Gangguan kontrol respirasi sentral mungkin memiliki peranan langsung pada gangguan
respirasi akibat penyakit saraf pusat, misalnya pada stroke, sklerosis multipel, atau penyakit
Parkinson. Central periodic breathing (CPB), termasuk pernapasan Cheyne-Stokes dan central
sleep apnea (CSA) ditemukan pada penderita stroke. Reseptor otot Pernapasan Cheyne-Stokes
adalah suatu pola pernapasan yang amplitudonya mula-mula naik kemudian turun bergantian
dengan periode apnea. Pola pernapasan ini sering dijumpai pada pasien stroke, akan tetapi tidak
memiliki korelasi anatomis yang spesifik. Salah satu penelitian melaporkan CPB terjadi pada
Selain menimbulkan gangguan kontrol respirasi sentral, hemiplegi akut pada stroke
berhubungan dengan risiko kematian akibat infeksi paru. Kemungkinan infeksi paru cukup besar
pada pasien dengan aspirasi dan hipoventilasi. Kontraksi otot diafragma pada sisi yang lumpuh
akibat stroke akan berkurang pada pernapasan volunter, tidak berpengaruh pada pernapasan
involunter. Emboli paru juga pernah dilaporkan terjadi pada 9% kasus stroke (Rowat, 2017).
Central neurogenic hyperventilation pertama kali digambarkan oleh Plum dan Swanson
tahun 1959, merupakan hiperpnea yang terjadi saat bangun dan tidur akibat gangguan di pons.
Pernapasan klaster adalah hiperventilasi bergantian dengan apnea secara cepat yang disebabkan
gangguan di mesensefalon. Pernapasan ataksik merupakan pernapasan yang memiliki irama dan
respon kimiawi, akan tetapi kontrol volunter masih intak (Ondine’s curse). Bila tidak diatasi
dengan support ventilator malam hari, dapat menyebabkan kematian mendadak. Lesi herniasi
transtentorial akan memberikan gambaran respirasi progresif mulai dari pernapasan Cheyne-
gasping yang merupakan keadaan preterminal. Pasien dengan lesi batang otak atau medula
spinalis servikal atas akan mengalami gangguan pernapasan volunter dan involunter. Pada
kondisi ini diperlukan bantuan ventilator, dan tindakan trakeostomi untuk pembersihan trakea
Gangguan kontrol respirasi dijumpai pada 6 dari 19 pasien sklerosis multipel yang
mengalami komplikasi respirasi. Pada penderita sklerosis multipel, dijumpai pernapasan yang
dengan terhentinya napas sebentar setelah inspirasi). Perubahan pola napas tergantung dari lokasi
lesi di otak. Pada pasien-pasien penyakit Parkinson dapat terjadi gangguan kontrol pernapasan
pernapasan apneustik, dan hipoventilasi sentral. Gangguan pernapasan lebih sering dijumpai
pada penyakit Parkinson yang disertai dengan gangguan autonom (Brown, 2014).
Gejala gangguan paru biasanya terjadi belakangan pada penyakit neurologis, dan sering
dipresipitasi oleh demam dan infeksi. Hal ini menyebabkan kebutuhan ventilasi meningkat dan
melemahkan otot pernapasan, atau terkadang malah dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit
kadar oksigen serta karbon dioksida dengan cara meningkatkan output respirasi sehingga
frekuensi napas meningkat. Bila penyakit makin berat, respon adaptasi sentral dapat berupa
timbulnya hipoventilasi untuk menghindari periode dispnea dan kelelahan. Kapasitas vital yang
rendah, gangguan aliran jalan napas, dan gangguan menghela napas (sigh) juga berperan dalam
timbulnya atelektasis dan hipoksemia, yang akhirnya makin meningkatkan kebutuhan ventilasi.
untuk membersihkan jalan napas dari sekret, misalnya dengan cara batuk. Pada beberapa
penyakit saraf, terjadi kelemahan otot bulbar (dipersarafi oleh saraf kranial IX,X,XII), otot
pengunyah (N. V) dan otot laring (dipersarafi radiks C1). Walaupun tidak berperan langsung
dalam respirasi, otot-otot ini berfungsi untuk bicara, menelan dan proteksi saluran napas
(Polkey, 2015).
Gangguan otot-otot ini dapat menyebabkan disartria, disfonia, disfagia, tersedak, batuk
yang lemah, dan kerentanan terjadinya atelektasis dan pneumonia aspirasi. Otot-otot bulbar dan
otot-otot ekspirasi dapat terganggu pada kelainan saraf pusat ataupun kelainan saraf perifer,
sclerosis (ALS), dan miastenia gravis. Pada penyakit Parkinson, terjadi gangguan otot jalan
napas atas serta gangguan batuk sehingga berisiko tinggi aspirasi dan berhubungan dengan
Pasien penyakit saraf disertai keterlibatan awal bulbar atau diafragma sangat rentan untuk
mendapat gangguan pernapasan saat tidur, terutama pada fase tidur Rapid Eye Movement
(REM) (Polkey, 2015). Pemeriksaan di klinik tidur dapat mendeteksi gangguan otot respirasi dini
dan kebutuhan bantuan ventilasi. Misalnya, pada beberapa pasien ALS terdapat desaturasi
nokturnal walaupun kapasitas vital paksa masih di atas 50% nilai prediksi. Beberapa mekanisme
dapat menjelaskan fenomena ini. Pada pasien dengan gangguan diafragma dapat terjadi
desaturasi saat tidur akibat perubahan normal beban otot diafragma selama tidur fase REM.
Pada pasien dengan gangguan bulbar dapat timbul hipopnea (pernapasan lambat dan
dangkal) selama fase REM sleep. Selain itu, efek withdrawal dari kerja pusat napas di siang hari
dapat menyebabkan hypercapnic central apnea saat tidur. Gangguan mekanisme respirasi sentral
saat tidur dapat dijumpai pada pasien gangguan susunan saraf pusat, misalnya sklerosis multipel
dan penyakit Parkinson. Obstructive apnea dapat dijumpai pada pasien sklerosis multipel dengan
lesi di tegmentum medula, juga pada pasien penyakit Parkinson dengan gangguan autonom dan
a. Sklerosis multipel
b. Penyakit Parkinson
2. Medula Spinalis
a. Trauma
3. Motor Neuron
a. Sindrom Postpolio
4. Saraf Motorik
a. Sindrom Guillain-Barre
5. Neuromuscular Junction
a. Miastenia Gravis
b. Botulism
6. Otot
b. Polimiositis/ dermatomiositis
DAPUS