Anda di halaman 1dari 20

DEGENERASI MAKULA TERKAIT USIA

(AGE-RELATED MACULAR DEGENERATION)

I Wayan Ardy Paribrajaka

Pembimbing :

dr. Ni Luh Diah Pantjawati, Sp.M

PROGRAM DOKTER ORIENTASI


SMF ILMU KESEHATAN MATA
RUMAH SAKIT MATA BALI MANDARA
2018

1
PENDAHULUAN

Degenerasi makula adalah suatu keadaan dimana makula mengalami kemunduran sehingga

terjadi penurunan ketajaman penglihatan yang akan menyebabkan hilangnya fungsi

penglihatan sentral. Makula adalah pusat dari retina dan merupakan bagian yang paling vital

dari retina yang memungkinkan mata melihat detil-detil halus pada pusat lapang pandang.

Tanda utama dari degenerasi pada makula adalah didapatkan adanya bintik-bintik abu-abu atau

hitam pada pusat lapangan pandang. Kondisi ini biasanya berkembang secara perlahan-lahan

tetapi kadang berkembang secara progresif sehingga menyebabkan kehilangan penglihatan

yang sangat berat pada satu atau kedua mata (American Academy of Ophthalmology, 2015-

2016).

Berdasarkan American Academy of Ophthalmology, penyebab utama penurunan

penglihatan atau kebutaan di Amerika, yaitu umur yang lebih dari 50 tahun. Data di Amerika

Serikat menunjukkan, 15 persen penduduk usia 75 tahun ke atas mengalami degenerasi makula.

Bentuk yang paling sering terjadi adalah Age-Related Macular Degeneration (AMD) atau

Degenerasi Makula Terkait Usia (American Academy of Ophthalmology, 2015-2016). Secara

sederhana, AMD terbagi atas stadium dini dan lanjut. AMD stadium lanjut terbagi lagi menjadi

atrofi geografik (tipe non-eksudatif) dan eksudatif (Vaughan & Asbury, 2009). Kedua jenis

AMD tersebut biasanya mengenai kedua mata secara bersamaan dan menyebabkan kerusakan

penglihatan yang berat (misalnya kehilangan kemampuan untuk membaca dan mengemudi)

tetapi jarang menyebabkan kebutaan total. Penglihatan pada tepi luar dari lapang pandang dan

kemampuan untuk melihat biasanya tidak terpengaruh, yang terkena hanya penglihatan pada

pusat lapang pandang (American Academy of Ophthalmology, 2015-2016). Gejala klinis

AMD, umumnya ditandai dengan terjadinya kehilangan fungsi penglihatan secara tiba-tiba

ataupun secara perlahan, pada salah satu mata terlebih dahulu lalu pada kedua mata, tanpa rasa

nyeri (Ilyas Sidharta & Yulianti SR, 2014). Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,

2
gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik mata secara komprehensif, pemeriksaan penunjang

seperti Optical Coherence Tomography (OCT), Angiogram Fluoresein, dan Foto Fundus

(Vaughan & Asbury, 2009).

Sejauh ini, terapi AMD bersifat profilaksis untuk tipe noneksudatif. Pemberian vitamin

dan antioksidan oral hanya mampu membantu memperlambat progresivitas penyakit. Untuk

beberapa kasus AMD eksudatif, terapi laser bisa membersihkan pembuluh darah abnormal

sehingga kekaburan penglihatan dapat dicegah. Tetapi tidak semua kasus bisa diatasi dengan

terapi laser. Faktor risiko gangguan ini selain karena usia tua, juga riwayat keluarga (genetik),

ras kaukasia serta merokok (Vaughan & Asbury, 2009. AREDS, 2012).

3
DEFINISI

Secara umum, degenerasi makula digambarkan sebagai suatu keadaan dimana makula

mengalami kemunduran sehingga terjadi penurunan ketajaman penglihatan yang akan

menyebabkan hilangnya fungsi penglihatan sentral. Namun, terdapat juga berbagai definisi lain

yang dibuat untuk menggambarkan suatu kelainan atau degenerasi makula tersebut. Beberapa

penelitian menyebutkan beberapa definisi degenerasi makula terkait usia, sebagai berikut

(American Academy of Ophthalmology, 2015-2016) :

1. Fermingham Eye Study : mata didiagnosis mengalami suatu degenerasi makula terkait

usia jika visus 6/9 atau kurang, dan dari hasil pemeriksaan oftalmologis didapatkan

perubahan makula atau polus posterior yang diakibatkan oleh proses penuaan.

2. National Health and Nutrition Eye Study : degenerasi makula terkait usia adalah

hilangnya refleks makula, dispersi pigmen, dan drusen di daerah makula yang

berhubungan dengan visus 6/12 atau kurang, yang diduga timbul akibat kelainan

tersebut.

3. Gisborne Study : Degenerasi pada makula jika visus yang terkena 6/9 atau lebih buruk

dan degenerasi makula terkait usia diidentifikasi sebagai penyebabnya dengan

karakteristik usia ≥ 65 tahun.

EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan American Academy of Ophthalmology, penyebab utama penurunan penglihatan

atau kebutaan di Amerika, yaitu umur yang lebih dari 50 tahun. Data di Amerika Serikat

menunjukkan, 15 persen penduduk usia 75 tahun ke atas mengalami degenerasi makula.

Bentuk yang paling sering terjadi adalah Age-Related Macular Degeneration (AMD) atau

Degenerasi Makula Terkait Usia. Di Amerika Utara, diperkirakan sekitar 15 juta jiwa (85%-

90% dari seluruh penderita degenerasi makula terkait usia), saat ini menderita degenerasi

makula terkait usia non-eksudatif dan 1,7 juta jiwa (10%-15% dari seluruh penderita

4
degenerasi makula terkait usia) menderita degenerasi makula terkait usia eksudatif. Sekitar

200.000 kasus degenerasi makula terkait usia eksudatif bermunculan setiap tahunnya di

Amerika Utara (American Academy of Ophthalmology, 2015-2016).

ANATOMI DAN FISIOLOGI RETINA

Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang melapisi

bagian dalam dua per-tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke anterior sejauh

korpus siliare dan berakhir pada ora serrata dengan tepi yang tidak rata. Pada orang dewasa,

ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm

pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen

retina sehingga berhubungan juga dengan membran Bruch, koroid, dan sklera. Retina

Gambar 1. Penampang sagital bola mata


mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub posterior. Di tengah-tengah

retina posterior terdapat makula berdiameter 5 – 5,6 mm. Di tengah makula terdapat fovea yang

secara klinis merupakan cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan

oftalmoskop (Vaughan & Asbury, 2009).

5
Retina adalah bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsang

cahaya, terdiri atas lapisan-lapisan, dari luar ke dalam, yaitu (Ilyas Sidharta & Yulianti SR,

2014) :

1. Lapisan epitel pigmen retina.

2. Lapisan fotoreseptor, terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping dan sel

kerucut.

3. Membran limitan eksterna.

4. Lapisan inti luar fotoreseptor.

5. Lapisan pleksiform luar yang mengandung sambungan sel bipolar dan sel horizontal

dengan fotoreseptor.

6. Lapisan inti dalam yang mengandung badan-badan sel bipolar, sel amakrin, dan horizontal.

7. Lapisan pleksiform dalam yang mengandung sambungan sel ganglion dengan sel amakrin

dan sel bipolar.

8. Lapisan sel ganglion.

9. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju

saraf optik.

10. Membran limitan interna.

Gambar 2. Lapisan-lapisan retina

6
Retina menerima darah dari dua sumber, yaitu koriokapilaris yang berada tepat di luar

membran Bruch, yang menperdarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiform luar dan

lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina, serta cabang-cabang dari arteri

retina sentralis yang memperdarahi dua per tiga sebelah dalam (Ilyas Sidharta & Yulianti SR,

2014).

Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optik, sebagai suatu reseptor

kompleks, dan sebagai suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan

fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang

dihantarkan oleh lapisan serabut saraf retina melalui saraf optik, dan akhirnya ke korteks

penglihatan oksipital. Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga kerapat sel kerucut di

pusat makula (fovea), menipis di bagian perifer, sedangkan sel batang meningkat di bagian

perifer. Fovea berperan dalam ketajaman penglihatan dan penglihatan warna yang baik, serta

sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1

antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin

penglihatan yang paling tajam. Di retina perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel

ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari

susunan seperti itu adalah bahwa makula terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan

warna (penglihatan fototopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari

fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).

Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler pada retina sensorik

dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mencetuskan proses penglihatan.

Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung redopsin, yang merupakan suatu pigmen

penglihatan fotosensitif yang terbentuk sewaktu molekul protein opsin bergabung dengan 11-

sis-retinal (Vaughan & Asbury, 2009).

7
Sewaktu foton cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami

isomerisasi menjadi bentuk ali-trans. Redopsin adalah suatu glikolipid membran yang separuh

terbenam di lempeng membram lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor. Penyerapan

cahaya puncak oleh terjadi pada panjang gelombang sekitar 500 nm, yang terletak di daerah

biru-hijau pada spektrum cahaya. Penelitian-penelitian sensitivitas spektrum fotopigmen

kerucut memperlihatkan puncak penyerapan panjang gelombang di 430, 540, dan 575 nm

masing-masing untuk sel kerucut peka-biru, hijau, dan merah. Fotopigmen sel kerucut terdiri

dari 11-sis retinal yang terikat ke berbagai protein opsin (Vaughan & Asbury, 2009).

Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang. Pada bentuk

penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa abu-abu, tetapi warna tidak

dapat dibedakan. Sewaktu retina telah beradaptasi penuh terhadap cahaya, sensitivitas spectral

retina bergeser dari puncak dominasi rodopsin 500 nm ke sekitar 560 nm, dan muncul sensasi

warna. Suatu benda akan berwarna apabila benda tersebut mengandung fotopigmen yang

menyerap panjang-panjang gelombang dan secara selektif memantulkan atau menyalurkan

panjang-panjang gelombang tertentu di dalam spektrum sinar tampak (400-700 nm).

Penglihatan siang hari terutama diperantarai oleh fotoreseptor kerucut, senjakala oleh

kombinasi sel kerucut dan batang, dan penglihatan malam oleh fotoreseptor batang (Vaughan

& Asbury, 2009).

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi terjadinya AMD belum diketahui dengan pasti sampai saat ini. Ada

beberapa teori yang menjelaskan proses penyakit ini, antara lain (Kinshuck D. & Hope M.,

2012) :

1. Proses Penuaan

8
Bagian paling luar dari sel fotoreseptor yang berbentuk kepingan sering di “makan” oleh Epitel

Pigmen Retina (EPR) dengan pola diurnal, yaitu kepingan terluar sel batang dimakan pada siang

hari dan kepingan terluar sel kerucut dimakan pada malam hari. Kepingan yang tidak

terfagositosis akan tertimbun dalam EPR yang disebut lipofusin. Lipofusin akan menghambat

degradasi makromolekul seperti protein dan lemak, mempengaruhi ekspresi gen yang mengatur

keseimbangan antara Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dengan produksi Pigment

Epithelial Derived Factor yang merupakan zat anti angiogenik, serta bersifat fotoreaktif,

akibatnya menimbulkan terjadinya apoptosis EPR. Lipofusin yang tertimbun dalam sel EPR akan

mengurangi volume sitoplasma, sehingga makin menurunkan kemampuan EPR untuk

memfagositosis sel fotoreseptor. Lipofusin tertimbun diantara sitoplasma dan membran basalis

sel EPR, membentuk lapisan yang disebut Basal Laminar Deposit, yang ikut bertanggungjawab

dalam penebalan membran Bruch.

2. Teori Iskemia

Angiogenesis terjadi karena adanya iskemik pada jaringan yang memacu timbulnya suatu agen

angiogenik antara lain VEGF. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pada AMD, iskemia tidak

memegang peranan yang penting. Sel fotoreseptor hanya terpapar oleh sedikit oksigen,

sedangkan EPR terpapar olek oksigen dalam konsentrasi yang sangat tinggi. Pada kenyataannya,

sel fotoreseptor tidak memproduksi VEGF, justru sel EPR yang memproduksi VEGF dalam

jumlah besar. Disamping itu, ditemukan pula tanda-tanda adanya sel-sel radang pada jaringan

Choroid Neovascular (CNV) yang dieksisi, sehingga diduga bahwa lebih besar kemungkinannya

CNV tumbuh sebagai reaksi perbaikan luka dari pada sebagai reaksi terhadap iskemia tersebut.

3. Teori Kerusakan Oksidatif

Kerusakan oksidatif terjadi karena terbentuknya zat yang disebut Reactive Oxygen Substance

(ROS) yang dihasilkan oleh oksidasi pada mitokondria. Adanya ROS menimbulkan gangguan

metabolisme intrasel, antara lain metabolisme protein dan lemak. Lemak yang sangat rentan

9
terhadap kerusakan oksidatif adalah asam lemak tak jenuh ganda. Sel EPR yang mengalami

kerusakan oksidatif akan memproduksi VEGF dalam jumlah besar, yang memacu timbulnya

CNV. Retina sangat mudah mengalami kerusakan oksidatif karena beberapa alasan, yakni

(Spaide R, 2006) :

- Bagian luar fotoreseptor mengandung sangat banyak asam lemak tak jenuh ganda.

- Bagian dalam sel batang mengandung sangat banyak mitokondria yang dapat membocorkan

ROS.

- Penyediaan oksigen yang sangat tinggi pada koroid.

- Paparan terhadap sinar menimbulkan proses foto-oksidatif oleh ROS.

ETIOLOGI

Degenerasi makula dapat disebabkan oleh beberapa faktor dan dapat diperberat oleh beberapa

faktor risiko, diantaranya (AREDS, 2012) :

1. Umur

Faktor risiko yang paling berperan pada terjadinya AMD adalah umur. Meskipun degenerasi

makula dapat terjadi pada orang muda, penelitian menunjukkan bahwa umur di atas 60 tahun

berisiko lebih besar menjadi AMD dibanding dengan orang muda. Hanya 2% saja yang dapat

menderita AMD pada orang muda tapi risiko ini meningkat 30% pada orang yang berusia di

atas 70 tahun.

2. Genetik

Penyebab kerusakan makula adalah Complement Factor H (CFH), gen yang telah bermutasi

atau faktor komplemen H yang dapat dibawa oleh para keturunan penderita penyakit ini. CFH

terkait dengan bagian dari sistem kekebalan tubuh yang meregulasi peradangan.

3. Merokok.

4. Ras Kulit Putih (Kaukasian).

10
5. Riwayat Keluarga

Risiko seumur hidup terhadap pertumbuhan AMD adalah 50% pada orang-orang yang

mempunyai hubungan keluarga dengan penderita penyakit ini dan hanya 12% pada mereka

yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan penderita AMD.

6. Hipertensi dan Diabetes Melitus

AMD menyerang para penderita penyakit diabetes mellitus dan atau tekanan darah tinggi

karena mudah pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil (trombosis) di sekitar retina.

Trombosis mudah terjadi akibat penggumpalan sel-sel darah merah dan penebalan pembuluh

darah yang halus.

7. Paparan terhadap sinar matahari, obesitas, dan kadar kolesterol tinggi.

KLASIFIKASI

1. Degenerasi Makula Non-Eksudatif (Dry Age Macular Degeneration)

Sekitar 85% kasus AMD adalah tipe non-eksudatif, dimana jumlah penderita antara laki-laki

dan perempuan adalah sama (Life E, 2012). Karakteristik dari AMD tipe ini adalah adanya

bercak-bercak kekuningan dan pembuluh darah yang tampak melebar di sekitar makula.

Bercak kekuningan ini dikenal dengan drusen. Drusen secara klinis digambarkan sebagai

endapan kuning, yang terletak di dalam membrane Bruch, bervariasi dalam ukuran dan bentuk,

bias secret atau menggumpal (Alberti WE, et al, 2011).

Gambar 3. Fotografi fundus dry AMD

11
Menurut ukurannya, drusen dibagi menjadi ukuran kecil (kurang dari 64 um), ukuran

sedang (antara 64 -125 um), ukuran besar (lebih dari 125 um). Selain ukuran, drusen juga dapat

dibedakan menurut bentuknya, yakni hard drusen (drusen keras) dan soft drusen (lunak).

Drusen keras merupakan residual bodies yang bertanggung jawab terhadap penebalan

membran Bruch, yang berhubungan dengan adanya deposit lamina basalis. Drusen lunak

merupakan timbunan membranosa dan vesikel yang berhubungan dengan deposit lamina

basalis. Biasanya ukurannya lebih besar dari drusen keras dan batasnya kurang tegas. Pada

angiografi fluoresin, drusen keras akan tampak sebagai bercak-bercak hiperfluoresensi yang

terang, sedangkan drusen lunak akan muncul sebagai daerah hiperfluoresensi lebih lambat dan

kurang terang dibanding drusen keras (Degner L, 2012).

Drusen keras ditemukan pada 95,5% individu berumur lebih dari 49 tahun, tetapi

sebagian besar hanya berupa drusen kecil yang jumlahnya tidak banyak. Drusen keras bisa

mengalami regresi spontan, dapat membesar atau menyatu dengan drusen disebelahnya atau

menimbulkan atrofi sel EPR yang ada diatasnya. Regresi spontan ini dapat menimbulkan atrofi

geografik EPR apabila daerahnya luas, sehingga corak pembuluh darah koroid dibawahnya

dapat terlihat dan dapat berkembang membentuk neovaskularisasi koroid (Degner L, 2012).

Perubahan lain yang dapat terjadi adalah hipopigmentasi dan hiperpigmentasi.

Hiperpigmentasi terjadi karena hipertrofi EPR dan sel makrofag yang mengandung pigmen

melanin mengalami migrasi ke arah fotoreseptor. Hipopigmentasi terjadi karena depigmentasi

di sekitar EPR yang mengalami hiperpigmentasi. Secara klinis, atrofi retina geografik tampak

sebagai daerah hipopigmentasi atau depigmentasi atau hilangnya EPR yang berbentuk bulat

atau oval dan berbatas tegas. Atrofi geografik merupakan penyebab kehilangan ketajaman

sentral sebesar 12% sampai 21% dari seluruh kehilangan penglihatan sentral yang diakibatkan

AMD (Degner L, 2012).

12
2. Degenerasi Makula Eksudatif (Wet Age Macular Degeneration)

Degenerasi makula eksudatif diperkirakan ada sekitar 1,7 juta orang atau 10% - 15% dari total

pasien AMD di Amerika Utara1. Diperkirakan juga terdapat 200.000 kasus AMD eksudatif

muncul setiap tahunnya di negara ini (American Academy of Ophthalmology, 2015-2016).

Tipe ini ditandai oleh adanya neovaskularisasi koroid atau pelepasan epitel pigmen retina

serosa. Pembuluh-pembuluh baru ini tumbuh jauh dari tempat masuknya ke dalam ruang

Gambar 1.4 Fotografi fundus wet AMD

subretina untuk membentuk membrane neovaskuler koroid. Pelepasan epitel pigmen retina

serosa dapat menyebabkan influks materi proteinseosa melalui bidang yang terpecah pada

lokasi drusen. Pelepasan epitel pigmen retina setempat juga dapat terjadi akibat bocornya

cairan serosa koroid melalui defek-defek kecil di membran Bruch. Epitel pigmen retina yang

terlepas dapat rata kembali secara spontan, dengan kondisi penglihatan yang bervariasi, tetapi

pelepasan ini biasanya akan menyisakan suatu daerah atrofi geografik (Vaughan & Asbury,

2009).

GEJALA KLINIS

Penderita AMD non-eksudatif biasanya memiliki gejala yang ringan, dengan keluhan kabur

lapangan pandang sentral yang minimal, gangguan kontras, dan metamorphopsia ringan.

Sedangkan penderita AMD eksudatif biasanya mengeluh kabur lapangan pandang sentral yang

13
progresif tanpa rasa nyeri, dan dapat timbul secara akut atau tanpa disadari. Pasien yang

mengalami perdarahan subretina akibat CNV biasanya mengeluhkan onset yang akut. Pasien

dengan membrane CNV yang tidak jelas mungkin mengalami perdarahan subretina atau akibat

lepasnya epitel pigmen retina (Kinshuck D, & Hope M, 2012).

DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik mata yang

komprehensif, gejala klinik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang

dimaksud adalah sebagai berikut (American Academy of Ophthalmology, 2015-2016) :

1. Optical Coherence Tomography (OCT)

OCT berperan penting dalam diagnosis dan tatalaksana AMD, terutama untuk

menentukan cairan pada subretina dan menentukan derajat ketebalan retina (Brancato R,

& Lumbroso B, 2008).

2. Angiografi Fluoresein

Angiografi fluoresein bertujuan untuk mendeteksi penyebaran, ukuran, tipe, dan lokasi

CNV serta membantu dalam pemilihan tata laksana.

3. Fotografi Fundus

Fotografi fundus berguna dalam menentukan posisi dan mengevaluasi epitel pigmen

retina yang lepas.

4. Test Amsler Grid

Untuk memeriksa gangguan penglihatan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan atau

gangguan pada makula.

DIAGNOSIS BANDING

AMD yang terjadi secara sekunder terhadap penyakit lainnya yang berhubungan dengan

kerusakan membrane Bruch atau epitel pigmen retina, diantaranya (Cook H.L., et al, 2008) :

14
1. Miopia Patologis.

Pasien dengan miopian patologis memiliki risiko untuk mengalami pembentukan

neovaskularisasi koroid yang mirip dengan AMD, namun sebagian besar miopia

patologis terjadi pada usia lebih muda dengan perbedaan perjalan penyakit dan respon

terhadap terapi daripada AMD.

2. Penyakit Infeksi pada Mata

Beberapa penyakit infeksi pada mata juga memiliki risiko memunculkan

neovaskularisasi koroid tetapi beberapa tanda dan gejala fase akutnya tidak muncul pada

AMD.

3. Distrofi Makula Bawaan.

PENATALAKSANAAN

Tidak ada terapi khusus untuk AMD non-eksudatif. Terapi terhadap pasien AMD non-

eksudatif diutamakan untuk mencegah progresivitas penyakit. Penglihatan dimaksimalkan

dengan alat bantu penglihatan. Pasien diyakinkan bahwa meski penglihatan sentral

menghilang, penyakit ini tidak menyebabkan hilangnya penglihatan perifer. Ini penting karena

banyak pasien takut mereka akan menjadi buta total (Pearse A, et al, 2011).

Pada sebagian kecil pasien dengan AMD eksudatif yang pada angiogram fluoresen

memperlihatkan membran neovaskular subretina yang terletak eksentrik (tidak sepusat)

terhadap fovea, mungkin dapat dilakukan obliterasi membran tersebut dengan terapi laser

argon. Membran vaskular subfovea dapat diobliterasi dengan terapi fotodinamik (PDT) karena

laser argon konvensional akan merusak fotoreseptor di atasnya. PDT dilakukan dengan

menyuntikkan secara intravena bahan kimia serupa porfirin yang diaktivasi oleh sinar laser

nontermal saat sinar laser berjalan melalui pembuluh darah di membran subfovea. Molekul

15
yang teraktivasi menghancurkan pembuluh darah namun tidak merusak fotoreseptor.

Sayangnya kondisi ini dapat terjadi kembali bahkan setelah terapi laser (Pearse A, et al, 2011).

Apabila tidak ada neovaskularisasi retina, tidak ada terapi medis atau bedah untuk

pelepasan epitel pigmen retina serosa yang terbukti bermanfaat. Pemakaian interferon alfa

parenteral, misalnya, belum terbukti efektif untuk penyakit ini. Namun apabila terdapat

membran neovaskular subretina ekstrafovea yang berbatas tegas (200 um dari bagian tengah

zona avaskular fovea), diindikasikan fotokoagulasi laser. Dengan angiografi dapat ditentukan

dengan tepat lokasi dan batas-batas membran neovaskular yang kemudian diablasi secara total

oleh luka-luka bakar yang ditimbulkan oleh laser. Fotokoagulasi juga menghancurkan retina di

atasnya tetapi bermanfaat apabila membran subretina dapat dihentikan tanpa mengenai fovea

(Pearse A, et al, 2011).

Fotokoagulasi laser kripton terhadap neovaskularisasi subretina avaskular fovea (200

um dari bagian tengah zona avaskular fovea) dianjurkan untuk pasien nonhipertensif. Setelah

fotokoagulasi membran neovaskular subretina berhasil dilakukan, neovaskularisasi rekuren di

dekat atau jauh dari jaringan parut laser dapat terjadi pada separuh kasus dalam 2 tahun.

Rekurensi sering disertai penurunan penglihatan berat sehingga pemantauan yang cermat

dengan Amsler Grid, oftalmoskopi, dan angiografi perlu dilakukan. Pasien dengan gangguan

penglihatan sentral di kedua matanya mungkin memperoleh manfaat dari pemakaian berbagai

alat bantu untuk penglihatan kurang (American Academy of Ophthalmology, 2015-2016).

Tindakan bedah yang mungkin dikerjakan adalah pengambilan CNV subretina, serta

translokasi makula. Beberapa penelitian mengenai ekstraksi membran CNV subretina

mendapatkan bahwa hasil akhir visus tidak lebih dari 6/60. Tetapi cara ini dapat disarankan

pada penderita yang tidak berhasil dengan PDT. Terdapat tindakan bedah lain yang mungkin

dikerjakan yaitu translokasi makula. Translokasi makula adalah suatu istilah yang merujuk

16
kepada tindakan mengablasi makula dengan sengaja dari epitel pigmen dibawahnya, untuk

selanjutnya memindahkannya ke tempat lain. Walaupun teknik ini menjanjikan untuk kondisi

tertentu, khususnya CNV, teknik optimal dan prognosis jangka panjangnya belum diketahui

(Vaughan & Asbury, 2009).

Selain itu terapi juga dapat dilakukan di rumah berupa pembatasan kegiatan dan

pemantauan pasien dengan mengevaluasi daya penglihatan yang rendah, mengonsumsi

multivitamin dan antioksidan (berupa vitamin E, vitamin C, betakaroten, dan zat besi) karena

diduga dapat memperbaiki dan mencegah terjadinya AMD. Sayuran hijau terbukti bisa

mencegah terjadinya AMD non-eksudatif. Selain itu kebiasaan merokok dikurangi dan

pengontrolan hipertensi (Life E, 2012).

Konsumsi obat-obat antiangiogenesis seperti VEGF-A, yang merupakan substansi

angiogenik utama dalam terbentuknya neovaskularisasi pada AMD. Obat yang pertama kali

digunakan adalah Na-pegabtanib (Macugen), obat ini memberikan perbaikan ketajaman

penglihatan pada 6% pasien. Setelah itu digunakan obat lain, yaitu ranibizumab, yang lebih

memberikan kenaikan ketajaman penglihatan karena mengikat semua bentuk aktif VEGF.

Bevacizumab, yang merupakan antibodi monoklonal seperti ranibizumab, ternyata

memberikan hasil yang lebih menjanjikan karena mempunyai two binding sites terhadap VEGF

(NICE Guidelines, 2012).

PROGNOSIS

Prognosis dari AMD eksudatif lebih buruk dibandingkan dengan AMD non-eksudatif.

Prognosis dapat didasarkan pada terapi, tetapi belum ada terapi yang bernilai efektif sehingga

kemungkinan untuk sembuh total sangat kecil (Cook H.L., et al, 2008).

17
KESIMPULAN

Degenerasi makula terkait usia digambarkan dengan berbagai macam definisi, namun secara

umum dapat diartikan sebagai suatu kemunduran fungsi makula sehingga terjadi penurunan

tajam penglihatan yang menyebabkan hilangnya penglihatan sentral. Faktor risiko penyakit ini

selain karena usia, juga ada beberap hal lain, seperti merokok, genetik, hipertensi dan diabetes

mellitus, dan paparan sinar matahari. Degenerasi makula terkait usia terbagi dalam dua jenis,

yaitu tipe non-eksudatif biasanya ditandai dengan gejala berkurangnya penglihatan sentral

yang minimal dan tipe eksudatif yang ditandai dengan gejala penurunan tajam penglihatan

yang progresif tanpa disertai rasa nyeri.

Penatalaksanaan AMD tipe non-eksudatif lebih menekankan pada terapi profilaksis

dengan pemberian suplemen antioksidan dan perubahan gaya hidup, sedangkan terapi laser dan

pembedahan diperuntukkan bagi AMD tipe eksudatif.

18
DAFTAR PUSTAKA

Alberti WE., Richard G., Sagerman R.H. Age-Related Macular Degeneration ; Current

Treatment Concepts. New York : Springer ; 2011.

American Academy of Ophthalmology, The Eye MD Association. Age-Related Macular

Degeneration. 2015-2016 January. [cited 2018 March].

AREDS. Risk Factors Associated with Age-Related Macular Degeneration ; A Case Control

Study in The Age-Related Eye Disease Study Report Number. Ophthalmology : Texas

; 2012.

Brancato R., Lumbroso B. Guide to Optical Coherence Tomography Interpretation.

I.N.C_Inovation-News_Communication. Italy. 2008.

Cook H.L., Patel P.J., Tufail A. Age-Related Macular Degeneration : Diagnosis and

Management. Moortifields Eye Hospital. London. 2008.

Degner L. Drusen-Know The Difference Between Hard and Soft Drusen. Epub : cited March

2018.

http://www.ezinearticles.com/?Drusen---Know-the-Difference-Between-Hard-and-Soft-

Drusen&id=1905548

Ilyas Sidharta, Yulianti SR. Mata Tenang Penglihatan Turun Perlahan. Ilmu Penyakit Mata

(5th ed). Jakarta : FKUI, 2014; 239-40.

Kinshuck D., Hope M. ARMD Pathology and Treatment. Epub : cited 2018 March.

http://www.goodhope.nhs.uk/departements/eyedept/images/geographicchvl.jpg

Life Extension. Age-Related Macular Degeneration. Epub : cited 2018 March.

http://www.lef.org/protocols/eye_ear/macular-degeneration_01.htm

NICE Guidelines. Pegaptanib and Ranibizumab for The Treatment of Age-Related Macular

Degeneration. Cited 2018 March.

19
Pearse A., Keane S., SrinivasR. Development of Anti-VEGF Therapies for Intraocular Use

: A Guide for Clinicians. London : Journal of Ophthalomology ; 2011

Spaide R. Etiology of Late-Age-Related Macular Disease-Age Related Macular

Degeneration A comprehensive Textbook, Lippincott, Williams and Wilkins :

Philadelphia ; 2006.

20

Anda mungkin juga menyukai