KAJIAN PUSTAKA
klinis yang bervariasi dan paling sering mengenai area mukosa anogenital yang
rentan terhadap mikrotrauma selama koitus, seperti introitus, kulit perianal, dan
mukosa intraanal. Gambaran klinis penyakit kondiloma akuminata sebagai papul atau
penampakan verukosa. Lesi awalnya muncul sebagai papul kecil dengan diameter
2012). Terdapat dua tipe morfologis kondiloma akuminata (Gambar 2.1), yaitu
bentuk penampakan klinis menyerupai kembang kol (akuminata) dan bentuk papular
dengan papul berbentuk kubah berdiameter 1-4 mm yang dibedakan lagi menjadi
bentuk papul keratotik yang menyerupai veruka vulgaris atau keratosis seboroik serta
bentuk papul datar menyerupai veruka plana (Winer, 2008; Douglas, 2010). Apabila
lesi kondiloma akuminata berupa tumor eksofilik berbentuk kembang kol yang
8
9
beberapa pasien mungkin mengalami pruritus, rasa terbakar ringan, perdarahan, atau
iritasi disamping stres psikologis, kecemasan dan rasa malu (Fathi, 2014). Lesi
kondiloma akuminata dapat mengalami trauma akibat gesekan yang disebabkan oleh
biasanya 3 minggu sampai 8 bulan, namun pada beberapa kasus dapat mencapai
Pemeriksaan ini menggunakan larutan asam asetat 3-5% yang akan memberikan
kondiloma akuminata diindikasikan jika diagnosis masih tidak pasti, ketika lesi gagal
berespon atau menjadi lebih parah selama terapi, atau ketika kondiloma memiliki
gambaran yang tidak biasa, termasuk pigmentasi, perdarahan yang berlebihan serta
berdasarkan jumlah lesi dan luas area lesi kondiloma akuminata yang menutupi
mukosa intraanal, dan genitalia (laki-laki atau wanita) akan diberikan penilaian secara
terpisah dari nilai 1 sampai 5. Pada Tabel 2.1 dapat dilihat derajat keparahan
Gambar 2.1
Gambaran Klinis Kondiloma Akuminata.
A. Bentuk kembang kol (akuminata), B. Bentuk Papular, C. Papul Keratotik,
D. Papul Datar (Douglas dkk, 2010)
Tabel 2.1
Derajat Keparahan Kondiloma Akuminata Anogenital
(Orkin, 2001)
Lokasi Penilaian
1. Kulit Perianal
1. Lesi berjumlah 1-3, bentuk papul, berukuran
diameter 1-4 mm, tersebar (diskret)
2. Mukosa Intraanal 2. Lesi berjumlah > 3, bentuk papul, ukuran 1-4 mm,
yang menutupi 5%-30% area permukaan lokasi
3. Lesi berkonfluen menutupi 30% - 50% area
permukaan lokasi
3. Genitalia (Laki- 4. Lesi berkonfluen menutupi 50% - 75% area
laki atau Wanita) permukaan lokasi
5. Lesi berkonfluen menutupi > 75% area permukaan
lokasi
11
Durasi infeksi HPV dapat diklasifikasikan menjadi infeksi transien, akut, laten,
dan kronis (Gambar 2.2). Infeksi HPV transien adalah infeksi yang belum
menunjukkan adanya gejala klinis tetapi materi genetik virus sudah dapat terdeteksi
pada tubuh. Infeksi HPV akut adalah infeksi yang sudah menunjukkan adanya gejala
klinis dengan gejala klinis tersebut dapat hilang dalam waktu ≤ 1 tahun. Ketika
infkesi HPV akut sembuh tanpa gejala klinis, tetapi tetap terdeteksi adanya virus pada
tubuh menunjukkan adanya infeksi HPV laten. Pada infeksi HPV laten, virus tidak
virus. Infeksi HPV kronis adalah infeksi yang tetap menunjukkan gejala klinis sampai
> 1 tahun. Infeksi kronis dapat mempertahakan aktivitas virus tetap tinggi pada
molekular yang dapat berkembang menjadi keganasan. Infeksi kronis ditandai dengan
adanya lesi yang terus berkembang pada satu lokasi anatomi. Kondisi reinfeksi bisa
ditandai dengan munculnya beberapa lesi pada beberapa lokasi anatomi yang
berbeda, dan kondisi ini juga dapat menyebabkan infeksi HPV yang kronis (Alizon
dkk, 2017).
Pada studi prospektif didapatkan bahwa sebagian besar wanita yang terinfeksi
tipe HPV spesifik dalam waktu 6 sampai 12 tahun tidak menunjukkan adanya infeksi
oleh tipe HPV spesifik yang sama seperti sebelumnya. Studi kohort ini mendukung
bahwa durasi median terdeteksi HPV tipe spesifik yang sama adalah 1 tahun.
Beberapa studi ada yang menyatakan infeksi HPV tersebut akan dikatakan persisten
12
jika tetap terdeteksi tipe HPV spesifik yang sama dalam 2 kali follow up berurutan
dengan interval periode follow up tersebut adalah 4 sampai 6 bulan (Baseman dkk,
2005).
Durasi infeksi HPV sangat dipengaruhi oleh aktivitas virus seperti pola
ekspresi gen virus, dinamika replikasi selular, dan sistem imun. Untuk dapat
menentukan durasi infeksi HPV dilakukan penelitian yang dapat mendeteksi materi
genetik virus pada tubuh dan mengetahui genotif dari tipe virus HPV yang
Penelitian kohort yang dilakukan oleh Giuliano dkk, meneliti tentang durasi
infeksi HPV pada 209 laki-laki. Durasi infeksi HPV diukur dari rentang waktu
pertama kali terdeteksi hasil pemeriksaan PCR HPV yang positif sampai didapatkan
hasil pemeriksaan PCR HPV yang negatif. Durasi median infeksi HPV pada
penelitian ini adalah 5,9 bulan (CI 95%, 5,7-6,1 bulan). Sebanyak 75% infeksi dapat
hilang dalam waktu 12 bulan setelah terdeteksi DNA HPV (Guiliano dkk, 2008).
bahwa durasi median infeksi HPV dipengaruhi oleh tipe HPV apakah termasuk tipe
HPV risiko tinggi atau risiko rendah. Sebanyak 54,1% infkesi HPV risiko tinggi
menjadi infeksi persisten sedangkan hanya 32,3% infeksi HPV risiko rendah yang
menjadi infeksi persisten. Median durasi infeksi juga ditemukan lebih lama pada
HPV risiko tinggi (misalnya HPV tipe 16 dengan media durasi infeksi 11,8 bulan,
10,3-16,7 bulan) dibandingkan dengan HPV risiko rendah (misalnya HPV tipe 6
dengan median durasi infeksi 6,5 bulan, 5,7-9 bulan) (Ramanakumar dkk, 2016)
13
Gambar 2.2
Durasi Infeksi HPV (Alizon dkk, 2012)
2.1.3 Epidemiologi
seksual aktif di Amerika Serikat, dengan insiden yang terus meningkat sejak tahun
1950. Di Amerika Utara, angka kejadian tahunan sebesar 100 kasus per 100.000
individu, dengan risiko kumulatif seumur hidup mendekati 10%, membuat kondiloma
akuminata lebih umum daripada kanker payudara dan prostat (Gormley, 2012).
Seksual (IMS) terbanyak di Indonesia pada tahun 2007 sampai 2011. Data yang
dilaporkan oleh Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Indonesia dari 13 rumah
sakit pusat pendidikan spesialis kulit dan kelamin, meliputi Jakarta, Bandung,
Semarang, dan Denpasar antara tahun 2007 sampai 2011, menunjukkan adanya
14
infeksi menular seksual lainnya dalam 5 tahun terakhir (2007-2011), yaitu sebagai
berikut: 2007 (21,25%), 2008 (33,81%), 2009 (33,66%), 2010 (29,25%), dan 2011
Kondiloma akuminata di poliklinik kulit dan kelamin rumah sakit umum pusat
(RSUP) Sanglah Denpasar pada tahun 2014-2016 didapatkan sebanyak 231 orang
(4,27%). Kejadian kondiloma akuminata pada laki-laki sebanyak 145 orang (62,77%)
remaja dengan rentang usia 12-25 tahun sebanyak 116 orang (50,22%) (Register
Kondiloma akuminata paling sering disebabkan oleh HPV tipe -6 dan -11.
Subtipe HPV lainnya yang dapat menyebabkan infeksi anogenital antara lain tipe -16,
-18, -31, -33, -35, -39, -41 hingga -45, -56, dan -59 (Gormley, 2012). Terdapat lebih
dari 120 subtipe HPV berbeda yang telah teridentifikasi, 40 subtipe HPV tersebut
dapat menyebabkan infeksi anogenital. Subtipe HPV ini dibedakan menjadi risiko
rendah seperti HPV tipe 6 dan 11, risiko sedang karena dapat menyebabkan
neoplasma pada sel skuamosa tetapi tidak sampai terjadi karsinoma sel skuamosa
seperti tipe -31, -33, -35, -45, -51, -52, -56, -58, dan -59, serta risiko tinggi karena
dapat menyebabkan karsinoma sel skuamosa seperti tipe -16 dan -18 (Yanofsky dkk,
2012).
15
Human papilloma virus menginfeksi sel epitel berlapis yang aktif membelah
melalui mikroabrasi pada kulit atau mukosa. Mekanisme perlekatan virus dimediasi
oleh heparin sulfat proteoglikan. Masuknya virus ke dalam sel keratinosit melalui
endositosis yang dimediasi oleh chlatrin (Egelkrout, 2008; Baez, 2012). Setelah virus
masuk ke dalam sel, akan terjadi translokasi DNA virus dengan nukles sel host.
Protein kapsid L2 terlibat pada proses translokasi ini dan proses ini berinteraksi
yang merupakan virus DNA. Genom virus terdiri dari 8 open reading frames yang
menkode masing-masing lokasi early seperti E1,E2,E4,E5,E6 dan E7 serta lokasi late
seperti L1 dan L2. Genom virus juga terdiri dari long control region yang berperan
pada proses transkripsi gen virus, mulainya replikasi virus serta mempertahankan
genom virus melalui mitosis (Lehoux dkk, 2009). Genom virus yang telah
mediator untuk memilah genom virus yang memiliki peranan penting untuk
Pada lapisan suprabasal, ekspresi gen E1, E2, E5, E6 dan E7 berkontribusi
jumlah sel terinfeksi HPV pada epitel, menghasilkan sel dalam jumlah besar yang
pada akhirnya memproduksi virion protein L1 dan L2 yang infeksius. Protein E4 dan
jumlah salinan virus per sel dalam jumlah besar, dan dalam waktu bersamaan juga
terjadi ekspresi virion L1 dan L2. Produksi virion L1 dan L2 yaitu protein kapsid
mayor dan minor, bergabung untuk pembentukan kapsid virus dan pembentukan
virion pada lapisan granular, yang kemudian mencapai lapisan tanduk dan dilepaskan
bersama dengan deskuamasi sel epitel (Gambar 2.3) (Fernandes dkk, 2012). Proses
Gambar 2.3
Siklus hidup virus HPV (Fernandes dkk, 2012)
17
serta fragmentasi sel dan nukleus, degradasi kromosom DNA pada unit nekleolus.
Apoptosis bertujuan untuk meneleminasi sel yang secara potensial berbahaya akibat
Efek primer protein E6 yang dihasilkan oleh virus HPV dapat berikatan dan
menghambat p53. Hambatan terhapat p53 ini akan dapat mengganggu apoptosis sel.
Protein E6 juga dapat berinteraksi dengan beberapa protein intrinsik dan ekstrinsik
yang terlibat dalam apoptosis seperti Bax, Bak, dan menurunkan efek signal program
melakukan adesi molekul lokal pada protein PDZ domain. Protein PDZ domain
melalui aktivasi faktor transkripsi oleh My dan Sp1 dan menghambat transkripsi
NFX1-91. Protein E6 dapat menghambat produksi antivirus IFN oleh sel host (Saito
dkk, 2007). Protein E6 ini biasanya lebih sering ditemukan pada HPV risiko tinggi
Gambar 2.4
Interaksi protein E6 dengan protein selular yang telibat pada apoptosis
(Lehoux dkk, 2009)
Pada HPV tipe α (HPV yang meninfeksi sel epitel mukosa), protein E6 dapat
berinteraksi dengan mesin apoptosis pada sel host, seperti tumor necrosis factor
receptor 1 (TNF R1), molekul Fas-associated death domain (FADD), dan procaspase
8. Interaksi antara protein E6 dengan FAAD dan procaspase 8 terjadi pada death
effector domains (DEDs). Pada HPV tipe β (HPV yang meninfeksi sel epitel kulit),
disebabkan oleh adanya protein E7. Terdapat empat mekanisme yang terlibat, yaitu
terjadi hambatan dan degradasi pRb dan peningkatan protein p107 serta p130,
19
stimulasi dari sintesis serta aktivasi cyclin A/ECdk2, hambatan pada inhibitor Cdk2
yaitu p21 dan p27, serta hambatan pada histone deacetylases (HDAC) spesifik.
Protein E6 dan E7 memiliki peranan pada induksi proliferasi sel melalui hambatan
terhadap p53, yang kemudian akan menurunkan transkripsi dari p21 dan p27 serta
genom yang tinggi, sehingga akan menfasilitasi integrasi virus pada genom host
(Lehoux dkk, 2009; Tomaic, 2016) (Gambar 2.5). Protein E7 dapat menyebabkan
Gambar 2.5
Mekanisme molekukar induksi proliferasi sel pada infeksi HPV
(Lehoux dkk, 2009)
20
Infeksi HPV dapat menjadi persisten pada 10-20% kasus. Infeksi HPV yang
tumor dapat terjadi pada awal pengobatan yang ditunjukkan dengan panah berwarna
hijau, tetapi pada beberapa kasus dapat berkembang menjadi infeksi laten yang sering
Faktor risiko yang menyebabkan infeksi HPV yang persisten adalah faktor
genetik, gaya hidup, koinfeksi dengan berbagai varian tipe HPV, serta sistem
imunitas host. Terdapat beberapa penelitian tentang HLA yang berhubungan dengan
respon imunitas selular terhadap infeksi HPV tipe 16, HLA-DQw3 berhubungan
dengan terjadinya skuamous sel karsinoma servikal pada infeksi HPV, serta HLA-
DRB1 yang berhubungan dengan infeksi HPV yang persisten pada wanita di Mexiko.
Faktor gaya hidup yang berperan pada infeksi HPV yang persisten adalah kebiasaan
merokok dan konsumsi alkohol, kandungan bahan karsinogen pada rokok dan alkohol
dikatakan dapat meningkatkan jumlah virus HPV dan meningkatkan transformasi sel
epitel menjadi keganasan. Faktor koinfeksi dengan berbagai varian tipe virus HPV,
ditemukan pada beberapa penelitian juga berperan pada infeksi HPV yang persisten.
21
Faktor yang paling berperan penting dalam infeksi HPV yang persisten adalah sistem
Gambar 2.6
Patogenesis infeksi HPV persisten (Shanmugasundaram, 2017)
yang dapat berkembangbiak di dalam sel host dan menggunakan mesin sintesis asam
nukleat serta protein dari sel host. Mekanisme respon imun host terhadap infeksi
HPV berupa mekanisme imunitas alamiah maupun imunitas spesifik (Gambar 2.7)
(Shanmugasundaram, 2017).
Sel imun yang berperan pada imunitas alamiah adalah interferon dan sel NK
tumor necroting factor (TNF), interferon (IFN) α dan β yang dapat menghambat
replikasi HPV pada keratinosit yang terinfeksi oleh HPV, termasuk menghambat
22
protein E6 dan E7 (Lee dkk, 2007; Arney dkk, 2010). Sel NK dapat membunuh sel
yang terinfeksi virus sebelum memulai respon imun spesifik selanjutnya. Sel NK
Sel langerhans dan sel dendritik memiliki peranan penting pada imunitas adaptif
sejumlah sitokin, kemokin, dan molekul adesi pada lokasi yang terinfeksi. Infeksi
HPV yang persisten menunjukkan adanya respon imunitas selular lokal maupun
sistemik yang berkurang. Pada infeksi HPV yang persisten didapatkan berkurangnya
produksi sel T memori terhadap HPV, gagalnya ekspansi klonal limfosit, dan
ketidakmampuan sel T untuk melawan infeksi HPV. Regresi lesi pada infeksi HPV
terutama E6 dan E7, disertai juga dengan peningkatan titer antibodi terhadap HPV
Gambar 2.7
Respon imun terhadap infeksi HPV (Wulan dkk, 2015)
23
yang dipurifikasi. Bekerja dengan cara berikatan terhadap protein mikrotubulus pada
sel yang terinfeksi sehingga menyebabkan penghentian mitosis pada metafase dan
akhirnya terjadi kematian sel. Kerja bahan ini akan lebih optimal bila diaplikasikan
langsung ke area yang terdapat lesi dan dibiarkan selama beberapa waktu (biasanya
4-6 jam) lalu dicuci. Bahan ini dapat mengakibatkan iritasi lokal (eritema, nyeri,
pruritus, sensasi terbakar, edema serta iritasi berat) dan sistemik sehingga aplikasinya
dibatasi tidak lebih dari 0,5 ml per sesi. Efek samping sistemik yang timbul dapat
berupa nausea, muntah, pusing, gagal ginjal, parestesia, leukopenia, koma, depresi
tinktura 25%. Modalitas podofilin 25% topikal ini dikenal efektif, aman dan non
Fathi, 2014).
ekstrak podofilin yang dimurnikan dalam bentuk preparat solusio 0,5% atau krim
dalam pengobatan kutil pada penis dan genitalia eksterna wanita, dan juga sering
24
digunakan pada lesi anogenital. Siklus pengobatan terdiri dari aplikasi 2 kali sehari
selama 3 hari, diikuti 4 hari istirahat. Siklus ini diulangi sebanyak 4-5 kali siklus
(Lacey, 2011). Hubungan seksual setelah aplikasi preparat ini harus dihindari karena
(TCA). Solusio TCA 80-90% digunakan setiap minggu oleh dokter pada fasilitas
kesehatan yang memadai (klnik atau rumah sakit). TCA bekerja sebagai agen kaustik
yang menyebabkan nekrosis sel. Sensasi rasa terbakar yang hebat dapat dialami oleh
pasien selama 5-10 menit setelah aplikasi. Penetrasi yang mencapai dermis dapat
kutil dengan volume yang besar (Lacey, 2011; Gilson, 2015). Bahan TCA ini bersifat
sangat korosif sehingga harus digunakan dengan sangat hati-hati. Proteksi kulit
sekitar lesi dengan petrolatum diperlukan, dan penggunaan agen penetral seperti
solusio sodium bikarbonat 5% juga kadang diperlukan bila terjadi aplikasi berlebihan
atau kontak sediaan dengan jaringan sekitar lesi. Agen ini diaplikasikan menggunaan
lidi kapas sebagai aplikator, biasanya dilakukan satu minggu sekali pada fasilitas
kesehatan. Bila penggunaan optimal, akan terbentuk ulkus dangkal yang menyembuh
Fluorourasil yang merupakan anti metabolit DNA, tersedia sebagai preparat krim 5%.
antivirus. Mekanisme kerja agen ini adalah dengan cara menghambat enzim timidilat
25
sintase, suatu enzim yang diperlukan dalam sintesis timidin. Timidin diperlukan
dalam sintesis DNA dan RNA sehingga menghambat replikasi selular dan proliferasi
sel pada virus (Kollipara dkk, 2015). Dikatakan efek eritema, nyeri, dan ulserasi yang
timbul pada pemakaian di mukosa lebih hebat dibanding podofilin sehingga harus
digunakan dengan pengawasan (Kollipara dkk, 2015; Grossberg dkk, 2010). Karena
ketersediaannya yang relatif terbatas, dan harga yang cukup tinggi, menyebabkan
modalitas terapi ini sudah tidak umum digunakan sebagai pengobatan kondiloma
Interferon (IFN) adalah suatu protein dengan molekul berukuran kecil (15-28 kD) dan
sitokin glikoprotein (15-28 kD) yang dihasilkan oleh sel T, fibroblas dan sel lainnya
sebagai respon terhadap infeksi virus. Mekanisme kerja IFN-α adalah dengan cara
berikatan pada reseptor spesifik membran sel. Efeknya termasuk menginduksi enzim,
fagositosis dan meningkatkan aktivitas sitotoksik limfosit T. IFN telah terbukti efektif
terhadap HPV secara in vitro maupun in vivo untuk melindungi sel host dari infeksi
HPV dan mengeliminasi DNA virus ekstrakromosomal terhadap sel yang terinfeksi.
Efek terapeutik IFN melawan virus terdiri dari 3 tahap, antara lain: bertindak sebagai
agen antivirus, memiliki efek antiproliferatif, dan meninduksi respon imun host.
Berdasarkan mekanisme tersebut IFN dapat dianggap cukup efektif untuk pengobatan
kondiloma akuminata. Aplikasi yang dianjurkan adalah 1 sampai 2 kali per minggu
26
selama 6 minggu. Efek samping penggunaan lokal IFN antara lain sensasi rasa
terbakar, gatal, dan nyeri. Efek samping sistemik yang mungkin timbul bila
digunakan berlebihan antara lain malaise, mialgia, sakit kepala, dan demam. Dapat
(TLR7) yang menyebabkan stimulasi makrofag pada jaringan lokal untuk melepaskan
interferon alfa dan sitokin lainnya. Preparat imiquimod ini tersedia dalam sediaan
krim 5%. Cara penggunaan krim tersebut adalah dengan aplikasi topikal 3 kali per
minggu dan dicuci 6-10 jam setelah aplikasi. Penggunaan krim ini dapat diteruskan
bila pasien memberikan respon yang baik, namun tidak terdapat data yang
menunjukkan tingkat efektivitas pada pemakaian lebih dari 16 minggu. Bila pada
pasien yang diberi terapi imiquimod tidak terjadi respon terapi setelah 12-16 minggu
pengobatan, maka perlu diganti ke alternatif terapi yang lain (Gambar 2.5) (Lacey
eksisi. Terapi eksisi kutil menggunakan anestesi lokal sering digunakan pada lesi
berukuran besar atau bertangkai, atau untuk lesi yang lebih kecil dengan keratinisasi
pada lokasi yang lebih mudah dicapai (Lacey dkk, 2011; Gilson dkk, 2015).
27
aplikasi solusio hemostatik atau pasta (misalnya dengan ferrik subsulfat solusio
monsel atau dengan silver nitrat). Terapi dengan bedah eksisi ini perlu
dipertimbangkan sebagai suatu pilihan terapi pada lesi dengan jumlah sedikit atau
pada lesi berukuran besar yang sulit dihilangkan dengan modalitas lain. Tingkat
tercatat sebesar 89-100% dan tingkat rekurensi sebesar 19-29% (Scheinfield, 2013).
krionekrosis pada lesi dengan cara sitolisis pada dermal/epidermal junction. Tindakan
ini dilakukan hingga terlihat adanya halo yang menandakan terjadinya pembekuan
seluas beberapa milimeter di sekitar lesi. Krioterapi dapat dilakukan dalam 1 siklus
diulang dalam interval 1 minggu. Bila setelah 4 minggu tidak ada respon terapi maka
yang digunakan dalam bedah listrik mengakibatkan pembakaran lesi dan jaringan
kerusakan jaringan dermis terbatas. Untuk penetrasi jaringan yang lebih dalam,
elektrodesikasi dapat digunakan. Prosedur ini diikuti dengan kuretase pada lesi untuk
mengambil jaringan yang telah terbakar. Pada bedah monopolar, berbagai bentuk
gelombang dapat digunakan, sehingga desikasi, cutting, atau koagulasi terjadi. Hal ini
28
mengakibatkan potongan lebih bersih dan terjadi kerusakan yang lebih sedikit pada
jaringan sekitarnya. Ventilasi yang adekuat harus digunakan untuk prosedur bedah
2013).
yang secara khusus diindikasikan untuk lesi kondiloma akuminata bervolume besar
dan dapat digunakan pada lokasi anatomi yang sulit dijangkau seperti pada meatus
uretra atau kanal. Terapi laser CO2 menggunakan energi sinar infra merah untuk
menguapkan jaringan yang terinfeksi dengan ablasi jaringan lokal karena trauma
lesi menyembuh dengan cepat tanpa terbentuknya skar. Clearance rate setelah 1 kali
sesi terapi 95% tercapai, tetapi angka rekurensi bervariasi (Lacey dkk, 2011; Gilson
dkk, 2015).
aplikasi 5-asam aminolevulinat (ALA) pada permukaan lesi selama 4 jam lalu
diradiasi dengan laser 635nm pada 100J cm2. Terapi ini diulang dengan interval 2
minggu. Remisi total terjadi setelah 1-4 sesi, clearance rate tercatat 83,9% dan
Gambar 2.8
Algoritma pengobatan kondiloma akuminata anogenital (Lacey dkk, 2011)
Seng merupakan salah satu mineral yang diperlukan oleh tubuh. Seng memiliki
peranan untuk mempertahankan imunitas selular, replikasi DNA dan pembelahan sel.
Elemen seng terlibat dalam berbagai proses enzimatik dan faktor transkripsi pada
tubuh.
Tubuh manusia mengandung 2 sampai 3 gram seng, dan sebanyak 90% seng
ditemukan pada otot dan tulang. Organ tubuh lainnya yang juga mengandung seng
adalah prostat, hati, saluran pencernaan, ginjal, kulit, otak, paru-paru, jantung dan
30
pankreas. Pada tingkat selular, sebanyak 30 sampai 40% seng berlokasi di dalam
nukelus, sebanyak 50% pada sitoplasma, dan sisanya terdapat pada membran sel.
yang berlebihan. Homeostatis seng intraselular dimediasi oleh dua kelompok protein,
yaitu kelompok seng importer dan kelompok seng transporter. Kelompok seng
importer (Zip; Zrt-, Irt-like proteins) terdiri dari 14 protein yang dapat
Pada Gambar 2.9 dapat dilihat apabila terjadi kelebihan ion Zn2+ pada
sitoplasma maka ion Zn2+ akan ditrasnportasikan ke luar sel oleh ZnTs yang
ditunjukkan dengan warna merah, yang memiliki peranan paling penting adalah ZnT-
1 melalui L-type calsium channels (Lazarczyk dkk, 2008). Seng transporter (ZIP)
terdiri dari ZIP1-6 pada membran sel, ZIP-7 pada apartus golgi dan retikulum
endoplasma, ZIP-8 pada vesikular berperan untuk pengambilan ion Zn2+ ke dalam
organel sel tersebut yang ditunjukkan oleh warna hijau (Lazarczyk dkk, 2008).
sangat penting untuk regulasi absropsi ion Zn2+ bersama dengan ZnTs. Sintesis MT di
hepatik dan usus halus distimulasi oleh suplementasi yang mengandung Zn (Roohani
dkk, 2013). Protein MT terdistribusi pada setiap organel sel (Lazarczyk dkk, 2008).
31
Transporter lain yang juga terlibat untuk absropsi ion Zn2+ adalah divalent
ditemukan pada kripta duodenum dan vili bagian bawah yang berperan untuk
Gambar 2.9
Homeostatis seng intraselular (Lazarczyk dkk, 2008)
(ZnR) yang terdapat pada kolonosit, keratinosit, serta kelenjar air liur. Terdapat efek
sinergis antara ion Zn2+ dengan Ca2+ pada pertumbuhan sel. Kerja ZnR sangat
intraselular dapat meninduksi aktivitas dari ZnR. Reseptor seng ini merupakan bagian
Pada Gambar 2.10 dapat dilihat seng di intraselular memiliki fungsi utama untuk
program kematian sel. Seng mempertahankan vitalitas selular dengan cara berfungsi
meregulasi program kematian sel atau apoptosis dengan cara menurunkan rasio antara
menghambat metabolisme energi, dan meninduksi stres oksidatif (Plum dkk, 2010).
Gambar 2.10
Fungsi seng intraselular (Plum dkk, 2010)
Seng diabsropsi di usus halus oleh mekanisme karier. Jumlah fraksi seng yang
diabsropsi sulit ditentukan karena seng juga disekresikan di usus. Pemberian seng
dengan laruran akuades pada individu yang puasa akan diserap lebih efisien
oleh tipe diet dan kandungan phytate yang terkandung pada makanan tersebut (Saper
dkk, 2009).
Makanan yang banyak mengandung seng adalah daging merah, makanan laut
serta produk susu seperti keju (Saper, 2009; Roohani 2013). Pada Tabel 2.2 dapat
dilihat kandungan seng pada berbagai sumber makanan (Solomons dkk, 2001).
Absropsi seng dapat meningkat jika diberikan dengan makanan yang banyak
mengandung asam amino (Roohani dkk, 2013). Absropsi seng akan terganggu karena
(Yanagisawa, 2004). Terdapat juga interaksi antara zat besi dan seng. Salmon dan
Jacob, menyatakan bahwa konsumsi zat besi dosis tinggi dapat menghambat absropsi
Tabel 2.2
Kandugan Seng Pada Makanan (Solomons dkk, 2001)
seng. Sitokin IL-6 dapat meninduksi seng trasnporter Zrt- dan Irt-like protein (ZIP),
kadar seng pada plasma. Kondisi hipozemia disebabkan karena terjadi pengambilan
ion Zn2+ oleh ZIP transporter ke hepatosit kemudian diikat oleh protein MT di dalam
hepatosit (ditunjukkan oleh garis terang pada Gambar 2.11). Kondisi ini akan
(ditunjukkan oleh garis putus-putus pada Gambar 2.11) (Overbeck dkk, 2008).
35
Gambar 2.11
Pengaruh inflamasi terhadap homeostatis seng (Overbeck dkk, 2008)
elemen seng yang dibsropsi akan dieliminasi oleh tubuh. Sejumlah elemen seng yang
disekresikan melalui kelenjar empedu dan usus halus, sebagian besar dapat diserap
kembali oleh tubuh. Hal ini penting untuk mempertahankan keseimbangan seng
dalam tubuh. Jalur eliminasi seng yang lainnya adalah melalui ekskresi urin, feses,
adneksa kulit seperti folikel rambut, kuku serta keringat dan proses deskuamasi pada
kulit (Roohani dkk, 2013; Gibson dkk, 2016). Seng juga dapat dieliminasi melalui
darah menstruasi pada perempuan dan cairan semen pada laki-laki (Gibson dkk,
2016).
dengan fraksi absropsi seng yang normal sebanyak 20-40% dari konsumsi seng.
Ekskresi seng melalui urin sebanyak 0,5 mg/kg dan melalui saluran pencernaan
sebanyak 1-3 mg/kg. Pada Tabel 2.3 dapat dilihat perkiraan eliminasi seng dari tubuh
36
Group (IZiNCG), dan European Food Safety Agency (EFSA) (Gibson dkk, 2016).
Tabel 2.3
Tabel Eliminasi Seng Pada Laki-Laki dan Perempuan Dewasa (mg/kg)
(Gibson dkk, 2016)
mengandung seng dapat mencukupi sebanyak 50% kebutuhan fisiologis seng oleh
tubuh. Dosis Kebutuhan harian seng pada anak-anak dengan malnutrisi yaitu antara
2mg /kg berat badan sampai 4 mg/kg berat badan. Pada anak-anak yang sehat usia 1
sampai 3 tahun, dosis harian seng hanya 0,17 mg/kg berat badan. Dosis kebutuhan
harian seng paling tinggi pada masa pertumbuhan, yaitu pada perempuan usia 10
37
sampai 15 tahun dan laki-laki usia 12 sampai 15 tahun. Kebutuhan akan seng yang
tinggi juga terjadi pada wanita hamil dan menyusui (Roohani dkk, 2013).
Pada orang tua, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi defisiensi seng
absropsi seng oleh tubuh seiring dengan bertambahnya usia (Roohani dkk, 2013).
Pada Tabel 2.4 dapat dilihat perkiraan dosis kebutuhan harian seng pada berbagai
kelompok usia dan jenis kelamin berdasarkan WHO dan IOM (Roohani dkk, 2013;
Tabel 2.4
Dosis Kebutuhan Harian Seng Berdasarkan Kelompok Usia dan Jenis Kelamin
(Roohani dkk, 2013; Gibson dkk, 2016)
seng. Seng akan berdistribusi dalam plasma atau serum dan akan berikatan dengan
beberapa protein seperti albumin, α-microglobulin, dan transferin. Pada Tabel 2.5
dapat dilihat nilai konsentrasi seng plasma yang normal berdasarkan National Health
and Nutrition Examination Survey di Amerika Serikat. Konsentrasi seng pada plasma
berfluktuasi sebanyak 20% dalam periode 24 jam, yang dipengaruhi oleh makanan
yang dikonsumsi. Setelah konsumsi makanan, akan terjadi peningkatan kadar seng
plasma segera, kemudian konsentrasi tersebut akan menurun dalam waktu 4 jam
setelah makan. Setelah berpuasa sepanjang malam dikatakan terjadinya respon tubuh
konsentrasi seng plasma tertinggi di pagi hari (Roohani dkk, 2013). Pada Tabel 2.6
dapat dilihat konsentrasi seng plasma yang normal, meningkat (intoksikasi), dan
Konsentrasi seng plasma dapat menurun dalam konsisi infeksi dan inflamasi karena
terjadi perubahan distribusi seng dari plasma ke hati, akibat sitokin yang dihasilkan
selama infeksi dan inflamasi akan mengaktifkan sintesis MT di hepatik, yang akan
konsentrasi seng plasma adalah stres dan infak miokardium. Penyakit sirosis serta
konsentrasi seng plasma karena seng pada plasma berikatan dengan albumin.
39
Hemodilusi yang terjadi selama kehamilan, penguna kontrasepsi oral, dan terapi
yang dapat meningkatkan kadar seng plasma adalah adanya hemolisis pada sel darah.
Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar seng plasma adalah thiazide, loop
diuretics, dan disulfirams. Pada Tabel 2.7 dapat dilihat ringkasan kondisi yang dapat
Tabel 2.6
Nilai Kosentrasi Seng Plasma Normal, Intoksikasi, dan Defisiensi (μg/dl)
(Yanagisawa dkk, 2004)
Tabel 2.7
Kondisi Yang Mempengaruhi Konsentrasi Seng Plasma
(Roohani dkk, 2016; Yanagisawa dkk, 2004)
imnunitas alamiah dari neutrofil dan sel NK kemudian selanjutnya memediasi respon
imunitas selular. Pada kondisi defisiensi seng dapat mempengaruhi fungsi makrofag
dapat menurunkan respon imunitas selular. Seng merupakan elemen yang sangat
dapat menyebabkan atrofi timus dan berkurangnya jumlah sel timosit (Blewett dkk,
2012). Timus memiliki peranan sangat penting untuk maturasi sel T, apabila terjadi
penurunan maturasi dari sel Th1 akan menurunkan produksi IL-2 dan IFN-γ.
Penurunan dari IL-2 akan menurunkan sel NK dan aktivitas sitotoksik dari sel T.
41
Penelitian yang dilakukan oleh Prasad, pada hewan percobaan yang diberikan diet
seng minimal hanya 3-5 mg/hari selama 12 minggu didapatkan adanya penurunan
rasio T4+ terhadap T8+, berkurangnya IL-2 serta sel NK (Prasad, 2009). Pada
Gambar 2.12 dapat dilihat bagaimana pengaruh seng terhadap sel imun. Garis panah
Gambar 2.12
Peranan seng pada sistem imun (Prasad, 2009)
seng intraselular terhadap ekspresi MHC kelas II pada sel dendritik, yang memiliki
peranan sangat penting untuk mempresentasikan antigen kepada sel T. Pada kondisi
42
seng yang normal, terdapat peningkatan ekspresi ZnTs yang akan meninduksi
maturasi dari sel dendritik tanpa menurunkan kadar seng intraseluar. Penelitian ini
(Kitamura, 2006).
Seng sangat diperlukan untuk mengatur sintesis DNA dan transkripsi RNA serta
pembelahan sel. Apabila terjadi kondisi defisiensi seng maka akan mempengaruhi
kemampuan program kematian sel atau apoptosis. Protein E6 dan E7 HPV berperan
penting terhadap patogenesis infeksi HPV yang persisten. Protein E6 dan E7 dapat
menghambat tumor supresor gen (p53 dan pRB) pada sel host, sehingga HPV dapat
Penelititian yang dilakukan oleh Bae dkk, menunjukkan bahwa akumulasi seng
intraselular akan dapat menghambat protein E6 dan E7 dari virus. Hal ini
kematian sel. Penelitian ini meneliti efek seng dalam bentuk CIZAR (terdiri dari seng
klorida dan asam sitrat anhidrat dengan pH 7) pada regulasi pertumbuhan sel
karsinoma serviks yang memiliki DNA HPV-16, HPV-18, dan kombinasi kedua
43
HPV-16 dan HPV-18. Viabilitas sel diukur dengan Cell Counting Kit (CCK)-8 Assay
Zinc Assay Kit (Sentinel CH, Milano, Italia). Penelitian ini menunjukkan bahwa hasil
kultur sel yang diberikan CIZAR akan menyebabkan peningkatan kadar seng
intraselular dan penghambatan kelangsungan hidup HPV tersebut. Pada penelitian ini
meningkatkan ekspresi Bax dan mengurangi ekspresi Bcl-2. Bax merupakan protein
proapoptotis yang meningkatkan kematian sel, mekanisme kerja Bax bersaing dengan
Pada Gambar 2.13 dapat dilihat bagaimana efek seng terhadap apoptosis.
ditunjukkan oleh garis panah putus-putus. Apabila ROS dihambat maka tidak akan
faktor pertumbuhan (VEGF, cyclin D1, EGFR) dan molekul antiapoptosis (Bcl2,
BclXL, cIAP-2) yang berperan penting pada proliferasi sel (Prasad dkk, 2009).
Penelitian in-vitro terbaru pada tahun 2017 oleh Wu dkk, yang menilai efek
apoptosis dari larutan nano partikel seng okdisa yang dilapisi oleh chitosan terhadap
sel kanker servik yang sering disebabkan oleh infeksi HPV tipe 16. Hasil penelitian
ini menunjukkan larutan nano partikel seng okdisa yang dilapisi oleh chitosan dapat
terhadap sel kanker melalui mekanisme apoptosis dan nekrosis. Penilaian terhadap sel
44
yang mengalami apoptosis dapat dilihat dengan Hoechst 33342 nuclear staining
Gambar 2.13
Efek seng terhadap apotosis (Prasad, 2009)
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Raza dkk, menyatakan bahwa kadar
seng ditemukan lebih rendah pada subjek dengan infeksi HPV (rata-rata kadar seng
804,38 μg/l) dibandingkan dengan subjek kontrol (rata-rata kadar seng 836,17 μg/l)
(Raza dkk; 2010). Penelitian oleh Al-Gurnairi dkk, juga menyatakan bahwa kadar
seng ditemukan lebih rendah pada subjek dengan infeksi HPV (rata-rata kadar seng
87,8±10,7 μg 100mL-1) (Gurairi dkk; 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Naseri
45
dkk didapatkan kolerasi negatif yang kuat antara kadar seng plasma dengan jumlah
lesi infeksi HPV (r = - 0,646, p = 0,002), tetapi hanya didapatkan korelasi negatif
yang sangat lemah antara kadar seng plasma dengan durasi infeksi HPV ( r= - 0,0083,
kadar seng pada 30 subjek dengan infkesi HPV dan 30 subjek tanpa infkesi HPV,
didapatkan bahwa rerata kadar seng pada subjek dengan infkesi HPV lebih rendah
(41,3±12,8 μg/dl) dibandingkan dengan rerata kadar seng pada subjek tanpa infeksi
HPV (119,1±15,9 μg/dl). Pada 30 subjek infeksi HPV ini kemudian diberikan terapi
seng oral sebagai imunomodulator dan dilakukan kembali pengukuran ulang kadar
seng plasma 2 bulan setelah pemberian terapi seng sulfat oral dosis 10mg/kg berat
badan/hari (sampai maksimal mencapai dosis 600 mg/hari). Hasil penelitian ini
didapatkan peningkatan kadar seng plasma setelah pemberian terapi seng sulfat oral.
Rata-rata kadar seng plasma sebelum terapi pada subjek dengan infeksi HPV adalah
41,3±12,8 μg/dl sedangkan rata-rata kadar seng plasma setelah terapi adalah