Anda di halaman 1dari 13

ASUHAN KEPERAWATAN THALASEMIA

PADA ANAK
KELOMPOK 1
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak
Semester Tiga Tingkat Dua

Nama Kelompok:

1. Akhyen Nurhanifah
2. Alifatun Khasanah
3. Anggun Kusuma Dewi
4. Anis Listianingsih
5. Anissa Shohwatul Islam
6. Arif Purnomo
7. Bambang Dedi Setiawan
8. Danang Ardiazis
9. Devi Rahayu Agustin
10. Dika Ruliyana
11. Dini Saputri

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2014
BAB I
TINJAUAN TEORI
THALASEMIA PADA ANAK
A. Definisi

Thalasemia merupakan penyakit kongenital herediter yang diturunkan secara


autosomal berdasarkan kelainan haemoglobin, dimana satu atau dua rantai Hb kurang atau
tidak terbentuk secara sempurna sehingga terjadi anemia hemolitik. Kelainan hemolitik ini
mengakibatkan kerusakan pada sel darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur
eritrosit menjadi pendek (Indanah, 2010).
Thalasemia adalah penyakit genetic yang diturunkan secara autosomal resesif menurut
hukum mendel dari orang tua kepada anak-anaknya yang dapat menunjukkan gejala klinis
dari yang paling ringan (bentuk heterozigot) yang disebut thalasemia minor atau trait (carrier
= pengembang sifat) hingga yang paling berat (bentuk homozigot) yang disebut thalasemia
mayor. Bentuk heterozigot diturunkan oleh salah satu orang tua yang mengidap thalasemia,
sedangkan bentuk homozigot diturunkan oleh kedua orang tuanya yang mengidap penyakit
thalasemia (Sudoyo, Aru W, 2009)
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh haemoglobin.
(suryadi,2001)
Thalassemia alpa adalah kelainan herediter yang diakibatkan oleh berkurangnya atau
tidak adanya sintesis satu atau lebih rantai globin α. Thalasemia mayor dikenal dengan
(Coleey anemia) merupakan bentuk homozigot dari thalasemia β yang disertai dengan anemia
berat dan sangat tergantung pada tranfusi. Penyakit thalasemia merupakan kelainan genetik
tersering didunia. Kelainan ini terutama ditemukan dikawasan Mediterania, Afrika dan Asia
Tenggara dengan frekuensi sebagai pembawa gen sekitar 5-30% (Indanah, 2010).
Thalasemia adalah penyakit yang diturunkan secara autosomal dari orang tua kepada
anaknya. Dimana adanya penurunan produksi jumlah hemoglobin yaitu salah satu komponen
terpenting darah yang berfungsi mensuplai oksigen ke seluruh tubuh, sehingga
mengakibatkan suplai oksigen keseluruh tubuh terganggu.

B. Etiologi

Thalasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan orang tua kepada anaknya.
Anak yang mewarisi gen thalasemia dari salah satu orang tua dan gen normal dari orang tua
lain adalah seorang pembawa (carries). Anak yang mewarisi gen dari kedua orang tuanya
menderita thalasemia sedang sampai berat. (Muncie & Campbell, 2009)
C. Tanda dan Gejala

Gejala Klinis Thalasemia mayor, gejala klinik telah terlihat sejak anak baru berumur
kurang dari 1 tahun, yaitu:

a. Jaundice
b. Splenomegali
c. Tulang frontal menonjol
d.
e. Berat badan kurang
f. Tidak dapat hidup tanpa transfusi

Thalasemia intermedia ditandai oleh anemia mikrositik, bentuk heterozigot.


Thalasemia minor/ thalasemia trait ditandai oleh splenomegali, anemia berat, bentuk
homozigot. Pada anak yang sering dijumpai adanya :
a) Gizi buruk
b) Perut buncit karena pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba
c) Aktivitas tidak aktif karena pembesaran limpa dan hati (Hepatomegali ), Limpa yang
besar ini mudah ruptur karena trauma ringan saja.

Gejala khas adalah:


a) Bentuk muka mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung, jarak antara kedua
mata lebar dan tulang dahi juga lebar.
b) Keadaan kuning pucat pada kulit, jika sering ditransfusi, kulitnya menjadi kelabu karena
penimbunan besi.sumber
D. Patofisiologi

Pada pasien thalasemia terjadi gangguan sintesis globin. Tidak seimbangnya jumlah
rantai α dan β globin yang disintesis menyebabkan hemoglobin tidak terbentuk secara
normal. Kondisi ini menyebabkan penurunan sintesis rantai β dalam molekul hemoglobin
yang terjadi secara parsial atau total. Penurunan rantai β- akan dikompensasi oleh
meningkatnya sintesis rantai α-, sedangkan rantai –γ tetap aktif dan menghasilkan
pembentukan hemoglobin yang cacat. (Rund & Rachmilewitz, 2005)
Keadaan unit polipeptida yang tidak seimbang menyebabkan kelainan produksi
hemoglobin secara kronis dan destruksi eritrosit. Kondisi ini menyebabkan sumsum tulang
membentuk eritrosit baru, sehingga muncul eritropoeisis. (Price & Wilson, 2006)

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik yang dapat dijumpai sebagai dampak patologis penyakit pada
thalasemia yaitu anemia yang menahun disebabkan eritropoises yang tidak efektif, proses
hemolisis dan reduksi sintesa hemoglobin (Indanah, 2010).
Adanya anemia tersebut mengakibatkan pasien memerlukan transfusi darah seumur
hidupnya. Pemberian transfusi darah secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya
penumpukan zat besi pada jaringan parenkim disertai dengan kadar serum besi yang tinggi.
Hal tersebut dapat menimbulkan hemosiderosis pada berbagai organ tubuh seperti, jantung,
hati, limpa serta kelenjar endokrin. Kondisi anemia kronis menyebabkan terjadinya hypoxia
jaringan dan merangsang peningkatan produksi eritropoitin yang berdampak pada ekspansi
susunan tulang sehingga pasien thalasemia mengalami deformitas tulang, resiko menderita
gout dan defisiensi asam folat. Selain itu peningkatan eritropoitin juga mengakibatkan
hemapoesis ekstra medular. Hemapoesis eksta medular serta hemolisis menyebabkan
terjadinya hipersplenisme dan splenomegali. Hypoxia yang kronis sebagai dampak dari
anemia mengakibatkan penderita sering mengalami sakit kepala, irritable, aneroxia, nyeri
dada dan tulang serta intoleran aktifitas. Pada taraf lanjut pasien juga beresiko mengalami
gangguan pertumbuhan dan perkembangan reproduksi. Pasien dengan thalasemia juga
mengalami perubahan struktur tulang yang ditandai dengan penampilan wajah khas berupa
tulang maxilaris yang menonjol, dahi yang lebar dan tulang hidung datar (Indanah, 2010).
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada Klien Dengan Thalasemia
a) Fraktur patologis
b) Hepatosplenomegali
c) Gangguan tumbuh kembang
d) Disfungsi organ
e) Gagal jantung
f) Hemosiderosis
g) Hemokromatosis sumber
G. Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi :
a. Hb rendah dapat sampai 2-3 g%
b. Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat
dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda
Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih kurang khas.
c. Retikulosit meningkat.
2. Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis) :
a. Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis asidofil.
b. Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.
3. Pemeriksaan khusus :Hb F meningkat : 20%-90% Hb total
a. Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F.
b. Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia mayor merupakan trait
(carrier) dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb total).
4. Pemeriksaan lain :
a. Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan
trabekula tegak lurus pada korteks.
b. Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang sehingga
trabekula tampak jelas. sumber
H. Penatalaksanaan
Hingga sekarang tidak ada obat yang dapat menyembuhkan thalassemia. Transfusi
darah diberikan bila kadar Hb telah rendah (kurang dari 6 g/dl) atau bila anak mengeluh tidak
mau makan dan lemah. Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh diberikan iron chelating
agent, yaitu desferal secara intramuskular atau intravena.
Splenektomi dilakukan pada anak yang lebih tua dari 2 tahun, sebelum didapatkan
tanda hipersplenisme atau hemosiderosis. Bila kedua tanda itu telah tampak, maka
splenektomi tidak berguna. Sesudah splenektomi, frekuensi transfusi darah biasanya menjadi
lebih jarang. Diberikan pula bermacam-macam vitamin, tetapi preparat yang mengandung
besi merupakan indikasi kontra (Rusepno, 1985).
Dilaboratorium klinik, kadar hemoglobin dapat ditentukan dengan berbagai cara :
diantaranya dengan cara kolorimetrik seperti cara sianmethemoglobin (HiCN) dan dengan
cara oksihemoglobin (HbO2). International committee for standardization in Haematology
(ICSH) menganjurkann pemeriksaan kadar hemoglobin cara sianmethemoglobin. Cara ini
mudah dilakukan, mempunyai standar yang stabil dan dapat mengukur semua jenis
hemoglobin kecuali sulfhemoglobin. Metoda sahli yang berdasarkan pembentukan hematin
asam tidak dianjurkan lagi, karena mempunyai kesalahan yang sangat besar, alat tidak dapat
distandardisasi dan tidak semua jenis hemoglobin diubah menjadi hematin asam, seperti
karboksihemoglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin.
a. Laboratorium
Kelainan morfologi erotrosit pada penderita thalassemia beta homozigot yang tidak
di transfusi adalah eksterm di samping hipokronia dan mikrositosis berat., banyak ditemukan
poikilosit yang terfrakmentasi, aneh (bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit yang
berinti ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi intra eritrositik, yang
merupakan presipitasi dari kelebihan rantai alfa, juga dapat terlihat paska splenektomi. Kadar
Hb turun secara cepat menjadi kurang dari 5 g/dl kecuali jika transfusi di berikan. Kadar
bilirubin serum tidak terkonjugasi meningkat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi
kapasitas pengikat besi. Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar Hb F yang
sangat tinggi dalam eritrosit. Senyawa dipirol menyebabkan urin berwarna coklat gelap
terutama paska splenektomi.
b. Terapi
Terapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl.
Regimen hiper transfusi ini mempunyai keuntungan yang memungkinkan aktifitas normal
dengan nyaman, mencegah ekspansi sumsum tulang dan masalah kosmetik progresif yang
terkait dengan perubahan tulang-tulang muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan
osteoporosis. Transfusi dengan dosis 15-20 ml/kg sel darah merah terpampat (PRC) biasanya
di perlukan setiap 4-5 minggu. Uji silang harus di kerjakan untuk mencegah alloimunisasi
dan mencehag reaksi transfusi. Lebih baik di gunakan PRC yang relatif segar (kurang dari 1
minggu dalam antikoagulan CPD) walaupun dengan ke hati-hatian yang tinggi, reaksi demam
akibat transfusi lazim ada. Hal ini dapat di minimalkan dengan penggunaan eritrosit yang
direkonstitusi dari darah beku atau penggunaan filter leukosit, dan dengan pemberian
antipiretik sebelum transfusi. Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka panjang,
yang tidak dapat di hindari karena setiap 500 ml darah membawa kira-kira 200 mg besi ke
jaringan yang tidak dapat di ekskresikan secara fisiologis. Siderosis miokardium merupakan
faktor penting yang ikut berperan dalam kematian awal penderita. Hemosiderosis dapat di
turunkan atau bahkan di cegah dengan pemberian parenteral obat pengkelasi besi (iron
chelating drugs) deferoksamin, yang membentuk kompleks besi yang dapat di ekskresikan
dalam urin. Kadar deferoksamin darah yang di pertahankan tinggi adalah perlu untuk ekresi
besi yang memadai. Obat ini diberikan subkutan dalam jangka 8-12 jam dengan
menggunakan pompa portabel kecil (selama tidur), 5 atau 6 malam/minggu penderita yang
menerima regimen ini dapat mempertahankan kadar feritin serum kurang dari 1000 ng/mL
yang benar-benar di bawah nilai toksik.
Obat pengkhelasi besi per oral yang efektif, deferipron, telah dibuktikan efektif
serupa dengan deferoksamin. Terapi hipertransfusi mencegah splenomegali masif yang di
sebabkan oleh eritropoesis ekstra medular. Namun splenektomi akhirnya di perlukan karena
ukuran organ tersebut atau karena hipersplenisme sekunder. Splenektomi meningkatkan
resiko sepsis yang parah sekali, oleh karena itu operasi harus dilakukan hanya untuk indikasi
yang jelas dan harus di tunda selama mungkin. Indikasi terpenting untuk splenektomi adalah
meningkatkan kebutuhan transfusi yang menunjukkan unsur hipersplenisme. Kebutuhan
transfusi melebihi 240 ml/kg PRC/tahun biasanya merupakan bukti hipersplenisme dan
merupakan indikasi untuk mempertimbangkan splenektomi. Imunisasi pada penderita ini
dengan vaksin hepatitis B, vaksin H.influensa tipe B, dan vaksin polisakarida pneumokokus
diharapakan, dan terapi profilaksis penisilin juga dianjurkan. Cangkok sumsum tulang ( CST)
adalah kuratif pada penderita ini dan telah terbukti keberhasilan yang meningkat, meskipun
pada penderita yang telah menerima transfusi sangat banyak. Prosedur ini membawa resiko
morbiditas dan mortalitas dan biasanya hanya di gunakan untuk penderita yang mempunyai
saudara kandung yang sehat (yang tidak terkena) yang histokompatibel.
BAB II
TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Asal Keturunan / Kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar laut Tengah (Mediteranial) seperti Turki,
Yunani, dll. Di Indonesia sendiri, thalasemia cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan
merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.

2. Umur
Pada penderita thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala telah terlihat sejak anak
berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada thalasemia minor biasanya anak akan dibawa
ke RS setelah usia 4 tahun.

3. Riwayat Kesehatan Anak


Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi lainnya. Ini
dikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.

4. Pertumbuhan dan Perkembangan


Seirng didapatkan data adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbang sejak masih bayi.
Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan fisik anak, adalah kecil untuk umurnya dan
adanya keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan ramput
pupis dan ketiak, kecerdasan anak juga mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia
minor, sering terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.

5. Pola Makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah makan, sehingga BB rendah dan tidak sesuai
usia.

6. Pola Aktivitas

Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak lebih banyak tidur/istirahat
karena anak mudah lelah.

7. Riwayat Kesehatan Keluarga


Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa apakah orang tua juga
mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak beresiko terkena talasemia mayor.

8. Riwayat Ibu Saat Hamil (Ante natal Core – ANC)


Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor resiko
talasemia. Apabila diduga ada faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan resiko yang
mungkin sering dialami oleh anak setelah lahir.

9. Data Keadaan Fisik Anak Thalasemia


a. KU = lemah dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang seusia.
b. Kepala dan bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan pengobatan mempunyai
bentuk khas, yaitu kepala membesar dan muka mongoloid (hidung pesek tanpa pangkal
hidung), jarak mata lebar, tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva pucat dan kekuningan
d. Mulut dan bibir terlihat kehitaman
e. Dada, Pada inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya pembesaran jantung dan
disebabkan oleh anemia kronik.
f. Perut, Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati (hepatospek nomegali).
g. Pertumbuhan fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB di bawah normal
h. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas tidak tercapai dengan
baik. Misal tidak tumbuh rambut ketiak, pubis ataupun kumis bahkan mungkin anak
tidak dapat mencapai tapa odolense karena adanya anemia kronik.
i. Kulit, Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering mendapat transfusi warna
kulit akan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini terjadi karena adanya penumpukan zat
besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman Oksigen ke sel.
Tujuan: Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam , pasien mampu
mempertahankan perfusi jaringan adekuat ditandai Dengan Kriteria hasil : Nadi perifer
teraba, kulit hangat, tidak terjadi sianosis.

Intervensi :

a) Awasi tanda vital, palpasi nadi perifer


b) Lakukan pengkajian neurofaskuler periodik misalnya sensasi, gerakan nadi, warna
kulit atau suhu.
c) Berikan oksigen sesuai indikasi Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna
kulit/ membran mukosa, dasar kuku.
d) Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien dengan
hipotensi).
e) Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
f) Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan memori, bingung.
g) Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh hangat sesuai
indikasi.
h) Kolaborasi pemeriksaan laboratorium, Hb, Hmt, AGD, dll.
i) Kolaborasi dalam pemberian transfusi.
j) Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan


kebutuhan.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperwatan selama 2x24 jam diharapkan klien mampu
melakukan aktivitas sehari-hari dengan kriteria hasil: anak bermain dan beristirahat dengan
tenang serta dapat melakukan aktivitas sesuai kemampuan.
Intervensi :

a) Kaji toleransi fisik anak dan bantu dalam aktivitas yang melebihi toleransi anak
b) Berikan anak aktivitas pengalihan misalnya bermain
c) Berikan anak periode tidur sesuai kondisi dan usia
d) Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan kesulitan
dalam beraktivitas.
e) Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
f) Catat respon terhadap tingkat aktivitas.
g) Berikan lingkungan yang tenang.
h) Pertahankan tirah baring jika diindikasikan.
i) Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
j) Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
k) Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
l) Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
m) Gerakan teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan
untuk pembentukan sel darah merah normal.
Tujuan : menunjukkan pemahaman pentingnya nutrisi

Kriteria hasil :

a) mununjukan peningkatan bb progresif sesuai yang di inginkan


b) tidak adanya malnutrisi (kekurangan nutrisi)

Intervensi:

a) Pantau jumlah dan jenis intake dan output pasien


b) Timbang berat badan klien
c) Beri Health Education tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh
d) Kolaborasi dengan ahli gizi
e) Berikan makanan yang bergisi.
f) Berikan minuman yang bergisi misalnya susu
g) Beri makanan sedikit tapi sering.
h) Berikan suplemen atau vitamin pada anak
i) Berikan lingkungan yang menyenangkan

4. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan neurologis.
Kriteria hasil :
a) Kulit utuh.

Intervensi :
a) Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, aritema dan
ekskoriasi.
b) Ubah posisi secara periodik.
c) Pertahankan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.

5. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat, penurunan


Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
Kriteria hasil :
a) Tidak ada demam
b) Tidak ada drainage purulen atau eritema
c) Ada peningkatan penyembuhan luka

Intervensi :
a) Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.
b) Dorong perubahan ambulasi yang sering.
c) Tingkatkan masukan cairan yang adekuat.
d) Pantau dan batasi pengunjung.
e) Pantau tanda-tanda vital.
f) Kolaborasi dalam pemberian antiseptik dan antipiretik.

6. Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan


dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi.

Kriteria hasil :
a) Menyatakan pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostika rencana pengobatan.
b) Mengidentifikasi faktor penyebab.
c) Melakukan tindakan yang perlu/ perubahan pola hidup.

Intervensi :

a) Berikan informasi tentang thalasemia secara spesifik.


b) Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya thalasemia.
c) Rujuk ke sumber komunitas, untuk mendapat dukungan secara psikologis.
d) Konseling keluarga tentang pembatasan punya anak/ deteksi dini keadaan janin
melalui air ketuban dan konseling perinahan: mengajurkan untuk tidak menikah
dengan sesama penderita thalasemia, baik mayor maupun minor.
DAFTAR PUSTAKA

II, B. II. 1 Thalasemia Alfa Defenisi.


Arijanty, L., & Nasar, S. S. (2006). Masalah nutrisi pada thalassemia. Sari Pediatri,
5(1), 21-6.
Aru W. Sudoyo, 2009 Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 5 InternaPublishing: Jakarta
Fatriani, Liza, 2012 Talasemia
Ganie, R. A. (2005). Thalassemia: Permasalahan dan Penanganannya. Disampaikan
dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Patologi pada
Fakultas Kedokteran. USU, Medan.
Indanah, 2010 Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan “self care behavior” Pada
Anak Usia Sekolah Dengan Talasemia Mayor Di RSUPN, Dr. Cipto Mangun Kusumo
Jakarta.
Muncie, H.J. & Campbell, J.S. (2009). Alpha and beta thalasemia.
Rund, D., & Rachmilewitz, E. (2005). Cognitive abilities, mood changes and adaptive
functioning in children with β thalassaemia. Current Psychiatry, 16(3): 244-54.
Tentang, P. O. T., Anak, P. T. P., Thalasemia, C., & Aceh B. Dara Khairina.

Anda mungkin juga menyukai