Anda di halaman 1dari 7

NAMA : Muhammad Fahreza Putra Djumadi

NIS : 170101049
KELAS : XIII-B Analis Kimia
TANGGAL : 26 Agustus 2020
JUDUL : PENETAPAN KADAR FORMALIN PADA PRODUK PANGAN DI SEKITAR UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
TUJUAN : Mengetahui adanya kandungan formalin pada beberapa bahan pangan yang ada di
sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengggunakan metode titrasi Iodometri

A. DASAR TEORI
Formalin merupakan bahan kimia yang disalahgunakan pada pengawetan tahu, mie basah,
dan bakso (Djoko, 2006). Formaldehid (HCOH) merupakan suatu bahan kimia dengan berat
molekul 30,03 yang pada suhu dan tekanan atmosfer berbentuk gas tidak berwarna, berbau
pedas (menusuk) dan sangat reaktif (mudah terbakar). Bahan ini larut dalam air dan sangat
mudah larut dalam etanol dan eter (Moffat, 1986).

Formalin pada konsentrasi rendah (4%) dapat mengeraskan jaringan, sedangkan pada
konsentrasi tinggi (40%), selain akan mengeraskan jaringan, juga dapat mengendapkan protein
(Suntoro, 1983). Pengerasan jaringan pada bahan makanan menyebabkan sulit dicerna dan
diserap (Apriyantono, 2002; Hove dan Lohrey, 1976). Bahan makanan yang sulit dicerna, akan
mengganggu penyediaan kebutuhan protein dan asam amino tubuh. Kegagalan absorpsi
(malabsorpsi) zat gizi menjadi salah satu penyebab kekurangan gizi sekunder (Chandrasoma dan
Taylor, 2006). Selain itu, protein bahan makanan yang tidak dapat dicerna akan menjadi bahan
asing (antigen) bagi tubuh, sehingga menimbulkan respon imun (Brody, 1994).

Formalin sudah sangat umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila digunakan
secara benar, formalin akan banyak kita rasakan manfaatnya, misalnya sebagai antibakteri atau
pembunuh kuman dalam berbagai jenis keperluan industri, yakni pembersih lantai, kapal, gudang
dan pakaian, pembasmi lalat maupun berbagai serangga lainnya. Dalam dunia fotografi biasanya
digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan kertas. Formalin juga sering digunakan sebagai
bahan pembuatan pupuk urea, bahan pembuat parfum, pengawet bahan kosmetika, pengeras
kuku. Formalin boleh juga dipakai sebagai bahan pencegah

B. ALAT DAN BAHAN


Alat :
1. Neraca analitik
2. Mortal
3. Labu ukur
4. Spatula
5. Buret
6. Kertas saring
7. Gelas ukur
8. Pipet ukur
9. Erlenmeyer
10. Gelas beaker

Bahan :
1. Cimol
2. Batagor
3. Bakso
4. Kentang
5. Tahu
6. Larutan formaldehid
7. Larutan NaOH 1 N
8. Larutan iodin 0,1 N
9. Aquadest
10. Larutan asam sulfat 30%
11. Larutan Na 2S2O3 0,1 N
12. Indikator kanji.

C. PROSEDUR KERJA
1. Menimbang sebanyak 1 gram sampel yang telah dihaluskan
2. Kemudian menambahkan aquades hingga volume 100 ml
3. Setelah itu mengambil 10 ml larutan sampel
4. Menambahkan 5 ml larutan I2 0,1 N, 20 ml larutan KOH 1 N dan 5 ml larutan H2SO4
30%
5. Kemudian larutan disimpan di tempat yang gelap selama 15 menit
6. Lalu titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N dengan indikator kanji
7. Dilakukan perlakuan yang sama pada blanko dengan menggantikan sampel dengan
aquades

D. DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN


Tabel 1. Volume Na2S2O3 Pada Titrasi Blanko

Volume Blanko yang digunakan Volume Na2S2O3


No
(mL) (mL)

1 40 0,2

2 40 0,2

*Konsentrasi Na2S2O3 yang digunakan 0,1 N

Tabel 2. Kadar Formalin pada berbagai produk olahan sekitar UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

Volume Sampel Volume Na2S2O3


No Sampel Kadar Formalin
(mL) (mL)
1 Cilok 40 19,6 0,582
2 Batagor 40 20,1 0,597
3 Bakso 40 19,5 0,579
4 Kentang 40 19 0,564
5 Tahu 40 18,8 0,558
*Konsentrasi Na2S2O3 yang digunakan 0,1 N

E. DATA PERHITUGAN
KadarFormalin Sampel Cilok=(𝑉1−𝑉𝑜)𝑥𝑁𝑥𝑀𝑟𝐹𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙𝑑𝑒ℎ𝑖𝑑𝑎 𝑥 1
𝑔𝑟𝑎𝑚𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 100%

=(19,6−0,2)𝑚𝐿𝑥0,1𝑁𝑥30𝑔𝑟/𝑚𝐿 𝑥 1
1𝑔𝑟𝑎𝑚 100%

=19,4𝑚𝐿𝑥0,1𝑁𝑥30𝑔𝑟/𝑚𝐿 𝑥1
1𝑔𝑟𝑎𝑚 100%

Kadar Formalin Sampel Cilok = 0,582

F. PEMBAHASAN
Percobaan uji formalin yang dilakukan adalah secara kuantitatif, yaitu menentukan kadar formalin
dalam suatu sampel. Sampel yang digunakan pada percobaan ini adalah sampel cilok, batagor, bakso,
kentang dan tahu. Sampel yang mengandung formalin akan mengalami perubahan saat titrasi dengan
larutan natrium tiosulfat menjadi warna kuning yang hilang dengan penambahan imdikator kanji terlebih
dahulu.

Sampel yang mengandung formalin atau formaldehid akan bereaksi dengan larutan KIO yang
terbentuk dari KOH dengan larutan I2. Formaldehid pada sampel akan teroksidasi oleh KIO menjadi asam
karboksilat, yaitu asam format dan KI. Iodin dalam KI ini bereaksi dengan sisa KIO yang tidak
mengoksidasi formaldehid dan H2SO4 akan menghasilkan I2 bebas. I2 bebas inilah yang kemudian akan
dititrasi dengan larutan Na2S2O3 disertai penambahan indikator kanji sebelum titrasi untuk melihat
perubahan warna saat terjadi ekuivalen (Underwood,1989). Titik ekuivalen ditandai dengan perubahan
warna kuning yang berubah menjadi putih bening. Berikut adalah persamaan reaksinya:

2 KOH + I2 → KIO + KI + H2O

KIO + HCHO → HCOOH + KI

KIO + KI + 2 H2SO4 → K2SO4 + H2O + I2 I2 +

Na2S2O3 → 2 NaI + Na2S2O6

Sampel cilok pada kelompok pertama memiliki kadar formalin sebesar 0,582. Kadar formalin
sebesar 0,582 belum tentu tepat karena metode yang digunakan adalah metode konvensional. Metode
konvensional memiliki kekurangan yang cukup banyak, seperti adanya kekurangan dalam preparasi,
titrasi dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam percobaan ini kadar formalin yang didapatkan, dapat
disimpulkan bahwa sampel cilok tersebut mengandung formalin, meskipun memiliki kadar yang sangat
sedikit, yaitu 0,582. Kadar formalin sebesar 0,582 tetap tidak boleh digunakan pada makanan, karena
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Men.Kes/Per/IX/88, formalin dilarang untuk
digunakan dalam makanan dan minuman. Penggunaan formalin pada makanan dan minuman, 84 tahun
sebelum terbitnya peraturan di Indonesia, telah dilarang di Amerika Serikat (Budi Widianarko et
al,2000).

Sampel batagor pada kelompok 2 memiliki kadar formalin sebesar 0,597, sampel bakso pada
kelompok 3 memiliki kadar formalin sebesar 0,579. Sampel batagor yang memiliki kadar formalin
sebesar 0,597 ini, menggunakan kerupuk batagor yang sedikit mengandung campuran tepung dan ikan
pada batagor. Tidak diketahui secara pasti, apakah kadar formalin ini dimiliki oleh bagian kerupuk
ataukah
bagian campuran tepung dan ikan pada batagor. Namun secara pasti sampel ini mengandung formalin
karena dapat ditentukan kadarnya sebesar 0,597. Sampel bakso pada kelompok 3 juga sudah dapat
dinyatakan bahwa sampel ini mengandung formalin, meskipun kadar formalinnya hanya sedikit. Bakso,
sudah pasti mengandung formalin karena bakso yang banyak dijual di Indonesia dapat awet dalam
jangka beberapa hari. Selain bakso mengandung formalin, juga mengandung boraks untuk mendapatkan
tekstur yang kenyal.

Sampel kelompok 4 yang menggunakan sampel kentang juga memiliki kadar formalin, yaitu
sebesar 0,564. Sampel kentang ini juga dapat dicurigai mengandung formalin karena saat penentuan
kadar formalin menunjukkan angka yang berada di atas 0. Kentang dicurigai mengandung formalin
karena pada pencucian kentang setelah dikupas, digunakan air pencuci yang mengandung formalin,
sehingga kentang dapat awet sebelum digoreng selama beberapa hari. Begitu pula pada sampel tahu
yang digunakan oleh kelompok 5. Tahu dicurigai mengandung formalin karena menunjukkan kadar
sebesar 0,558. Tahu dapat awet dalam jangka beberapa hari, dimungkinkan karena penggunaan
formalin ini.

Formalin dapat dijadikan pengawet dalam makanan karena formalin merupakan senyawa reaktif
yang dapat berikatan dengan senyawa di dalam bahan makanan, seperti protein, lemak dan karbohidrat
(Suntoro, 1983). Ikatan antara formaldehid dan protein, di antaranya membentuk ikatan metilol dan
suatu ikatan silang (crosslinks) yang sulit dipecah (Marquie, 2001; Haberle et al., 2004; Kiernan,
2006).Formalin itu sendiri merupakan larutan formaldehid dalam air, sehingga penggunaan
formaldehid dalam makanan dan minuman ini mudah dilakukan. Hal inilah yang mendorong
kemungkinan keberadaan formalin dalam berbagai sampel yang diuji.
G. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa sampel cilok memiliki
kadar formalin sebesar 0,582, sampel batagor memiliki kadar formalin sebesar 0,597, sampel bakso
memiliki kadar formalin sebesar 0,579, sampel kentang memiliki kadar formalin sebesar 0,564 dan
sampel tahu memiliki kadar formalin sebesar 0,558.

H. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Kodeks Makanan Indonesia. Hal. 6-9. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Republik Indonesia.

Apriyantono, A. 16-22 Desember 2002. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi dan Keamanan
Pangan.

Makalah disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-2, (online), Dunia Maya.
Arifin, Z, Murdiati, T. B dan Firmansyah, R. 2005. Deteksi Formalin dalam Ayam Broiler di Pasaran.

Bogor: Balai Penelitian Veteriner.


Arisworo, Djoko. 2006. Ipa terpadu. Jakarta: Grafindo Media Pratama.
Chandrasoma, P. dan Taylor, C.R. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Ed. 2. Penerjemah: Roem
Soedoko, Lydia I. Mander dan Vivi Sadikin. Jakarta: EGC.
Haberle, D. G., Hill, W., Kazachkov, Mychaylo., Richardson, J. S., and Peter, H. Y. 2004. Protein Cross-
Linkage Induced Formaldehyde Derived from Semicarbazide-Sensitive Amine Oxidase-Mediated
Deamination of Methylamine. Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutic Fast
Forward. 310: 1125-1132.

Hove, E.L and Lohrey, E. 1976. The effect of Formaldehyde on the Nutritive Value of Casein and
Lactalbumin in the diet of Rat. J. Nutr. 106: 382-387.

Gandjar, I.G., dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kiernan, John A. 2000. Formaldehyde, Formalin, Paraformaldehyde, and Glutaraldehyde: What They
Are and What They Do. Microscopy Today 00-1: 8-12.

Marquie, C. 2001. Chemical Reactions in Cottonseed Protein Cross-Linking by Formaldehyde,


Glutaraldehyde, and Glyoxal for the Formation of Protein Films with Enhanced Mechanical
Properties. J. Agric. Food Chem. 49(10): 4676-4681.

Moffat, A. C. 1986. Clarke’s Isolation and Identification of Drugs. Edisi2. Hal. 420-421, 457-458, 849,
932-9 33. London: The Pharmaceutical Press.

Prijono, E. 2007. Masalah Pemakaian Formalin pada Pangan Ditinjau dari Aspek Hukum Keamanan
Pangan. Bandung: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran Bandung.

Sudjarwo, Poedjiarti S, Pramitasari A.R. 2013. Validasi Spektrofotometri Visible Untuk Penentuan
Kadar Formalin Dalam Daging Ayam. Airlangga University: Pharmaceutical Chemistry
Departement, Faculty of Pharmacy and Undergraduate Student, Faculty of Pharmacy.

Suntoro, S. H. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Underwood, A.L dan JR Day RA. 1989. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Yuliarti, N. 2007. Awas! Bahaya di Balik Lezatnya Makanan. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai