Cat PDF
Cat PDF
Proceeding of
Reviewer:
Setyo Handryastuti
Dwi Putro Widodo
Irawan Mangunatmadja
Penyunting:
Amanda Soebadi
Diterbitkan oleh:
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
bekerjasama dengan UKK Neurologi IDAI
Tahun 2017
ISBN: 978-602-70285-8-6
Kata Sambutan
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia
Cabang DKI Jakarta
Rini Sekartini
Everything you should know about motor and movement problems in children
iii
iv Update in Child Neurology
Kata Sambutan
Ketua Panitia Pelaksanaa
Everything you should know about motor and movement problems in children
v
vi Update in Child Neurology
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas dapat tersusunnya
buku prosiding ini. Terima kasih kami ucapkan pula kepada para
penulis sekaligus pembicara atas kesediannya menyediakan waktu
yang sangat berharga untuk menyumbangkan makalahnya dalam buku
ini, terutama kepada pembicara tamu dari Malaysia yang berkenan
menyumbangkan materi keahliannya.
Susunan materi dalam buku ini disesuaikan dengan materi
simposium dan mencakup pelbagai aspek masalah motorik pada anak,
mulai dari keterlambatan motorik, movement disorder, palsi serebral,
gangguan koordinasi motorik, hingga masalah ortopedi. Para kontributor
buku prosiding ini merupakan ahli di bidangnya, sehingga buku ini
diharapkan dapat menyumbangkan manfaat bagi dokter spesialis
anak, dokter spesialis lain yang terkait, maupun dokter umum yang
berhadapan dengan anak yang mengalami masalah motorik.
Selamat membaca dan menikmati buku ini. Semoga buku ini dapat
menjadi bahan rujukan para pembacanya dalam praktik sehari-hari.
Penyunting
Everything you should know about motor and movement problems in children
vii
Susunan Panitia
Seksi Konsumsi
Dr. Ommy Ariansih, Sp.A
Dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A
Dr. Lenny S. Budi, Sp.A
Dr. Nurcahaya Sinaga, Sp.A
Everything you should know about motor and movement problems in children
ix
DR. Dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K)
IDAI Cabang DKI Jakarta
Divisi Neurologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta
Kata Pengantar................................................................................................vii
Daftar Penulis................................................................................................... ix
Daftar Isi............................................................................................................ xi
Everything you should know about motor and movement problems in children
xi
Can physiotherapy cure cerebral palsy ?................................................74
Luh Karunia Wahyuni
Tujuan
1. Mengetahui mekanisme gerak motorik yang normal
2. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi dan menyebabkan keterlambatan motorik
3. Mengenali red flags keterlambatan motorik dan kapan saatnya merujuk
Everything you should know about motor and movement problems in children
1
Setyo Handryastuti
Everything you should know about motor and movement problems in children
3
Setyo Handryastuti
Everything you should know about motor and movement problems in children
5
Setyo Handryastuti
Saraf tepi
Pada polineuropati kongenital atau herediter, yang terganggu adalah
hantaran saraf dari kornu anterior menuju otot. Secara klinis ditemukan
lesi lower motor neuron.7
Otot
Pada miopati kongenital/herediter, yang terganggu adalah respons
otot terhadap impuls saraf yang dihantarkan dari otak, medulla spinalis
dan saraf tepi. Secara klinis ditemukan lesi lower motor neuron dengan
refleks fisiologis yang menurun atau menghilang.7
Koordinasi motorik
Pada developmental coordination disorder (DCD) terdapat gangguan
dalam memproses informasi sensorik, termasuk informasi visual-
visuospasial, taktil, vestibular dan proprioseptif.8
Everything you should know about motor and movement problems in children
7
Setyo Handryastuti
Masalah ortopedi
Tidak ditemukan defisit neurologi, kemampuan motorik sebelum berdiri
dan berjalan tidak terganggu. Masalah timbul ketika anak mulai belajar
berdiri dan berjalan.9
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis terbagi menjadi 3 bagian yang saling berkaitan, yaitu
pemeriksaan fisis umum, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan
penunjang.
Everything you should know about motor and movement problems in children
9
Setyo Handryastuti
b. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis yang penting adalah pemeriksaan tonus otot,
kekuatan motorik, refleks fisiologis, refleks Babinski, refleks primitif,
refleks postural , klonus, dan cara berjalan (gait).
Tonus otot dapat dinilai pertama kali dari observasi saat bayi
berbaring, adakah frog leg position, yaitu posisi berbaring dengan
keempat ekstremitas menempel pada alas periksa tanpa adanya
gerakan fleksi-ekstensi tungkai melawan gravitasi. Bayi dengan tonus
otot normal akan terlihat aktif bergerak, tampak fleksi-ekstensi
ekstremitas secara aktif melawan gravitasi. Tonus otot anak berusia
kurang dari dua tahun dapat dinilai dengan melakukan pemeriksaan
respons tarikan, suspense vertikal, dan suspense horizontal.
Pemeriksaan respons tarikan dilakukan untuk menilai tonus otot
leher. Dari posisi berbaring, anak ditarik pada kedua tangannya
ke posisi duduk; diperhatikan apakah masih terdapat head lag.
Pada pemeriksaan suspensi vertikal, anak dipegang pada kedua
ketiak dan diangkat dalam posisi tegak; diperhatikan apakah bahu
tetap terangkat, kepala tegak, anak dapat mempertahankan posisi
kepala dan punggung dalam satu garis lurus, dan apakah tungkai
bawah terangkat dalam posisi fleksi. Anak disebut hipotonia jika
Everything you should know about motor and movement problems in children
11
Setyo Handryastuti
c. Pemeriksaan perkembangan
Pemeriksaan perkembangan bertujuan mengonfirmasi perkembangan
motorik dari anamnesis. Pemeriksaan evaluasi motorik dapat
dilakukan di meja periksa atau di lantai yang berkarpet. Pada usia
tiga bulan bayi seharusnya sudah bisa mengangkat kepala pada posisi
tengkurap. Pada usia empat bulan, bayi telah dapat tengkurap dan
menahan kepala pada posisi duduk. Bayi dapat mengangkat dada
tinggi ketika tengkurap pada usia lima sampai enak bulan. Pada usia
enam bulan, bayi dapat didudukkan dan mempertahankan posisi
duduk dengan menumpukan tangan ke depan, serta mulai merayap
dan berguling. Anak telah dapat duduk tanpa ditumpu pada usia
delapan sampai sembilan bulan, sedangkan anak dapat duduk sendiri
tanpa dibantu pada usia 10 bulan. Amati bagaimana anak bergerak,
apakah dengan merayap, merangkak, atau ngesot (bottom shuffling).
Merayap pada bayi yang sudah besar merupakan tanda hipotonia
otot batang tubuh, sedangkan ngesot merupakan tanda hipotonia
otot panggul. Pola duduk di lantai dengan lutut dan betis menekuk
ke arah luar seperti huruf W perlu diwaspadai karena menyebabkan
anak sulit untuk berdiri. Perhatikan cara anak menarik badan ke
posisi berdiri dari posisi duduk, apakah masih memerlukan bantuan
atau sudah dapat berdiri tanpa berpegangan. Saat anak berjalan atau
berlari, perhatikan cara berjalan, kemampuan mengatur kecepatan,
apakah anak mudah jatuh, tersandung atau terbelit. Perhatikan
juga apakah anak dapat melompat, naik-turun tangga, dan berjalan
mundur dengan baik.13,14
Penilaian motorik halus dilakukan sesuai usia, dilihat dengan
mengobservasi kemampuan bayi atau anak dalam memanipulasi
benda. Hal yang diobservasi mulai dari kemamapuan meraih,
memegang dengan telapak tangan (palmar grasp), menjimpit (pincer
grasp), melempar, dan membenturkan benda, sampai kemampuan
motorik halus yang lebih kompleks misalnya mencoret, menggambar,
mewarnai, menulis, maupun aktivitas sehari-hari.13,14
d. Pemeriksaan penunjang
Jika jelas terdapat keterlambatan motorik, maka ditentukan apakah
hal tersebut disebabkan lesi upper motor neuron, lower motor neuron,
atau tidak terdapat defisit neurologi. Berikut ini beberapa hal yang
dapat dijadikan panduan:
–– Jika pada pemeriksaan fisis ditemukan kelainan postur, kelainan
tonus (hipertonia atau hipotonia), peningkatan refleks fisiologis,
refleks primitif yang menetap, refleks postural tidak muncul,
terdapat refleks patologis Babinski, maka diagnosis pasien
Simpulan
Untuk dapat mengenali keterlambatan motorik kita tidak hanya perlu
memahami tahapan perkembangan motorik yang normal, tetapi juga
memahami mekanisme gerak motorik normal, perkembangan motorik,
serta bagian-bagian yang berperan mulai dari korteks motor di otak,
medulla, spinalis sampai otot dan persendian. Dengan memahami
Everything you should know about motor and movement problems in children
13
Setyo Handryastuti
Daftar pustaka
1. Fitzgerald M. The anatomy of movement. Diunduh dari: http://
brainconnection.brainhq.com/2013/03/05/the-anatomy-of-movement.
Diakses tanggal 5 Mei 2017.
2. Fitzgerald MJT. Curran JF. Clinical neuroanatomy and related neuroscience.
Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders; 2002. h.123-32.
Everything you should know about motor and movement problems in children
15
Global developmental delay:
Kadang mudah didiagnosis,
kadang sangat sulit
Hardiono D. Pusponegoro
Tujuan:
1. Mengetahui perbedaan delay dan disorder dalam perkembangan anak
2. Mengetahui syarat diagnosis global developmental delay
3. Mengetahui kemungkinan etiologi dan langkah-langkah pencarian etiologi pada global
developmental delay
Etiologi
Etiologi GDD dapat dibagi menurut klasifikasi Finnish.4,5 Sebagai
tambahan digunakan beberapa klasifikasi yang lebih mutakhir.3,6
Melihat klasifikasi tersebut, sebagian merupakan gangguan yang
jelas penyebabnya dan diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisis, ditambah magnetic resonance imaging (MRI) dan
pemeriksaan kromosom biasa. Diagnosis yang mudah ditegakkan
misalnya palsi serebral, epilepsi, spasme infantil, kejang neonatus,
autisme, mikro-/makrosefali.6 Apabila diagnosis sudah dapat ditegakkan,
anak tidak lagi disebut sebagai GDD.
Syarat untuk diagnosis GDD adalah adanya keterlambatan
perkembangan. Keterlambatan perkembangan dialami oleh 17% anak.7
Untuk mengetahui adanya keterlambatan perkembangan, harus dilakukan
skrining perkembangan secara rutin menggunakan instrumen skrining
perkembangan yang baik. Tanpa instrumen skrining, terjadi kegagalan
mengenali keterlambatan perkembangan pada 30% kasus.7 American
Academy of Pediatrics menganjurkan agar skrining perkembangan
dengan instrumen tertentu dilakukan pada umur sembilan bulan, 18
bulan, dan 24 atau 30 bulan, atau apabila ada keluhan dari orangtua.8
Berbagai instrumen skrining dapat digunakan. Ada yang berbentuk
kuesioner, misalnya Ages and Stages Questionnaire dan Kuesioner
Praskrining Perkembangan (KPSP). Ada pula instrumen skrining
yang dilakukan oleh dokter, misalnya Denver II atau Bayley Infant
Neurodevelopmental Screener. Yang terpenting bukan instrumen mana
yang terbaik; jauh lebih baik untuk mengenal satu instrumen dan
melakukannya secara rutin. Setelah anak dinyatakan mengalami GDD,
usahakan untuk menegakkan diagnosis terlebih dahulu sebelum merujuk
ke dokter spesialis rehabilitasi medis atau pusat terapi.
Kasus 1
Seorang anak mengalami keterlambatan berjalan dan berbicara yang
tidak spesifik. Tidak ditemukan kelainan neurologis. Anak tidak melalui
fase merangkak, dapat berjalan pada usia 18 bulan dan berbicara
satu-dua kata pada usia 20 bulan. Setelah berumur tiga tahun, semua
tahapan perkembangan dan pemeriksaan neurologis normal. Anak ini
mengalami GDD tanpa dapat ditegakkan diagnosis spesifik, dan dapat
mengatasi gangguan tersebut.
Setelah berumur empat tahun, sebanyak 30% anak mengalami
catch-up, sebagian hanya mengalami masalah ringan, sebagian telah
di diganosis sebagai suatu disorder atau gangguan neurologi lain, dan
sebanyak 20-60% tetap mengalami GDD.6,9 Sebagian besar anak yang tetap
mengalami GDD diagnosisnya berubah menjadi disabilitas intelektual
pada umur lima tahun.1-3,10,11
Everything you should know about motor and movement problems in children
17
Hardiono D Pusponegoro
Kasus 2
Seorang anak berumur 10 bulan belum dapat tengkurap, badan dan
tungkai terlihat kaku. Ia belum memberi respons bila diajak berbicara.
Telapak tangan masih terkepal erat. Refleks fisiologis meingkat, klonus
positif, crossed extensor reflex positif, refleks suprapubik positif, dan
pada pemeriksaan respons tarikan didapatkan head lag. Lingkar kepala
<-2SD kurva Nellhaus. Anak lahir cukup bulan dengan berat badan 3100
gram, namun ia mengalami ensefalopati hipoksik iskemik. Anak ini jelas
mengalami keterlambatan perkembangan dalam bidang gerak kasar,
personal-sosial, dan mungkin kognitif. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
mudah, yaitu palsi serebral. Kasus semacam ini tidak tepat disebut GDD.
Dalam bidang gerak kasar, terkadang sulit menentukan pada anak
kecil apakah mereka mengalami keterlambatan gerak kasar atau telah
mengalami palsi serebral (PS). Suatu review menunjukkan bahwa PS dapat
dideteksi pada usia tiga bulan menggunakan general movement assessment
(GMA), dengan sensitivitas 98% dan spesifisitas 94%.12 Penelitian di RS
Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa PS dapat dideteksi pada
usia enam bulan pada 88,7% bayi risiko tinggi dengan menggunakan
pemeriksaan traction response, fisting, dan crossed extensor reflex.13
Kasus 3
Seorang anak berumur dua tahun, duduk belum terlalu kuat dan tubuh
cenderung jatuh ke depan, berjalan masih perlu bantuan. Beberapa uji
kognitif memperlihatkan fungsi kognitif yang kurang. Ia juga belum
dapat berbicara. Lingkar kepala cenderung besar walaupun masih dalam
batas normal. Pemeriksaan neurologis memperlihatkan anak mengalami
hipotonia, tetapi refleks fisiologis positif normal dan refleks patologis
negatif. Keadaan ini sering disebut sebagai hipotonia sentral, suatu
hipotonia yang disebabkan gangguan serebral. Walaupun ukuran lingkar
kepala normal, namun ternyata MRI memperlihatkan adanya atrofi serebri.
Dalam praktik sering dijumpai wajah dismorfik, namun tidak
selalu jelas mengarah pada diagnosis tertentu. Lingkar kepala normal,
berbeda dengan palsi serebral yang sering menunjukkan lingkar kepala
yang kecil. Anak seringkali memperlihatkan gejala hipotonia sentral,
yaitu kurangnya tonus yang dapat dilihat dengan pemeriksaan suspensi
horizontal, suspensi vertikal, dan respons tarikan. Terlihat pula joint
laxity yaitu gerakan otot di persendian yang berlebihan. Berbeda dengan
pada lesi lower motor neuron yang juga menunjukkan hipotonia, pada
kasus GDD refleks fisiologis tetap positif. Keadaan ini yang dapat
disebut sebagai GDD murni. Anak akan dapat berjalan walau terlambat,
kemudian seringkali dapat berbicara walaupun juga terlambat, namun
fungsi kognitif seringkali tidak dapat diperbaiki. Etiologi seringkali sulit
ditemukan.
Everything you should know about motor and movement problems in children
19
Hardiono D Pusponegoro
Kasus 4
Seorang anak berumur 1 tahun mengalami hipotonia dan keterlambatan
gerak kasar. Panjang badan kurang dari persentil ketiga. Berat badan
normal, lingkar kepala sedikit di bawah -2SD kurva Nellhaus. Wajahnya
agak dismorfik. Ia juga belum memberi respons bila diajak bermain. Pada
pemeriksaan laboratorium ternyata TSHs >8000 μU/mL dan FT4 kurang
dari 0,5 ng/dL. Anak ini mengalami GDD, namun diagnosis etiologinya
adalah hipotiroid kongenital.
Elektroensefalografi
Belum ada rekomendasi mengenai perlunya pemeriksaan EEG pada
semua anak dengan GDD.1 Berdasarkan kesepakatan sebagian besar ahli
di bidang neurologi anak, EEG hanya dilakukan bila terdapat kejang atau
regresi perkembangan. Pemeriksaan EEG dilakukan saat anak tidur dan
bangun (awake). Kadang-kadang dapat ditemukan pola electrical status
epilepticus during slow-wave sleep (ESES). Pemeriksaan EEG rutin pada
anak GDD hanya mampu menemukan diagnosis pada 0,4% kasus.1
Everything you should know about motor and movement problems in children
21
Hardiono D Pusponegoro
Pemeriksaan metabolik
Bila pemeriksaan metabolik dilakukan terhadap semua kasus, maka
hanya 0,6% sampai 1,3% di antaranya yang akan mengarahkan klinikus
pada suatu diagnosis etiologi.1 Pemeriksaan metabolik yang dilakukan
selektif atas indikasi (misalnya bila terdapat riwayat keluarga yang
bermakna, konsanguinitas, dan retardasi mental) mampu menemukan
diagnosis pada 5% kasus.1 Adanya gagal tumbuh, regresi perkembangan,
gangguan yang hilang-timbul secara episodik, wajah kasar (coarse
facies), hepatosplenomegali, gejala neurologis, dan gejala oftalmologis
meningkatkan sampai 14% kemungkinan ditemukannya diagnosis
melalui pemeriksaan metabolik.1,3 Di banyak negara, skrining penyakit
metabolik sudah dilakukan secara rutin dengan tandem mass spectometry
atau metode lain yang lebih canggih, sehingga sebagian kasus sudah
ditemukan pada masa neonatal.3 Beberapa kasus KMB telah dilaporkan
di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Algoritma awal untuk mencari etiologi IOM yang dianjurkan
adalah:19
1. Pemeriksaan darah: amonia, laktat, asam amino plasma, homosistein
total, profil asilkarnitin, kuprum (Cu), dan seruloplasmin
2. Urine: asam organik, purin dan pirimidin, metabolit kreatin,
oligosakarida, glikosaminoglikans
3. Dapat disusul dengan pemeriksaan lain yang lebih selektif.
Kasus 5
Seorang anak mengalami hipotonia dan obesitas. Perkembangan gerak
dan bicara terlambat. Pada pemeriksaan MRI kepala tidak ditemukan
kelainan. Pemeriksaan kromosom dan genetik menunjukkan bahwa anak
mengalami sindrom Prader Willi.
Pemeriksaan sitogenetik rutin pada GDD menghasilkan diagnosis
pada 3,7% kasus, dan dianjurkan untuk dilakukan secara rutin. Pada anak
dengan keterlambatan perkembangan sedang dan berat, pertimbangkan
pemeriksaan kromosom dengan teknik baru, misalnya fluorescence
in-situ hybridization (FISH) atau chromosome microarray.3,6 Gen FMR1
digunakan untuk menegakkan diagnosis Sindrom fragile-X terutama
pada anak lelaki.3 Di Indonesia, pemeriksaan untuk sindrom fragile-X
dapat diperiksa di laboratorium Prof. Sulthana di Semarang. Penulis
pernah menemukan sindrom tersebut pada tiga anak yang menunjukkan
gejala autisme disertai disabilitas intelektual. Pemeriksaan gen MECP2
terhadap sindrom Rett perlu dilakukan apabila ada gejala regresi pada
anak perempuan. Berbagai gen lain diperiksa atas indikasi.
Pemeriksaan lain
Pemeriksaan terhadap timbal (Pb) ditujukan terhadap anak dengan
kemungkinan terpapar timbal dari lingkungan dengan keadaan
sosioekonomi yang kurang. Keterlambatan biasa bukan merupakan
indikasi pemeriksaan kadar Pb. Di negara maju, pemeriksaan kadar Pb
dianjurkan apabila di lingkungan tempat tinggal anak 12% atau lebih
populasi anak menunjukkan kadar plumbum lebih dari 10 g/dL atau
27% rumah dibangun sebelum tahun 1950, anak berasal dari golongan
minoritas dengan sosioekonomi kurang, merupakan anak imigran,
terpapar obat alternatif, mengalami defisiensi besi, atau terpapar debu
atau tanah yang terkontaminasi.1,20 Hingga saat ini belum ada data
mengenai peran timbal di Indonesia.
Simpulan
Menentukan apakah seorang anak mengalami GDD sangat mudah,
berdasarkan adanya keterlambatan perkembangan dua ranah atau lebih.
Namun, untuk menegakkan diagnosis dan mencari etiologi tidak selalu
mudah. Diperlukan tim yang terdiri atas dokter ahli di bidang tumbuh
kembang, neurologi anak, nutrisi dan penyakit metabolik, endokrinologi,
radiologi, patologi klinik, serta biokimia dan kedokteran ,olekular.
Dengan adanya tim semacam ini, penegakkan diagnosis menjadi lebih
terarah dan keberhasilan diagnosis meningkat.
Bila menemukan kasus GDD, sedapat mungkin harus ditegakkan
diagnosis dan penyebab yang pasti sebelum merujuknya untuk terapi.
Urutan pemeriksaan tidak dilakukan secara paralel, melainkan secara
sekuensial dimulai dari MRI kepala yang mungkin memperlihatkan suatu
clue atau petunjuk. Pemeriksaan yang rutin dilakukan adalah TSHs
dan FT4, dan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kromosom.
Pemeriksaan gangguan metabolik dilakukan secara selektif. Sebagian
di antara kasus GDD dapat diobati, namun pada sebagian besar kasus
pengobatan berupa terapi suportif.
Daftar pustaka
1. Shevell M, Ashwal S, Donley D, Flint J, Gingold M, Hirtz D, et al. Practice
parameter: Evaluation of the child with global developmental delay:
Report of the quality standards subcommittee of the american academy
of neurology and the practice committee of the child neurology society.
Neurology 2003;60:367-80.
2. Jimenez-Gomez A, Standridge SM. A refined approach to evaluating global
developmental delay for the international medical community. Pediatr
Neurol 2014;51:198-206.
3. Eun SH, Hahn SH. Metabolic evaluation of children with global developmental
delay. Korean J Pediatr 2015;58:117-22.
4. Wilska ML, Kaski MK. Why and how to assess the aetiological diagnosis
of children with intellectual disability/mental retardation and other
Everything you should know about motor and movement problems in children
23
Hardiono D Pusponegoro
Objective
To give an overview of the important steps in diagnosing
pediatric movement disorders
Everything you should know about motor and movement problems in children
25
Kelumpuhan sistem saraf perifer
pada anak
Dwi Putro Widodo
Tujuan
1. Mengetahui bagaimana mendiagnosis kelumpuhan pada anak
2. Mengenal penyakit penyebab kelumpuhan yang sering ditemukan
3. Menentukan prosedur penunjang medis yang diperlukan
4. Mengenali kelumpuhan sistem saraf perifer yang menyebabkan gagal napas
Keluhan awal
Kelumpuhan pada anak biasanya terlihat lebih dahulu pada tungkai,
baru kemudian pada lengan. Hal ini karena sebagian besar penyakit
neuromuskular mengenai tungkai sebelum lengan, dan kelemahan pada
tungkai menyebabkan terganggunya fungsi berjalan. Keterlambatan
perkembangan motorik seringkali merupakan gejala awal kelumpuhan
pada anak dengan penyakit neuromuskular.
Gaya berjalan abnormal dapat merupakan gejala awal dan dapat
memberi petunjuk apakah kelumpuhan mengenai bagian proksimal atau
distal. Pada kelumpuhan proksimal tungkai, pelvis tidak stabil sehingga
gaya berjalan tampak seperti bebek. Kelumpuhan pada otot kuadriseps
ditandai dengan sulitnya anak menuruni tangga. Kelumpuhan otot
ekstensor di daerah pinggul dicurigai bila anak sulit menaiki tangga.
Sulit berdiri dari jongkok dan menggunakan bantuan lengan untuk
berdiri (tanda Gower) merupakan petunjuk adanya kelumpuhan otot
proksimal (Tabel 1).
Sering tersandung dan jatuh merupakan petunjuk awal kelumpuhan
tungkai bagian distal. Anak dengan kelumpuhan otot dalam posisi
dorsofleksi kaki (foot drop) akan mengangkat lutut tinggi agar dapat
meletakkan telapak kakinya ke tanah (steppage gait).
Berjalan jinjit pada penyakit distrofi muskular Duchenne disebabkan
karena otot gastroknemius lebih kuat dibandingkan otot peroneus.
Berjalan jinjit juga dapat terjadi pada penyakit yang mengenai susunan
saraf pusat dengan spastisitas dan pada anak dengan tendon kaki yang
kaku tanpa disertai defisit neurologi. Distrofi muskular biasanya disertai
hiporefleksia dan spastisitas disertai hiperefleksia, meskipun refleks
sendi kaki terkadang sulit didapat.1,3
Kelumpuhan proksimal pada lengan juga ditandai dengan
kesulitan mengangkat lengan atau melakukan aktivitas menulis. Pada
anamnesis perlu ditanyakan beberapa pertanyaan spesifik, antara
lain apakah terdapat keluhan penglihatan ganda, berliur (ngiler), sulit
membuka mata, sulit mengunyah atau menelan, dan sulit meniup.
Everything you should know about motor and movement problems in children
27
Dwi Putro Widodo
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan diawali dengan memerhatikan bagaimana anak duduk,
berdiri, dan berjalan. Anak normal dapat berdiri dari posisi duduk
dengan cepat tanpa bantuan tangan. Anak dengan kelumpuhan otot di
daerah pinggul akan menggunakan bantuan tangannya untuk berdiri
(tanda Gower).
Apabila gerakan duduk dan berdiri normal, anak diminta untuk
berjalan jinjit dan berjalan dengan tumit. Bila anak tidak dapat berjalan
jinjit, maka hal ini merupakan petunjuk kelemahan otot gastroknemius,
sedangkan bila anak tidak dapat berjalan dengan tumit, maka hal ini
merupakan petunjuk kelumpuhan otot tungkai bagian depan.
Push-up merupakan uji kekuatan otot di area lengan. Hampir semua
anak dapat mengerjakannya meskipun hanya satu kali. Kemudian minta
anak menyentuh tulang belikat dengan ibu jari tangan pada sisi yang sama.
Bagian akhir adalah pemeriksaan otot wajah dan mata. Pemeriksaan
yang baik untuk menguji kekuatan otot wajah adalah dengan meminta
anak meniup.
Pada periode observasi dan pemeriksaan ini, pemeriksa juga
mencari tanda-tanda atrofi atau hipertrofi. Atrofi dapat dilihat pada
telapak tangan, kaki bagian depan, atau otot betis. Pada distrofi muskular
Duchenne dapat dijumpai pseudohipertrofi otot betis.
Hilangnya refleks tendon dapat terjadi pada awal denervasi,
terutama bila serabut saraf sensorik juga terkena. Kondisi serupa juga
bisa terjadi pada kelumpuhan karena miopati. Refleks tendon biasanya
normal pada kelumpuhan karena miastenia gravis atau miopati
metabolik (Tabel 2).1
Tabel 2. Tanda klinis kelumpuhan otot
Observasi
Atrofi dan hipertropi
Fasikulasi
Kurang aktif bergerak
Palpasi
Tekstur otot
Konsistensi otot
Pemeriksaan
Kontraktur sendi
Miotonia
Kekuatan
Refleks tendon
kelainan mulai dari sel kornu anterior, saraf tepi, sambungan saraf-otot
(neuromuscular junction), atau otot. Prosedur pemeriksaan penunjang
kedua penyebab ini tidak ada yang sederhana (Tabel 4).1-3 Pendekatan
klinis dan pemeriksaan fisis neurologis sangat membantu dalam
menentukan apakah kelumpuhan bersumber di sentral, perifer, atau
gabungan keduanya.
Everything you should know about motor and movement problems in children
29
Dwi Putro Widodo
klinis yang khas mulai bermanifestasi. Pasien sulit menaiki tangga atau
bangun dari lantai. Mereka akan memperlihatkan gejala yang khas
yang disebut fenomena Gower, yaitu ”memanjat” tungkainya dengan
kedua tangannya apabila harus bangun dari posisi duduk di lantai ke
posisi berdiri. Gaya berjalan pasien tampak seperti bebek (waddling
gait). Terjadi atrofi dari otot-otot dan lordosis pada punggung. Betis
mengalami pseudohipertrofi akibat penimbunan lemak dan hialin.
Kelumpuhan otot bersifat simetris dan pada usia antara enam sampai
12 tahun pasien sudah tidak dapat menggerakkan kedua tungkainya dan
harus mengunakan kursi roda. Pada umumnya diagnosis sudah dapat
ditegakkan dengan tiga pemeriksaan pertama yaitu klinis, CK, dan EMG,
namun dengan ketersediaan pemeriksaan DNA peran EMG berkurang.
Prognosis umumnya buruk. Hampir semua pasien meninggal pada
dekade kedua kehidupan karena infeksi sekunder ataupun gangguan
kardiorespiratorik.
Mielitis transversa
Mielitis transversa ditandai dengan kelumpuhan yang progresif disertai
hilangnya fungsi sensorik dan fungsi otot sfingter. Mielitis transversa
terjadi akibat infeksi virus sebelumnya. Gejala timbul secara bersamaan
dengan infeksi tersebut atau sesudah gejala infeksi primernya sembuh.1,5
Gejala awalnya berupa hilangnya rasa nyeri di daerah ekstremitas,
perut, dan badan bagian belakang, dan segera diikuti terjadinya
paraparesis. Kelumpuhan mula-mula bersifat flaksid, kemudian secara
berangsur berubah menjasi spastik, dengan ditandai refleks fisiologis
yang meningkat dan klonus. Sebanyak 86% pasien mengalami gangguan
otot sfingter; pada awal perjalanan penyakit terjadi retensi urine serta
gangguan sensasi nyeri dan suhu.
Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis
dan peningkatan kadar protein. Gambaran CT mielografi menunjukkan
adanya pembengkakkan medula spinalis. Mielitis transversa harus
Everything you should know about motor and movement problems in children
31
Dwi Putro Widodo
Dermatomiositis
Dermatomiositis bersama-sama dengan polimiositis dan miositis lokal
termasuk dalam kelompok penyakit inflamatorik. Dermatomiositis
adalah angiopati sistemik yang mengenai semua pembuluh darah
kecil, kapiler, dan venula pada jaringan otot, saraf, saluran pencernaan,
jaringan ikat dan jaringan kulit.
Gejala klinis umumnya muncul pada usia lima sampai 10 tahun,
tetapi dapat juga muncul lebih awal. Gambaran awalnya dapat bersifat
fulminan yang ditandai dengan demam, kelelahan, dan anoreksia
tanpa harus ada ruam kemerahan atau kelumpuhan. Gejala ini dapat
berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan biasanya
semula dicurigai sebagai infeksi. Kombinasi demam, ruam, mialgia,
dan kelumpuhan dapat mengarah ke penyakit dermatomiositis. Pada
sebagian besar pasien, dermatitis sering mendahului miositis. Kadar
CK serum biasanya meningkat pada awal penyakit. Kelumpuhan otot
terutama terjadi pada otot proksimal yang disertai nyeri dan kaku.
Kalsinosis jaringan subkutan juga dapat terjadi, dan bila cukup berat
dan luas disebut kalsinosis universal.1,2,5
Pemberian kortikosteroid merupakan pengobatan standar untuk
dermatomiositis. Pada mereka yang tidak mengalami perbaikan dengan
kortikosteroid dapat dicoba pemberian imunosupresan, antara lain
metotreksat secara oral atau intravena.
Sindrom Guillain-Barré
Sindrom Guillain-Barré (SGB) atau acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy (AIDP) ditandai adanya proses radang non-
infeksi di daerah radiks saraf tepi. Infiltrasi sel limfosit dan makrofag
ke dalam membrane serabut saraf menyebabkan kerusakan mielin dan
degenerasi Wallerian.
Pada SGB terjadi kelumpuhan yang bersifat akut. Kelumpuhan
bersifat simetris dan asenden, dimulai dari ekstremitas bawah, Gejala SGB
sering didahului infeksi saluran napas atau saluran cerna. Kelumpuhan
terjadi pada minggu pertama dan mencapai puncaknya pada akhir
minggu kedua. Pada akhir minggu ketiga mulai terdapat perbaikan.1,5
Pada 15% kasus SGB terjadi kelumpuhan saraf kranial VII, dan
pada 3% terjadi optalmoplegia di samping gejala klasik SGB. Pada kasus
berat dapat terjadi kelumpuhan otot pernapasan. Sistem otonom dapat
terkena, sehingga terjadi hipotensi atau hipertensi dan aritmia, bahkan
dapat terjadi henti jantung. Refleks fisiologis biasanya menurun, namun
terkadang meningkat pada awal perjalanan penyakit.
Cairan serebrospinal menunjukkan gambaran khas berupa kenaikan
kadar protein tanpa diikuti kenaikan jumlah sel (albumino-cytologic
dissociation), namun dapat menunjukkan pleositosis pada 5% kasus.
Pemeriksaan EMG menunjukkan adanya perlambatan kecepatan hantar
saraf dengan latensi distal yang memanjang. Gambaran EMG pada awal
penyakit masih dalam batas normal.
Apabila sampai akhir minggu kedelapan setelah awitan penyakit tidak
terjadi perbaikan kelumpuhan, maka pasien mengalami bentuk kronik
SGB atau chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
(CIDP). Sindrom Guillain-Barré perlu dibedakan dengan poliomielitis
dan miositis akut.
Everything you should know about motor and movement problems in children
33
Dwi Putro Widodo
Paralisis periodik
Paralisis periodik diklasifikasikan atas dasar dengan kadar kalium
serum: hiperkalemik, hipokalemik, atau normokalemik. Klasifikasi
lain didasarkan atas kelainan primer (genetk) atau sekunder. Penyebab
hipokalemia paralisis periodik sekunder adalah hilangnya kalium melalui
urine atau saluaran cerna.
Pada 60% kasus, gejala muncul sebelum usia 16 tahun. Serangan
kelumpuhan semula jarang, namun makin lama makin sering, hingga
beberapa kali dalam seminggu. Faktor pencetus serangan antara lain
istirahat setelah aktivitas (pada beberapa kasus serangan timbul pada
pagi hari), makanan tinggi karbohidrat, stres fisik atau psikis, dan suhu
dingin. Sebelum dan selama serangan, pasien mungkin mengeluh haus
dan kurang berkemih. Kelumpuhan diawali dengan rasa nyeri di otot
bagian proksimal. Kadang-kadang hanya otot proksimal yang terkena,
namun kelupuhan total juga dapat terjadi sehingga pasien tidak dapat
mengangkat tubuhnya.5
Bila terjadi kelumpuhan berat, otot teraba bengkak dan refleks
tendon menghilang. Pada sebagian besar kasus serangan berlangsung
selama enam sampai 12 jam, namun pada beberapa kasus lain serangan
berlangsung sepanjang hari. Kekuatan dapat kembali normal dengan
cepat, tetapi bila sering terjadi serangan penyakit ini dapat meninggalkan
gejala sisa berupa kelumpuhan parsial.
Miastenia gravis
Ada dua bentuk klinis MG, yaitu miastenia okular dan miastenia umum.
Miastenia okular terutama mengenai otot mata, namun otot ekstremitas
dan wajah juga dapat terkena meski ringan. Pada miastenia umum, otot
bulbar dan ekstremitas terkena dengan derajat sedang atau berat.
Gejala awal biasanya muncul setelah usia 6 bulan; pada 75% pasien,
gejala muncul setelah usia 10 tahun. Baik pada bentuk okular maupun
umum, gejala awal biasanya berupa ptosis, diplopia, atau keduanya.
Umumnya kedua mata terkena, namun salah satu mata lebih berat
dibandingkan yang lain. Saat awitan gejala okular, 40% sampai 50% pasien
mengalami kelumpuhan ekstremitas dan terkadang juga kelumpuhan
pada otot bulbar. Timoma dijumpai pada 15% kasus dewasa dengan
miastenia umum, namun hanya dijumpai pada 5% kasus anak.1,5
Uji edrofonium klorida merupakan baku emas untuk diagnosis
miastenia okular maupun miastenia umum, tetapi uji ini mempunyai
keterbatasan. Beberapa dokter saat ini mengunakan uji dengan
menempelkan kompres es (ice pack) pada kelopak mata atau menutup
(mengistirahatkan) kelopak mata selama lima menit. Lebih terbukanya
kelopak mata secara parsial merupakan petunjuk adanya kelaian
miastenia.
Poliomielitis1
Poliomielitis adalah penyakit infeksi akut oleh poliovirus, sejenis
enterovirus, yang mengenai sel motor neuron di medula spinalis dan
otak, sehingga mengakibatkan kelumpuhan flaksid asimetris. Juga dikenal
bentuk spinal, bulbar, dan ensefalitik dari poliomielitis. Beratnya penyakit
sangat bervariasi. Bentuk asimtomatik atau bentuk ringan memiliki angka
kejadian lebih kurang 100 kali lebih tinggi dibandingkan bentuk paralitik
yang klasik. Gambaran klinis poliomielitis bervariasi mulai dari yang non-
spesifik menyerupai influenza, sampai yang berat dan fatal.
Gejala minor biasanya terjadi bersamaan dengan terjadinya viremia
dan ditemukannya virus di dalam feses. Gejala ini berlangsung selama
24 sampai 48 jam; manifestasi klinis pada saat ini tidak spesifik. Gejala
mayor dapat muncul setelah hari kedua sampai hari kelima penyakit.
Gejala penyakit dapat tidak berkembang lagi atau berkembang menjadi
bentuk paralitik. Petunjuk awal kelumpuhan adalah nyeri otot lokal,
fasikulasi, dan menurun atau hilangnya refleks tendon. Kelumpuhan
timbul dalam beberapa hari setelah gejala mayor.
Isolasi virus dapat dilakukan dari feses dan orofaring. Poliovirus
dapat diisolasi 19 hari sebelum sampai tiga bulan setelah awitan
penyakit. Teknik polymerase chain reaction (PCR) dengan spesimen dari
cairan serebrospinal, darah, feses, dan/atau tenggorokan sangat sensitif,
spesifik, dan cepat untuk mendiagnosis infeksi enterovirus.
Everything you should know about motor and movement problems in children
35
Dwi Putro Widodo
Simpulan
Karena kelumpuhan dapat membaik dan banyak keadaan yang mirip
dengan kelumpuhan, sebaiknya anak dipantau terlebih dahulu sebelum
mengatakan bahwa anak lumpuh. Bila terdapat keraguan, sebaiknya tidak
mengatakan sesuatu sampai pemeriksaan dapat diulang.
Bila adanya kelumpuhan sudah jelas, maka anak harus diperiksa
dengan teliti, apakah kelumpuhan bersifat fungsional yang tidak
berbahaya atau merupakan tanda adanya gangguan pada susunan saraf
pusat atau susunan saraf tepi, misalnya palsi serebral atau AMS. Selain
itu, juga harus dipikirkan kemungkinan terdapatnya kelainan yang
progresif, misalnya kelainan metabolik.
Tata laksana anak dengan kelumpuhan membutuhkan kerjasama
pelbagai bidang keahlian yang meliputi dokter spesialis anak dan
saraf anak, terapis okupasi, fisioterapis, dokter spesialis ortopedi,
serta berbagai bidang yang terkait dengan gangguan lain yang
menyertainya.
Daftar pustaka
1. Fenichel GM. Clinical pediatric neurology. A signs and symptoms approach.
5th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. h. 171-97.
2. De Vivo DC, Darras BT, Ryan MM, Jones HR Jr. Introduction: Historical
perspectives. Dalam: Jones HR, De Vivo DC, Darras BT, penyunting.
Neuromuscular disorders of infancy, childhood, and adolescence: A
clinician’s approach. Oxford: Butterworth-Heinemann; 2003. h. 3-16.
3. Edgar TL. Muscular dystrophy and myopathy. Dalam: Maria BL, penyunting.
Current management in child neurology. Edisi ke-3. Shelton, Connecticut:
BC Decker; 2005. h. 405-13.
4. Olney RK. Electrodiagnostic evaluation of neuromuscular disease. Dalam:
Berg OB, penyunting. Principles of child Neurology. London: McGraw-Hill;
1996. h. 51-66
5. Nara P, Lumbantobing SM. Penyakit unit motor dan sindrom neurokutan .
Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku ajar neurologi anak.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 1999. h. 275-99.
6. Finkel RS, Chiriboga CA, Vajsar J, Day JW, Montes J, De Vivo DC, dkk.
Treatment of infantile-onset spinal muscular atrophy with nusinersen:
a phase 2, open-label, dose-escalation study. Lancet. 2016; 388:3017-26.
7. United States Food and Drug Administration. FDA approves first drug
for spinal muscular atrophy. Diunduh dari: www.fda.gov/newsevents/
newsroom/pressannouncements/ucm534611. Diakses tanggal 30 Maret
2017.
8. Darras TB, Jones HR. Neuromuscular problems of the critically ill neonate
and child. Semin Pediatr Neurol. 2004;11:147-68.
Objective
To assist clinicians to be familiar with movement disorders
commonly seen in children
Everything you should know about motor and movement problems in children
37
Ethical issues: Penyampaian
berita buruk tentang keadaan
neonatus risiko tinggi
Irawan Mangunatmadja
Tujuan:
1. Mendiskusikan masalah etik yang dihadapi dokter dengan orangtua bayi risiko tinggi
2. Mengetahui etika pelayanan rumah sakit
3. Mengetahui etika penyampaian berita buruk
4. Mengetahui etika perawatan pasien terminal
Everything you should know about motor and movement problems in children
39
Irawan Mangunatmadja
Everything you should know about motor and movement problems in children
41
Irawan Mangunatmadja
Tujuan:
1. Agar tidak terjadi kesalahpahaman dengan pihak keluarga;
2. Agar tidak terjadi tuntutan hukum.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keadaan neonatus
risiko tinggi sebaiknya ditentukan dan diinformasikan kepada orangtua
dan keluarga pada awal perawatan, penentuan rencana perawatan
(care plan) harus sudah ditentukan dalam dua kali 24 jam pertama
perawatan dalam bentuk family meeting, penyampaian berita buruk
harus mempertimbangkan latar belakang pendidikan, sosioekonomi,
budaya, dan kepercayaan keluarga, dan hubungan baik serta dukungan
dokter, perawat, dan staf NICU terhadap keluarga sangat menentukan
kepuasan orangtua/keluarga pasien.
Daftar pustaka
1. Abowd G, Hayes GR, Kientz J, Mamykina K, Mynatt E. Challenges and
opportunities for collaboration technologies for chronic care management.
In Proc. HCIC. 2006;3:1-13.
2. Yee W, Ross S. Communicating with parents of high-risk infants in neonatal
intensive care. Paediatr Child Health. 2006;11:291-4.
3. Liu LS, Hirano SH, Tentori M, Cheng KG, George S, Park SY, Hayes GR.
Improving communication and social support for caregivers of high-risk
infants through mobile technologies. CSCW. 2011;19:475-84.
4. Buku Pedoman pengelolaan kasus medik sulit dan kompleks di RSUPN Dr
Cipto Mangunkusumo. Jakarta: RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, 2012.
5. Konsil Kedokteran Indonesia. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No
4 tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi. Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia; 2011.
6. Damping EC, Zubier F, Irvianita PV, penyunting. Buku Panduan Pelaksanaan
Etik dan Hukum RSUP Dr Cipto Mangunkusumo. Edisi III. Jakarta: RSUPN
Dr Cipto Mangunkusumo, 2014. h.1-4.
7. Damping EC, Zubier F, Irvianita PV, penyunting. Buku Panduan Pelaksanaan
Etik dan Hukum RSUP Dr Cipto Mangunkusumo. Edisi III. Jakarta: RSUPN
Dr Cipto Mangunkusumo, 2014. h. 103-8.
8. Damping EC, Zubier F, Irvianita PV, penyunting. Buku Panduan Pelaksanaan
Etik dan Hukum RSUP Dr Cipto Mangunkusumo. Edisi III. Jakarta: RSUPN
Dr Cipto Mangunkusumo, 2014. h. 88-98.
Everything you should know about motor and movement problems in children
43
Infants at high risk of cerebral
palsy: is prevention possible?
R.M. Indra
Tujuan:
1. Mengenali faktor-faktor risiko palsi serebral
2. Mengetahui upaya-upaya pencegahan terhadap faktor risiko palsi serebral
3. Memahami deteksi dini palsi serebral pada bayi berisiko tinggi
4. Memahami peran intervensi dini pada bayi risiko tinggi
Everything you should know about motor and movement problems in children
45
R.M. Indra
Lingkar kepala
Lingkar kepala sebagai pemeriksaan rutin dan sederhana memiliki nilai
sangat penting dalam memprediksi gangguan perkembangan, seperti
yang telah diteliti pada bayi-bayi prematur. Penelitian terhadap 958
bayi oleh Kuban dkk (2009) mendapatkan bahwa mikrosefali pada usia
24 bulan berhubungan dengan kejadian palsi serebral dan gangguan
kognitif.19 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kemampuan prediktif
pengukuran lingkar kepala bermanfaat pada usia lebih dini. Penelitian
di Austria tahun 2013 terhadap 538 bayi prematur mendapatkan bahwa
lingkar kepala suboptimal pada usia tiga bulan berhubungan dengan
terjadinya gangguan kognitif dan psikomotor sedang hingga berat pada
usia 12 dan 24 bulan.18
Penilaian neurologis
Penilaian neurologis dan neuromotor dipergunakan untuk memonitor
perkembangan bayi berisiko tinggi. Berbagai jenis metode pemeriksaan
telah diteliti kemampuannya dalam memprediksi terjadinya palsi serebral
pada bayi berisiko tinggi. Pemeriksaan yang banyak dipergunakan
tercantum pada Tabel 2. Nilai diagnostik dan skill yang dibutuhkan
untuk melakukan masing-masing pemeriksaan dapat berbeda-beda.2
Everything you should know about motor and movement problems in children
47
R.M. Indra
Gambar 1. A) seorang bayi aterm yang menunjukkan gerakan fidgety normal, nampak perubahan gerakan
dengan variasi yang tinggi; gambar 1B adalah bayi lahir dengan usia gestasi 28 minggu dengan GMA abnormal
berupa tidak adanya variasi gerakan. (Dikutip dari: Hadders-Algra M. J Pediatr 2004;145:S12-8) 22
Pencitraan
Pencitraan kepala bayi memiliki nilai diagnostik yang sangat baik
dalam meramalkan terjadinya palsi serebral pada bayi berisiko tinggi,
baik preterm maupun aterm. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) kepala
merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap semua neonatus dengan
masalah neurologis yang dirawat di NICU. Kemampuan diagnostik USG
kepala meningkat apabila dilakukan secara serial. American Academy
of Neurology dan Child Neurology Society menganjurkan pemeriksaan
USG kepala kepada semua bayi yang lahir dengan gestasi ≤30 minggu
saat berusia tujuh sampai 14 hari pascalahir dan saat berusia 36 sampai
40 minggu pascagestasi. Hal ini dilakukan mengingat kelainan seperti
leukomalasia periventrikular kistik dapat baru terbentuk setelah dua
sampai lima minggu. Kelainan-kelainan besar pada USG kepala, misalnya
infark parenkim hemoragik dan leukomalasia periventrikular grade II
dan III memiliki nilai prediktif yang tinggi dalam meramalkan palsi
serebral pada bayi berisiko tinggi, dengan sensitivitas 70% sampai 86%
dan spesifisitas 90% sampai 99%.23,24
Everything you should know about motor and movement problems in children
49
R.M. Indra
Simpulan
Palsi serebral merupakan penyebab disabilitas terbanyak pada anak.
Faktor risiko palsi serebral antara lain prematuritas dan ensefalopati
hipoksik iskemik akibat asfiksia perinatal. Upaya pencegahan terhadap
faktor risiko, misalnya pencegahan persalinan prematur dengan
progesteron dan pemberian MgSO4 untuk neuroproteksi pada kehamilan
prematur yang tidak dapat dicegah merupakan terapi yang terbukti
efektif dan harus dilakukan apabila terdapat kesempatan. Demikian
juga halnya dengan terapi hipotermia terhadap bayi dengan ensefalopati
hipoksik iskemik, yang merupakan satu-satunya terapi yang terbukti
efektif menurunkan kematian dan gangguan neurodevelopmental.
Deteksi dini harus dilakukan terhadap semua bayi yang memiliki faktor
risiko, berbagai modalitas dapat digunakan untuk deteksi dini palsi
serebral mulai dari pengukuran lingkar kepala sederhana, penilaian
neurologis dan pencitraan yang memiliki nilai prediktif yang rata-
rata baik. Terdapat bermacam program intervensi dini yang saat ini
sejumlah besar telah beralih ke arah activity-based program. Meskipun
dengan bukti yang ada sekarang belum dapat diketahui program mana
yang akan memberikan hasil paling baik dan belum ada yang terbukti
efektif mencegah palsi serebral, intervensi dini tetap harus dilakukan
oleh karena sejumlah besar data menunjukkan adanya efek yang baik
terhadap fungsi kognitif, motorik, maupun terhadap keluarga.
Daftar pustaka
1. Stavsky M, Mor O, Mastrolia SA, Greenbaum S, Than NG, Erez O. Cerebral
palsy - trends in epidemiology and recent development in prenatal
mechanisms of disease, treatment, and prevention. Front Pediatr. 2017;5:21.
DOI:10.3389/fped.2017.00021.
2. Hadders-Algra M. Early diagnosis and early intervention in cerebral palsy.
Front Neurol. 2014;5: DOI:10.3389/fneur.2014.00185.
3. Cioni G, Inguaggiato E, Sgandurra G. Early intervention in neurodevelopmental
disorders: underlying neural mechanisms. Dev Med Child Neurol.
2016;58:61-6.
4. Donald KA, Samia P, Kakooza-Mwesige A, Bearden D. Pediatric cerebral
palsy in Africa: a systematic review. Semin Pediatr Neurol. 2014;21:30-5.
5. Oskoui M, Coutinho F, Dykeman J, Jetté N, Pringsheim T. An update on the
prevalence of cerebral palsy: a systematic review and meta-analysis. Dev
Med Child Neurol. 2013;55:509-19.
Everything you should know about motor and movement problems in children
51
R.M. Indra
Everything you should know about motor and movement problems in children
53
Update on the diagnosis and
classification of cerebral palsy
Anidar
Tujuan:
1. Memahami klasifikasi palsi serebral
2. Memahami diagnosis palsi serebral
3. Memahami komorbiditas yang menyertai palsi serebral
Klasifikasi
Saat ini dikenal beberapa macam klasifikasi PS, bergantung pada sudut
pandangnya. Atas dasar gambaran klinis yang dominan, PS diklasifikan
menjadi tipe spastik, diskinetik (distonia dan koreoatetoid), hipotonik,
ataksik, atau campuran.3,4 Klasifikasi berdasarkan gambaran klinis
biasanya digunakan bersamaan dengan klasifikasi atas dasar topografi
defisit motorik, yaitu monoplegia, diplegia, hemiplegia, triplegia,
tetraplegia, dan hemiplegia ganda.1,3 Kedua klasifikasi tersebut adalah
klasifikasi tradisional yang masih sering digunakan.5
Klasifikasi lain menggolongkan PS atas dasar derajat fungsional dan
keterbatasan aktivitas yang terjadi, terdiri atas kategori minimal, ringan,
sedang, dan berat. Klasifikasi terapeutik terdiri atas empat kategori
yaitu tanpa terapi, intervensi sedang, intervensi dengan pendekatan tim,
serta intervensi menyeluruh.9 Akan tetapi, klasifikasi atas dasar derajat
fungsional PS dan klasifikasi terapeutik tidak banyak digunakan lagi.9
Klasifikasi lainnya dibuat berdasarkan patofisiologi letak lesi neuron
di otak dan dibagi menjadi PS kortikal (piramidal) yang mengakibatkan
spastisitas, ganglia basalis (ekstrapiramidal) yang mengakibatkan
gerakan abnormal (korea, atetosis, atau distonia), serebelar yang
menyebabkan hipotonia, dan bentuk campuran.4
Klasifikasi terakhir adalah gross motor function classification system
(GMFCS) yang menggolongkan anak dengan PS berdasarkan kemampuan
fungsionalnya. Saat ini klasifikasi ini yang lebih banyak digunakan.8,10,11
Everything you should know about motor and movement problems in children
55
Anidar
kelumpuhan lengan dan tungkai pada sisi tubuh yang sama dengan
lengan lebih berat dibandingkan tungkai; hal ini disebabkan area korteks
serebri (homunkulus motorik) yang terkena lebih besar untuk lengan
dibandingkan tungkai. Hemiplegia ganda adalah kelumpuhan keempat
anggota gerak; umumnya lengan terkena lebih berat daripada tungkai
yang sesisi, dan terdapat asimetri antara kedua sisi tubuh. Diplegia
adalah kelumpuhan pada keempat anggota gerak, namun tungkai lebih
berat daripada lengan. Triplegia jarang dijumpai; apabila yang terkena
adalah kedua lengan secara asimetris dan satu tungkai maka triplegia
merupakan bentuk ringan hemiplegia ganda, namun apabila yang terkena
adalah kedua tungkai dan satu lengan maka triplegia merupakan bentuk
ringan diplegia yang asimetris. Tetraplegia atau kuadriplegia adalah
kelumpuhan pada keempat anggota gerak, dengan lengan terkena lebih
atau sama berat dengan tungkai. 1,3,4
Sejalan dengan topografi ini, kemampuan anak PS untuk berjalan
dapat diprediksi berdasarkan kemampuan duduk. Anak dengan PS
tipe hemiplegia dan diplegia memiliki peluang lebih besar untuk dapat
berjalan dibandingkan PS tetraplegia. Apabila anak dapat duduk sendiri
pada usia 2 tahun, maka besar peluangnya anak akan dapat berjalan,
sementara anak PS yang belum bisa duduk hingga 4 tahun sangat kecil
kemungkinannya untuk bisa berjalan.12
Tabel 1. Level Perkembangan Fungsional Motorik Kasar GMFCS Usia <2 tahun
Usia Level Kemampuan Motorik yang dimiliki Anak PS
<2 tahun I 1. Mampu bergerak dari tiduran/tengkurap kemudian duduk dan
dari duduk menuju tengkurap, dapat duduk di lantai dengan
kedua tangan bebas untuk menyentuh mainan.
2. Mampu menggunakan tangan dan lutut untuk merangkak secara
seimbang.
3. Dapat mulai berdiri dengan merambat.
4. Dapat berjalan diantara 18 bulan dan 2 tahun tanpa perangkat
mobilitas bantu.
II 1. Mampu duduk di lantai dengan bantuan tangan ikut menopang
tubuh untuk menjaga keseimbangan.
2. Dapat merayap menggunakan perut atau merangkak pada
tangan dan lutut.
3. Berusaha untuk berdiri dengan berpegangan pada benda atau
orang lain.
III 1. Dapat duduk di lantai dengan mendukung punggung belakang.
2. Dapat berguling dan merayap maju menggunakan perut.
IV 1. Dapat mengontrol pergerakan kepala
2. Dapat mempertahankan duduk di lantai apabila badan didukung
atau ditopang secara keseluruhan.
3. Dapat berguling dari telentang dan tengkurap dengan waktu
berguling cukup lama.
V 1. Tidak mampu mengontrol pergerakan tubuh termasuk
pengontrolan kepala.
2. Tidak mampu menjaga antigravitasi kepala meskipun dalam
posisi tengkurap atau duduk.
3. Memerlukan bantuan orang dewasa untuk berguling.
2-4 I 1. Anak mampu duduk di lantai tanpa didukung oleh kedua
tahun tangan.
2. Anak mampu berdiri pada posisi duduk tanpa bantuan orang
dewasa dan mampu duduk dari berdiri dengan kontrol yang
baik.
3. Anak mampu berjalan tanpa alat bantu.
Everything you should know about motor and movement problems in children
57
Anidar
Everything you should know about motor and movement problems in children
59
Anidar
Diagnosis
Penegakkan diagnosis palsi serebral harus dilakukan secara hati-
hati. Diperlukan anamnesis yang teliti serta pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan neurologis yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis.
Harus dipastikan bahwa keterlambatan tersebut tidak memburuk
(progresif) atau berupa kehilangan kemampuan yang pernah dicapai
(regresi).1,15 Pada anamnesis perlu ditanyakan (1) riwayat pranatal
(masalah pada masa kehamilan, misalnya penyakit ibu, pajanan toksin,
alkohol, narkoba, perawatan antenatal, gerakan janin, dan riwayat
trauma); (2) riwayat perinatal (masa gestasi, cara persalinan dan
presentasi bayi, lama persalinan, berat badan lahir, skor Apgar, pH
darah umbilikus, komplikasi persalian, lama perawatan di inkubator,
ada tidaknya perdarahan intraventrikular, prosedur yang dijalani selama
perawatan misalnya ventilasi mekanik, continuous positive airway
pressure, extracorporeal membrane oxygenation, ada tidaknya masalah
Everything you should know about motor and movement problems in children
61
Anidar
sampai 40% di antaranya akan mengalami PS. Makin muda usia gestasi,
makin tinggi kemungkinan terjadinya PS. Pada bayi cukup bulan dengan
ensefalopati neonatal kemungkinan menjadi PS adalah 15% sampai 20%.17
Diagnosis palsi serebral ditegakkan berdasarkan adanya
keterlambatan perkembangan motorik. Pada pemeriksaan neurologis
didapatkan kelumpuhan tipe upper motor neuron dan/atau adanya
gerakan dan postur abnormal serta refleks primitif yang menetap.
Pemeriksaan ke arah metabolik dan analisis genetik tidak rutin dilakukan
kecuali bila didapatkan dismorfisme atau adanya riwayat keluarga
dengan keterlambatan perkembangan.3
Tidak ada pemeriksaan tunggal tertentu yang dapat menegakkan
diagnosis pasti PS. Algoritma pendekatan yang dapat digunakan dalam
menilai pasien PS dapat dilihat pada Gambar 2.1
Simpulan
Palsi serebral merupakan suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang
menetap dan tidak progresif yang terjadi pada usia dini sehingga
menganggu perkembangan otak yang ditandai dengan perubahan pada
tonus otot, kelainan postur, dan pergerakan. Klasifikasi atas dasar
defisit neuromuskular dan topografi defisit motorik adalah klasifikasi
tradisional yang masih sering digunakan, sedangkan klasifikasi
GMFCS dapat digunakan untuk menentukan pemilihan terapi yang
tepat sesuai dengan usia pasien dan tingkatan fungsi motorik, serta
memprediksi prognosis fungsi motorik kasar pada anak palsi serebral.
Penegakan diagnosis palsi serebral harus dilakukan secara hati-hati
Everything you should know about motor and movement problems in children
63
Anidar
Daftar pustaka
1. Swaiman KF, Wu Y. Cerebral palsy. Dalam: Swaimann KF, Ashwal S, Ferriero
DM, penyunting. Pediatric neurology principles & practice. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. h. 492-501.
2. Berker N, Yalcin S. The HELP guide to cerebral palsy. Edisi ke-2. Washington:
Merril Corporation; 2010. h. 7-14.
3. Aisen ML, Kerkovich D, Mast J. Cerebral palsy: clinical care and neurological
rehabilitation. Lancet Neurol. 2011;10:844-52.
4. Passat J. Kelainan perkembangan. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 115-19.
5. Sangkar C, Mundkur N. Cerebral palsy-definition, classification, etiology
and early diagnosis. Indian J Pediatr. 2005; 72:865-8.
6. Bell KL, Boyd RN, Tweedy SM, Weir KA, Stevenson RD, Davies PS. A
prospective longitudinal study of growth, nutrition and sedentary behaviour
in yung children with cerebral palsy. BMC Public Health. 2010;10:179-83.
7. Sellier E, Uldall P, Calado E, dkk. Epilepsy and cerebral palsy: characteristics
and trends in children born in 1976-1998. Eropean journal of paediatric
neurology. 2012;16:48-55.
8. Gorter JW, Verschuren O, Riel LV, Katelaar M. The relationship between
spasticity in young children (18 monhs of age) with cerebral palsy and
their gross motor function development. BMC Musculoskelet Disord.
2009;10:108-10.
9. Green L, Greenberg GM, Hurwitz E. Primary care of children with cerebral
palsy. Pediatrics. 2003;5:467-91.
10. Palisano R, Rosenbaum P, Walter S, Russel D, Wood E, Galuppi B. Gross
motor function classification system for cerebral palsy. Dev Med Child
Neurol. 1997;39:214-23.
11. Russel DJ, Avery LM, Rosenbaum PL, Raina PS, Walter SD, Palisano RJ.
Improved scalling of the gross motor function measure for children with
cerebral palsy. Phys Ther. 2000;80:873-85.
12. Dogde NN. Medical management of cerebral palsy. Dalam: Patel DR,
Greydanus DE, Omar HA, Merrick J, penyunting. Neurodevelopmental
Disabilities, Clinical care for children and young adults. London:: Springer
Dordrecht Heidelberg; 2011. h. 227-42.
13. Beckung E, Hagberg G. Correlation between ICIDH handicap code and gross
motor function classification system in children with cerebral palsy. Dev
Med Child Neurol. 2000;42:669-73.
14. Pakula AT, Braun KVA, Allsopp MY. Cerebral palsy: classification and
epidemiology. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2009;20:425–452.
15. Handryastuti S. Deteksi dini palsi serebral pada bayi risiko tinggi: peran
berbagai variable klinis dan usg kepala [disertasi]. Jakarta: Universitas
Indonesia; 2013.
Everything you should know about motor and movement problems in children
65
Comprehensive management of
cerebral palsy: an overview
Fadhilah Tia Nur
Tujuan:
1. Mengenali sedini mungkin kelainan yang menyertai palsi serebral
2. Mengetahui algoritma tata laksana palsi serebral
3. Mengetahui tujuan terapi palsi serebral
4. Menjelaskan prognosis palsi serebral
Gangguan nutrisi
Tidak optimalnya pertumbuhan dan status gizi anak PS telah dilaporkan
pada beberapa penelitian. Pada suatu penelitian yang mengukur
berat badan, tinggi badan, dan indeks massa tubuh pada 24.920 anak
dan remaja PS berusia dua sampai 20 tahun, sebagian besar anak PS
dengan gangguan motorik sedang sampai berat dilaporkan mengalami
gangguan pertumbuhan. Faktor selain nutrisi juga memegang peranan
penting pada pertumbuhan anak PS; anak dengan PS tipe hemiplegia
lebih banyak yang terganggu pertumbuhannya dibandingkan anak PS
tanpa hemiplegia.6,9 Prevalensi kesulitan makan pada anak PS bervariasi
antara 30% sampai 90%.10,11 Anak berkebutuhan khusus, termasuk PS,
berisiko mengalami kekurangan asupan oral akibat kelainan oromotor,
gangguan fase faringeal terkait aspirasi, dan kesulitan komunikasi yang
mengurangi kemampuan untuk meminta makan dan minum.12 Beberapa
gangguan lain seperti disabilitas intelektual, gangguan penglihatan dan
pendengaran, serta kejang juga berpengaruh pada derajat kesulitan
makan pada anak PS.13
Gangguan pendengaran
Lebih kurang 12% anak PS mengalami gangguan pendengaran. Angka
kejadian gangguan pendengaran lebih tinggi apabila etiologi PS
berkaitan dengan berat lahir rendah, kernikterus, meningitis neonatal,
atau ensefalopati hipoksik-iskemik. Gangguan pendengaran umumnya
berupa kelainan neurogenik pada persepsi nada tinggi, sehingga
anak menjadi sulit menangkap kata-kata. Selain itu, anak PS rentan
mengalami infeksi telinga kronik berulang yang akan mengganggu
pendengarannya. Gangguan pendengaran akhirnya juga berdampak
negatif terhadap perkembangan bahasa. Anak PS dengan disabilitas
intelektual dan pemeriksaan radiologis abnormal berisiko tinggi untuk
mengalami gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran sering
lambat terdiagnosis; penelitian oleh Centers for Disease Control (CDC)
Amerika Serikat menunjukkan lebih dari setengah anak yang memiliki
gangguan pendengaran berat baru terdiagnosis saat anak berusia hampir
3 tahun.3,7,14
Gangguan penglihatan
Hampir 20% anak dengan PS juga mengalami gangguan penglihatan.
Gangguan penglihatan dapat berupa strabismus, ambliopia,
nistagmus, buta kortikal, dan kelainan visus. Anak-anak PS dengan
leukomalasia periventrikular juga cenderung memiliki masalah
persepsi visual. Skrining penglihatan perlu dilakukan pada anak PS
sehingga kelainan tersebut dapat terdeteksi sejak dini.3,7,15
Everything you should know about motor and movement problems in children
67
Fadhilah Tia Nur
Gangguan kognitif
Sekitar 25% anak PS akan mengalami kesulitan belajar ataupun disabilitas
intelektual. Makin berat kerusakan otak, makin berat pula gangguan
kognitif. Sekitar 50% anak dengan PS spastik kuadriplegia memiliki
kemungkinan mengalami disabilitas intelektual.3,7,16,17
Epilepsi
Prevalensi epilepsi pada PS berkisar antara 15% sampai 60% dan bervariasi
menurut tipe PS.3,18,19 Epilepsi lebih sering terjadi pada PS tipe spastik
kuadriplegia dan PS yang disertai disabilitas intelektual. Dibandingkan
dengan kelompok kontrol, anak PS memiliki risiko lebih besar untuk
terkena epilepsi pada tahun pertama, mengalami status epileptikus,
serta memerlukan politerapi obat anti epilepsi.18,19
Evaluasi diagnostik
Evaluasi diagnostik pada anak dengan PS ditujukan untuk menegakkan
diagnosis PS, mencari etiologi PS, dan menyingkirkan kelainan yang dapat
menyebabkan gambaran mirip PS, terutama kelainan metabolik dan
degeneratif. American Academy of Neurology (AAN) telah menerbitkan
rekomendasi evaluasi diagnostik PS yang diawali dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisis-neurologis yang mengarah pada PS dengan adanya
gangguan kontrol motorik yang non-progresif. Perlu dipastikan bahwa
anamnesis dan pemeriksaan fisis pada pasien tidak sesuai dengan
kelainan susunan saraf pusat progresif atau degeneratif. Klasifikasi tipe
PS juga dilakukan pada penilaian awal, demikian juga skrining untuk
kelainan penyerta yang perlu dikenali, meliputi disabilitas intelektual,
gangguan penglihatan dan pendengaran, gangguan bicara dan bahasa,
disfungsi oromotor, dan epilepsi.15 Identifikasi faktor risiko dan prediktor
komorbiditas sedini mungkin akan sangat membantu klinikus dalam
memberikan konseling dan intervensi dalam rangka memperbaiki luaran
anak dengan PS.20
Pemeriksaan laboratorium untuk mencari kelainan metabolik dan
genetik tidak dilakukan secara rutin dan hanya direkomendasikan
apabila pemeriksaan klinis dan pencitraan tidak menunjukkan suatu
abnormalitas stuktural yang spesifik, atau apabila pada anamnesis dan
pemeriksaan klinis didapatkan hal-hal yang atipik. Pencarian etiologi
metabolik atau genetik dipertimbangkan apabila ditemukan malformasi
otak pada anak dengan PS. Pada anak dengan PS tipe hemiplegia perlu
dipertimbangkan pemeriksaan fungsi koagulasi apabila pada pencitraan
didapatkan infark serebri yang tidak jelas penyebabnya.15 Pencitraan
otak pada anak PS direkomendasikan apabila etiologi belum diketahui
dari pemeriksaan sebelumnya, termasuk dari pemeriksaan pencitraan
Everything you should know about motor and movement problems in children
69
Fadhilah Tia Nur
Pendidikan
Anak PS dididik di sekolah luar biasa atau di sekolah inklusi sesuai
kemampuan kognitifnya. Mereka sebaiknya diperlakukan sama seperti
anak lainnya, sehingga mereka tidak merasa terasing di lingkungannya.
Orangtua juga diedukasi agar jangan melindungi anak secara
berlebihan.2-4,21
Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa dapat terindikasi apabila terdapat epilepsi,
spastisitas, atau movement disorder. Obat antiepilepsi diberikan sesuai
dengan tipe dan karakteristik kejang dan sesuai panduan tata laksana
epilepsi pada umumnya. Adanya movement disorder, misalnya distonia,
mioklonus, korea, atau athetosis, dapat menjadi indikasi pemberian
obat antiparkinson, antidopaminergik, obat antiepilepsi tertentu, atau
golongan antidepresan. 2-4
Hal yang sering menjadi masalah bagi dokter spesialis anak adalah
pemberian terapi medikamentosa untuk meringankan spastisitas.
Spastisitas merupakan salah satu komponen yang menonjol dari
Prognosis
Prognosis pada PS berhubungan dengan jenis dan tipe PS, fungsi
motorik, adanya refleks patologis yang menetap, dan komorbiditas
yang menyertai. Prognosis PS dapat diprediksi atas dasar klasifikasi
Keterangan:
GMFM = gross motor functioning measure
Level I: mampu berjalan tanpa keterbatasan
Level II: mampu berjalan dengan keterbatasan
Level III: mampu berjalan dengan alat bantu mobilisasi digerakkan tangan
Level IV: mobilisasi mandiri dengan keterbatasan, mungkin dengan alat bantu bertenaga listrik
Level V: ditransport menggunakan kursi roda manual
*) Skor GMFM pada GMFCS level III, IV, dan V akan mencapai puncak pada usia yang ditandai garis putus-putus,
kemudian menurun
Everything you should know about motor and movement problems in children
71
Fadhilah Tia Nur
Simpulan
Palsi serebral merupakan gangguan neurodevelopmental yang dimulai
saat awal perkembangan bayi yang bersifat non-progesif dengan
manifestasi klinis berupa gangguan perkembangan motorik dan
postural. Terapi yang diberikan bertujuan untuk memaksimalkan potensi
fungsional anak, sedangkan defisit neurologis tidak dapat diubah. Tata
laksana pada pasien PS bersifat individu tergantung pada manifestasi
klinis yang ada dan membutuhkan pendekatan multidisiplin. Tata
laksana anak PS sangat memerlukan dukungan orangtua, sehingga
orangtua juga perlu mendapatkan informasi dan edukasi yang lengkap.
Daftar pustaka
1. Morris C. Definition and classification of cerebral palsy: a historical
perspective. Dev Med Child Neurol. 2007;49:3–7.
2. Bax MC, Flodmark O, Tydeman C. Definition and classification of cerebral
palsy: from syndrome toward disease. Dev Med Child Neurol. 2007;49:39–41.
3. Swaiman KF, Wu Y. Cerebral palsy. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero
DM, penyunting. Pediatric neurology principles & practice. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. h. 491-504.
4. Brunstrom JE, Tilton AH. Cerebral palsy. Dalam: Maria BL, penyunting.
Current management in child neurology. Edisi ke-4. Shelton: BC Decker;
2009. h. 307-12.
5. Tizard JPM. Cerebral palsies: treatment and prevention. The Croonian
Lecture. J Coll Physicians Lond. 1990;14:72-7.
6. Bell KL, Boyd RN, Tweedy SM, Weir KA, Stevenson RD, Davies PS. A
prospective longitudinal study of growth, nutrition and sedentary behaviour
in young children with cerebral palsy. BMC Public Health. 2010;10:179-83.
7. Menkes JH, Sarnat HB. Perinatal asphyxia and trauma. Dalam: Menkes JH,
Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology. Edisi ke-7. Philadelphia:
Lippincot Williams & Wilkins; 2006. h. 367-431.
Everything you should know about motor and movement problems in children
73
Can physiotherapy cure
cerebral palsy ?
Luh Karunia Wahyuni
Tujuan
1. Mengetahui masalah-masalah yang menjadi sasaran terapi fisik
2. pada palsi serebral
3. Mengetahui tujuan fisioterapi pada palsi serebral
4. Mengenal beberapa pendekatan terapi fisik yang dapat dilakukan
5. pada anak dengan palsi serebral
ini akan fokus dibahas secara singkat agar sejawat dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas.
Everything you should know about motor and movement problems in children
75
Luh Karunia Wahyuni
Everything you should know about motor and movement problems in children
77
Luh Karunia Wahyuni
Daftar pustaka
1. Stammer M. Posture and movement of the child with cerebral palsy. USA:
Therapy Skills Builders; 2000. h. 9-20
2. Beaman J, Kalisperis FR, Miller S. The infant and child with cerebral palsy.
Dalam: Tecklin JS, penyunting. Pediatric Physical Therapy. Edisi ke-5.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2015. h.187-246.
3. Coker-Bolt PC, Garcia T, Naber E. Neuromotor cerebral palsy. Dalam: Case-
Smith J, O’Brien JC, penyunting. Occupational therapy for children and
adolescents. Edisi ke-7. Missouri: Elsevier; 2015. h. 799-808.
4. Scrutton B, Damiano D, Mayston M. Management of the motor disorders
of children with cerebral palsy. Edisi ke-2. London: Mac Keith Press; 2004.
5. New York State Department Of Health Division Of Family Health Bureau
Of Early Intervention. Report of recommendations for motor disorder
assessment and intervention for young children (age 0-3 years). New York:
2006
6. Bower E. Current techniques in physiotherapy for children with cerebral
palsy. Curr Paediatr. 1999;9:79-83.
Tujuan:
1. Mengetahui manifestasi klinis tersering gangguan saluran cerna pada palsi sereberal
2. Mengetahui mekanisme yang mendasari gangguan saluran cerna pada palsi sereberal
3. Memahami tata laksana masalah saluran cerna pada anak dengan palsi sereberal
Disfagia
Disfungsi oromotor sering dijumpai dan merupakan salah satu tanda
awal gangguan neuromuskular. Masalah menelan merupakan masalah
yang tersering dijumpai (90%) pada anak dengan gangguan neurologik,
dan hal ini merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap
terjadinya malnutrisi pada anak dengan PS.9 Perkembangan kemampuan
oromotor merupakan cerminan maturasi neurologik secara umum dan
memerlukan koordinasi gerakan beberapa otot rangka rongga mulut,
faring, dan esofagus dengan keterlibatan saraf kranial VI dan batang
otak serta korteks serebri.5
Everything you should know about motor and movement problems in children
79
Pramita G Dwipoerwantoro
Disfungsi esofagus
Penyakit refluks gastroesofageal (PRGE) sering dijumpai pada anak
dengan gangguan neurologis. Angka kejadiannya bervariasi antara
70% hingga 90%, bergantung pada penegakan diagnosis menggunakan
uji pH esofagus atau endoskopi saluran cerna atas (esofagogastro-
duodenoskopi, EGD). 10,12 Posisi terlentang dalam jangka lama,
peningkatan tekanan intra-abdomen akibat spastisitas dan skoliosis, dan
adanya komorbiditas hernia hiatal merupakan kontributor meningkatnya
frekuensi refluks gastroesofagus (RGE). Disfungsi susunan saraf pusat
(SSP) merupakan penyebab utama dismotilitas menyeluruh saluran
cerna atas, bahkan sampai keseluruhan usus halus.5 Pada kondisi
tersebut katup esofagus bawah akan mengalami penurunan tekanan
saat fase istirahat dan peningkatan frekuensi relaksasi transien. Keadaan
ini, ditambah dengan motilitas yang abnormal, akan menyebabkan
inkoordinasi neuromuskular.
Beberapa penelitian menunjukkan tingginya insidens RGE berupa
laporan mengenai gejala muntah, ruminasi, dan regurgitasi sebesar 20%
sampai 30% pada anak dengan PS. Angka kejadian anemia defisiensi
besi dan hematemesis terkait RGE dilaporkan sebesar 10% sampai
20%.13 Uji pH-metri patologis dijumpai pada 48% kasus, dengan hasil
endoskopi menunjukkan esofagitis refluks pada 96% kasus; terdiri atas
14% esofagitis derajat 1, 33% derajat 2, 39% derajat 3, dan 13% derajat 4
menurut klasifikasi Savary-Miller. Kelainan esofagus Barret didapatkan
pada 14% kasus dan striktur peptik didapatkan pada 4% kasus.14
Diagnosis PRGE memerlukan anamnesis yang cermat mengenai
kesehatan secara menyeluruh maupun riwayat diet, pemeriksaan fisis
lengkap, dan observasi proses makan. Penegakan diagnostik paripurna
meliputi uji pH-metri, endoskopi saluran cerna atas (EGD) dan biopsi
jaringan, serta studi barium. Uji pH-metri saluran cerna atas bermanfaat
untuk mengevaluasi jumlah episode refluks patologis maupun
mengevaluasi hubungan waktu dengan gejala klinis yang kompleks.
Pemeriksaan EGD, biopsi jaringan dan studi barium bermanfaat melihat
kelainan mukosa serta mencari adanya striktur, divertikel, maupun
hernia hiatal. Studi radionuklir berupa skintigrafi gastroesofagus
bermanfaat dalam evaluasi fungsi pengosongan lambung terkait RGE.
Pemeriksaan manometri esofagus, dilakukan sebelum tindakan operasi
fundoplikasi, dapat digunakan untuk mengevaluasi motilitas viseral.15,16
Tata laksana awal setelah diagnosis PRGE ditegakkan adalah
pemberian antirefluks, yaitu golongan PPI sebagai lini pertama, dan
biasanya memerlukan pemantauan oleh konsultan gastroenterologi
untuk pemberian jangka lama. Pemberian PPI jangka lama dilaporkan
cukup aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Penggunaan H2-blocker
dan prokinetik dapat bermanfaat pada beberapa kasus. Fundoplikasi
Nissen merupakan teknik bedah yang tersering digunakan bila
terdapat indikasi, dan bermanfaat memperkuat barier antirefluks serta
memperbaiki keluhan.5
Konstipasi
Keluhan buang air besar yang jarang (frekuensi kurang dari normal)
dan tinja keras merupakan keluhan yang umum dijumpai pada anak PS,
walaupun seringkali merupakan kondisi yang tidak terdiagnosis dengan
baik. Prevalensi konstipasi kronik pada anak dengan PS bervariasi antara
25% sampai 75%.10 Konstipasi kronik terjadi akibat pemanjangan waktu
transit di kolon (terutama kolon kiri dan rektum), sekunder akibat
dismotilitas saluran cerna atas. Hal ini menjelaskan mengapa pemberian
prokinetik sering gagal mengatasi masalah konstipasi kronik pada anak
dengan PS. Hal lain yang berkontribusi terhadap kondisi konstipasi
kronik pada anak PS adalah diet yang kurang serat dan cairan serta
keterlambatan diagnosis.
Simpulan
Anak dengan PS dapat mengalami disfungsi saluran cerna yang
signifikan, bermanifestasi sebagai gangguan fungsi oromotor, ruminasi,
Everything you should know about motor and movement problems in children
81
Pramita G Dwipoerwantoro
Daftar Pustaka
1. Reilly S, Skuse D, Poblete X. Prevalence of feeding problems and oral motor
dysfunction in children with cerebral palsy: a community survey. J Pediatr.
1996;129:877-82.
2. Sondheimer JM, Morris BA. Gastroesophageal reflux among severely retarded
children. J Pediatr. 1979;94:710-4.
3. Staiano A, Del Giudice E. Colonic transit and anorectal manometry in children
with severe brain damage. Pediatrics. 1994;94:169-73.
4. Ravelli AM, Milla PJ. Vomiting and gastroesophageal motor activity
in children with disorders of the central nervous system. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1998;26:56-63.
5. Quitadamo P, Thapar N, Staiano A, Borrelli O. Gastrointestinal and
nutritional problems in neurologically impaired children. European J
Paediatr Neurol. 2016;20:810-5.
6. Kuban KC, Leviton A. Cerebral palsy. N Engl J Med. 1994;330:188–95.
7. Staiano A, Cucchiara S, Del Giudice E, Andreotti MR, Minella R. Disorders of
oesophageal motility in children with psychomotor retardation and gastro-
oesophageal reflux. Eur J Pediatr. 1991;150: 638-41.
8. Martinelli M, Staiano A. Motility problems in the intelectually challenged
child, adolescent, and young adult. Gastroenterol Clin N Am. 2011;40:765-75.
9. Reilly S, Skuse D, Poblete X. Prevalence of feeding problems and oral motor
dysfunction in children with cerebral palsy: a community survey. J Pediatr.
1996;129:877-82.
10. Del Giudice E, Staiano A, Capano G, Romanpo A, Florimonte L, Miele E, dkk.
Gastrointestinal manifestations in children with cerebral palsy. Brain Dev.
1999;21:307-11.
11. Campanozzi A, Capano G, Miele E, Romano A, Scuccimarra G, Del Giudice E,
dkk. Impact of malnutrition on gastrointestinal disorders and gross motor
abilities in children with cerebral palsy. Brain Dev. 2007;29:25-9.
12. Wesley JR, Coran AG, Sarahan TM, Klein MD, White SJ. The need for
evaluation of gastro-esophageal reflux in brain-damaged children referred
for feeding gastrostomy. J Pediatr Surg. 1981;16:866-71.
13. Ravelli AM, Milla PJ. Vomiting and gastroesophageal motor activity
in children with disorders of the central nervous system. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1998;26:56-63.
14. Bohmer CJ, Niezen-de Boer MC, Klinkenberg-Knol EC, Tuynman HA, Voskuil
JH, Devillé WL,dkk. Gastro-esophageal reflux disease in institutionalised
intellectually disabled individuals. Neth J Med. 1997;51:134-9.
15. Fonkalsrud EW, Foglia RP, Ament ME, Berquist W, Vargas J. Operative
treatment for the gastroesophageal reflux syndrome in children. J Pediatr
Surg. 1989;24:525-9.
Everything you should know about motor and movement problems in children
83
Masalah dan tata laksana nutrisi
pada palsi serebral
Titis Prawitasari
Tujuan:
1. Memahami masalah nutrisi pada anak dengan palsi serebral
2. Memahami tata laksana nutrisi komprehensif pada anak dengan palsi serebral
dengan anak seusianya pada populasi.3 Hal ini terjadi akibat kurangnya
keterampilan makan pada anak PS. Kurangnya koordinasi antara
tangan dan mulut menyebabkan banyak makanan yang tumpah serta
perlunya waktu yang lama untuk menghabiskan makanan dengan
kalori yang cukup, sehingga jumlah dan target kalori yang diinginkan
tidak tercapai.3 Anak dengan PS derajat berat sangat bergantung pada
orangtua atau pengasuh dalam proses pemberian makan; mereka juga
tidak dapat mengkomunikasikan rasa kenyang-lapar sehingga sering
terjadi kesalahan interpretasi oleh orangtua atau pengasuh mengenai
kecukupan asupan. Dismotilitas, hipotonia, serta kondisi non-ambulatory
sangat berperan terhadap terjadinya konstipasi yang juga memengaruhi
asupan pada anak PS.1,3
Peningkatan pengeluaran
Refluks gastroesofagus merupakan kondisi yang sering terjadi pada
anak dengan PS. Adanya regurgitasi dan muntah sering menyebabkan
keseimbangan cairan dan kalori yang negatif. Kondisi esofagitis refluks
sering menyebabkan abdominal discomfort yang berakibat terjadinya
food refusal sehingga makin memperberat kurangnya jumlah asupan
kalori.3
Perubahan metabolisme
Secara umum, anak dengan PS mempunyai resting energy expenditure
(REE) yang lebih rendah dibandingkan anak dengan usia maupun berat
badan yang sama. Jumlah kalori yang sesuai dengan REE cukup untuk PS
tipe hipotonia serta non-ambulatory. Sebaliknya, PS dengan peningkatan
tonus otot dan atetosis memerlukan kalori yang lebih banyak. Bahkan
pada PS ringan hingga sedang yang dapat beraktivitas (ambulatory)
dibutuhkan jumlah kalori yang lebih banyak dibandingkan dibandingkan
pada populasi seusianya.3
Disfungsi oromotor
Sebanyak hampir 90% anak PS mengalami disfungsi oromotor.1,3 Refleks
hisap yang tidak baik, refleks ekstrusi yang menetap, ketidakmampuan
untuk menutup mulut dan mengunyah, merupakan permasalahan
yang sering terjadi. Adanya riwayat kesulitan mengisap dalam proses
menyusu air susu ibu (ASI), riwayat batuk dan tersedak sewaktu makan,
dan sulitnya transisi dari periode cair menuju padat merupakan keadaan
yang sering diakui oleh orangtua, bahkan jauh sebelum diagnosis PS
ditegakkan.1,3,8,12
Everything you should know about motor and movement problems in children
85
Titis Prawitasari
Masalah postural
Adanya skoliosis dan kelainan tulang belakang lainnya sering
menyebabkan terbatasnya kapasitas lambung, memperburuk refluks
gastroesofagus, mengganggu posisi postural yang aman dan fisiologis
untuk makan, serta memengaruhi motilitas usus.3 Adanya skoliosis juga
mengakibatkan pengurangan kapasitas dan volume paru sehingga pada
akhirnya berakibat terjadinya peningkatan energy expenditure.3
Everything you should know about motor and movement problems in children
87
Titis Prawitasari
Tabel 1. Panduan estimasi kebutuhan kalori pada anak dengan kelainan neurologis
Rekomendasi kalori3,12
Kalori per sentimeter tinggi badan
13.9 kal/cm pada anak dengan disfungsi motorik, ambulatory, usia 5-12 tahun
11.1 kal/cm pada anak dengan disfungsi motorik, non-ambulatory, usia 5-12 tahun
15 kal/cm pada PS dengan aktivitas ringan-sedang
10 kal/cm pada PS dengan aktivitas yang sangat terbatas
Rumus perhitungan catch up growth menurut usia tinggi
Keterangan:
BB = berat badan, RDA = Recommended Dietary Allowance
Muscle tone factor: 0.9 if decreased, 1.0 if normal, 1.1 if increased
Activity factor: 1.15 if bedridden, 1.2 if dependant, 1.25 if crawling,1.3 if ambulatory
Growth factor: 5 kcal/g of desired weight gain
1. Penentuan rute
Metode yang paling mudah dan tidak invasif untuk meningkatkan
kalori adalah dengan memperbaiki asupan oral.1,3,12 Pengaturan dan
koreksi postur tubuh sewaktu proses makan sangat penting untuk
dilakukan.3 Keterampilan oromotor dapat dilatih dan diterapi,
meskipun kemajuannya sangat bergantung pada banyak faktor.1,3,5
Asupan per oral harus selalu dipertahankan sepanjang diketahui
tidak terdapat risiko terjadinya aspirasi, anak tumbuh dengan baik
serta waktu pemberian makan yang tidak lama (±30 menit).3 Apabila
ketiga hal tersebut tidak dapat terpenuhi, maka pemberian nutrisi
enteral harus segera dilakukan.3 Pemberian via pipa nasogastrik
merupakan pilihan yang paling sering digunakan karena tidak terlalu
invasif dan mudah.3,12 Pemilihan pipa nasogastrik terutama bertujuan
untuk meningkatkan toleransi serta efikasi, karena sesungguhnya
penggunaannya hanya untuk jangka pendek saja (tidak lebih dari
3 bulan).3,12 Pasien PS yang memerlukan dukungan nutrisi enteral
yang lama, sebaiknya dilakukan tindakan gastrostomi. Gastrostomi
dapat dilakukan melalui tindakan pembedahan, laparaskopi maupun
percutaneous endoscopic gastrostomy.1,3,12 Pada kasus tertentu,
utamanya refluks gastroesofagus atau dismotilitas lambung,
diperlukan pemberian makanan via jejunum. Jika hanya diperlukan
untuk jangka pendek, untuk keperluan ini dapat digunakan pipa
nasojejunal, sedangkan pada penggunaan lama akses gastrojejunal
bahkan jejunostomi lebih dianjurkan.3,12
2. Pemilihan formula
Pemilihan formula dilakukan berdasarkan rute yang dapat digunakan
oleh anak, target kalori yang dituju, aktivitas dan kondisi anak
(penyakit penyerta lainnya, alergi), serta toleransi anak.1,3 Pemberian
formula dengan densitas kalori tinggi menjadi pilihan bagi anak
dengan toleransi volume terbatas.12 Tersedia densitas kalori tinggi
(1-1,5 kalori/ml) untuk anak di atas 1 tahun dan densitas kalori
sampai dengan 1 kalori/ml untuk anak di bawah 1 tahun.3 Cara
pemberian formula yang dianjurkan adalah dengan cara intermiten
atau bolus, yang lebih fisiologis serta menyerupai pola makan
sehari-hari. Pemberian formula secara kontinu dianjurkan pada
kondisi anak dengan toleransi yang buruk serta pada penggunaan
via pipa gastrojejunal.3,12 Tata laksana nutrisi seringkali memerlukan
modifikasi makanan dalam upaya mencapai target akan kebutuhan
makro dan mikronutren.8,12 Peningkatan konsistensi dan densitas
kalori dapat dilakukan sesuai kondisi anak dan dapat menggunakan
berbagai bahan yang mudah dan murah yang mungkin tersedia di
rumah. Beberapa contoh caloric enhancers dan natural thickeners
yang dapat digunakan tertera pada Tabel 2.12 Penentuan tekstur
dan konsistensi makanan yang dapat dikonsumsi anak dengan PS
sebaiknya telah melewati pemeriksaan swallowing study terlebih
dahulu, dapat berupa fiber-optic endoscopic evaluation of swallowing
(FEES) maupun dengan videofluoroscopic swallowing study (modified
barium swallow).3,12
Everything you should know about motor and movement problems in children
89
Titis Prawitasari
Tabel 2. Berbagai bahan yang dapat digunakan sebagai calorie enhancers dan natural
thickeners12
Bahan
Calorie enhancers Natural thickeners
Mentega 90 kalori/sdm Pureed baby food, buah/sayur 15 kalori/sdt
Margarin 90 kalori/sdm Infant cereal 5-11 kalori/sdt
Minyak 90 kalori/sdm Yogurt 8-16 kalori/sdt
Mayonaise 90 kalori/sdm Puding 20 kalori/sdt
Alpukat 180 kalori/gelas Tahu sutra 10 kalori/sdt
Selai kacang 375 kalori/buah Potato flakes 11 kalori/sdt
Keju 80 kalori/sdt
parmesan 25 kalori/sdt
Keterangan: sdm = sendok makan; sdt = sendok teh
Simpulan
Pemberian nutrisi yang adekuat merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari tata laksana komprehensif PS. Semua anak dengan PS berisiko
mengalami masalah nutrisi, oleh karena itu perlu dilakukan deteksi dini
sejak awal dengan lebih memerhatikan adanya disfungsi oromotor yang
sangat erat hubungannya dengan kejadian malnutrisi. Pemberian asupan
per oral lebih diutamakan pada anak dengan palsi serebral yang tidak
berisiko mengalami aspirasi. Nutrisi enteral harus segera diberikan pada
kasus disfungsi oromotor yang rentan terhadap aspirasi atau kondisi
anak PS yang tidak dapat mencukupi kebutuhannya melalui asupan oral.
Pipa nasogastrik hanya digunakan untuk pemakaian jangka pendek,
sedangkan penggunaan jangka panjang disarankan untuk melakukan
gastrostomi. Pemberian nutrisi enteral secara bolus atau intermiten
lebih fisiologis dibandingkan pemberian kontinu. Modifikasi diet dengan
memperhatikan densitas kalori serta konsistensi yang sesuai dapat
membantu meningkatkan toleransi dan tercapainya target kenaikan
berat badan. Pemantauan dan evaluasi harus dilakukan secara berkala
untuk mencegah terjadinya overweight dan obesitas akibat pemberian
pemberian makan berlebihan dan rendahnya aktivitas pada anak PS.
Daftar pustaka
1. Penagini F, Mameli C, Fabiano V, Brunetti D, Dililo D, Zuccotti GV. Dietary
intakes and nutritional issues in neurologically impaired children. Nutrients.
2015;7:9400-15.
2. Rosenbaum P, Paneth N, Leviton A, Goldstein M, Bax M, Damiano D, dkk.
A report: the definition and classification of CP. Dev Med Child Neurol
Suppl. 2007;109:8-14.
3. Marchand V. Canadian Paediatric Society, Nutrition and Gastroenterology
Committee. Nutrition in neurologically impaired children. Paediatr Child
Health. 2009;14:395-401.
4. Kuperminc MN, Stevenson RD. Growth and nutrition disorders in children
with cerebral palsy. Dev Disabil Res Rev. 2008;14:137-46.
5. Pinto VV, Alves LAC, Mendes FM, Ciamponi AL. The nutritional state of
children and adolescents with cerebral palsy is associated with oral motor
dysfunction and social conditions: a cross sectional study BMC Neurology.
2016;16:55-62.
6. Bell KL, Boyd RN, Tweedy SM, Weir KA, Stevenson RD, Davies PSW. A
prospective, longitudinal study of growth, nutrition and sedentary behavior
in young children with cerebral palsy. BMC Public Health. 2010;10:179-85.
7. Akhter N, Khan AA, Ayyub A. Motor impairment and skeletal mineralization
in children with cerebral palsy. JPMA. 2017;67:200-7.
8. Benfer KA, Weir KA, Bell KL, Ware RS, Davies PSW, Boyd RN. Longitudinal
cohort protocol study of oropharyngeal dysphagia: relationships to gross
motor attainment, growth and nutritional status in preschool children with
cerebral palsy. BMJ Open. 2012;0:e001460-7.
9. Reid SM, Carlini JB, Reddihough DS. Using the Gross Motor Function
Classification System to describe patterns of motor severity in cerebral
palsy. Dev Med Child Neurol. 2011;53:1007-12.
10. Teixeira JS, Gomes MM. Anthropometric evaluation of pediatric patients with
nonprogressive chronic encephalopathy according to differentmethods of
classification. Rev Paul Pediatr. 2014;32:194-9.
11. Haapala H, Peterson MD, Daunter A, Hurvitz EA. Agreement between actual
height and estimated height using segmental limb lengths for individuals
with cerebral palsy. Am J Phys Med Rehabil. 2015;94:539-46.
12. Quinn HP. Cerebral palsy and developmental disabilities. Hendricks KM,
Duggan C, Walker WA. Editors. In: Manual of pediatric nutrition. 3rd ed.
Canada: BC Decker; 2000. p. 332-47.
Everything you should know about motor and movement problems in children
91
Tata laksana operatif
muskuloskeletal untuk
meningkatkan kualitas hidup
anak dengan palsi serebral
Aryadi Kurniawan
Tujuan:
1. Mengetahui komplikasi muskuloskeletal yang dapat terjadi pada palsi serebral
2. Mengetahui strategi untuk meningkatkan kualitas hidup anak dengan palsi serebral
dari segi muskuloskeletal
3. Mengenal intervensi ortopedik yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi
muskuloskeletal pada anak dengan palsi serebral
4. Mengetahui kondisi yang merupakan indikasi dilakukannya tindakan ortopedi
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh orang tua anak dengan
palsi serebral (PS) adalah, ”Dok, apakah anak saya akan bisa berjalan?”
Setelah anak tersebut bisa berjalan dan ternyata pola berjalannya
berbeda dengan lazimnya anak lain, maka pertanyaan selanjutnya adalah,
“Apakah anak saya bisa berjalan normal?”
Anak dengan PS memang memiliki potensi kualitas hidup lebih
rendah dibandingkan anak normal. Kualitas hidupnya dapat menjadi
lebih buruk apabila potensi tersebut tidak terpenuhi. Dampak kualitas
hidup rendah tersebut akan dialami seumur hidup oleh anak dan juga
akan berpengaruh pada kualitas hidup orang tua dan keluarga serta
terhadap sistem perawatan kesehatan dan masyarakat luas. Tujuan
utama dari tata laksana anak dengan PS adalah membesarkan anak
tersebut menjadi seorang dewasa dengan PS yang memiliki kualitas
hidup optimal sehingga dapat membuatnya semandiri mungkin.
Salah satu komponen penting dalam kemandirian tersebut adalah
kemampuan untuk mobilisasi atau berjalan secara independen. Pada
suatu penelitian pada 2295 pasien PS berusia 6 tahun disimpulkan bahwa
prediktor terbesar seorang anak PS dapat berjalan adalah kemampuan
untuk duduk dan berdiri pada usia 2 tahun.1 Tingkat mobilitas seorang
anak dengan PS dapat dinilai menggunakan skala Gross Motor Function
Classification System (GMFCS; Gambar 1).2 Berdasarkan suatu analisis
menggunakan GMFCS pada 657 anak PS, GMFCS dapat digunakan
sebagai alat untuk menentukan prognosis fungsi motorik kasar pada PS.
Anak PS GMFCS I dapat melakukan semua kegiatan sesuai usia mereka
meskipun dengan beberapa kesulitan dalam kecepatan, keseimbangan,
Everything you should know about motor and movement problems in children
93
Aryadi Kurniawan
Gambar 2. Peningkatan GMFM pada semua level GMFCS sampai usia 6-7 tahun. Anak PS GMFCS I dan II
akan memiliki GMFM yang stabil sedangkan anak PS GMFCS III, IV, dan V akan mengalami penurunan GMFM
signifikan saat memasuki usia remaja.
rasa nyeri saat duduk dan mempersulit anak untuk duduk seimbang,
sehingga anak PS nonambulatory (yang pada dasarnya memang sudah
membutuhkan perhatian dan perawatan lebih) akan menjadi lebih sulit
perawatannya. Pada akhirnya anak PS yang mengalami dislokasi panggul
akan menghabiskan sebagian besar waktunya dalam posisi berbaring
untuk menghindari rasa nyeri akibat dislokasi panggul tersebut. Posisi
berbaring yang lama dapat menyebabkan pneumonia ortostatik akibat
aspirasi air liurnya. Tapin7 melaporkan 66% kematian pada anak PS
nonambulatory adalah akibat infeksi sistem pernafasan, sedangkan
Himmelman8 melaporkan 53% kematian pada anak PS adalah akibat
kegagalan respiratorik.
Intervensi operatif ortopedik dapat mencegah atau memperbaiki
deformitas muskuloskeletal yang terjadi pada PS.9-13 Intervensi tersebut
dapat berbentuk soft tissue procedure berupa pemanjangan otot,
pemanjangan muskulotendinosa, atau transfer otot, dan dapat pula
berbentuk bony procedure berupa artrodesis, rekonstruksi osteotomi,
dan prosedur stabilisasi sendi. Sudah menjadi standar universal bahwa
penanganan deformitas PS dengan intervensi operatif dilakukan secara
bersamaan untuk semua deformitas sendi. Hal ini dilakukan untuk
menghindari “birthday syndrome,” yaitu anak PS yang selalu merayakan
ulang tahunnya di rumah sakit karena setiap tahun menjalani operasi,
atau “diving syndrome” yang terjadi karena prosedur operatif bertahap
menyebabkan pola berjalan anak PS mengikuti pola seseorang bersiap-
siap menyelam (Gambar 3).
Patologi muskuloskeletal dasar pada PS adalah tonus otot abnormal
(sebagian besar berupa spastisitas) serta hilangnya kendali atas otot
tertentu yang dibutuhkan untuk suatu gerakan spesifik dan gangguan
keseimbangan. Pertumbuhan otot normal terjadi sebagai respons
Gambar 3. “Birthday syndrome” atau “diving syndrome” akibat melakukan intervensi operatif
muskuloskeletal bertahap pada PS14
Everything you should know about motor and movement problems in children
95
Aryadi Kurniawan
Gambar 4. Patofisiologi muskuloskeletal pada PS. Perubahan tonus otot (spastisitas) menyebabkan
pemendekan otot diikuti kontraktur otot dan akhirnya terjadi deformitas tulang dan sendi15
Menurunkan hipertonia
Penurunan hipertonia dapat dilakukan melalui prosedur pada susunan
Mengatasi kontraktur
Ketika sudah terjadi kontraktur maka tindakan bedah adalah satu-
satunya cara untuk mengatasi kontraktur tersebut. Salah satu cara untuk
mengidentifikasi adanya kontraktur adalah dengan menggunakan skala
Tardieu. Kontraktur diatasi dengan memanjangkan tendon, memotong
kapsul sendi yang contracted. Setelah dilakukan soft tissue procedure,
kembali dilakukan peregangan, fisioterapi dan pemasanagan ortosis
untuk mempertahankan gain yang sudah didapat.
Everything you should know about motor and movement problems in children
97
Aryadi Kurniawan
posisi duduk. Bagi mereka, duduk adalah postur dasar dan esensial
untuk fungsi sehari-hari dan kesehatan. Posisi duduk yang seimbang
memudahkan penglihatan, mobilitas dengan kursi roda, asupan
makanan, dan meminimalisasi refluks gaster dan aspirasi. Dislokasi
panggul akan membuat perawatan anak PS nonambulatory yang memang
tidak mudah menjadi lebih sulit. Dislokasi panggul juga berhubungan
dengan peningkatan mortalitas pada anak PS nonambulatory karena
masalah pernapasan.
Sebuah penelitian oleh Elkamil 18 melaporkan mengenai hip
surveillance yang membandingkan insidens dislokasi panggul pada PS di
dua negara maju, yaitu Norwegia dan Swedia. Penelitian dilakukan pada
119 anak Norwegia dan 136 anak Swedia dengan PS GMFCS III sampai
V yang lahir antara tahun 1996 sampai 2003. Norwegia memberikan
pelayanan kesehatan tanpa hip surveillance pada pasien PS, sedangkan
Swedia melakukan hip surveillance sejak 1994. Insidens dislokasi
panggul di Norwegia adalah 15%, sedangkan di Swedia 0,7% (p<0.001).
Di Swedia, operasi panggul dilakukan pada 32% subyek, sedangkan di
Norwegia 44,5% memerlukannya. Walaupun jumlah operasi panggul pada
anak Swedia cukup banyak, namun ternyata operasi panggul tersebut
dilakukan pada usia yang secara signifikan lebih muda. Rerata usia
subyek Swedia saat dilakukan operasi panggul 5,7 tahun, sedangkan
di Norwegia rerata usia tersebut adalah 7,6 tahun (p=0.001). Operasi
panggul di Swedia juga lebih banyak bersifat preventif dibandingkan
operasi di Norwegia yang lebih banyak bersifat rekonstruksi.18
Di Australia yang sudah menjadikan hip surveillance sebagai
program nasional, dilakukan skrining dengan pemeriksaan fisis dan
foto Röntgen pelvis untuk deteksi dini pergeseran sendi panggul pada
anak PS. Dampak kebijakan tersebut adalah prosedur operasi yang
dilakukan menjadi lebih banyak bersifat preventif, terjadi penurunan
jumlah operasi rekonstruksi, dan prosedur salvage surgery sudah tidak
pernah dilakukan lagi.19
Simpulan
Beberapa take home message dari uraian di atas adalah sebagai
berikut:
Daftar pustaka
1. Wu YW, Day SM, Strauss DJ, Shavelle RM. Prognosis for ambulation in
cerebral palsy: A population-based study. Pediatrics. 2004;114:1264-71
2. Palisano RJ, Hanna SE, Rosenbaum PL, Russell DJ, Walter SD, Wood EP, dkk.
Validation of a model of gross motor function for children with cerebral
palsy. Phys Ther. 2000;80:974-85.
3. Rosenbaum PL, Walter SD, Hanna SE, Palisano RJ, Russell DJ, Raina P, dkk.
Prognosis for gross motor function in cerebral palsy: creation of motor
development curves. J Am Med Assoc. 2002;288:1357-63.
4. Hanna SE, Rosenbaum PL, Bartlett DJ, Palisano RJ, Walter SD, Avery L, dkk.
Stability and decline in gross motor function among children and youth with
cerebral palsy aged 2 to 21 years. Dev Med Child Neurol. 2009;51:295-302.
5. Marconi V, Carraro E, Trevisi E, Capelli C, Martinuzzi A, Zamparo P. The
Locomotory Index in diplegic and hemiplegic children: the effects of age and
speed on the energy cost of walking. Eur J Phys Rehabil Med. 2012;48:403-12.
6. Rose J, Gamble JG, Burgos A, Medeiros J, Haskell WL. Energy expenditure
index of walking for normal children and for children with cerebral palsy.
Dev Med Child Neurol. 1990;32:333-40.
7. Tapin AD, Nicolas CB, Lebreton C, Dauvergne F, Gallien P. Analysis of
the medical causes of death in cerebral palsy. Ann Phys Rehabil Med.
2015;57:24-37.
8. Himmelman K, Sundh V. Survival with cerebral palsy over five decades in
Western Sweden. Dev Med Child Neurol. 2015;57:762-7.
9. Thomason P, Rodda J, Sangeux M, Selber P, Graham K. Management of
children with ambulatory cerebral palsy: An evidence-based review. J Pediatr
Orthop. 2012;32:S182-6.
10. Thomason P, Baker R, Dodd K, Taylor N, Selber P, Wolfe R, dkk. Single-event
multilevel surgery in children with spastic diplegia. A pilot randomized
controlled trial. J Bone Joint Surg Am. 2011;93:451-60.
11. Lee SH, Chung CY, Park MS, Choi IH, Cho TJ, Yoo WJ, dkk. Parental
satisfaction after single-event multilevel surgery in ambulatory children
with cerebral palsy. J Pediatr Orthop. 2009;29:398-401.
12. Thomason P, Selber P, Graham K. Single event multilevel surgery in children
with bilateral spastic cerebral palsy: A 5 year prospective cohort study. Gait
Posture. 2013;37: 23-8.
13. Saraph V, Zwick E-B, Zwick G, et al. Multilevel surgery in spastic diplegia:
evaluation by physical examination and gait analysis in 25 children. J Pediatr
Orthop. 2002;22:150-7.
14. Rang M, Silver R, de la Garza J. Cerebral palsy. Dalam: Lovell WW, Winter RB,
penyunting. Pediatric orthopaedics. Edisi ke-2. Philadelphia: JB Lippincott;
1986. h. 345-9
15. Hof AL. Changes in muscles and tendons due to neural motor disorders:
Implications for therapeutic intervention. Neural Plasticity. 2001;8:71-81.
Everything you should know about motor and movement problems in children
99
Aryadi Kurniawan
16. Ziv I, Blackburn N, Rang M, Koreska J. Muscle growth in normal and spastic
mice. Dev Med Child Neurol. 1984;26:94-9.
17. Moreau NG, Teefey S, Damiano DL. In vivo muscle architecture and size of
the rectus femoris and vastus lateralis in children and adolescents with
cerebral palsy. Dev Med Child Neurol. 2009;51:800-6.
18. Elkamil AI, Andersen GL, Hägglund G, Lamvik T, Skranes J, Vik T. Prevalence
of hip dislocation among children with cerebral palsy in regions with and
without a surveillance programme: a cross sectional study in Sweden and
Norway. BMC Musculoskelet Disord. 2011;12:284.
19. Dobson F, Boyd RN, Parrott J, Nattrass GR, Graham K. Hip surveillance in
children with cerebral palsy. Impact on the surgical management of spastic
hip disease. J Bone Joint Surg [Br]. 2002;84-B:720-6.
Tujuan:
1. Mengenal developmental coordination disorder sebagai
2. gangguan neurodevelopmental
3. Mengenali tanda-tanda developmental coordination disorder
4. Mengetahui pemeriksaan klinis sederhana untuk mendeteksi
5. developmental coordination disorder
6. Mengetahui tata laksana developmental coordination disorder
Everything you should know about motor and movement problems in children
101
Amanda Soebadi
Epidemiologi
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi
kelima (DSM-V), prevalensi DCD pada anak berusia lima sampai 11 tahun
diperkirakan antara 5-6%, dengan perbandingan lelaki dan perempuan
antara 2:1 sampai 7:1.1 Di Eropa, dari pelbagai penelitian didapatkan
angka kejadian antara 5% sampai 20%. Perbedaan angka kejadian yang
cukup besar diduga karena belum seragamnya kriteria diagnosis dan
instrumen pemeriksaan yang digunakan.6 Di Cina, prevalensi DCD
dilaporkan sebesar 5,9% pada anak dari keluarga yang memiliki lebih
dari satu anak dan 8,7% pada anak tunggal.7 Pada penelitian di lima
sekolah dasar di Jakarta, angka kejadian DCD pada anak yang dicurigai
berdasarkan wawancara orangtua adalah 28,3%.8
Developmental coordination disorder dapat berdiri sendiri, namun
dapat juga menjadi komorbiditas gangguan neurodevelopmental
lainnya.6 Komorbiditas DCD dijumpai pada 42% anak dengan ADHD
tipe inatensi, 31,3% anak dengan ADHD tipe hiperaktif-impulsif, dan
28,9% anak dengan ADHD tipe campuran.4 Pada anak dengan ASD
angka kejadian komorbiditas DCD dilaporkan sebesar 32%.9 Adanya
komorbiditas DCD memperburuk luaran anak, terutama dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari.5,10,9
usia 15 bulan atau lebih juga ditengarai berhubungan dengan DCD (OR
3,05; IK95% 2,57 sampai 3,60).13
Faktor lain yang berpengaruh terhadap manifestasi DCD antara
lain pola asuh, tinggal di wilayah urban, aktivitas fisis, obesitas, dan
penggunaan piranti elektronik atau screen time. Pada studi di Jakarta,
hanya 36% anak dengan DCD melaporkan aktivitas fisis ≥3 jam per
minggu, dibandingkan dengan 57% anak tanpa DCD. Penelitian yang
sama mendapatkan obesitas dan overweight pada 70% anak dengan DCD
dan hanya pada 41% anak tanpa DCD, sedangkan screen time >2 jam
sehari didapatkan sedikit lebih banyak pada anak dengan DCD (38%)
dibandingkan anak tanpa DCD (31%).8 Namun demikian, hubungan kausal
faktor-faktor tersebut dengan DCD masih perlu diteliti lebih lanjut.
Patogenesis
Patogenesis DCD diduga berhubungan dengan gangguan fungsi ringan
di otak yang dikenal dengan istilah minor neurological dysfunction.15
Gangguan tersebut bukan disebabkan kelainan struktural atau anatomis
otak dan tidak cukup berat untuk menyebabkan kelainan neurologis
yang jelas semacam palsi serebral, namun menyebabkan pola motorik
yang clumsy dan kemampuan motorik kompleks di bawah anak lain
seusianya.15
Anak dengan DCD seringkali menunjukkan gangguan dalam
memproses informasi sensorik, termasuk informasi visual-visuospasial,
taktil (raba-sentuh), vestibular (keseimbangan), dan proprioseptif
(tekanan dan rasa posisi tubuh).16 Dibandingkan dengan anak tipikal,
anak dengan DCD memiliki defisit dalam perencanaan motorik (motor
planning) dan pemecahan masalah motorik (motor problem solving).17
Integrasi sensorik yang kurang baik berkontribusi terhadap kesulitan
anak DCD dalam merencanakan gerakan.16 Semua ini menyebabkan anak
DCD lambat dalam memulai dan melaksanakan suatu gerakan bertujuan,
serta memiliki koordinasi mata-tangan dan presisi gerakan yang kurang
baik dibandingkan anak tipikal.18,19
Berbagai komponen SSP terlibat dalam proses integrasi sensorimotor
hingga perencanaan motorik. Informasi sensoris taktil (dari kulit dan
mukosa) dan proprioseptif (dari otot) dihantarkan melalui medula
spinalis; informasi vestibular diterima oleh organ vestibular dan diproses
di serebelum. Sebagian informasi proprioseptif juga melalui serebelum.
Sistem vestibular dan proprioseptif juga menjadi sumber informasi
dalam pengaturan tonus otot. Informasi taktil dan proprioseptif memberi
informasi bagi perencanaan motorik halus, sedangkan informasi
vestibular lebih terlibat dalam aktivitas motorik kasar.16,20 Seluruh
informasi sensoris ini kemudian menuju talamus untuk dilakukan
integrasi sensorimotor, yakni perpaduan dan penyesuaian antara
informasi sensorik yang masuk dengan informasi motorik yang akan
keluar, juga dengan informasi sensorik yang diperoleh dari proses
Everything you should know about motor and movement problems in children
103
Amanda Soebadi
Gambaran klinis
Gejala klinis DCD umumnya baru dirasakan pada usia sekolah, ketika
anak mulai kesulitan memenuhi tuntutan akademik dan sosial,
terutama dalam perbandingan dengan anak lain seusianya. Keluhan
dapat bersumber dari orangtua berupa kesulitan yang dialami anak
Diagnosis
Diagnosis DCD ditegakkan atas dasar kriteria diagnosis DSM-V (Tabel
1).1 Ada empat komponen yang harus terpenuhi, yakni kurangnya
kemampuan koordinasi motorik untuk usianya, terganggunya aktivitas
sehari-hari, performa akademik, dan aktivitas bermain, awitan pada masa
perkembangan dini, serta tidak didapatkannya disabilitas intelektual,
gangguan penglihatan, atau kondisi neurologis lain yang memengaruhi
Everything you should know about motor and movement problems in children
105
Amanda Soebadi
Diagnosis banding
Diagnosis banding DCD mencakup berbagai kelainan yang dapat
menyebabkan gangguan motorik pada anak (Tabel 2).21 Salah satu
ciri klinis yang membedakan DCD dengan sebagian besar diagnosis
banding tersebut adalah sifat DCD yang nonprogresif, bahkan cenderung
membaik seiring bertambahnya usia. Gangguan koordinasi yang progresif
atau regresi (kemunduran) kemampuan motorik tidak sesuai dengan
DCD dan patut menimbulkan kecurigaan ke arah kelainan neurologis
yang serius. Anak dengan epilepsi yang bermanifestasi sering jatuh atau
menjatuhkan benda (misalnya epilepsi mioklonik-astatik) terkadang
disangka clumsy oleh orangtua. Pada beberapa kasus diperlukan
pemantauan jangka panjang untuk memastikan bahwa defisit motorik
tidak bersifat progresif.22
Skrining
Skrining DCD pada anak usia sekolah dapat dilakukan menggunakan
Developmental Coordination Disorder Questionnaire (DCDQ). Kuesioner
ini terdiri atas 15 pertanyaan dengan jawaban berskala 1 sampai 5, dapat
diisi oleh dokter umum, dan mampu mengidentifikasi anak usia lima
sampai 15 tahun yang dicurigai mengalami DCD, dengan sensitivitas
75% dan spesifisitas 71%.23 Anak yang dicurigai DCD atas dasar hasil
skrining tersebut perlu dirujuk untuk penegakan diagnosis dan tata
laksana lebih lanjut.
Anamnesis
Anamnesis pada anak DCD dan orangtuanya diarahkan untuk
mengetahui adanya kesulitan dalam kegiatan motorik kompleks serta
dampaknya pada kehidupan sehari-hari baik di rumah, di sekolah,
maupun dalam pergaulan sosial. Untuk mengetahui adanya masalah
dalam koordinasi motorik anak, dapat ditanyakan mengenai kemampuan
anak melakukan aktivitas perawatan diri, bermain, dan belajar. Tentunya
kemampuan yang ditanyakan harus sesuai dengan usia anak. Pastikan
juga bahwa anak mendapatkan kesempatan yang cukup untuk dapat
mempelajari keterampilan tersebut (misalnya, anak yang selalu disuapi
tidak memperoleh kesempatan untuk belajar menggunakan sendok
dan garpu, anak dengan screen time berlebihan akan kehilangan
kesempatan bermain secara fisik). Prestasi di sekolah serta partisipasi
dalam kegiatan bermain bersama teman dan kegiatan olahraga perlu
ditanyakan. Tanyakan pula riwayat kelahiran, riwayat perkembangan,
dan riwayat keluhan yang sama pada anggota keluarga. Keluhan lain,
misalnya kesulitan berkonsentrasi, tidak dapat duduk diam, kesulitan
membaca, atau masalah dalam interaksi sosial perlu ditanyakan untuk
mengidentifikasi adanya komorbiditas. Tanyakan apakah sejak awal
anak kesulitan mempelajari keterampilan motorik baru, atau apakah
masalah motorik makin lama makin perburukan (progresif) atau terjadi
kemunduran hal yang sebelumnya sudah dikuasai (regresi). Adanya
progresivitas atau regresi merupakan petunjuk ke arah diagnosis
banding lainnya. Jika didapatkan riwayat keterlambatan pada semua
ranah perkembangan, tidak hanya perkembangan motorik kompleks,
maka diperlukan evaluasi untuk menyingkirkan disabilitas intelektual
sebagai penyebab masalah motorik. Hal-hal yang perlu ditanyakan pada
orangtua anak yang dicurigai DCD dapat dilihat pada Tabel 3.
Everything you should know about motor and movement problems in children
107
Amanda Soebadi
Everything you should know about motor and movement problems in children
109
Amanda Soebadi
Tata laksana
Karena manifestasi klinis DCD bervariasi pada anak yang berbeda, tata
laksananya membutuhkan pendekatan individual sesuai masalah yang
dominan pada anak. Tata laksana DCD ditujukan untuk memperbaiki
kemampuan motorik serta mengatasi komorbiditas bila ada. Terdapat
tiga pendekatan berbeda dalam memberikan intervensi untuk anak
dengan DCD, yaitu pendekatan task-oriented, process-oriented, serta
fisioterapi dan terapi okupasi konvensional.6,31
Pendekatan task-oriented
Pendekatan task-oriented memiliki fokus perbaikan keterampilan dan
aktivitas motorik tertentu yang menyebabkan kesulitan bagi anak. Yang
termasuk dalam pendekatan task-oriented antara lain neuromotor task
training (NTT) dan cognitive orientation to daily occupational performance
(CO-OP). Neuromotor task training didasarkan atas teori motor learning;
metode ini menekankan pentingnya strukturisasi dan penjadwalan
gerak motorik yang merupakan komponen-komponen suatu tugas
tertentu, dan mempertimbangkan bagaimana lingkungan serta tugas
tersebut dapat dimodifikasi untuk mengakomodasi kekurangan anak.31
Intervensi CO-OP menggunakan pendekatan collaborative problem
Everything you should know about motor and movement problems in children
111
Amanda Soebadi
Pendekatan process-oriented
Fokus pendekatan process-oriented adalah memperbaiki komponen-
komponen serta fungsi-fungsi yang mendasari aktivitas motorik.6,31
Pendekatan ini meliputi terapi sensori integrasi dan terapi kinestetik dan
perseptual. Pendekatan ini berupaya memperbaiki proses motorik anak
secara bottom-up dengan memperbaiki proses-proses yang diperlukan
untuk menghasilkan perencanaan motorik yang baik. Hipotesis yang
mendasari adalah bahwa dengan memperbaiki sensori integrasi,
kinesthesia, kekuatan otot, stabilitas core, dan persepsi visual-motor,
maka performa motorik dapat diperbaiki.31 Dibandingkan dua pendekatan
lainnya, pendekatan process-oriented memiliki besar efek terkecil yang
tidak bermakna secara statistika (dw 0,12; IK95% -0,10-0,35).31
Prognosis
Kemampuan motorik anak dengan DCD cenderung mengalami perbaikan
seiring bertambahnya usia. Namun demikian, umumnya individu dengan
DCD akan tetap memiliki defisit motorik hingga dewasa, dengan derajat
yang bervariasi. Anak dengan DCD yang mendapatkan intervensi, tanpa
memandang jenis intervensinya, memiliki luaran fungsi motorik yang
lebih baik dibandingkan yang tidak diintervensi (dw 0,56; p=0,002).31
Gangguan akademik, pekerjaan, dan psikososial yang terjadi bergantung
pada derajat kesulitan motorik. Kurangnya aktivitas fisik dapat
menyebabkan kebugaran yang kurang baik sehingga individu dengan
DCD memiliki risiko kardiovaskular yang lebih tinggi dibandingkan
populasi umum. Prognosis DCD yang merupakan komorbiditas gangguan
neurodevelopmental lain lebih buruk dibandingkan DCD yang berdiri
sendiri.6
Simpulan
Developmental coordination disorder merupakan suatu gangguan
perkembangan motorik yang ditandai kurangnya koordinasi motorik
untuk usia dan menyebabkan gangguan akademik dan psikososial.
Gangguan ini patut dicurigai pada anak yang dikeluhkan sebagai clumsy,
mengalami kesulitan dalam menulis, kegiatan olahraga, atau aktivitas
motorik kompleks sehari-hari. Diagnosis ditegakkan atas dasar kriteria
DSM-V dan dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
neurologis, serta penilaian kemampuan motorik dengan pemeriksaan
baku. Neurological soft signs merupakan pemeriksaan sederhana yang
dapat membantu deteksi DCD di tempat praktik pada anak yang
dicurigai. Walau DCD cenderung perbaikan seiring bertambahnya usia,
intervensi yang tepat tetap diperlukan untuk mencapai luaran optimal
dan meminimalisir risiko dampak psikososial.
Everything you should know about motor and movement problems in children
113
Amanda Soebadi
Daftar pustaka
1. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual
of mental disorders. Edisi ke-5. Washington, DC: American Psychiatric
Publishing; 2013.
2. Kirby A, Sugden DA. Children with developmental coordination disorders.
J R Soc Med. 2007;100:182-6.
3. Vaivre-Douret L. Developmental coordination disorder: State of art. Clin
Neuropsychol. 2014;44:13-23.
4. Sigurdsson E, van Os J, Fombonne E. Are impaired childhood motor skills
a risk factor for adolescent anxiety? Results from the 1958 UK birth cohort
and the National Child Development Study. Am J Psychiatr. 2002;159:1044-6.
5. Lingam R, Golding J, Jongmans MJ, Hunt LP, Ellis M, Emond A. The association
between developmental coordination disorder and other developmental
traits. Pediatrics. 2010;126:e1109-18.
6. Blank R, Smits-Engelsman B, Polatajko H, Wilson P. European Academy for
Childhood Disability (EACD): Recommendations on the definition, diagnosis
and intervention of developmental coordination disorder (long version).
Dev Med Child Neurol. 2012;54:54-93.
7. Hua J, Jin H, Gu G, Liu M, Zhang L, Wu Z. The influence of Chinese one-
child family status on developmental coordination disorder status. Res Rev
Disabil. 2014;35:3089-95.
8. Soebadi A. Peran neurological soft signs dalam diagnosis developmental
coordination disorder pada anak usia sekolah dasar [tesis]. Jakarta:
Universitas Indonesia; 2016.
9. Kopp S, Beckung E, Gillberg C. Developmental coordination disorder and
other motor control problems in girls with autism spectrum disorder and/
or attention-deficit hyperactivity disorder. Res Rev Disabil. 2010;31:350-61.
10. Kadesjö B, Gillberg C. Attention deficits and clumsiness in Swedish 7-year-
old children. Dev Med Child Neurol. 1998;40:796-804.
11. Williams J, Lee KJ, Anderson PJ. Prevalence of motor-skill impairment in
preterm children who do not develop cerebral palsy: a systematic review.
Dev Med Child Neurol. 2009;52:232-7.
12. Edwards J, Berube M, Erlandson K, Haug S, Johnstone H, Meagher M, dkk.
Developmental coordination disorder in school-aged children born very
preterm and/or at very low birth weight: a systematic review. J Dev Behav
Pediatr. 2011;32:678-87.
13. Faebo Larsen R, Hvas Mortensen L, Martinussen T, Nybo Andersen AM.
Determinants of developmental coordination disorder in 7-year-old children:
a study of children in the Danish National Birth Cohort. Dev Med Child
Neurol. 2013;55:1016-22.
14. Seeländer J, Fidler V, Hadders-Algra M. Increase in impaired motor
coordination in 6-year-old German children between 1990 and 2007. Acta
Paediatr. 2013;102:e44-8.
15. Hadders-Algra M, Schoemaker MM, van den Houten J. Developmental
coordination disorder. Edisi ke-5. Dalam: Hadders-Algra M, Maathuis K,
Pangalila RK, Becher JG, de Moor J, penyunting. [Pediatric rehabilitation].
Assen: Van Gorcum; 2015. Buku dalam bahasa Belanda. h. 539-49.
16. Wilson PH, McKenzie BE. Information processing deficits associated with
Everything you should know about motor and movement problems in children
115
Amanda Soebadi