Anda di halaman 1dari 24

BUDAYA POLITIK INDONESIA

Tugas Mata Pelajaran PPKn

Alma Siwi Anggita

XI IIS 1

SMAN 11 KOTA BEKASI

2016
1. Sejarah Perkembangan Politik Indonesia

Berdasarkan perjalanan sejarah kehidupan politik di Indonesia, secara

garis besar budaya politik dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Budaya Politik Masa 1955

Budaya politik pada tahun 1955 yaitu dengan pemilu nasional. Pemilu

Nasional pertama dilaksanakan pada masa Orde Lama, dilaksanakan

secara bertingkat, Pada tanggal 29 September 1955 yaitu Pemilu untuk

memilih anggota DPR dan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih

anggota Konstituante (Dewan Pembentuk Undang-Undang Dasar).

Jumlah kursi yang diperebutkan adalah anggota DPR adalah 260 orang

untuk anggota DPR dan 520 orang Badan Konstituante ditambah 14 wakil

golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu 1955 berdasarkan

pada UU No. 27 Tahun 1948 jo. UU No. 12 Tahun 1949 tentang Pemilu

yang diikuti oleh lebih dari 170 partai politik, termasuk perseorangan calon

independent yang terbagi dalam 15 distrik pemilih, disesuaikan dengan

wilayah provinsi yang ada pada saat itu. Yang memiliki hak suara adalah

WNI, keturuanan Arab, Cina dan Eropa, serta anggota tentara dan polisi. 

Pada masa ini budaya politik yang berkembang berada dibawah pengaruh

dominasi agama Islam yang merupakan agama mayoritas dari

masyarakat Indonesia.

1
Namun demikiran, menurut Deliar Noer, umat Islam di Indonesia secara

politis sering terlibat kontroversi teoritis dan ideologis, baik dengan pihak

nasionalis sekuler maupun antarsesama umat Islam sendiri. Perpecahan

komunitas muslim ini melahirkan kebangkitan berbagai partai politik.

Dengan pola multi partai, partai politik yang ada saat itu terbagi menjadi

dua, yaitu yang menganut asas politik agama, seperti Partai

keagamaaseperti Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), Nahdatul

Ulama (NU) Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarbiyah

Islamiyah (Perti), Partai PersatuanTarekat Islam Indonesia, dan Angkatan

Kesatuan Umat Islam, partai nasionalis dan yang menganut asas politik

sekuler seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan partai komunis adalah

Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyaknya partai tidak menguntungkan

berkembangnya pemerintahan yang stabil. Namun kenyataannya partai

partai politik tersebut tidak menyelenggarakan fungsi sebagaimana yang

diharapkan. Kondisi seperti ini sangat rentan, sehingga menimbulkan

banyaknya penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945

2.
b. Masa Orde Baru

Awal kebangkitan Orde Baru (1966) dalam melakukan pembenahan

institusi politik, tetap berpandangan bahwa jumlah partai politik yang

terlalu banyak, tidak menjamin stabilitas politik. Usaha pertama

pemerintah orde baru disamping memulihkan partai-partai yang tidak

secara resmi dilarang, adalah menyusun undang-undang tentang pemilu

yang dianggap sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu. Maka

terbentuklah UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu. Dan pemilu yang

direncanakan dilakanakan dalam waktu dekat, ternyata baru terlaksana

tahun 1971 dengan peserta sebanyak 10 partai politik, yaitu :

1. Golongan Karya (Golkar)

2. Partai Nasional Indonesia (PNI)

3. Nahdatul Ulama (NU)

4. Partai Katolik

5.  Partai Murba

6.    Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)

7.    Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)

8.    Partai Kristen Indonesia (Parkindo)

9.    Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan

10.  Partai Islam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah)

3
Pemilu berikutnya dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977 berdasarkan UU

Pemilu No. 4 Tahun 1975 dengan sistem proporsional di daerah

pemilihan. Pada masa Orde Baru, partai politik diberi kesempatan untuk

bergerak lebih leluasa, walaupun masih dengan pola multi partai.

Pelaksanaan Pemilu pada tahun 1977 terjadi penyederhanaan partai

politik peserta pemilu berdasarkan UU No 3 Tahun 1975 tentang Partai

Politik yaitu menjadi 2 partai politik dan 1 golongan karya yaitu:

a. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari

NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam, dan Perti. 

b. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari

Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai

Murba.

c. Golongan Karya (Golkar) yang merupakan kumpulan dari berbagai

golongan masyarakat Indonesia dari berbagai profesi.

Kedua partai politik dan satu golongan ini tetap bertahan sejak

pelaksanaan Pemilu tahun 1982 berdasarkan UU Pemilu No. 2 Tahun

1980, 1987 berdasarkan UU Pemilu No. 1 Tahun 1985 dan terus dipakai

sampai pelaksana tahun 1992.

4
Pada pemilu tahun 1987 dan 1992 dengan diberlakukannya UU No.3

Tahun 1985, Partai Politik dan Golkar ditetapkan hanya mempergunakan

satu-satunya asas yaitu Pancasila dengan tujuan agar setiap kontestan

setiap pemilu lebih berorientasi pada program kerja masing-masing.

Penerapan asas tersebut, berlangsung sampai dengan pelaksanaan

pemilu 1997. Fakta memperlihatkan, bahwa selama pemilu Orde Baru

Golkar selalu dominan. Dalam Pemilu 1971 Golkar meraih (62,8%), tahun

1977 (62,1%), tahun 1982 (64,3%), tahun 1987 (73,2%), tahun 1992

(68,1%) dan pada tahun 1997 (70,2%).

Untuk lebih jelasnya tentang perbandingan perolehan suara partai peserta

pemilu selama Orde Baru dalam perolehan Jumlah Suara dan Kursi yang

diperoleh setiap OPP (Organisasi Peserta Pemilu), dapat dilihat pada

tabel berikut !

5
Partai Politik Peserta Pemilu
Partai Persatuan Golongan Partai
Tahun
No Pembangunan  (PPP Karya Demokrasi
Pemilu
) (Golkar) Indonesia

(PDI)
1. 1971 14.833.942 (96) 34.348.673 5.516.849

(236) (30)
2. 1977 18.722.138 (99) 39.313.354 5.459.987

(232) (29)
3. 1982 20.871.880 (94) 48.334.724 5.919.702

(242) (24)
4. 1987 13.701.428 (61) 62.783.680 9.324.708

(299) (40)
5. 1992 16.624.647 (62) 66.599.331 14.565.556

(282) (56)
6. 1997 25.340.028 (89) 84.187.907 3.463.225

(325) (11)
Data diambil dari Lembaga Pemilihan Umum (LPU).

Era orde baru mengalami anti klimaks kekuasaan setelah pada tahun

akhir tahun 1997 negara Indonesia mengalami krisis moneter yang

selanjutnya berkembang menjadi krisis multidimensi karena terperangkap

hutang luar negeri yang besar dan banyaknya praktik-praktik Korupsi,


Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang melibatkan pejabat birokrasi dan

pengusaha.

d.  Masa/ Era Reformasi (Tahun 1999 s.d. Sekarang)

Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama setelah Presiden Suharto

lengser yang merupakan babak baru yang dikenal dengan reformasi.

Pemilu tahun 1999 dilaksanakan berdasarkan UU Pemilu No. 3 tahun

1999 yang dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan

B.J. Habiebie yang diikui oleh 48 partai politik. Awal terjadinya reformasi di

Indonesia dipicu dengan adanya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

(KKN). Reformasi lahir di Indonesia sebagai upaya untuk melakukan

perubahan terhadap kekeliruan-kekeliruan politik yang terjadi dalam

perkembangan politik di Indonesia dan berupaya merubah tatanan

kehidupan budaya politik yang kondusif, transparan dan inklusif. Dengan

tetap mempertahankan pola multi partai, bahkan lebih banyak

dibandingkan dengan partai politik pada masa Orde Baru, pada

pelaksanaan Pemilu pada tahun 1997 diikuti oleh 48 partai politik. 

Dalam pelaksanannya reformasi malah melahirkan euphoria politik yang

kebablasan sehingga melahirkan perubahan perilaku politik yang anarkis,

peranan legislatif yang lebih dominan dan terjadinya pelanggaran


hak asasi manusia. Oleh karena itu, semua pihak dituntut untuk lebih

menyadari akan pentingnya nilai-nilai kesatuan, karena dengan adanya

berbagai kepentingan yang berbeda sangat memungkinkan lahirnya

berbagai konflik dalam kehidupan masyarakat. Perilaku politik yang

dijalankan harus sesuai dengan tata aturan yang berlaku, termasuk

pendayagunaan lembaga-lembaga negara yang ada sesuai dengan fungsi

dan perannya masing-masing, sehingga diharapkan dapat melahirkan

budaya politik yang diharapkan.

Era reformasi, benar-benar merupakan arus angin perubahan menuju

demokratisasi dan asas keadilan. Partai-partai politik diberikan

kesempatan untuk hidup kembali mengikuti pemilu dengan multi partai

yang diselenggarakan pada tanggal tahun 1999 berdasarkan Undang-

Undang No. 3 Tahun 1999. Sangat mengejutkan bagi semua elemen

masyarakat Indonesia, ternyata pasca orde baru (di era reformasi) pemilu

diikuti sebanyak 48 partai politik, yaitu :

No Nama Partai Politik No Nama Partai Politik


1. Partai Indonesia Baru (PIB) 26 Partai Nasional

2. Partai Kristen Indonesia . Indonensia (PNI) Front


3. (Krisna) Marhaenis

4. Partai Nasional Indonesia 27 Partai Ikatan Pendukung

5. (PNI) . Kemerdekaan Indonesia

6. Partai Aliansi Demokrat 28 (IPKI)

7. Indonesia . Partai Republik

8. Partai Kebangkitan Muslim 29 Partai Islam Demokrat

9. Indonesia . Partai Nasional Indonesia

10 Partai Umat Islam (PUI) 30 (PNI) Massa Marhaen

. Partai Kebangkitan Umat . Partai Musyawarah

11 (PKU) Rakyat Banyak

. Partai Masyumi Baru (PMB) 31 Partai Demokrasi

Partai Persatuan . Indonesia (PDI)

12 Pembangunan (PPP) 32 Partai Golongan Karya

. Partai Syarikat Islam . (Golkar)

13 Indonesia (PSII) 33 Partai Persatuan

. Parta Demokrasi Indonesia . Partai Kebangkitan

14 Perjuangan (PDIP) 34 Bangsa (PKB)

. Partai Abul Yatama . Partai Uni Demokrasi

PartaiKebangsaan Merdeka 35 Indonesia

15 (PKM) . Partai Buruh Nasional

. Partai Demokrasi Kasih 36 Partai Musyawarah

16 Bangsa PDKB) . Kekeluargaan Gotong

. Partai Amanat Nasional 37 Royong (MKGR)


17 (PAN) . Partai Daulat Rakyat

. Partai Rakyat Demokrat 38 Partai Cinta Damai

18 (PRD) . Partai Keadilan dan

. Partai Syarikat Islam Persatuan (PKP)

19 Indonesia 1905 39 Partai Solideritas Pekerja

. Partai Katolik Demokrat . Seluruh Indonesia (SPSI)

20 Partai Pilihan Rakyat (Pilar) 40 Partai Nasional Bangsa

. Partai Rakyat Indonesia . Indonesia

21 (PARI) 41 Partai Bhineka Tunggal

. Partai Politik Islam Masyumi . Ika

22 Partai Bulan Bintang (PBB) 42 Partai Solideritas Uni

. Partai Solideritas Pekerja . Nasional Indonesia

23 Partai Keadilan 43 (SUNI)

. Partai Nahdlatul Ulama . Partai Nasional Demokrat

24 (PND)

. 44 Partai Ummat Muslimin

25 . Indonesia

. 45 Partai Pekerja Indonesia

46

47
.

48

10

Dalam sebuah masyarakat yang menganut sistem politik demokrasi,

seperti halnya Indonesia, semestinya masyarakatnya turut aktif dalam

partisipasi politik. Hal ini dikarenakan dalam sistem politik demokrasi,

rakyatlah yang harus berdaulat. Maka, proses pembuatan dan

pelaksanaan keputusan-keputusan politik, lebih-lebih yang menyangkut

hajat hidup orang banyak, rakyat harus ikut aktif terlibat di dalamnya.

Dan berikut dibawah ini salah satu gambar pemilu pada tahun 1999.
11

2. Partisipasi Politik Masyarakat Indonesia

Partisipasi politik dapat diartikan adanya keikutsertaan warga negara

dalam kehidupan negara dalam mewujudkan berbagai kebutuhan dan

kepentingannya, walaupun sering terjadi benturan-benturan dengan

kepentingan dan kebijaksanaan pemerintah.

Kegiatan warga negara dalam partisipasi politiknya dapat memengaruhi

proses pembuatan kebijakan umum dan pelaksanaannya, serta ikut

menentukan kepemimpinan seseorang penguasa negara. Benturan-

benturan antara keinginan anggota warga negara (masyarakat) dengan

kekuasaan pemerintah, mencakup seluruh kepentingan, termasuk

keinginan untuk berpartisipasi dalam masalahmasalah politik.

Secara umum, wujud partisipasi politik masyarakat yang bersifat positif

adalah turut aktif dalam pemilu, baik di tingkat daerah/lokal maupun

nasional. Pemilu di tingkat daerah/lokal dapat diwujudkan melalui

pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Adapun pemilu di tingkat

nasional dapat diwujudkan melalui pemilihan kepala dan wakil kepala

negara (presiden dan wakil presiden). Sejalan dengan pemaparan di atas,


menurut Prof. Dr. Miriam Budiardjo (1998: 183), bahwa partisipasi politik

merupakan kegiatan seseorang dalam partai politik.

12

Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam partisipasi politik antara lain

sebagai berikut:

a.   Ikut memilih wakil rakyat melalui pemilihan umum, seperti hal-hal

berikut:

1)   Mengajukan beberapa alternatif calon pemimpin.

2)  Mendukung atau menentang calon pemimpin tertentu.

3)   Mengajukan kritik dan koreksi atas pelaksanaan kebijakan umum.

4)   Mengajukan tuntutan-tuntutan kepada penguasa pusat maupun

daerah.

b.   Menjadi anggota aktif dalam partai politik, kelompok penekan

(pressure group), maupun kelompok kepentingan tertentu.

c.   Duduk dalam lembaga politik, seperti MPR, DPR, presiden, atau

menteri.

d.   Mengadakan komunikasi (dialog) dengan wakil-wakil rakyat.

e.   Berkampanye atau menghadiri kelompok diskusi.


Gambar salah satu kegiatan masyarakat dalam mengikuti pemilu

13

3. Politik dan Kepentingan

Membincang soal politik memang selalu lekat dengan istilah kepentingan.

Artinya, berbicara politik sudah pasti membicarakan sebuah kepentingan.

Apapun soal politik akan selalu berujung dan berakhir pada kepentingan.

Pertanyaannya, kepentingan seperti apa dan untuk tujuan apa ? Jadi,

Kepentingan untuk memperoleh dukungan, simpati publik, kegilaan

jabatan, sehingga hanya mengedepankan aspek keuntungan individual

atau kelompok? Ataukah kepentingan yang berbasis pada demi

terwujudnya masyarakat dan bangsa yang lebih baik? Bagi saya,

kepentingan pertama jelas merupakan kepentingan yang salah kaprah,

yang demikian itu bukanlah kepentingan politik, melainkan kepentingan

yang dilandaskan pada nafsu ingin berkuasa dan mencari untung demi diri

sendiri dan kelompoknya. Sedangkan kepentingan yang kedua barulah

kepentingan politik. Lantas, apa sebenarnya kepentingan politik yang saya

maksudkan? Setiap upaya mesti dilandasi oleh sebuah kepentingan,

begitu juga dengan politik. Politik, dalam teori klasik Aristoteles dipahami
sebagai upaya yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan

bersama. Dengan kata lain, kepentingan yang diusung dalam berpolitik

mengacu pada pandangan Aristoteles, haruslah mengarah pada

kepentingan yang dimaksudkan demi terwujudnya kebaikan bersama.

Kepentingan ini, dalam bahasa lain disebut sebagai kepentingan nasional.

14

Dalam teorinya, untuk menjaga kelangsungan hidup suatu negara, maka

negara harus memenuhi kepentingan nasionalnya. Sehingga Negara

dapat berjalan dengan stabil. Kepentingan nasional inilah yang dapat

menentukan kearah mana politik itu akan dirumuskan. Disini saya perlu

tegaskan, bahwa pada dasarnya politik memang lahir dari sebuah

kepentingan. Dirumuskan oleh dan untuk sebuah kepentingan. Bagi

sebagian orang, selain soal kepentingan, politik tidaklah terlalu menarik

untuk dibahas. Sayangnya, kepentingan itu lebih lekat dengan istilah

politik kepentingan daripada kepentingan politik. Politik kepentingan tentu

berbeda dengan kepentingan politik. Kata kepentingan pada istilah

kepentingan politik memiliki konotasi makna yang mengarah pada

berbagai kepentingan-kepentingan. Artinya, politik dipahami hanya

sebagai alat untuk meraih banyak kepentingan, yang digerakkan oleh

individu, kelompok, golongan, dan sebagainya. Sedangkan kata

kepentingan pada istilah kepentingan politik memiliki makna yang

mengarah pada (hanya) satu kepentingan, yang digerakkan oleh suatu


kelompok kepentingan, yakni kepentingan politik itu sendiri, yang disebut

diawal tulisan ini sebagai kebaikan bersama. Terkait kelompok

kepentingan, partai politik adalah termasuk salah satu bagian dari

kelompok kepentingan ini, yaitu kelompok kepentingan yang institusional,

yang bergerak dibawah payung konstitusi atau Undang-undang.

15

Partai politik dibentuk dan dirumuskan untuk kepentingan tidak kurang dan

tidak lebih demi terwujudnya masa depan bangsa yang bermartabat.

Dengan demikian, eksistensi partai politik memegang peranan sentral

dalam menegakkan cita-cita politik bangsa. Akan tetapi, di Indonesia

terdapat banyak partai politik, yang mengusung banyak ideology politik,

entah ideology itu sebagai landasan partai, ataupun sebatas menjadi

kedok untuk meraih simpati rakyat. Ideologi itu diperjuangkan secara

kompetitif, bahkan dikonteskan dalam sebuah momentum. Sehingga

partai mana yang paling rajin berkontes dan muncul didepan publik, partai

itulah yang akan banyak mendapat simpati rakyat. Parahnya, menjadi

fenomenanya saat ini, kebanyakan partai untuk tidak mengatakan semua

partai, terjebak pada ranah kontes ini. Dengan berbagai caranya yang

berbeda-beda, tidak peduli cara itu baik atau tidak, bersih atau tidak, yang

penting harus tampil di depan publik. Sehingga yang kita lihat saat ini

adalah “kontes politik” semata. Yang pada akhirnya bukan kepentingan

politik yang dicari, melainkan politik kepentingan. Kepentingan untuk


membesarkan partai, sehingga partai itu mendapat simpati rakyat, dipilih

oleh mayoritas rakyat, dan memperoleh kekuasan. Selebihnya, lupa akan

cita-cita dan kepentingan politik itu sendiri. Yang dipikirkan hanya

bagaimana partai itu tetap kuat, mendapatkan mayoritas dukungan rakyat

dan dapat berkuasa di pemerintahan untuk periode-periode selanjutnya.

16

Ketika tampil di media massa hanya dalam rangka sebatas “mencari

muka,” berbicara mengenai politik untuk kepentingannya sendiri,

kelompok atau golongannya. Begitu juga dengan partai politik yang lain,

tampil berebut simpati. Saling menggunjing, bahkan jatuh-menjatuhkan,

seakan menjadi pilihan yang harus diambil. Harapannya, partai saya yang

akan dianggap paling sempurna oleh rakyat. Sayangnya tidak, rakyat

justru menjadi muak dan menjadi antipati terhadap politik. Saya khawatir,

para politisi kita ditanah air menjadi penganut politik Machiavellisme, yang

memegang prisip politik tanpa etika dan hukum. Bagi Machiavelli, politik

hanya berbicara soal bagaimana memperebutkan dan mempertahankan

kekuasaaan. Jika kekuasaan menjadi kata kuci dari politik kita, maka tidak

heran jika politik sarat dengan gonjang-ganjing. Karena banyak

kepentingan yang bertemu, kepentingan untuk meraih kekuasaan dan

semacamnya. Ini tentu tidak sesuai dengan tujuan politik kita, yang

menurut pendapat saya lebih dekat dengan pemahaman Aristoteles, yakni

politik untuk “kebaikan” bersama. Mungkin benar yang dikatakan Adam


Smith, “…kita tidak hidup dari belas kasih penjual roti, melainkan oleh

karena kecintaan penjual roti tersebut kepada dirinya sendiri...” Partai

politik yang ada saat ini, apa yang kita rasakan saat ini di negara ini yang

dibuat atas kontribusi partai politik, baik buruknya adalah efek dari bukan

karena parpol itu cinta terhadap kita sebagai rakyat,

17

melainkan karena mereka cinta terhadap kepentingannya sendiri dan

partainya. Smith percaya bahwa manusia akan selalu dimotivasi oleh

kepentingan individualnya. Pada dasarnya, manusia mamang msulit

memisahkan diri dari kepentingannya. Ketika ia berkelompok ia juga

susah menjauhkan diri dari kepentingan politik kelompoknya. Masuk ke

dalam partai politik, ia tidak bisa dipisahkan dari kepentingan politiknya.

Sehingga bagaimana kepentingan disini dikonstruksi kearah yang lebih

baik yaitu kepentingan politik, bukan politik kepentingan.


18

4. Politik Ideal Bangsa Indonesia

Menurut saya Politik yang ideal untuk bangsa Indonesia adalah

Demokrasi Pancasila Konstitusional. Karena Pancasila merupakan

falsafah bangsa yang merepresentasikan rakyat Indonesia sekaligus

sebagai barometer kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan

UUD ’45 sebagai landasan dasar negara mempunyai kedudukan yang

fundamental dalam penyelenggaraan negara. Di Era Orde Baru

Demokrasi Pancasila pernah diterapkan sebagai landasan politik NKRI,

namun pada pelaksanaannya terjadi banyak sekali penyimpangan. Dan di

Era Reformasi saat ini demokrasi masih menjadi landasan politik negara,

akan tetapi bukannya membaik yang terjadi justru demokrasi saat ini

cenderung ‘kebablasan’. Konsep Demokrasi Pancasila Konstitusional

yang saya tawarkan disini adalah bagaimana Demokrasi yang

mengandung artian bahwa pemerintahan tertinggi ada di tangan rakyat

mendapatkan penguatan dari dua pilar pokok bangsa yaitu Pancasila dan

juga UUD ’45. Yang berasumsinya, dengan kembalinya kita pada dua
fondasi tersebut maka GBHN akan ‘dihidupkan kembali’ mengingat saat

ini kita seperti ‘kehilangan arah’ karena kebijakan-kebijakan baru yang

sarat akan intervensi asing, terutama dalam perumusan dan pembuatan

Undang-undang.

19

Dengan kembalinya bangsa ini pada GBHN maka landasan dan manuver

politik pun menjadi jelas yaitu berkiblat pada Pancasila dan UUD ’45 yang

pada titik klimaksnya juga dapat berpengaruh pada sektor-sektor Sosial-

Ekonomi.

Dengan Demokrasi yang seperti ini diharapkan nantinya dapat mengambil

kebijakan-kebijakan yang benar-benar dibutuhkan rakyat, salah satu

contohnya adalah dengan ‘menasionalisasikan’ sektor Ekonomi yaitu di

bidang industri. Dengan Sistem Politik yang berlandaskan Demokrasi

Pancasila Konstitusional tersebut nantinya dapat berkorelasi dengan

sistem pemerintahan seperti apa yang akan dijalankan. Parlementer

adalah konsep yang saya rasa tepat sebagai sistem pemerintahan

Indonesia. Mengapa? Karena dalam menjalani sebuah pemerintahan

yang harus dijadikan barometer bukan siapa presiden atau pemimpin

negaranya, melainkan landasan fundamentalnya. Asumsi saya dalam

sistem presidensiil terjadi tumpang tindih kekuasaan yaitu presiden selain

sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan, ini


mengakibatkan ketidakstabilan kinerja dan superioritas yang

memunculkan adanya ‘kecanduan kekuasaan’ Selain itu, tertera jelas di

Sila ke-4, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan”.

20

Ini jelas menggambarkan bahwa dalam penyelenggaraan negara itu

dilakukan secara musyawarah yang artinya diperlukan adanya kabinet

yang memiliki kedudukan tinggi yaitu MPR atau pun DPR sebagai

lembaga perwakilan rakyat mempunyai peran vital dalam setiap kebijakan

dan arah politik negara.


21

Referensi :

1.himapenjakarta.blogspot.co.id/2013/02/budaya-politik-di-

indonesia_15.html

2. www.edukasippkn.com/

3.www.kompasiana.com/the_udiezindonesia/kepentingan-politik-apa-

politik-kepentingan

4.www.kompasiana.com/fauzangaskarth/sistem-politik-ideal-untuk-

indonesia.html
22

Anda mungkin juga menyukai