Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
Tetanus merupakan permasalahan yang sering ditemukan di negara
berkembang, dimana 80% kasusnya terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Tetanus
secara geografis lazim terjadi pada daerah pedesaan dengan kebersihan
lingkungan dan fasilitas kesehatan yang buruk. Tetanus terjadi di seluruh dunia
dan masih merupakan penyebab kematian yang penting dengan perkiraan jumlah
kematian 800.000-1.000.000 orang per tahunnya.
Pada negara berkembang sebagian besar kasus kematian karena tetanus
terjadi pada neonatus, dan tetanus pada neonatus adalah penyebab kematian kedua
di seluruh dunia pada penyakit-penyakit yang dapat dicegah melalui vaksinasi.
Diperkirakan kematian tetanus pada neonatus sebesar 248.000 kematian per tahun.
Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian dari
penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu tetanus masih merupakan
masalah kesehatan.
Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh
dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian telah menurun secara drastis.
Sampai saat ini tetanus masih sebagai masalah kesehatan masyarakat yang
signifikan pada negara-negara yang sedang berkembang, oleh karena akses
program imunisasi yang buruk, ditambah lagi penatalaksanaan tetanus yang
modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU), yang sangat jarang
tersedia pada sebagian besar populasi yangmenderita tetanus yang berat.
Pada negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50%. Kematian
utamanya terjadi karena kegagalan respirasi akut. Penyakit ini memberikan efek
mematikan pada setiap usia dan rata-rata kasus kematian sangat tinggi (10-80%)
dengan perawatan intensive sangat diperlukan. Tetanus tidak ditularkan dari
pasien ke pasien. Infeksi terjadi bila spora C. Tetani spores masuk melalui luka
akibat trauma, pembedahan dan injeksi atau luka kronik pada kulit, atau lesi dan
infeksi pada kulit kuli. Hal ini disebabkan oleh luka yang tidak mendapatkan
perawatan medis.
Periode inkubasi dari tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Periode
inkubasi terpendek (<7 day). Keterlambatan penanganan di hubungkan dengan
hasil yang fatal. Karakteristik dari tetanus adalah muscle rigidity dan painful
muscle spasms. Bentuk tetanus secara umum, kekakuan dan nyeri pada saat
membuka mulut (trismus or “lock jaw”) dan atau leher, bahu dan otot perut.
Bagian awal dari penyakit ini berupa spasme yang dipicu oleh stimulus
sensory seperti sentuhan, suara keras dan cahaya terang. Sebagai progres dari
penyakit ini kejang umum yang terjadi secara spontan (tetanospasms develop).
Pada kasus tanpa ketersediaan ventilator, kematian selalu di akibatkan oleh
kegagalan repirasi. Autonomic dysfunction, termasuk hypertension and
tachycardia. Tetanus toxoid tersedia dalam vaksin antigen tunggal (TT) dan dapat
di kombinasikan dengan diptheria toxoid dan/atau pertussis vaccine (DT, Td,
DTwP, DtaP or dTap). Tetanus dengan bradikardia dan hipotensi bisa
menunjukkan tetanus yang berat dan di hubngkan dengan prognosis yang buruk.
Langkah pertama dalam mendiagnosis pasien tetanus adalah dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis
merupakan hal yang utama dalam mendiagnosis pasien tetanus dengan
menanyakan adanya riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi,
gejala-gejala klinis yang timbul dan penderita biasanya belum mendapatkan
imunisasi. Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan, organisme
yang terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan
toksin lebih lanjut; toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat
hendaknya dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf
pusat diminimisasi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi Tetanus
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh C. tetani ditandai dengan kekakuan otot dan spasme yang periodik
dan berat. Tetanus dapat didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut atau
kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan leher)
dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain, serta terdapat riwayat luka
ataupun kecelakaan sebelumnya.
2.2 Etiologi Tetanus
C. tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan
kotoran binatang. Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora,
memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. Spora
ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. C. tetani merupakan bakteri
yang motil karena memiliki flagella, dimana menurut antigen flagellanya, dibagi
menjadi 11 strain dan memproduksi neurotoksin yang sama. Spora yang
diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan baik agen fisik
maupun agen kimia. Spora C. tetani dapat bertahan dari air mendidih selama
beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada suhu 121°C selama 15-20
menit). Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda
lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan
toksin yang bernama tetanospasmin.

Gambar 1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas “drumstick” pada bagian


bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari Clostridium tetanidibentuk.
(dengan pembesaran mikroskop 3000x).
Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika
menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan
melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat
mengakibatkan penyakit tetanus.
2.3 Epidemiologi Tetanus
Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah
kesehatan publik yang sangat besar. Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di
seluruh dunia, dengan angka kejadian 18/100.000 penduduk per tahun serta angka
kematian 300.000-500.000/tahun.
Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50% di negara berkembang,
dengan penyebab kematian terbanyak karena mengalami kegagalan pernapasan
akut. Angka mortalitas menurun karena perbaikan sarana intensif (ICU dan
ventilator), membuktikan bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli
sangat berguna dalam efektivitas penanganan penyakit tetanus.
Penelitian oleh Thwaites et alpada tahun 2006 mengemukakan bahwa Case
Fatality Rate (CFR) dari pasien tetanus berkisar antara 12-53%.
Penyebab kematian pasien tetanus terbanyak adalah masalah semakin
buruknya sistem kardiovaskuler paska tetanus (40%), pneumonia (15%), dan
kegagalan pernapasan akut (45%). Health Care Associated Pneumonia (HCAP)
dalam beberapa penelitian dihubungkan dengan posisi saat berbaring. Tetapi
penelitian terbaru oleh Huynh et al (2011), posisi semi terlentang atau terlentang
tidak memberi perbedaan yang bermakna terhadap terjadinya pneumonia pada
pasien tetanus. Angka mortalitas penyakit tetanus di negara maju cukup tinggi
bagi kelompok yang mempunyai risiko tinggi terhadap kematian akibat penyakit
ini. Infark miokard menjadi konsekuensi dari disfungsi saraf otonom dan berperan
besar terhadap angka mortalitas penyakit tetanus di populasi usia lanjut.

4
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi Tetanus

Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora
ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk oleh besi, luka bakar,
luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat,
kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi
hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, leukosit yang
mati, benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian
berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka
dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin, tidak
berhubungan dengan pathogenesis penyakit. Tetanospasmin, atau secara umum
disebut toksin tetanus, adalah neurotoksin yang mengakibatkan manifestasi dari
penyakit tersebut.
Tetanospasmin masuk ke susunan saraf pusat melalui otot dimana terdapat
suasana anaerobik yang memungkinkan Clostridium tetani untuk hidup dan

5
memproduksi toksin. Lalu setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan
ditransportasikan secara retrograde menuju saraf presinaptik, dimana toksin
tersebut bekerja.
Toksin tersebut akan menghambat pelepasan neurotransmitter inhibisi dan
secara efektif menghambat inhibisi sinyal interneuron. Tetapi khususnya toksin
tersebut menghambat pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang
spesifik menginhibisi neuron motorik. Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas
tidak teregulasi dari sistem saraf motorik.
Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang
berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil,
takikardi, keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam
urin. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi kardiovaskuler. Tetanospamin yang
terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin
tetanus.
2.5 Gambaran Klinis Tetanus
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 7-10 hari, namun dapat lebih singkat
atau dapat lebih lama. Makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosisnya.
Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi C. Tetani dengan susunan saraf
pusat dan interval antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat
invasi maka inkubasi makin panjang.
Secara klinis tetanus ada 4 macam, yaitu tetanus umum, tetanus local,
Cephalic tetanus, dan tetanus neonatal :
3.1 Tetanus Umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.
Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan jalan masuk kuman. Biasanya dimulai
dengan trismus dan risus sardonikus, lalu berproses ke spasme umum dan
opistotonus.
Dalam 24-48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke
ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar
dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut lock jaw. Selain kekakuan otot
masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai
muka meringis kesakitan yang disebut risus sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut

6
mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat
kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan
fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai
opisthotonus.
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik
secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan
bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal
kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan
yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang.
Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan
menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme sfincter
kandung kemih. Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat
disertai panas yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau
toksin menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Pada kasus
yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang
labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan aritmia jantung.
3.2 Tetanus Lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena
gambaran klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot
pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan
dengan angka kematian 1%, kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang
menjadi tetanus umum.
3.3 Cephalic Tetanus
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka
mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, otitis media kronis dan jarang
akibat tonsilektomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain N. III, IV,
VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan
menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan. Cephalic Tetanus dapat
berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosis bentuk Cephalic
tetanus jelek.
3.4 Tetanus Neonatal

7
Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada anak
yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada 2 hari
pertama kehidupannya, tetapi kehilangan kemampuan ini antara hari ke-3 sampai
hari ke-28 serta menjadi kaku dan spasme. Tetanus neonatal, biasa terjadi karena
proses melahirkan yang tidak bersih. Gejala klinisnya biasa terjadi pada minggu
kedua kehidupan, ditandai dengan kelemahan dan ketidakmampuan menyusu,
kadang disertai opistotonus.
Secara klinis stadium tetanus terbagi menjadi stadium klinis pada anak dan
orang dewasa :
1. Stadium Klinis pada Anak
a. Stadium 1
Dengan gejala klinis berupa trisnus (3 cm) belum ada kejang rangsang,
dan belum ada kejang spontan.
b. Stadium 2
Dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan belum
ada kejang spontan.
c. Stadium 3
Dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan kejang
spontan.
2. Stadium Klinis pada Orang Dewasa
a. Stadium 1 : trismus
b. Stadium 2 : opisthotonus
c. Stadium 3 : kejang rangsang
d. Stadium 4 : kejang spontan
2.6 Diagnosis Tetanus
Diagnosis tetanus sudah cukup kuat hanya dengan berdasarkan anamnesis
serta pemeriksaan fisik. Pemeriksaan kultur C. tetani pada luka, hanya merupakan
penunjang diagnosis. Adanya trismus, atau risus sardonikus atau spasme otot yang
nyeri serta biasanya didahului oleh riwayat trauma sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis. Diagnosis tetanus dapat membingungkan, dan
kelangsungan hidup tergantung pada kecepatan pengobatan dengan antitoksin dan
perawatan suportif yang memadai.

8
2.7 Penatalaksanaan Tetanus
1. Pemberian antitoksin tetanus
Pemberian serum dalam dosis terapetik untuk ATS bagi orang dewasa adalah
sebesar 10.000-20.000 IU IM dan untuk anak – anak sebesar 10.000 IU IM, untuk
hypertet bagi orang dewasa adalah sebesar 300 IU-6000 IU IM dan bagi anak-
anak sebesar 3000 IU IM. Pemberian antitoksin dosis terapetik selama 2-5 hari
berturut-turut.
2. Penatalaksanaan luka
Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam
setelah pemberian antitoksin tetanus.  Jika memungkinkan dicuci dengan
perhydrol.  Luka dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan anaerob. Bila perlu
di sekitar luka dapat disuntikan ATS.
3. Pemberian antibiotika
Obat pilihannya adalah penisilin, dosis yang diberikan untuk orang dewasa
adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedang untuk anak-anak
adalah sebesar 50.000 IU/kg BB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas. Bila
penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin. Dosis pemberian
tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4 x 500 mg/hari, dibagi dalam 4 dosis.
Pengobatan dengan antibiotika ditujukan untuk bentuk vegetative clostridium
tetani, jadi sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk membunuh kuman tetanus
yang masih ada dalam tubuh, sehingga tidak ada lagi sumber eksotoksin.
ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan dengan
susunan saraf pusat (eksotoksin yang berikatan dengan susunan saraf pusat akan
menyebabkan kejang, dan sekali melekat maka ATS/HTIG tak dapat
menetralkannya. Untuk mencegah terbentuknya eksotoksin baru maka sumbernya
yaitu kuman clostridium tetani harus dilumpuhkan, dengan antibiotik.
4. Penaggulangan kejang

9
Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan
serangan kejang.  Saat ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena dengan
pemberian anti kejang yang memadai maka kejang dapat dicegah
Jenis Obat Dosis Anak – anak Dosis Orang Dewasa
Fenobarbital Mula-mula 60-100 mg IM, 3 x 100 mg IM
(Luminal) Kemudian 6 x 30 mg per oral
Maksimum 200 mg/hari
Klorpromazi 4-6 mg/kg BB/hari, mula-mula IM 3 x 25 mg IM
n Kemudian per oral
(Largactil)
Diazepam Mula-mula 0,5-1 mg/kg BB IM 3 x 10 mg IM
(Valium) Kemudian per oral 1,5-4 mg/kg
BB/hari
dibagi dalam 6 dosis
Klorhidrat - 3 x 500-1000 mg per rectal

Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (muscle
relaxant) ditambah alat bantu pernapasan (ventilator). Cara ini hanya dilakukan di
ruang perawatan khusus (ICU = Intesive Care Unit) dan di bawah pengawasan
seorang ahli anestesi.
5. Perawatan penunjang
Dengan tirah baring, diet per sonde, dengan asupan sebesar 200 kalori/hari
untuk orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/kg BB/hari untuk anak-anak,
bersihkan jalan nafas secara teratur, berikan cairan infus dan oksigen, awasi
dengan seksama tanda-tanda vital (seperti kesadaran, keadaan umum, tekanan
darah, denyut nadi, kecepatan pernapasan), trisnus (diukur dengan cm setiap
hari), asupan/keluaran (pemasukan dan pengeluaran cairan), temperatur, elektrolit
(bila fasilitas pemeriksaan memungkinkan), konsultasikan ke bagian lain bila
perlu.
6. Prinsip-Prinsip Umum Profilaksis
a. Pertimbangan individual penderita
Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan profilaksis
terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan/jenis luka, dan riwayat
imunisasi.
b. Debridemen

10
Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang nekrotik dan
benda asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.
c. Imunisasi aktif
Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan dosis
sebanyak 0,5 cc IM, diberikan 1x sebulan selama 3 bulan berturut – turut.
DPT (Dephteri Pertusis Tetanus), terutama diberikan pada anak. Diberikan
pada usia 2 – 6 bulan dengan dosis sebesar 0,5 cc (IM), 1x sebulan selama 3
bulan berturut – turut. Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc (IM),
dan antara umur 5-6 tahun 1 x 0,5 cc (IM).
d. Tetanus toksoid
Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc (IM), yang diberikan 1x sebulan selama 3
bulan berturut – turut. Booster diberikan 10 tahun kemudian setelah suntikan
ke-tiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pmberian booster
di atas. Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat
cedera, baik sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila
penderita telah mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar
dalam 5 tahun, terakhir.
e. Imunisasi Pasif
ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal
lembu) maupun antitoksin equine (asal kuda).  Dosis yang diberikan  untuk
orang dewasa adalah 1500 IU per IM, dan untuk anak adalah 750 IU per IM.
Human Tetanus Immunoglobuline, terkenal di pasaran dengan nama
Hypertet.  Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM
(setara dengan 1500 IU ATS), sedang untuk anak – anak adalah 125 IU per
IM.  Hypertet diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari
hewan. Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi
penderita, dan status imunisasi.
Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif,
merupakan keharusan untuk diimunisasi. Pemberian imunisasi secara IM,
jangan sekali – kali secara IV. Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal,
sedangkan keuntungannya pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.
Indikasi Imunisasi

11
LUKA BERSIH LUKA KOTOR
DATA VAKSINASI Tetanus Tetanus Tetanus Tetanus
Toksoid Antitoksin Toksoid Atoksin
Tidak pernah mendapat
vaksinasi atau tidak Ya Tidak Ya Ya
diketahui
Satu kali mendapat
Ya Tidak Ya Ya
vaksinasi tetanus
Dua kali mendapat
Ya Tidak Ya Ya
vaksinasi tetanus
Tiga kali mendapat
Tidak/Ya Tidak Tidak/Ya Tidak/Ya
vaksinasi tetanus

7. Tindakan Profilaksis
Belum IA atau Mendapat IA yang lengkap
Jenis Luka
sebagian 1 – 5 tahun 5 – 10 tahun > 10 tahun
Ringan, bersih Mulai atau – Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
melengkapi IA
toks. 0,5 cc hingga
lengkap
Berat, bersih, atau ATS 1500 IU Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU
cenderung tetanus Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
Cenderung ATS 1500 IU Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU
tetanus, debrimen Toks. 0,5 cc ABT Toks. 0,5 cc
terlambat,m atau Hingga lengkap ABT
tidak bersih ABT
Keterangan   :
ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU.
Pada anak-anak dosis ATS : dosis dewasa
IA : Imunisasi aktif (dengan toksoid)
Toks : Toksoid (vaksin serap tetanus)
ABT : antibiotika dosis tinggi yang sesuai untuk C.
Tetani
2.8 Komplikasi Tetanus
Komplikasi yang mungkin timbul adalah pneumonia, terutama karena
aspirasi (asfiksi), terutama pada saat kejang, status konvulsivus, fraktur
vertebra, akibat kejang.
2.9 Pencegahan Komplikasi
1. Mencegah anoksia otak
a. Pemberian antikejang, sekaligus mencegah laringospasme.

12
b. Jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi (pemasangan tuba
endotrakheal) atau lakukan trakheotomi berencana.
c. Pemberian oksigen.
2. Mencegah pneumonia
Membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan posisi penderita
berbaring, pemberian antibiotika.
3. Mencegah fraktur vertebra
Pemberian antikejang  yang memadai.

13
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. J
Umur : 49 tahun
Alamat : Aceh Tengah
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Menikah
Suku Bangsa : Gayo
Tanggal masuk : 26 April 2020
No. RM : 198080
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Kekakuan seluruh tubuh
Keluhan Tambahan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan kekakuan seluruh tubuh. Kekakuan seluruh
tubuh dialami sejak 7 hari SMRS. Awalnya pasien merasakan kekakuan pada
rahangnya sehingga sulit untuk membuka mulut dan menelan, kemudian pasien
merasakan tubuhnya seperti robot sulit bergerak, sulit berjalan, sulit berbicara dan
mengalami hambatan dalam segala aktivitas, Riwayat demam dikeluhkan pasien
pada saat 1 minggu SMRS, disertai gigi berlubang yang sering dikeluhkan nyeri
sejak 1 bulan terakhir. Pasien mengaku selama ini sering mengalami sakit gigi
(gigi berlubang), terkadang pasien mencongkel gigi yang berlubang dengan peniti
dan pantul. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit kejang sbelumnya dan tidak
pernah mengalami penyakit inisebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya, riwayat gigi
berlubang (+), tidak ada riwayat hipertensi dan diabetes, tidak riwayat luka, tidak
ada riwayat kejang
Riwayat Penggunaan Obat :
Paien lupa obat yang dikonsumsi untuk menangani sakit gigi
Riwayat Penyakit Keluarga :
Disangkal
Riwayat Kebiasaan Sosial :
Jarang olahraga (+)
Konsumsi makanan berkolesterol (-)
Riwayat merokok (-)
Konsumsi alkohol (-)
Riwayat Imunisasi :
Tidak jelas
3.3 Pemeriksaan Tanda Vital
Keadaan umum : Sakit buruk
GCS : E4V5M6
Kesadaran : Compos mentis
Tekanandarah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 75 kali/menit, reguler, kuat angkat, isi penuh
Frekuensi nafas : 22 kali/menit, reguler
Suhu : 36,9°C
3.4 Pemeriksaan Fisik
1. Kulit : Sawo matang, ikterik (-), sianosis (-), edema (-), pucat (-)
2. Kepala : Rambut hitam, distribusi merata
3. Wajah : Tampak kaku (+), edema (-), deformitas (-)
4. Mata : Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), refleks
cahaya
langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+), pupil
isokor
Φ3 mm/3 mm
5. Telinga : Kesan normotia
6. Hidung : Sekret (-/-), cavumnasi hiperemis (-), napas cuping hidung
(-)
7. Mulut : Mukosa bibir kering (-), sianosis (-), tremor (-), faring
hiperemis (-), tonsil hiperemis (-/-), T1 – T1, trismus (+)

15
8. Leher : Pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-), leher kaku (+)
9. Rahang : Kaku (+)
10. Thorakanterior
a. Inspeksi
Statis : Normochest
Dinamis : Simetris, pergerakan dada kiri simetris, pernapasan
thorakabdominal, retraksi interkostal (-/-), jejas (-)
b. Palpasi
Fremitus taktil kanan fremitus taktil kiri simetris, nyeri tekan dan
krepitasi dada kiri (-).
c. Perkusi
Dextra : Sonor pada paru kiri .
Sinistra : Sonor pada paru kanan.
d. Auskultasi
Atas : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezing (-/-)
Tengah : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezing (-/-)
Bawah : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezing (-/-)
11. Thoraks posterior
a. Inspeksi
Statis : Normochest
Dinamis : Simetris, pernapasan abdominothorakal, retraksi
interkostal (-
/-) jejas (-)
b. Palpasi
Fremitus taktil kanan fremitus taktil kiri simetris, nyeri tekan dan
krepitasi tidak ada
c. Perkusi
Dextra : Sonor pada paru kanan.
Sinistra : Sonor pada paru kiri.
d. Auskultasi
Atas : Vesikuler (+/+),rhonki (-/-), whezing (-/-)
Tengah : Vesikuler (+/+),rhonki (-/-), whezing (-/-)

16
Bawah : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezing (-/-)
12. Jantung
Auskultasi : BJ I > BJ II, regular (+) bising (-)
13. Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), epistotonus (+)
Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan (+), defans muskular (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : Peristaltik normal
14. Ekstremitas :
Ekstremitas superior : Sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-),
akraldingin (-/-)
Ekstremitas inferior : Sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akraldingin
(-/-)
15. Anus dan rektum
Tidak dilakukan
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianotik - - - -
Edema - - - -
Ikterik - - - -
3.5 Pemeriksaan Neurologis
1. Rangsangan Meningeal
Kaku kuduk : - (tidak ditemukan tahanan pada tengkuk)
Brudzinski I : -/- (tidak ditemukan fleksi pada tungkai)
Brudzinski II : -/- (tidak ditemukan fleksi pada tungkai)
Kernig : -/- (tidak terdapat tahanan sebelum mencapai
135º/tidak terdapat tahanan sblm mencapai 135º)
Laseque : -/- (tidak timbul tahanan pada kedua kaki sebelum
mencapai 70o)
2. Nervus Kranialis
N-I (Olfaktorius) : Tidak ada gangguan penciuman

N-II (Optikus)
Tajam penglihatan : DBN / DBN

17
Lapang penglihatan : DBN / DBN
Tes warna : Tidak dilakukan pemeriksaan
Fundus oculi : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. N-III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)
a. Kelopak mata :
Ptosis : -/-
Endopthalmus : -/-
Exophtalmus : -/-
b. Pupil : Isokor, bulat, 3mm/3mm
Refleks Pupil
Langsung : +/ +
Tidak langsung : +/ +
c. Gerakan bola mata : Medial (+/+), lateral (+/+), superior (+/+),
inferior (+/+), obliqus superior (+/+),
obliqus
inferior (+/+)
4. N-V (Trigeminus)
a. Sensorik
N-V1 (ophtalmicus) :+
N-V2 (maksilaris) :+
N-V3 (mandibularis) :+
(pasien dapat menunjukkan tempat rangsang raba)
b. Motorik
Pasien dapat merapatkan gigi dan membuka mulut.
c. Refleks :
Reflek kornea :+
Reflek bersin :+
5. N-VII (Fasialis)
a. Sensorik (indra pengecap) : DBN
b. Motorik
Mengerutkan dahi : Simetris , kanan (baik), kiri (baik)
Menutup mata kuat kuat : Simetris, kanan (maksimal), kiri

18
(maksimal)
Menggembungkan pipi : Simetris, kanan (maksimal), kiri
(maksimal)
c. Sensoris
Pengecapan 2/3 depan lidah : Tidak ada kelainan
6. N. VIII (Vestibulocochlearis)
a. Keseimbangan
Nistagmus : Tidak ditemukan
Tes Romberg : Tidak dilakukan
b. Pendengaran
Tes Rinne : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
Tes Schwabach : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
Tes Weber : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
7. N-IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
Refleks menelan :+
Refleks batuk :+
Perasat lidah (1/3 anterior) : Normal
Refleks muntah :+
Posisi uvula : Normal, Deviasi (-)
Posisi arkus faring : Simetris
8. N-XI (Akesorius)
Kekuatan M. Sternokleidomastoideus :+ /+
Kekuatan M. Trapezius :+ /+
9. N-XII (Hipoglosus)
Tremor lidah : Tidak ditemukan
Atrofi lidah : Tidak ditemukan
Ujung lidah saat istirahat : Simetris
Ujung lidah saat dijulurkan : Simetris
Fasikulasi :-
3.6 Pemeriksaan Motorik
1. Refleks
a. Refleks Fisiologis

19
Biceps : ++ / +++
Triceps : ++ / +++
Achiles : ++ / +++
Patella : ++ / +++
b. Refleks Patologis
Babinski :+/+
Oppenheim :+/+
Chaddock :+/+
Gordon :+/+
Scaeffer :+/+
Hoffman :+/+
Trommer :+/+
Gonda :-/-
Bing :-/-
Rosolimo :-/-
3.7 Susunan Saraf Otonom
Miksi : Tidak ada kelainan
Defekasi : Tidak ada kelainan
3.8 Sensibilitas
Rasa raba : (+)/(+) simetris
Rasa nyeri : (+)/(+) simetris
Rasa suhu panas : (+)/(+) simetris
Rasa suhu dingin : (+)/(+) simetris
3.9 Koordinasi
Rebound phenomenon : (+)
Diadodiskinesia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes tunjuk hidung : Dapat, tremor (+)
Tes tumit lutut : Tidak dilakukan pemeriksaan
3.10 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah rutin (Tanggal 26 April 2020)
Hemoglobin : 13.5 gr/dl
Hematokrit : 44,9 %

20
Eritrosit : 5,09 x 106/mm3
Trombosit : 16,8 x 103U/L
Leukosit : 534 x 103/mm3
KGDS : 101 mg/dl
Pemeriksaan Urine rutin (Tanggal 28 April 2020)
Kristal : Ca Oxalat +1
3.11 Diagnosis
Diagnosis klinis : Tetanus + Sepsis
Diagnosis topik : Molar 2 dextra bawah
Diagnosis etiologi : Caries pada mola 2 dextra bawah
3.12 Tatalaksana
IVFD Asering 20 gtt/I (macro)
Inj. Citicolin 500 mg/12 jam
Inj. Mecobalamin 500 mg/12 jam
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam (H1) (ST)
Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam (H1)
Inj. ATS 1 amp (IM)
Inj. TT 1 amp (IM)
Inj. Diazepam 1 amp (bolus pelan, selanjutnya diazepam 3 amp) > SP. 5
meq/jam
Inj. Piracetam 3 gr/6 jam
3.13 Planning
Monitoring tanda vital
Darah rutin
Urin rutin
Kgds
3.14 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam

21
3.15 Follow Up
Tanggal Penjalanan Penyakit Tindakan/Terapi
27/04/2020 S/ Kejang (-), kaku pada wajah Diet sonde
(H2) O/ KU : kaku pada wajah IVFD Asering 20 gtt/I (macro)
TD : 110/80 mmHg Inj. Citicolin 500 mg/12 jam
HR : 90 x/i Inj. Mecobalamin 500 mg/12
RR : 20 x/i jam
T : 36,5℃ Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
KO = 5555/5555 (H2)
5555/5555 Inj. Metronidazole 500 mg/8
RF = ++/+++ jam (H2)
++/+++ Inj. ATS 1 amp (IM) (H2)
RP = Inj. TT 1 amp (IM)
Babinski : +/ + Inj. Diazepam 4 amp > SP. 5
Oppenheim : +/ + meq/jam
Chaddock : +/ + Inj. Piracetam 3 gr/6 jam
Gordon : +/ + Flat enema
Scaeffer : +/ +
Hoffman-Trommer : +/+
Pemeriksaan fisik :
Kaku pada wajah, leher
A/ Tetanus
28/04/2020 S/ kejang (-), Diet sonde
(H3) kaku pada wajah (-) IVFD Asering 20 gtt/I (macro)
O/ KU : kaku pada wajah (-) Inj. Citicolin 500 mg/12 jam
TD : 140/90 mmHg Inj. Mecobalamin 500 mg/12
HR : 84 x/i jam
RR : 20 x/i Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
T : 36,5℃ (H3)
KO = 5555/5555 Inj. Metronidazole 500 mg/8
5555/5555 jam (H3)
RF = ++/+++ Inj. ATS 1 amp (IM) (Kosong)
++/+++ Inj. Diazepam 4 amp > SP. 5
RP = meq/jam
Babinski : +/ + Flat enema
Oppenheim : +/ + Betadine gargle 2xgargele
Chaddock : +/ +
Gordon : +/ +
Scaeffer : +/ +
Hoffman-Trommer : +/+
Pemeriksaan fisik :
Kaku pada wajah dan leher (-)
A/ Tetanus + trismus
29/04/2020 S/ kejang (-), Diet sonde
(H4) kaku pada wajah (-) IVFD Asering 20 gtt/I (macro)

22
O/ KU : kaku pada wajah (-) Inj. Citicolin 500 mg/12 jam
TD : 90/60 mmHg Inj. Mecobalamin 500 mg/12
HR : 80 x/i jam
RR : 20 x/i Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
T : 36,5℃ (H4)
KO = 5555/5555 Inj. Metronidazole 500 mg/8
5555/5555 jam (H4)
RF = ++/+++ Inj. ATS 1 amp (IM) (H3)
++/+++ Inj. Diazepam 4 amp > SP. 4
RP = meq/jam
Babinski : +/ + Betadine gargle 2xgargele
Oppenheim : +/ +
Chaddock : +/ +
Gordon : +/ +
Scaeffer : +/ +
Hoffman-Trommer : +/+
Pemeriksaan fisik :
Kaku pada wajah dan leher (-)
A/ Tetanus + sepsis
30/04/2020 S/ kejang (-), Diet sonde
(H5) kaku pada wajah (-) IVFD Asering 20 gtt/I (macro)
O/ KU : kaku pada wajah (-) Inj. Citicolin 500 mg/12 jam
TD : 100/70 mmHg Inj. Mecobalamin 500 mg/12
HR : 80 x/i jam
RR : 22 x/i Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
T : 36,5℃ (H5)
KO = 5555/5555 Inj. Metronidazole 500 mg/8
5555/5555 jam (H5)
RF = ++/+++ Inj. ATS 1 amp (IM) (H4)
++/+++ Inj. Diazepam 4 amp > SP. 3
RP = meq/jam
Babinski : +/ + Betadine gargle 2xgargele
Oppenheim : +/ +
Chaddock : +/ +
Gordon : +/ +
Scaeffer : +/ +
Hoffman-Trommer : +/+
Pemeriksaan fisik :
Kaku pada wajah dan leher (-)
A/ Tetanus + sepsis
01/05/2020 S/ kaku pada wajah (+) Diet sonde
(H6) O/ KU : kaku pada wajah (+) IVFD Asering 20 gtt/I (macro)
TD : 110/70 mmHg Inj. Citicolin 500 mg/12 jam
HR : 80 x/i Inj. Mecobalamin 500 mg/12
RR : 22 x/i jam
T : 36,5℃ Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
KO = 5555/5555 (H6)
5555/5555 Inj. Metronidazole 500 mg/8

23
RF = ++/+++ jam (H6)
++/+++ Inj. Diazepam 4 amp > SP. 3
RP = meq/jam
Babinski : +/ + Betadine gargle 2xgargele
Oppenheim : +/ +
Chaddock : +/ +
Gordon : +/ +
Scaeffer : +/ +
Hoffman-Trommer : +/+
Pemeriksaan fisik :
Kaku pada wajah dan leher (+)
A/ Tetanus + sepsis
02/05/2020 S/ kaku pada wajah (+) Diet sonde
(H7) O/ KU : kaku pada wajah (+) IVFD Asering 20 gtt/I (macro)
TD : 110/90 mmHg Inj. Citicolin 500 mg/12 jam
HR : 80 x/i Inj. Mecobalamin 500 mg/12
RR : 22 x/i jam
T : 36,5℃ Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
KO = 5555/5555 (H7)
5555/5555 Inj. Metronidazole 500 mg/8
RF = ++/+++ jam (H7)
++/+++ Inj. Diazepam 4 amp > SP. 3
RP = meq/jam
Babinski : +/ + Betadine gargle 2xgargele
Oppenheim : +/ +
Chaddock : +/ +
Gordon : +/ +
Scaeffer : +/ +
Hoffman-Trommer : +/+
Pemeriksaan fisik :
Kaku pada wajah dan leher (+)
A/ Tetanus + sepsis
03/05/2020 S/ kaku pada wajah (+) Diet sonde
(H8) O/ KU : kaku pada wajah (+) IVFD Asering 20 gtt/I (macro)
TD : 100/80 mmHg Inj. Citicolin 500 mg/12 jam
HR : 80 x/i Inj. Mecobalamin 500 mg/12
RR : 22 x/i jam
T : 36,5℃ Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
KO = 5555/5555 (H8)
5555/5555 Inj. Metronidazole 500 mg/8
RF = ++/+++ jam (H8)
++/+++ Inj. Diazepam 4 amp > SP. 3
RP = meq/jam
Babinski : +/ + Betadine gargle 2xgargele
Oppenheim : +/ +
Chaddock : +/ +
Gordon : +/ +
Scaeffer : +/ +

24
Hoffman-Trommer : +/+
Pemeriksaan fisik :
Kaku pada wajah dan leher (+)
A/ Tetanus + sepsis
04/05/2020 S/ sudah membaik PBJ
(H9) O/ KU : kaku pada wajah (-) Citicoline 2 x 500 mg
TD : 100/80 mmHg Mecobalamin 3 x 500 mg
HR : 80 x/i Cefixime 2 x 100 mg
RR : 22 x/i Metronidazole 3 x 500 mg
T : 36,5℃ Diazepam 4 x 5 mg
KO = 5555/5555 Betadine gargle
5555/5555
RF = ++/+++
++/+++
RP =
Babinski : +/ +
Oppenheim : +/ +
Chaddock : +/ +
Gordon : +/ +
Scaeffer : +/ +
Hoffman-Trommer : +/+
Pemeriksaan fisik :
Kaku pada wajah dan leher (-)
A/ Tetanus + sepsis

25
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien yang dilaporkan diatas terdapat kekauan otot yang terjadi
diawali dari wajah leher, faring dan seluruh ototekstremitas dan batang tubuh,
kemudian pasien juga mengalami kejang rangsang yang merupakan gejala khas
dan tetanus.
Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan
saraf pusat yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh C.
Tetani. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui
luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan
pemotongan tali pusat. Kuman ini dalam tubuh berkembangbiak dan
menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum
menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris.
Tampak pada pasien bahwa kekakuan yang terjadi pada tubuh terjadi
secara bertahap. Kekauan awalnya terjadi pada otot masseter, menyebabkan
kesulitan membuka mulut trismus atau low jaw. Kekakuan biasanya terjadi pada
otot leher, faring dan juga seluruh tubuh otot ekstremitas, dan batang
tubuh.kekakuan otot wajah akan memberikan gambaran rhesus sardonikus.
Kekakuan pada otot leher menyebabkan retraksi leher, kekakuan pada otot faring
akan menyebabkan disfagia dan kekakuan pada otot abdomen akan berkontraksi
menyebabkan rigiditas yang hebat pada otot punggung dapat memberikan
gambaran epistotonus.
Pada pasien diatas, spasme yang terjadi merupakan spasme berat yang
dilakukan managemen awal pada jam-jam pertama berupa Primary Survey.
Pemberian anti spasme otot (diazepam IV 1amp bolus pelan) dan mencari sumber
infeksi sebagai port d entery juga dilakukan pada pasien ini.
Adapun penatalaksanaan pada 24 jam pertama yaitu pemberian ATS, TT
dan antibiotic. Asering 20 gtt/I (macro), Citicolin iv 500 mg/12 jam, Mecobalamin
iv 500 mg/12 jam, Ceftriaxone iv 1 gr/12 jam, Metronidazole iv 500 mg/8 jam,
Piracetam iv 3 gr/6 jam.
Pasien memiliki riwayat sakit gigi dan dicurigai sebagai port d entery
kuman tetanus, selanjutnya pasien dikonsulkan ke bagian gigi dan mulut, namun
karena gejala akut masih ada, terutama trismus, maka ekstraksi gigi yang
mengalami karies tidak bias dilakukan.
Selama perawatan 9 hari di rumah sakit, pasien menunjukkan
perkembangan yang sangat berarti. Trismus dan spasme otot mengalami
penurunan secara perlahan. Pada saat pasien direncanakan pulang berobat jalan
kekakuan sudah menghilang sebanyak 90 persen.

27
BAB V
KESIMPULAN
Terdapat tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, membuang sumber
tetanospasmin, menetralisasi toksin yang tidak terikat, memberikan perawatan
penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah
habis dimetabolisme. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di
ICU, dimana mereka bisa dimonitoring dan diobservasi secara kontinu.
Airway management merupakan prioritas pada tetanus. Spasme otot general,
spasme laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu
respirasi, dan ancaman pada jalan nafas harus diantisipasi. Sekresi bronkial yang
berlebihan terjadi pada tetanus. Tindakan trakeostomi ditujukan untuk menjaga
jalan nafas terutama tetanus dengan opistotonus dan keterlibatan otot-otot
punggung dan dadaatau mengalami distres pernafasan. Kematian yang disebabkan
oleh spasme laring yang mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot
respirasi yang tidak adekuat sering terjadi di sebagian negara yang sedang
berkembang dimana tidak tersedia akses topangan ventilator yang siap saat.
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi, menggunakan
depresan sistem saraf pusat yang mengakibatkan relaksasi otot dan menggunakan
obat-obat penghambat saraf otot. Berbagai macam obat-obatan tunggal dan dalam
kombinasi telah digunakan untuk tujuan ini. Sedasi dengan benzodiazepine
merupakan terapi standar tetanus. Sebagai tambahan efek sedasi, bisa didapat dari
antikonvulsan barbiturat dan phenotiazine. Topangan ventilasi mekanik sering
kali dibutuhkan untuk mengatasi depresi ventilasi yang disebabkan oleh obat yang
muncul pada interval diantara spasme. Sebagai alternatif, bila spasme tidak cukup
terkontrol dengan benzodiazepine, maka pelumpuh otot nondepolarisasi dan
intermittent positive-pressure ventilation (IPPV) merupakan pilihannya.
Morphineatau fenthanyl bisa memiliki efek yang sama dan biasanya digunakan
sebagai tambahan sedasi benzodiazepine. Yang lebih baru, telah ditemukan
pengalaman menggunakan remifentanil pada tetanus. Berbagai gangguan
kardiovaskular terjadi pada tetanus dan sering menyebabkan kematian. Penyebab
utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh
ketidakstabilan otonom.Tanda overaktifitas simpatis yakni takikardia yang
fluktuatif, hipertensi yang kadangkalnya diikuti oleh hipotensi, kepucatan di
perifer, dan berkeringat. Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir
dengan hipotensi dan bradikardi yang dalam. Instabilitas autonom sulit diobati.
Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai terapi lini pertama,
menggunakan benzodiazepine dengan dosis besar, morphine, dan/atau
chlorpromazine. Saat ini, perhatian difokuskan pada penggunan magnesium sulfat
intravena untuk mengendalikan spasme dan mengobati disfungsi autonom.
Emboli paru adalah masalah yang lebih spesifik, pemberian trombofilaksis
sangatlah penting. Emboli paru merupakan penyebab umum kematian pasien
tetanus, sehingga banyak yang menggunakan antikoagulan secara rutin selama
pengobatan. Meskipun heparin subkutan telah digunakan, perlindungan sempurna
terhadap thromboemboli tidaklah selalu didapat dan risiko perdarahan selalu ada.
Pada negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50%. Kematian
utamanya terjadi karena kegagalan respirasi akut. Pada negara maju, dengan
topangan intensive care, mortalitasnya sekitar 10%, meningkat 20% pada kasus-
kasus yang berat. Mortalitas meningkat dengan bertambahnya umur (melebihi
50% apabila lebih dari 60 tahun) dan pada individu yang tidak mendapatkan
vaksinasi sebelumnya (22%). Periode inkubasi yang singkat (<5 hari)
menandakan penyakit yang lebih berat.
Sampai saat ini tetanus masih sebagai masalah kesehatan masyarakat yang
signifikan pada negara-negara yang sedang berkembang, oleh karena akses
program imunisasi yang buruk, ditambah lagi penatalaksanaan tetanus yang
modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU), yang sangat jarang
tersedia pada sebagian besar populasi yang menderita tetanus yang berat.
Sehingga diperkirakan tetanus akan terus berlanjut menginfeksi populasi yang
sedang berkembang pada masa-masa mendatang. Penatalaksanaan tetanus yang
berhasil memerlukan seluruh persenjataan intensive care unitmodern. Pendekatan
multidisipliner adalah sangat penting.

29
30

DAFTAR PUSTAKA

1. Batticaca,F.B.2008.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba.
2. Carpenito, L.J.2007.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis.Edisi
IX.Dialihbahasakan oleh Kadar, Kusrini S, dkk.Jakarta: EGC.
3. Davey, Patrick (ed). 2008.At a Glance Medicine.Jakarta:Erlangga.
4. Doenges, Marilynn E.Moorhouse, M.F.dan Geissler,A.C.2003.Rencana Asuhan
Keperawatan.Edisi III.Alih Bahasa:Kariasa, I Made. Jakarta:EGC.
5. Ismanoe, G.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid III.Edisi V.Jakarta:
Interna Publishing.
6. Muttaqin, A.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta:Salemba.
7. Nanda. 2008. Diagnosa Nanda [NIC & NOC.Jakarta:Prima Medika.
8. Rudolph,A.M.Hoffman,Julien I.E.dan Rudolph, Colin D. 2006. Buku Ajar
Pediatri Rudolph.Volume 1.Edisi 20.Jakarta:EGC.
9. Tim Indeks.2011.Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Dialih
bahasakan oleh Paramita. Jakarta:Indeks

Anda mungkin juga menyukai