EPA]). (American Academy of Ophthalmology, 2019)

Tabel 1. Suplemen mikronutrien pada AMD

21

Perubahan gaya hidup, beberapa penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup


berperan dalam terjadinya AMD yaitu konsumsi makanan tinggi lemak dan
merokok. Pada pasien AMD disarankan untuk menurunkan berat badan dan
berhenti merokok. (American Academy of Ophthalmology, 2019)
Laser fotokoagulasi, terapi ini memiliki manfaat yang kurang bermakna, hal
ini telah diteliti oleh National Eye Institute sponsored the complications of Age-
Related Macular Degeneration Prevention Trial (CAPT) yang menggunakan
1052 pasien pada 22 klinik mata. (Ryan, 2017)
Berbeda dengan tatalaksana AMD noneksudatif, pada AMD eksudatif
diterapi dengan medikamentosa, thermal laser photocoagulation, photodynamic
therapy, dan terapi pembedahan. Terapi medikamentosa yang menjadi sorotan
sekarang adalah anti VEGF seperti Pegaptanib sodium, Ranibizumab,
Bevacizumab, Aflibercept. (American Academy of Ophthalmology, 2019)
Pegaptanib sodium merupakan antagonis VEGF selektif yang menstabilkan
penglihatan dan mengurangi hilangnya ketajaman penglihatan serta menurunkan
progresi terjadinya kebutaan. VEGF menyebabkan terjadinya angiogenesis dan
meningkatkan permeabilitas serta inflamasi, ketiga hal ini berperan dalam
neovaskularisasi pada AMD eksudatif. FDA telah mencanangkan penggunaan
obat anti VEGF untuk AMD eksudatif tahun 2004. Pegaptanib sodium diberikan
secara intravitreal dengan dosis 0.3 mg intravitreous selama 6 minggu. (Ryan,
2107)
Ranibizumab merupakan rekombinan IgG1-kappa isotype monoclonal
antibody fragment yang berkerja dengan mengikat VEGF-A sehingga mencegah
VEGF berikatan dengan reseptornya (seperti VEGFR1, VEGFR2) pada
permukaan sel endotel sehingga mencegah proliferasi, kebocoran vaskular, dan
pembentukan pembuluh darah baru. Ranibizumab diberikan secara intravitreal
dengan dosis 0,5 mg setiap bulan dan dapat diberikan setiap 3 bulan kemudian
setelah 4 suntikan. (Jager, 2008)
Bevacizumab merupakan monoklonal antibodi dari murin yang menghambat
angiogenesis dengan menghambat VEGF. Secara farmakologi ekonomi, obat ini
lebih menguntungkan karena memiliki harga yang lebih murah. The National Eye

22

Institute melakukan penelitian yang membandingkan keamanan dan kegunaan


dari kedua obat ini, dan didapatkan bahwa baik keamanan dan kegunaan pada
kedua obat ini sama- sama menimbulkan meningkatkan ketajaman penglihatan
setelah 1 tahun. Bevacizumab diberikan secara intravitreal dengan dosis 1.25 mg
(dalam larutan 0.05mL) setiap bulan. (Jager, 2008)
Aflibercept berikatan dan mencegah aktivasi VEGF dan PIGF (placental
growth factor). Aktivasi VEGF-A dan PIGF akan menyebabkan terjadinya
neovaskularisasi. Aflibercept diberikan secara intravitreal dengan dosis 2 mg
(0,05 ml) setiap bulan selama 3 bulan pertama, dan 2 mg setiap 2 bulan. (Jager,
2008)
Thermal laser photocoagulation biasanya digunakan untuk CNV diluar fovea
dan untuk terapi beberapa varian dari AMD eksudatif termasuk RAP)dan
polypoidal choroidal vasculopathy. Walaupun data dari MPS untuk subfoveal
CNV menyatakan bahwa laser fotokoagulasi lebih baik dari observasi tetapi
kebanyakan dokter tidak melakukannya karena menginduksi skotoma sentral
iatrogenik. (Ryan, 2017)
Photodynamic therapy(PDT), untuk mencegah skotoma pada subfoveal
CNV, para dokter beralih ke PDT. Setalh menginjeksikan tinta fotosensitif dan
menunggu sampai tinta untuk mengkonsentrasi CNV patologis, fotosensitisiser
akan terstimulasi oleh cahaya dengan panjang gelombang spesifik yang di arahkan
ke CNV. Tinta akan bereaksi dengan air untuk menghasilkan oksigen dan radikal
bebas hidroksil yang kemudian akan menginduksi oklusi dari pembuluh darah
patologis akibat aktivasi masif dari platelet dan thrombosis. Tinta yang dapat
digunakan adalah verteporfirin. Verteporfirin merupakan porfirin yang
dimodifikasi dengan tingkat absorpsi pada 689 nm yang diberikan secara
intravena sampai 10 menit. (Ryan, 2017)
Tindakan pembedahan submakular tidak menunjukkan mamfaat yang
signifikan dibandingkan observasi. Hal ini telah diteliti oleh National Eye Institute
yang membandingkan tindakan pembedahan dengan observasi selama 2 tahun.
(American Academy of Ophthalmology, 2019)

23

2.2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding juga tetap perlu dilakukan untuk dapat mendiagnosa
dengan benar.Hal ini bertujuan karena perbedaan terapi itu sendiri. Pada penyakit
AMD tipe kering terdapat beberapa diagnosa banding seperti CSCR dapat
dibedakan dengan AMD tipe kerinhdengan usia di bawah 50 tahun, apabila lebih
dari 50 tahun, CSCR dibedakan dengan tidak adanya drusen, atrofi lapisan RPE,
dan serous detachment RPE multipel atau dapat juga Pattern dystrophy of RPE
dapat dibedakan dengan AMD tipe kering dengan adanya pewarnaan kuning
lambat pada pemeriksaan FA dan pasien muda. Walaupun jarang, Toksisitas obat
seperti klorokuin dapat sebagai diagnosa banding dengan AMD tipe kerinhf
dengan adanya riwayat penggunaan obat dan tidak dijumpai adanya drusen ukuran
besar. (American Academy of Ophthalmology, 2019)
Sedangkan untuk Diagnosis banding AMD tipe basah, ada beberapa
diagnosa banding yang dapat kita pikirkan seperti Makroaneurisma arteri retina,
Vitelliform detachments, Polypoidal choroidal vasculopathy, Central serous
chorioretinopathy, Inflammatory conditions, Small tumor such as choroidal
melanoma. (Kanski, 2012)
2.3.9 Prevensi
Beberapa prevensi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya AMD
adalah dengan tidak merokok baik aktif maupun pasif, melindungi mata dari
paparan sinar matahari dengan menggunakan kacamata hitam ataupun topi,
mengkonsumsi makanan yang mengandung antioksidan yang tinggi,
mengkonsumsi ikan 1-2 ekor per hari, mengkonsumsi sayuran hijau seperti bayam
setiap hari, konsumsi sumplemen tambahan yang mengandung asam folat 2,5
mg/hari, piridoksin 50 mg/hari, dan vitamin B12 1 mg/hari. (Bhutto, 2012)

2.3.10 Prognosis
Perkembangan kehilangan penglihatan pada AMD noneksudatif bervariasi
dan harus dievaluasi secara individual. Gambaran oftalmoskopik dari makula
tidak berkorelasi langsung dengan derajat kehilangan penglihatan. Keterlibatan
foveal adalah awal dari proses atrofik, tetapi interval rata-rata dari pengamatan
pertama hingga kebutaan adalah 9 atau 10 tahun.Prognosis untuk AMD

24

noneksudatif secara signifikan lebih baik daripada prognosis untuk AMD


eksudatif. Pasien mungkin. (Bhutto, 2012)
The AREDS membuat skala berdasarkan ada atau tidaknya kelainan retina
pada masing-masing mata yaitu Terdapat satu atau lebih drusen ukuran besar (1
poin), Terdapat gangguan pigmen (1 poin), Pada pasien tanpa drusen ukuran
besar, terdapat drusen ukuran sedang (1 poin), Terdapat neovaskular AMD (2
poin). Faktor-faktor risiko dijumlahkan pada kedua mata dan dijumpai angka 0-4
yang dapat digunakan untuk perkiraan resiko untuk menjadi AMD lanjut dalam 5
-10 tahun. (Harabi, 2012)

Risiko 5 tahun Risiko 5 tahun


mendatang mendatang
0 faktor 0,5 % 1%
1 faktor 3% 7%
2 faktor 12% 22 %
3 faktor 25 % 50 %
4 faktor 50 % 67 %

Tabel 2 Risiko 5 tahun dan 10 tahun AMD menjadi AMD lanjut

2.3 Kualitas Hidup

Gangguan penglihatan yang terjadi pada penderita AMD tentunya sangat


mempengaruhi kualitas hidup baik secara finansial maupun interaksi sosial.
Seseorang dengan gangguan penglihatan dapat menghadapi beberapa kondisi
seperti depresi akibat aktivitas rutin terganggu. Penderita low vision terjadi
penurunan kualitas hidup yang juga sejalan dengan kejadian kondisi depresi. Hal
ini dipicu karena penderita kesulitan dalam melakukan aktivitas harian. (Yuzawa,
2013)

Sebuah studi trial dari Yuzawa et al meneliti bagaiman hubungan penglihatan


dengan kualitas hidup pasien AMD menggunakan kuisioner The 25-item National
Eye Institute Visual Functioning (VFQ-25) . Hasil studi menyebutkan penurunan

25

visus dikaitkan erat dengan penurunan kualitas hidup. Hasil skor menunjukan
adanya penurunan berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari. (Yuzawa, 2013)

Kuisioner VFQ-25 merupakan sebuah alat yang spesifik terhadap pengukuran


catatan mandiri (self reported) akan status kesehatan mental penderita
dihubungkan kualitas penglihatan khususnya pada penderita penyakit mata kronis.
Originalitas kuisioner ini adalah dalam bahasa Inggris, namun telah banyak di
terjemahkan ke bahasa lain dan tervalidasi . kuisioner ini terdiri dari 25 bagian
dibagi menjadi 12 kategori. (Matamoros, 2015)

Beberapa studi serupa mendokumentasikan perkembangan karakteristik


psikologis penderita melalui metode kuisioner VFQ-25. Kuisioner VFQ-25 dinilai
sangat membantu dalam mengukur kualitas hidup pasien AMD dan hubungannya
dengan terapi AMD. Kuisioner ini telah banyak digunakan di belahan penjuru
dunia dengan indikasi kelainan optalmologi yang berbeda – beda. (Matamoros,
2015)

2.4 Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti


berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga
merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta
kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi dan melakukan
evaluasi. (Jeffris. 2012)

Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) ini awalnya


dikembangkan untuk skrining demensia, namun sekarang digunakan secara luas
untuk pengukuran fungsi kogntif secara umum. Pemeriksaan MMSE kini adalah
instrumen skrining yang paling luas digunakan untuk menilai status kognitif dan
status mental pada usia lanjut. (Sjahrir, 2001)

Sebagai satu penilaian awal, pemeriksaan MMSE adalah tes yang paling
banyak dipakai. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah tes yang paling
sering dipakai saat ini. Penilaian dengan nilai maksimal 30, cukup baik dalam

26

mendeteksi gangguan kognitif, menetapkan data dasar dan memantau penurunan


kognitif dalam kurun waktu tertentu. Skor MMSE normal 24 – 30. Bila skor
kurang dari 24 mengindikasikan gangguan fungsi kognitif. (Sjahrir, 2001)

Instrumen ini disebut “mini” karena hanya fokus pada aspek kognitif dari
fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan tentang mood, fenomena mental
abnormal dan pola pikiran. MMSE menilai sejumlah domain kognitif, orientasi
ruang dan waktu, working and immediate memory, atensi dan kalkulasi, penamaan
benda, pengulangan kalimat, pelaksanaan perintah, pemahaman dan pelaksanaan
perintah menulis, pemahaman dan pelaksanaan perintah verbal, perencanaan dan
praksis. Instrumen ini direkomendasikan sebagai screening untuk penilaian
kognitif global oleh American Academy of Neurology. (Sjahrir, 2001)

Pada beberapa studi menunjukan bahwa penyakit AMD dapat meyebabkan


penurunan fungsi kognitif pasien tersebut dan ini juga dinyatakan bahwa semakin
buruk penyakit maka semakin buruk juga Fungsi kognitif yang menurun.
(Rozzini, 2014)

MMSE yang merupakan kuisioner dapat membantu dalam menentukan


seberapa tingkat fungsi kognitif pasien dengan penyakit AMD ini. (Larner, 2015)

27

Anda mungkin juga menyukai