Anda di halaman 1dari 3

KABAR menggemparkan datang dari jagat dunia maya dalam beberapa hari terakhir ini.

Betapa tidak,

pada 19 Maret 2018 lalu, pendiri dan pemilik media sosial terkenal Facebook, Mark Zuckerberg,

kehilangan kekayaannya sebesar Rp67,5 triliun atau US$4,9 miliar hanya dalam waktu satu hari. Ini terjadi

menyusul terungkapnya penggunaan data 50 juta pengguna Facebook tanpa izin oleh perusahaan konsultan

berbasis di Inggris Cambridge Analytica yang bekerja sebagai bagian dari tim suksesi Presiden AS Donald

Trump.

Di luar kejadian di AS, media berbasis di Singapura, Straits Times (online) pada 20 Maret 2018

melaporkan bahwa oposisi di Malaysia mempertanyakan keterlibatan Cambridge Analytica dalam

kemenangan Barisan Nasional (BN) pada pemilihan umum di negara itu tahun 2013. Kantor PM Malaysia

pun telah membantah BN atau pemerintah Malaysia pernah menggunakan jasa Cambridge Analytica

seperti dituduhkan.

Kasus-kasus yang terjadi belakangan ini tidak ayal merupakan pelajaran akan pentingnya keamanan siber

(cyber security). Secara umum, Profesor Hukum di SJ Quinney College, University of Utah, AS, Amos N

Guoira, mengatakan keamanan siber dapat dipahami sebagai usaha melindungi informasi, komunikasi, dan

teknologi dari bahaya yang terjadi, baik sengaja maupun tidak.

Lebih jauh, keamanan siber dapat dipahami sebagai usaha untuk menjamin kerahasiaan, integritas,

ketersediaan berbagai data, sumber, serta proses melalui kontrol administratif, fisik, dan teknis.

Keamanan siber dan asta gatra


Bagi Indonesia, keamanan siber menjadi sangat vital karena sangat erat terkait informasi, data, dan sumber

tentang delapan gatra atau asta gatra yang menyusun ketahanan nasional, yaitu geografi, sumber kekayaan

alam (SKA), demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan

(hankam).

Sebagai ilustrasi, menurut Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2017, pengguna

internet di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa atau 54,68% dari total populasi Indonesia yang mencapai

262 juta jiwa (Kompas, 19 Februari 2018).

Jumlah ini meningkat dari pengguna internet di Indonesia yang mencapai 132,7 juta atau 51,5% dari total

populasi Indonesia sebesar 256,2 juta jiwa (Media Indonesia, 5 Mei 2017).

Angka-angka itu tentu tidak berhenti sampai di situ saja karena dapat dijabarkan lebih jauh ke komposisi

umur pengguna internet, sebaran pengguna internet, hingga preferensi pengguna internet. Dengan
demikian, angka-angka pengguna internet sebenarnya sudah dengan mudah menggambarkan data-data

terkait gatra demografi, geografi, hingga politik, ekonomi, dan sosial budaya yang tergambar dari

preferensi pengguna internet.

Pada konteks itu, jika keamanan siber tidak dikelola dengan baik, data-data pengguna internet tentu

berpotensi disalahgunakan pihak-pihak tertentu sehingga dapat mengganggu atau bahkan mengancam gatra

pertahanan dan keamanan nasional.

Kita menyadari bahwa proses politik di dalam negeri, baik pada tataran lokal (pemilihan kepala daerah

atau pilkada) maupun tingkat nasional sudah sulit dipisahkan dengan aktivitas dunia siber, terutama dalam

penggunaan media sosial (medsos). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ada pihak tertentu

menggunakan medsos sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan politiknya dengan menyebarkan

hoaks, kampanye hitam, maupun ujaran kebencian–biasanya melalui akun palsu.    

Kasus seperti itu sudah demikian serius sehingga sentimen yang menjurus perpecahan muncul ke

permukaan, misalnya pada saat berlangsungnya pilkada di Jakarta tahun 2017 lalu. Di Indonesia, kasus

penyalahgunaan aktivitas siber atau media sosial bisa dikatakan sudah sangat memprihatinkan. Ini bukan

tanpa alasan, karena menurut Facebook, Indonesia bersama India dan Filipina menjadi salah satu negara

penyumbang akun palsu terbanyak di dunia.      

Hingga Desember 2017, jumlah akun palsu Facebook di seluruh dunia mencapai 200 juta dari total 2,13

miliar akun aktif media soial itu.

Lebih luas, dalam konteks global, tanpa adanya keamanan siber yang memadai, data-data yang terkait
dengan asta gatra ketahanan nasional tentu dapat dengan mudah dimanipulasi kekuatan asing ataupun aktor

nonnegara untuk kepentingan yang dapat mengganggu atau mengancam ketahanan nasional.

Penguatan

Berbicara keamanan siber dalam ketahanan nasional tentu tidak dapat dilepaskan dengan geopolitik.

Secara umum, geopolitik dapat dijabarkan sebagai letak geografis suatu negara dalam kaitan dengan

posisinya dalam konstelasi politik dan hubungan internasional, dengan memahami konsepsi ruang,

konsepsi frontier (batas imajiner dari dua negara), konsepsi kekuatan politik, dan konsepsi keamanan

negara.  Selain aktor negara, geopolitik sangat dipengaruhi peran dan legitimasi aktor nonnegara, seperti

korporasi atau LSM yang semakin menguat.


Dengan demikian, dapat dikatakan, penguatan keamanan siber tidak terlepas dari tiga unsur, yaitu negara,

aktor nonnegara, dan individu. Dalam skala nasional, pemerintah sudah mempunyai lembaga-lembaga dan

perangkat hukum dalam negeri yang berkaitan keamanan siber. Bahkan beberapa waktu lalu telah

dilakukan tindakan hukum terhadap pihak-pihak yang diduga menyebarkan hoaks melalui medsos.

Akan tetapi, kita tidak dapat memungkiri keberadaan penyediaan jasa layanan siber di Indonesia yang

dilakukan oleh aktor nonnegara, dalam hal ini korporasi, yang tidak berbadan hukum Indonesia. Pada

konteks ini terlihat bahwa pemerintah perlu mengkaji lebih dalam aspek-aspek hukum internasional yang

berkaitan dengan akitivitas siber global dalam konteks mempertahankan kepentingan nasional. Ini

dibutuhkan sebagai kerangka hukum bagi pemerintah dalam menggawangi aktivitas siber yang dilakukan

aktor global agar tidak mengganggu kepentingan nasional.

Yang tidak kalah penting ialah edukasi keamanan siber bagi perorangan atau individu. Upaya ini dapat

dimulai dari hal yang paling sederhana, seperti sosialisasi atau kampanye pentingnya menjaga kerahasiaan

kata sandi (password) surat elektronik (e-mail), medsos, hingga aktivitas e-banking, termasuk perlunya

mengubah kata sandi itu secara berkala. Dalam konteks penggunaan medos, diperlukan edukasi lebih jauh

tentang perlunya menjaga privasi, mengenali akun palsu, hingga menyaring informasi yang tersebar.

Bagaimanapun, individu merupakan aktor paling mikro dalam aktivitas siber global dan sangat

menentukan bagi ketahanan nasional.

Anda mungkin juga menyukai