VISUM ET REPERTUM
(LUKA)
PRO JUSTITIA
No Reg/RM: 00-000000
HASIL PEMERIKSAAN
No Reg/RM: 00-163751 1
5. Dada : Simetris. Tidak ditemukan kelainan dan tanda - tanda kekerasan. ------------------------
6. Perut : Tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.--------------------------------------
7. Pundak : Tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.-----------------------------------
8. Punggung : Tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.-------------------------------
9. Pinggang : Tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.---------------------------------
10. Panggul : Tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.----------------------------------
11. Pantat : Tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.-------------------------------------
12. Anggota gerak atas : --------------------------------------------------------------------------------------
Kanan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan.-------------------------------------------------
Kiri :Ditemukan luka lecet pada siku kiri berukuran delapan kali empat sentimeter.--------
13. Anggota gerak bawah: -----------------------------------------------------------------------------------
Kanan : Ditemukan luka lecet pada lutut kanan berukuran tujuh kali sembilan sentimeter.
Kiri : Ditemukan luka lecet pada lutut kiri berukuran tujuh kali sembilan sentimeter.------
14. Alat kelamin: tidak dievaluasi--------------------------------------------------------------------------
15. Dubur: : Tidak dievaluasi. -------------------------------------------------------------------------------
Tindakan/Terapi : --------------------------------------------------------------------------------------------
Dilakukan pemeriksaaan terhadap korban.------------------------------------------------------------
Korban diperbolehkan pulang.---------------------------------------------------------------------------
KESIMPULAN
Demikian Visum et Repertum ini dibuat menurut pengetahuan sebaik-baiknya pada waktu
itu dan dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan. -------------------------------------
Dokter Pemeriksa,
TINJAUAN PUSTAKA
No Reg/RM: 00-163751 2
Kasus kekerasan dalam rumah tangga selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi kasus yang tak pernah habis dibahas karena meskipun
berbagai instrumen hukum, mulai dari Internasional sampai pada tingkat nasional belum mampu
menekan angka kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi.1
Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau biasa juga disebut sebagai kekerasan domestik
(domestic violence) merupakan suatu masalah yang sangat khas karena kekerasan dalam rumah
tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat berstatus sosial rendah
sampai masyarakat berstatus sosial tinggi.1,2 Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan,
apakah istri atau anak perempuan dan pelakunya biasanya ialah suami (walaupun ada juga
korban justru sebaliknya). Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga (UU No. 23 Tahun 2004).2
Di sebagian besar masyarakat Indonesia, KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga
belum diterima sebagai suatu bentuk kejahatan, yang artinya penanganan segala bentuk
kekerasan dalam rumah tangga hanya menjadi urusan domestik setiap keluarga saja, dan Negara
dalam hal ini tidak berhak campur tangan ke lingkup interen warga negaranya. Namun, dengan
berjalannya waktu dan terbukanya pikiran kaum wanita Indonesia atas emansipasi, akhirnya
sudah mulai muncul titik terangnya yaitu disusunnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.2,3
Definisi
Berdasarkan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Tahun 2004, yang
dimaksud dengan KDRT adalah “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah
tangga meliputi: suami, istri, dan anak” (UU RI KDRT, 2004, hal 33-34).4
Menurut teori politik hukum, hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 merupakan
salah satu bentuk kebijakan (policy) pemerintah sebagai legislasi nasional dalam rangka
menghapus kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini terjadi dan juga sebagai payung
hukum bagi saksi sekaligus korban kekerasan dalam rumah tangga untuk melindungi dirinya di
dalam proses peradilan pidana dalam persidangan.5
Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Peraturan Pemerintah No. 4
Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT, Peraturan
Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Terhadap Perempuan, Undang-Undang
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya
No Reg/RM: 00-163751 3
yang memberikan tugas dan fungsi kepada lembaga-lembaga yang terkoordinasi memberikan
perlindungan hukum terhadap kasus KDRT dan termasuk lembaga-lembaga sosial yang bergerak
dalam perlindungan terhadap perempuan.4,6
Usaha kebijakan hukum pidana dalam mengatur masalah kekerasan dalam rumah tangga
merupakan salah satu bagian tugas pemerintah dan DPR untuk memberikan sebuah payung
hukum yang sangat memadai bagi saksi sekaligus korban kekerasan dalam rumah tangga, karena
politik hukum yang hendak dicapai oleh pemerintah dalam mengundangkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 sebagaimana termuat di dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.5
Yang di maksud dalam rumah tangga ini ialah pada pasal 2 pada undang-undang no 23
tahun 2004 yaitu:
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
ada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian,
yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga
dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
RumahTangga yang selanjutnya disebut sebagai UU PKDRT diundangkan tanggal 22 September
2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 95. Fokus UU PKDRT ini
ialah kepada upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah
tangga. UU PKDRT Pasal 3 menyebutkan, Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
dilaksanakan berdasarkan :
a. Penghormatan hak asasi manusia
b. Keadilan dan kesetaraan gender
c. Nondiskriminasi
d. Perlindungan korban.
UU PKDRT Pasal 4 menyebutkan Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
No Reg/RM: 00-163751 4
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) mencatat
berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam KDRT dalam pasal 5 sampai pasal
9.7
Pasal 5 berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. Kekerasan fisik, b. Kekerasan
psikis, c. Kekerasan seksual, d. Penelantaran rumah tangga”.
1. Kekerasan Fisik
Pasal 6 menyebutkan “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf
a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat”.
Bentuk-bentuk kekerasan fisik tersebut dijabarkan lebih luas oleh Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) APIK (2006) sebagai pukulan dengan anggota tubuh, pukulan
dengan tangan kosong, pukulan menggunakan benda atau alat, pelemparan benda,
pembenturan ke dinding, sundutan rokok, penyiraman dengan cairan (air keras, cucian,
minyak panas), cambukan, diinjak-injak, dibakar, diiris, dicubiti, dipelintir, dicekik dan
diseret.
2. Kekerasan Psikis
Pasal 7 berbunyi “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang”.
Karakteristik kekerasan psikis menurut analisis LBH APIK (2006) meliputi makian,
umpatan, hinaan, peludahan, suami menikah lagi tanpa sepengetahuan istri, suami
memiliki wanita idaman lain (WIL), meninggalkan istri tanpa ijin, sifat otoriter, berjudi
dan mabuk, ancaman dengan benda tajam atau senjata api, pengambilan paksa anak oleh
keluarga suami, teror oleh keluarga s uami, dan melakukan hubungan seksual dengan
orang lain di depan istri atau anak.
3. Kekerasan Seksual
Pasal 8 berbunyi “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c
meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut, b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu”.
Menurut LBH APIK (2006) disebut kekerasan seksual apabila didapati pemaksaan
sepihak dalam melakukan hubungan suami istri, melakukan hubungan suami istri dengan
kekerasan, memaksa melakukan hubungan suami istri dengan cara-cara yang tidak wajar,
menelanjangi istri dengan paksa, dan memaksa istri berhubungan dengan orang lain.
4. Penelantaran Rumah Tangga
Pasal 9 berbunyi, “(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam luar rumah sehingga korban berada dibawah
kendali orang tersebut”.
LBH APIK (2006) menambahkan karakteristik kekerasan ekonomi antara lain: tidak
diberi nafkah, diberi nafkah tetapi terbatas/kurang, tidak boleh bekerja, harta bersama
tidak dibagi, eksploitasi kerja, sampai istri tidak dipercaya memegang uang. Inti dari
penelantaran rumah tangga adalah dimana akses korban secara ekonomi dihalangi
dengan cara korban tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan, kekayaan korban
No Reg/RM: 00-163751 5
dimanfaatkan tanpa seijin korban, atau korban dieksploitasi untuk mendapatkan
keuntungan materi.
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya KDRT yaitu:8
1. Masyarakat
Mengenai norma-norma daerah dimana laki-laki dapat sepenuhnya
mengendalikan perempuan, norma yang memperbolehkan kekerasan sebagai bentuk
pendidikan, anggapan bahwa keperkasaan laki-laki ditunjukkan melalui agresi dan
dominasinya, kemudian peran gender yang kaku.
Seringkali perempuan diposisikan lebih rendah secara sosial, ekonomi, status
hukum sehingga menyebabkan ketidakadilan gender. Norma budaya di negara
berkembang cenderung memposisikan perempuan setelah laki-laki dan adanya
persepsi bahwa perempuan adalah milik laki-laki sehingga tindakan kekerasan dalam
rumah tangga dapat disebut wajar.
2. Lingkungan
Meliputi: kemiskinan, status sosial ekonomi yang rendah, pengangguran,
kelompok sebaya yang berperilaku menyimpang, pengisolasian perempuan dan
keluarga dari lingkungannya.
Kurangnya kepedulian lingkungan terhadap KDRT juga dapat menjadi faktor
risiko karena beberapa lingkungan menganggap bahwa KDRT adalah masalah
keluarga yang tidak perlu disebar-luaskan. Kemiskinan juga dapat menyebabkan
tekanan mental yang dapat memicu masalah dalam rumah tangga.
3. Hubungan
Meliputi: konflik perkawinan, kendali laki-laki terhadap harta dan pengambilan
keputusan dalam keluarga.
Penelitian mencatat bahwa perselisihan verbal secara signifikan diikuti oleh
kekerasan secara fisik pada istri yang seringkali disebabkan karena laki-laki lebih
dominan dalam keluarga, tekanan perekonomian dalam keluarga dan aspek yang lain
seperti adanya perselingkuhan dan ketidakstabilan hubungan.
4. Individu
Meliputi: kebanggaan sebagai laki-laki, trauma masa lalu, tidak adanya atau
penolakan figur ayah pada masa lalu, dan penggunaan alkohol.
WHO mencatat bahwa laki-laki yang melakukan KDRT menunjukkan
ketergantungan emosional, harga diri rendah dan ketidakmampuan mengendalikan
emosi. Mereka juga menunjukkan kebiasaan marah yang berlebihan dan lebih mudah
depresi termasuk memiliki gangguan kepribadian antisosial dan agresif. Laki-laki
pelaku KDRT memiliki karakteristik individu yaitu usia muda, mengonkonsumsi
alkohol/pecandu alkohol, mengalami depresi, memiliki gangguan kepribadian, serta
memiliki riwayat kekerasan dalam keluarga.
Faktor individu dapat disebabkan oleh kebanggaan sebagai laki-laki yang dianggap
memiliki kemampuan lebih dari perempuan, tidak adanya figur ayah atau penolakan
figur ayah, dan trauma kekerasan masa kecil.
Dampak KDRT
KDRT memiliki efek pada kesehatan fisik dan mental korban hingga menyebabkan
berkurangnya kesejahteraan perempuan dalam komunitas. Dampak negatif yang dapat terjadi
yaitu:8
a. Dampak pada Kesehatan Fisik
WHO mencatat kehidupan perempuan korban KDRT mengalami penurunan
kesehatan fisik maupun mental yang dapat berdampak serius hingga mengganggu
kehidupan sehari-hari maupun kematian. Korban-korban KDRT juga didapati sering
mengalami gangguan pencernaan seperti irritable bowel syndrome, dan gangguan nyeri.
No Reg/RM: 00-163751 6
b. Dampak pada Kesehatan Reproduksi Wanita
Diskriminasi terhadap perempuan dan pandangan masyarakat mengenai tugas
utama perempuan yaitu merawat dan memenuhi kebutuhan suami, anak, mertua dan
orang tua. Perempuan yang baik adalah perempuan yang tidak mendahulukan kebutuhan
diri sendiri. Sikap stereotipik tersebut dapat mengakibatkan penelantaran kebutuhan
wanita. Perempuan dapat mengalami kesulitan melindungi diri sendiri dari kehamilan
yang tidak diinginkan atau penyakit menular seksual. Kekerasan seksual dapat secara
langsung melalui penularan penyakit seksual, infeksi, HIV, dan kehamilan yang tidak
diinginkan. Penelitian menunjukkan bahwa stress akibat mempunyai banyak anak dapat
meningkatkan risiko terjadinya KDRT. Penelitian UNICEF di berbagai negara
menunjukkan tingginya tingkat kekerasan pada masa kehamilan yang mengakibatkan
risiko terhadap kesehatan ibu dan janin, pemaksaan seksual penyebab kehamilan yang
tidak diinginkan, dan bahaya akibat komplikasi aborsi.
No Reg/RM: 00-163751 7
B. Peraturan Presiden No.65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan
Perpres Komnas Perempuan ialah merupakan penyempurnaan Keputusan Presiden
No.181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Perpres
Komnas Perempuan Pasal 24 telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku Keppres no.181
Tahun 1998 tentang Komini Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Komnas Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip negara hukum yang menyadari
bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk
pelanggaran atas hak-hak asasi manusia sehingga dibutuhkan satu usaha untuk mencegah
dan menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Ketentuan Pidana
Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh UU RI No.23 Tahun 2004
tentang PKDRT sebagai berikut:10,11
No Reg/RM: 00-163751 8
UU No.23 Tahun 2004 Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau
denda paling banyak Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 351
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
No Reg/RM: 00-163751 9
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 352
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat
ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja
padanya, atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 353
(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengkibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun
Pasal 354
(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan
berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun.
Pasal 355
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 356
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga:
1. Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau
anaknya;
2. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan
tugasnya yang sah;
3. Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang herbahaya bagi nyawa atau
kesehatan untuk dimakan atau diminum.
Pasal 358
Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa
orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya,
diancam:
No Reg/RM: 00-163751 10
1. Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat penyerangan atau
perkelahian itu ada yang luka-luka berat
2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada yang mati.
Pasal 90 KUHP
Luka berat berarti:
Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut.
Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencahariaan.
Kehilangan salah satu panca indera
Mendapat cacat berat.
Menderita sakit lumpuh.
Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.
Dari pasal-pasal tersebut maka penganiayaan dibagi menjadi 4 jenis tindak pidana, yaitu:
(1) Penganiayaan ringan, (2) Penganiayaan berdasarkan pasal 351 KUHP, (3) Penganiayaan yang
mengakibatkan luka berat, dan (4) Penganiayaan yang mengakibatkan kematian
Penganiayaan ringan yaitu penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencahariaan. Penganiayaan ringan digolongkan
sebagai luka derajat satu. Bila akibat suatu penganiayaan seseorang mengalami penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencahariaan yang bersifat sementara, maka
disebut luka derajat dua. Bila penganiayaan yang dilakukan mengakibatkan luka berat, yaitu
yang secara permanen menjadi halangan untuk mengerjakan pekerjaan, jabatan atau pencaharian,
atau hilang ingatan minimal 4 bulan seperti dalam pasal 90, maka luka tersebut digolongkan
menjadi luka derajat tiga.
Oleh karena istilah "penganiayaan" merupakan istilah hukum, yaitu "dengan sengaja
melukai atau menimbulkan perasaan nyeri pada seseorang", maka didalam Visum et Repertum
yang dibuat dokter tidak boleh mencantumkan istilah penganiayaan, karena itu merupakan
urusan hakim. Demikian pula dengan menimbulkan perasaan nyeri sukar sekali untuk dapat
dipastikan secara objektif, maka kewajiban dokter di dalam membuat Visum et Repertum adalah
menentukan derajat luka.
Pencegahan KDRT
No Reg/RM: 00-163751 11
Pencegahan KDRT terdiri dari (1) Pencegahan primer, (2) Pencegahan sekunder, dan (3)
Pencegahan tersier.13
Tujuan dari pencegahan primer adalah memberikan intervensi sebelum masalah terjadi,
atau mencegah berkembangnya faktor risiko. Pencegahan primer KDRT adalah melalui tindakan
sebelum kekerasan terjadi, meliputi edukasi mengenai KDRT, serta dilakukannya pendidikan
kesehatan remaja, program untuk mengurangi stereotipik gender untuk pasangan KDRT.
Tujuan dari pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasi faktor risiko dan
mengambil tindakan untuk mengurangi faktor risiko. Tindakan yang dilakukan diantaranya
adalah program skrining di lembaga pelayanan kesehatan. Kunjungan rumah dapat dilakukan
untuk program skrining.
Pencegahan tersier dilakukan setelah masalah KDRT terjadi. Tindakan pencegahan
dirancang untuk meminimalkan dampak dan membantu proses pemulihan, kesejahteraan, dan
keamanan sesegera mungkin. Pencegahan tersier pada KDRT meliputi semua tindakan pelayanan
kepada korban dan pelaku secara langsung ketika kekerasan terjadi. Misalnya perawatan trauma
fisik yang dialami korban, perencanaan perlindungan, trauma psikologis, rumah aman, konseling,
kelompok suportif, pelayanan dan perlindungan untuk anak, dan koordinasi dengan pihak-pihak
terkait.
Pencegahan dan penanggulanagan kekerasan dalam rumah tangga memerlukan upaya yang
harus melibatkan berbagai lintas program dan sektoral, dengan keterlibatan Lembaga Sosial
Masyarakat (LSM) dan masyarakat sedini mungkin.
No Reg/RM: 00-163751 12
PEMBAHASAN
Pada kasus ini korban datang ke IGD RSUD Luwuk , dengan membawa surat pengantar
dari Resor Banggai Sektor Luwuk untuk dibuatkan Visum et Repertum. Dalam kasus ini,
pembuatan Visum et Repertum disertai dengan permintaan tertulis dari penyidik berupa surat
permohonan Visum serendah-rendahnya pembantu letnan dua sesuai dengan pasal 133 ayat 1
KUHAP. Dengan demikian sesuai pasal 184 ayat 1 KUHAP, Visum et Repertum yang dibuat
dapat dijadikan salah satu alat bukti yang sah di pengadilan.
Dengan adanya SPV yang dibuat oleh penyidik maka dokter berkewajiban memberikan
keterangan ahli sesuai dengan pasal 179 (1) KUHAP yaitu “Setiap orang yang diminta
pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan”. Hasil pemeriksaan ini tertuang dalam Visum et Repertum yang
dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.
Pasien datang ke IGD RSUD Luwuk dengan keluhan luka memar pada pipi sebelah kiri, luka
lecet pada anggota gerak atas bagian siku kiri, anggota gerak bawah lutut kanan dan kiri. Luka
memar tersebut akibat pecahnya pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke jaringan
sekitar dan manifestasinya berupa pembengkakan. Perdarahan yang terjadi menyebabkan darah
meresap ke jaringan sekitarnya yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul. Luka lecet terjadi
akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda yang memiliki permukaan kasar
atau runcing.
Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, kasus korban termasuk dalam penganiayaan ringan
karena pada umumnya yang dianggap sebagai hasil dari penganiayaan ringan adalah korban
dengan “tanpa luka” atau dengan luka lecet atau memar di lokasi tubuh yang tidak berbahaya
atau yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu.
Dalam kasus ini, apabila telah diputuskan, maka pelaku dapat dijerat dengan pasal 352 (1)
KUHP dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus
rupiah.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004 Bab III Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Pasal 5 menjelaskan “setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a. Kekerasan Fisik
b. Kekerasan Psikis
c. Kekerasan Seksual
d. Penelantaran Rumah Tangga
No Reg/RM: 00-163751 13
Pasal 6 menjelaskan “kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a, adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat”. Adapun ketentuan
pidananya adalah (Pasal 44)
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah)
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipidana dengan pidana paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp.
45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah)
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp.
5.000.000,00 (lima juta rupiah)
Dalam kasus ini, sesuai dengan UU No.23 tahun 2004, dapat dimasukkan dalam
kekerasan dalam rumah tangga yang berupa kekerasan fisik. Atas tindakan pelaku terhadap
korban yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
VeR yang resmi kemudian akan dibuat sesuai dengan data-data yang telah dicatatkan
sebelumnya di rekam medik pasien dan diberikan setelah ada surat permintaan resmi dari
penyidik. Hal ini dilakukan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional mengenai pembuatan
visum et repertum yang berlaku di RSUD Luwuk.
No Reg/RM: 00-163751 14
DAFTAR PUSTAKA
1. Ramadani M, Yuliani F. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai Salah Satu
Isu kesehatan Masyarakat Secara global. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. 2015
2. Sutrisminah E. Dampak Kekerasan Pada Istri Dalam Rumah Tangga Terhadap Kesehatan
Reproduksi. Kebidanan FIKUnissala. 2010.
3. Sonda M. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Gangguan Reproduksi
Wanita di RS Bhayangkara. Kebidanan Poltekes Makasar. 2010.
4. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
5. Polda Sumbar. Laporan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Provinsi Sumatera Barat.
Padang: Polda Sumatera Barat.
6. Soeroso MH. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis.
Surabaya: Sinar Grafika; 2011.
7. Utama W. Kekerasan Dalam Rumah Tangga;Laporan Kasus. Kedokteran Unila. 2013.
8. Silalahi K. Keluarga Indonesia Aspek dan Dinamika Zaman. Jakarta: Raja Grafindo
Persada; 2010.
9. IRIB Indonesia. Kekerasan Terhadap Perempuan di Dunia Modern. [Diakses tanggal 15
Mei 2015] diunduh dari: http://indonesian.irib.ir/ranah/sosialita/ item/72800
10. Tim Sinar Grafika. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta;2010.
11. Tim Bening. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta;2010.
12. Saraswati Rika, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Citra
Ditya Bakti, Bandung.2013
13. Varia Peradilan, Langkah Pencegahan Penanggulangan Kekerasan Terhadap Wanita.2011
No Reg/RM: 00-163751 15
Lampiran
No Reg/RM: 00-163751 16
No Reg/RM: 00-163751 17