Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Bronkitis

1.1 Definisi

Bronkitis (Bronkitis inflamasi-Inflamation bronchi) digambarkan sebagai

inflamasi dari pembuluh bronkus. Inflamasi menyebabkan bengkak pada

permukaannya, mempersempit pembuluh dan menimbulkan sekresi dari cairan

inflamasi. Bronkitis kronis merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh

pembentuka pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi

sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam

setahun, sekurang-kurangnya dalam 2 tahun berturut-turut (Davey., 2006).

Bronkitis kronis adalah suatu kondisi peningkatan pembengkakan dan lendir

(dahak atau sputum) produksi dalam tabung pernapasan (saluran udara). Obstruksi

jalan napas terjadi pada bronkitis kronis karena pembengkakan dan lendir ekstra

menyebabkan bagian dalam tabung pernapasan lebih kecil dari normal. Diagnosis

bronkitis kronis dibuat berdasarkan gejala batuk yang menghasilkan lendir atau dahak

di hampir setiap hari, selama tiga bulan, selama dua tahun atau lebih (setelah penyebab

lain untuk batuk telah dikeluarkan).

1.2 Epidemiologi

Di Negara barat, kekerapan bronkitis diperkirakan sebanyak 1,3% di antara

populasi (WHO,2003). Di Amerika Serikat, menurut National Center for Health

Statistics, kira-kira ada 14 juta orang menderita bronkitis. Lebih dari 12 juta orang

menderita bronkitis akut padatahun 1994, sama dengan 5% populasi Amerika Serikat

(Davey., 2006) .Di dunia bronkitis merupakan masalah dunia. Frekuensi bronkitis

lebih banyak pada populasi dengan status ekonomi rendahdan pada kawasan industri
(Harison, 2005). Bronkitis lebih banyak terdapat pada laki-laki dibanding wanita. Di

Indonesia belum ada laporan tentang angka presentase yang pasti mengenai penyakit

ini.Kenyataannya penyakit ini sering ditemukan di klinik (Mansjoer., 2005).

1.3 Etiologi dan faktor resiko

Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang lazim di daerah

industri. Polusi udara yan terus menerus juga merupakan predisposisi infeksi rekuren

karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositsis, sehingga timbunan mukus

menigkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri melemah. (Price dan Wilson,

2006)

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting,

jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat

merokok perlu diperhatikan (PDPI, 2003), (Sudoyo, 2006) :

a. Riwayat merokok

i. Perokok aktif

ii. Perokok pasif

iii. Bekas perokok

b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah

rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

i. Ringan : 0-200

ii. Sedang : 200-600

iii. Berat : >600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja (West, 2003):

a. Polusi dalam ruangan

i. Asap rokok

ii. Asap kompor

b. Polusi luar ruangan


i. Polusi luar ruangan

ii. Gas buang kenderaan bermotor

iii. Debu jalanan

c. Polusi tempat kerja

i. bahan kimia

ii. zat iritasi

iii. gas beracun

3. Hipereaktivitis bronkus

4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

1.4 Patofisiologi

Temuan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar

mukosa bronkus dan peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, dengan infiltraasi

sel-sel radang dan edema mukosa bronkus. Pembentukan mukus yang meningkat

mengakibatkan gejala khas yaitu batuk kronis. Batuk kronik yang disertai peningkatan

sekresi bronkus tampaknya mempengaruhi bronkiolus kecil sehingga bronkiolus

tersebut rusak dan dindingnya melebar. Faktor etiologi utama adalah merokok dan

polusi udara yang lazim di daerah industri. Polusi udara yan terus menerus juga

merupakan predisposisi infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan

fagositsis, sehingga timbunan mukus menigkat sedangkan mekanisme pertahanannya

sendiri melemah. (Price dan Wilson, 2006)

1. Asap rokok dan zat iritan (Harison, 2005) (West, 2003):

Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara merupakan bahan-bahan

iritan dan oksidan yang menyebabkan terjadinya bronkitis kronik. Dari semua ini

asap rokok merupakan penyebab yang paling penting. Tidak semua orang yang
terpapar zat ini menderita bronkitis kronik, hal ini dipengaruhi oleh status

imunologik dan kepekaan yang bersifat familial. Di dalam asap rokok terdapat

campuran zat yang berbentuk gas dan partikel. Setiap hembusan asap rokok

mengandung radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH). Sebagian bebas radikal

bebas ini akan sampai ke alveolus. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat

merusak paru; kerusakan parenkim paru oleh oksidan ini terjadi karena :

a. Kerusakan dinding alveolus

b. Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas.

Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan menyebabkan fungsi

ini terganggu sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus. Partikulat

yang terdapat dalam asap rokok dan udara yang terpolusi mempunyai dampak yang

besar terhadap pembersihan oleh sistem mukosilier. Sebagian besar partikulat

tersebut mengendap di lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga

mengharnbat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa bronkus akan

sangat berkurang, mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa bronkus.

Kelenjar mukosa dan sel goblet dirangsang untuk menghasilkan mukus yang lebih

banyak, hal ini ditambah dengan gangguan aktivasi silia menyebabkan timbulnya

batuk kronik dan ekspektorasi. Produksi mukus yang berlebihan memudahkan

terjadinya infeksi dan memperlambat proses penyembuhan. Keadaan ini merupakan

suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Di samping itu terjadi

penebalan dinding saluran napas sehingga dapat timbul mucous

plug yang menyumbat jalan napas, tetapi sumbatan ini masih bersifat reversibel.

Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel

serta pembentukan jaringan parut. Disamping itu terjadi pula metaplasia skuamosa

dan penebalan lapisan submukosa. Keadaan ini mengakibatkan stenosis dan

obstruksi saluran napas yang bersifat ireversibel.


2. Infeksi (Sudoyo, 2006):

Infeksi pada saluran nafas bukan penyebab pada brokitis kronis tapi

merupakan factor pencetus terjadinya eksaserbasi akut pada penyakit ini. Infeksi

akan memperparah gejala dan memperburuk fungsi paru. Infesi pada traktus

respiratorius pada waktu anak merupakan factor predisposisi munculnya bronchitis

kronis saat dewasa. Ini mungkin menjelaskan kenapa bronchitis kronis tidak muncul

pada semua perokok. Infeksi pada traktus respiratorius waktu anak mungkin

mengganggu perkembangan dan fungsi paru yang berakibat pada terjadinya

bronchitis kronis saar dewasa.

1.5 Manifestasi klinis

1. batuk berdahak (dahaknya bisa berwarna kemerahan)

2. sesak napas terutama saat batuk

3. sering menderita infeksi pernapasan (misalnya flu)

4. Ronchi haru-kasar, bengek atau mengi atau sesak

5. pembengkakan pergelangan kaki, kaki dan tungkai kiri dan kanan

6. wajah, telapak tangan

7. selaput lendir yang berwarna kemerahan

8. pipi tampak kemerahan

9. sakit kepala

10. gangguan penglihatan.

11. Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek, yaitu hidung

meler, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot, demam ringan dan nyeri

tenggorokan.
12. Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya batuk tidak

berdahak, tetapi 1-2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak berwarna putih atau

kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah banyak, berwarna kuning atau hijau.

13. Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi

demam tinggi selama 3-5 hari dan batuk bisa menetap selama beberapa minggu.

14. Sesak napas terjadi jika saluran udara tersumbat. Sering ditemukan bunyi napas

mengi, terutama setelah batuk. Bisa terjadi pneumonia

1.6 Pemeriksaan penunjanga

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Darah rutin : Hb, Ht dan leukosit boleh didapatkan meningkat

b. Analisa gas darah : hipoksia dan hiperkapnia

2. Pemeriksaan faal paru

Spirometri : Ditemukan adanya penurunan kapasitas vital (VC) dan volume

ekspirasi kuat (FEV) serta peningkatan volume residual (RV) dengan kapasitas paru

total (TC) normal atau meningkat (Sudoyo, 2006).

3. Radiologi

Rontgen thorax (PA/Lateral)

a. Corakan bronkovaskuler meningkat

b. Tram-track appearance : penebalan dinding bronkial


1.7 Diagnosis banding

Asma  Onset usia dini

 Gejala bervariasi dari hari ke hari

 Gejla pada waktu malam/dini hari lebih menonjol

 Dapat ditemukan alergi/rhinitis/eczema

 Riwayat asma dalam keluarga

 Hambatan aliran udara biasnya reversible

Gagal jantung  Riwayat hipertensi

kongestif  Ronki basah halus di basal paru

 Gambaran foto toraks cardiomegali dan edema paru

 Pemeriksaan faal paru restriksi bukan obstruksi

Bronkiektasis  Sputum purulen dalam jumlah banyak

 Sering berhubungan dengan infeksi bakteri

 Ronki basah kasar dan jari tabuh

 Gambaran foto toraks Nampak honeycomb appearance

dan penebalan dinding bronkus


TBC  Onset di semua usia

 Gambaran foto toraks infiltrate

 Konfirmasi mikrobiologi (BTA)

Sindrom  Riwayat pengobatan anti TB adekuat

obstruksi pasca  Gambaran foto toraks bekas TB : fibrotic dan kalsifikasi


TB minimal

 Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi yang tidak

reversible

Bronkiolitis  Usia muda

obliterasi  Tidak merokok

 Mungkin ada riwayat arthritis rematoid

 CT paru ekspirasi terlihat gambaran hipodens

Diffuse  Sering pada perempuan tidak merokok

bronchiolitis  Seringkali berhubungan dengan sinusitis

 Rontgen dan CT paru resolusi tinggi memperlihatkan

bayanagn diffuse nodul opak sentrilobular dan

hiperinflasi

1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki kondisi

tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor risiko dan


mengenali sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk dalam penatalaksanaan umum

ini adalah pendidikan buat penderita untuk mengenal penyakitnya lebih baik,

menghindari polusi, menghentikan kebiasaan merokok, menghindari infeksi saluran

napas, hidup dalam lingkungan yang lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi

kebutuhan cairan.

Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan komplikasi.

Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi dan rehabilitasi.

Tujuan utama terapi harus menargetkan perbaikan gejala, seperti :

1. Mengurangi kelebihan lendir

2. Penurunan hipersekresi lendir dengan mengendalikan peradangan ;

3. Memfasilitasi penghapusan lendir

4. Modifikasi batuk

Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan penyakit

adalah:

1. Menghentikan kebiasaan merokok.

2. Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko terjadinya

iritasi saluran napas.

3. Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak terjadi

eksaserbasi akut.

4. Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih reversibel dapat

dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari penyakit berlanjut menjadi

kelainan yang ireversibel dapat dilakukan

Medikamentosa

1. Mukolitik dan ekpetorat


Guaifenesin bekerja dengan peningkatan vagally dimediasi dalam jalan

napas. Meskipun telah ditunjukkan penggunaan jangka panjang umum

guaifenesin belum terbukti bermanfaat dalam COPD atau bronkitis kronik.

2. Methylxanthines and Short-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists (SABA)

Keduanya meningkatkan mucus clearance oleh beberapa mekanisme :

a. Meningkatkan napas diameter luminal

b. Meningkatkan frekuensi beat silia melalui peningkatan intraseluler adenosin

siklik monofosfat tingkat

c. Meningkatkan lendir hidrasi dengan merangsang sekresi saluran napas Cl-

melalui aktivasi fibrosis kistik transmembran

regulator

Ini menurunkan viskositas mukus, memungkinkan untuk transportasi lebih

mudah dengan silia pernafasan. Pada percobaan dalam model hewan, jangka

pendek b-agonis dikaitkan dengan up regulationclearance mukosiliar. Demikian

pula , methylxanthines meningkatkan mukosiliar tidak hanya melalui properti

bronchodilatory mereka tetapi juga dengan merangsang frekuensi silia beat,

menambah saluran napas transport ion epitel untuk meningkatkan lendir hidrasi

dan mempromosikan sekresi lendir di saluran udara lebih rendah. Studi klinis

theophylline di CB telah menunjukkan fungsi paru-paru meningkat tapi tidak ada

perubahan konsisten dalam batuk dan produksi sputum. (American Journal Of

Respiratory And Critical Care Medicine, 2013)

3. Long-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists


Efek dari long-acting - b adrenergik agonis reseptor ( LABAs )

pada fungsi mukosiliar telah dikaitkan dengan manfaatnya

efek pada fungsi paru-paru. LABAs juga mengurangi hiperinflasi

dan meningkatkan arus puncak ekspirasi, yang penting

komponen batuk. Bukti in vitro menunjukkan salmeterol yang dapat merangsang

ciliary beat frekuensi. Demikian pula, formoterol secara signifikan meningkatkan

bersihan mukosiliar dibandingkan dengan plasebo pada pasien dengan bronchitis.

4. Anticholinergics

Antikolinergik yang bekerja pada reseptor muscarinic dipercaya dapat

membantu mukus clearance oleh peningkatan diameter luminal

dan dengan menurunkan permukaan dan submukosa kelenjar sekresi musin.

Mereka juga dipercaya untuk memfasilitasi lendir batuk –induced clearance.

Namun, antikolinergik mungkin bisa mengeringkan saluran nafas dengan

depleting lendir permukaan saluran napas, sehingga membuat pengeluaran dahak

lebih sulit. In vivo , literatur

tidak mendukung penggunaan antikolinergik untuk pengobatan

CB. Bromide Ipratropium telah ditunjukkan untuk mengurangi kuantitas dan

tingkat keparahan batuk di bronchitics kronis namun tidak

efektif dalam meningkatkan pembersihan mukosiliar pada PPOK . di

sebuah studi dari 470 pasien dengan FEV1 39 % diprediksi , tiotropium

meningkatkan fungsi paru-paru , tetapi tidak mempengaruhi gejala batuk. Dalam

studi lain dari 39 pasien dengan COPD , tiotropium berkurang jumlah batuk , tapi

mukosiliar tidak diperbaiki. (American Journal Of Respiratory And Critical Care

Medicine, 2013)

5. Glucocorticoids
Ada bukti in vitro bahwa glukokortikoid mengurangi peradangan dan

produksi lendir. Dalam asma ,kortikosteroid inhalasi menurunkan hiperplasia sel

goblet. Deksametason juga telah terbukti menurunkan epitel ekspresi gen musin

gen MUC5AC di sel epitel bronkial manusia. Mereka juga dapat mempercepat

pembersihan mukosiliar. Kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi frekuensi

eksaserbasi dan meningkatkan kualitas -hidup skor pada PPOK.

6. Phosphodiesterase-4 Inhibitors

Phosphodiesterase - 4 ( PDE - 4 ) penghambatan menurunkan peradangan

dan membuat relaksasi otot polos saluran napas dengan mencegah hidrolisis

adenosin monofosfat siklik untuk tidak aktif. Cilomilast dan roflumilast adalah

second generation sangat spesifik PDE - 4 inhibitor . Sebuah metaanalisis dari 23

acak uji coba roflumilast atau cilomilast dibandingkan dengan placebo

menemukan bahwa pengobatan dengan inhibitor PDE - 4 hanya sedikit meningkat

FEV1 ( 45.59 ml , 95 % CI , 39,1-52,03 ) tetapi mengurangi kemungkinan

eksaserbasi ( OR , 0,78 , 95 % CI,0,72-0,85). Roflumilast signifikan meningkatkan

prebronchodilator FEV1 dan penurunan tingkat sedang sampai parah eksaserbasi

dalam uji coba secara acak pasien dengan COP . Dibandingkan dengan plasebo ,

roflumilast menurun eksaserbasi sebesar 17 % ( 95 % CI , 8-25 % ) ( 109 ) . Dalam

dua uji coba 24 - minggu, 933 pasien dengan PPOK sedang sampai berat secara

acak ditugaskan untuk roflumilast ditambah salmeterol atau salmeterol saja , dan

743 pasien secara acak ditugaskan untuk roflumilast ditambah tiotropium atau

tiotropium saja. Jadi, pada bronkitis kronik PDE - 4 inhibitor mungkin memainkan

peran preventif dalam mencegah perkembangan eksaserbasi pada pasien dengan

CB dan COPD .

7. Antioksidan
Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara yang terpolusi

mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis kronik.Anti oksidan melindungi dan

mempertahankan paru dari radikal-radikal anion superoksid, hidrogen peroksid,

radikal hidroksil dan anion hipohalida yang diproduksi oleh sel radang. Anti

oksidan dapat mengubah oksidan menjadi molekul yang tidak berbahaya terhadap

jaringan paru dan menekan efek radikal bebas dari asap rokok. N-asetilsistein

merupakan suatu antioksidan, yaitu sumber glutation.

Pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan parenkim paru

oleh efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di samping sebagai anti

oksidan, obat ini bersifat mukolitik yaitu mengencerkan sekret bronkus sehingga

mudah dikeluarkan. Pemberian N-asetilsistein selama enam bulan pada penderita

bronkitis kronik memberikan perbaikan dalam hal jumlah sputum, purulensi

sputum, banyaknya eksaserbasi dan lamanya hari sakit secara bermakna.

(American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine,2013)

8. Antibiotik

Terapi Antibiotik umumnya tidak diindikasikan untuk pasien

bronkitis kronik. Terapi macrolide telah Terbukti memiliki sifat anti – inflamasi

Dan mungkin memiliki Peran Dalam pengobatan bronkitis kronik. Mereka telah

Terbukti dapat menghambat sitokin proinflamasi , menurunkan neutrofil Pecah ,

menghambat Migrasi Dan peningkatan apoptosis, eosinophilic menurunkan

peradangan, meningkatkan Transportasi mukosiliar, mengurangi sel goblet

sekresi. Dan penurunan bronkokonstriksi. (American Journal Of Respiratory And

Critical Care Medicine,2013)

Obat Inhaler (µg) Larutan Oral Vial Dur


asi
Nebulizer injeksi (ja
m)
(mg/ml) (mg)
Adrenergik (β2-agonis)
Fenoterol 100-200 (MDI) 1 0,5% (sirup) 4-6
Salbutamol 100, 200 MDI&DPI 5 5mg (pil), 0,1 ; 0,5 4-6
0,24% (sirup)
Terbutaline 400,500 (DPI) 2,5 ; 5 (pil) 0,2; 0,25 4-6
Formoterol 4,5-12 MDI&DPI 12+
Salmeterol 25-50 MDI&DPI 12+
Antikolinergik
Ipatropium bromide 20,40(MDI) 0,25-0,5 6-8

Oxitropium bromide 100 (MDI) 1,5 7-9

Tiotropium 18(DPI) 24+

Methylxanthines
Aminophylline 200-600mg 240mg 24
(pil)
Theophylline 100-600mg 24
(pil)
Kombinasi adrenergik & antikolinergik
Fenoterol/Ipatropium 200/80 (MDI) 1,25/0,5 6-8
Salbutamol/Ipatropium 75/15 (MDI) 0,75/4,5 6-8
Inhalasi Glukortikosteroid
Beclomethasone 50-400(MDI&DPI) 0,2-0,4
Budenosid 100,200,400(DPI) 0,20, 0,25, 0,5
Futicason 50-500(MDI &DPI)
Triamcinolone 100(MDI) 40 40
Kombinasi β2 kerja panjang plus glukortikosteroid dalam satu inhaler
Formoterol/Budenoside 4,5/160; 9/320 (DPI)
50/100,250,500(DPI)
Salmoterol/Fluticasone
25/50,125,250(MDI)
Sistemik Glukortikosteroid
Prednisone 5-60 mg(Pil)
4, 8 , 16 mg
Methy-Prednisone (Pil)

1.9 Komplikasi

1. gagal napas

a. Kronik
b. Akut pada gagal nafas kronik yang ditandai dengan :

i. Sputum bertambah dan purulen

ii. Sesak nafas dengan atau sianosis

iii. Demam

iv. Kesadaran menurun

2. cor pulmonal

Pembesaran jantung kanan (dilatasi atau hipertrofi) yang disebabkan oleh

karena kelainan-kelainan fungsi atau struktur paru. Tidak termasuk disini

perubahan paru yang disebabkan primer akibat kelainan jantung kiri serta kelainan

bawaan.

3. hipertensi pulmonal

Peningkatan abnormal tekanan arteri pulmonal ( normal saat istirahat

<20mmHg, saat senam <30mmHg)

1.10 Prognosis

Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala
klinisnya. Pada eksaserbasi akut, prognosis baik dengan terapi. Pada pasien bronkitis
kronik dan emfisema lanjut dan VEP1 < 1 liter survival rate selama 5-10 tahun
mencapai 40%.

Anda mungkin juga menyukai