Anda di halaman 1dari 5

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

A. Kontrol Respirasi Sentral

Gangguan kontrol respirasi sentral mungkin memiliki peranan langsung pada gangguan

respirasi akibat penyakit saraf pusat, misalnya pada stroke, sklerosis multipel, atau penyakit

Parkinson. Central periodic breathing (CPB), termasuk pernapasan Cheyne-Stokes dan central

sleep apnea (CSA) ditemukan pada penderita stroke. Reseptor otot Pernapasan Cheyne-Stokes

adalah suatu pola pernapasan yang amplitudonya mula-mula naik kemudian turun bergantian

dengan periode apnea. Pola pernapasan ini sering dijumpai pada pasien stroke, akan tetapi tidak

memiliki korelasi anatomis yang spesifik. Salah satu penelitian melaporkan CPB terjadi pada

kurang lebih 53% pasien penderita stroke (Polkey, 2015).

Selain menimbulkan gangguan kontrol respirasi sentral, hemiplegi akut pada stroke

berhubungan dengan risiko kematian akibat infeksi paru. Kemungkinan infeksi paru cukup besar

pada pasien dengan aspirasi dan hipoventilasi. Kontraksi otot diafragma pada sisi yang lumpuh

akibat stroke akan berkurang pada pernapasan volunter, tidak berpengaruh pada pernapasan

involunter. Emboli paru juga pernah dilaporkan terjadi pada 9% kasus stroke (Rowat, 2017).

Central neurogenic hyperventilation pertama kali digambarkan oleh Plum dan Swanson

tahun 1959, merupakan hiperpnea yang terjadi saat bangun dan tidur akibat gangguan di pons.

Pernapasan klaster adalah hiperventilasi bergantian dengan apnea secara cepat yang disebabkan

gangguan di mesensefalon. Pernapasan ataksik merupakan pernapasan yang memiliki irama dan

amplitudo ireguler disebabkan gangguan pada medula oblongata (Aboussouan, 2015).


Gangguan medula oblongata bagian bawah membuat pernapasan tidak dipengaruhi oleh

respon kimiawi, akan tetapi kontrol volunter masih intak (Ondine’s curse). Bila tidak diatasi

dengan support ventilator malam hari, dapat menyebabkan kematian mendadak. Lesi herniasi

transtentorial akan memberikan gambaran respirasi progresif mulai dari pernapasan Cheyne-

Stokes, kemudian mengalami central neurogenic hyperventilation, dan akhirnya irregular

gasping yang merupakan keadaan preterminal. Pasien dengan lesi batang otak atau medula

spinalis servikal atas akan mengalami gangguan pernapasan volunter dan involunter. Pada

kondisi ini diperlukan bantuan ventilator, dan tindakan trakeostomi untuk pembersihan trakea

(tracheal suction) (Aboussouan, 2015).

Gangguan kontrol respirasi dijumpai pada 6 dari 19 pasien sklerosis multipel yang

mengalami komplikasi respirasi. Pada penderita sklerosis multipel, dijumpai pernapasan yang

abnormal akibat paresis diafragma, hiperventilasi paroksismal, pernapasan apneustik (ditandai

dengan terhentinya napas sebentar setelah inspirasi). Perubahan pola napas tergantung dari lokasi

lesi di otak. Pada pasien-pasien penyakit Parkinson dapat terjadi gangguan kontrol pernapasan

berupa pernapasan disritmik, central apnea, pernapasan Cheyne-Stokes, pernapasan klaster,

pernapasan apneustik, dan hipoventilasi sentral. Gangguan pernapasan lebih sering dijumpai

pada penyakit Parkinson yang disertai dengan gangguan autonom (Brown, 2014).

B. Gangguan Otot Pernapasan

Gejala gangguan paru biasanya terjadi belakangan pada penyakit neurologis, dan sering

dipresipitasi oleh demam dan infeksi. Hal ini menyebabkan kebutuhan ventilasi meningkat dan

melemahkan otot pernapasan, atau terkadang malah dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit

saraf, misalnya pada sklerosis multipel (Polkey, 2015).


Pada saat awal, otak beradaptasi terhadap gangguan otot respirasi dan mempertahankan

kadar oksigen serta karbon dioksida dengan cara meningkatkan output respirasi sehingga

frekuensi napas meningkat. Bila penyakit makin berat, respon adaptasi sentral dapat berupa

timbulnya hipoventilasi untuk menghindari periode dispnea dan kelelahan. Kapasitas vital yang

rendah, gangguan aliran jalan napas, dan gangguan menghela napas (sigh) juga berperan dalam

timbulnya atelektasis dan hipoksemia, yang akhirnya makin meningkatkan kebutuhan ventilasi.

Perkembangan berikutnya terjadi kelelahan otot pernapasan, memburuknya ventilasi alveolar,

dan asidemia (Polkey, 2015).

C. Kelemahan Otot Ekspirasi dan Otot Bulbar

Walaupun ekspirasi kebanyakan merupakan proses pasif, otot-otot ekspirasi diperlukan

untuk membersihkan jalan napas dari sekret, misalnya dengan cara batuk. Pada beberapa

penyakit saraf, terjadi kelemahan otot bulbar (dipersarafi oleh saraf kranial IX,X,XII), otot

pengunyah (N. V) dan otot laring (dipersarafi radiks C1). Walaupun tidak berperan langsung

dalam respirasi, otot-otot ini berfungsi untuk bicara, menelan dan proteksi saluran napas

(Polkey, 2015).

Gangguan otot-otot ini dapat menyebabkan disartria, disfonia, disfagia, tersedak, batuk

yang lemah, dan kerentanan terjadinya atelektasis dan pneumonia aspirasi. Otot-otot bulbar dan

otot-otot ekspirasi dapat terganggu pada kelainan saraf pusat ataupun kelainan saraf perifer,

misalnya penyakit Parkinson, sklerosis multipel, sindrom GuillainBarre, amyotrophic lateral

sclerosis (ALS), dan miastenia gravis. Pada penyakit Parkinson, terjadi gangguan otot jalan

napas atas serta gangguan batuk sehingga berisiko tinggi aspirasi dan berhubungan dengan

mortalitas akibat penyakit ini.


D. Gangguan Tidur

Pasien penyakit saraf disertai keterlibatan awal bulbar atau diafragma sangat rentan untuk

mendapat gangguan pernapasan saat tidur, terutama pada fase tidur Rapid Eye Movement

(REM) (Polkey, 2015). Pemeriksaan di klinik tidur dapat mendeteksi gangguan otot respirasi dini

dan kebutuhan bantuan ventilasi. Misalnya, pada beberapa pasien ALS terdapat desaturasi

nokturnal walaupun kapasitas vital paksa masih di atas 50% nilai prediksi. Beberapa mekanisme

dapat menjelaskan fenomena ini. Pada pasien dengan gangguan diafragma dapat terjadi

desaturasi saat tidur akibat perubahan normal beban otot diafragma selama tidur fase REM.

Pada pasien dengan gangguan bulbar dapat timbul hipopnea (pernapasan lambat dan

dangkal) selama fase REM sleep. Selain itu, efek withdrawal dari kerja pusat napas di siang hari

dapat menyebabkan hypercapnic central apnea saat tidur. Gangguan mekanisme respirasi sentral

saat tidur dapat dijumpai pada pasien gangguan susunan saraf pusat, misalnya sklerosis multipel

dan penyakit Parkinson. Obstructive apnea dapat dijumpai pada pasien sklerosis multipel dengan

lesi di tegmentum medula, juga pada pasien penyakit Parkinson dengan gangguan autonom dan

obstruksi laring (Brown, 2014).

Berdasarkan letak anatomis, berikut penyakit saraf dan lokasinya:

1. Susunan Saraf Pusat

a. Sklerosis multipel
b. Penyakit Parkinson

2. Medula Spinalis

a. Trauma

3. Motor Neuron

a. Sindrom Postpolio

b. Amyotrophic Lateral Sclerosis

4. Saraf Motorik

a. Sindrom Guillain-Barre

5. Neuromuscular Junction

a. Miastenia Gravis

b. Botulism

6. Otot

a. Duchene muscular dystrophy

b. Polimiositis/ dermatomiositis

DAPUS

1. Aboussouan LS. Respiratory disorders in neurologic diseases. Cleve Clin J Med.


2015;72:511-20.
2. Polkey MI, Lyall RA,Moxham J, Leigh PN. Respiratory aspects of neurological disease.
J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2015;66:5-15.
3. Rowat AM, Wardlaw JM, Dennis MS. Abnormal breathing patterns in stroke:
Relationship with location of acute stroke lesion and prior cerebrovascular disease. J
Neurol Neurosurg Psychiatry. 2017;78:277-9.
4. Brown LK. Respiratory dysfunction in Parkinson’s disease. Clin Chest Med.
2014;15:715-27

Anda mungkin juga menyukai