Anda di halaman 1dari 38

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kondiloma Akuminata

2.1.1 Definisi dan Manifestasi Klinis

Kondiloma akuminata adalah penyakit yang disebabkan oleh Human

Papilloma Virus (HPV) pada anogenital. Kondiloma akuminata memiliki gambaran

klinis yang bervariasi dan paling sering mengenai area mukosa anogenital yang

rentan terhadap mikrotrauma selama koitus, seperti introitus, kulit perianal, dan

mukosa intraanal. Gambaran klinis penyakit kondiloma akuminata sebagai papul atau

lesi bertangkai, dengan papila granular pada permukaan yang menyebabkan

penampakan verukosa. Lesi awalnya muncul sebagai papul kecil dengan diameter

berkisar antara 2 sampai 5 mm namun dapat tumbuh membentuk kelompok besar,

konfluen dengan diameter hingga beberapa sentimeter (Gormley, 2012; Yanofsky,

2012). Terdapat dua tipe morfologis kondiloma akuminata (Gambar 2.1), yaitu

bentuk penampakan klinis menyerupai kembang kol (akuminata) dan bentuk papular

dengan papul berbentuk kubah berdiameter 1-4 mm yang dibedakan lagi menjadi

bentuk papul keratotik yang menyerupai veruka vulgaris atau keratosis seboroik serta

bentuk papul datar menyerupai veruka plana (Winer, 2008; Douglas, 2010). Apabila

lesi kondiloma akuminata berupa tumor eksofilik berbentuk kembang kol yang

berukuran sangat besar dengan diameter lesi mencapai 10 cm maka dikatakan

8
9

memiliki gambaran morfologi giant kondioma akuminata atau Buschke-Lowenstein

Tumours (Tripoli dkk, 2012).

Kondiloma akuminata dapat meluas ke rektum, uretra, vagina, dan serviks.

Sebagian besar kasus kondiloma akuminata tidak menunjukkan gejala, tetapi

beberapa pasien mungkin mengalami pruritus, rasa terbakar ringan, perdarahan, atau

iritasi disamping stres psikologis, kecemasan dan rasa malu (Fathi, 2014). Lesi

kondiloma akuminata dapat mengalami trauma akibat gesekan yang disebabkan oleh

hubungan seksual atau pakaian sehingga mengakibatkan infeksi sekunder serta

peningkatan risiko penularan (Gormley, 2012). Masa inkubasi virus bervariasi,

biasanya 3 minggu sampai 8 bulan, namun pada beberapa kasus dapat mencapai

hingga 18 bulan (Gilson, 2015).

Diagnosis kondiloma akuminata dibuat berdasarkan klinis melalui inspeksi

visual. Gambaran klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan acetowhite.

Pemeriksaan ini menggunakan larutan asam asetat 3-5% yang akan memberikan

perubahan warna menjadi putih (acetowhitening). Pemeriksaan biopsi pada

kondiloma akuminata diindikasikan jika diagnosis masih tidak pasti, ketika lesi gagal

berespon atau menjadi lebih parah selama terapi, atau ketika kondiloma memiliki

gambaran yang tidak biasa, termasuk pigmentasi, perdarahan yang berlebihan serta

ulkus (Gormley, 2012).

Kondiloma akuminata pada anogenital dapat dibuat derajat keparahannya

berdasarkan jumlah lesi dan luas area lesi kondiloma akuminata yang menutupi

permukaan anogenital. Masing-masing lokasi anogenital meliputi kulit perianal,


10

mukosa intraanal, dan genitalia (laki-laki atau wanita) akan diberikan penilaian secara

terpisah dari nilai 1 sampai 5. Pada Tabel 2.1 dapat dilihat derajat keparahan

kondiloma akuminata anogenital (Orkin, 2001)

Gambar 2.1
Gambaran Klinis Kondiloma Akuminata.
A. Bentuk kembang kol (akuminata), B. Bentuk Papular, C. Papul Keratotik,
D. Papul Datar (Douglas dkk, 2010)

Tabel 2.1
Derajat Keparahan Kondiloma Akuminata Anogenital
(Orkin, 2001)

Lokasi Penilaian
1. Kulit Perianal
1. Lesi berjumlah 1-3, bentuk papul, berukuran
diameter 1-4 mm, tersebar (diskret)
2. Mukosa Intraanal 2. Lesi berjumlah > 3, bentuk papul, ukuran 1-4 mm,
yang menutupi 5%-30% area permukaan lokasi
3. Lesi berkonfluen menutupi 30% - 50% area
permukaan lokasi
3. Genitalia (Laki- 4. Lesi berkonfluen menutupi 50% - 75% area
laki atau Wanita) permukaan lokasi
5. Lesi berkonfluen menutupi > 75% area permukaan
lokasi
11

2.1.2 Durasi Infeksi HPV

Durasi infeksi HPV dapat diklasifikasikan menjadi infeksi transien, akut, laten,

dan kronis (Gambar 2.2). Infeksi HPV transien adalah infeksi yang belum

menunjukkan adanya gejala klinis tetapi materi genetik virus sudah dapat terdeteksi

pada tubuh. Infeksi HPV akut adalah infeksi yang sudah menunjukkan adanya gejala

klinis dengan gejala klinis tersebut dapat hilang dalam waktu ≤ 1 tahun. Ketika

infkesi HPV akut sembuh tanpa gejala klinis, tetapi tetap terdeteksi adanya virus pada

tubuh menunjukkan adanya infeksi HPV laten. Pada infeksi HPV laten, virus tidak

berhasilkan dihilangkan oleh tubuh sehingga terus dapat memperhatankan replikasi

virus. Infeksi HPV kronis adalah infeksi yang tetap menunjukkan gejala klinis sampai

> 1 tahun. Infeksi kronis dapat mempertahakan aktivitas virus tetap tinggi pada

periode waktu yang lama, sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi kerusakan

molekular yang dapat berkembang menjadi keganasan. Infeksi kronis ditandai dengan

adanya lesi yang terus berkembang pada satu lokasi anatomi. Kondisi reinfeksi bisa

ditandai dengan munculnya beberapa lesi pada beberapa lokasi anatomi yang

berbeda, dan kondisi ini juga dapat menyebabkan infeksi HPV yang kronis (Alizon

dkk, 2017).

Pada studi prospektif didapatkan bahwa sebagian besar wanita yang terinfeksi

tipe HPV spesifik dalam waktu 6 sampai 12 tahun tidak menunjukkan adanya infeksi

oleh tipe HPV spesifik yang sama seperti sebelumnya. Studi kohort ini mendukung

bahwa durasi median terdeteksi HPV tipe spesifik yang sama adalah 1 tahun.

Beberapa studi ada yang menyatakan infeksi HPV tersebut akan dikatakan persisten
12

jika tetap terdeteksi tipe HPV spesifik yang sama dalam 2 kali follow up berurutan

dengan interval periode follow up tersebut adalah 4 sampai 6 bulan (Baseman dkk,

2005).

Durasi infeksi HPV sangat dipengaruhi oleh aktivitas virus seperti pola

ekspresi gen virus, dinamika replikasi selular, dan sistem imun. Untuk dapat

menentukan durasi infeksi HPV dilakukan penelitian yang dapat mendeteksi materi

genetik virus pada tubuh dan mengetahui genotif dari tipe virus HPV yang

meninfeksi (Alizon dkk, 2017).

Penelitian kohort yang dilakukan oleh Giuliano dkk, meneliti tentang durasi

infeksi HPV pada 209 laki-laki. Durasi infeksi HPV diukur dari rentang waktu

pertama kali terdeteksi hasil pemeriksaan PCR HPV yang positif sampai didapatkan

hasil pemeriksaan PCR HPV yang negatif. Durasi median infeksi HPV pada

penelitian ini adalah 5,9 bulan (CI 95%, 5,7-6,1 bulan). Sebanyak 75% infeksi dapat

hilang dalam waktu 12 bulan setelah terdeteksi DNA HPV (Guiliano dkk, 2008).

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ramanakumar dkk, menyatakan

bahwa durasi median infeksi HPV dipengaruhi oleh tipe HPV apakah termasuk tipe

HPV risiko tinggi atau risiko rendah. Sebanyak 54,1% infkesi HPV risiko tinggi

menjadi infeksi persisten sedangkan hanya 32,3% infeksi HPV risiko rendah yang

menjadi infeksi persisten. Median durasi infeksi juga ditemukan lebih lama pada

HPV risiko tinggi (misalnya HPV tipe 16 dengan media durasi infeksi 11,8 bulan,

10,3-16,7 bulan) dibandingkan dengan HPV risiko rendah (misalnya HPV tipe 6

dengan median durasi infeksi 6,5 bulan, 5,7-9 bulan) (Ramanakumar dkk, 2016)
13

Gambar 2.2
Durasi Infeksi HPV (Alizon dkk, 2012)

2.1.3 Epidemiologi

Kondiloma akuminata diperkirakan mengenai 1% sampai 2% dari individu

seksual aktif di Amerika Serikat, dengan insiden yang terus meningkat sejak tahun

1950. Di Amerika Utara, angka kejadian tahunan sebesar 100 kasus per 100.000

individu, dengan risiko kumulatif seumur hidup mendekati 10%, membuat kondiloma

akuminata lebih umum daripada kanker payudara dan prostat (Gormley, 2012).

Kondiloma akuminata termasuk peringkat ke-3 penyakit Infeksi Menular

Seksual (IMS) terbanyak di Indonesia pada tahun 2007 sampai 2011. Data yang

dilaporkan oleh Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Indonesia dari 13 rumah

sakit pusat pendidikan spesialis kulit dan kelamin, meliputi Jakarta, Bandung,

Manado, Medan, Padang, Yogyakarta, Surakarta, Malang, Surabaya, Palembang,

Semarang, dan Denpasar antara tahun 2007 sampai 2011, menunjukkan adanya
14

kecenderungan peningkatan proporsi kondiloma akuminata dibandingkan dengan

infeksi menular seksual lainnya dalam 5 tahun terakhir (2007-2011), yaitu sebagai

berikut: 2007 (21,25%), 2008 (33,81%), 2009 (33,66%), 2010 (29,25%), dan 2011

(30,58%) (Indriatmi, 2012).

Kondiloma akuminata di poliklinik kulit dan kelamin rumah sakit umum pusat

(RSUP) Sanglah Denpasar pada tahun 2014-2016 didapatkan sebanyak 231 orang

(4,27%). Kejadian kondiloma akuminata pada laki-laki sebanyak 145 orang (62,77%)

sedangkan pada wanita sebanyak 86 orang (37,23%). Didapatkan usia terbanyak

remaja dengan rentang usia 12-25 tahun sebanyak 116 orang (50,22%) (Register

Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, 2014-2016).

2.1.4 Etiologi dan Patogenesis

Kondiloma akuminata paling sering disebabkan oleh HPV tipe -6 dan -11.

Subtipe HPV lainnya yang dapat menyebabkan infeksi anogenital antara lain tipe -16,

-18, -31, -33, -35, -39, -41 hingga -45, -56, dan -59 (Gormley, 2012). Terdapat lebih

dari 120 subtipe HPV berbeda yang telah teridentifikasi, 40 subtipe HPV tersebut

dapat menyebabkan infeksi anogenital. Subtipe HPV ini dibedakan menjadi risiko

rendah seperti HPV tipe 6 dan 11, risiko sedang karena dapat menyebabkan

neoplasma pada sel skuamosa tetapi tidak sampai terjadi karsinoma sel skuamosa

seperti tipe -31, -33, -35, -45, -51, -52, -56, -58, dan -59, serta risiko tinggi karena

dapat menyebabkan karsinoma sel skuamosa seperti tipe -16 dan -18 (Yanofsky dkk,

2012).
15

Human papilloma virus menginfeksi sel epitel berlapis yang aktif membelah

melalui mikroabrasi pada kulit atau mukosa. Mekanisme perlekatan virus dimediasi

oleh heparin sulfat proteoglikan. Masuknya virus ke dalam sel keratinosit melalui

endositosis yang dimediasi oleh chlatrin (Egelkrout, 2008; Baez, 2012). Setelah virus

masuk ke dalam sel, akan terjadi translokasi DNA virus dengan nukles sel host.

Protein kapsid L2 terlibat pada proses translokasi ini dan proses ini berinteraksi

dengan mikrotubulus. Genom virus terdiri berukuran 8 kb memiliki bentuk melingkar

yang merupakan virus DNA. Genom virus terdiri dari 8 open reading frames yang

menkode masing-masing lokasi early seperti E1,E2,E4,E5,E6 dan E7 serta lokasi late

seperti L1 dan L2. Genom virus juga terdiri dari long control region yang berperan

pada proses transkripsi gen virus, mulainya replikasi virus serta mempertahankan

genom virus melalui mitosis (Lehoux dkk, 2009). Genom virus yang telah

ditranslokasikan ke nukleus akan menekspresikan gen E1 dan E2 dalam jumlah yang

rendah untuk mempertahankan salinan genom (Egelkrout, 2008; Baez, 2012).

Replikasi dari genom virus memerlukan protein E1 yang memiliki aktivitas

helicase-ATPase. Protein E1 dapat berinteraksi dengan beberapa faktor replikasi yang

terdapat pada sel host, seperti polymerase α-primase, replication protein A,

topoisomerase I, dan cyclin E/Cdk2. Protein E2 berfungsi sebagai faktor transkripsi,

mediator untuk memilah genom virus yang memiliki peranan penting untuk

persistensi virus (Lehoux dkk, 2009).


16

Pada lapisan suprabasal, ekspresi gen E1, E2, E5, E6 dan E7 berkontribusi

untuk mempertahankan genom virus dan menginduksi proliferasi sel, meningkatkan

jumlah sel terinfeksi HPV pada epitel, menghasilkan sel dalam jumlah besar yang

pada akhirnya memproduksi virion protein L1 dan L2 yang infeksius. Protein E4 dan

E5 berperan dalam menginduksi amplifikasi replikasi genom virus, meningkatkan

jumlah salinan virus per sel dalam jumlah besar, dan dalam waktu bersamaan juga

terjadi ekspresi virion L1 dan L2. Produksi virion L1 dan L2 yaitu protein kapsid

mayor dan minor, bergabung untuk pembentukan kapsid virus dan pembentukan

virion pada lapisan granular, yang kemudian mencapai lapisan tanduk dan dilepaskan

bersama dengan deskuamasi sel epitel (Gambar 2.3) (Fernandes dkk, 2012). Proses

deskuamasi difasilitasi juga dengan protein E4 yang dapat mengganggu hubungan

antara keratinosit (Lehoux dkk, 2009).

Gambar 2.3
Siklus hidup virus HPV (Fernandes dkk, 2012)
17

2.1.5 Patogenesis Terganggunya Regulasi Apoptosis Sel Pada Infeksi HPV

Apoptosis merupakan program genetik proses kematian sel untuk

mempertahankan homeostatis dan perkembangan normal sel pada organisme

multiselular. Proses apoptosis ditandai dengan rusaknya membran sel, kondensasi

serta fragmentasi sel dan nukleus, degradasi kromosom DNA pada unit nekleolus.

Apoptosis bertujuan untuk meneleminasi sel yang secara potensial berbahaya akibat

terkena radiasi ataupun infeksi virus. Terganggunya regulasi apoptosis, sangat

berperan pada patogenesis infeksi HPV (Li dkk, 2005).

Efek primer protein E6 yang dihasilkan oleh virus HPV dapat berikatan dan

menghambat p53. Hambatan terhapat p53 ini akan dapat mengganggu apoptosis sel.

Protein E6 juga dapat berinteraksi dengan beberapa protein intrinsik dan ekstrinsik

yang terlibat dalam apoptosis seperti Bax, Bak, dan menurunkan efek signal program

kematian sel. Protein E6 dapat mengganggu integritas jaringan dengan cara

melakukan adesi molekul lokal pada protein PDZ domain. Protein PDZ domain

merupakan pusat dari pengaturan jalur signal transduksi sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya transformasi selular (Munger dkk, 2004). Protein E6 dapat

mempengaruhi regulasi telomerase dengan cara meninduksi telomerase hHERT

melalui aktivasi faktor transkripsi oleh My dan Sp1 dan menghambat transkripsi

NFX1-91. Protein E6 dapat menghambat produksi antivirus IFN oleh sel host (Saito

dkk, 2007). Protein E6 ini biasanya lebih sering ditemukan pada HPV risiko tinggi

(Gambar 2.4) (Lehoux dkk, 2009).


18

Gambar 2.4
Interaksi protein E6 dengan protein selular yang telibat pada apoptosis
(Lehoux dkk, 2009)

Pada HPV tipe α (HPV yang meninfeksi sel epitel mukosa), protein E6 dapat

berinteraksi dengan mesin apoptosis pada sel host, seperti tumor necrosis factor

receptor 1 (TNF R1), molekul Fas-associated death domain (FADD), dan procaspase

8. Interaksi antara protein E6 dengan FAAD dan procaspase 8 terjadi pada death

effector domains (DEDs). Pada HPV tipe β (HPV yang meninfeksi sel epitel kulit),

protein E6 dapat berinteraksi dengan molekul proapoptosis Bak dan menyebabkan

degradasi ptroteosomal (Tomaic, 2016).

2.1.6 Patogenesis Terganggunya Proliferasi Sel Pada Infeksi HPV

Mekanisme molekular terjadinya induksi proliferasi sel pada infeksi HPV

disebabkan oleh adanya protein E7. Terdapat empat mekanisme yang terlibat, yaitu

terjadi hambatan dan degradasi pRb dan peningkatan protein p107 serta p130,
19

stimulasi dari sintesis serta aktivasi cyclin A/ECdk2, hambatan pada inhibitor Cdk2

yaitu p21 dan p27, serta hambatan pada histone deacetylases (HDAC) spesifik.

Protein E6 dan E7 memiliki peranan pada induksi proliferasi sel melalui hambatan

terhadap p53, yang kemudian akan menurunkan transkripsi dari p21 dan p27 serta

mencegah terjadinya apoptosis. Efek sinergis antara protein E6 dan E7

mengakibatkan pembelahan sel yang tidak terkontrol dan memiliki ketidakstabilan

genom yang tinggi, sehingga akan menfasilitasi integrasi virus pada genom host

(Lehoux dkk, 2009; Tomaic, 2016) (Gambar 2.5). Protein E7 dapat menyebabkan

terjadinya degradasi pada molekul pRb melalui mekanisme calcium activated

cysteine protease calpain kemudian akan mempromosikan proteosomal yang

menyebabkan degradasi pRB (Saito dkk, 2007).

Gambar 2.5
Mekanisme molekukar induksi proliferasi sel pada infeksi HPV
(Lehoux dkk, 2009)
20

2.1.7 Patogenesis Infeksi HPV Persisten

Infeksi HPV dapat menjadi persisten pada 10-20% kasus. Infeksi HPV yang

persisten dapat berkembang menjadi central intraepithelial neoplasia (CIN) yang

kemudian diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahannya. Selanjutnya dapat

berkembang menjadi low-grade squmous intraepithelial lesions (LSIL), high-grade

squamous intraepithelial lesions (HSIL), dan menjadi karsinoma invasif. Regresi

tumor dapat terjadi pada awal pengobatan yang ditunjukkan dengan panah berwarna

hijau, tetapi pada beberapa kasus dapat berkembang menjadi infeksi laten yang sering

mengalami rekurensi (Gambar 2.6) (Shanmugasundaram, 2017).

Faktor risiko yang menyebabkan infeksi HPV yang persisten adalah faktor

genetik, gaya hidup, koinfeksi dengan berbagai varian tipe HPV, serta sistem

imunitas host. Terdapat beberapa penelitian tentang HLA yang berhubungan dengan

infeksi HPV yang persisten, yaitu HLA-DQB1*02 dikatakan dapat menghambat

respon imunitas selular terhadap infeksi HPV tipe 16, HLA-DQw3 berhubungan

dengan terjadinya skuamous sel karsinoma servikal pada infeksi HPV, serta HLA-

DRB1 yang berhubungan dengan infeksi HPV yang persisten pada wanita di Mexiko.

Faktor gaya hidup yang berperan pada infeksi HPV yang persisten adalah kebiasaan

merokok dan konsumsi alkohol, kandungan bahan karsinogen pada rokok dan alkohol

dikatakan dapat meningkatkan jumlah virus HPV dan meningkatkan transformasi sel

epitel menjadi keganasan. Faktor koinfeksi dengan berbagai varian tipe virus HPV,

ditemukan pada beberapa penelitian juga berperan pada infeksi HPV yang persisten.
21

Faktor yang paling berperan penting dalam infeksi HPV yang persisten adalah sistem

imunitas host (Shanmugasundaram, 2017).

Gambar 2.6
Patogenesis infeksi HPV persisten (Shanmugasundaram, 2017)

2.1.8 Respon Imun Terhadap Infeksi HPV

Human Papilloma Virus merupakan virus yang berisfat obligat intraselular,

yang dapat berkembangbiak di dalam sel host dan menggunakan mesin sintesis asam

nukleat serta protein dari sel host. Mekanisme respon imun host terhadap infeksi

HPV berupa mekanisme imunitas alamiah maupun imunitas spesifik (Gambar 2.7)

(Shanmugasundaram, 2017).

Sel imun yang berperan pada imunitas alamiah adalah interferon dan sel NK

(Shanmugasundaram, 2017). Mekanisme imunitas alamiah terhadap infeksi HPV

adalah keratinosit yang mampu menghasilkan transforming growth factor β (TGF-β),

tumor necroting factor (TNF), interferon (IFN) α dan β yang dapat menghambat

replikasi HPV pada keratinosit yang terinfeksi oleh HPV, termasuk menghambat
22

protein E6 dan E7 (Lee dkk, 2007; Arney dkk, 2010). Sel NK dapat membunuh sel

yang terinfeksi virus sebelum memulai respon imun spesifik selanjutnya. Sel NK

dapat mengenali sel yang terinfeksi tanpa mengekspresikan mayor histocompatibility

complex (MHC)-I (Shanmugasundaram, 2017).

Sel langerhans dan sel dendritik memiliki peranan penting pada imunitas adaptif

atau spesifik karena kemampuannya menangkap antigen kemudian akan

dipresentasikan kepada sel T naif. Sel T kemudian akan berdiferensiasi menghasilkan

sejumlah sitokin, kemokin, dan molekul adesi pada lokasi yang terinfeksi. Infeksi

HPV yang persisten menunjukkan adanya respon imunitas selular lokal maupun

sistemik yang berkurang. Pada infeksi HPV yang persisten didapatkan berkurangnya

produksi sel T memori terhadap HPV, gagalnya ekspansi klonal limfosit, dan

ketidakmampuan sel T untuk melawan infeksi HPV. Regresi lesi pada infeksi HPV

ditandai dengan meningkatnya respon sel T sistemik terhadap genom protein

terutama E6 dan E7, disertai juga dengan peningkatan titer antibodi terhadap HPV

sebagai respon imunitas humoral (Abreu, 2012; Andropy, 2012).

Gambar 2.7
Respon imun terhadap infeksi HPV (Wulan dkk, 2015)
23

2.1.9 Penatalaksanaan Kondiloma Akuminata Anogenital

Terdapat berbagai modalitas terapi kondiloma akuminata dengan mekanisme

kerja yang berbeda-beda. Masing-masing memiliki indikasi, keuntungan dan

kerugian. Modalitas terapi kondiloma akuminata yang pertama adalah podofilin,

merupakan ekstrak resin tanaman Podophyllum peltatum dan Podophyllum emodi

yang dipurifikasi. Bekerja dengan cara berikatan terhadap protein mikrotubulus pada

sel yang terinfeksi sehingga menyebabkan penghentian mitosis pada metafase dan

akhirnya terjadi kematian sel. Kerja bahan ini akan lebih optimal bila diaplikasikan

langsung ke area yang terdapat lesi dan dibiarkan selama beberapa waktu (biasanya

4-6 jam) lalu dicuci. Bahan ini dapat mengakibatkan iritasi lokal (eritema, nyeri,

pruritus, sensasi terbakar, edema serta iritasi berat) dan sistemik sehingga aplikasinya

dibatasi tidak lebih dari 0,5 ml per sesi. Efek samping sistemik yang timbul dapat

berupa nausea, muntah, pusing, gagal ginjal, parestesia, leukopenia, koma, depresi

sumsum tulang, teratogenisitas, mutagenitsitas dan kematian sehingga merupakan

kontraindikasi absolut saat kehamilan. Podofilin biasa digunakan dalam preparat

tinktura 25%. Modalitas podofilin 25% topikal ini dikenal efektif, aman dan non

invasif dalam pengobatan kondiloma akuminata superfisial (Leszczyszyn, 2014;

Fathi, 2014).

Modalitas kondiloma akuminata yang kedua adalah podofilotoksin merupakan

ekstrak podofilin yang dimurnikan dalam bentuk preparat solusio 0,5% atau krim

0,15% (Leszczyszyn, 2014; Fathi, 2014). Podofilotoksin dianjurkan untuk digunakan

dalam pengobatan kutil pada penis dan genitalia eksterna wanita, dan juga sering
24

digunakan pada lesi anogenital. Siklus pengobatan terdiri dari aplikasi 2 kali sehari

selama 3 hari, diikuti 4 hari istirahat. Siklus ini diulangi sebanyak 4-5 kali siklus

(Lacey, 2011). Hubungan seksual setelah aplikasi preparat ini harus dihindari karena

dapat menyebabkan iritasi terhadap pasangannya (Gilson, 2015).

Modalitas terapi kondiloma akuminata yang ketiga adalah Trichloroacetic acid

(TCA). Solusio TCA 80-90% digunakan setiap minggu oleh dokter pada fasilitas

kesehatan yang memadai (klnik atau rumah sakit). TCA bekerja sebagai agen kaustik

yang menyebabkan nekrosis sel. Sensasi rasa terbakar yang hebat dapat dialami oleh

pasien selama 5-10 menit setelah aplikasi. Penetrasi yang mencapai dermis dapat

menyebabkan kerusakan jaringan dan tidak direkomendasikan untuk digunakan pada

kutil dengan volume yang besar (Lacey, 2011; Gilson, 2015). Bahan TCA ini bersifat

sangat korosif sehingga harus digunakan dengan sangat hati-hati. Proteksi kulit

sekitar lesi dengan petrolatum diperlukan, dan penggunaan agen penetral seperti

solusio sodium bikarbonat 5% juga kadang diperlukan bila terjadi aplikasi berlebihan

atau kontak sediaan dengan jaringan sekitar lesi. Agen ini diaplikasikan menggunaan

lidi kapas sebagai aplikator, biasanya dilakukan satu minggu sekali pada fasilitas

kesehatan. Bila penggunaan optimal, akan terbentuk ulkus dangkal yang menyembuh

tanpa terjadi skar (Lacey, 2011; Gilson, 2015).

Modalitas terapi kondiloma akuminata anogenital yang keempat adalah 5-

Fluorourasil yang merupakan anti metabolit DNA, tersedia sebagai preparat krim 5%.

Agen ini merupakan metabolit antineoplastik dan memiliki efektivitas sebagai

antivirus. Mekanisme kerja agen ini adalah dengan cara menghambat enzim timidilat
25

sintase, suatu enzim yang diperlukan dalam sintesis timidin. Timidin diperlukan

dalam sintesis DNA dan RNA sehingga menghambat replikasi selular dan proliferasi

sel pada virus (Kollipara dkk, 2015). Dikatakan efek eritema, nyeri, dan ulserasi yang

timbul pada pemakaian di mukosa lebih hebat dibanding podofilin sehingga harus

digunakan dengan pengawasan (Kollipara dkk, 2015; Grossberg dkk, 2010). Karena

efek sampingnya yang relatif lebih berat dibanding tinktura podofilin,

ketersediaannya yang relatif terbatas, dan harga yang cukup tinggi, menyebabkan

modalitas terapi ini sudah tidak umum digunakan sebagai pengobatan kondiloma

akuminata dalam praktek klinis sehari-hari (Batista, 2010).

Modalitas terapi kondiloma akuminata yang kelima adalah interferon α (IFN).

Interferon (IFN) adalah suatu protein dengan molekul berukuran kecil (15-28 kD) dan

sitokin glikoprotein (15-28 kD) yang dihasilkan oleh sel T, fibroblas dan sel lainnya

sebagai respon terhadap infeksi virus. Mekanisme kerja IFN-α adalah dengan cara

berikatan pada reseptor spesifik membran sel. Efeknya termasuk menginduksi enzim,

mensupresi proliferasi sel, menghambat proliferasi virus, meningkatkan aktivitas

fagositosis dan meningkatkan aktivitas sitotoksik limfosit T. IFN telah terbukti efektif

terhadap HPV secara in vitro maupun in vivo untuk melindungi sel host dari infeksi

HPV dan mengeliminasi DNA virus ekstrakromosomal terhadap sel yang terinfeksi.

Efek terapeutik IFN melawan virus terdiri dari 3 tahap, antara lain: bertindak sebagai

agen antivirus, memiliki efek antiproliferatif, dan meninduksi respon imun host.

Berdasarkan mekanisme tersebut IFN dapat dianggap cukup efektif untuk pengobatan

kondiloma akuminata. Aplikasi yang dianjurkan adalah 1 sampai 2 kali per minggu
26

selama 6 minggu. Efek samping penggunaan lokal IFN antara lain sensasi rasa

terbakar, gatal, dan nyeri. Efek samping sistemik yang mungkin timbul bila

digunakan berlebihan antara lain malaise, mialgia, sakit kepala, dan demam. Dapat

pula terjadi leukopenia dan trombositopenia sementara, yang kemudian akan

menghilang bila pengobatan dihentikan (Yang dkk, 2009).

Modalitas terapi kondiloma akuminata yang keenam adalah imiquimod yang

merupakan suatu imunomodulator yang bekerja sebagai agonis toll-like receptor-7

(TLR7) yang menyebabkan stimulasi makrofag pada jaringan lokal untuk melepaskan

interferon alfa dan sitokin lainnya. Preparat imiquimod ini tersedia dalam sediaan

krim 5%. Cara penggunaan krim tersebut adalah dengan aplikasi topikal 3 kali per

minggu dan dicuci 6-10 jam setelah aplikasi. Penggunaan krim ini dapat diteruskan

sampai 16 minggu. Respon pengobatan biasanya tampak setelah beberapa minggu

pemakaian. Pemakaian berkepanjangan sampai 20 minggu atau lebih dapat diberikan

bila pasien memberikan respon yang baik, namun tidak terdapat data yang

menunjukkan tingkat efektivitas pada pemakaian lebih dari 16 minggu. Bila pada

pasien yang diberi terapi imiquimod tidak terjadi respon terapi setelah 12-16 minggu

pengobatan, maka perlu diganti ke alternatif terapi yang lain (Gambar 2.5) (Lacey

dkk, 2011; Gilson dkk, 2015).

Modalitas terapi kondiloma akuminata anogenital yang ketujuh adalah bedah

eksisi. Terapi eksisi kutil menggunakan anestesi lokal sering digunakan pada lesi

berukuran besar atau bertangkai, atau untuk lesi yang lebih kecil dengan keratinisasi

pada lokasi yang lebih mudah dicapai (Lacey dkk, 2011; Gilson dkk, 2015).
27

Hemostasis saat tindakan berlangsung dapat dilakukan dengan elektrokauterisasi atau

aplikasi solusio hemostatik atau pasta (misalnya dengan ferrik subsulfat solusio

monsel atau dengan silver nitrat). Terapi dengan bedah eksisi ini perlu

dipertimbangkan sebagai suatu pilihan terapi pada lesi dengan jumlah sedikit atau

pada lesi berukuran besar yang sulit dihilangkan dengan modalitas lain. Tingkat

kesembuhan total (clearance rates) yang digunakan untuk mengukur efektivitas

tercatat sebesar 89-100% dan tingkat rekurensi sebesar 19-29% (Scheinfield, 2013).

Modalitas terapi kondiloma akuminata yang kedelapan adalah krioterapi yang

menggunakan nitrogen cair semprot atau dengan cryoprobe untuk menyebabkan

krionekrosis pada lesi dengan cara sitolisis pada dermal/epidermal junction. Tindakan

ini dilakukan hingga terlihat adanya halo yang menandakan terjadinya pembekuan

seluas beberapa milimeter di sekitar lesi. Krioterapi dapat dilakukan dalam 1 siklus

freeze-thaw atau dapat dilakukan 2 siklus (double freeze-thaw). Krioterapi biasanya

diulang dalam interval 1 minggu. Bila setelah 4 minggu tidak ada respon terapi maka

dapat dipertimbangkan untuk mengganti modalitas terapi (Sharma, 2017).

Modalitas terapi kondiloma akuminata yang kesembilan adalah elektrokauter

yang digunakan dalam bedah listrik mengakibatkan pembakaran lesi dan jaringan

sekitar. Elektrofulgurasi akan mengakibatkan terbakarnya lapisan superfisial dan

kerusakan jaringan dermis terbatas. Untuk penetrasi jaringan yang lebih dalam,

elektrodesikasi dapat digunakan. Prosedur ini diikuti dengan kuretase pada lesi untuk

mengambil jaringan yang telah terbakar. Pada bedah monopolar, berbagai bentuk

gelombang dapat digunakan, sehingga desikasi, cutting, atau koagulasi terjadi. Hal ini
28

mengakibatkan potongan lebih bersih dan terjadi kerusakan yang lebih sedikit pada

jaringan sekitarnya. Ventilasi yang adekuat harus digunakan untuk prosedur bedah

yang melibatkan penguapan, seperti penggunaan tudung ekstraksi (Scheinfield,

2013).

Modalitas terapi kondiloma akuminata yang kesepuluh adalah terapi laser

yang secara khusus diindikasikan untuk lesi kondiloma akuminata bervolume besar

dan dapat digunakan pada lokasi anatomi yang sulit dijangkau seperti pada meatus

uretra atau kanal. Terapi laser CO2 menggunakan energi sinar infra merah untuk

menguapkan jaringan yang terinfeksi dengan ablasi jaringan lokal karena trauma

termal yang terlokalisasi sehingga menyebabkan penguapan jaringan, menyebabkan

lesi menyembuh dengan cepat tanpa terbentuknya skar. Clearance rate setelah 1 kali

sesi terapi 95% tercapai, tetapi angka rekurensi bervariasi (Lacey dkk, 2011; Gilson

dkk, 2015).

Terapi dengan photodynamic therapy (PDT) merupakan teknik yang baru

dikembangkan dalam pengobatan kondiloma akuminata. PDT digunakan dengan

aplikasi 5-asam aminolevulinat (ALA) pada permukaan lesi selama 4 jam lalu

diradiasi dengan laser 635nm pada 100J cm2. Terapi ini diulang dengan interval 2

minggu. Remisi total terjadi setelah 1-4 sesi, clearance rate tercatat 83,9% dan

tingkat rekurensi 3,6% (Lacey dkk, 2011; Bakardzhiev, 2012).


29

Pasien dan dokter memutuskan suatu terapi berdasarkan morfologi


dan distribusi lesi kemudian memberikan rencana pengobatan yang
sesuai untuk masing-masing individu

Terapi yang Kondisi khusus: volume


dapat besar, lesi luas, neoplasia
diaplikasikan Terapi yang harus
diaplikasikan dokter intraepitelial, kehamilan,
pasien sendiri anak-anak.

Terapi tunggal Terapi multipel


menggunakan menghindari Penanganan
Podofilo anestesia anestesia/ eksisi Khusus
toksin
Imiquimod
Bedah beku/
Elektrokaute krioterapi
risasi TCA
Eksisi/ Podofilin
Kuretase
Laser

Gambar 2.8
Algoritma pengobatan kondiloma akuminata anogenital (Lacey dkk, 2011)

2.2 Seng (Zn)

Seng merupakan salah satu mineral yang diperlukan oleh tubuh. Seng memiliki

peranan untuk mempertahankan imunitas selular, replikasi DNA dan pembelahan sel.

Elemen seng terlibat dalam berbagai proses enzimatik dan faktor transkripsi pada

tubuh.

2.2.1 Homeostatis Seng Intraselular

Tubuh manusia mengandung 2 sampai 3 gram seng, dan sebanyak 90% seng

ditemukan pada otot dan tulang. Organ tubuh lainnya yang juga mengandung seng

adalah prostat, hati, saluran pencernaan, ginjal, kulit, otak, paru-paru, jantung dan
30

pankreas. Pada tingkat selular, sebanyak 30 sampai 40% seng berlokasi di dalam

nukelus, sebanyak 50% pada sitoplasma, dan sisanya terdapat pada membran sel.

Homeostatis seng intraselular penting untuk mencegah akumulasi seng intraselular

yang berlebihan. Homeostatis seng intraselular dimediasi oleh dua kelompok protein,

yaitu kelompok seng importer dan kelompok seng transporter. Kelompok seng

importer (Zip; Zrt-, Irt-like proteins) terdiri dari 14 protein yang dapat

mentransportasikan seng kedalam sitoplasma. Kelompok seng transporter (ZnT)

terdiri dari 10 protein yang mentransportasikan seng keluar dari sitoplasma.

Kelompok seng transporter juga meregulasi distribusi seng intraselular pada

retikulum endoplasma, mitokondria serta badan golgi (Plum dkk, 2010).

Pada Gambar 2.9 dapat dilihat apabila terjadi kelebihan ion Zn2+ pada

sitoplasma maka ion Zn2+ akan ditrasnportasikan ke luar sel oleh ZnTs yang

ditunjukkan dengan warna merah, yang memiliki peranan paling penting adalah ZnT-

1 melalui L-type calsium channels (Lazarczyk dkk, 2008). Seng transporter (ZIP)

terdiri dari ZIP1-6 pada membran sel, ZIP-7 pada apartus golgi dan retikulum

endoplasma, ZIP-8 pada vesikular berperan untuk pengambilan ion Zn2+ ke dalam

organel sel tersebut yang ditunjukkan oleh warna hijau (Lazarczyk dkk, 2008).

Protein metallothionein (MT), merupakan suatu protein pengikat di intraselular yang

sangat penting untuk regulasi absropsi ion Zn2+ bersama dengan ZnTs. Sintesis MT di

hepatik dan usus halus distimulasi oleh suplementasi yang mengandung Zn (Roohani

dkk, 2013). Protein MT terdistribusi pada setiap organel sel (Lazarczyk dkk, 2008).
31

Transporter lain yang juga terlibat untuk absropsi ion Zn2+ adalah divalent

cation transporetr (DCT 1), merupakan suatu polipeptida transmembran yang

ditemukan pada kripta duodenum dan vili bagian bawah yang berperan untuk

pengambilan ion Zn2+ ekstraselular (Roohani dkk, 2013).

Gambar 2.9
Homeostatis seng intraselular (Lazarczyk dkk, 2008)

Homeostatis seng intraselular juga diperhankan oleh adanya reseptor seng

(ZnR) yang terdapat pada kolonosit, keratinosit, serta kelenjar air liur. Terdapat efek

sinergis antara ion Zn2+ dengan Ca2+ pada pertumbuhan sel. Kerja ZnR sangat

dipengaruhi oleh perubahan ion Ca2+ intraselular. Pengeluaran dari Ca2+ di

intraselular dapat meninduksi aktivitas dari ZnR. Reseptor seng ini merupakan bagian

dari G protein-coupled receptors (GPCRs) yang berperan untuk mentransduksikan

signal intraselular (Hershfinkel dkk, 2007; Sato dkk, 2016)


32

Pada Gambar 2.10 dapat dilihat seng di intraselular memiliki fungsi utama untuk

mengatur keseimbangan dalam mempertahankan vitalitas selular dan meregulasi

program kematian sel. Seng mempertahankan vitalitas selular dengan cara berfungsi

sebagai catalytic dan co-catalytic, meningkatkan transduksi signal, proteksi terhadap

stres oksidatif, menghambat caspases, meningkatkan rasio antara Bcl-2/Bax. Seng

meregulasi program kematian sel atau apoptosis dengan cara menurunkan rasio antara

Bcl-2/Bax, menaktivasi molekul proapoptosis seperti p53, menaktivasi ion potasium,

menghambat metabolisme energi, dan meninduksi stres oksidatif (Plum dkk, 2010).

Gambar 2.10
Fungsi seng intraselular (Plum dkk, 2010)

2.2.2 Farmakokinetik Seng

2.2.2.1 Absropsi Seng


33

Seng diabsropsi di usus halus oleh mekanisme karier. Jumlah fraksi seng yang

diabsropsi sulit ditentukan karena seng juga disekresikan di usus. Pemberian seng

dengan laruran akuades pada individu yang puasa akan diserap lebih efisien

(penyerapan sebanyak 60-70%). Pemberian seng kurang efisien jika diberikan

bersamaan dengan makanan padat. Perbedaan kecepatan absropsi seng dipengaruhi

oleh tipe diet dan kandungan phytate yang terkandung pada makanan tersebut (Saper

dkk, 2009).

Makanan yang banyak mengandung seng adalah daging merah, makanan laut

serta produk susu seperti keju (Saper, 2009; Roohani 2013). Pada Tabel 2.2 dapat

dilihat kandungan seng pada berbagai sumber makanan (Solomons dkk, 2001).

Absropsi seng dapat meningkat jika diberikan dengan makanan yang banyak

mengandung asam amino (Roohani dkk, 2013). Absropsi seng akan terganggu karena

makanan yang dikonsumsi banyak mengandung penguat rasa seperti sodium

polyphosphate, phytic acid, atau Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA)

(Yanagisawa, 2004). Terdapat juga interaksi antara zat besi dan seng. Salmon dan

Jacob, menyatakan bahwa konsumsi zat besi dosis tinggi dapat menghambat absropsi

seng (Roohani dkk, 2013).

Tabel 2.2
Kandugan Seng Pada Makanan (Solomons dkk, 2001)

Sumber Makan (100 gram) Kandungan Zn (mg)


Keju 0,85-3,11
Daging Sapi 6,8
Daging Babi 3,5
Hati Sapi 3,13-6,07
34

Lidah Sapi 4,8


Daging Rusa 2,75
Kepiting 2,45-6,48
Lobster 2,48
Cumi 2,86
Udang 1,26
Kerang 77,35
Sereal Gandum 0,33
Sereal Jagung 1,8
Kacang Merah 1,89
Tahu 0,83
Tempe 1,5
2.2.2.2 Metabolisme Seng

Aspek penting yang mempengaruhi metabolisme seng di hati adalah kondisi

inflamasi. Sitokin proinflamsi memiliki pengaruh langsung terhadap homeostatis

seng. Sitokin IL-6 dapat meninduksi seng trasnporter Zrt- dan Irt-like protein (ZIP),

sehingga akan meningkatkan pengambilan seng ke hepatosit. Penelitian pada mencit

menunjukkan bahwa selama proses inflamasi yang menghasilkan endotoksin, protein

MT diperlukan untuk mengikat ion Zn2+ di hepatosit sehingga terjadi penurunan

kadar seng pada plasma. Kondisi hipozemia disebabkan karena terjadi pengambilan

ion Zn2+ oleh ZIP transporter ke hepatosit kemudian diikat oleh protein MT di dalam

hepatosit (ditunjukkan oleh garis terang pada Gambar 2.11). Kondisi ini akan

mempengaruhi sekresi sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh monosit

(ditunjukkan oleh garis putus-putus pada Gambar 2.11) (Overbeck dkk, 2008).
35

Gambar 2.11
Pengaruh inflamasi terhadap homeostatis seng (Overbeck dkk, 2008)

2.2.2.3 Eliminasi Seng

Eliminasi seng adalah melalui saluran pencernaan, diperkirakan setengah dari

elemen seng yang dibsropsi akan dieliminasi oleh tubuh. Sejumlah elemen seng yang

disekresikan melalui kelenjar empedu dan usus halus, sebagian besar dapat diserap

kembali oleh tubuh. Hal ini penting untuk mempertahankan keseimbangan seng

dalam tubuh. Jalur eliminasi seng yang lainnya adalah melalui ekskresi urin, feses,

adneksa kulit seperti folikel rambut, kuku serta keringat dan proses deskuamasi pada

kulit (Roohani dkk, 2013; Gibson dkk, 2016). Seng juga dapat dieliminasi melalui

darah menstruasi pada perempuan dan cairan semen pada laki-laki (Gibson dkk,

2016).

Kandungan seng pada tubuh diregulasi dengan mekanisme homeostatis,

dengan fraksi absropsi seng yang normal sebanyak 20-40% dari konsumsi seng.

Ekskresi seng melalui urin sebanyak 0,5 mg/kg dan melalui saluran pencernaan

sebanyak 1-3 mg/kg. Pada Tabel 2.3 dapat dilihat perkiraan eliminasi seng dari tubuh
36

pada laki-laki dan perempuan dewasa berdasarkan Word Health Oragnization

(WHO), Institute of Medicine (IOM), International Zinc Nutrition Consultative

Group (IZiNCG), dan European Food Safety Agency (EFSA) (Gibson dkk, 2016).

Tabel 2.3
Tabel Eliminasi Seng Pada Laki-Laki dan Perempuan Dewasa (mg/kg)
(Gibson dkk, 2016)

Eliminasi Seng WHO IOM IZiNCG EFSA


Laki-laki
Berat Badan (kg) 65 75 65 72,7
Urin (mg) 0,30 0,63 0,63 0,54
Adneksa Kulit & Kulit (mg) 0,30 0,54 0,42 0,50
Semen (mg) - 0,10 0,10 0,10
Feses (mg) 0,80 2,57 1,54 2,40
Total (mg) 1,40 3,84 2,69 3,54
Perempuan
Berat Badan (kg) 55 65 55 59,1
Urin (mg) 0,30 0,44 0,44 0,32
Adneksa Kulit & Kulit (mg) 0,20 0,46 0,36 0,30
Darah Menstruasi (mg) - 0,10 0 0,01
Feses (mg) 0,50 2,30 1,06 2,30
Total (mg) 1,00 3,30 1,86 2,93

2.2.2.4 Kebutuhan Harian Seng

Kebutuhan harian seng berdasarkan WHO dapat dihitung dengan estimated

average requirement (EAR) yang diperoleh dari konsumsi makanan yang

mengandung seng dapat mencukupi sebanyak 50% kebutuhan fisiologis seng oleh

tubuh. Dosis Kebutuhan harian seng pada anak-anak dengan malnutrisi yaitu antara

2mg /kg berat badan sampai 4 mg/kg berat badan. Pada anak-anak yang sehat usia 1

sampai 3 tahun, dosis harian seng hanya 0,17 mg/kg berat badan. Dosis kebutuhan

harian seng paling tinggi pada masa pertumbuhan, yaitu pada perempuan usia 10
37

sampai 15 tahun dan laki-laki usia 12 sampai 15 tahun. Kebutuhan akan seng yang

tinggi juga terjadi pada wanita hamil dan menyusui (Roohani dkk, 2013).

Pada orang tua, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi defisiensi seng

karena berkurangnya konsumsi seng dari makanan dan menurunnya kemampuan

absropsi seng oleh tubuh seiring dengan bertambahnya usia (Roohani dkk, 2013).

Pada Tabel 2.4 dapat dilihat perkiraan dosis kebutuhan harian seng pada berbagai

kelompok usia dan jenis kelamin berdasarkan WHO dan IOM (Roohani dkk, 2013;

Gibson dkk, 2016)

Tabel 2.4
Dosis Kebutuhan Harian Seng Berdasarkan Kelompok Usia dan Jenis Kelamin
(Roohani dkk, 2013; Gibson dkk, 2016)

Kelompok WHO IOM


Usia dan Berat Dosis Harian Berat Badan Dosis Harian
Jenis Badan (kg) (mg/hari) (kg) (mg/hari)
Kelamin
10-18 tahun 49 17,1 40 8
laki-laki
10-18 tahun 47 14,4 64 11
perempuan
19-65 tahun 65 14,0 57 9
laki-laki
19-65 tahun 55 9,8 - -
perempuan
>65 tahun 65 14,0 76 11
laki-laki
>65 tahun 55 9,8 61 8
perempuan
38

2.2.3 Pengukuran Kadar Seng Plasma

Pengukuran konsentrasi seng plasma dapat menjadi penanda adanya defisiensi

seng. Seng akan berdistribusi dalam plasma atau serum dan akan berikatan dengan

beberapa protein seperti albumin, α-microglobulin, dan transferin. Pada Tabel 2.5

dapat dilihat nilai konsentrasi seng plasma yang normal berdasarkan National Health

and Nutrition Examination Survey di Amerika Serikat. Konsentrasi seng pada plasma

berfluktuasi sebanyak 20% dalam periode 24 jam, yang dipengaruhi oleh makanan

yang dikonsumsi. Setelah konsumsi makanan, akan terjadi peningkatan kadar seng

plasma segera, kemudian konsentrasi tersebut akan menurun dalam waktu 4 jam

setelah makan. Setelah berpuasa sepanjang malam dikatakan terjadinya respon tubuh

untuk meningkatkan konsentrasi seng plasma sehingga terjadi peningkatakan

konsentrasi seng plasma tertinggi di pagi hari (Roohani dkk, 2013). Pada Tabel 2.6

dapat dilihat konsentrasi seng plasma yang normal, meningkat (intoksikasi), dan

menurun (defisiensi) (Yanagisawa, 2004).

Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi konsentasi seng plasma.

Konsentrasi seng plasma dapat menurun dalam konsisi infeksi dan inflamasi karena

terjadi perubahan distribusi seng dari plasma ke hati, akibat sitokin yang dihasilkan

selama infeksi dan inflamasi akan mengaktifkan sintesis MT di hepatik, yang akan

meningkatkan pengambilan seng ke hati. Kondisi lainnya yang dapat menurunkan

konsentrasi seng plasma adalah stres dan infak miokardium. Penyakit sirosis serta

malnutrisi protein yang menyebabkan hipoalbuminemia juga dapat menurunkan

konsentrasi seng plasma karena seng pada plasma berikatan dengan albumin.
39

Hemodilusi yang terjadi selama kehamilan, penguna kontrasepsi oral, dan terapi

hormonal (kortikosteroid) juga dapat menurunkan konsentasi seng plasma. Kondisi

yang dapat meningkatkan kadar seng plasma adalah adanya hemolisis pada sel darah.

Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar seng plasma adalah thiazide, loop

diuretics, dan disulfirams. Pada Tabel 2.7 dapat dilihat ringkasan kondisi yang dapat

mempengaruhi perubahan konsentrasi seng plasma (Roohani dkk, 2013; Yanagisawa,

2004). Tabel 2.5

Nilai Kosentrasi Seng Plasma Normal (μg/dl)


(Roohani dkk, 2016)

Populasi Pagi Hari Pagi Hari Sore Hari


(Setelah Puasa) (Tanpa Puasa)
Anak <10 tahun - 65 57
Laki-laki ≥10 tahun 74 70 61
Perempuan ≥10 tahun 70 66 59
Hamil Trimester 1 50 50 50
Hamil Trimester 2 dan 3 56 56 56

Tabel 2.6
Nilai Kosentrasi Seng Plasma Normal, Intoksikasi, dan Defisiensi (μg/dl)
(Yanagisawa dkk, 2004)

Konsentrasi Seng Kondisi


Plasma (μg/dl)
300-700 Intoksikasi Akut
160-299 Intoksikasi sekunder karena konsumsi yang berlebihan
atau hemodialysis
84-159 Masih dalam batas normal
60-83 Defisiensi Seng
Menurun karena fluktuasi fisiologis
Menurun karena pengaruh obat
<59 Defisiensi Seng
<30 Defiisiensi Seng Definitif (penyakit akrodermatitis
enteropatika, mendapat terapi parenteral tinggi kalori
jangka panjang)
40

Tabel 2.7
Kondisi Yang Mempengaruhi Konsentrasi Seng Plasma
(Roohani dkk, 2016; Yanagisawa dkk, 2004)

Konsentrasi Seng Plasma Meningkat Konsentrasi Seng Plasma Menurun


Puasa 4 Jam Setelah Kosumsi Makanan
Stress
Hemolisis Infeksi dan Inflamasi
Infak Miokardium
Obat: Thiazide, Loop Diuretics, dan Neonatus dan Bayi
Disulfirams Kehamilan
Obat: Kortikosteroid, Clofibrates
Kontrasepsi oral

2.3 Peran Seng Pada Infeksi HPV

2.3.1 Peran Seng Pada Sistem Imun

Mekanisme kerja seng sebagai imunomodulator adalah memediasi respon

imnunitas alamiah dari neutrofil dan sel NK kemudian selanjutnya memediasi respon

imunitas selular. Pada kondisi defisiensi seng dapat mempengaruhi fungsi makrofag

sehingga mempengaruhi kemampuan fagositosis, pembuhunan antigen intraselular,

serta produksi sitokin (Cuevas, 2005; Prasad, 2009).

Penelitian dengan hewan percobaan, didapatkan bahwa kondisi defisiensi seng

dapat menurunkan respon imunitas selular. Seng merupakan elemen yang sangat

diperlukan dalam pembentukan hormon timulin sehingga kondisi defisiensi seng

dapat menyebabkan atrofi timus dan berkurangnya jumlah sel timosit (Blewett dkk,

2012). Timus memiliki peranan sangat penting untuk maturasi sel T, apabila terjadi

penurunan maturasi dari sel Th1 akan menurunkan produksi IL-2 dan IFN-γ.

Penurunan dari IL-2 akan menurunkan sel NK dan aktivitas sitotoksik dari sel T.
41

Penelitian yang dilakukan oleh Prasad, pada hewan percobaan yang diberikan diet

seng minimal hanya 3-5 mg/hari selama 12 minggu didapatkan adanya penurunan

rasio T4+ terhadap T8+, berkurangnya IL-2 serta sel NK (Prasad, 2009). Pada

Gambar 2.12 dapat dilihat bagaimana pengaruh seng terhadap sel imun. Garis panah

tegas menunjukkan pembentukan sitokin, sedangkan garis panah putus-putus

menunjukkan efek hambatan dari sitokin yang dihasilkan (Prasad, 2009).

Gambar 2.12
Peranan seng pada sistem imun (Prasad, 2009)

Penelitian yang dilakukan oleh Kitamura, dkk meneliti tentang kandungan

seng intraselular terhadap ekspresi MHC kelas II pada sel dendritik, yang memiliki

peranan sangat penting untuk mempresentasikan antigen kepada sel T. Pada kondisi
42

defisiensi seng menunjukkan berkurangnya stimulasi pada Toll-like receptor (TLR)-4

terhadap antigen lipopolysaccharide (LPS) yang diberikan. Pada kondisi homeostatis

seng yang normal, terdapat peningkatan ekspresi ZnTs yang akan meninduksi

maturasi dari sel dendritik tanpa menurunkan kadar seng intraseluar. Penelitian ini

mengukur kadar seng intraselular menggunakan Zinc ion-senstive fluorescent probe

(Kitamura, 2006).

2.3.2 Efek Seng Terhadap Apoptosis

Seng sangat diperlukan untuk mengatur sintesis DNA dan transkripsi RNA serta

pembelahan sel. Apabila terjadi kondisi defisiensi seng maka akan mempengaruhi

kemampuan program kematian sel atau apoptosis. Protein E6 dan E7 HPV berperan

penting terhadap patogenesis infeksi HPV yang persisten. Protein E6 dan E7 dapat

menghambat tumor supresor gen (p53 dan pRB) pada sel host, sehingga HPV dapat

terus mengalami replikasi dan transkripsi untuk mempertahankan genom virus

(Shanmugasundaram dkk, 2017).

Penelititian yang dilakukan oleh Bae dkk, menunjukkan bahwa akumulasi seng

intraselular akan dapat menghambat protein E6 dan E7 dari virus. Hal ini

menunjukkan bahwa seng melakukan menurunkan ekspresi Bcl-2 dan juga

meningkatkan ekspresi p53 atau mengaktifkan caspase-3. Seng juga dapat

memodulasi aktivitas telomerase, enzim yang bertanggung jawab untuk program

kematian sel. Penelitian ini meneliti efek seng dalam bentuk CIZAR (terdiri dari seng

klorida dan asam sitrat anhidrat dengan pH 7) pada regulasi pertumbuhan sel

karsinoma serviks yang memiliki DNA HPV-16, HPV-18, dan kombinasi kedua
43

HPV-16 dan HPV-18. Viabilitas sel diukur dengan Cell Counting Kit (CCK)-8 Assay

(Dojindo, Tokyo, Jepang). Kadar seng intraselular ditentukan dengan menggunakan

Zinc Assay Kit (Sentinel CH, Milano, Italia). Penelitian ini menunjukkan bahwa hasil

kultur sel yang diberikan CIZAR akan menyebabkan peningkatan kadar seng

intraselular dan penghambatan kelangsungan hidup HPV tersebut. Pada penelitian ini

didapatkan seng memainkan peran dalam mengendalikan apoptosis sel dengan

meningkatkan ekspresi Bax dan mengurangi ekspresi Bcl-2. Bax merupakan protein

proapoptotis yang meningkatkan kematian sel, mekanisme kerja Bax bersaing dengan

Bcl-2 (Bae dkk, 2017).

Pada Gambar 2.13 dapat dilihat bagaimana efek seng terhadap apoptosis.

Seng dapat menghambat pembetukan Reactive Oxygen Species (ROS) yang

ditunjukkan oleh garis panah putus-putus. Apabila ROS dihambat maka tidak akan

terjadi aktivasi NF-κB selanjutnya, sehingga akan menghambat aktivasi pebentukan

faktor pertumbuhan (VEGF, cyclin D1, EGFR) dan molekul antiapoptosis (Bcl2,

BclXL, cIAP-2) yang berperan penting pada proliferasi sel (Prasad dkk, 2009).

Penelitian in-vitro terbaru pada tahun 2017 oleh Wu dkk, yang menilai efek

apoptosis dari larutan nano partikel seng okdisa yang dilapisi oleh chitosan terhadap

sel kanker servik yang sering disebabkan oleh infeksi HPV tipe 16. Hasil penelitian

ini menunjukkan larutan nano partikel seng okdisa yang dilapisi oleh chitosan dapat

meningkatkan kosentrasi ion Zn2+ intraselular sehingga meningkatkan efek sitotoksik

terhadap sel kanker melalui mekanisme apoptosis dan nekrosis. Penilaian terhadap sel
44

yang mengalami apoptosis dapat dilihat dengan Hoechst 33342 nuclear staining

assay (Wu dkk, 2017).

Gambar 2.13
Efek seng terhadap apotosis (Prasad, 2009)

2.3.3 Kadar Seng pada Infeksi HPV

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Raza dkk, menyatakan bahwa kadar

seng ditemukan lebih rendah pada subjek dengan infeksi HPV (rata-rata kadar seng

804,38 μg/l) dibandingkan dengan subjek kontrol (rata-rata kadar seng 836,17 μg/l)

(Raza dkk; 2010). Penelitian oleh Al-Gurnairi dkk, juga menyatakan bahwa kadar

seng ditemukan lebih rendah pada subjek dengan infeksi HPV (rata-rata kadar seng

62,5±10,7 μg 100mL-1) dibandingkan dengan subjek kontrol (rata-rata kadar seng

87,8±10,7 μg 100mL-1) (Gurairi dkk; 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Naseri
45

dkk didapatkan kolerasi negatif yang kuat antara kadar seng plasma dengan jumlah

lesi infeksi HPV (r = - 0,646, p = 0,002), tetapi hanya didapatkan korelasi negatif

yang sangat lemah antara kadar seng plasma dengan durasi infeksi HPV ( r= - 0,0083,

p = 0,002) (Naseri dkk, 2009).

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Shabaka dkk, membandingkan rerata

kadar seng pada 30 subjek dengan infkesi HPV dan 30 subjek tanpa infkesi HPV,

didapatkan bahwa rerata kadar seng pada subjek dengan infkesi HPV lebih rendah

(41,3±12,8 μg/dl) dibandingkan dengan rerata kadar seng pada subjek tanpa infeksi

HPV (119,1±15,9 μg/dl). Pada 30 subjek infeksi HPV ini kemudian diberikan terapi

seng oral sebagai imunomodulator dan dilakukan kembali pengukuran ulang kadar

seng plasma 2 bulan setelah pemberian terapi seng sulfat oral dosis 10mg/kg berat

badan/hari (sampai maksimal mencapai dosis 600 mg/hari). Hasil penelitian ini

didapatkan peningkatan kadar seng plasma setelah pemberian terapi seng sulfat oral.

Rata-rata kadar seng plasma sebelum terapi pada subjek dengan infeksi HPV adalah

41,3±12,8 μg/dl sedangkan rata-rata kadar seng plasma setelah terapi adalah

121,4±26,9μg/dl. Semua subjek penelitian ini memberikan respon perbaikan klinis

terhadap pemberian seng sulfat selama 2 bulan (Shabaka, 2017).

Anda mungkin juga menyukai