PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca
mengenai diagnosis dan penatalaksanaan keratitis
1.4 Metode Penulisan
Metode yang dipakai pada penulisan ini adalah tinjauan kepustakaan yang
merujuk pada berbagai kepustakaan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya
regenerasi.1
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari
epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan
berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya
generasi.1
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan
tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar
sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter
kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
lama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma.1
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak
amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus
seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada
membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik
lainnya dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain.1
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal
antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari
kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan
epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel
mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel
dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat
menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel,
4
stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya
transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh
epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini
mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan
ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea.1
5
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi
relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel
dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel
jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel
berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang
akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan
air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut,
yang mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea
superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.4
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak
dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.
Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air
sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan
membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti
bakteri, virus, amuba, dan jamur.4
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya,
dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan
sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama
terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan
kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh
karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan
penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.4
2.3 Keratitis
2.3.1 Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan
6
epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga
keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.1
2.3.2 Epidemiologi
Keratitis merupakan penyebab tersering ke empat dari kerusakan
penglihatan dan kebutaan di seluruh dunia. Di US keratitis sering diakibatkan
karena pemakaian kontak lensa, tetapi di negara berkembang lebih sering
disebabkan oleh trauma saat bekerja di pertanian.
2.3.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Penyebab keratitis bermacam-macam yaitu bakteri, virus dan jamur. Selain
itu penyebab lain yang merupakan faktor predisposes adalah kekeringan pada
mata, pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke
mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu,
polusi atau bahan iritatif lain, trauma dan penggunaan lensa kontak yang kurang
baik.5
2.3.4 Klasifikasi
Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. Berdasarkan
lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi :
a. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata
Subepitel)
Keratitis yang terkumpul di daerah bowman, dengan infiltrate berbentuk
bercak-bercak halus. Keratitis pungtata superficial memberikan gambaran
seperti infiltrate halus bertitik-titik pada permukaan kornea. Merupakan
cacat halus kornea superficial dan hijau bila diwarnai fluoresein.
Sedangkan keratitis pungtata subepitel adalah keratitis yang terkumpul di
daerah membrane bowman.
b. Keratitis Marginal
Merupakan infiltrate yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan
limbus. Penyakit infeksi local konjungtiva dapat menyebabkan keratitis
kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya
terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis.
7
Gambar 2.2 Keratitis Marginal
c. Keratitis Interstisial
Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh
darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya tranparansi
kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis
adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial.
8
Keratitis yang disebabkan oleh infeksi jamur diantaranya jamur berfilamen
(filamentous fungi), jamur bersepta dan jamur tidak bersepta, jamur ragi
(uniseluler), dan jamur difasik.
c. Keratitis Virus
Keratitis yang disebabkan oleh virus biasanya Herpes Simpleks Virus yang
merupakan infeksi virus tersering pada kornea. Virus herpes simplek
menempati manusia sebagai host, merupakan parasit intraselular obligat, dapat
ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina dan mata.
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri, fotofobia, penglihatan kabur,
mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika bagian pusat
yang terkena. Infeksi primer herpes simpleks pada mata biasanya berupa
konjungtivitis folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta
pembengkakan kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga disertai
keratitis epithelial dan dapat mengenai stroma, tetapi kejadian ini jarang. Pada
dasarnya infeksi primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan
tertentu di mana daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan
menyerang stroma.
d. Keratitis Alergi
Keratitis Alergi seperti keratokonjungtivitis, keratokunjungtivitis epidemi,
tukak atau ulkus fliktenular, keratitis fasikularis, keratokonjungtivitis vernal
penyebabnya yaitu reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang mengenai kedua mata,
biasanya penderita sering menunjukkan gejala alergi terhadap tepung sari
rumput-rumputan. Gambaran klinisnya berupa bentuk palpebra cobble stone
(pertumbuhan papil yang besar) diliputi secret mukoid, bentuk limbus tantras
dot (penonjolan berwarna abu-abu, seperti lilin), gatal, fotofobia, sensasi
benda asing, mata berair dan blefarospasme.
9
yang menjalar dari pinggir ke tengah, dengan pinggir meninggalkan sikatrik
sedangkan tengahnya masih aktif, yang disebut wander phlyctean. Keadaan ini
merupakan proses yang mudah sembuh, tetapi kemudian kambuh lagi di
tempat lain bila penyebabnya masih ada dan dapat menyebabkan kelainan
kornea berbentuk bercak-bercak sikatrik, menyerupai pulau-pulau yang
disertai geographic pattern.
b. Keratitis Sika
Merupakan peradangan konjungtiva dan kornea akibat keringnya permukaan
kornea dan konjungtiva. Penyebab keringnya permukaan konjungtiva dan
kornea yaitu berkurangnya komponen lemak (pada blefaritis), berkurangnya
air mata (pada syndrome syrogen, atropine atau dijumpai pada usia tua),
berkurangnya komponen musin (pada keadaan avitaminosis A, penyakit-
penyakit yang menyebabkan cacat konjungtiva seperti trauma kimia,
trakoma), penguapan yang berlebihan (seperti pada kehidupan gurun pasir,
lagoftalmus, keratitis neuroparalitika), adanya sikatrik pada kornea. Gejala
yang sering timbul yaitu mengeluh mata terasa gatal, terasa seperti ada pasir,
fotofobia, visus menurun, secret lengket, mata terasa kering.
c. Keratitis Numularis
Diduga disebabkan virus, pada klinis tanda-tanda radang tidak jelas, terdapat
infiltrate bulat-bulat subepitelial di kornea, dimana tengahnya lebih jernih,
disebut halo (diduga terjadi karena resorpsi dari infiltrate yang dimulai
tengah). Tes fluoresen (-). Keratitis ini jika sembuh meninggalkan sikatrik
yang ringan.
2.3.5 Patofisiologi
Terdapat beberapa kondisi yang dapat sebagai predisposisi terjadinya
inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry
eyes), penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan
penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik.5
Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh
lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa
mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks
berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang
10
membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi
secara cepat dan lengkap.5
Epitel adalah merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma
yang avaskuler dan lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi
dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur.
Streptokokus pneumonia adalah merupakan pathogen kornea bacterial, pathogen-
patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host yang
immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea.6
Ketika patogen telah menginvasi jaringan kornea melalui lesi kornea
superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu: 5
Lesi pada kornea
Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi stroma kornea
Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi pathogen
Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi
pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi
kornea
Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang
akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)
Pathogen akan menginvasi seluruh kornea.
Hasilnya stroma akan mengalamii atropi dan melekat pada membarana
descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele yang
dimana hanya membarana descement yang intak.
Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement
terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea
perforate dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya.
Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus progresef dan bola
mata akan menjadi lunak.
11
pembentukan jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan
leukoma. Adapun gejala umum adalah1,4:
Keluar air mata yang berlebihan
Nyeri
Penurunan tajam penglihatan
Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
Mata merah
Sensitif terhadap cahaya
2.3.7 Diagnosis
Anamnesis merupakan langkah awal untuk menegakkan diagnosis penyakit
ini. Penting untuk mengetahui riwayat trauma dan riwayat penyakit kornea
sebelumnya. Benda asing dan abrasi merupakan dua lesi yang umum pada kornea.
Keratitis akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi
kambuh sangat sakit dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat
dibedakan dari gejalanya. Perlu ditanyakan riwayat pemakaian obat lokal oleh
pasien, seperti kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit
bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin
terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS,
dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus3,6.
Dokter memeriksa kornea dengan melakukan inspeksi di bawah
pencahayaan yang memadai. Pemeriksaan sering lebih mudah dengan meneteskan
anestesi lokal. Pemulasan fluorescein dapat memperjelas lesi epitel superfisialis
yang tidak mungkin telihat bila tidak dipulas. Pemakaian biomikroskop (slitlamp)
penting untuk pemeriksaan kornea, jika tidak tersedia, dapat dipakai kaca
pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya
saat menggerakkan cahaya di atas kornea. Dengan pemeriksaan ini, dapat
ditemukan daerah kasar yang menandakan adanya defek pada epitel kornea.3
Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan
terapi empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur. Hapusan dan kultur sering
membantu dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang
terjadi di mata dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau
vitreous tidak perlu dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh mikroba
12
endophthalmitis.6
Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-
satunya cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat
membantu sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis
yang tidak bagus dan untuk mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-
obatan yang tidak perlu. Dalam perawatan mata secara empiris tanpa kultur
dimana respon klinisnya tidak bagus, kultur dapat membantu meskipun
keterlambatan dalam pemulihan patogen dapat terjadi.6
Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan
menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari
daerah yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk
mendapatkan sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.6
Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal
terhadap pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan
gambaran klinis yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat
diindikasikan jika infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan
jaringan atasnya tidak terlibat. Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat
dilakukan dengan bantuan Slit Lamp atau mikroskop operasi. Setelah anestesi
topikal, gunakan sebuah pisau untuk mengambil sepotong kecil jaringan stroma,
kemudian dikirim untuk kultur dan histopatologi. 6
2.4 Keratitis Bakterialis
2.4.1 Definisi
Infeksi bakteri pada mata merupakan kondisi yang mengancam nyawa.
Beberapa kasus memiliki onset cepat dan peradangan stroma yang progresif.
Apabila tidak diobati, sering kali menyebabkan kerusakan jaringan progresif
dengan perforasi kornea atau perluasan infeksi ke jaringan yang berdekatan.
Keratitis bakteri sering dikaitkan dengan faktor risiko yang mengganggu integritas
epitel kornea.2
Faktor predisposisi umum yang dapat menyebabkan infeksi bakteri pada
kornea adalah2:
• Pemakaian lensa kontak
• Trauma
13
• Obat mata yang terkontaminasi
• Mekanisme pertahanan kornea yang terganggu
• Perubahan struktur permukaan kornea
2.4.2 Etiologi
Tabel 2.1. Penyebab Keratitis Bakterialis
2.4.3 Patogenesis
14
Bakteri menempel pada kornea dan kemudian menyerang dan berkembang
biak di dalam stroma kornea Kehadiran faktor risiko tertentu seringkali akan
menyebabkan berkembangnya patogen tertentu, berdasarkan mekanisme
penempelan patogen yang spesifik. Setelah melekat, bakteri akan berkembang
biak dan menyerang stroma kornea, seringkali dengan bantuan protease spesifik
bakteri. Peradangan host dimulai dengan ekspresi berbagai sitokin dan kemokin,
rekrutmen sel inflamasi dari air mata dan pembuluh limbus, dan sekresi
berikutnya dari matriks metaloproteinase yang menyebabkan nekrosis kornea. 2
2.4.4 Diagnosis
Pemeriksaan utama untuk diagnosis yaitu dengan pemeriksaan Gram dan
kultur sampel kornea meskipun kurang sensitif. Pemeriksaan Gram dan Giemsa
sangat bermanfaat karena dapat mengeluarkan hasil pemeriksaan dengan cepat.
Pemeriksaan Gram akurat dalam mendeteksi organisme penyebab sebanyak 60% -
75% pada kasus bakterial dan 35% - 90% pada kasus fungal. Pemeriksaan Giemsa
40% – 85% sensitif untuk mendiagnosa kasus fungal.10
2.4.5 Manifestasi Klinis
Gejala keratitis bakterialis adalah nyeri, fotofobia, kehilangan penglihatan
(berrgantung pada lokasi lesi dan keparahannya), dan sekret yang berair serta
purulen. Keratitis bakteri biasanya dimulai dengan kerusakan epitel. Sel-sel putih
kemudian mengelilingi daerah infeksi yang dilihat sebagai kabut putih di sekitar
ulkus. Reaksi inflamasi menyebabkan edema kornea lokal dengan peningkatan
opalifikasi kornea dan, jika tidak diobati, ada nekrosis progresif jaringan kornea
yang akhirnya menyebabkan perforasi dan kehilangan penglihatan.11
2.4.6 Terapi
Pada setiap keratitis, tujuan utama terapi adalah mempertahankan visus
dan kejernihan kornea. Patogen bakteri dapat menghasilkan jaringan parut kornea
ireversibel selama beberapa jam karena pertumbuhannya yang cepat, enzim
keratolitik, dan stimulasi destruktif respon imun host. Oleh karena itu, terapi harus
dimulai sebelum diagnosis definitif diperoleh dengan cepat mengurangi jumlah
bakteri dan meminimalkan kecacatan visual selanjutnya.12
Terapi awal terdiri dari terapi empiris, berupa terapi topikal spektrum
luas. Dalam terapi rutin keratitis, monoterapi dengan fluoroquinolones topikal
15
memberikan hasil yang baik. Terapi kombinasi disarankan untuk membantu
penetrasi ke lapisan kornea yang lebih baik. Antibiotik ini awalnya harus
diberikan setiap 30-60 menit kemudian harus di-tappering sesuai dengan respon
klinis. Pada kasus yang parah, pemberian antibiotik setiap 5 menit selama 30
menit sebagai dosis awal lebih cepat mencapai konsentrasi terapeutik pada stroma
kornea. Generasi kedua fluoroquinolones (ciprofloxacin, ofloxacin) terus
memiliki cakupan Pseudomonas yang sangat baik. namun kurang bermanfaat
untuk menghambat aktivitas gram positif. Fluoroquinolones generasi ketiga dan
keempat (misalnya, moxifloxacin, gatifloxacin, levofloxacin, dan besifloxacin)
dapat menghambat gram positif dan mycobacterial atipikal namun aktivitas
terbatas terhadap MRSA.Sebagai alternatif, terapi kombinasi topikal dengan agen
aktif melawan gram positif bakteri dan agen lain yang aktif melawan bakteri gram
negatif dapat digunakan sebagai terapi awal. Namun, terapi kombinasi mungkin
diperlukan jika monoterapi gagal atau pada manifestasi awal terdapat ulkus besar,
mengancam penglihatan, atau keratitis atipikal.12
Meskipun antibiotik terfortifikasi lebih sulit didapatkan dan mungkin
memiliki efek toksik yang lebih besar pada permukaan okular, klinisi harus
mempertimbangkan penggunaan antibiotik ini, terutama dalam kombinasi dengan
vankomisin untuk cakupan gram positif ketika kuman penyebab dicurigai MRSA,
dengan ulkus yang besar atau mengancam penglihatan, atau dengan kegagalan
dengan antibiotik sebelumnya.
Apabila diobati secara efektif, kultur kuman penyebab keratitis akan
berubah menjadi negatif setelah 48-72 jam, namun pengobatan harus dilanjutkan
sampai kontrol substansial terhadap infeksi terlihat. Kemudian, antibiotik
spektrum luas profilaksis dapat diberikan pada dosis terapeutik sampai epitel
kornea sembuh. Antibiotik sistemik - terutama fluoroquinolones, yang memiliki
penetrasi okular sangat baik dan antibiotik topikal intensif ditunjukkan pada kasus
dengan kecurigaan adanya infeksi skleral dan / atau perluasan infeksi intraokular.
Tabel 2.2 Terapi awal keratitis bakterialis12
16
*Apabila resisten terhadap Staphylococus aerus
American Academy of Opthamology dalam pedoman praktik kedokteran
mata merekomendasikan kultur awal untuk infiltrat yang meluas ke tengah
kornea, menjadi stroma dalam, atau panjang horizontal (> 2 mm), dan juga untuk
pasien yang riwayat atau gambaran klinisnya menunjukkan jamur, amebik,
mikobakteri, atau organisme yang resistan terhadap obat sebagai agen penyebab.
Kultur dilakukan setelah pemberian antibiotik, dengan beberapa studi
menyarankan penghentian antibiotik selama 12 - 24 jam untuk melihat hasil kultur
yang lebih baik. Namun, hasil kultur positif tidak menyingkirkan penggunan
antibiotik spektrum luas, meskipun dapat menyebabkan perbedaan respons
terhadap kelas mikroorganisme yang berbeda.
Begitu mikroba penyebab sudah diidentifikasi, atau terdapat perubahan
pada respons klinis, monoterapi yang tepat dapat dipertimbangkan untuk
mengurangi toksisitas.
Setiap perubahan dalam terapi medis harus didasarkan pada respon
klinis. Beberapa parameter klinis berguna untuk memantau respon klinis terhadap
terapi antibiotik adalah:
Blunting perimeter infiltrate stroma
Penurunan Kepadatan Infiltrate Stroma
Pengurangan Edema Stroma Dan Plak Peradangan Endotel
17
Pengurangan Peradangan Ruang Anterior
Reepitelisasi
Penghentian Penipisan Kornea
Peran terapi kortikosteroid untuk keratitis bakteri tetap kontroversial.
Kehancuran jaringan hasil dari kombinasi efek langsung bakteri dan respon
inflamasi host terdiri dari leukosit polimorfonuklear dan enzim proteolitik, yang
mendominasi bahkan setelah sterilisasi kornea. Kortikosteroid efektif dalam
memodifikasi respons ini, tetapi juga menghambat respon host terhadap infeksi.
Pemakaian kortikosteroid diperdebatkan dapat menghambat penyembuhan epitel
dan memperburuk infeksi.10 Terapi kortikosteroid diberikan sebelum terapi
antibiotik yang tepat dapat memperburuk prognosis. Namun, terapi steroid yang
digunakan bersamaan dengan terapi antibiotik atau segera setelah pemberian
antibotik, seperti baru-baru ini diujicobakan dalam uji klinis acak dimana
kortikosteroid topikal diberikan 48 jam setelah inisiasi antibiotik topikal untuk
keratitis bakter tidak berpengaruh pada hasil visual akhir atau tingkat komplikasi.
Namun kecenderungan peningkatan hasil yang lebih baik dicatat pada pasien
dengan penglihatan awal terburuk yang menerima kortikosteroid. 13
Penggunaan kortikosteroid secara luas tidak disarankan tetapi
tampaknya tidak meningkatkan risiko hasil buruk atau komplikasi dalam
penanganan keratitis bakteri. Faktanya, pasien bisa mendapat manfaat dari
penambahan kortikosteroid untuk terapi antibiotik. Studi lebih lanjut mengenai
waktu dan dosis yang tepat mungkin memperbaiki indikasi penggunaan
kortikosteroid karena masih ada risiko signifikan yang terkait dengan penggunaan
kortikosteroid pada pasien dengan bakteri atau bentuk lain dari keratitis infeksius
yang tidak diobati dengan tepat. 13
Berikut adalah kriteria yang direkomendasikan untuk penggunaan terapi
kortikosteroid untuk keratitis bakteri:
Kortikosteroid tidak boleh digunakan tanpa terapi antibiotik yang tepat.
Pasien harus dapat kembali untuk pemeriksaan tindak lanjut yang sering
dan menunjukkannya kepatuhan terhadap terapi antibiotik yang tepat.
Tidak ada organisme virulen atau sulit dieradikasi yang ditemukan atau
dicurigai.
18
Kortikosteroid tetes dimulai dari dosis menengah (prednisolon asetat
atau fosfat 1% setiap 6 jam dan pasien harus diawasi setiap 24 dan 48 jam setelah
terapi awal. Apabila pasien tidak menunjukkan adverse effect, jumlah
kortikosteroid dapat disesuaikan berdasarkan respon klinis.13
Penetrasi keratoplasti (PK) untuk pengobatan keratitis bakteri
ditunjukkan jika keratitis terus berlanjut meski terapi telah diberikan,
pembentukan descemetocele atau terjadi perforasi, atau keratitis tidak responsif
terhadap terapi antimikroba. Area yang terlibat harus diidentifikasi sebelum
operasi, dan area yang terinfeksi harus dibatasi. Peripheral iridektomi
diindikasikan karena pasien mungkin mengalami seclusio pupil dari membran
pupilaria inflamasi. Pasien harus diobati dengan antibiotik, cycloplegics, dan
kortikosteroid topikal yang potensial pasca operasi.
19
migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes
imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara
imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat
merusak.4
2.5.3 Manifestasi Klinis
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan
ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis
folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Keratitis herpetik
tipe kambuhan dapat dicetuskan oleh adanya demam, paparan berlebihan terhadap
sinar ultraviolet, trauma, stres psikis, onset menstruasi, atau sumber imunosupresi
lokal atau sistemik yang lain. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral,
walaupun pada 4-6% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-
pasien atopik. Infeksi primer herpes simpleks umumnya dapat sembuh sendiri,
tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal
dapat dipakai untuk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk
penyakit kornea. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya
antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks
umumnya terjadi pada kelompok laki-laki umur 40 tahun ke atas.5
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi
primer. Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron
sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior,
ganglion n.trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus.
Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai
tempat berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan
terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas,
stres emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan
anafilaksis, dan kondisi imunosupresi.4
Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun
pertama, dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan
melaporkan angka yang lebih besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks
kambuh dalam kurun waktu 4 bulan setelah infeksi primer. Penelitian di
20
Yogyakarta mendapatkan angka kekambuhan hanya 11,5% dalam kurun waktu 6
bulan pengamatan setelah penyembuhan. Perbedaan angka-angka tersebut
dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobatan.4
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 (herpes
labialias) namun beberapa kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan juga dapat
disebabkan HSV tipe 2 (herpes genital). Lesi kornea kedua jenis ini tidak dapat
dibedakan.5
a. Gejala Klinis
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian
pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea
umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin
tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes
lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala
infeksi herpes rekurens.4
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi
epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat paparan dan mata kering,
pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik
pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya foto-fobia.1
b. Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial,
profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial
dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritik
merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh
perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta
membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan
gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan linear khas dengan
tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein
memudahkan melihat dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga
menyerupai banyak infeksi kornea yang lain.4
21
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk
penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar dan ini
terjadi akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi
ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan
kaki cabang mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti
halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat
ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan
keratitis filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering
menjadi tipe dendritik dalam satu dua hari.
22
endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi
herpes pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh
sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda
terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi
minimal.4
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang
disertai vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-
kadang dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely
ring, diduga sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi
virus herpes simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat,
apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan
ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit
herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda – tanda khas
herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan
oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit
virus aktif. Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau
fungi sekunder.4
23
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, bersamaan
dengan itu meminimalisir efek merusak akibat respon inflamasi.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial,
karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi jumlah
antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun
epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat
menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau
homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit
tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek
korneanya sembuh umumnya adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti
virus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa
debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu
ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat.5,7,8
2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah
idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh
lebih efektif untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan
trifluridine sering kali menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada manfaatnya
untuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang
rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum).
Study multicenter terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis
herpes simpleks dan pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan.5,7,8
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas
pada epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal.
Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi
sangat merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan
kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai
kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali
ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.5,8
3. Bedah
24
Keratoplasti penetrasi mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya
dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi
herpes rekurens dapat timbul akibat dari trauma pembedahan dan kortikosteroid
topikal diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Hal ini juga
akan sulit dibedakan antara penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma
rekurens.5,8
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri
atau fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrasi darurat. Pelekat jaringan
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft
lamelar menunjukkan hasil yang baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar
memiliki keuntungan dibanding keratoplasti penetrasi dalam hal mengurangi
potensi penolakan graft kornea. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi
mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis
herpes simplek.5,8
4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga
kasus dalam 2 tahun serangan pertama. Mekanisme pencetus biasanya dapat
diketahui setelah mewawancarai pasien dengan teliti dan seksama. Begitu
ditemukan, pemicu dapat dihindari, dan aspirin dapat dipakai untuk mencegah
demam dan diminum pada awal menstruasi, pajanan berlebihan terhadap sinar
matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan – keadaan yang dapat
menimbulkan strea psikis juga dapat dikurangi. 5,8
2.5.5 Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada
kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan
meninggalkan gejala sisa.8
2.6 Keratitis Virus Varisela Zoster (VZV)
Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan
rekuren (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering
pada zoster. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian kelopak
mata. Jarang ditemukan adanya keratitis (khas lesi stroma perifer dengan
25
vaskularisasi), dan lebih jarang lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa
pseudodendrit. Pernah dilaporkan keratitis diskiformis, dengan uveitis yang
lamanya bervariasi.5
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster
ophthalmic relatif banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis dengan derajat
keparahan yang bervariasi sesuai dengan kondisi kekebalan tubuh pasien.
Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic dapat diperkirakan timbul jika terdapat
erupsi kulit di daerah yang dipersarafi cabang-cabang nervus nasosiliaris.5
26
gram 3 kali sehari selama 7-10 hari; famcyclovir 500mg tiap 8 jam selama 7-10
hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya ruam di kulit. Peranan
antivirus topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan
untuk mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan
kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan
untuk mengurangi insidensi dan hebatnya neuralgia pasca herpes. Namun
demikian keadaan ini dapat sembuh sendiri.4
27
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan
infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang
tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan
lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat
terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang
merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai
tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi
konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah. Untuk menegakkan
diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :7
Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama
Lesi satelit
Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti
hifa di bawah endotel utuh
Plak endotel
Hypopyon, kadang-kadang rekuren
Formasi cincin sekeliling ulkus
Lesi kornea yang indolen
28
Gambar 2.10 Keratitis Aspergilus
29
Untuk golongan I :Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal
(10mg/ml), Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.
Untuk golongan II :Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%,
Natamycin 5% (obat terpilih), econazole 1% (obat terpilih).
Untuk golongan III :Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%,
Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 % .
Untuk golongan IV :Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.
Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal.
Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk
mengurangi uveitis anterior. Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya
terapi; kriteria penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau
rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan
berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus.
Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek
epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil,
bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi
keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.7
2.8 Keratitis Alergi1,2,5
2.8.1 Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, biasanya
penderita sering menunjukkan gejala alergi terhadap tepung sari rumput-
rumputan.
2.8.2 Manifestasi Klinis
1. Bentuk palpebra: cobble stone (pertumbuhan papil yang besar), diliputi
sekret mukoid.
2. Bentuk limbus: tantras dot (penonjolan berwarna abu-abu, seperti lilin)
3. Gatal
4. Fotofobia
5. Sensasi benda asing
6. Mata berair dan blefarospasme
2.8.3 Terapi
1. Biasanya sembuh sendiri tanpa diobati
30
2. Steroid topikal dan sistemik
3. Kompres dingin
4. Obat vasokonstriktor
5. Cromolyn sodium topikal
6. Koagulasi cryo CO2.
7. Pembedahan kecil (eksisi).
8. Antihistamin umumnya tidak efektif
9. Kontraindikasi untuk pemasangan lensa kontak
Gambar 2.12
31
(A) Pelepasan kornea dan vaskularisasi pada pasien dengan keratitis
Acanthamoeba,
(B) Kerusakan kornea yang diamati pada AK ditunjukkan setelah aplikasi sodium
fluorescein.
2.9.4 Diagnosis
Diagnosis AK sulit untuk ditegakkan, Masa perawatan panjang dan tidak
sepenuhnya efektif terhadap semua strain. Selain itu, patogenesis keratitis
Acanthamoeba masih dalam proses penelitian, dan identifikasi faktor kunci yang
terlibat dalam proses ini berguna untuk pengembangan terapi yang sepenuhnya
efektif. Kesulitan saat ini dalam pengobatan yang efektif adalah karena kista
Acanthamoeba. Bersama dengan kesalahan diagnosis AK yang umum dalam
kebanyakan kasus dan kurangnya konsensus untuk diagnosis AK, AK tetap
signifikan. Meski begitu, AK masih dianggap sebagai penyakit langka dan
termasuk dalam database Orphanet dan dengan perkiraan prevalensi 1-9 /
100.000.15
Langkah terpenting dalam diagnosis AK adalah menemukan etiologi.
Umumnya, AK harus dipertimbangkan pada semua pemakai lensa kontak dan
dalam hal apapun trauma kornea disertai paparan tanah atau air yang
terkontaminasi. Gejala umum adalah nyeri hebat, fotofobia dan mata berair.
Semakin cepat penyakit ini didiagnosis, semakin baik hasilnya.15
Jika diagnosis tertunda, amoebae akan menembus jauh ke dalam stroma
kornea dan terapi akan sulit berhasil. AK biasanya terjadi unilateral dan
berlangsung perlahan, dari epitel sampai penyakit stroma. Pada awal infeksi,
keratopati superfisial difus ditemukan, kemudian infiltrat multifokal hampir selalu
diamati pada stroma. Acanthamoeba sclerokeratitis adalah komplikasi yang jarang
terjadi pada AK dan diduga berasal dari mediasi kekebalan Imun. Tu et al
menetapkan lima tingkat keparahan AK berdasarkan temuan biomicroscopy :
epitelitis, epitelitis dengan neuritis radial, anterior stromal disease, deep stromal
keratitis, atau ring infiltrate. Karakteristik ring infiltrate, hanya terlihat pada
32
sekitar 50% pasien. Pada tahap awal, AK dapat ditemukan seperti keratitis Herpes
simpleks, sedangkan pada tahap lanjut, infeksi menyerupai gambaran klinis
keratitis jamur atau ulkus kornea Karakteristik penting untuk diagnosis banding
Acanthamoeba keratitis (AK) dibandingkan dengan keratitis karena agen infeksius
lainnya. 15
Pemakai lensa kontak biasanya mencari bantuan medis terlambat, karena
mereka jarang mengalami iritasi mata. Diagnosis tentatif AK seringkali dapat
dilakukan dengan mikroskop confocal in vivo (IVCM). Deteksi bisa dilakukan di
laboratorium dengan menggunakan agar non nutrient pelat salin yang diawetkan
dengan bakteri gram negatif seperti Escherichia coli. PCR digunakan untuk meng
konfirmasi diagnosis terutama bila pasien menggunakan lensa kontak. Metode mo
lekuler juga digunakan untuk mendeteksi dan identifikasi Acanthamoeba, metode
ini juga cocok untuk tujuan klinis dan epidemiologi Teknik hibridisasi in situ juga
telah telah berhasil digunakan untuk mendeteksi AK.15
2.9. 5 Pengobatan
Acanthamoeba sulit diobati, tapi manajemen yang efektif bisa menyelamat
kan satu mata. Agen anti infeksi topikal yang digunakan pada tahap awal, Interven
si bedah diperlukan pada tahap selanjutnya. Propamidin 0,1% dan neomisin 1% m
enunjukkan aktivitas yang baik terhadap AK Sejak saat itu, dua atau lebih agen an
ti-amoebik topikal digunakan di seriap hari Polyhexamethylene Biguanide (PHM
B, 0,02%) dan terapi dengan Miconazole topikal, Metronidazol, Prednisolon dan n
eomisin serta ketokonazol oral. 16
Dalam kasus lain orang tanpa lensa kontak memiliki sensasi terbakar Peng
gunaan tambahan Propamidin pada terapi di atas menunjukkan perbaikan pada ulk
us kornea. Dalam kasus lain dimana topikal Tobramycin dan Cefazolin ditambahk
an dalam terapi. Kombinasi Dibromopropamidin dan Propamidin salep dan tetes i
setionat dan tetes neomisin digunakan berhasil di usia 44 tahun pasien mengalami
infeksi kornea dari spesies Acanthamoeba. Keratitis Acanthamoeba bilateral berha
sil diobati Chlorhexidine, Polyhexamethylene biguanide, Propamidine ise-thionate
dalam kombinasi dengan Atropine dan Dibromopropamidine sebuah perbaikan dic
atat pada titik Atropine dan Dibromopropamidine dihentikan sementara Fluoromet
holone acetate, Asiklovir dan Ciprofloxacin diresepkan dan pasien dipulangkan. B
33
eberapa studi menyatakan bahwa penambahan neomycinpolymyxin B juga memb
erikan hasil yang baik. 16
2.9.6 Pencegahan
Sebagian besar pemakai lensa kontak perlu berhati-hati saat membersihkan
lensa jangan pernah menggunakan air keran dan air murni/ bersih. Jika ditemukan
tanda inflamasi segera temui dokter dan sebaiknya tidak mencuci lensa dengan air
yang bukan semestinya.16
34
BAB III
KESIMPULAN
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2015.
2. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San
Fransisco; American Academy of Ophthalmology; 2014-2015.
3. Paul dan John. Kornea. Dalam Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta : EGC. 2009ß
4. Paul dan John. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam Vaughhan dan Ashabury
Oftalmology Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC . 2009.
5. Lang GK. Cornea. Dalam Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas.
2nd edition. Stuttgart: thieme. 2007.
6. Biswell R. Cornea. In: Vaughan D, Asbury T, Riordon-Eva P. General
Ophthalmology. 15th edition. Connecticut ; Appleton & Lange; 1999. p. 119-41
7. Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston D. Manual
of Ocular Diagnosis and Therapy. 5th edition. Philadelphia; Lippincott Williams &
Wilkins; 2002. p. 67-129
8. Schlote dkk. Pocket Atlas of Ophtalmology. Stuttgart ; thieme ; 2006. P. 96-101
9. Schein OD, Glynn RJ, Poggio EC, Seddon JM, Kenyon KR. The relative risk of
ulcerative keratitis among users of daily-wear and extended-wear soft contact
lenses. A case-control study. Microbial Keratitis Study Group. N Eng!] Med.
1989;321(12):773-778.
10. Austin A, Lietman T, Rose-Nussbaumer J. Update on The Management of
Infectious Keratitis. American Academy of Ophtalmology. 2017: 124 (11): 1678-
1686.
11. Crick and Khaw. Textbook of Clinical Ophtalmology 3rd edition. Singapore:
World Scientific Publishing. 2003;165
12. Cortina MS, Tu EY. Antibiotic use in corneal and external eye infections. Focal
Points: Clinical Modules for Ophthalmologists. San Francisco: American
Academy of Ophthalmology; 2011, module6.
13. Srinivasan M, Mascarenhas J, Rajaraman R; Steroids for Corneal Ulcers Trial
Group. Corti- costeroids for bacterial keratitis: the Steroids for Corneal Ulcers
Trial (SCUT). Arch Ophthalmol. 2012;130(2):143- 150. Epub 2011 Oct 10. Pooyan
66961526-7
36
14. Morales. A et all. 2015 An update on Acanthamoeba keratitis; diagnosis,
pathogenesis and treatment. Diakses 18 Desember 2017
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4330640/
15. Bairagi S.H at all 2017. Acanthamoeba Keratitis diagnosis and treatment . Journal
or rara disorders diagnosis and therapy .Departmenr of pharmaceutical
chemistry , Munbai India.imedpub journal.Vol 3 No 2:8.
16. Dudley R, Alsam S, Khan NA. 2007. A potential target in the improved treatment
of Acanthamoeba keratitis. Applied Microbiology and Biotechnology, 75(1),
133–140.[PubMed]
37