Anda di halaman 1dari 129

IDAI Cabang DKI Jakarta

UKK Neurologi IDAI

Proceeding of

Update in child neurology:


Everything you should know about
motor and movement
problems in children

Jakarta, 21 – 22 Mei 2017


Proceedings of

Update in child neurology:


Everything you should know about
motor and movement
problems in children

IDAI CABANG DKI JAKARTA


UKK NEUROLOGI IDAI
Proceedings of
Update in child neurology: Everything you should know
about motor and movement problems in children

Reviewer:
Setyo Handryastuti
Dwi Putro Widodo
Irawan Mangunatmadja

Penyunting:
Amanda Soebadi

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau
seluruh buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa
seizin penulis dan penerbit

Diterbitkan oleh:
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
bekerjasama dengan UKK Neurologi IDAI
Tahun 2017

ISBN: 978-602-70285-8-6
Kata Sambutan
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia
Cabang DKI Jakarta

Assalamu’alaikum wr. wb.


Teman Sejawat yang kami hormati,
Dokter spesialis anak memiliki peran penting baik dalam segi pelayanan,
pendidikan, dan penelitian terutama di bidang ilmu kesehatan anak.
Pelayanan kesehatan yang baik akan terkait dengan patient safety, oleh
sebab itu setiap dokter anak diharapkan selalu memiliki pengetahuan
dan ilmu terbaru yang dapat digunakan pada pelayanan kepada anak,
baik untuk tindakan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Kegiatan seminar ilmiah kali ini bertemakan masalah neurologi
terutama paparan mengenai pergerakan dan permasalahan pada
perkembangan motor anak, yang ditinjau dari berbagai aspek. Paparan
mengenai palsi serebral akan dibahas secara khusus mulai dari deteksi
pada saat neonatus, bagaimana pencegahannya termasuk aspek etika
bila menghadapi bayi risiko tinggi. Paparan terkini masalah neurologi
ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para
sejawat dalam melakukan pelayanan yang optimal.
Perkembangan ilmu ini akan disampaikan oleh para pakar, baik dari
dokter spesialis anak dengan berbagai disiplin ilmu, dokter spesialis
rehabilitasi medik dan kedokteran fisik, dokter spesialis ortopedi anak,
dan pakar tamu dari negeri sebrang yang akan menyampaikan topik
mengenai motor weakness and pediatric movement disorders in children.
Selain itu acara ilmiah ini dilengkapi pula dengan kegiatan workshop
yang akan membahas penanganan komprehensif kasus palsi serebral
dan masalah perkembangan motor kasar.
Kami percaya setelah mengikuti kegiatan seminar ini, para peserta
akan mendapat tambahan pengetahuan yang dapat diaplikasikan dalam
pelayanan kesehatan anak, dan kegiatan penelitian yang dapat dilakukan
di tempat kerja masing-masing.
Ucapan terima kasih dan apresiasi saya sampaikan kepada ketua
panitia dan seluruh jajaran panitia, para pembicara, dan para mitra yang
telah berkontribusi dalam pelaksanaan kegiatan ini.
Selamat mengikuti kegiatan seminar ini, Semoga Allah SWT
memberikan rahmat kepada kita semua.

Wa’alaikumsalam wr. wb.

Rini Sekartini

Everything you should know about motor and movement problems in children
iii
iv Update in Child Neurology
Kata Sambutan
Ketua Panitia Pelaksanaa

Kepada Yang Terhormat sejawat dokter sekalian,


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua,
Selamat bertemu kembali di acara Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
yang diselenggarakan oleh IDAI Cabang DKI Jakarta bekerjasama
dengan UKK Neurologi IDAI.
Acara ini merupakan agenda rutin UKK Neurologi IDAI dengan tujuan
untuk memperluas wawasan dan menambah ilmu pengetahuan para
sejawat di bidang neurologi anak. Ilmu neurologi anak terus berkembang
sehingga diperlukan penyegaran ilmu secara berkesinambungan.
Topik Update in child neurology : Everything you should know about
motor and movement problems in children kami pilih karena merupakan
kasus yang kerap ditemui dalam praktek sehari-hari, dan belum pernah
diajukan sebagai topik PKB.
Problem motor dan gerak pada anak berbeda-beda sesuai kelompok
usia, berdampak pada domain perkembangan lain dan performa
akademis anak usia sekolah. Problem motor harus ditangani secara
komprehensif, untuk memahaminya diperlukan pengetahuan yang
cukup mengenai mekanisme dan kontrol gerak motorik pada seorang
anak. Gejala yang tampak akan memperlihatkan lesi yang menyebabkan
problem motor tersebut sehingga pemeriksaan penunjang yang dipilih
lebih tepat demikian juga dengan penatalaksanaannya.
Movement Disorders saat ini makin sering dijumpai sehingga kami
mengundang seorang pakar dari Malysia yang berpengalaman dengan
kasus-kasus ini.
Pelatihan juga kami berikan agar para peserta dapat mempraktekan
dan menerapkan topik yang kami berikan pada pasien secara langsung.
Atas nama panitia pelaksana, kami mengucapkan selamat dan terima
kasih kepada semua peserta PKB IDAI Cabang DKI Jakarta dan UKK
Neurologi IDAI.
Semoga ilmu yang diberikan dapat memberikan manfaat. Besar
harapan kami, PKB ini dapat memenuhi kebutuhan sejawat sekalian.

Sampai jumpa di acara PKB UKK Neurologi selanjutnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Setyo Handryastuti

Everything you should know about motor and movement problems in children
v
vi Update in Child Neurology
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas dapat tersusunnya
buku prosiding ini. Terima kasih kami ucapkan pula kepada para
penulis sekaligus pembicara atas kesediannya menyediakan waktu
yang sangat berharga untuk menyumbangkan makalahnya dalam buku
ini, terutama kepada pembicara tamu dari Malaysia yang berkenan
menyumbangkan materi keahliannya.
Susunan materi dalam buku ini disesuaikan dengan materi
simposium dan mencakup pelbagai aspek masalah motorik pada anak,
mulai dari keterlambatan motorik, movement disorder, palsi serebral,
gangguan koordinasi motorik, hingga masalah ortopedi. Para kontributor
buku prosiding ini merupakan ahli di bidangnya, sehingga buku ini
diharapkan dapat menyumbangkan manfaat bagi dokter spesialis
anak, dokter spesialis lain yang terkait, maupun dokter umum yang
berhadapan dengan anak yang mengalami masalah motorik.
Selamat membaca dan menikmati buku ini. Semoga buku ini dapat
menjadi bahan rujukan para pembacanya dalam praktik sehari-hari.

Jakarta, 21 Mei 2017

Penyunting

Everything you should know about motor and movement problems in children
vii
Susunan Panitia

Penasehat Prof. Dr. H. Sofyan Ismael, Sp.A(K)


DR. Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K)

Ketua DR. Dr. Setyo Handryastuti, Sp.A(K)


Wakil Ketua DR. Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K)
Sekretaris Dr. Amanda Soebadi, Sp.A(K)
Siti Sucihati
Bendahara Dr. Retno Widyaningsih, SpA(K)
Hari Sulistyorini

Seksi Ilmiah Prof. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)


Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, SpA(K)
DR. Dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K)
DR. Dr. Dwi Putro Widodo, Sp.A(K), MMed (ClinNeurosci)
Dr. Amanda Soebadi, Sp.A(K)

Seksi Dana Prof. Dr. H. Sofyan Ismael, Sp.A(K)


Prof. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
DR. Dr. Dwi Putro Widodo, Sp.A(K), MMed(ClinNeurosci)
DR. Dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K)

Seksi Perlengkapan / Pameran


Dr. Herbowo A.F. Soetomenggolo, Sp.A(K)
Dr. Roy Amardiyanto, Sp.A
Dr. Harijadi, SpA
Dr. Ahmad Rafli

Seksi Konsumsi
Dr. Ommy Ariansih, Sp.A
Dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A
Dr. Lenny S. Budi, Sp.A
Dr. Nurcahaya Sinaga, Sp.A

Seksi Acara / Sidang


Dr. R. Anna Tjandrajani, Sp.A(K)
Dr. Fatima Safira Alatas, SpA(K), PhD
Dr. Junita Elvira, Sp.A
Dr. Nurul Hidayah, Sp.A

viii Update in Child Neurology


Daftar Penulis

Dr. Amanda Soebadi, Sp.A(K)


IDAI Cabang DKI Jakarta
Divisi Neurologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

Dr. Anidar, Sp.A(K)


IDAI Cabang Nangroe Aceh Darussalam
Divisi Neurologi - Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD Dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh

DR. Dr. Aryadi Kurniawan, SpOT(K)


Departemen Ortopedi dan Traumatologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

DR. Dr. Dwi Putro Widodo, Sp.A(K), MMed(ClinNeurosci)


IDAI Cabang DKI Jakarta
Divisi Neurologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

Dr. Fadhilah Tia Nur, Sp.A(K)


IDAI Cabang Jawa Tengah
Divisi Neurologi - Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret -
RSUD Dr Moewardi
Surakarta

Prof. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)


IDAI Cabang DKI Jakarta
Divisi Neurologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

Everything you should know about motor and movement problems in children
ix
DR. Dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K)
IDAI Cabang DKI Jakarta
Divisi Neurologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

Dr. Luh Karunia Wahyuni, SpKFR(K)


Departemen Rehabilitasi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

DR. Dr. Pramita G. Dwipoerwantoro, Sp.A(K)


IDAI Cabang DKI Jakarta
Divisi Gastrohepatologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

Dr. R.M. Indra, Sp.A(K)


IDAI Cabang Sumatera Selatan
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RS Dr. Mohammad Hoesin
Palembang

DR. Dr. Setyo Handryastuti, Sp.A(K)


IDAI Cabang DKI Jakarta
Divisi Neurologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

Dr. Tajul Arifin bin Tajudin


Pediatric Neurology Unit - Department of Pediatrics
Hospital Sultan Ismail - Ministry of Health
Johor Bahru, Malaysia

Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K)


IDAI Cabang DKI Jakarta
Divisi Nutrisi & Penyakit Metabolik
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

x Update in Child Neurology


Daftar Isi

Kata Sambutan Ketua IDAI Cabang DKI Jakarta.....................................iii

Kata Sambutan Ketua Panitia Pelaksanaa.................................................. v

Kata Pengantar................................................................................................vii

Susunan Panitia............................................................................................ viii

Daftar Penulis................................................................................................... ix

Daftar Isi............................................................................................................ xi

Motor delay: What to do and when to refer.............................................. 1


Setyo Handryastuti

Global developmental delay: Kadang mudah didiagnosis, kadang


sangat sulit.......................................................................................................16
Hardiono D. Pusponegoro

Diagnostic approach to pediatric movement disorders......................25


Tajul Arifin bin Tajudin

Kelumpuhan sistem saraf perifer pada anak ........................................26


Dwi Putro Widodo

Common movement disorders in children..............................................37


Tajul Arifin bin Tajudin

Ethical issues: Penyampaian berita buruk tentang keadaan neonatus


risiko tinggi.....................................................................................................38
Irawan Mangunatmadja

Infants at high risk of cerebral palsy: is prevention possible?..........44


R.M. Indra

Update on the diagnosis and classification of cerebral palsy...........54


Anidar

Comprehensive management of cerebral palsy: an overview...........66


Fadhilah Tia Nur

Everything you should know about motor and movement problems in children
xi
Can physiotherapy cure cerebral palsy ?................................................74
Luh Karunia Wahyuni

Masalah saluran cerna pada anak dengan palsi serebral....................79


Pramita G. Dwipoerwantoro

Masalah dan tata laksana nutrisi pada palsi serebral..........................84


Titis Prawitasari

Tata laksana operatif muskuloskeletal untuk meningkatkan


kualitas hidup anak dengan palsi serebral.............................................92
Aryadi Kurniawan

Developmental coordination disorder: A common but often


unrecognized condition..............................................................................101
Amanda Soebadi

xii Update in Child Neurology


Motor delay: What to do and
when to refer
Setyo Handryastuti

Tujuan
1. Mengetahui mekanisme gerak motorik yang normal
2. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi dan menyebabkan keterlambatan motorik
3. Mengenali red flags keterlambatan motorik dan kapan saatnya merujuk

Seorang anak berusia 10 bulan dengan riwayat lahir prematur pada


usia gestasi 30 minggu, saat ini belum bisa tengkurap. Seorang anak
berusia 18 bulan baru bisa merayap dan tampak hipotonia. Seorang
anak usia 2 tahun belum dapat berdiri lepas dan berjalan lancar tetapi
dapat tengkurap dan duduk pada usia yang normal.
Kasus-kasus di atas kerap ditemukan dalam praktik sehari-hari.
Pencapaian motorik normal seorang anak dapat berbeda-beda, akan
tetapi tetap dalam rentang usia normal. Beberapa anak menunjukkan
variasi perkembangan motorik, misalnya tidak melalui fase merangkak,
atau terdapat bottom shuffling atau ngesot. Masalah motorik juga dapat
berbeda-beda pada tiap kelompok usia.
Terkadang sulit menentukan apakah keterlambatan motorik yang
terjadi bersifat fungsional atau patologis, serta pemeriksaan penunjang
apa yang diperlukan. Jika telah ditemukan kelainan patologis, tata
laksananya dan saat yang tepat untuk merujuk pasien juga merupakan
problem tersendiri. Makalah ini akan membahas hal-hal tersebut di atas
sehingga diharapkan para sejawat dapat memberikan tatalaksana yang
komprehensif.

Mekanisme gerak motorik normal


Hampir semua perilaku manusia melibatkan fungsi motorik. Gerak
motorik bukanlah hal yang sederhana, sebagai contoh bagaimana
mengambil segelas air. Kontrol gerak diperlukan tidak hanya untuk
menggerakkan tangan untuk meraih dan memegang gelas, tetapi juga
menaksir kekuatan yang diperlukan untuk memegang gelas tersebut,
dengan memperhitungkan jumlah air yang ada di gelas serta terbuat
dari apa gelas tersebut. Semua hal tersebut harus dikalkulasi oleh otak
dengan cermat dan melibatkan banyak area di otak.
Primary motor cortex atau korteks motorik primer (KMP) di girus
presentral lobus frontalis adalah area di otak yang memegang peran

Everything you should know about motor and movement problems in children
1
Setyo Handryastuti

Gambar 1. Homunkulus serebri

utama dalam fungsi motorik. Fungsinya adalah menimbulkan impuls


saraf untuk mengeksekusi gerak motorik. Sinyal dari area tersebut
menyeberang garis tengah untuk mengaktivasi otot rangka di sisi yang
berseberangan. Artinya, sisi otak sebelah kiri mengatur gerak ekstremitas
kanan, dan sebaliknya.1 Setiap bagian tubuh kita direpresentasikan di
KMP sesuai somatotopi. Area untuk mengatur kaki bersebelahan secara
berturut-turut dengan tungkai bawah, tubuh, lengan atas dan tangan.
Area otak yang lebih luas diperlukan untuk mengatur gerak tangan dan
jari-jari, dibandingkan area otak untuk mengatur tubuh dan tungkai
bawah. Pembagian somatotopi tersebut disebut sebagai homunkulus
serebri (Gambar 1).1
Area lain di korteks yang mengatur fungsi motor adalah secondary
motor cortex atau korteks motorik sekunder, meliputi korteks parietal
posterior, korteks premotor, dan supplementary motor area atau
area motorik suplemen (AMS). Korteks parietal posterior berfungsi
meneruskan informasi visual ke gerak motorik. Dalam kasus di atas,
korteks parietal posterior memberikan informasi visual bagaimana
lengan harus mengambil gelas tersebut berdasarkan letak gelas.
Informasi dari korteks parietal posterior ke korteks premotor dan area
motorik suplemen. Korteks premotor terletak di sebelah anterior korteks
motor primer. Korteks ini berperan memberikan informasi sensoris ke
gerak motor, serta mengontrol otot-otot proksimal ekstremitas dan
otot-otot tubuh. Pada kasus ini, korteks premotor membantu tubuh
mengorientasikan tubuh sebelum meraih gelas.1
Area motor suplemen terletak di atas, atau medial dari area
premotor di sebelah depan korteks motor primer. Area ini berperan
dalam merencanakan gerak motor dan koordinasi kedua tangan. Area
motor suplemen dan premotor ini mengirim informasi ke korteks motor
primer dan area motor di batang otak (Gambar 2). 1

2 Update in Child Neurology


Motor delay: What to do and when to refer

Gambar 2. Area motor suplemen dan area-area yang berhubungan

Neuron-neuron di KMP, AMS, dan korteks premotor mempunyai


jaras ke traktus kortikospinalis. Jaras ini adalah satu-satunya jaras yang
menghubungkan korteks dan medula spinalis dan terdiri atas jutaan
jaras. Jaras ini turun ke bawah melalui batang otak; di batang otak
sebagian besar jaras tersebut menyilang ke sisi tubuh yang berlawanan.
Setelah menyilang, jaras tersebut berlanjut ke medula spinalis dan
berakhir di segmen sesuai tingkat medula spinalis. Jaras kortikospinal
ini adalah jaras utama yang mengantur gerak volunter pada manusia
(Gambar 3).1,2
Terdapat jaras motorik lain yang berasal dari motor neuron
subkorteks (nuklei). Jaras ini mengatur postur, keseimbangan, gerak
otot-otot proksimal, koordinasi kepala, leher, dan gerak mata untuk
merespons target secara visual. Jaras subkortikal ini dapat memodifikasi
gerak volunter melalui sirkuit interneuron di medula spinalis dan melalui
proyeksi di area korteks motor.1
Medula spinalis terdiri atas massa putih dan kelabu. Massa putih
terdiri atas jaras serabut saraf yang berjalan di sepanjang medula
spinalis. Jaras tersebut berwarna putih karena terbungkus mielin untuk
konduksi yang lebih cepat. Seperti jaras yang lain, jaras kortikospinal
melewati area lateral massa putih medula spinalis. Bagian dalam medula
spinalis mengandung massa kelabu, yang terdiri atas badan sel saraf,
termasuk saraf motorik dan interneuron. Jaras kortikospinal bersinaps
dengan motor neuron dan interneuron di daerah ventral atau anterior
medula spinalis. Jaras motorik dari area gerak lengan dan tangan di
korteks berakhir di motor neuron medula spinalis pada tingkat servikal,
sedangkan untuk gerak tungkai bawah berkahir pada tingkat lumbal.1

Everything you should know about motor and movement problems in children
3
Setyo Handryastuti

Gambar 3. Traktus kortikospinalis

4 Update in Child Neurology


Motor delay: What to do and when to refer

Di kornu anterior, motor neuron terproyeksi ke otot-otot distal yang


berlokasi di lateral neuron-neuron yang mengontrol otot-otot proksimal.
Neuron yang memproyeksikan otot-otot tubuh terletak lebih medial.
Neuron otot-otot ekstensor terletak di tepi massa kelabu, sedangkan
neuron otot-otot fleksor terletak lebih ke tengah. Penting diingat bahwa
motor neuron tunggal di medula spinalis dapat menerima ribuan input
dari area korteks motorik, subkorteks, dan interneuron di medula
spinalis. Interneuron tersebut menerima input dari area yang sama,
memungkinkan untuk mengembangkan suatu sirkut yang kompleks.1
Gambar 3 memperlihatkan sinyal dari dari korteks motorik
primer melalui jaras kortikospinal ke interneuron dan motor neuron
di massa putih medula spinalis kornu anterior. Neuron dari kornu
anterior mengirim sinyal melaui akson keluar dari akar ventral untuk
mempersarafi serabut otot (miofbril). Kornu anterior medula spinalis,
akson, dan miofibril disebut sebagai single motor unit (Gambar 4).1,3

Gambar 4. Motor unit

Everything you should know about motor and movement problems in children
5
Setyo Handryastuti

Setiap motor neuron di medula spinalis adalah bagian dari unit


fungsional yang disebut motor unit. Motor unit terdiri atas motor neuron,
akson, dan serabut otot yang dipersarafinya. Beberapa motor neuron
dapat mempersarafi beberapa serabut otot, tetapi satu serabut otot hanya
dipersarafi oleh satu motor neuron. Ketika motor neuron mencetuskan
impuls listrik, semua serabut otot akan berkontraksi .Ukuran dan jumlah
motor unit dan jumlah serabut otot yang dipersarafi menentukan
kekuatan kontraksi otot.1
Terdapat dua macam motor neuron di medula spinalis, yaitu motor
neuron alfa dan gamma. Motor neuron alfa mempersarafi serabut otot
yang menghasilkan kekuatan otot. Motor neuron gamma mempersarafi
serabut di dalam spindel otot. Spindel otot adalah struktur di dalam
otot yang mengukur panjang dan regangan otot. Spindel otot berperan
dalam pembentukan refleks, misalnya refleks patela. Organ tendon Golgi
adalah reseptor regang, berlokasi di tendon yang terhubung dengan
otot rangka. Organ tersebut memberikan informasi kekuatan kontraksi
otot ke pusat motorik. Informasi dari spindel otot, tendon Golgi, dan
organ sensoris lain dikirim langsung ke serebelum. Serebelum berperan
dalam koordinasi dan penentuan waktu program gerak motorik. Program
motorik disusun di ganglia basal, yang berperan dalam mengorganisasi
gerak yang kompleks. Kerusakan area ini akan menghasikan gerak
spontan, gerak yag tidak adekuat. Ganglia basal juga mengirimkan
sinyal ke subkorteks dan korteks. Melalui interaksi pelbagai area di
otak inilah gerak motor manusia sehari-hari menjadi gerak yang rutin
dan dapat dipelajari.1
Selain mekanisme gerak motorik di atas, faktor-faktor lain yang
berperan dalam gerak dan perkembangan motorik seorang anak adalah
otot dan persendian, terutama sendi lutut dan pergelangan kaki. Faktor
otot yang berperan adalah tonus otot dan massa otot. Tonus otot
adalah kemampuan otot untuk berkontraksi secara parsial dan kontinyu,
atau tahanan otot untuk melawan regangan pasif dan gravitasi. Tonus
otot diperlukan untuk mempertahankan kepala, batang tubuh, dan
ekstremitas bawah ketika melakukan gerakan yang melawan gravitasi,
seperti menegakkan kepala serta mempertahankan tubuh tetap tegak
pada saat duduk dan berdiri. Tonus otot berbeda dengan kekuatan
otot. Kekuatan otot yang tidak normal berkaitan dengan kelemahan
(weakness) atau kelumpuhan (paralisis). Masa otot atau trofi otot
berkaitan dengan kekuatan kontraksi otot yang diperlukan untuk
melakuakn gerak motorik.4 Faktor persendian yang kerap memengaruhi
perkembangan dan gerak motor adalah joint laxity, yaitu fleksibilitas
sendi yang berlebihan sehingga anak sulit mempertahankan posisi yang
stabil pada saat berdiri dan berjalan.

6 Update in Child Neurology


Motor delay: What to do and when to refer

Penyebab keterlambatan motorik


Penyebab keterlambatan motorik dapat ditelusuri dari unsur-unsur yang
berperan dalam mekanisme gerak motorik seorang anak, mulai dari otak,
medula spinalis, saraf tepi, hingga otot dan tulang.

Otak, traktus kortikospinalis, serebelum dan ganglia basal


Pada palsi serebral yang terganggu adalah inisiasi gerak, perencanaan,
eksekusi, serta koordinasi gerak motor disertai gangguan visual yang
menyertai. Manifestasi klinis yang ditemukan bergantung pada lesi
anatomis.5 Gejala klinis akan memperlihatkan imaturitas susunan
saraf pusat (SSP) atau lesi upper motor neuron, dengan refleks primitif
yang menetap, refleks perkembangan yang terlambat atau tidak ada,
peningkatan refleks fisiologis, hipertonia otot, serta refleks patologis
yang positif.
Pada spina bifida, yang terganggu terutama adalah jaras
kortikospinal, sehingga koneksi antara korteks motorik dan motor
neuron di medulla spinalis terganggu.
Pada global developmental delay yang terganggu adalah inisiasi
gerak, perencanaan, eksekusi, serta koordinasi gerak motorik. Manifestasi
klinis yang kerap ditemukan adalah hipotonia otot disertai joint laxity.6

Kornu anterior medula spinalis


Pada atrofi muskular spinal yang terganggu adalah motor neuron di
kornu anterior medula spinalis sehingga tidak terjadi inisiasi gerak motor
yang berasal dari medula spinalis. Secara klinis ditemukan gambaran lesi
lower motor neuron, yang mencakup hipotonia otot, refleks fisiologis
yang negatif, atrofi/hipotrofi otot, serta fasikulasi.7

Saraf tepi
Pada polineuropati kongenital atau herediter, yang terganggu adalah
hantaran saraf dari kornu anterior menuju otot. Secara klinis ditemukan
lesi lower motor neuron.7

Otot
Pada miopati kongenital/herediter, yang terganggu adalah respons
otot terhadap impuls saraf yang dihantarkan dari otak, medulla spinalis
dan saraf tepi. Secara klinis ditemukan lesi lower motor neuron dengan
refleks fisiologis yang menurun atau menghilang.7

Koordinasi motorik
Pada developmental coordination disorder (DCD) terdapat gangguan
dalam memproses informasi sensorik, termasuk informasi visual-
visuospasial, taktil, vestibular dan proprioseptif.8

Everything you should know about motor and movement problems in children
7
Setyo Handryastuti

Masalah ortopedi
Tidak ditemukan defisit neurologi, kemampuan motorik sebelum berdiri
dan berjalan tidak terganggu. Masalah timbul ketika anak mulai belajar
berdiri dan berjalan.9

Tanpa kelainan pada pemeriksaan fisis


Ditemukan pada anak-anak yang miskin stimulasi fisik, misalnya akibat
terlalu sering digendong, diletakan di kursi dorong, ayunan, dan lain-lain.

Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan


motorik
Perkembangan seorang anak telah terprogram dan mengikuti pola
tertentu. Namun demikian, terdapat variasi individu yang bergantung
pada faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri atas
faktor genetik yang menentukan karakteristik fisik dan temperamen
anak, kondisi fisik, dan kesehatan anak termasuk status gizi.10 Faktor
ekstrinsik terdiri atas faktor keluarga, orangtua, saudara kandung,
pola asuh, budaya lingkungan, kondisi sosioekonomi keluarga, dan
stimulasi.10

Pendekatan diagnosis keterlambatan motorik


Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan wawancara rinci mengenai kemampuan
motorik anak: pada usia berapa anak dapat mengangkat kepala,
tengkurap, tengkurap bolak-balik, mengangkat dada, berguling, dan
bagaimana usaha anak untuk bergerak – apakah dengan merayap, ngesot
(bottom shuffling), atau merangkak. Kemampuan duduk anak perlu
ditanyakan; apakah anak masih memerlukan bantuan untuk bangkit
duduk sendiri dari posisi tengkurap atau terlentang, apakah anak dapat
mempertahankan posisi duduk jika didudukkan. Kemampuan untuk
berdiri dan usaha untuk berjalan juga perlu ditanyakan. Tentukan juga
apakah anak terlambat dalam semua tahapan perkembangan motorik,
atau hanya pada kemampuan tertentu, misalnya berdiri dan berjalan.
Tanyakan juga kemampuan motorik halus anak; apakah anak dapat
meraih dan memegang benda, melempar, memindahkan benda dari
tangan kanan ke tangan kiri dan sebaliknya, makan biskuit sendiri,
dan memegang botol susu; apakah anak cenderung memakai tangan
pada salah satu sisi untuk memegang sesuatu (misalnya lebih suka
menggunakan tangan kanan dibandingkan tangan kiri yang relatif tidak
aktif).11
Jika anak sudah besar dan keluhan yang diajukan orangtua adalah
clumsiness, tanyakan bagaimana kemampuan anak dalam melakukan
kegiatan sehari-hari, misalnya makan, menulis, mewarnai, menggambar,

8 Update in Child Neurology


Motor delay: What to do and when to refer

merapihkan buku, lempar-tangkap bola, menari, dan kegiatan lain


yang memerlukan gerak motorik yang terkoordinasi. Tanyakan juga
untuk memastikan apakah gangguan motor yang terjadi merupakan
keterlambatan dan bukan suatu kemunduran atau regresi.11
Setelah itu tanyakan riwayat kehamilan dan perinatal untuk
menentukan apakah anak termasuk bayi risiko tinggi. Riwayat penyakit
dahulu yang dapat menyebabkan keterlambatan, antara lain ensefalitis,
ensefalopati, meningitis, dan perdarahan intracranial, juga penting
untuk diketahui. Riwayat keterlambatan perkembangan motorik dalam
keluarga juga perlu ditanyakan. Pola asuh di rumah sangat penting;
tanyakan apakah anak terlalu sering digendong, diletakkan di kursi, dan
jarang diberi kesempatan untuk bergerak. Saat ini di pasaran banyak
dijual berbagai macam kursi dorong (stroller), kursi makan maupun
kursi untuk bayi yang penggunaannya kerap berlebihan sehingga bayi
jarang diberikan kesempatan untuk bergerak. Pemakaian baby walker
juga kerap menyebabkan anak mengalami keterlambatan, terutama
pada kemampuan duduk dan berdiri. Hal ini terjadi karena anak tidak
mendapat kesempatan untuk belajar duduk sebagai dasar untuk
perkembangan tahap selanjutnya, yaitu berdiri dan berjalan. Pada
anak dengan pemakaian baby walker seringkali ditemukan pola jalan
berjinjit. 11
Tanyakan juga jenis permainan apa yang diberikan pada anak,
apakah sesuai usia, dan bagaimana cara orangtua dan/atau pengasuh
memberikan stimulasi. Demikian juga ditanyakan apakah anak diberikan
kesempatan yang cukup untuk melakukan aktivitas motorik seperti
berlari, memanjat, melompat, bersepeda, dan bermain bola.

Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis terbagi menjadi 3 bagian yang saling berkaitan, yaitu
pemeriksaan fisis umum, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan
penunjang.

a. Pemeriksaan fisis umum


Pada pemeriksaan ini dilihat keadaan umum anak, status gizi,
adakah pucat atau sianosis (yang mengarah ke PJB sianotik). Wajah
diamati untuk melihat dismorfisme yang mengarah kepada sindrom
tertentu, misalnya sindrom Down, sindrom cri-du-chat, hipotiroidisme
kongenital, sindrom Cornelia de Lange, holoprosensefali, dan lain-
lain, yang berisiko mengalami keterlambatan perkembangan.12
Pemeriksaan kepala meliputi lingkar kepala untuk melihat
adakah terdapat mikrosefali/makrosefali, perabaan ubun-ubun besar
(UUB) dan sutura untuk melihat penutupan UUB yang terlalu cepat
atau sutura yang melebar yang mengarah ke atrofi otak. Pemeriksaan
bentuk kepala, adakah tanda-tanda hidrosefalus, sindrom Dandy
Walker (oksiput yang prominen), atau brakisefali (oksiput yang datar)
yang merupakan petunjuk bayi hipotonia. Kulit perlu diperiksa

Everything you should know about motor and movement problems in children
9
Setyo Handryastuti

untuk mencari tanda sindrom neurokutan, misalnya hemangioma


luas (port wine stain) di satu sisi wajah mengikuti distribusi nervus
trigeminus yang merupakan tanda sindrom Sturge Weber, bercak
hipopigmentasi yang dapat menjadi tanda awal tuberosklerosis,
atau bercak hiperpigmentasi (café-au-lait) yang merupakan tanda
neurofibromatosis.12
Pemeriksaan mata dan telinga dilakukan untuk mengetahui
fungsi organ sensorik yang penting dalam perkembangan anak.
Dilihat secara kasar, pada mata dapat dicari adanya katarak, gangguan
visus dengan melihat kemampuan fiksasi cahaya dan fiksasi obyek
sesuai usia, strabismus, atau nistagmus. Kemampuan pendengaran
dapat dinilai dengan melihat reaksi bayi terhadap suara keras,
kemampuan mengikuti sumber suara sesuai usia, dan reaksi ketika
dipanggil namanya serta diajak berbicara.12
Pemeriksaan jantung perlu dilakukan untuk menilai adanya
tanda penyakit jantung bawaan (PJB), terutama PJB sianotik yang
kerap mengakibatkan keterlambatan perkembangan. Pemeriksaan
paru terutama diarahkan untuk melihat adanya bell-shaped
chest pada atrofi muskular spinal. Pada abdomen dicari adanya
hepatosplenomegali yang dapat dijumpai pada infeksi kongenital
atau kelainan metabolik bawaan. Pemeriksaan bentuk ekstremitas
dilakukan untuk mencari adanya kelainan bentuk kaki, misalnya
congenital talipes equinovarus (CTEV) yang disebut juga club foot,
yaitu deformitas bentuk dan posisi kaki kaki yang menekuk ke atas
dan terpuntir ke arah dalam (supinasi-inversi).12

b. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis yang penting adalah pemeriksaan tonus otot,
kekuatan motorik, refleks fisiologis, refleks Babinski, refleks primitif,
refleks postural , klonus, dan cara berjalan (gait).
Tonus otot dapat dinilai pertama kali dari observasi saat bayi
berbaring, adakah frog leg position, yaitu posisi berbaring dengan
keempat ekstremitas menempel pada alas periksa tanpa adanya
gerakan fleksi-ekstensi tungkai melawan gravitasi. Bayi dengan tonus
otot normal akan terlihat aktif bergerak, tampak fleksi-ekstensi
ekstremitas secara aktif melawan gravitasi. Tonus otot anak berusia
kurang dari dua tahun dapat dinilai dengan melakukan pemeriksaan
respons tarikan, suspense vertikal, dan suspense horizontal.
Pemeriksaan respons tarikan dilakukan untuk menilai tonus otot
leher. Dari posisi berbaring, anak ditarik pada kedua tangannya
ke posisi duduk; diperhatikan apakah masih terdapat head lag.
Pada pemeriksaan suspensi vertikal, anak dipegang pada kedua
ketiak dan diangkat dalam posisi tegak; diperhatikan apakah bahu
tetap terangkat, kepala tegak, anak dapat mempertahankan posisi
kepala dan punggung dalam satu garis lurus, dan apakah tungkai
bawah terangkat dalam posisi fleksi. Anak disebut hipotonia jika

10 Update in Child Neurology


Motor delay: What to do and when to refer

kepala dan bahu terkulai, tungkai bawah terkulai lemas seperti


kita memegang boneka kain. Hipertonia dirunjukkan dengan posisi
tungkai bawah yang kaku bahkan dlam posisi menyilang (scissors
sign). Pada pemeriksaan suspensi horizontal, anak dipegang pada
dada dan diangkat dalam posisi horizontal; disebut normal jika
kepala tegak dan ekstremitas terangkat melawan gravitasi. Pada
suspensi horizontal, anak disebut hipotonia jika kepala dan keempat
ekstremitas terkulai lemas membentuk huruf U terbalik dan disebut
hipertonia jika keempat ekstremitas tampak kaku ke bawah.13
Tonus anak di atas 2 tahun diperiksa dengan mengangkat
ekstremitas ke atas kemudian menjatuhkannya; dinilai apakah
terdapat usaha untuk melawan gravitasi. Sendi-sendi ekstremitas dan
sendi panggul digoyangkan dan digerakkan dalam keadaan pasien
tenang, serta dinilai adanya tahanan. Dengan melakukan fleksi,
ekstensi, pronasi, dan supinasi pada sendi-sendi dapat diketahui
adanya spastisitas atau rigiditas, peningkatan atau penurunan tonus
otot. Pergerakan yang terbatas juga dapat disebabkan kontraktur
sendi. Pemeriksaan tonus memerlukan banyak latihan untuk
merasakan apakah tonus otot normal, menurun, atau meningkat.
Saat melakukan pemeriksaan sendi, terutama sendi panggul, lutut,
dan pergelangan kaki, dinilai adanya joint laxity, yaitu fleksibilitas
sendi yang berlebihan, sehingga posisi anak kurang mantap pada
saat berdiri maupun berjalan.14
Kekuatan motorik pada bayi dan balita tidak dapat ditentukan
secara rinci seperti pada anak usia sekolah. Penilaian diperoleh
dengan cara observasi, dilihat apakah keempat ekstremitas bergerak
aktif, adanya asimetri pada gerakan, dan apakah anak lebih banyak
menggunakan satu tangan pada saat meraih dan mengenggam benda
(hand preference). Hand preference yang timbul sebelum usia dua
tahun menunjukkan gejala hemiparesis.
Jika anak sudah dapat berjalan, perhatikan cara berjalan (gait),
apakah satu sisi ekstremitas diseret (pada hemiparesis), apakah
terdapat pola berjalan yang kaku (spastic gait), apakah anak mudah
terjatuh ketika berjalan atau berlari. Saat berjalan dilihat apakah
terdapat kelainan bentuk kaki yang dapat menganggu proses berdiri
dan berjalan, antara lain telapak kaki datar atau flat foot, bentuk kaki
toeing in yaitu telapak kaki yang terpuntir ke arah dalam dengan paha
dan betis yang terpuntir ke arah depan dan dalam. Untuk menilai
keseimbangan pada waktu bermain dilihat juga adanya tremor,
dismetria, badan miring saat duduk, dan gangguan koordinasi. 14
Pemeriksaan refleks fisiologis (triseps, biseps, brakioradialis,
patela, Achilles), refleks patologis Babinski, dan klonus merupakan
pemeriksaan neurologis yang penting untuk menentukan apakah
keterlambatan motorik merupakan hal yang patologis disebabkan oleh
lesi upper motor neuron atau lower motor neuron. Refleks Babinski
disebut abnormal jika masih ditemukan pada usia di atas 18 bulan.

Everything you should know about motor and movement problems in children
11
Setyo Handryastuti

Pemeriksaan refleks primitif dan postural juga dilakukan untuk menilai


apakah refleks-refleks tersebut menetap atau terlambat muncul.13

c. Pemeriksaan perkembangan
Pemeriksaan perkembangan bertujuan mengonfirmasi perkembangan
motorik dari anamnesis. Pemeriksaan evaluasi motorik dapat
dilakukan di meja periksa atau di lantai yang berkarpet. Pada usia
tiga bulan bayi seharusnya sudah bisa mengangkat kepala pada posisi
tengkurap. Pada usia empat bulan, bayi telah dapat tengkurap dan
menahan kepala pada posisi duduk. Bayi dapat mengangkat dada
tinggi ketika tengkurap pada usia lima sampai enak bulan. Pada usia
enam bulan, bayi dapat didudukkan dan mempertahankan posisi
duduk dengan menumpukan tangan ke depan, serta mulai merayap
dan berguling. Anak telah dapat duduk tanpa ditumpu pada usia
delapan sampai sembilan bulan, sedangkan anak dapat duduk sendiri
tanpa dibantu pada usia 10 bulan. Amati bagaimana anak bergerak,
apakah dengan merayap, merangkak, atau ngesot (bottom shuffling).
Merayap pada bayi yang sudah besar merupakan tanda hipotonia
otot batang tubuh, sedangkan ngesot merupakan tanda hipotonia
otot panggul. Pola duduk di lantai dengan lutut dan betis menekuk
ke arah luar seperti huruf W perlu diwaspadai karena menyebabkan
anak sulit untuk berdiri. Perhatikan cara anak menarik badan ke
posisi berdiri dari posisi duduk, apakah masih memerlukan bantuan
atau sudah dapat berdiri tanpa berpegangan. Saat anak berjalan atau
berlari, perhatikan cara berjalan, kemampuan mengatur kecepatan,
apakah anak mudah jatuh, tersandung atau terbelit. Perhatikan
juga apakah anak dapat melompat, naik-turun tangga, dan berjalan
mundur dengan baik.13,14
Penilaian motorik halus dilakukan sesuai usia, dilihat dengan
mengobservasi kemampuan bayi atau anak dalam memanipulasi
benda. Hal yang diobservasi mulai dari kemamapuan meraih,
memegang dengan telapak tangan (palmar grasp), menjimpit (pincer
grasp), melempar, dan membenturkan benda, sampai kemampuan
motorik halus yang lebih kompleks misalnya mencoret, menggambar,
mewarnai, menulis, maupun aktivitas sehari-hari.13,14

d. Pemeriksaan penunjang
Jika jelas terdapat keterlambatan motorik, maka ditentukan apakah
hal tersebut disebabkan lesi upper motor neuron, lower motor neuron,
atau tidak terdapat defisit neurologi. Berikut ini beberapa hal yang
dapat dijadikan panduan:
–– Jika pada pemeriksaan fisis ditemukan kelainan postur, kelainan
tonus (hipertonia atau hipotonia), peningkatan refleks fisiologis,
refleks primitif yang menetap, refleks postural tidak muncul,
terdapat refleks patologis Babinski, maka diagnosis pasien

12 Update in Child Neurology


Motor delay: What to do and when to refer

adalah palsi serebral. Pilihan pemeriksaan penunjang adalah


MRI kepala atau CT scan kepala. Pemeriksaan lain, misalnya
elektroensefalografi (EEG), pemeriksaan penglihatan, dan
pemeriksaan pendengaran dilakukan sesuai indikasi.
–– Jika diagnosis adalah global developmental delay, maka
pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah skrining
penglihatan dan pendengaran, pemeriksaan metabolic dan
skrining hipotiroid bila tidak ada skrining neonatus universal,
dan jika terdapat defisit neurologi dilakukan MRI kepala atau CT
scan. Pemeriksaan sitogenetik, metabolik, maupun EEG dilakukan
jika ada indikasi.
–– Jika ditemukan tanda dan gejala lesi lower motor neuron
berupa hipotonia, penurunan atau hilangnya refleks fisiologis,
tidak ditemukannya refleks patologis, serta adanya fasikulasi
lidah, tremor, dan hipotrofi atau atrofi otot, maka dilakukan
pemeriksaan elektromiografi (EMG) dan analisis DNA untuk
penyakit atrofi muskular spinal.
–– Jika ditemukan tanda dan gejala lesi lower motor neuron, pikirkan
juga kelainan otot atau miopati. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakuakn selain pemeriksaan EMG adalah pemeriksaan
enzim creatine kinase (CK).
–– Jika tidak ditemukan defisit neurologis, maka keterlambatan
motorik dapat disebabkan oleh kurangnya stimulasi. Pada kasus
ini tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.
–– Jika tidak ditemukan defisit neurologis tetapi ditemukan kelainan
bentuk kaki, maka penyebabnya adalah kelainan bentuk kaki
yang tidak memerlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut.
Pada kasus ini mungkin diperlukan konsultasi ortopedi.

Red flags keterlambatan motorik


Dokter harus waspada terhadap red flags perkembangan motorik utnuk
monitoring maupun intervensi. Perkembangan disebut terlambat jika
seorang anak belum mempunyai kemampuan tertentu pada rentang
umur yang diharapkan. Red flags perkembangan motorik kasar dan
halus dapat dilihat pada Tabel 1.

Simpulan
Untuk dapat mengenali keterlambatan motorik kita tidak hanya perlu
memahami tahapan perkembangan motorik yang normal, tetapi juga
memahami mekanisme gerak motorik normal, perkembangan motorik,
serta bagian-bagian yang berperan mulai dari korteks motor di otak,
medulla, spinalis sampai otot dan persendian. Dengan memahami

Everything you should know about motor and movement problems in children
13
Setyo Handryastuti

Tabel 1. Red flags perkembangan motorik pada anak


Usia Red flags
Lahir sampai Berguling sebelum usia 3 bulan (tanda hipertonia)
3 bulan Fisting (refleks genggam) menetap pada usia 3 bulan
Tidak dapat menegakkan kepala saat tengkurap atau masih
ditemukannya head lag pada pemeriksaan respons tarikan pada usia
3 bulan15,16
4 sampai 6 Belum dapat menegakkan kepala dengan baik (head lag masih ada)
bulan Tidak dapat mempertemukan kedua tangan di garis tengah pada usia
4 bulan
Tidak dapat meraih dan memegang benda pada usia 5 bulan15,16
6 sampai 12 Refleks primitif yang menetap setelah usia 6 bulan
bulan Belum dapat memindahkan benda dari satu tangan ke tangan yang
lain pada usia 6 bulan
Masih bermain dengan jari pada usia 6-7 bulan
W-sitting dan bunny hopping pada usia 7 bulan
Belum dapat duduk tegak pada usia 10-12 bulan
Berguling belum maksimal pada usia 9 bulan
Belum dapat berdiri atau menopang tubuh dengan kedua kaki atau
berjalan berpegangan pada usia 12 bulan
Tetap memasukkan benda apapun ke dalam mulut pada usia 12
bulan15,16
12 sampai 24 Tidak dapat mengambil benda menggunakan jari/pincer grasp pada
bulan usia 12 sampai 15 bulan
Belum dapat berdiri atau berjalan lepas pada usia 18 bulan Tampak
dominasi tangan sebelum usia 18 bulan
Belum berjalan lancar pada usia 24 bulan
Belum dapat naik-turun tangga berpegangan atau berlari pada usia 24
bulan
Masih drooling/ngiler berlebihan sampai usia 24 bulan
Bergerak dengan cara ngesot/bottom shuffling di atas usia 12 bulan15,16
3 sampai 5 Belum dapat berlari dengan baik, naik-turun tangga, menendang bola
tahun pada usia 3 tahun
Sering jatuh atau kesulitan naik-turun tangga pada usia 3 tahun
Tidak dapat melompat, naik sepeda roda tiga, atau berdiri dengan 1
kaki pada usia 4 tahun
Belum dapat menggambar benda, kotak, tanda silang, serta
keseimbangan yang kurang pada usia 5 tahun15,16
6 sampai 12 Tidak dapat bermain lompat tali atau melompat dengan satu kaki
tahun Tidak dapat menulis namanya sendiri15,16

hal-hal tersebut di atas, kita dapat mengetahui dan memahami red


flags perkembangan motorik sehingga dapat melakukan pemeriksaan
penunjang dan rujukan yang tepat.

Daftar pustaka
1. Fitzgerald M. The anatomy of movement. Diunduh dari: http://
brainconnection.brainhq.com/2013/03/05/the-anatomy-of-movement.
Diakses tanggal 5 Mei 2017.
2. Fitzgerald MJT. Curran JF. Clinical neuroanatomy and related neuroscience.
Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders; 2002. h.123-32.

14 Update in Child Neurology


Motor delay: What to do and when to refer

3. Fitzgerald MJT. Curran JF. Clinical neuroanatomy and related neuroscience.


Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders; 2002. h.73-8.
4. O’Sullivan SB. Examination of motor function: motor control and
motor learning. Dalam: O’Sullivan SB, Schmitz TJ, penyunting. Physical
rehabilitation. Edisi ke-5. Philadelphia: FA Davis Company; 2007. h.233-34.
5. Krigger KW. Cerebral palsy: an overview. Am Fam Physician. 2006;73:91-100.
6. Sherr EH, Shevell MI. Global developmental delay and mental retardation/
intellectual disability. Dalam: Swaiman KF, Ashwal SA, Ferriero DM, Schor
NF, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology principles and practice. Edisi
ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. h. 554-74.
7. Fenichel GM. Clinical pediatric neurology. A signs and symptoms approach.
Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2009. h.153-76.
8. Blank R, Smits-Engelsman B, Polatajko H, Wilson P. European Academy of
Childhood Disability (EACD): Recommendation on the definition, diagnosis
and intervention of developmental coordination disorders. Dev Med Child
Neurol. 2012;54:54-93.
9. Hoekelman RA, Chianese MJ. Chapter 183: Foot and leg problems. Diunduh
dari: http://www.pediatriccare.solutions.aap.org. Diakses tanggal 20
Oktober 2016.
10. Gerber RJ, Wilks T, Erdie-Lalena C. Developmental milestones: Motor
development. Pediatr Rev. 2010;31:267-76.
11. Swaiman KF. General aspects of the patient’s neurologic history. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor N, penyunting. Swaiman’s
pediatric neurology principles and practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012. Suplemen e1.
12. Swaiman KF, Brown LW. Neurologic examination ater the newborn Period
until 2 years of age. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor N,
penyunting. Swaiman’s pediatric neurology principles and practice. Edisi
ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. Suplemen e33.
13. Swaiman KF. Neurologic examination of the Older Children. Dalam: Swaiman
KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor N, penyunting. Swaiman’s pediatric
neurology principles and practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2012. Suplemen e15.
14. Swaiman KF, Brown LW.Muscular tones and gait disturbance. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor N, penyunting. Swaiman’s
pediatric neurology principles and practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012. Suplemen e60.
15. Gerber RJ, Wilks T, Erdie-Lalena C. Developmental milestones: Motor
development. Pediatr Rev. 2010;31:267-76.
16. Scharf RJ, Scharf GJ, Strousstrup A. developmental miestones. Pediatr Rev.
2016:37;25-37.

Everything you should know about motor and movement problems in children
15
Global developmental delay:
Kadang mudah didiagnosis,
kadang sangat sulit
Hardiono D. Pusponegoro

Tujuan:
1. Mengetahui perbedaan delay dan disorder dalam perkembangan anak
2. Mengetahui syarat diagnosis global developmental delay
3. Mengetahui kemungkinan etiologi dan langkah-langkah pencarian etiologi pada global
developmental delay

Seorang dokter harus dapat membedakan antara delay dan disorder.


Delay mengandung konotasi bahwa keadaan tersebut belum tentu
merupakan suatu gangguan disebabkan patologi tertentu dan anak akan
dapat menyusul dalam bidang yang mengalami keterlambatan. Disorder
berarti anak telah mengalami suatu diagnosis dilandasi suatu patologi
yang mungkin dapat bersifat permanen. Keterlambatan perkembangan
dalam pelbagai bentuk di alami oleh 30% anak. Salah satu bentuk
keterlambatan perkembangan yang sering didiagnosis adalah global
developmental delay (GDD). Seorang anak disebut mengalami GDD
apabila ia menunjukkan keterlambatan perkembangan dalam dua bidang
perkembangan atau lebih, termasuk gerak kasar, gerak halus, bicara-
bahasa, kognitif, pesonal-sosial, dan aktivitas dalam kehidupan sehari-
hari.1-3 Yang dimaksud dengan keterlambatan adalah kemampuan anak
kurang dari dua simpang baku (<-2SD) kemampuan pada populasi anak
normal seusianya. Yang paling sering ditemukan adalah keterlambatan
gerak kasar dan keterlambatan bicara.
Istilah GDD sebenarnya kurang tepat, karena keterlambatan
tersebut bukan suatu delay melainkan suatu disorder. Apabila suatu
diagnosis etiologik spesifik telah dapat ditegakkan, maka anak lagi
tidak disebut mengalami GDD, melainkan mengalami diagnosis spesifik
tersebut. Istilah GDD hanya digunakan untuk anak berumur kurang
dari lima tahun. Bila anak telah berusia lebih dari lima tahun namun
masih menunjukkan keterlambatan, maka keadaan ini disebut sebagai
disabilitas intelektual (DI).1-3
Sebagian kasus GDD mudah diketahui etiologinya, sedangkan
sebagian lainnya sulit dicari penyebabnya, bahkan di negara maju,
karena memerlukan pemeriksaan yang sangat spesifik. Dalam makalah
ini akan dibahas mengenai pelbagai keadaan yang dapat menyebabkan
GDD beserta contoh kasus dan pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosis.

16 Update in Child Neurology


Global developmental delay: Kadang mudah didiagnosis, kadang sangat sulit

Etiologi
Etiologi GDD dapat dibagi menurut klasifikasi Finnish.4,5 Sebagai
tambahan digunakan beberapa klasifikasi yang lebih mutakhir.3,6
Melihat klasifikasi tersebut, sebagian merupakan gangguan yang
jelas penyebabnya dan diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisis, ditambah magnetic resonance imaging (MRI) dan
pemeriksaan kromosom biasa. Diagnosis yang mudah ditegakkan
misalnya palsi serebral, epilepsi, spasme infantil, kejang neonatus,
autisme, mikro-/makrosefali.6 Apabila diagnosis sudah dapat ditegakkan,
anak tidak lagi disebut sebagai GDD.
Syarat untuk diagnosis GDD adalah adanya keterlambatan
perkembangan. Keterlambatan perkembangan dialami oleh 17% anak.7
Untuk mengetahui adanya keterlambatan perkembangan, harus dilakukan
skrining perkembangan secara rutin menggunakan instrumen skrining
perkembangan yang baik. Tanpa instrumen skrining, terjadi kegagalan
mengenali keterlambatan perkembangan pada 30% kasus.7 American
Academy of Pediatrics menganjurkan agar skrining perkembangan
dengan instrumen tertentu dilakukan pada umur sembilan bulan, 18
bulan, dan 24 atau 30 bulan, atau apabila ada keluhan dari orangtua.8
Berbagai instrumen skrining dapat digunakan. Ada yang berbentuk
kuesioner, misalnya Ages and Stages Questionnaire dan Kuesioner
Praskrining Perkembangan (KPSP). Ada pula instrumen skrining
yang dilakukan oleh dokter, misalnya Denver II atau Bayley Infant
Neurodevelopmental Screener. Yang terpenting bukan instrumen mana
yang terbaik; jauh lebih baik untuk mengenal satu instrumen dan
melakukannya secara rutin. Setelah anak dinyatakan mengalami GDD,
usahakan untuk menegakkan diagnosis terlebih dahulu sebelum merujuk
ke dokter spesialis rehabilitasi medis atau pusat terapi.

Kasus 1
Seorang anak mengalami keterlambatan berjalan dan berbicara yang
tidak spesifik. Tidak ditemukan kelainan neurologis. Anak tidak melalui
fase merangkak, dapat berjalan pada usia 18 bulan dan berbicara
satu-dua kata pada usia 20 bulan. Setelah berumur tiga tahun, semua
tahapan perkembangan dan pemeriksaan neurologis normal. Anak ini
mengalami GDD tanpa dapat ditegakkan diagnosis spesifik, dan dapat
mengatasi gangguan tersebut.
Setelah berumur empat tahun, sebanyak 30% anak mengalami
catch-up, sebagian hanya mengalami masalah ringan, sebagian telah
di diganosis sebagai suatu disorder atau gangguan neurologi lain, dan
sebanyak 20-60% tetap mengalami GDD.6,9 Sebagian besar anak yang tetap
mengalami GDD diagnosisnya berubah menjadi disabilitas intelektual
pada umur lima tahun.1-3,10,11

Everything you should know about motor and movement problems in children
17
Hardiono D Pusponegoro

Kasus 2
Seorang anak berumur 10 bulan belum dapat tengkurap, badan dan
tungkai terlihat kaku. Ia belum memberi respons bila diajak berbicara.
Telapak tangan masih terkepal erat. Refleks fisiologis meingkat, klonus
positif, crossed extensor reflex positif, refleks suprapubik positif, dan
pada pemeriksaan respons tarikan didapatkan head lag. Lingkar kepala
<-2SD kurva Nellhaus. Anak lahir cukup bulan dengan berat badan 3100
gram, namun ia mengalami ensefalopati hipoksik iskemik. Anak ini jelas
mengalami keterlambatan perkembangan dalam bidang gerak kasar,
personal-sosial, dan mungkin kognitif. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
mudah, yaitu palsi serebral. Kasus semacam ini tidak tepat disebut GDD.
Dalam bidang gerak kasar, terkadang sulit menentukan pada anak
kecil apakah mereka mengalami keterlambatan gerak kasar atau telah
mengalami palsi serebral (PS). Suatu review menunjukkan bahwa PS dapat
dideteksi pada usia tiga bulan menggunakan general movement assessment
(GMA), dengan sensitivitas 98% dan spesifisitas 94%.12 Penelitian di RS
Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa PS dapat dideteksi pada
usia enam bulan pada 88,7% bayi risiko tinggi dengan menggunakan
pemeriksaan traction response, fisting, dan crossed extensor reflex.13

Kasus 3
Seorang anak berumur dua tahun, duduk belum terlalu kuat dan tubuh
cenderung jatuh ke depan, berjalan masih perlu bantuan. Beberapa uji
kognitif memperlihatkan fungsi kognitif yang kurang. Ia juga belum
dapat berbicara. Lingkar kepala cenderung besar walaupun masih dalam
batas normal. Pemeriksaan neurologis memperlihatkan anak mengalami
hipotonia, tetapi refleks fisiologis positif normal dan refleks patologis
negatif. Keadaan ini sering disebut sebagai hipotonia sentral, suatu
hipotonia yang disebabkan gangguan serebral. Walaupun ukuran lingkar
kepala normal, namun ternyata MRI memperlihatkan adanya atrofi serebri.
Dalam praktik sering dijumpai wajah dismorfik, namun tidak
selalu jelas mengarah pada diagnosis tertentu. Lingkar kepala normal,
berbeda dengan palsi serebral yang sering menunjukkan lingkar kepala
yang kecil. Anak seringkali memperlihatkan gejala hipotonia sentral,
yaitu kurangnya tonus yang dapat dilihat dengan pemeriksaan suspensi
horizontal, suspensi vertikal, dan respons tarikan. Terlihat pula joint
laxity yaitu gerakan otot di persendian yang berlebihan. Berbeda dengan
pada lesi lower motor neuron yang juga menunjukkan hipotonia, pada
kasus GDD refleks fisiologis tetap positif. Keadaan ini yang dapat
disebut sebagai GDD murni. Anak akan dapat berjalan walau terlambat,
kemudian seringkali dapat berbicara walaupun juga terlambat, namun
fungsi kognitif seringkali tidak dapat diperbaiki. Etiologi seringkali sulit
ditemukan.

18 Update in Child Neurology


Global developmental delay: Kadang mudah didiagnosis, kadang sangat sulit

Global developmental delay dengan etiologi yang


sulit ditegakkan
Pada 20% sampai 62% kasus GDD, etiologi tetap tidak dapat ditegakkan.
Sebagian di antaranya disebabkan penyakit genetik, gangguan kromosom,
metabolik, atau penyakit neurodegeneratif.2,3,14 Dari klasifikasi pada
Tabel 1, terlihat bahwa banyak sekali etiologi yang sulit ditegakkan.
Akibatnya, pelbagai spesialis akan secara terpisah meminta berbagai
pemeriksaan yang tidak terarah. Untuk menghindari hal tersebut,
sebaiknya dibuat tim multidisiplin yang melakukan pemeriksaan awal
sebelum melakukan pemeriksaan lanjutan.14 Dengan cara ini, diagnosis
dapat ditegakkan pada 46% kasus dan kemungkinan diagnosis kerja
untuk pemeriksaan berikutnya pada 38% kasus lainnya.14

Manifestasi klinis dan pemeriksaan yang diperlukan


Tujuan evaluasi GDD adalah untuk (1) konfirmasi dan penentuan derajat
GDD; (2) mencari etiologi; (3) merujuk anak untuk terapi dan rehabilitasi;
(4) konseling keluarga; dan (5) tata laksana masalah medis dan perilaku.15
American Academy of Neurology telah menerbitkan suatu algoritma
untuk menegakkan diagnosis GDD yang masih valid walau memerlukan
beberapa revisi.1
Pada 17,2% sampai 34,2% kasus, etiologi GDD dapat ditentukan
dari anamnesis dan pemeriksaan fisis.1 Anamnesis yang perlu dilakukan
termasuk perjalanan penyakit, riwayat kehamilan dan persalinan, riwayat
keluarga, konsanguinitas, adanya kematian neonatal dini dalam keluarga,
dan anak dengan riwayat penyakit sama.15 Riwayat regresi perkembangan
dapat menjadi petunjuk KMB atau penyakit neurodegeneratif lain.15
Manifestasi klinis KMB dapat dibagi menjadi gejala neurologis dan
non-neurologis.16 Gejala neurologis yang mencurigakan ke arah KMB
misalnya ataksia, gangguan perilaku, demensia, distonia, ensefalopati,
epilepsi, gangguan pendengaran, hipotonia/miopati, kelainan pada
MRI, neuropati, gangguan gerak bola mata, gangguan psikiatrik,
spastisitas, stroke, dan gangguan penglihatan. Gejala non-neurologis
ditemukan pada 69% kasus, meliputi beberapa organ misalnya tulang
dan sendi, dermatologi, endokrinologi, mata, dismorfisme, pertumbuhan,
jantung, gastrointestinal, hematologi, imunologi, ginjal, hati, dan
bau urine.16 Adanya dismorfologi, hepatomegali dan lesi kulit harus
dicari. Hepatomegali dapat menjadi petunjuk KMB. Lesi kulit dapat
ditemukan pada kasus tuberosklerosis.15 Demikian pula dengan ada
atau tidaknya gangguan pendengaran dan penglihatan. Gangguan
penglihatan ditemukan pada 13% sampai 50% kasus, sedangkan gangguan
pendengaran ditemukan pada 18% kasus. Kedua pemeriksaan ini harus
dilakukan pada GDD.1

Everything you should know about motor and movement problems in children
19
Hardiono D Pusponegoro

Autisme sering disertai GDD. Terkadang sulit membedakan autisme


dengan disabilitas intelektual karena sebagian anak autisme juga
menunjukkan keterlambatan gerak.17 Hal yang dapat digunakan untuk
membedakan autisme dan GDD adalah adanya gangguan interaksi dan
perilaku stereotipik dan repetitif pada autisme.18

Tabel 1. Etiologi global developmental delay3-6


1. Genetik
Kromosom Trisomi 21,13,18, cri-du-chat (delesi 5p)

Mutasi gen Tuberosklerosis, fenilketonuria, penyakit Tay-
Sachs, Hunter, Smith-Lemli-Opitz, sindrome
fragile-X

Mikrodelesi Sindrom Angelman, Prader-Willi, Williams
Multifaktor Disabilitas intelektual (DI)/retardasi mental (RM)
familial murni, defek tabung saraf
Ensefalopati genetik Sindrom Rett (mutasi 4 MECP2 and 2 CDKL5)
Gangguan spektrum Dravet dengan mutasi SCN1A
Neurometabolik – kelainan Kelainan mitokondria
metabolisme bawaan (KMB) Penyakit lisosomal
Kelainan metabolisme antara (disorders of
intermediary metabolism)
Adrenoleukodistrofi-X (X-ALD)
KMB lain
2. Malformasi
Malformasi susunan saraf Holoprosensefali, lissensefali
pusat
Malformasi multipel Sindrom Goldenhar, sindrom Sotos
3. Gangguan pranatal eksternal
Infeksi maternal Rubela, sitomegalovirus, human immunodeficiency
virus
Obat/ toksin Toksisitas alkohol/hidantoin

Nutrisi, pertumbuhan janin Insufisiensi plasenta, toksemia gravidarum


terhambat, prematuritas
Lain-lain Diabetes, radiasi, trauma, stroke
4. Pranatal/neonatal
Infeksi Meningitis, herpes

Proses persalinan Asfiksia, trauma
Komplikasi neonatal Hipoglikemia, hiperbilirubinemia
5. Pascanatal
Infeksi Meningitis, ensefalitis

Kerusakan SSP Zat toksik, tumor otak, hipoksia, stroke
Psikososial Deprivasi, kemiskinan
Nutrisi Malnutrisi
Psikosis, non-familial
6. Tidak diketahui
Non-familial murni Tidak ada riwayat/temuan khusus
Gejala SSP disabilitas intelektual (DI)/retardasi mental (RM) +
palsi serebral; DI/RM + epilepsi; DI/RM + autisme;
penyebab?
7. Tak dapat diklasifikasi

20 Update in Child Neurology


Global developmental delay: Kadang mudah didiagnosis, kadang sangat sulit

Kasus 4
Seorang anak berumur 1 tahun mengalami hipotonia dan keterlambatan
gerak kasar. Panjang badan kurang dari persentil ketiga. Berat badan
normal, lingkar kepala sedikit di bawah -2SD kurva Nellhaus. Wajahnya
agak dismorfik. Ia juga belum memberi respons bila diajak bermain. Pada
pemeriksaan laboratorium ternyata TSHs >8000 μU/mL dan FT4 kurang
dari 0,5 ng/dL. Anak ini mengalami GDD, namun diagnosis etiologinya
adalah hipotiroid kongenital.

Pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan tiroid


Dalam pengalaman praktik penulis, pemeriksaan laboratorium rutin
yang biasa dilakukan adalah darah tepi lengkap dan fungsi tiroid bila
belum dilakukan skrining saat bayi lahir. Pemeriksaan fungsi tiroid
dapat menemukan diagnosis pada sekitar 4% kasus di negara yang belum
melakukan skrining hipotiroid.1 Hipotiroid kongenital ditemukan pada
satu di antara 2000 kelahiran; dengan demikian di Indonesia diperkirakan
terdapat 2500 kasus setiap tahunnya. Berdasarkan pengalaman penulis,
cukup banyak kasus hipotiroid yang datang dengan gejala GDD, termasuk
kasus hipotiroid subklinis dengan peningkatan TSH sedangkan T4
normal. Di Indonesia, walaupun sudah ada peraturan Menteri Kesehatan
untuk melakukan skrining hipotiroid, skrining baru dilakukan pada
100.000 anak setiap tahun, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara
lain. Dokter anak harus meminta skrining hipotiroid pada semua bayi
yang dirawatnya.

Elektroensefalografi
Belum ada rekomendasi mengenai perlunya pemeriksaan EEG pada
semua anak dengan GDD.1 Berdasarkan kesepakatan sebagian besar ahli
di bidang neurologi anak, EEG hanya dilakukan bila terdapat kejang atau
regresi perkembangan. Pemeriksaan EEG dilakukan saat anak tidur dan
bangun (awake). Kadang-kadang dapat ditemukan pola electrical status
epilepticus during slow-wave sleep (ESES). Pemeriksaan EEG rutin pada
anak GDD hanya mampu menemukan diagnosis pada 0,4% kasus.1

CT scan dan MRI


Pencitraan otak menggunakan CT scan dapat menemukan kelainan
pada 30% kasus GDD. Pemeriksaan MRI menunjukkan hasil yang
jauh lebih baik dan dapat menemukan kelainan pada 48,6% sampai
65,5% kasus GDD.1 Menurut pendapat penulis, pada anak dengan GDD
lebih baik dilakukan MRI dahulu sebelum melakukan pemeriksaan
laboratorium, karena dari MRI seringkali ditemukan petunjuk penyebab
etiologis GDD. Seringkali MRI menunjukkan kelainan pada gangguan
KMB neurologis, misalnya fenilketonuria, asidemia organik, penyakit
Zellweger, mukopolisakaridosis, penyakit mitokondria, penyakit lisosom,
dan lain-lain.

Everything you should know about motor and movement problems in children
21
Hardiono D Pusponegoro

Pemeriksaan metabolik
Bila pemeriksaan metabolik dilakukan terhadap semua kasus, maka
hanya 0,6% sampai 1,3% di antaranya yang akan mengarahkan klinikus
pada suatu diagnosis etiologi.1 Pemeriksaan metabolik yang dilakukan
selektif atas indikasi (misalnya bila terdapat riwayat keluarga yang
bermakna, konsanguinitas, dan retardasi mental) mampu menemukan
diagnosis pada 5% kasus.1 Adanya gagal tumbuh, regresi perkembangan,
gangguan yang hilang-timbul secara episodik, wajah kasar (coarse
facies), hepatosplenomegali, gejala neurologis, dan gejala oftalmologis
meningkatkan sampai 14% kemungkinan ditemukannya diagnosis
melalui pemeriksaan metabolik.1,3 Di banyak negara, skrining penyakit
metabolik sudah dilakukan secara rutin dengan tandem mass spectometry
atau metode lain yang lebih canggih, sehingga sebagian kasus sudah
ditemukan pada masa neonatal.3 Beberapa kasus KMB telah dilaporkan
di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Algoritma awal untuk mencari etiologi IOM yang dianjurkan
adalah:19
1. Pemeriksaan darah: amonia, laktat, asam amino plasma, homosistein
total, profil asilkarnitin, kuprum (Cu), dan seruloplasmin
2. Urine: asam organik, purin dan pirimidin, metabolit kreatin,
oligosakarida, glikosaminoglikans
3. Dapat disusul dengan pemeriksaan lain yang lebih selektif.

Pemeriksaan kromosom dan genetik

Kasus 5
Seorang anak mengalami hipotonia dan obesitas. Perkembangan gerak
dan bicara terlambat. Pada pemeriksaan MRI kepala tidak ditemukan
kelainan. Pemeriksaan kromosom dan genetik menunjukkan bahwa anak
mengalami sindrom Prader Willi.
Pemeriksaan sitogenetik rutin pada GDD menghasilkan diagnosis
pada 3,7% kasus, dan dianjurkan untuk dilakukan secara rutin. Pada anak
dengan keterlambatan perkembangan sedang dan berat, pertimbangkan
pemeriksaan kromosom dengan teknik baru, misalnya fluorescence
in-situ hybridization (FISH) atau chromosome microarray.3,6 Gen FMR1
digunakan untuk menegakkan diagnosis Sindrom fragile-X terutama
pada anak lelaki.3 Di Indonesia, pemeriksaan untuk sindrom fragile-X
dapat diperiksa di laboratorium Prof. Sulthana di Semarang. Penulis
pernah menemukan sindrom tersebut pada tiga anak yang menunjukkan
gejala autisme disertai disabilitas intelektual. Pemeriksaan gen MECP2
terhadap sindrom Rett perlu dilakukan apabila ada gejala regresi pada
anak perempuan. Berbagai gen lain diperiksa atas indikasi.

22 Update in Child Neurology


Global developmental delay: Kadang mudah didiagnosis, kadang sangat sulit

Pemeriksaan lain
Pemeriksaan terhadap timbal (Pb) ditujukan terhadap anak dengan
kemungkinan terpapar timbal dari lingkungan dengan keadaan
sosioekonomi yang kurang. Keterlambatan biasa bukan merupakan
indikasi pemeriksaan kadar Pb. Di negara maju, pemeriksaan kadar Pb
dianjurkan apabila di lingkungan tempat tinggal anak 12% atau lebih
populasi anak menunjukkan kadar plumbum lebih dari 10 g/dL atau
27% rumah dibangun sebelum tahun 1950, anak berasal dari golongan
minoritas dengan sosioekonomi kurang, merupakan anak imigran,
terpapar obat alternatif, mengalami defisiensi besi, atau terpapar debu
atau tanah yang terkontaminasi.1,20 Hingga saat ini belum ada data
mengenai peran timbal di Indonesia.

Simpulan
Menentukan apakah seorang anak mengalami GDD sangat mudah,
berdasarkan adanya keterlambatan perkembangan dua ranah atau lebih.
Namun, untuk menegakkan diagnosis dan mencari etiologi tidak selalu
mudah. Diperlukan tim yang terdiri atas dokter ahli di bidang tumbuh
kembang, neurologi anak, nutrisi dan penyakit metabolik, endokrinologi,
radiologi, patologi klinik, serta biokimia dan kedokteran ,olekular.
Dengan adanya tim semacam ini, penegakkan diagnosis menjadi lebih
terarah dan keberhasilan diagnosis meningkat.
Bila menemukan kasus GDD, sedapat mungkin harus ditegakkan
diagnosis dan penyebab yang pasti sebelum merujuknya untuk terapi.
Urutan pemeriksaan tidak dilakukan secara paralel, melainkan secara
sekuensial dimulai dari MRI kepala yang mungkin memperlihatkan suatu
clue atau petunjuk. Pemeriksaan yang rutin dilakukan adalah TSHs
dan FT4, dan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kromosom.
Pemeriksaan gangguan metabolik dilakukan secara selektif. Sebagian
di antara kasus GDD dapat diobati, namun pada sebagian besar kasus
pengobatan berupa terapi suportif.

Daftar pustaka
1. Shevell M, Ashwal S, Donley D, Flint J, Gingold M, Hirtz D, et al. Practice
parameter: Evaluation of the child with global developmental delay:
Report of the quality standards subcommittee of the american academy
of neurology and the practice committee of the child neurology society.
Neurology 2003;60:367-80.
2. Jimenez-Gomez A, Standridge SM. A refined approach to evaluating global
developmental delay for the international medical community. Pediatr
Neurol 2014;51:198-206.
3. Eun SH, Hahn SH. Metabolic evaluation of children with global developmental
delay. Korean J Pediatr 2015;58:117-22.
4. Wilska ML, Kaski MK. Why and how to assess the aetiological diagnosis
of children with intellectual disability/mental retardation and other

Everything you should know about motor and movement problems in children
23
Hardiono D Pusponegoro

neurodevelopmental disorders: Description of the finnish approach. Eur J


Paediatr Neurol 2001;5:7-13.
5. Wong VC, Chung B. Value of clinical assessment in the diagnostic evaluation
of global developmental delay (GDD) using a likelihood ratio model. Brain
Dev 2011;33:548-57.
6. Lopez-Pison J, Garcia-Jimenez MC, Monge-Galindo L, Lafuente-Hidalgo M,
Perez-Delgado R, Garcia-Oguiza A, Peña-Segura JL. Our experience with
the aetiological diagnosis of global developmental delay and intellectual
disability: 2006--2010. Neurología (English Edition) 2014;29:402-7.
7. LaRosa A. Developmental-behavioral surveillance and screening in primary
care. In: Bridgemohan C, Tirchia MM, editors. UpToDate. Waltham, MA:
UpToDate; 2017.
8. Bright Future/ American Academy of Pediatrics. Recommendation for
preventive pediatric health care. 2017.
9. Thomaidis L, Zantopoulos GZ, Fouzas S, Mantagou L, Bakoula C,
Konstantopoulos A. Predictors of severity and outcome of global
developmental delay without definitive etiologic yield: A prospective
observational study. BMC Pediatr 2014;14:40.
10. Riou EM, Ghosh S, Francoeur E, Shevell MI. Global developmental delay and
its relationship to cognitive skills. Dev Med Child Neurol 2009;51:600-6.
11. Webster RI, Majnemer A, Platt RW, Shevell MI. Child health and parental
stress in school-age children with a preschool diagnosis of developmental
delay. J Child Neurol 2008;23:32-8.
12. Hadders-Algra M. Early diagnosis and early intervention in cerebral palsy.
Front Neurol 2014;5:185.
13. Handryastuti S. Deteksi dini palsi serebral pada bayi risiko tinggi: Peran
berbagai variabel klinis dan USG kepala. Tesis. FKUI 2013.
14. van Karnebeek C, Murphy T, Gainnasi W, Thomas M, Connoly M, Stockler-
Ipsiroglu S. Diagnostic value of a multidisciplinary clinic for intellectual
disability. Can J Neurosci 2014;41:333-45.
15. Foo YL, Chow JC, Lai MC, Tsai WH, Tung LC, Kuo MC, Lin SJ. Genetic
evaluation of children with global developmental delay--current status of
network systems in taiwan. Pediatr Neonatol 2015;56:213-9.
16. van Karnebeek CD, Stockler S. Treatable inborn errors of metabolism
causing intellectual disability: A systematic literature review. Mol Genet
Metab 2012;105:368-81.
17. Blacher J, Kasari C. The intersection of autism spectrum disorder and
intellectual disability. J Intellect Disabil Res 2016;60:399-400.
18. Pedersen AL, Pettygrove S, Lu Z, Andrews J, Meaney FJ, Kurzius-Spencer M,
et al. DSM criteria that best differentiate intellectual disability from autism
spectrum disorder. Child Psychiatry Hum Dev 2016.
19. van Karnebeek CD, Shevell M, Zschocke J, Moeschler JB, Stockler S. The
metabolic evaluation of the child with an intellectual developmental
disorder: Diagnostic algorithm for identification of treatable causes and
new digital resource. Mol Genet Metab 2014;111:428-38.
20. Control CFD, Prevention. Low level lead exposure harms children: A renewed
call for primary prevention. Report of Advisory Committee on Childhood
Lead Poisoning Prevention. Atlanta, GA: CDC 2012.

24 Update in Child Neurology


Diagnostic approach to pediatric
movement disorders
Tajul Arifin bin Tajudin

Objective
To give an overview of the important steps in diagnosing
pediatric movement disorders

Children with movement disorders are surprisingly common but


usually missed. The clinical approach to pediatric movement
disorders is an art that can only be acquired by observing many
cases with a keen eye, and cannot be learnt by merely reading
the books. This fact is mainly due to the variability of many and
the borderline bizarreness of some of the movement disorders.
Establishing the correct diagnosis can, therefore, be difficult,
even in the hands of experienced movement disorder specialists.
However, accurate characterization based on correct recognition
and description of the phenomenology would be the first and most
important step in coming close to the diagnosis. This lecture is
aimed to give the participants a glimpse of the important steps in
making a diagnosis in a movement disorder case.

Everything you should know about motor and movement problems in children
25
Kelumpuhan sistem saraf perifer
pada anak
Dwi Putro Widodo

Tujuan
1. Mengetahui bagaimana mendiagnosis kelumpuhan pada anak
2. Mengenal penyakit penyebab kelumpuhan yang sering ditemukan
3. Menentukan prosedur penunjang medis yang diperlukan
4. Mengenali kelumpuhan sistem saraf perifer yang menyebabkan gagal napas

Kelumpuhan merupakan gejala pelbagai penyakit, kelainan, dan kondisi


tertentu, mulai dari yang ringan sampai berat. Kelumpuhan dapat
disebabkan oleh proses infeksi, trauma, keganasan, autoimun, maupun
proses abnormal lainnya.1 Kelumpuhan dapat terjadi pada setiap
kelompok usia dan dapat mengenai seluruh atau sebagian tubuh. Awitan
kelumpuhan dapat terjadi secara tiba-tiba dan berat, misalnya Bell’s
palsy. Kelumpuhan juga dapat bersifat kronik, misalnya kelumpuhan
akibat stroke atau palsi serebral (PS).
Kelumpuhan dapat disebabkan oleh penyakit neurologik, kelainan
atau kondisi yang mengenai sistem neuromuskular, misalnya sindrom
Guillain-Barré, multiple sclerosis, miastenia gravis (MG), distrofi muskular,
dan distrofi miotonik. Gangguan metabolik juga dapat menyebabkan
kelumpuhan, misalnya imbalans elektrolit, penyakit Addison, dan
hiperparatiroidisme.1,2 Kelumpuhan sering disertai gejala lainnya, yang
sangat bergantung pada keadaan atau penyakit yang mendasarinya.
Gejala penyerta tersebut dapat berupa nyeri, demam, kesemutan, dan
gejala seperti influenza. Komplikasi yang dapat terjadi juga bergantung
pada penyakit yang mendasarinya, misalnya atrofi otot atau kontraktur.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kelumpuhan yang sering
ditemukan dalam praktek sehari-hari yang mengenai sistem saraf perifer.

Gambaran klinis kelumpuhan otot


Kelumpuhan adalah kekuatan yang menurun, yang dinilai dengan
meminta pasien untuk bergerak melawan kontraksi otot maksimal. Otot
yang lumpuh selalu lebih mudah lelah dibandingkan otot normal, tetapi
kelelahan dapat terjadi tanpa kelumpuhan.1

26 Update in Child Neurology


Kelumpuhan sistem saraf perifer pada anak

Keluhan awal
Kelumpuhan pada anak biasanya terlihat lebih dahulu pada tungkai,
baru kemudian pada lengan. Hal ini karena sebagian besar penyakit
neuromuskular mengenai tungkai sebelum lengan, dan kelemahan pada
tungkai menyebabkan terganggunya fungsi berjalan. Keterlambatan
perkembangan motorik seringkali merupakan gejala awal kelumpuhan
pada anak dengan penyakit neuromuskular.
Gaya berjalan abnormal dapat merupakan gejala awal dan dapat
memberi petunjuk apakah kelumpuhan mengenai bagian proksimal atau
distal. Pada kelumpuhan proksimal tungkai, pelvis tidak stabil sehingga
gaya berjalan tampak seperti bebek. Kelumpuhan pada otot kuadriseps
ditandai dengan sulitnya anak menuruni tangga. Kelumpuhan otot
ekstensor di daerah pinggul dicurigai bila anak sulit menaiki tangga.
Sulit berdiri dari jongkok dan menggunakan bantuan lengan untuk
berdiri (tanda Gower) merupakan petunjuk adanya kelumpuhan otot
proksimal (Tabel 1).
Sering tersandung dan jatuh merupakan petunjuk awal kelumpuhan
tungkai bagian distal. Anak dengan kelumpuhan otot dalam posisi
dorsofleksi kaki (foot drop) akan mengangkat lutut tinggi agar dapat
meletakkan telapak kakinya ke tanah (steppage gait).
Berjalan jinjit pada penyakit distrofi muskular Duchenne disebabkan
karena otot gastroknemius lebih kuat dibandingkan otot peroneus.
Berjalan jinjit juga dapat terjadi pada penyakit yang mengenai susunan
saraf pusat dengan spastisitas dan pada anak dengan tendon kaki yang
kaku tanpa disertai defisit neurologi. Distrofi muskular biasanya disertai
hiporefleksia dan spastisitas disertai hiperefleksia, meskipun refleks
sendi kaki terkadang sulit didapat.1,3
Kelumpuhan proksimal pada lengan juga ditandai dengan
kesulitan mengangkat lengan atau melakukan aktivitas menulis. Pada
anamnesis perlu ditanyakan beberapa pertanyaan spesifik, antara
lain apakah terdapat keluhan penglihatan ganda, berliur (ngiler), sulit
membuka mata, sulit mengunyah atau menelan, dan sulit meniup.

Tabel 1. Gejala kelumpuhan otot


Gaya berjalan abnormal
Jalan kuda
Jalan jinjit
Jalan bebek
Mudah lelah
Sering jatuh
Perkembangan motorik lambat
Ketidakmampuan khusus
Mengangkat lengan
Menaiki tangga
Menggengam tangan
Jongkok – berdiri

Everything you should know about motor and movement problems in children
27
Dwi Putro Widodo

Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan diawali dengan memerhatikan bagaimana anak duduk,
berdiri, dan berjalan. Anak normal dapat berdiri dari posisi duduk
dengan cepat tanpa bantuan tangan. Anak dengan kelumpuhan otot di
daerah pinggul akan menggunakan bantuan tangannya untuk berdiri
(tanda Gower).
Apabila gerakan duduk dan berdiri normal, anak diminta untuk
berjalan jinjit dan berjalan dengan tumit. Bila anak tidak dapat berjalan
jinjit, maka hal ini merupakan petunjuk kelemahan otot gastroknemius,
sedangkan bila anak tidak dapat berjalan dengan tumit, maka hal ini
merupakan petunjuk kelumpuhan otot tungkai bagian depan.
Push-up merupakan uji kekuatan otot di area lengan. Hampir semua
anak dapat mengerjakannya meskipun hanya satu kali. Kemudian minta
anak menyentuh tulang belikat dengan ibu jari tangan pada sisi yang sama.
Bagian akhir adalah pemeriksaan otot wajah dan mata. Pemeriksaan
yang baik untuk menguji kekuatan otot wajah adalah dengan meminta
anak meniup.
Pada periode observasi dan pemeriksaan ini, pemeriksa juga
mencari tanda-tanda atrofi atau hipertrofi. Atrofi dapat dilihat pada
telapak tangan, kaki bagian depan, atau otot betis. Pada distrofi muskular
Duchenne dapat dijumpai pseudohipertrofi otot betis.
Hilangnya refleks tendon dapat terjadi pada awal denervasi,
terutama bila serabut saraf sensorik juga terkena. Kondisi serupa juga
bisa terjadi pada kelumpuhan karena miopati. Refleks tendon biasanya
normal pada kelumpuhan karena miastenia gravis atau miopati
metabolik (Tabel 2).1
Tabel 2. Tanda klinis kelumpuhan otot
Observasi
Atrofi dan hipertropi
Fasikulasi
Kurang aktif bergerak

Palpasi
Tekstur otot
Konsistensi otot

Pemeriksaan
Kontraktur sendi
Miotonia
Kekuatan
Refleks tendon

Kelumpuhan sentral dan/atau perifer


Seperti telah dijelaskan, kelumpuhan dapat disebabkan kelainan
sentral dan/atau perifer (Tabel 3). Hal yang sulit adalah menegakkan
diagnosis kelumpuhan karena penyebab perifer, yang dapat disebabkan

28 Update in Child Neurology


Kelumpuhan sistem saraf perifer pada anak

Tabel 3. Diagnosis banding kelumpuhan otot


Otak Medula Kornu Saraf tepi Sambungan Otot
spinalis anterior saraf-otot
Akut Gangguan Mielitis Poliomielitis Sindrom Guillain- Miastenia Miositis
vaskular transversa Barré gravis (MG)

Episodik Multiple Multiple Chronic inflam- MG Paralisis


sclerosis sclerosis matory demyeli- periodik
nating polyra-
diculoneuropathy
(CIDP)

Subakut Tumor Tumor Atrofi CIDP MG Dermato-


muskular miositis
spinal (AMS)

Kronik Ensefalopati Tumor AMS Neuropati MG Poli-


metabolik metabolik miositis

Tabel 4. Pemeriksaan penunjang pada kelumpuhan otot


Penyakit Creatine Kecepatan Elektromiografi Stimulasi Biopsi otot
kinase (CK) hantar saraf (EMG) repetitif
SMA Normal Normal Diagnostik Normal Neuropati
Neuropati Normal Diagnostik Neuropati Normal Neuropati
MG Normal Normal Normal Diagnostik Normal
Miopati Meningkat Normal Miopati Normal Diagnostik

kelainan mulai dari sel kornu anterior, saraf tepi, sambungan saraf-otot
(neuromuscular junction), atau otot. Prosedur pemeriksaan penunjang
kedua penyebab ini tidak ada yang sederhana (Tabel 4).1-3 Pendekatan
klinis dan pemeriksaan fisis neurologis sangat membantu dalam
menentukan apakah kelumpuhan bersumber di sentral, perifer, atau
gabungan keduanya.

Kelumpuhan otot proksimal


Kelumpuhan proksimal pada anak sering disebabkan oleh penyakit
miopatik, terutama distrofi muskular. Bentuk atrofi muskular spinal pada
anak adalah bentuk denervasi kronik, dengan kelumpuhan proksimal
yang lebih menonjol dibandingkan distal. Elektromiografi dan biopsi
otot dapat membedakannya dengan kelainan otot.1,4.

Everything you should know about motor and movement problems in children
29
Dwi Putro Widodo

Atrofi muskular spinal


Atrofi muskular spinal merupakan kelompok penyakit yang etiologinya
belum diketahui dan proses patologis primernya adalah degenerasi
dan atrofi sel kornu anterior. Pada banyak kasus, kelainan ini bersifat
herediter dengan pola penurunan yang bervariasi. Motor neuron di
batang otak, terutama di inti saraf kranial, juga dapat terlibat. Dikenal
tiga bentuk klinis AMS yang didasarkan atas usia dimulainya gejala, yaitu
bentuk infantile (tipe 1), bentuk anak (tipe 2), dan bentuk remaja (tipe 3).
Pasien dengan AMS bentuk anak berkembang normal sampai
usia satu tahun atau lebih dan dapat merangkak dan berdiri. Banyak
yang dapat berjalan selama jangka waktu singkat. Kelumpuhan
bersifat progresif disertai atrofi, hipotonia, dan hiporefleksia dengan
kelumpuhan terutama di proksimal atau distal mengakibatkan
terbatasnya aktivitas yang semakin bertambah. Fasikulasi jarang terlihat
pada otot ekstremitas, namun dapat terlihat pada lidah. Perubahan lanjut
mencakup kontraktur sendi dan timblnya skoliosis. Skoliosis yang berat
dapat menekan medula spinalis, yang mengakibatkan gangguan motorik
jenis sentral. Kualitas hidup dipengaruhi derajat gangguan respiratorik
dan perburukan penyakit. Kesintasan sangat bervariasi; dan ada yang
hidup sampai usia dewasa.
Diagnosis AMS dapat ditegakkan melalui pemeriksaan EMG,
analisis DNA, dan biopsi otot.1,2,5 Pengobatan medikamentosa untuk
pasien AMS anak dan dewasa yang telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) Amerika Serikat adalah nusinersen. Obat ini
merupakan oligonukleotida antisens yang berperan dalam meningkatkan
ekspresi protein motor neuron. Nusinersen diberikan secara intratekal.6,7
Pengobatan lainnya hanya bersifat simptomatik dan suportif untuk
mencegah deformitas yang lebih berat.

Distrofi muskular Duchenne


Di antara semua penyakit distrofi muskular, maka distrofi muskular
Duchenne (DMD) yang paling banyak ditemukan; biasanya menyerang
anak laki-laki. Insidens DMD sekitar 1:3500 kelahiran bayi laki-laki. Anak
perempuan umumnya tidak terserang, tetapi merupakan pembawa gen
tanpa gejala klinis. Terkadang pada anak perempuan pembawa gen dapat
dijumpai manifestasi klinis, namun biasanya sangat ringan.5
Penyakit ini diturunkan secara genetik melalui kromosom X secara
resesif. Lebih kurang sepertiga di antaranya merupakan hasil mutasi gen
yang baru (de novo). Gen penyebabnya, yaitu gen distrofin, berlokasi pada
lengan pendek kromosom X. Apabila terjadi delesi pada gen tersebut,
maka suatu protein otot yang disebut distrofin tidak terbentuk, dan
inilah yang akan menimbulkan terjadinya distrofi muskular.
Perjalanan klinis penyakit ini perlahan, dimulai sejak masa kanak-
kanak, namun sangat progresif. Pada usia sekitar lima tahun gejala-gejala

30 Update in Child Neurology


Kelumpuhan sistem saraf perifer pada anak

klinis yang khas mulai bermanifestasi. Pasien sulit menaiki tangga atau
bangun dari lantai. Mereka akan memperlihatkan gejala yang khas
yang disebut fenomena Gower, yaitu ”memanjat” tungkainya dengan
kedua tangannya apabila harus bangun dari posisi duduk di lantai ke
posisi berdiri. Gaya berjalan pasien tampak seperti bebek (waddling
gait). Terjadi atrofi dari otot-otot dan lordosis pada punggung. Betis
mengalami pseudohipertrofi akibat penimbunan lemak dan hialin.
Kelumpuhan otot bersifat simetris dan pada usia antara enam sampai
12 tahun pasien sudah tidak dapat menggerakkan kedua tungkainya dan
harus mengunakan kursi roda. Pada umumnya diagnosis sudah dapat
ditegakkan dengan tiga pemeriksaan pertama yaitu klinis, CK, dan EMG,
namun dengan ketersediaan pemeriksaan DNA peran EMG berkurang.
Prognosis umumnya buruk. Hampir semua pasien meninggal pada
dekade kedua kehidupan karena infeksi sekunder ataupun gangguan
kardiorespiratorik.

Distrofi muskular limb girdle


Istilah distrofi muskular limb girdle (limb girdle muscular dystrophy)
mencakup beberapa distrofi muskular yang ditandai dengan kelemahan
proksimal yang progresif. Beberapa bentuk distrofi muskular limb girdle
yang sering dijumpai adalah facioscapulohumeral muscular dystrophy
(FSHD), Emery-Dreifuss muscular dystrophy, dan Bethlem myopathy.
Ketiganya diturunkan dengan pola dominan autosom.1,3 Bentuk resesif
autosom umumnya dimulai pada masa anak dan dewasa muda. Hal
ini dapat dibedakan dari lokasi dan asal produksi gen abnormalnya.
Beberapa fenotipnya mirip DMD.

Mielitis transversa
Mielitis transversa ditandai dengan kelumpuhan yang progresif disertai
hilangnya fungsi sensorik dan fungsi otot sfingter. Mielitis transversa
terjadi akibat infeksi virus sebelumnya. Gejala timbul secara bersamaan
dengan infeksi tersebut atau sesudah gejala infeksi primernya sembuh.1,5
Gejala awalnya berupa hilangnya rasa nyeri di daerah ekstremitas,
perut, dan badan bagian belakang, dan segera diikuti terjadinya
paraparesis. Kelumpuhan mula-mula bersifat flaksid, kemudian secara
berangsur berubah menjasi spastik, dengan ditandai refleks fisiologis
yang meningkat dan klonus. Sebanyak 86% pasien mengalami gangguan
otot sfingter; pada awal perjalanan penyakit terjadi retensi urine serta
gangguan sensasi nyeri dan suhu.
Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis
dan peningkatan kadar protein. Gambaran CT mielografi menunjukkan
adanya pembengkakkan medula spinalis. Mielitis transversa harus

Everything you should know about motor and movement problems in children
31
Dwi Putro Widodo

dibedakan dengan sindrom Guillain-Barré dan tumor medula spinalis.


Hal tersebut dilakukan dengan gambaran klinis, pemeriksaan cairan
serebrospinal, dan pencitraan CT atau MRI.
Pengobatan ditujukan terhadap tindakan suportif. Pemberian
kortikosteroid kurang bermanfaat, sedangkan imunoglobulin intravena
dikatakan bermanfaat.

Dermatomiositis
Dermatomiositis bersama-sama dengan polimiositis dan miositis lokal
termasuk dalam kelompok penyakit inflamatorik. Dermatomiositis
adalah angiopati sistemik yang mengenai semua pembuluh darah
kecil, kapiler, dan venula pada jaringan otot, saraf, saluran pencernaan,
jaringan ikat dan jaringan kulit.
Gejala klinis umumnya muncul pada usia lima sampai 10 tahun,
tetapi dapat juga muncul lebih awal. Gambaran awalnya dapat bersifat
fulminan yang ditandai dengan demam, kelelahan, dan anoreksia
tanpa harus ada ruam kemerahan atau kelumpuhan. Gejala ini dapat
berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan biasanya
semula dicurigai sebagai infeksi. Kombinasi demam, ruam, mialgia,
dan kelumpuhan dapat mengarah ke penyakit dermatomiositis. Pada
sebagian besar pasien, dermatitis sering mendahului miositis. Kadar
CK serum biasanya meningkat pada awal penyakit. Kelumpuhan otot
terutama terjadi pada otot proksimal yang disertai nyeri dan kaku.
Kalsinosis jaringan subkutan juga dapat terjadi, dan bila cukup berat
dan luas disebut kalsinosis universal.1,2,5
Pemberian kortikosteroid merupakan pengobatan standar untuk
dermatomiositis. Pada mereka yang tidak mengalami perbaikan dengan
kortikosteroid dapat dicoba pemberian imunosupresan, antara lain
metotreksat secara oral atau intravena.

Kelumpuhan otot distal


Neuropati merupakan penyebab tersering kelumpuhan otot distal
pada anak. Pada neuropati pada anak, kelainan herediter lebih sering
ditemukan dibandingkan dengan kelainan yang didapat. Kelainan
neuropati yang paling sering ditemukan adalah sindrom Guillain-
Barré, diikuti dengan CIDP. Penyakit medula spinalis, distrofi miotonik,
dan penyakit Charcot-Marie-Tooth juga termasuk dalam kelompok
kelumpuhan otot distal.

Kelumpuhan umum akut


Kelumpuhan umum dengan awitan yang mendadak atau berkembang
dengan cepat dari suatu kelumpuhan flaksid tanpa adanya gejala

32 Update in Child Neurology


Kelumpuhan sistem saraf perifer pada anak

ensefalopati hampir selalu merupakan penyakit unit motor. Penyebab


yang sering ditemukan adalah sindrom Guillain-Barré.

Miositis infeksi akut1


Miositis akut pada anak seringkali menyertai influenza atau infeksi
saluran napas atas. Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan
perempuan. Gejala infeksi saluran napas dapat berlangsung selama tiga
sampai delapan hari sebelum kelumpuhan yang simetris dan penyakit
ini timbul, yang menyebabkan anak tidak dapat berjalan selama 24 jam.
Otot yang sering terkena adalah otot betis, dan refleks biasanya tetap ada.
Kadar CK serum sangat tinggi, biasanya lebih dari 10 kali dari batas
normal. Tirah baring selama dua sampai tujuh hari sangat diperlukan.
Resolusi spontan biasanya terjadi segera setelah rasa nyeri hilang.

Sindrom Guillain-Barré
Sindrom Guillain-Barré (SGB) atau acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy (AIDP) ditandai adanya proses radang non-
infeksi di daerah radiks saraf tepi. Infiltrasi sel limfosit dan makrofag
ke dalam membrane serabut saraf menyebabkan kerusakan mielin dan
degenerasi Wallerian.
Pada SGB terjadi kelumpuhan yang bersifat akut. Kelumpuhan
bersifat simetris dan asenden, dimulai dari ekstremitas bawah, Gejala SGB
sering didahului infeksi saluran napas atau saluran cerna. Kelumpuhan
terjadi pada minggu pertama dan mencapai puncaknya pada akhir
minggu kedua. Pada akhir minggu ketiga mulai terdapat perbaikan.1,5
Pada 15% kasus SGB terjadi kelumpuhan saraf kranial VII, dan
pada 3% terjadi optalmoplegia di samping gejala klasik SGB. Pada kasus
berat dapat terjadi kelumpuhan otot pernapasan. Sistem otonom dapat
terkena, sehingga terjadi hipotensi atau hipertensi dan aritmia, bahkan
dapat terjadi henti jantung. Refleks fisiologis biasanya menurun, namun
terkadang meningkat pada awal perjalanan penyakit.
Cairan serebrospinal menunjukkan gambaran khas berupa kenaikan
kadar protein tanpa diikuti kenaikan jumlah sel (albumino-cytologic
dissociation), namun dapat menunjukkan pleositosis pada 5% kasus.
Pemeriksaan EMG menunjukkan adanya perlambatan kecepatan hantar
saraf dengan latensi distal yang memanjang. Gambaran EMG pada awal
penyakit masih dalam batas normal.
Apabila sampai akhir minggu kedelapan setelah awitan penyakit tidak
terjadi perbaikan kelumpuhan, maka pasien mengalami bentuk kronik
SGB atau chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
(CIDP). Sindrom Guillain-Barré perlu dibedakan dengan poliomielitis
dan miositis akut.

Everything you should know about motor and movement problems in children
33
Dwi Putro Widodo

Tata laksana SGB ditujukan untuk menurunkan atau menghentikan


progresivitas penyakit dan menekan lama perawatan, selain tindakan
suportif dan fisoterapi. Imunoglobulin intravena dan plasmaferesis
sangat efektif, namun plasmaferesis sulit dikerjakan pada anak
dengan berat badan kurang dari 15 kg. Pemberian kortikosteroid tidak
bermanfaat. Pasien dengan degenerasi akson dengan kelumpuhan berat
biasanya memiliki prognosis buruk.

Paralisis periodik
Paralisis periodik diklasifikasikan atas dasar dengan kadar kalium
serum: hiperkalemik, hipokalemik, atau normokalemik. Klasifikasi
lain didasarkan atas kelainan primer (genetk) atau sekunder. Penyebab
hipokalemia paralisis periodik sekunder adalah hilangnya kalium melalui
urine atau saluaran cerna.
Pada 60% kasus, gejala muncul sebelum usia 16 tahun. Serangan
kelumpuhan semula jarang, namun makin lama makin sering, hingga
beberapa kali dalam seminggu. Faktor pencetus serangan antara lain
istirahat setelah aktivitas (pada beberapa kasus serangan timbul pada
pagi hari), makanan tinggi karbohidrat, stres fisik atau psikis, dan suhu
dingin. Sebelum dan selama serangan, pasien mungkin mengeluh haus
dan kurang berkemih. Kelumpuhan diawali dengan rasa nyeri di otot
bagian proksimal. Kadang-kadang hanya otot proksimal yang terkena,
namun kelupuhan total juga dapat terjadi sehingga pasien tidak dapat
mengangkat tubuhnya.5
Bila terjadi kelumpuhan berat, otot teraba bengkak dan refleks
tendon menghilang. Pada sebagian besar kasus serangan berlangsung
selama enam sampai 12 jam, namun pada beberapa kasus lain serangan
berlangsung sepanjang hari. Kekuatan dapat kembali normal dengan
cepat, tetapi bila sering terjadi serangan penyakit ini dapat meninggalkan
gejala sisa berupa kelumpuhan parsial.

Miastenia gravis
Ada dua bentuk klinis MG, yaitu miastenia okular dan miastenia umum.
Miastenia okular terutama mengenai otot mata, namun otot ekstremitas
dan wajah juga dapat terkena meski ringan. Pada miastenia umum, otot
bulbar dan ekstremitas terkena dengan derajat sedang atau berat.
Gejala awal biasanya muncul setelah usia 6 bulan; pada 75% pasien,
gejala muncul setelah usia 10 tahun. Baik pada bentuk okular maupun
umum, gejala awal biasanya berupa ptosis, diplopia, atau keduanya.
Umumnya kedua mata terkena, namun salah satu mata lebih berat
dibandingkan yang lain. Saat awitan gejala okular, 40% sampai 50% pasien
mengalami kelumpuhan ekstremitas dan terkadang juga kelumpuhan

34 Update in Child Neurology


Kelumpuhan sistem saraf perifer pada anak

pada otot bulbar. Timoma dijumpai pada 15% kasus dewasa dengan
miastenia umum, namun hanya dijumpai pada 5% kasus anak.1,5
Uji edrofonium klorida merupakan baku emas untuk diagnosis
miastenia okular maupun miastenia umum, tetapi uji ini mempunyai
keterbatasan. Beberapa dokter saat ini mengunakan uji dengan
menempelkan kompres es (ice pack) pada kelopak mata atau menutup
(mengistirahatkan) kelopak mata selama lima menit. Lebih terbukanya
kelopak mata secara parsial merupakan petunjuk adanya kelaian
miastenia.

Poliomielitis1
Poliomielitis adalah penyakit infeksi akut oleh poliovirus, sejenis
enterovirus, yang mengenai sel motor neuron di medula spinalis dan
otak, sehingga mengakibatkan kelumpuhan flaksid asimetris. Juga dikenal
bentuk spinal, bulbar, dan ensefalitik dari poliomielitis. Beratnya penyakit
sangat bervariasi. Bentuk asimtomatik atau bentuk ringan memiliki angka
kejadian lebih kurang 100 kali lebih tinggi dibandingkan bentuk paralitik
yang klasik. Gambaran klinis poliomielitis bervariasi mulai dari yang non-
spesifik menyerupai influenza, sampai yang berat dan fatal.
Gejala minor biasanya terjadi bersamaan dengan terjadinya viremia
dan ditemukannya virus di dalam feses. Gejala ini berlangsung selama
24 sampai 48 jam; manifestasi klinis pada saat ini tidak spesifik. Gejala
mayor dapat muncul setelah hari kedua sampai hari kelima penyakit.
Gejala penyakit dapat tidak berkembang lagi atau berkembang menjadi
bentuk paralitik. Petunjuk awal kelumpuhan adalah nyeri otot lokal,
fasikulasi, dan menurun atau hilangnya refleks tendon. Kelumpuhan
timbul dalam beberapa hari setelah gejala mayor.
Isolasi virus dapat dilakukan dari feses dan orofaring. Poliovirus
dapat diisolasi 19 hari sebelum sampai tiga bulan setelah awitan
penyakit. Teknik polymerase chain reaction (PCR) dengan spesimen dari
cairan serebrospinal, darah, feses, dan/atau tenggorokan sangat sensitif,
spesifik, dan cepat untuk mendiagnosis infeksi enterovirus.

Keadaan kritis pada kelumpuhan saraf tepi


Tidak jarang anak dengan penyakit neuromuskular datang ke rumah sakit
dalam keadaan memerlukan perawatan intensif segera karena adanya
gangguan pernapasan. Contoh yang seringkali muncul segera setelah
lahir adalah AMS tipe 1, polineuropati kongenital, distrofi miotonik
kongenital, dan SGB intrauterin. Pada masa bayi, penyakit neuromuskular
yang sering menyebabkan kegawatan napas adalah botulisme infantil,
poliomielitis pascavaksinasi, dan miastenia kongenital. Pada anak yang
lebih besar, komplikasi pernapasan sering dijumpai pada SGB, MG,
dan DMD. Meskipun jarang terjadi sepsis atau penyakit berat lainnya,

Everything you should know about motor and movement problems in children
35
Dwi Putro Widodo

pemakaian steroid dosis tinggi dan penggunaan obat penghambat


neuromuskular dapat mengakibatkan kelainan pada sistem saraf tepi.6-8

Simpulan
Karena kelumpuhan dapat membaik dan banyak keadaan yang mirip
dengan kelumpuhan, sebaiknya anak dipantau terlebih dahulu sebelum
mengatakan bahwa anak lumpuh. Bila terdapat keraguan, sebaiknya tidak
mengatakan sesuatu sampai pemeriksaan dapat diulang.
Bila adanya kelumpuhan sudah jelas, maka anak harus diperiksa
dengan teliti, apakah kelumpuhan bersifat fungsional yang tidak
berbahaya atau merupakan tanda adanya gangguan pada susunan saraf
pusat atau susunan saraf tepi, misalnya palsi serebral atau AMS. Selain
itu, juga harus dipikirkan kemungkinan terdapatnya kelainan yang
progresif, misalnya kelainan metabolik.
Tata laksana anak dengan kelumpuhan membutuhkan kerjasama
pelbagai bidang keahlian yang meliputi dokter spesialis anak dan
saraf anak, terapis okupasi, fisioterapis, dokter spesialis ortopedi,
serta berbagai bidang yang terkait dengan gangguan lain yang
menyertainya.

Daftar pustaka
1. Fenichel GM. Clinical pediatric neurology. A signs and symptoms approach.
5th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. h. 171-97.
2. De Vivo DC, Darras BT, Ryan MM, Jones HR Jr. Introduction: Historical
perspectives. Dalam: Jones HR, De Vivo DC, Darras BT, penyunting.
Neuromuscular disorders of infancy, childhood, and adolescence: A
clinician’s approach. Oxford: Butterworth-Heinemann; 2003. h. 3-16.
3. Edgar TL. Muscular dystrophy and myopathy. Dalam: Maria BL, penyunting.
Current management in child neurology. Edisi ke-3. Shelton, Connecticut:
BC Decker; 2005. h. 405-13.
4. Olney RK. Electrodiagnostic evaluation of neuromuscular disease. Dalam:
Berg OB, penyunting. Principles of child Neurology. London: McGraw-Hill;
1996. h. 51-66
5. Nara P, Lumbantobing SM. Penyakit unit motor dan sindrom neurokutan .
Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku ajar neurologi anak.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 1999. h. 275-99.
6. Finkel RS, Chiriboga CA, Vajsar J, Day JW, Montes J, De Vivo DC, dkk.
Treatment of infantile-onset spinal muscular atrophy with nusinersen:
a phase 2, open-label, dose-escalation study. Lancet. 2016; 388:3017-26.
7. United States Food and Drug Administration. FDA approves first drug
for spinal muscular atrophy. Diunduh dari: www.fda.gov/newsevents/
newsroom/pressannouncements/ucm534611. Diakses tanggal 30 Maret
2017.
8. Darras TB, Jones HR. Neuromuscular problems of the critically ill neonate
and child. Semin Pediatr Neurol. 2004;11:147-68.

36 Update in Child Neurology


Common movement disorders
in children
Tajul Arifin bin Tajudin

Objective
To assist clinicians to be familiar with movement disorders
commonly seen in children

Movement disorders in childhood are a heterogeneous group of diseases


with presentations that vary according to etiopathogenesis and age
of onset. They also have unique features that are determined by the
metabolic, physiological, and environmental distinctiveness of the
developing brain. This context makes the nervous system of children
vulnerable to various insults such as birth trauma, infections and toxicity.
The common movement disorders in children can be broadly classified
into hyperkinetic and hypokinetic movement disorders. The hyperkinetic
movement disorders are by large the most common and consist of tics,
chorea, dystonia, myoclonus, tremor, and stereotypy. The less common
akinetic rigid syndrome is probably the only non-hyperkinetic movement
disorder in children. The objective of this lecture is to assist clinicians to be
familiar with the clinical presentations, pathogenesis, and epidemiology
of the more common movement disorders in children.

Everything you should know about motor and movement problems in children
37
Ethical issues: Penyampaian
berita buruk tentang keadaan
neonatus risiko tinggi
Irawan Mangunatmadja

Tujuan:
1. Mendiskusikan masalah etik yang dihadapi dokter dengan orangtua bayi risiko tinggi
2. Mengetahui etika pelayanan rumah sakit
3. Mengetahui etika penyampaian berita buruk
4. Mengetahui etika perawatan pasien terminal

Angka kejadian kelahiran bayi prematur meningkat 12% dari seluruh


kelahiran hidup di Amerika Serikat dalam 2 dekade terakhir ini. Selain
itu, peningkatan perawatan perinatal telah meningkatkan kemungkinan
hidup bayi dengan berat lahir rendah dan berat bayi lahir sangat rendah.1
Peningkatan kualitas perawatan bayi risiko tinggi menurunkan angka
kejadian infeksi dan meningkatkan keadaan kronis lainnya.2,3
Lahirnya bayi risiko tinggi menyebabkan trauma pada orangtua
yang belum siap menghadapi bayi lahir prematur dengan gestasi
kurang dari 37 minggu yang terkadang disertai keadaan lain, misalnya
infeksi, sesak napas, adanya kelainan jantung, dan lain-lain. Keadaan ini
menyebabkan neonatus harus dirawat di ruang rawat intensif neonatus
(neonatal intensive care unit atau NICU), sedangkan orangtua belum
pernah mempersiapkan diri menghadapi keadaan tersebut.2,3 Keadaan
ini menyebabkan orangtua atau keluarga sejak saat itu harus belajar
mengerti perawatan neonatus dengan risiko tinggi.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai permasalahan antara
dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dengan orangtua atau
keluarga yang mempunyai neonatus risiko tinggi yang dirawat di ruang
NICU. Pembahasan terutama berdasarkan panduan dan pengalaman
yang terjadi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta sebagai pusat
rujukan nasional. Pengalaman ini diharapkan dapat menjadi panduan
bagi rumah sakit lainnya.

Neonatus risiko tinggi dan keluarga


Istilah high risk infant atau neonatus risiko tinggi mencakup keadaan
yang sangat bervariasi, termasuk neonatus dengan asfiksia dan
neonatus dengan kelainan kongenital yang bermakna atau prosesnya
masih berlangsung yang memerlukan intervensi yang kompleks atau

38 Update in Child Neurology


Ethical issues: Penyampaian berita buruk tentang keadaan neonatus risiko tinggi

pengobatan yang baru (seperti operasi pada neonatus).2 Hasil akhir


dari keadaan ini dapat menyebabkan kematian atau disabilitas yang
berhubungan dengan kualitas hidup anak dikemudian hari.
Keadaan awal neonatus risiko tinggi dan hasil akhir yang bervariasi
ini sebaiknya diinformasikan kepada orangtua. Sejak awal perawatan,
orangtua (dan keluarga) sebaiknya dilibatkan dalam menentukan tata
laksana.2 Kompleksitas keadaan neonatus dan tekanan perasaan yang
dihadapkan orangtua dan keluarga mengharuskan dokter terkait dan
seluruh staf di ruang NICU memberikan informasi yang benar serta
mendukung orangtua dan keluarga pasien.2
Setelah mendapat penjelasan dari dokter, orangtua/keluarga
umumnya akan mencari informasi tentang masalah perawatan penyakit
yang dialami bayi, baik dari internet, buku, maupun sumber informasi
lainnya. Pengetahuan yang diperolehnya akan diajukan didalam rapat
keluarga (family meeting) selanjutnya.
Di RSCM, berdasarkan peraturan Joint Commission International
(JCI) saat ini untuk semua kasus sulit atau kasus risiko tinggi diwajibkan
untuk mengadakan pertemuan dengan orangtua/keluarga (family
meeting) dalam dua kali 24 jam pertama pasien dirawat. 4 Dalam
pertemuan tersebut diharapkan orangtua/keluarga dan pihak penjamin
biaya dapat memahami kedaan neonatus saat awal dan mengambil
kesepakatan bersama dalam menentukan tata laksana (care plan)
selanjutnya. Pertemuan ini sebaiknya melibatkan DPJP utama, DPJP
terkait, orangtua, kakek-nenek atau anggota keluarga lainnya yang
berperan dalam pengambilan keputusan, dan pihak penjamin biaya
perawatan.
Keinginan dan harapan setiap keluarga akan berbeda; hal ini perlu
mendapat perhatian. Pemberian informasi selama pertemuan keluarga
sebaiknya memerhatikan konteks klinis pasien, dilakukan dalam bahasa
awam, dan mempertimbangkan latar belakang pendidikan, sosioekonomi,
budaya, dan kepercayaan keluarga.2

Etika pelayanan di rumah sakit


Tindakan atau pelayanan dokter atau DPJP di rumah sakit diharapkan
dilakukan dengan sebaik-baiknya dan tidak termasuk dalam 28 bentuk
pelanggaran disiplin profesional dokter dan dokter gigi yang telah
ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, antara lain:5
1. Tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi
tertentu yang dapat membahayakan pasien;
2. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai
(adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam
melakukan praktik kedokteran;
3. Melakukan tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan
dari pasien atau keluarga dekat, wali, atau pengampunya;

Everything you should know about motor and movement problems in children
39
Irawan Mangunatmadja

4. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas


permintaan sendiri atau keluarga;
5. Menolak atau menghentikan tindakan/asuhan medis atau tindakan
pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai
dengan ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pada dasarnya, pelayanan di rumah sakit harus sesuai dengan azas


umum etika rumah sakit, sebagai berikut:6
1. Beneficence: kewajiban berbuat baik di dalam melayani pasien
maupun masyarakat
2. Non-maleficence: tidak menimbulkan atau menambah penderitaan
pasien
3. Respect for persons:
a. Autonomy: menghormati hak keluarga dalam mengambil
keputusan tentang pengobatan pasien
b. Privacy: hak pasien untuk dilayani sebagai pribadi tersendiri
c. Telling the truth: berkatan jujur dan benar kepada keluarga
d. Confidentiality: menjaga kerahasiaan kondisi penyakit pasien
4. Justice: berlaku adil kepada semua pasien tanpa memandang
latar belakang.

Etika penyampaian berita buruk


Di RSCM, penyampaian berita buruk kepada keluarga pasien dilakukan
atas dasar Panduan Pelaksanaan Etik dan Hukum RSUPN Cipto
Mangunkusumo.7 Dalam panduan tersebut, pengertian berita buruk
(bad news) adalah informasi tentang kelainan, masalah, diagnosis, atau
prognosis yang buruk yang tidak diharapkan oleh keluarganya pasien.
Adapun prosedur yang harus dijalankan adalah sebagai berikut:7
1. Harus diyakinkan bahwa berita buruk tersebut sudah jelas, akurat,
dan terbukti berdasarkan data yang patognomonik dan literatur
evidence-based medicine yang terkini dan sahih.
2. Apabila belum terbukti kebenarannya, maka cukup diinformasikan
adanya sesuatu yang mencurigakan dengan diberitahukan berbagai
kemungkinan yang ada.
3. Pada saat penyampaian informasi harus ada keluarga atau saksi
yang mendampingi baik bagi dokter maupun keluarga pasien, dan
didokumentasikan di dalam dokumen medik dengan ditandatangani
oleh dokter yang menjelaskan dan keluarga pasien.
4. Penyampaian informasi kepada keluarga pasien harus memperhatikan
dan mempertimbangkan kondisi keluarganya.
5. Hindarkan menyampaikan informasi melalui perantara atau telepon,
faksimili, email, ataupun pesan singkat (SMS).

40 Update in Child Neurology


Ethical issues: Penyampaian berita buruk tentang keadaan neonatus risiko tinggi

6. Berikan keterangan tentang akibat penyakit tersebut terhadap


kehidupan pasien.
7. Tidak memberikan harapan berlebihan, namun harus tetap disadarkan
bahwa betapapun kecilnya harapan selalu ada dengan upaya yang
sedang dilakukan.
8. Pada situasi dokter tidak dapat berbuat apa-apa lagi, pasien akan
tetap didampingi dan dirawat sebaik-baiknya.
9. Berikan informasi tambahan bila perlu sehingga keluarga menyadari
dan mengerti betul kondisi pasien saat ini.
10. Membuat rencana bersama (DPJP-DPJP terkait – keluarga) tentang
tindakan suportif yang akan dilakukan, serta rencana pemantauan
selanjutnya.
11. Adapun mereka yang sebaiknya diundang dalam pertemuan dengan
keluarga (family meeting) adalah DPJP, DPJP terkait, orangtua, kakek-
nenek, dan penanggung jawab biaya perawatan.

Etika perawatan pasien terminal


Panduan Etik dan Hukum pada pasien terminal yang dirawat di RSUPN
Dr Cipto Mangunkusumo adalah sebagai berikut:8
1. Sejak awal dokter harus menjalin hubungan yang baik dengan pihak
keluarga pasien.
2. Setiap pengambilan keputusan baik untuk tujuan diagnostik, terapi
maupun berupa tindakan lainnya harus selalu dengan persetujuan
orangtua/keluarga.
3. Sampaikan keadaan pasien kepada orangtua, keluarga tentang
keadaan yang sebenarnya dan sejujur-jujurnya mengenai penyakit
pasien
4. Dalam keadaan ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak dapat
memberikan harapan kesembuhan, maka upaya perawatan harus
lebih ditujukan untuk memperoleh kenyamanan dan meringankan
penderitaan.
5. Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup pada tahap pasien
menjelang ajalnya harus mendapat persetujuan keluarga setelah
keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter yang merawatnya.
6. Persetujuan yang diberikan harus dibuat tertulis dalam rekam medis.
7. Dokter wajib untuk terus melakukan perawatan terhadap pasien,
sekalipun pasien dipindahkan ke ruangan/fasilitas lainnya.
8. Beban yang ditanggung keluarga pasien hendaknya seringan mungkin.
9. Apabila keluarga pasien menghendaki cara pengobatan “alternatif”,
tidak ada alasan melarangnya sejauh tidak membahayakan pasien.
10. Menghadirkan pembimbing rohani sesuai kepercayaan keluarga.

Everything you should know about motor and movement problems in children
41
Irawan Mangunatmadja

Setelah orangtua/keluarga mengerti keadaan kondisi pasien


neonatus risiko tinggi, maka rencana perawatan selanjutnya ditentukan
berdasarkan otonomi keluarga, apakah akan diteruskan atau dilakukan
penghentian alat bantu napas. Panduan Etik dan Hukum pelepasan alat
bantu atas permintaan keluarga adalah sebagai berikut:8

Tujuan:
1. Agar tidak terjadi kesalahpahaman dengan pihak keluarga;
2. Agar tidak terjadi tuntutan hukum.

Prosedur yang harus dilakukan adalah :


1. Harus ada permintaan penghentian resusitasi (alat bantu napas) dari
keluarga secara tertulis yang disertai dengan kesaksian.
2. Selanjutnya dokter memberikan pertolongan minimal.
3. Dokter melakukan observasi, oksigen dan mesin diturunkan perlahan,
digantikan dengan oksigen nasal.
4. Kurang lebih setelah 2 jam respirator dan mesin dimatikan, ditunggu
selama setengah jam kemudian respirator dilepaskan.
5. Pasien dipindah ke ruang perawatan biasa atau dibawa pulang oleh
keluarga.

Dokter dan perawat memegang peranan yang penting pada


perawatan neonatus dengan fase terminal dan mendekati kematian.
Hubungan baik antara dokter dan perawat dengan keluarga akan
menentukan kepuasan keluarga pasien.

Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keadaan neonatus
risiko tinggi sebaiknya ditentukan dan diinformasikan kepada orangtua
dan keluarga pada awal perawatan, penentuan rencana perawatan
(care plan) harus sudah ditentukan dalam dua kali 24 jam pertama
perawatan dalam bentuk family meeting, penyampaian berita buruk
harus mempertimbangkan latar belakang pendidikan, sosioekonomi,
budaya, dan kepercayaan keluarga, dan hubungan baik serta dukungan
dokter, perawat, dan staf NICU terhadap keluarga sangat menentukan
kepuasan orangtua/keluarga pasien.

Conflict of interest statement


Dalam penyusunan makalah ini tidak ada conflict of interest baik dana
maupun organisasi.

42 Update in Child Neurology


Ethical issues: Penyampaian berita buruk tentang keadaan neonatus risiko tinggi

Daftar pustaka
1. Abowd G, Hayes GR, Kientz J, Mamykina K, Mynatt E. Challenges and
opportunities for collaboration technologies for chronic care management.
In Proc. HCIC. 2006;3:1-13.
2. Yee W, Ross S. Communicating with parents of high-risk infants in neonatal
intensive care. Paediatr Child Health. 2006;11:291-4.
3. Liu LS, Hirano SH, Tentori M, Cheng KG, George S, Park SY, Hayes GR.
Improving communication and social support for caregivers of high-risk
infants through mobile technologies. CSCW. 2011;19:475-84.
4. Buku Pedoman pengelolaan kasus medik sulit dan kompleks di RSUPN Dr
Cipto Mangunkusumo. Jakarta: RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, 2012.
5. Konsil Kedokteran Indonesia. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No
4 tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi. Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia; 2011.
6. Damping EC, Zubier F, Irvianita PV, penyunting. Buku Panduan Pelaksanaan
Etik dan Hukum RSUP Dr Cipto Mangunkusumo. Edisi III. Jakarta: RSUPN
Dr Cipto Mangunkusumo, 2014. h.1-4.
7. Damping EC, Zubier F, Irvianita PV, penyunting. Buku Panduan Pelaksanaan
Etik dan Hukum RSUP Dr Cipto Mangunkusumo. Edisi III. Jakarta: RSUPN
Dr Cipto Mangunkusumo, 2014. h. 103-8.
8. Damping EC, Zubier F, Irvianita PV, penyunting. Buku Panduan Pelaksanaan
Etik dan Hukum RSUP Dr Cipto Mangunkusumo. Edisi III. Jakarta: RSUPN
Dr Cipto Mangunkusumo, 2014. h. 88-98.

Everything you should know about motor and movement problems in children
43
Infants at high risk of cerebral
palsy: is prevention possible?
R.M. Indra

Tujuan:
1. Mengenali faktor-faktor risiko palsi serebral
2. Mengetahui upaya-upaya pencegahan terhadap faktor risiko palsi serebral
3. Memahami deteksi dini palsi serebral pada bayi berisiko tinggi
4. Memahami peran intervensi dini pada bayi risiko tinggi

Palsi serebral merupakan penyebab disabilitas masa kanak-kanak yang


paling sering ditemukan. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
telah berhasil menurunkan angka kematian ibu dan bayi, namun tidak
menurunkan angka kejadian palsi serebral. Anak dengan palsi serebral
tidak hanya mengalami gangguan fungsi motorik, namun sebagian
besar juga mengalami masalah medis yang sangat luas yang meliputi
masalah sensorik, perilaku, kognitif, bahasa, epilepsi dan masalah
muskuloskeletal sekunder seperti fraktur dan dislokasi. Saat ini tidak ada
tata laksana yang dapat menyembuhkan palsi serebral, namun sebagian
besar anak dengan palsi serebral kini dapat bertahan hidup hingga
dewasa. Palsi serebral diperkirakan akan menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang lebih besar di masa mendatang.1,2
Dengan kecenderungan epidemiologi yang demikian, apakah
sebenarnya palsi serebral dapat dicegah? Pencegahan penyakit dapat
berupa pencegahan primer, sekunder, atau tersier. Berkenaan dengan
palsi serebral, upaya yang dapat dilakukan meliputi pencegahan terhadap
faktor risiko (misalnya persalinan prematur), modifikasi proses penyakit
(misalnya hipotermia pada ensefalopati hipoksik iskemik) dan intervensi
dini dengan berbagai modalitas. Berikut akan dibahas mengenai upaya-
upaya intervensi untuk mencegah terjadinya palsi serebral pada bayi.1-3

Angka kejadian dan faktor risiko


Angka kejadian palsi serebral diperkirakan antara 1,5 sampai 4 per 1000
kelahiran hidup.1 Angka kejadian di negara berpendapatan menengah
ke bawah dilaporkan lebih tinggi, dapat mencapai 10 per 1000 kelahiran
hidup.4 Untuk populasi bayi prematur didapatkan angka kejadian yang
jauh lebih tinggi yaitu 43 per 1000 kelahiran hidup untuk bayi usia
gestasi 28 sampai 31 minggu dan 82 per 1000 kelahiran hidup untuk
usia gestasi <28 minggu.5,6

44 Update in Child Neurology


Infants at high risk of cerebral palsy: is prevention possible?

Palsi serebral terjadi dikarenakan adanya kerusakan otak yang


bersifat non-progresif pada otak janin atau bayi yang sedang berkembang.
Faktor risiko palsi serebral memiliki pola berbeda antara negara maju dan
berkembang. Faktor risiko di negara maju sebagian besar terdapat pada
periode antenatal seperti korioamnionitis, prematuritas, pertumbuhan
janin terhambat, malformasi kongenital, dan stroke perinatal, sedangkan
di negara berkembang pengaruh faktor asfiksia perinatal, kernicterus,
dan infeksi susunan saraf pusat lebih kuat (Tabel 1).4,7-9

Tabel 1. Faktor risiko palsi serebral


Negara maju Negara berkembang
Sebagian besar berhubungan dengan Penyebab pascapersalinan banyak
kejadian sebelum persalinan:7-9 berpengaruh:4,9
• Prematuritas (>70%) • Infeksi susunan saraf pusat +++
• Pertumbuhan janin terhambat • Toksisitas bilirubin ++
• Infeksi intrauterin dan korioamnionitis
• Perdarahan antepartum Asfiksia neonatal ++++
• Kelainan patologis plasenta
Kehamilan kembar
Asfiksia neonatal (<10%)

Terdapat laporan yang menyatakan bahwa terjadinya palsi serebral


dapat digambarkan sebagai suatu model two-hit atau dua tahap, yaitu
adanya mekanisme yang terjadi dari masa pranatal sampai persalinan
sebagai tahap pertama (prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, dan
asfiksia) yang kemudian diperberat oleh tahap kedua berupa komplikasi
masa neonatal dari kondisi pertama (sepsis dan lain-lain). Sebagai contoh,
bayi-bayi dengan pertumbuhan intrauterin yang terhambat ditemukan
memiliki skor Bayley Mental Development lebih rendah apabila juga
mengalami inflamasi sistemik.10
Pengetahuan mengenai faktor-faktor risiko palsi serebral
dibutuhkan untuk dapat menyusun strategi pencegahan yang efektif.
Upaya pencegahan palsi serebral dapat diurutkan menjadi pencegahan
terhadap paparan faktor risiko, modifikasi proses akibat faktor risiko
apabila telah terpapar, dan tata laksana pasca-paparan.1

Pencegahan dan modifikasi terhadap faktor risiko


Pencegahan faktor risiko yang utama adalah pencegahan persalinan
prematur. Beberapa metode yang dilakukan antara lain dengan
pemberian progesteron atau cerclage pada ancaman persalinan
prematur. Pemberian progesteron dapat mencegah persalinan preterm
hingga 50%, sehingga efeknya dalam pencegahan palsi serebral tentu
saja sangat besar.11

Everything you should know about motor and movement problems in children
45
R.M. Indra

Terhadap persalinan prematur yang tidak dapat dicegah, pemberian


MgSO4 antenatal memberi efek neuroprotektif terhadap bayi dan terbukti
dapat mencegah terjadinya palsi serebral. Pemberian MgSO4 pada ibu
hamil yang akan mengalami persalinan prematur dapat menurunkan
risiko terjadinya palsi serebral pada bayi sebesar 30%.12 Pemberian
kortikosteroid untuk pematangan paru janin juga dapat menyebabkan
penurunan kejadian palsi serebral. Suatu meta-analisis tahun 2015
terhadap 14 penelitian menunjukkan pemberian kortikosteroid antenatal
berhubungan dengan penurunan risiko terjadinya palsi serebral yang
signifikan.13

Terapi hipotermia pada ensefalopati hipoksik-


iskemik
Terapi hipotermia merupakan satu-satunya terapi neuroprotektif yang
terbukti efektif dalam tata laksana neonatus dengan ensefalopati
hipoksik-iskemik. Terapi ini dilakukan dengan mempertahankan suhu
antara 33°C dan 35°C selama 72 jam dalam enam jam pertama setelah
persalinan. Pendinginan selektif pada kepala tampaknya sama efektif
dibandingkan pendinginan seluruh tubuh. Dasar kerja terapi hipotermia
meliputi menurunkan radikal bebas, menurunkan metabolisme, menekan
jalur apoptosis dan menekan respon pro-inflamasi yang terjadi pada
ensefalopati hipoksik iskemik.14 Suatu meta-analisis oleh Jacobs dkk
(2013) menunjukkan bahwa terapi hipotermia pada neonatus dengan
ensefalopati hipoksik iskemik secara bermakna menurunkan angka
kematian dan gangguan perkembangan. Analisis terpisah khusus untuk
pencegahan palsi serebral menunjukkan penurunan angka kejadian yang
signifikan dengan RR 0,66 (IK95% 0,54 sampai 0,82) dan number needed
to treat sebanyak 8 bayi.15

Terapi eksperimental lain


Beberapa terapi eksperimental sedang dikembangkan untuk bayi
risiko tinggi, antara lain transplantasi glial-restricted precursor cell,
nanomaterial seperti dendrimer, dan darah tali pusat alogenik. Terapi-
terapi tersebut masih terbatas pada penelitian hewan.1

Deteksi dini palsi serebral pada bayi berisiko


Diagnosis palsi serebral pada sebagian besar kasus saat ini ditegakkan
setelah usia 1-2 tahun. Untuk tujuan pencegahan dan tataksana dini
seharusnya diagnosis harus ditegakkan lebih cepat. Agar memberi
manfaat, tata laksana dini harus dimulai sebelum usia satu tahun,
oleh karena itu deteksi dini palsi serebral setidaknya harus dapat
mengidentifikasi pasien sebelum usia enam bulan.16

46 Update in Child Neurology


Infants at high risk of cerebral palsy: is prevention possible?

Beberapa metode memiliki kemampuan deteksi dini yang sangat baik.


Metode deteksi dini secara umum terdiri dari pemeriksaan antropometris
(lingkar kepala), pemeriksaan neurologis dan pencitraan.17,18

Lingkar kepala
Lingkar kepala sebagai pemeriksaan rutin dan sederhana memiliki nilai
sangat penting dalam memprediksi gangguan perkembangan, seperti
yang telah diteliti pada bayi-bayi prematur. Penelitian terhadap 958
bayi oleh Kuban dkk (2009) mendapatkan bahwa mikrosefali pada usia
24 bulan berhubungan dengan kejadian palsi serebral dan gangguan
kognitif.19 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kemampuan prediktif
pengukuran lingkar kepala bermanfaat pada usia lebih dini. Penelitian
di Austria tahun 2013 terhadap 538 bayi prematur mendapatkan bahwa
lingkar kepala suboptimal pada usia tiga bulan berhubungan dengan
terjadinya gangguan kognitif dan psikomotor sedang hingga berat pada
usia 12 dan 24 bulan.18

Penilaian neurologis
Penilaian neurologis dan neuromotor dipergunakan untuk memonitor
perkembangan bayi berisiko tinggi. Berbagai jenis metode pemeriksaan
telah diteliti kemampuannya dalam memprediksi terjadinya palsi serebral
pada bayi berisiko tinggi. Pemeriksaan yang banyak dipergunakan
tercantum pada Tabel 2. Nilai diagnostik dan skill yang dibutuhkan
untuk melakukan masing-masing pemeriksaan dapat berbeda-beda.2

Tabel 2. Pemeriksaan neurologis untuk deteksi dini palsi serebral.2


• Dubowitz Assessment for Neonates
• Hammersmith Infant Neurological Examination (HINE)
• Prechtl Assessment of the Newborn
• Touwen Infant Neurological Examination (TINE)
• Amiel-Tison Neurologic Assessment at Term (ATNAT)
• General movement assessment (GMA)
• Motor assessment of infancy (MAI)
• Test of infant motor performance (TIMP)
• Alberta Infant Motor Scale (AIMS)
• Infant motor profile (IMP)
• Bayley Psychomotor Index
• Developmental assessment of young children (DAYC)

Dubowitz Assessment for Neonates, HINE, Prechtl Assessment of


the Newborn, TINE, dan ATNAT merupakan pemeriksaan yang banyak
digunakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik, yaitu
antara 88-92%.17
Salah satu pemeriksaan neuromotor yang paling banyak diketahui
adalah pemeriksaan general motor assessment (GMA). Pemeriksaan

Everything you should know about motor and movement problems in children
47
R.M. Indra

Gambar 1. A) seorang bayi aterm yang menunjukkan gerakan fidgety normal, nampak perubahan gerakan
dengan variasi yang tinggi; gambar 1B adalah bayi lahir dengan usia gestasi 28 minggu dengan GMA abnormal
berupa tidak adanya variasi gerakan. (Dikutip dari: Hadders-Algra M. J Pediatr 2004;145:S12-8) 22

ini menilai general movements, yakni gerakan-gerakan yang paling


banyak digunakan oleh bayi dari masa janin dini hingga usia tiga
sampai empat bulan. Kualitas general movements dapat memberikan
informasi mengenai integritas otak. Salah satu petanda abnormalitas
pada pemeriksaan GMA adalah adanya gerakan bersifat cramped
synchronized, yaitu gerakan yang kaku tanpa keluwesan atau kehalusan
dan melibatkan seluruh anggota gerak dan batang tubuh sekaligus
bersamaan. Pemeriksaan GMA memiliki sensitivitas 95% sampai 100%
dan spesifisitas 96% sampai 98% dalam memprediksi palsi serebral. Nilai
diagnostiknya akan meningkat apabila dilakukan secara serial. Apabila
hanya dilakukan satu kali, usia ideal untuk pemeriksaan adalah sekitar
tiga bulan setelah usia aterm dengan sensitvitas 98% dan spesifisitas
94%.2,17,20,21 Beberapa gambaran general movements normal dan abnormal
dapat dilihat pada Gambar 1.

Pencitraan
Pencitraan kepala bayi memiliki nilai diagnostik yang sangat baik
dalam meramalkan terjadinya palsi serebral pada bayi berisiko tinggi,
baik preterm maupun aterm. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) kepala
merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap semua neonatus dengan
masalah neurologis yang dirawat di NICU. Kemampuan diagnostik USG
kepala meningkat apabila dilakukan secara serial. American Academy
of Neurology dan Child Neurology Society menganjurkan pemeriksaan
USG kepala kepada semua bayi yang lahir dengan gestasi ≤30 minggu
saat berusia tujuh sampai 14 hari pascalahir dan saat berusia 36 sampai
40 minggu pascagestasi. Hal ini dilakukan mengingat kelainan seperti
leukomalasia periventrikular kistik dapat baru terbentuk setelah dua
sampai lima minggu. Kelainan-kelainan besar pada USG kepala, misalnya
infark parenkim hemoragik dan leukomalasia periventrikular grade II
dan III memiliki nilai prediktif yang tinggi dalam meramalkan palsi
serebral pada bayi berisiko tinggi, dengan sensitivitas 70% sampai 86%
dan spesifisitas 90% sampai 99%.23,24

48 Update in Child Neurology


Infants at high risk of cerebral palsy: is prevention possible?

Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) kepala dilakukan


terutama untuk bayi cukup bulan dengan ensefalopati hipoksik-iskemik.
Data mengenai nilai prediktif MRI kepala terhadap terjadinya palsi
serebral masih terbatas. Gabungan USG dan MRI kepala dilaporkan
memiliki sensitivitas 71% dan spesifisitas 94% dalam memprediksi palsi
serebral pada bayi aterm dengan ensefalopati hipoksik iskemik.17

Intervensi dini terhadap bayi risiko tinggi untuk


pencegahan palsi serebral
Setelah bayi risiko tinggi dapat diindentifikasi dengan berbagai metode
di atas, intervensi dini dapat dilakukan. Sebagian besar penulis
menggunakan batasan usia di bawah satu tahun, bahkan beberapa jenis
terapi dimulai saat perawatan di NICU. Meski sebetulnya telah dilakukan
banyak penelitian mengenai intervensi dini dalam pencegahan palsi
serebal, hingga saat ini belum terdapat bukti yang cukup mengenai
efektivitas dan jenis terapi mana yang paling bermanfaat. Hal ini
dikarenakan adanya jenis terapi yang bermacam-macam dengan aktivitas
yang tumpang tindih, heterogenitas subyek (perbedaan jenis risiko dan
usia dimulainya terapi), perbedaan kriteria luaran yang diteliti dan lain-
lain.25,26
Neurodevelopmental treatment (NDT) atau metode Bobath
merupakan salah satu jenis intervensi yang paling banyak diteliti, namun
ternyata penggunaan metode ini tidak memberikan efek bermakna
dalam pencegahan palsi serebral. Satu penelitian yang membandingkan
NDT intensif dan standar menunjukkan perbaikan kemampuan motorik
dan activities of daily living lebih besar pada kelompok intensif, akan
tetapi angka kejadian palsi serebral kedua kelompok tidak berbeda.27
Penelitian oleh Palmer dkk membandingkan NDT dan stimulasi bayi
yang kemudian baru dilanjutkan dengan NDT dan mendapatkan bahwa
kelompok stimulasi menunjukkan luaran motorik yang lebih baik.28 Patut
dipahami bahwa metode NDT terus menerus mengalami perubahan
sehingga saat ini sudah sangat berbeda dengan konsep awalnya. Hasil
penelitian-penelitian terdahulu mungkin tidak mencerminkan efektivitas
NDT saat ini.29
Tata laksana terhadap palsi serebral saat ini telah berkembang
menjadi tata laksana yang berorientasi tugas dan berbasis aktivitas
(task-oriented and activity-based), serta memperhatikan intervensi
terhadap lingkungan (memperkaya lingkungan agar dapat menstimulasi
bayi) dan interaksi bayi dengan orang tua. Kerusakan otak yang sedang
berkembang pada palsi serebral menyebabkan kelemahan akibat
gangguan fungsi otot dan kontrol motorik. Kedua hal ini juga akan
menyebabkan proses pembelajaran untuk mencapai kematangan motorik
dan kemampuan lain menjadi terganggu. Dengan proses pembelajaran
yang bersifat lebih aktif, diharapkan terjadi reorganisasi adaptif yang
sesuai dengan kebutuhan individual.30

Everything you should know about motor and movement problems in children
49
R.M. Indra

Program “Coping With and Caring for Infants With Special


Needs (COPCA)” merupakan intervensi untuk bayi risiko tinggi yang
dikembangkan di Groningen yang berorientasi keluarga. Program
ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah pelatihan oleh
fisioterapis kepada keluarga untuk dapat mandiri dalam menentukan
aktivitas sehari-hari yang juga dapat bermanfaat bagi stimulasi bayi.
Bagian kedua adalah bagian neurodevelopmental atau aktivitas bayi itu
sendiri. Berbeda dengan terapi konvensional, perkembangan motorik
dianggap suatu proses trial and error yang diinisiasi sendiri. Anak
dengan kerusakan otak memiliki proses pembelajaran suatu aktivitas
yang berbeda dengan anak sehat. Bentuk aktivitas motorik anak dengan
kerusakan otak mungkin berbeda, namun yang lebih penting adalah
fungsionalnya. Permainan dengan saudara dan eksplorasi dianggap
merupakan metode yang sangat baik untuk melatih dan memberikan
stimulasi pada bayi. Dibandingkan dengan terapi NDT konvensional,
bayi dalam program COPCA jadi lebih banyak diperlakukan dalam posisi
yang lebih sulit (misalnya dimandikan dalam posisi duduk saat usia
enam bulan) oleh orang tua dan kondisi ini berhubungan dengan fungsi
motorik yang lebih baik pada usia 18 bulan. Fungsi kognitif bayi dalam
program COPCA juga sedikit lebih baik dibandingkan dengan kontrol.
Kejadian palsi serebral pada kedua kelompok ditemukan tidak berbeda.31
Program GAME (Goals, Activity, and Motor Enrichment) merupakan
program yang dikembangkan oleh Morgan dkk di Australia. Program
ini memiliki tiga komponen: 1) berbasis aktivitas yang goal-oriented,
dengan orang tua yang menentukan goal (tujuan aktivitas) yang ingin
dicapai. Fisioterapis pada awalnya menopang aktivitas motorik yang
dilakukan bayi sehingga bayi selalu berhasil melakukan setidaknya
sebagian tujuan aktivitas; 2) edukasi terhadap orang tua mengenai
kapasitas motorik bayi dan metode untuk menstimulasi perkembangan;
3) memperkaya lingkungan (environmental enrichment) tempat bayi
agar dapat melakukan permainan yang memberi stimulasi lebih efektif.
Luaran motorik saat usia 12 bulan pada bayi risiko tinggi dengan program
GAME ditemukan lebih baik dibandingkan fisioterapi standar.32
Suatu meta-analisis yang dilakukan Spittle dkk (2015) mengikutkan
25 penelitian yang terdiri dari 3615 bayi preterm yang mendapatkan
intervensi dini untuk pencegahan gangguan motorik dan kognitif.
Intervensi yang digunakan sangat beragam, meliputi konseling dan
pelatihan bagi keluarga, kunjungan ke rumah dan sesi fisioterapi.
Didapatkan adanya efek positif yang kecil dalam hal perbaikan fungsi
motorik, namun hanya apabila terapi dimulai saat bayi. Tidak didapatkan
perbedaan bermakna dalam kejadian palsi serebral.33
Hadders-Algra dkk (2017) dalam tinjauan sistematisnya menyatakan
bahwa penelitian-penelitian yang ada saat ini sebagian besar terlalu kecil
dan intervensi yang digunakan terlalu heterogen sehingga belum dapat
dibuat suatu rekomendasi mengenai intervensi dini. Meski demikian,
kemungkinan metode yang paling baik adalah kombinasi stimulasi

50 Update in Child Neurology


Infants at high risk of cerebral palsy: is prevention possible?

perkembangan, pembelajaran secara trial and error pada lingkungan


yang diperkaya, dukungan terhadap keluarga agar terdapat interaksi
yang baik dengan bayi dan mungkin aplikasi tehnik-tehnik NDT minimal
untuk menopang postur tubuh. Intervensi dini juga harus dilakukan
dengan frekuensi tinggi agar efektif.25

Simpulan
Palsi serebral merupakan penyebab disabilitas terbanyak pada anak.
Faktor risiko palsi serebral antara lain prematuritas dan ensefalopati
hipoksik iskemik akibat asfiksia perinatal. Upaya pencegahan terhadap
faktor risiko, misalnya pencegahan persalinan prematur dengan
progesteron dan pemberian MgSO4 untuk neuroproteksi pada kehamilan
prematur yang tidak dapat dicegah merupakan terapi yang terbukti
efektif dan harus dilakukan apabila terdapat kesempatan. Demikian
juga halnya dengan terapi hipotermia terhadap bayi dengan ensefalopati
hipoksik iskemik, yang merupakan satu-satunya terapi yang terbukti
efektif menurunkan kematian dan gangguan neurodevelopmental.
Deteksi dini harus dilakukan terhadap semua bayi yang memiliki faktor
risiko, berbagai modalitas dapat digunakan untuk deteksi dini palsi
serebral mulai dari pengukuran lingkar kepala sederhana, penilaian
neurologis dan pencitraan yang memiliki nilai prediktif yang rata-
rata baik. Terdapat bermacam program intervensi dini yang saat ini
sejumlah besar telah beralih ke arah activity-based program. Meskipun
dengan bukti yang ada sekarang belum dapat diketahui program mana
yang akan memberikan hasil paling baik dan belum ada yang terbukti
efektif mencegah palsi serebral, intervensi dini tetap harus dilakukan
oleh karena sejumlah besar data menunjukkan adanya efek yang baik
terhadap fungsi kognitif, motorik, maupun terhadap keluarga.

Daftar pustaka
1. Stavsky M, Mor O, Mastrolia SA, Greenbaum S, Than NG, Erez O. Cerebral
palsy - trends in epidemiology and recent development in prenatal
mechanisms of disease, treatment, and prevention. Front Pediatr. 2017;5:21.
DOI:10.3389/fped.2017.00021.
2. Hadders-Algra M. Early diagnosis and early intervention in cerebral palsy.
Front Neurol. 2014;5: DOI:10.3389/fneur.2014.00185.
3. Cioni G, Inguaggiato E, Sgandurra G. Early intervention in neurodevelopmental
disorders: underlying neural mechanisms. Dev Med Child Neurol.
2016;58:61-6.
4. Donald KA, Samia P, Kakooza-Mwesige A, Bearden D. Pediatric cerebral
palsy in Africa: a systematic review. Semin Pediatr Neurol. 2014;21:30-5.
5. Oskoui M, Coutinho F, Dykeman J, Jetté N, Pringsheim T. An update on the
prevalence of cerebral palsy: a systematic review and meta-analysis. Dev
Med Child Neurol. 2013;55:509-19.

Everything you should know about motor and movement problems in children
51
R.M. Indra

6. Hirvonen M, Ojala R, Korhonen P, Haataja P, Eriksson K, Gissler M, dkk.


Cerebral palsy among children born moderately and late preterm. Pediatrics.
2014;134:e1584-93.
7. Strijbis EMM, Oudman I, van-Essen P, Maclennan AH. Cerebral palsy and
the application of the international criteria for acute intrapartum hypoxia.
Obstet Gynecol. 2006;107:1357-65.
8. Hanskins GDV, Speer M. Defining the pathogenesis and pathophysiology of
neonatal encephalopathy and cerebral palsy. Obstet Gynecol. 2003;102:628-
36.
9. van Toorn R, Laughton B, van Zyl N. Aetiology of cerebral palsy in children
presenting at Tygerberg Hospital. S Afr J Child Health. 2007;1:74-6.
10. Leviton A, Fichorova RN, O’Shea TM, Kuban K, Paneth N, Dammann O,
dkk. Two-hit model of brain damage in the very preterm newborn: small
for gestational age and postnatal systemic inflammation. Pediatr Res.
2013;73:362-70.
11. Romero R, Nicolaides K, Conde-Aguledo A, Tabor A, O’Brien JM, Cetingoz
E, dkk. Vaginal progesterone in women with an asymptomatic sonographic
short cervix in the midtrimester decreases preterm delivery and neonatal
morbidity: a systematic review and metaanalysis of individual patient data.
Am J Obstet Gynecol. 2012;206:124.e1-19.
12. Conde-Aguledo A, Romero R. Antental magnesium sulfate for the prevention
of cerebral palsy in preterm infants less than 34 weeks’ gestation: a
systematic review and metaanalysis. Am J Obstet Gynecol. 2009;200:595-
609.
13. Sotiriadis A, Tsiami A, Papatheodorou S, Baschat AA, Sarafidis K, Makrydimas
G. Neurodevelopmental outcome after a single course of antenatal steroids
in children born preterm: a systematic review and meta-analysis. Obstet
Gynecol. 2015;125:1385-96.
14. Herman B. Terapi hipotermia pada ensefalopati hipoksik iskemik. Dalam:
Ahmad BA, Yenni RZ, Sri KA, penyunting. Naskah lengkap pendidikan
kedokteran berkelanjutan VIII Ilmu Kesehatan Anak IDAI Sumatera
Selatan. Palembang: Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Sumatera
Selatan;2016.h.39-53.
15. Jacobs SE, Berg M, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG. Cooling
for newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy. Cochrane Database
Syst Rev. 2013;31:CD003311. DOI: 10.1002/14651858.CD003311.pub3.
16. Herskind A, Greisen G, Nielsen JB. Early identification and intervention in
cerebral palsy. Dev Med Child Neurol. 2015;57:29-36.
17. Bosanquet M, Copeland L, Ware R, Boyd R. A systematic review of tests to
predict cerebral palsy in young children. Dev Med Child Neurol. 2013;55:418-
26.
18. Neubauer V, Griesmaier E, Pehböck-Walser N, Pupp-Peglow U, Kiechl-
Kohlendorfer U. Poor postnatal head growth in very preterm infants
is associated with impaired neurodevelopment outcome. Act Pediatr.
2013;102:882-8.
19. Kuban KC, Allred EN, O’Shea M, Paneth N, Westra S, Miller C, dkk.
Developmental correlates of head circumference at birth and two years in a
cohort of extremely low gestational age newborns. J Pediatr. 2009;155:344-9.

52 Update in Child Neurology


Infants at high risk of cerebral palsy: is prevention possible?

20. Burger M, Louw QA. The predictive validity of general movements – a


systematic review. Eur J Pediatr Neurol. 2009;13:408-20.
21. Brogna C, Romeo DM, Cervesi C, Scrofani L, Romeo MG, Mercuri E, dkk.
Prognostic value of the qualitative assessments of general movements in
late-preterm infants. Early Hum Dev. 2013;89: 1063-6.
22. Hadders-Algra M. General movements: a window for early detection of
children at high risk of developmental disorders. J Pediatr. 2004;145:S12-8.
23. de Vries LS, van Haastert IC, Rademaker KJ, Koopman C, Goenendaal F.
Ultrasound abnormalities preceding cerebral palsy in high risk preterm
infants. J Pediatr. 2004;144:S15-20.
24. de Vries LS, van Haastert IC, Benders MJ, Groenendaal F. Myth: cerebral
palsy cannot be predicted by neonatal brain imaging. Semin Fetal Neonatal
Med. 2011;16:279-87.
25. Hadders-Algra M, Boxum AG, Hielkema T, Hamer EG. Effect of early
intervention in infants at very high risk of cerebral palsy: a systematic
review. Dev Med Child Neurol. 2017;59:246-58.
26. Morgan C, Darrah J, Gordon AM, Harbourne R, Spittle A, Johnson R, dkk.
Effectiveness of motor interventions in infants with cerebral palsy: a
systematic review. Dev Med Child Neurol. 2016;58: 900-9.
27. Mayo NE. The effect of physical therapy for children with motor delay
and cerebral palsy. A randomised clinical trial. Am J Phys Med Rehabil.
1991;70:258-67.
28. Palmer FB, Shapiro BK, Wachtel RC, Allen MC, Hiller JE, Harryman SE, dkk.
The effects of physical therapy on cerebral palsy: a control trial in infants
with spastic diplegia. N Eng J Med. 1988; 318:803-8.
29. Damiano DL. Effects of motor activity on brain and muscle development in
cerebral palsy. Dalam: Shepherd RB, penyunting. Cerebral palsy in infancy.
Edisi ke-1. Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone;2014.h.190-6.
30. Shepherd RB. The changing face of intervention in infants with cerebral
palsy. Dalam: Shepherd RB, penyunting. Cerebral palsy in infancy. Edisi
ke-1. Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone; 2014.h.3-28.
31. Dirks T, Blauw-Hospers CH, Hulshof LJ, Hadders-Algra M. Differences
between the family-centered “COPCA” program and traditional infant
physical therapy based on neurodevelopmental treatment principles. Phys
Ther. 2011;91:1303-22.
32. Morgan C, Novak I, Dale RC, Guzzetta A, Badawi N. Single blind randomised
controlled trial of GAME (Goals - Activity - Motor Enrichment) in infants at
high risk of cerebral palsy. Rev Dev Disabil. 2016;55:256-67.
33. Spittle A, Orton J, Anderson PJ, Boyd R, Doyle LW. Early developmental
intervention programmes provided post hospital discharge to prevent motor
and cognitive impairment in preterm infants. Cochrane Database Syst Rev.
2015;24:CD005495. DOI:10.1002/14651858.CD005495.pub4.

Everything you should know about motor and movement problems in children
53
Update on the diagnosis and
classification of cerebral palsy
Anidar

Tujuan:
1. Memahami klasifikasi palsi serebral
2. Memahami diagnosis palsi serebral
3. Memahami komorbiditas yang menyertai palsi serebral

Keterlambatan perkembangan motorik merupakan salah satu gejala


kelainan perkembangan yang paling sering menjadi keluhan utama orang
tua.1 Salah satu penyebab keterlambatan perkembangan motorik yang
paling serius adalah palsi serebral (PS). Palsi serebral merupakan suatu
keadaan kerusakan jaringan otak yang menetap dan tidak progresif yang
terjadi pada usia dini sehingga menganggu perkembangan otak yang
ditandai dengan adanya perubahan pada tonus otot, kelainan postur, dan
gangguan pergerakan.1,2 Angka kejadian PS di berbagai negara bervariasi
antara 1,2 sampai 3,6 per 1000 kelahiran hidup.1
Manifestasi gangguan motorik atau postural dapat berupa
spastisitas, rigiditas, ataksia, tremor, atonia atau hipotonia, tidak
munculnya refleks primitif (pada fase awal) atau reflek primitif yang
menetap (pada fase lanjut), dan diskinesia. Masing-masing gejala tersebut
dapat timbul secara tersendiri maupun dalam kombinasi beberapa
gejala. 1,3,4
Bentuk kelumpuhan spastik adalah bentuk yang paling sering
dijumpai, didapatkan pada 70% sampai 75% kasus. Spastisitas akan
meningkatkan tonus otot dan menimbulkan kekakuan otot serta
gangguan fungsi dan atrofi otot.4 Bentuk lainnya adalah bentuk diskinetik
(10% sampai 15%) dan ataksik (<5%).5
Masalah utama pada anak dengan PS adalah hambatan fisik, namun
seringkali juga didapatkan disabilitas intelektual dan masalah dalam
pelbagai aspek lainnya, sesuai. Fungsi yang terpengaruh bergantung
pada area otak mana yang mengalami kerusakan. Kerusakan pada
beberapa area di otak akan fungsi-fungsi tertentu. Walaupun kerusakan
struktur otak pada PS bersifat statis non-progresif, tetapi dampaknya
sangat bervariasi dan dapat berubah seiring berjalannya waktu. Palsi
serebral dapat disertai beberapa gangguan atau kelainan, antara lain
disabilitas intelektual, gangguan penglihatan dan pendengaran, gangguan
bicara, gangguan nutrisi dan menelan, infeksi saluran napas atas, serta
epilepsi.2,4,6-8

54 Update in Child Neurology


Update on the diagnosis and classification of cerebral palsy

Klasifikasi
Saat ini dikenal beberapa macam klasifikasi PS, bergantung pada sudut
pandangnya. Atas dasar gambaran klinis yang dominan, PS diklasifikan
menjadi tipe spastik, diskinetik (distonia dan koreoatetoid), hipotonik,
ataksik, atau campuran.3,4 Klasifikasi berdasarkan gambaran klinis
biasanya digunakan bersamaan dengan klasifikasi atas dasar topografi
defisit motorik, yaitu monoplegia, diplegia, hemiplegia, triplegia,
tetraplegia, dan hemiplegia ganda.1,3 Kedua klasifikasi tersebut adalah
klasifikasi tradisional yang masih sering digunakan.5
Klasifikasi lain menggolongkan PS atas dasar derajat fungsional dan
keterbatasan aktivitas yang terjadi, terdiri atas kategori minimal, ringan,
sedang, dan berat. Klasifikasi terapeutik terdiri atas empat kategori
yaitu tanpa terapi, intervensi sedang, intervensi dengan pendekatan tim,
serta intervensi menyeluruh.9 Akan tetapi, klasifikasi atas dasar derajat
fungsional PS dan klasifikasi terapeutik tidak banyak digunakan lagi.9
Klasifikasi lainnya dibuat berdasarkan patofisiologi letak lesi neuron
di otak dan dibagi menjadi PS kortikal (piramidal) yang mengakibatkan
spastisitas, ganglia basalis (ekstrapiramidal) yang mengakibatkan
gerakan abnormal (korea, atetosis, atau distonia), serebelar yang
menyebabkan hipotonia, dan bentuk campuran.4
Klasifikasi terakhir adalah gross motor function classification system
(GMFCS) yang menggolongkan anak dengan PS berdasarkan kemampuan
fungsionalnya. Saat ini klasifikasi ini yang lebih banyak digunakan.8,10,11

Klasifikasi berdasarkan defisit neuromuskular


Berdasarkan defisit neuromuskular, PS diklasisfikasikan menjadi PS tipe
spastik, diskinetik (distonia dan koreoatetoid), hipotonik, ataksik, atau
campuran.3,4 Tipe kelumpuhan spastik adalah bentuk yang tersering
dan dijumpai pada 70% sampai 75% anak PS, sedangkan tipe diskinetik
dijumpai pada 10% sampai 15% dan tipe ataksik pada kurang dari 5%.5
Bentuk kelumpuhan spastik melibatkan sistem piramidal yang ditandai
dengan lesi upper motor neuron, adanya kelemahan, hipertonus,
hiperrefleksia, serta adanya klonus dan refleks Babinski yang positif.
Bentuk kelumpuhan diskinetik melibatkan sistem ektrapiramidal yang
ditandai adanya rigiditas, korea, koreoatetosis, dan gerakan distonik.5

Klasifikasi atas dasar topografi defisit motorik


Klasifikasi atas dasar topografi defisit motorik terdiri atas monoplegia,
diplegia, hemiplegia, triplegia, tetraplegia atau kuadriplegia, dan
hemiplegia ganda. Pada sebagian besar penelitian, diplegia yang
paling sering ditemukan, yaitu pada 30% sampai 40% kasus, diikuti
hemiplegia pada 20% sampai 30% kasus, dan tetraplegia atau kuadriplegia
pada 10% sampai 15% kasus.5 Monoplegia, yaitu kelumpuhan pada
salah satu anggota gerak, umumnya merupakan bentuk hemiplegia
yang sangat ringan yang hanya mengenai lengan. Hemiplegia adalah

Everything you should know about motor and movement problems in children
55
Anidar

kelumpuhan lengan dan tungkai pada sisi tubuh yang sama dengan
lengan lebih berat dibandingkan tungkai; hal ini disebabkan area korteks
serebri (homunkulus motorik) yang terkena lebih besar untuk lengan
dibandingkan tungkai. Hemiplegia ganda adalah kelumpuhan keempat
anggota gerak; umumnya lengan terkena lebih berat daripada tungkai
yang sesisi, dan terdapat asimetri antara kedua sisi tubuh. Diplegia
adalah kelumpuhan pada keempat anggota gerak, namun tungkai lebih
berat daripada lengan. Triplegia jarang dijumpai; apabila yang terkena
adalah kedua lengan secara asimetris dan satu tungkai maka triplegia
merupakan bentuk ringan hemiplegia ganda, namun apabila yang terkena
adalah kedua tungkai dan satu lengan maka triplegia merupakan bentuk
ringan diplegia yang asimetris. Tetraplegia atau kuadriplegia adalah
kelumpuhan pada keempat anggota gerak, dengan lengan terkena lebih
atau sama berat dengan tungkai. 1,3,4
Sejalan dengan topografi ini, kemampuan anak PS untuk berjalan
dapat diprediksi berdasarkan kemampuan duduk. Anak dengan PS
tipe hemiplegia dan diplegia memiliki peluang lebih besar untuk dapat
berjalan dibandingkan PS tetraplegia. Apabila anak dapat duduk sendiri
pada usia 2 tahun, maka besar peluangnya anak akan dapat berjalan,
sementara anak PS yang belum bisa duduk hingga 4 tahun sangat kecil
kemungkinannya untuk bisa berjalan.12

Gross motor function classification system


Klasifikasi GMFCS dibuat berdasarkan kemampuan dan keterbatasan
motorik anak di rumah, sekolah, maupun di lingkungan. Kemampuan
motorik yang diamati terutama kemampuan duduk (truncal control) dan
berjalan yang terbagi menjadi 5 tingkatan (derajat I sampai V). Sistem
klasifikasi ini telah divalidasi dan digunakan di seluruh dunia untuk
menilai fungsi motorik yang bisa digunakan untuk segala usia. Skala ini
dibedakan untuk setiap kelompok usia (<2 tahun, 2-4 tahun, 4-6 tahun,
6-12 tahun, dan 12-18 tahun).8,10,11 Skala GMFCS juga mempunyai korelasi
yang bermakna dengan International Classification of Impairments,
Disabilities and Handicap (ICIDH).13 Skala GMFCS dapat membantu
menentukan pilihan terapi yang tepat sesuai dengan usia pasien dan
tingkatan fungsi motorik, serta memprediksi prognosis fungsi motorik
kasar pada anak palsi serebral. 12,14
Penilaian perkembangan motorik dilakukan selama 45 sampai 60
menit. Ruangan tempat penilaian dilakukan harus nyaman bagi anak
untuk beraktivitas. Terdapat lima dimensi perkembangan motorik kasar
yang diujikan, mulai dari berbaring dan berguling (17 tugas), duduk
(20 tugas), merangkak dan berlutut (14 tugas), berdiri (13 tugas), serta
berjalan, berlari, dan melompat (24 tugas).10 Kemampuan anak dinilai
dengan scoring key sebagai berikut:10
0 = tidak memiliki keinginan untuk melakukan gerakan
1 = berkeinginan untuk melakukan, misalnya ada perubahan pada
wajah saat ingin meningkatkan tonus otot

56 Update in Child Neurology


Update on the diagnosis and classification of cerebral palsy

2 = dapat melakukan gerakan awalan tetapi tidak sempurna


3 = dapat melakukan aktivitas dengan sempurna

Kriteria penilaian GMFCS dibedakan berdasarkan kelompok umur.


Untuk setiap kelompok umur, kemampuan motorik fungsional dibagi
menjadi 5 level atau tingkatan.12 Anak yang tergolong level I dapat
berjalan tanpa keterbatasan, level II dapat berjalan dengan keterbatasan,
level III dapat berjalan dengan menggunakan alat bantu yang dipegang
atau digerakkan dengan tangan (handheld), level IV dapat bergerak
sendiri dengan keterbatasan dan mungkin dapat menggunakan alat bantu
mobilitas bertenaga listrik, dan level V perlu didorong secara manual
menggunakan kursi roda. Tingkat kemampuan fungsional motorik kasar
GMFCS pada masing-masing kelompok usia ditunjukkan pada Tabel 1.10

Tabel 1. Level Perkembangan Fungsional Motorik Kasar GMFCS Usia <2 tahun
Usia Level Kemampuan Motorik yang dimiliki Anak PS
<2 tahun I 1. Mampu bergerak dari tiduran/tengkurap kemudian duduk dan
dari duduk menuju tengkurap, dapat duduk di lantai dengan
kedua tangan bebas untuk menyentuh mainan.
2. Mampu menggunakan tangan dan lutut untuk merangkak secara
seimbang.
3. Dapat mulai berdiri dengan merambat.
4. Dapat berjalan diantara 18 bulan dan 2 tahun tanpa perangkat
mobilitas bantu.
II 1. Mampu duduk di lantai dengan bantuan tangan ikut menopang
tubuh untuk menjaga keseimbangan.
2. Dapat merayap menggunakan perut atau merangkak pada
tangan dan lutut.
3. Berusaha untuk berdiri dengan berpegangan pada benda atau
orang lain.
III 1. Dapat duduk di lantai dengan mendukung punggung belakang.
2. Dapat berguling dan merayap maju menggunakan perut.
IV 1. Dapat mengontrol pergerakan kepala
2. Dapat mempertahankan duduk di lantai apabila badan didukung
atau ditopang secara keseluruhan.
3. Dapat berguling dari telentang dan tengkurap dengan waktu
berguling cukup lama.
V 1. Tidak mampu mengontrol pergerakan tubuh termasuk
pengontrolan kepala.
2. Tidak mampu menjaga antigravitasi kepala meskipun dalam
posisi tengkurap atau duduk.
3. Memerlukan bantuan orang dewasa untuk berguling.
2-4 I 1. Anak mampu duduk di lantai tanpa didukung oleh kedua
tahun tangan.
2. Anak mampu berdiri pada posisi duduk tanpa bantuan orang
dewasa dan mampu duduk dari berdiri dengan kontrol yang
baik.
3. Anak mampu berjalan tanpa alat bantu.

Everything you should know about motor and movement problems in children
57
Anidar

Usia Level Kemampuan Motorik yang dimiliki Anak PS


II 1. Mampu duduk di lantai tetapi memiliki kesulitan dengan
keseimbangan ketika kedua tangan memanipulasi objek.
2. Mampu berpindah posisi duduk tanpa bantuan orang dewasa.
3. Mampu berdiri di atas permukaan yang stabil.
4. Mampu merangkak dengan pergerakan tangan dan lutut yang
seimbang.
5. Mampu berjalan dengan memegang benda atau berjalan dengan
alat.
III 1. Mampu duduk dengan posisi W-sitting dan membutuhkan
bantuan orang dewasa untuk mencapai posisi duduk.
2. Mampu merayap menggunakan perut.
3. Mampu merangkak menggunakan tangan dan lutut dengan
pergerakan salah satu bagian kaki diseret, merangkak sebagai
metode utama untuk mobilitas.
4. Mampu berdiri tanpa bantuan orang lain dan berjalan pada arah
yang pendek.
5. Mampu berjalan di dalam ruangan dengan menggunakan walker
dan bantuan orang dewasa untuk kemudi.
IV 1. Mampu duduk di lantai dengan bantuan kedua tangan untuk
menjaga keseimbangan.
2. Sering membutuhkan peralatan adaptif untuk duduk dan berdiri.
3. Mobilitas utama dakam ruangan baru mencapai berguling,
merayap menggunakan perut, atau merangkak pada tangan dan
lutut tanpa gerakan kaki.
V 1. Gerak refleks terbatas dan belum mampu melawan gravitasi.
2. Semua bidang fungsi motorik terbatas.
3. Tidak memiliki alat gerak mandiri.
4-6 I 1. Mampu berpindah dari duduk dari lantai ke kursi tanpa bantuan
tahun dan sebaliknya.
2. Mampu berdiri dari duduk di kursi tanpa bantuan.
3. Mampu berjalan di dalam dan di luar rumah, dan mampu
memanjat tangga.
4. Terkadang muncul kemampuan untuk berlari dan melompat
II 1. Mampu duduk di kursi dengan tangan dapat bergerak bebas.
2. Mampu bergerak dari duduk di lantai atau bangku untuk berdiri
dengan permukaan yang stabil untuk mendorong dan menarik
tangan.
3. Mampu berjalan dalam ruangan dan jarak pendek di luar
ruangan dengan permukaan bertingkat.
4. Mampu menaiki tangga dengan berpegangan pada pagar tapi
belum dapat melompat.
III 1. Mampu duduk di kursi biasa tetapi memerlukan dukungan pada
panggul dan tulang belakang untuk memaksimalkan fungsi
tangan.
2. Mampu bergerak dari kursi duduk pada permukaan yang stabil
untuk mendorong dan menarik kedua tangan.
3. Mampu berjalan menggunakan walker pada permukaan miring
atau bertingkat dengan bantuan orang dewasa tetapi belum bisa
untuk bepergian jarak jauh atau pada permukaan tidak rata.

58 Update in Child Neurology


Update on the diagnosis and classification of cerebral palsy

Usia Level Kemampuan Motorik yang dimiliki Anak PS


IV 1. Mampu duduk di tempat duduk adaptif untuk pengendalian
trunk dan memaksimalkan fungsi tangan.
2. Mampu berpindah dari kursi duduk dengan bantuan orang
dewasa.
3. Mampu berjalan dengan baik apabila menggunakan walker dan
memerlukan pengawasan orang dewasa tetapi kesulitan berjalan
pada permukaan yang tidak rata.
4. Mampu bergerak secara mandiri apabila menggunakan kursi
roda bertenaga.
V 1. Gangguan fisik membatasi kontrol gerakan dan kemampuan
untuk mempertahankan anti-gravitasi kepala dan tonus batang
tubuh.
2. Semua bidang fungsi motorik terbatas.
3. Anak-anak tidak memiliki gerakan independen.
6-12 I 1. Mampu berjalan dengan keseimbangan yang baik di lingkungan
tahun rumah, sekolah dan di lingkungan.
2. Mampu berjalan naik dan turun trotoar tanpa bantuan fisik dan
tangga tanpa berpegangan tangan.
Mampu berlari dan melompat, tetapi kecepatan, keseimbangan,
dan koordinasi terbatas.
II 1. Mampu berjalan dengan pengawasan, tetapi mengalami
kesulitan berjalan jarak jauh dan menyeimbangkan diri di
permukaan tidak rata, miring atau ketika membawa benda.
2. Mampu berjalan naik turun tangga dengan memegang pagar
atau bantuan fisik.
3. Mampu berjalan di luar ruangan dengan bantuan fisik, perangkat
mobilitas genggam.
4. Mampu berlari dan melompat dengan waktu pelaksanaan sangat
lambat.
Memerlukan alat adaptasi untuk melakukan kegiatan fisik dan
olahraga.
III 1. Mampu berjalan dalam ruangan dengan bantuan walker
otomatis.
2. Ketika duduk memerlukan sabuk pengaman untuk keselarasan
panggul dan keseimbangan.
3. Pergerakan dari duduk ke berdiri dan dari berdiri ke duduk
memerlukan bantuan orang lain atau memerlukan dukungan
yang kuat.
4. Memerlukan kursi roda untuk mobilitas jarak jauh.
5. Memerlukan pengawasan atau bantuan orang lain atau
berpegangan pada tangga untuk berjalan naik turun.
Memiliki keterbatasan untuk berpartisipasi dalam kegiatan fisik.
IV 1. Memerlukan bantuan mobilitas untuk berbagai situasi.
2. Membutuhkan perangkat duduk adaptif untuk trunk dan kontrol
panggul.
3. Mampu berguling, merayap, atau merangkak, berjalan jarak
pendek dengan bantuan.
Mampu beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan masyarakat
apabila menggunakan kursi roda manual.
V 1. Memerlukan kursi roda untuk melakukan segala aktivitas dan
memerlukan bantuan orang dewasa untuk setiap perpindahan
posisi.
2. Tidak mampu melawan gravitasi termasuk mempertahankan
kepala untuk tegak.

Everything you should know about motor and movement problems in children
59
Anidar

Usia Level Kemampuan Motorik yang dimiliki Anak PS


12-18 I 1. Mampu berjalan di rumah, sekolah, di luar rumah, dan di
tahun masyarakat.
2. Mampu berjalan naik turun trotoar dan tangga bertingkat tanpa
bantuan fisik.
3. Mampu berlari dan melompat dengan kecepatan, keseimbangan,
dan koordinasi terbatas.
4. Mampu berpartisipasi dalam kegiatan olahraga tertentu.
II 1. Menggunakan kursi roda untuk mobilitas jarak jauh di luar
ruangan.
2. Membutuhkan bantuan fisik ketika berjalan di permukaan yang
tidak rata.
3. Membutuhkan alat adaptasi ketika berolahraga.
III 1. Mampu berjalan menggunakan alat bantu.
2. Memerlukan sabuk pengaman ketika duduk.
3. Memerlukan bantuan fisik ketika berpindah dari duduk ke
berdiri dan dari berdiri ke duduk.
4. Mobilitas di luar ruangan menggunakan kursi roda.
5. Memerlukan bantuan fisik dan pengawasan ketat ketika berjalan
pada medan yang miring atau naik turun tangga.
IV 1. Menggunakan mobilitas roda di sebagian besar kegiatan.
2. Memerlukan tempat duduk adaptif.
3. Memerlukan bantuan fisik 1-2 orang ketika berpindah posisi.
4. Memerlukan bantuan fisik atau mobilitas roda untuk berjalan
jarak pendek.
5. Dapat berjalan jauh dengan kursi roda bertenaga.
V 1. Memerlukan kursi roda manual untuk semua kegiatan.
2. Tidak mampu mempertahankan gaya gravitasi kepala dan
batang tubuh serta memiliki kontrol buruk untuk pergerakan
lengan dan kaki.
3. Teknologi bantu digunakan untuk menegakkan kepala, duduk,
berdiri dan mobilitas.
4. Memerlukan peralatan adaptif untuk setiap aktivitas dan
bantuan.

Diagnosis
Penegakkan diagnosis palsi serebral harus dilakukan secara hati-
hati. Diperlukan anamnesis yang teliti serta pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan neurologis yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis.
Harus dipastikan bahwa keterlambatan tersebut tidak memburuk
(progresif) atau berupa kehilangan kemampuan yang pernah dicapai
(regresi).1,15 Pada anamnesis perlu ditanyakan (1) riwayat pranatal
(masalah pada masa kehamilan, misalnya penyakit ibu, pajanan toksin,
alkohol, narkoba, perawatan antenatal, gerakan janin, dan riwayat
trauma); (2) riwayat perinatal (masa gestasi, cara persalinan dan
presentasi bayi, lama persalinan, berat badan lahir, skor Apgar, pH
darah umbilikus, komplikasi persalian, lama perawatan di inkubator,
ada tidaknya perdarahan intraventrikular, prosedur yang dijalani selama
perawatan misalnya ventilasi mekanik, continuous positive airway
pressure, extracorporeal membrane oxygenation, ada tidaknya masalah

60 Update in Child Neurology


Update on the diagnosis and classification of cerebral palsy

minum); (3) riwayat pascanatal (kernikterus, infeksi susunan saraf pusat);


(4) riwayat perkembangan (motorik kasar dan halus, bahasa, interaksi
sosial); dan (5) riwayat lain (pola makan, riwayat tindakan bedah,
kejang, ada tidaknya gangguan pergerakan, pola miksi dan defekasi, ada
tidaknya masalah pendengaran dan penglihatan, riwayat imunisasi).8,15,16
Beberapa kelainan yang menyerupai PS seperti tertera pada Tabel 2 perlu
diperhatikan pada anamnesis dan pemeriksaan fisis.

Tabel 2. Beberapa kelainan yang menyerupai palsi serebral12

Gangguan Tanda khas


Paraplegia spastik familial Adanya riwayat keluhan yang sama dalam keluarga
Transient toe walking Refleks tendon dalam normal
Distrofi muskulorum Hipertrofi otot gastroknemius, tanda Gower positif
Kelainan metabolik Adanya regresi, letargi, muntah
Sjögren-Larsson Iktiosis
Lesch-Nyhan Severe self-mutilation
Kelainan mitokondria Stroke berulang, kardiomiopati, hipoglikemia
Kelainan genetik Anomali multipel
Miller-Dieker Lissensefali
Sindrom Rett Mikrosefali didapat, hand wringing

Pemeriksaan neurologis difokuskan pada konfirmasi obyektif


ada atau tidaknya keterlambatan motorik, tonus otot, refleks primitif,
reaksi postural, refleks tendon, refleks patologis, pola gerakan, dan
pola berjalan (gait).8,15,16 Diagnosis PS merupakan suatu diagnosis klinis
yang ditegakkan berdasarkan pemeriksaan yang menyeluruh meliputi
pemeriksaan perkembangan, skrining bayi risiko tinggi, pemeriksaan
neurologis dan pemeriksaan penunjang MRI atau EEG (Gambar 1).5,17
Bayi yang berisiko tinggi untuk menjadi PS yaitu bayi prematur; 30%

Gambar 1. Ruang lingkup pemeriksaan pada palsi serebral17

Everything you should know about motor and movement problems in children
61
Anidar

sampai 40% di antaranya akan mengalami PS. Makin muda usia gestasi,
makin tinggi kemungkinan terjadinya PS. Pada bayi cukup bulan dengan
ensefalopati neonatal kemungkinan menjadi PS adalah 15% sampai 20%.17
Diagnosis palsi serebral ditegakkan berdasarkan adanya
keterlambatan perkembangan motorik. Pada pemeriksaan neurologis
didapatkan kelumpuhan tipe upper motor neuron dan/atau adanya
gerakan dan postur abnormal serta refleks primitif yang menetap.
Pemeriksaan ke arah metabolik dan analisis genetik tidak rutin dilakukan
kecuali bila didapatkan dismorfisme atau adanya riwayat keluarga
dengan keterlambatan perkembangan.3
Tidak ada pemeriksaan tunggal tertentu yang dapat menegakkan
diagnosis pasti PS. Algoritma pendekatan yang dapat digunakan dalam
menilai pasien PS dapat dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 2. Algoritma evaluasi anak dengan PS


1

62 Update in Child Neurology


Update on the diagnosis and classification of cerebral palsy

American Academy of Neurology merekomendasikan juga


untuk melakukan skrining fungsi kognitif, fungsi penglihatan, fungsi
pendengaran, gangguan bahasa, serta fungsi oromotor pada semua
anak PS.18 Identifikasi faktor-faktor risiko ataupun prediktor kejadian
komorbiditas akan sangat membantu klinisi dalam memberikan
konseling dan intervensi dapat dilakukan sedini mungkin sehingga dapat
memperbaiki luaran anak PS.19
Adanya komorbiditas perlu mendapat perhatian dalam menegakkan
diagnosis PS. Komorbiditas yang sering menyertai pasien PS yaitu epilepsi
pada 30% sampai 87%, disabilitas intelektual pada 50%, 20% sampai 30%
merupakan disabilitas intelektual berat; gangguan penglihatan pada
30%, 5% sampai 12% merupakan gangguan penglihatan berat; gangguan
pendengaran pada 10%, 2% merupakan tuli bilateral; dan gangguan
perilaku pada 26%. Gangguan lain yang sering menjadi masalah pada
PS adalah gangguan kontrol miksi dan defekasi pada 24%; gangguan
tidur pada 23%; drooling berat pada 22%; dislokasi panggul pada 8%; dan
masalah makan yang memerlukan pemberian makan secara melalui pipa
enteral pada 8%.17 Epilepsi pada anak PS seringkali merupakan epilepsi
yang sulit dikontrol yang dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif
yang makin berat, gangguan fungsi motorik berjalan, dan gangguan
perilaku yang kian menurunkan kualitas hidup anak.20-24
Pemeriksaan penunjang ultrasonografi, CT scan dan magnetic
resonance imaging (MRI) dibutuhkan untuk mendeteksi kelainan
anatomik intrakranial yang bermamfaat untuk menentukan etiologi,
menegakkan diagnosis, perlunya konsultasi genetik, maupun prognosis,
meskipun tidak mengubah tatalaksana. Saat ini MRI lebih disukai
dibandingkan pemeriksaan pencitraan lain karena lebih sensitif terutama
untuk menentukan etiologi dan waktu terjadinya kerusakan otak yang
mengakibatkan gangguan perkembangan.15,25 Dengan pemeriksaan MRI
dapat dilihat adanya kelainan pada substansia alba dan substansia grisea,
adanya malformasi, infark fokal, lesi kortikal dan subkortikal, serta
leukomalasia periventrikular. Hasil MRI yang normal dapat dijumpai
pada 12-14% anak PS.17

Simpulan
Palsi serebral merupakan suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang
menetap dan tidak progresif yang terjadi pada usia dini sehingga
menganggu perkembangan otak yang ditandai dengan perubahan pada
tonus otot, kelainan postur, dan pergerakan. Klasifikasi atas dasar
defisit neuromuskular dan topografi defisit motorik adalah klasifikasi
tradisional yang masih sering digunakan, sedangkan klasifikasi
GMFCS dapat digunakan untuk menentukan pemilihan terapi yang
tepat sesuai dengan usia pasien dan tingkatan fungsi motorik, serta
memprediksi prognosis fungsi motorik kasar pada anak palsi serebral.
Penegakan diagnosis palsi serebral harus dilakukan secara hati-hati

Everything you should know about motor and movement problems in children
63
Anidar

melalui anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan


neurologis yang menyeluruh. Komorbiditas yang menyertai PS juga
perlu diidentifikasi.

Daftar pustaka
1. Swaiman KF, Wu Y. Cerebral palsy. Dalam: Swaimann KF, Ashwal S, Ferriero
DM, penyunting. Pediatric neurology principles & practice. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. h. 492-501.
2. Berker N, Yalcin S. The HELP guide to cerebral palsy. Edisi ke-2. Washington:
Merril Corporation; 2010. h. 7-14.
3. Aisen ML, Kerkovich D, Mast J. Cerebral palsy: clinical care and neurological
rehabilitation. Lancet Neurol. 2011;10:844-52.
4. Passat J. Kelainan perkembangan. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 115-19.
5. Sangkar C, Mundkur N. Cerebral palsy-definition, classification, etiology
and early diagnosis. Indian J Pediatr. 2005; 72:865-8.
6. Bell KL, Boyd RN, Tweedy SM, Weir KA, Stevenson RD, Davies PS. A
prospective longitudinal study of growth, nutrition and sedentary behaviour
in yung children with cerebral palsy. BMC Public Health. 2010;10:179-83.
7. Sellier E, Uldall P, Calado E, dkk. Epilepsy and cerebral palsy: characteristics
and trends in children born in 1976-1998. Eropean journal of paediatric
neurology. 2012;16:48-55.
8. Gorter JW, Verschuren O, Riel LV, Katelaar M. The relationship between
spasticity in young children (18 monhs of age) with cerebral palsy and
their gross motor function development. BMC Musculoskelet Disord.
2009;10:108-10.
9. Green L, Greenberg GM, Hurwitz E. Primary care of children with cerebral
palsy. Pediatrics. 2003;5:467-91.
10. Palisano R, Rosenbaum P, Walter S, Russel D, Wood E, Galuppi B. Gross
motor function classification system for cerebral palsy. Dev Med Child
Neurol. 1997;39:214-23.
11. Russel DJ, Avery LM, Rosenbaum PL, Raina PS, Walter SD, Palisano RJ.
Improved scalling of the gross motor function measure for children with
cerebral palsy. Phys Ther. 2000;80:873-85.
12. Dogde NN. Medical management of cerebral palsy. Dalam: Patel DR,
Greydanus DE, Omar HA, Merrick J, penyunting. Neurodevelopmental
Disabilities, Clinical care for children and young adults. London:: Springer
Dordrecht Heidelberg; 2011. h. 227-42.
13. Beckung E, Hagberg G. Correlation between ICIDH handicap code and gross
motor function classification system in children with cerebral palsy. Dev
Med Child Neurol. 2000;42:669-73.
14. Pakula AT, Braun KVA, Allsopp MY. Cerebral palsy: classification and
epidemiology. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2009;20:425–452.
15. Handryastuti S. Deteksi dini palsi serebral pada bayi risiko tinggi: peran
berbagai variable klinis dan usg kepala [disertasi]. Jakarta: Universitas
Indonesia; 2013.

64 Update in Child Neurology


Update on the diagnosis and classification of cerebral palsy

16. Handryastuti S. Keterlambatan perkembangan motorik atau palsi serebral?


Dalam: Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XLIX. Pediatric
neurology and neuroemergency in daily practice. Jakarta: Balai Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006. h. 119-36.
17. McIntyre S, Morgan C, Walker K, Novak I. Cerebral palsy-Don’t delay. Dev
Disabil Res Rev. 2011;17:114-29.
18. Ashwal S, Russman BS, Blasco PA, Miller G, Sandler A, Shevell M, dkk.
Practice parameter: diagnostic assesment of the child with cerebral palsy.
Neurology. 2004;62:851-63.
19. Rosenbaum PL, Walter SD, Hanna SE, Palisano RJ, Russel DJ, Raina P, dkk.
Prognosis for gross motor function in cerebral palsy creation of motor
development curves. J Am Med Assoc. 2002;288:1357-63.
20. Kulak W, Sobaniec W. Risk factors and prognosis of epilepsy in children
with cerebral palsy in North-eastern Poland. Brain Dev. 2003;25:499-506.
21. Beckung E, Hagberg G, Uldall P, Cans C. Probability of walking in children
with cerebral palsy in Europe. Pediatrics. 2008;121:187-92.
22. McLellan A. Epilepsy an additional risk factor for psychological problems
in cerebral palsy. Dev Med Child Neurol. 2008;50:727.
23. Carlsson M, Olsson I, Hagberg G, Beckung E. Behaviour in children
with cerebral palsy with and without epilepsy. Dev Med Child Neurol.
2008;50:784-9.
24. Hammal D, Jarvis SN, Colver AF. Participation of children with cerebral
palsy is influenced by where they live. Dev Med Child Neurol. 2004;46:292-8.
25. Fenichel GM. Paraplegia and quadriplegia. Dalam: Fenichel GM. Clinical
Pediatric Neurology. A signs and symptoms approach. Edisi ke-6.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. h. 281-3.

Everything you should know about motor and movement problems in children
65
Comprehensive management of
cerebral palsy: an overview
Fadhilah Tia Nur

Tujuan:
1. Mengenali sedini mungkin kelainan yang menyertai palsi serebral
2. Mengetahui algoritma tata laksana palsi serebral
3. Mengetahui tujuan terapi palsi serebral
4. Menjelaskan prognosis palsi serebral

Palsi serebral (PS) merupakan penyebab tersering disabilitas fisis


pada anak. Konsep PS telah berkembang sejak pertengahan abad ke-
19.1 Prevalensi PS di negara-negara maju cukup tinggi, yaitu sekitar
1,5-2,5 dari setiap 1000 kelahiran hidup.2 Palsi serebral didefinisikan
sebagai sekelompok gangguan perkembangan motorik dan postur yang
bersifat non-progresif serta menyebabkan keterbatasan aktivitas, yang
merupakan akibat dari kerusakan otak yang terjadi saat otak belum
mencapai maturasi.3
Kemajuan teknologi di bidang kedokteran telah meningkatkan
pengetahuan klinikus mengenai penyebab, pencegahan, serta tata laksana
yang tepat pada PS. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
sebelum memberikan terapi pada PS, yaitu (1) apakah anak membutuhkan
terapi; (2) apa tujuan terapi yang diberikan; (3) apakah keluarga dan anak
mempunyai cukup waktu untuk menerima terapi; dan (4) apakah terapi
yang diberikan akan mengganggu kehidupan mereka. Perlu ditekankan
bahwa kemungkinan perbaikan pada gangguan motorik dan neurologis
tidak terlalu memuaskan.4,5
Kerusakan struktur otak pada PS bersifat statis non-progresif,
tetapi dampaknya sangat bervariasi dan bisa berubah seiring berjalannya
waktu. Palsi serebral dapat disertai beberapa gangguan atau kelainan
seperti disabilitas intelektual (52%), gangguan penglihatan (28%),
gangguan pendengaran (12%), gangguan nutrisi (33%), serta epilepsi
(15% sampai 60%).3,6 Palsi serebral menyebabkan dampak jangka panjang
terhadap kualitas hidup anak serta keluarganya; suatu studi di Australia
memperkirakan biaya yang diperlukan untuk seorang anak PS sekitar
115.000 dolar Australia atau sekitar 1,1 miliar rupiah per tahun.6
Kerusakan pada beberapa daerah di otak akan memengaruhi beberapa
fungsi.3,7,8

66 Update in Child Neurology


Comprehensive management of cerebral palsy: an overview

Gangguan nutrisi
Tidak optimalnya pertumbuhan dan status gizi anak PS telah dilaporkan
pada beberapa penelitian. Pada suatu penelitian yang mengukur
berat badan, tinggi badan, dan indeks massa tubuh pada 24.920 anak
dan remaja PS berusia dua sampai 20 tahun, sebagian besar anak PS
dengan gangguan motorik sedang sampai berat dilaporkan mengalami
gangguan pertumbuhan. Faktor selain nutrisi juga memegang peranan
penting pada pertumbuhan anak PS; anak dengan PS tipe hemiplegia
lebih banyak yang terganggu pertumbuhannya dibandingkan anak PS
tanpa hemiplegia.6,9 Prevalensi kesulitan makan pada anak PS bervariasi
antara 30% sampai 90%.10,11 Anak berkebutuhan khusus, termasuk PS,
berisiko mengalami kekurangan asupan oral akibat kelainan oromotor,
gangguan fase faringeal terkait aspirasi, dan kesulitan komunikasi yang
mengurangi kemampuan untuk meminta makan dan minum.12 Beberapa
gangguan lain seperti disabilitas intelektual, gangguan penglihatan dan
pendengaran, serta kejang juga berpengaruh pada derajat kesulitan
makan pada anak PS.13

Gangguan pendengaran
Lebih kurang 12% anak PS mengalami gangguan pendengaran. Angka
kejadian gangguan pendengaran lebih tinggi apabila etiologi PS
berkaitan dengan berat lahir rendah, kernikterus, meningitis neonatal,
atau ensefalopati hipoksik-iskemik. Gangguan pendengaran umumnya
berupa kelainan neurogenik pada persepsi nada tinggi, sehingga
anak menjadi sulit menangkap kata-kata. Selain itu, anak PS rentan
mengalami infeksi telinga kronik berulang yang akan mengganggu
pendengarannya. Gangguan pendengaran akhirnya juga berdampak
negatif terhadap perkembangan bahasa. Anak PS dengan disabilitas
intelektual dan pemeriksaan radiologis abnormal berisiko tinggi untuk
mengalami gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran sering
lambat terdiagnosis; penelitian oleh Centers for Disease Control (CDC)
Amerika Serikat menunjukkan lebih dari setengah anak yang memiliki
gangguan pendengaran berat baru terdiagnosis saat anak berusia hampir
3 tahun.3,7,14

Gangguan penglihatan
Hampir 20% anak dengan PS juga mengalami gangguan penglihatan.
Gangguan penglihatan dapat berupa strabismus, ambliopia,
nistagmus, buta kortikal, dan kelainan visus. Anak-anak PS dengan
leukomalasia periventrikular juga cenderung memiliki masalah
persepsi visual. Skrining penglihatan perlu dilakukan pada anak PS
sehingga kelainan tersebut dapat terdeteksi sejak dini.3,7,15

Everything you should know about motor and movement problems in children
67
Fadhilah Tia Nur

Gangguan kognitif
Sekitar 25% anak PS akan mengalami kesulitan belajar ataupun disabilitas
intelektual. Makin berat kerusakan otak, makin berat pula gangguan
kognitif. Sekitar 50% anak dengan PS spastik kuadriplegia memiliki
kemungkinan mengalami disabilitas intelektual.3,7,16,17

Epilepsi
Prevalensi epilepsi pada PS berkisar antara 15% sampai 60% dan bervariasi
menurut tipe PS.3,18,19 Epilepsi lebih sering terjadi pada PS tipe spastik
kuadriplegia dan PS yang disertai disabilitas intelektual. Dibandingkan
dengan kelompok kontrol, anak PS memiliki risiko lebih besar untuk
terkena epilepsi pada tahun pertama, mengalami status epileptikus,
serta memerlukan politerapi obat anti epilepsi.18,19

Evaluasi diagnostik
Evaluasi diagnostik pada anak dengan PS ditujukan untuk menegakkan
diagnosis PS, mencari etiologi PS, dan menyingkirkan kelainan yang dapat
menyebabkan gambaran mirip PS, terutama kelainan metabolik dan
degeneratif. American Academy of Neurology (AAN) telah menerbitkan
rekomendasi evaluasi diagnostik PS yang diawali dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisis-neurologis yang mengarah pada PS dengan adanya
gangguan kontrol motorik yang non-progresif. Perlu dipastikan bahwa
anamnesis dan pemeriksaan fisis pada pasien tidak sesuai dengan
kelainan susunan saraf pusat progresif atau degeneratif. Klasifikasi tipe
PS juga dilakukan pada penilaian awal, demikian juga skrining untuk
kelainan penyerta yang perlu dikenali, meliputi disabilitas intelektual,
gangguan penglihatan dan pendengaran, gangguan bicara dan bahasa,
disfungsi oromotor, dan epilepsi.15 Identifikasi faktor risiko dan prediktor
komorbiditas sedini mungkin akan sangat membantu klinikus dalam
memberikan konseling dan intervensi dalam rangka memperbaiki luaran
anak dengan PS.20
Pemeriksaan laboratorium untuk mencari kelainan metabolik dan
genetik tidak dilakukan secara rutin dan hanya direkomendasikan
apabila pemeriksaan klinis dan pencitraan tidak menunjukkan suatu
abnormalitas stuktural yang spesifik, atau apabila pada anamnesis dan
pemeriksaan klinis didapatkan hal-hal yang atipik. Pencarian etiologi
metabolik atau genetik dipertimbangkan apabila ditemukan malformasi
otak pada anak dengan PS. Pada anak dengan PS tipe hemiplegia perlu
dipertimbangkan pemeriksaan fungsi koagulasi apabila pada pencitraan
didapatkan infark serebri yang tidak jelas penyebabnya.15 Pencitraan
otak pada anak PS direkomendasikan apabila etiologi belum diketahui
dari pemeriksaan sebelumnya, termasuk dari pemeriksaan pencitraan

68 Update in Child Neurology


Comprehensive management of cerebral palsy: an overview

neonatus (ultrasonografi kepala pada neonatus). Magnetic resonance


imaging (MRI) lebih unggul dibandingkan CT scan dalam menentukan
etiologi dan waktu terjadinya gangguan otak pada PS.15 Pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) tidak direkomendasikan untuk dilakukan
secara rutin dan hanya dilakukan bila didapatkan bangkitan kejang.15

Tata laksana komprehensif


Tata laksana PS bertujuan untuk memaksimalkan potensi fungsional
anak. Perlu diingat bahwa defisit neurologis pada PS tidak dapat diubah.
Namun demikian, perubahan kemampuan fungsional dapat terjadi,
sehingga perlu dilakukan penilaian ulang secara berkala baik oleh
tenaga medis maupun oleh keluarga. Tata laksana bersifat individual,
bergantung pada manifestasi klinis yang ada dan membutuhkan
pendekatan multidisiplin yang melibatkan bidang saraf anak, respirologi
anak, gastroenterologi anak, gizi anak, psikiatri anak, telinga-hidung-
tenggorokan (THT), mata, rehabilitasi medis, ortopedi, bedah saraf,
serta psikolog.2-4
Hingga saat ini belum ada pengobatan kausal untuk PS; tata
laksana bersifat suportif dan simptomatis. Sampai saat ini belum
ditemukan program yang terbukti dapat memperbaiki fungsi motorik
secara permanen, namun dapat dilakukan pengelolaan yang bertujuan
memperbaiki kelainan neuromuskular dan mencegah komplikasi.2-4,15
Fisioterapi harus segera dimulai secara intensif. Fisioterapi dapat
mencegah deformitas dan mengoptimalkan fungsi motorik dan postur.
Terapi okupasi dapat membantu meningkatkan keterampilan motorik.
Bila terdapat gangguan makan dan menelan dapat dilakukan terapi
oromotor. Orangtua dapat turut membantu program latihan di rumah.
Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi pasien pada waktu
istirahat atau tidur.3,4,21
Pembedahan dilakukan untuk reposisi pada kontraktur atau
spastisitas. Skoliosis dan dislokasi panggul merupakan kondisi tersering
yang memerlukan pembedahan.3,4,21
Kelainan penyerta pada mata, misalnya strabismus atau gangguan
penglihatan, juga perlu dikelola. Deteksi dini dan terapi gangguan
penglihatan secara tepat sangat berpengaruh terhadap luaran jangka
panjang anak PS.2-4,21
Gangguan pendengaran juga harus dideteksi sedini mungkin agar
intervensi dapat segera diberikan dan gangguan bahasa dapat segera
diatasi. Skrining pendengaran dilakukan pada usia kurang dari 6 bulan.
Skrining pendengaran dapat menggunakan otoacoustic emission (OAE),
automated auditory brainstem response (AABR), atau brainstem auditory
evoked response (BAER atau BERA).22,23

Everything you should know about motor and movement problems in children
69
Fadhilah Tia Nur

Pendidikan
Anak PS dididik di sekolah luar biasa atau di sekolah inklusi sesuai
kemampuan kognitifnya. Mereka sebaiknya diperlakukan sama seperti
anak lainnya, sehingga mereka tidak merasa terasing di lingkungannya.
Orangtua juga diedukasi agar jangan melindungi anak secara
berlebihan.2-4,21

Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa dapat terindikasi apabila terdapat epilepsi,
spastisitas, atau movement disorder. Obat antiepilepsi diberikan sesuai
dengan tipe dan karakteristik kejang dan sesuai panduan tata laksana
epilepsi pada umumnya. Adanya movement disorder, misalnya distonia,
mioklonus, korea, atau athetosis, dapat menjadi indikasi pemberian
obat antiparkinson, antidopaminergik, obat antiepilepsi tertentu, atau
golongan antidepresan. 2-4
Hal yang sering menjadi masalah bagi dokter spesialis anak adalah
pemberian terapi medikamentosa untuk meringankan spastisitas.
Spastisitas merupakan salah satu komponen yang menonjol dari

Tabel 1. Rekomendasi AAN mengenai penggunaan obat antispastisitas24


Jenis obat Rekomendasi
Toksin botulinum tipe A Merupakan terapi yang aman dan efektif untuk spastisitas
segmental/terlokalisir pada ekstremitas atas dan bawah
yang memerlukan pengobatan (rekomendasi kelas A*).
Tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan
toksin botulinum tipe A untuk meningkatkan fungsi
motorik pada anak PS (rekomendasi kelas U*).
Dizaepam Dapat dipertimbangkan sebagai terapi antispastisitas
menyeluruh jangka pendek (rekomendasi kelas B*).
Tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan
diazepam untuk meningkatkan fungsi motorik pada anak
PS (rekomendasi kelas U*).
Dantrolen Tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan
dantrolen sebagai terapi antispastisitas pada anak PS
(rekomendasi kelas U*).
Baklofen oral Tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan
baklofen sebagai terapi antispastisitas maupun untuk
meningkatkan fungsi motorik pada anak PS (rekomendasi
kelas U*).
Tizanidin Dapat dipertimbangkan sebagai terapi antispastisitas
jangka pendek (rekomendasi kelas C*).
Tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan
tizanidin untuk meningkatkan fungsi motorik pada anak PS
(rekomendasi kelas U*).
Baklofen intratekal Tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan
baclofen intratekal kontinu sebagai terapi antispastisitas
pada anak PS (rekomendasi kelas U*).
*)
Klasifikasi rekomendasi AAN 200925

70 Update in Child Neurology


Comprehensive management of cerebral palsy: an overview

disabilitas motorik pada anak dengan PS. Namun demikian, eliminasi


spastisitas belum tentu merupakan pilihan terbaik bagi pasien;
pada beberapa pasien pengurangan spastisitas justru menyebabkan
perburukan fungsional. Selain itu, efek samping obat antispastisitas,
misalnya hipersekresi mukus, juga perlu diperhatikan. Beberapa
alasan pemberian obat antispastisitas antara lain apabila spastisitas
otot menyebabkan nyeri, untuk memfasilitasi penggunaan ortosis
(misalnya brace), memperbaiki postur, mencegah kontraktur dan
deformitas, mempermudah mobilisasi dan perawatan higiene pasien,
serta optimalisasi fisioterapi dan terapi okupasi. Keputusan pemberian
obat antispastisitas harus dibuat berdasarkan pertimbangan seluruh
kemampuan fungsional dan disabilitas yang dimiliki anak.24 Rekomendasi
AAN mengenai penggunaan obat antispastisitas dapat dilihat pada
Tabel 1.

Prognosis
Prognosis pada PS berhubungan dengan jenis dan tipe PS, fungsi
motorik, adanya refleks patologis yang menetap, dan komorbiditas
yang menyertai. Prognosis PS dapat diprediksi atas dasar klasifikasi

Keterangan:
GMFM = gross motor functioning measure
Level I: mampu berjalan tanpa keterbatasan
Level II: mampu berjalan dengan keterbatasan
Level III: mampu berjalan dengan alat bantu mobilisasi digerakkan tangan
Level IV: mobilisasi mandiri dengan keterbatasan, mungkin dengan alat bantu bertenaga listrik
Level V: ditransport menggunakan kursi roda manual
*) Skor GMFM pada GMFCS level III, IV, dan V akan mencapai puncak pada usia yang ditandai garis putus-putus,
kemudian menurun

Gambar 3. Prediksi skor GMFM menurut usia sesuai tingkatan GMFCS20

Everything you should know about motor and movement problems in children
71
Fadhilah Tia Nur

kemampuan motorik fungsionalnya berdasarkan sistem skoring gross


motor functioning measure (GMFM) untuk menentukan tingkatan gross
motor function classification system (GMFCS) (Gambar 1). Anak yang
tergolong GMFCS level I dan II, yaitu yang dapat berjalan tanpa alat
bantu baik dengan atau tanpa keterbatasan, tidak akan mengalami
perburukan fungsi.20 Sebaliknya, anak yang tergolong GMFCS level III,
IV, dan V yang tidak mampu berjalan sendiri akan mencapai puncak
fungsi motorik kasar pada usia tertentu, diikuti penurunan fungsi.
Apabila didukung dengan perawatan dan tata laksana yang memadai,
maka anak PS akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Tata laksana
anak PS sangat memerlukan dukungan orangtua, sehingga orangtua juga
perlu mendapatkan informasi mengenai diagnosis, program terapi, dan
kemungkinan hasil yang dapat dicapai.2-4

Simpulan
Palsi serebral merupakan gangguan neurodevelopmental yang dimulai
saat awal perkembangan bayi yang bersifat non-progesif dengan
manifestasi klinis berupa gangguan perkembangan motorik dan
postural. Terapi yang diberikan bertujuan untuk memaksimalkan potensi
fungsional anak, sedangkan defisit neurologis tidak dapat diubah. Tata
laksana pada pasien PS bersifat individu tergantung pada manifestasi
klinis yang ada dan membutuhkan pendekatan multidisiplin. Tata
laksana anak PS sangat memerlukan dukungan orangtua, sehingga
orangtua juga perlu mendapatkan informasi dan edukasi yang lengkap.

Daftar pustaka
1. Morris C. Definition and classification of cerebral palsy: a historical
perspective. Dev Med Child Neurol. 2007;49:3–7.
2. Bax MC, Flodmark O, Tydeman C. Definition and classification of cerebral
palsy: from syndrome toward disease. Dev Med Child Neurol. 2007;49:39–41.
3. Swaiman KF, Wu Y. Cerebral palsy. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero
DM, penyunting. Pediatric neurology principles & practice. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. h. 491-504.
4. Brunstrom JE, Tilton AH. Cerebral palsy. Dalam: Maria BL, penyunting.
Current management in child neurology. Edisi ke-4. Shelton: BC Decker;
2009. h. 307-12.
5. Tizard JPM. Cerebral palsies: treatment and prevention. The Croonian
Lecture. J Coll Physicians Lond. 1990;14:72-7.
6. Bell KL, Boyd RN, Tweedy SM, Weir KA, Stevenson RD, Davies PS. A
prospective longitudinal study of growth, nutrition and sedentary behaviour
in young children with cerebral palsy. BMC Public Health. 2010;10:179-83.
7. Menkes JH, Sarnat HB. Perinatal asphyxia and trauma. Dalam: Menkes JH,
Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology. Edisi ke-7. Philadelphia:
Lippincot Williams & Wilkins; 2006. h. 367-431.

72 Update in Child Neurology


Comprehensive management of cerebral palsy: an overview

8. Himmelmann K, Beckung PT, Hagberg G, Uvebrant P. Gross and fine motor


function and accompanying impairments in cerebral palsy. 2006;48:417-23.
9. Day SM, Strauss DJ, Vachon PJ, Rosenbloom L, Shavelle RM, Wu YW. Growth
pattern in a population of children and adolescent with cerebral palsy. Dev
Med Child Neurol. 2007; 49:167-71.
10. Fung EB, Samson-Fang L, Stallings VA, Conaway M, Liptak G, Henderson SC,
dkk. Feeding dysfunction is associated with poor growth and health status
in children with cerebral palsy. J Am Diet Assoc. 2002;102:361-70.
11. Reilly S, Skuse D, Poblete X. Prevalence of feeding problems and oral motor
dysfunction in children with cerebral palsy: a community survey. J Pediatr.
1996;129:877-82.
12. Klein MD, Delaney TA. Feeding and nutrition for the child with special needs.
USA: Hammil Institute on Disabilities; 1994. h. 473-533.
13. Palmer S. Cerebral palsy. Dalam: Palmer S, Ekvall S, penyunting.
Pediatric nutrition in developmental disorder. Springfield: Charles C.
ThomasPublisher; 1978. h. 42-9.
14. Pennington L. Direct speech and language therapy for children with cerebral
palsy: finding from a systematic review. Dev Med Child Neurol. 2005;1:57-63.
15. Ashwal S, Russman BS, Blasco PA, Miller G, Sandler A, Shevell M, dkk.
Practice parameter: diagnostic assessment of the child with cerebral palsy.
Neurology. 2004;62:851-63.
16. Lely O. Soetjiningsih. Aspek kognitif dan psikososial pada anak dengan
palsi serebral. Sari Pediatri. 2000;2:109-12.
17. Kusumaningrum RS, Herini ES, Ismail D. Association between type of
cerebral palsy and the cognitive level. Paediatr Indones. 2009;49:186-8.
18. Shevell MI, Dagenais L, Hall N. Comorbidities in cerebral palsy and
their relationship to neurologic subtype and GMFCS level. Neurology.
2009;72:2090-6.
19. Wibowo AR, Saputra DR. Prevalens dan profil klinis pada anak palsi serebral
spastik dengan epilepsi. Sari Pediatri. 2012;14:1-7.
20. Rosenbaum PL, Walter SD, Hanna SE, Palisano RJ, Russel DJ, Raina P, dkk.
Prognosis for gross motor function in cerebral palsy creation of motor
development curves. J Am Med Assoc. 2002;288:1357-63.
21. Russman BS. Disorder of motor execution I: cerebral palsy. Dalam: David RB,
Bodensteiner JB, Mandelbaum DE, Olson B, penyunting. Clinical pediatric
neurology. Edisi ke-3. New York: Demos Medical; 2009. h. 443-448.
22. Kerschner JE. Neonatal hearing screening: to do or not to do. Pediatr Clin
N Am. 2004;51:725-36.
23. Suwento R. Skrining pendengaran pada anak. Surabaya: KONAS PERHATI
XIV; 2007.
24. Delgado MR, Hirtz D, Aisen M, Ashwal S, Fehling DL, McLaughlin J, dkk.
Practice parameter: pharmacologic treatment of spasticity in children and
adolescent with cerebral palsy (an evidence-based review). Neurology.
2010;74:336-43.
25. American Academy of Neurology. Editor’s note to authors and readers:
Levels of evidence coming to Neurology. Diunduh dari: http://www.
neurology.org/site/misc/NeurologyFiller.pdf. Diakses tanggal 10 Mei 2017.

Everything you should know about motor and movement problems in children
73
Can physiotherapy cure
cerebral palsy ?
Luh Karunia Wahyuni

Tujuan
1. Mengetahui masalah-masalah yang menjadi sasaran terapi fisik
2. pada palsi serebral
3. Mengetahui tujuan fisioterapi pada palsi serebral
4. Mengenal beberapa pendekatan terapi fisik yang dapat dilakukan
5. pada anak dengan palsi serebral

Ketika orangtua mendengar diagnosis palsi serebral (PS) dan mendapat


penjelasan bahwa lesi bersifat non-progresif, tim medis seringkali tidak
menjelaskan dengan detail maksud pernyataan ini. Orangtua yang
mendengar bahwa PS tidak progresif, percaya bahwa keadaan anak tidak
akan memburuk. Berdasarkabn patofisiologinya, lesi pada PS memang
dianggap tidak akan berubah. Pada PS, sekalipun lesi di otak bersifat
non-progresif, disabilitas yang diakibatkannya dapat bersifat progresif.
Hal tersebut terjadi karena lesi di otak berdampak terhadap tubuh yang
tetap tumbuh dan berkembang, serta adanya pengulangan gerakan yang
disfungsional, sehingga disabilitas pun berkembang dan seiring dengan
berjalannya waktu menghasilkan perubahan dan gangguan lebih lanjut.
Tata laksana yang bertujuan agar tercapainya kemampuan
fungsional yang optimal pada PS membutuhkan pemahaman
komprehensif terhadap diagnosis medis yang mendasari terjadinya PS,
penyakit penyerta, prognosis penyakit, komplikasi, tata laksana medis
yang diberikan, kemampuan persepsi-kognisi, status nutrisi, status
kardiorespirasi, modal dasar yang masih dimiliki anak, serta keterlibatan
orangtua dan keluarga. Dari hasil penilaian yang komprehensif tersebut
akan dapat ditegakkan diagnosis fungsional yang menetapkan seberapa
jauh gangguan pada struktur dan fungsi organ tubuh akan menyebabkan
keterbatasan , dan partisipasi serta seberapa jauh hal tersebut
dipengaruhi oleh faktor personal dan faktor lingkungan. Lebih lanjut
perlu ditetapkan prognosis fungsional yang meliputi fungsi makan dan
menelan, komunikasi, mobilisasi, sosialisasi, bermain dan bersekolah,
serta jenis tata laksana yang tepat.
Melihat seorang terapis yang sedang memberi terapi pada seorang
anak dengan PS seringkali memunculkan pelbagai pertanyaan: Apa yang
sedang dilakukan? Seperti apa hasil akhirnya? Seberapa sering anak perlu
melakukan ini? Apakah terapi yang diberikan dapat menyembuhkan PS?
Masalah-masalah tersebut akan dibahas secara singkat pada makalah

74 Update in Child Neurology


Can physiotherapy cure cerebral palsy?

ini akan fokus dibahas secara singkat agar sejawat dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas.

Berbagai masalah pada PS


Pada dasarnya seorang anak PS mengalami kesulitan mengontrol postur
dan gerak terkait dengan gangguan pada sistem neuromuskular, yakni
tonus otot refleksif yang abnormal, gangguan kontraksi otot, kesulitan
mengatur gradasi antara ko-kontraksi dan inhibisi resiprokal, serta
keterbatasan sinergi untuk menghasilkan gerakan dan postur tegak.
Lesi di otak yang menyebabkan PS seringkali mengakibatkan
kerusakan lebih dari satu sistem, menghasilkan kerusakan yang
mempengaruhi kontrol pergerakan. Kerusakan primer adalah kerusakan
yang terjadi segera setelah terbentuknya lesi. Kerusakan sekunder
berkembang seiring berjalannya waktu, disebabkan oleh dampak dari
satu atau lebih kerusakan primer, dan dapat menjadi penyulit yang sama
beratnya dengan kerusakan primer.
Karena hal-hal tersebut, di samping permasalahan mendasar pada
sistem neuromuskuloskeletal, anak dengan PS juga mengalami gangguan
pada sistem-sistem lain: (1) sistem sensori-persepsi dan kognisi; (2)
sistem muskuloskeletal; (3) sistem respirasi; (4) atensi/arousal; (5)
motivasi; (6) ketahanan kardiorespirasi; (7) sistem gastrointestinal; dan
(8) pertumbuhan dan nutrisi. Pada sistem muskuloskeletal dapat terjadi
gangguan berupa abnormalitas struktur tulang, hipomobilitas sendi dan
pemendekan otot, lingkup gerak sendi yang berlebihan atau terbatas,
laksitas (kelenturan yang berlebihan) pada ligamen, dan instabilitas
sendi. Pada sistem respirasi dapat terjadi kesulitan mempertahankan
fungsi respirasi untuk menyokong postur dan pergerakan serta
gangguan dalam perkembangan pola respirasi yang lebih matur. Pada
fungsi arousal/atensi anak dapat mengalami gangguan tingkat arousal
rendah dan kesulitan memusatkan perhatian, tidak memiliki motivasi
sehingga memengaruhi kecepatan pergerakan, gangguan pada ketahanan
kardiorespirasi yang menyebabkan kontraksi otot yang kurang efisien,
gangguan pada sistem gastrointestinal berupa refluks gastroesofagus
dan konstipasi, status nutrisi dan pertumbuhan yang buruk akibat
kemampuan oromotor yang buruk, disfungsi saluran cerna, dan
perubahan kebutuhan energi untuk pergerakan. Gangguan-gangguan
pada sistem tersebut berkontribusi pula dalam kontrol postur dan
pergerakan.
Siapapun yang terlibat dalam tata laksana anak dengan PS akan
menyadari bahwa banyak hal yang sering memburuk akibat kerusakan
sekunder yang pada akhirnya menghambat gerakan secara progresif.
Contohnya, anak dengan PS lahir tanpa kontraktur sendi. Secara
berangsur, kontraktur sendi terjadi akibat gangguan pada sistem
neuromuskuloskeletal (spastisitas, ketidakseimbangan kekuatan otot,
atau kurangnya aktivitas otot), kesegarisan (alignment) yang buruk untuk

Everything you should know about motor and movement problems in children
75
Luh Karunia Wahyuni

memulai gerakan, kelemahan otot, respon sensoris atau eksekusi gerakan


yang buruk, pertumbuhan, dan faktor lainnya. Memahami terjadinya
kerusakan sekunder merupakan hal yang sangat penting dipahami oleh
tim medis yang terlibat dalam tata laksana PS.
Dengan demikian, jelas bahwa permasalahan yang dihadapi oleh
anak PS sangat luas dan kompleks. Sejalan dengan tujuan tata laksana,
yaitu pencapaian kemampuan fungsional yang optimal, maka diperlukan
kerjasama berbagai disiplin ilmu seperti dokter, terapis (fisioterapis,
terapis okupasi, terapis wicara), ortotis-prostesis, psikolog, petugas
sosial medis, serta orangtua dan keluarga. Pada makalah ini akan dibahas
secara singkat peran fisioterapi dalam tata laksana PS.

Tata laksana fisioterapi pada PS


Tata laksana umum PS bersifat multidisiplin, meliputi pendekatan umum,
teknik dan pendekatan terapi motorik, alat bantu dan teknologi asistif,
intervensi terhadap keterampilan oromotor untuk makan dan menelan,
pendekatan untuk penanganan spastisitas, penanganan dan pembedahan
ortopedik, serta intervensi untuk kondisi kesehatan terkait.
Pertanyaan yang sering ditanyakan kepada dokter dan terapis
adalah: Adakah pengobatan yang terbaik untuk PS ? Tidak ada jawaban
yang tepat untuk dapat menjawab pertanyaan tentang pengobatan
terbaik yang paling sesuai untuk anak tertentu, di lingkungan tertentu
(keluarga, sekolah, tempat tinggal), dan fasilitas tertentu yang tersedia.
Hal yang paling penting adalah menetapkan tujuan pengobatan yang
tepat. Lebih baik mencapai sedikit tujuan yang penting daripada
mencapai semua tujuan yang tidak terlalu penting. Hanya ketika prioritas
tujuan telah ditetapkan maka baru dapat dilontarkan pertanyaan
“bagaimana kita mencapainya?” Jarang terdapat hanya satu tujuan dan
satu cara mencapainya. Bahkan dengan keputusan rasional sekalipun,
seringkali intervensi tidak mencapai hasil yang diharapkan karena
kondisi kompleks dari anak, yang tidak seperti orang dewasa, melainkan
berubah terus-menerus baik dengan atau tanpa pengobatan.
Orangtua dan anggota keluarga seringkali mencari informasi tentang
keadaan disabilitas anak dan seringkali menemukan sumber informasi
tentang intervensi yang menjanjikan akan menghasilkan perubahan
dramatis pada keadaan anak. Tim medis seyogyanya dapat membantu
orangtua membuat keputusan pemilihan intervensi. Pertanyaan yang
perlu dijawab saat menetapkan jenis intervensi adalah:
yy Apa yang ingin dicapai dengan intervensi ini?
yy Adakah potensi bahaya atau efek samping yang terkait dengan
intervensi ini?
yy Apa saja efek positif dari intervensi ini?
yy Apakah intervensi ini sudah divalidasi secara ilmiah dengan
penelitian yang dirancang secara teliti pada anak dengan gangguan
motorik?

76 Update in Child Neurology


Can physiotherapy cure cerebral palsy?

yy Dapatkah intervensi ini diintegrasikan dalam program yang sedang


dijalani oleh anak?
yy Bagaimana komitmen waktunya? Apakah realistis?
yy Apa saja pro dan kontra dari intervensi ini? Apa komentar dari
orangtua lain dan profesional tentang hal ini (pro dan kontra)?
yy Apakah pelaku intervensi memiliki pengetahuan tentang aspek
medis dan perkembangan yang terkait dengan gangguan motorik?
yy Apakah pelaku intervensi memiliki pengalaman bekerja dengan anak
yang mengalami gangguan motorik?
yy Adakah kesesuaian intervensi ini dengan kondisi medis anak?

Terdapat berbagai jenis pendekatan dan program intervensi yang


dapat dipertimbangkan untuk anak yang memiliki gangguan kontrol
motorik. Beberapa pendekatan (misalnya fisioterapi, terapi okupasi,
dan terapi wicara) dapat dipertimbangkan sebagai terapi standar atau
tradisional. Sebagai tambahan juga terdapat berbagai teknik dan model
terapi yang biasa disebut sebagai komplementer atau alternatif (misalnya
hidroterapi atau terapi menunggang kuda). Tata laksana fisioterapi pada
anak PS dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni :
yy Terapi fisik yang bertujuan memperbaiki hendaya secara langsung,
misalnya latihan penguatan pada otot yang lemah dan latihan
lingkup gerak sendi pada keterbatasan lingkup gerak sendi, dengan
harapan latihan tersebut akan secara otomatis mengembangkan
kesempatan pergerakan anak dan meningkatkan kemampuan
fungsional.
yy Terapi fisik berdasarkan pendekatan neurofisiologi, misalnya
memanfaatkan eksterosepsi dan propriosepsi untuk meningkatkan
atau menurunkan aksi otot dan pada saat yang bersamaan
mempengaruhi aktivitas susunan saraf pusat, memperbaiki pola
gerakan serta stabilitas postural yang lebih baik. Konsep ini berbeda
dari model pertama di atas dalam hal bagian tubuh yang ditangani
tidak perlu merupakan bagian yang ingin dipengaruhi dampaknya.
yy Pendekatan edukasi dengan menciptakan interaksi untuk mendorong
gerakan dan fungsi yang lebih baik.

Pendekatan terapi yang paling sering digunakan dalam fisioterapi


adalah pendekatan Bobath (juga dikenal sebagai neurodevelopmental
therapy), conductive education (Peto), Vojta (di Eropa), patterning (oleh
Doman-Delacato, antara lain yang dikembangkan oleh Institute for the
Achievement of Human Potential, British Institute for Brain Injured
Children, Brainwave), sensori integrasi, Movement Opportunities Via
Education (MOVE), advanced neuromotor rehabilitation (ANR), terapi
oksigen hiperbarik, terapi rekreasi (hipoterapi dan hidroterapi), dan
terapi alternatif lainnya (akupunktur, terapi osteokraniosakral).
Penelitian mengenai efektivitas intervensi fisioterapi pada anak
dengan PS belum berhasil memberikan bukti yang dapat digeneralisasi.

Everything you should know about motor and movement problems in children
77
Luh Karunia Wahyuni

Belum terdapat satu bentuk terapi atau pendekatan kombinasi, pelatihan,


atau penanganan yang terbukti memberikan keberhasilan lebih baik
dibandingkan yang lain. Penelitian-penelitian yang mengevaluasi efek
fisioterapi pada anak dengan PS banyak menghadapi kendala. Kendala
pertama adalah kesulitan memprediksi luaran yang tepat karena adanya
variasi dalam pengaruh lingkungan dan kesempatan yang diperoleh anak
di masa mendatang. Kendala kedua, rehabilitasi pada dasarnya adalah
suatu proses edukasi atau pembelajaran yang memerlukan partisipasi
aktif dari masing-masing anak untuk mencapai suatu tujuan yang bersifat
individual dan unik bagi anak tersebut, tidak seperti proses farmakologi
untuk mencapai suatu norma biologis. Ketiga, tidak ada terapi maupun
terapis yang benar-benar sama yang dapat diberikan kepada semua
individu; masing-masing terapis memiliki karakteristik dan empati yang
berbeda. Selain itu, anak dengan PS dapat memiliki disabilitas berat dan
restriksi partisipasi yang membatasi pembuktian secara eksperimental.
Sekalipun beberapa jenis intervensi belum terbukti memperbaiki
kemampuan motorik, namun terapi tetap dapat memberikan keuntungan
karena membuat anak lebih aktif secara fisik selama menjalani
intervensi, memberikan kesempatan interaksi sosial, atau memfasilitasi
perkembangan anak secara menyeluruh. Dengan demikian, tujuan
pendekatan terapi anak dengan PS harus jelas, karena tidak satu
pun pendekatan yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan setiap
individu, baik kebutuhan anak maupun keluarga. Sangat penting untuk
menentukan tujuan terapi yang spesifik dan dapat diukur bagi tiap-tiap
individu dan mengevaluasinya seiring waktu, sehingga keluarga dapat
memiliki pilihan terapi yang rasional, efektif, dan realistis.

Daftar pustaka
1. Stammer M. Posture and movement of the child with cerebral palsy. USA:
Therapy Skills Builders; 2000. h. 9-20
2. Beaman J, Kalisperis FR, Miller S. The infant and child with cerebral palsy.
Dalam: Tecklin JS, penyunting. Pediatric Physical Therapy. Edisi ke-5.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2015. h.187-246.
3. Coker-Bolt PC, Garcia T, Naber E. Neuromotor cerebral palsy. Dalam: Case-
Smith J, O’Brien JC, penyunting. Occupational therapy for children and
adolescents. Edisi ke-7. Missouri: Elsevier; 2015. h. 799-808.
4. Scrutton B, Damiano D, Mayston M. Management of the motor disorders
of children with cerebral palsy. Edisi ke-2. London: Mac Keith Press; 2004.
5. New York State Department Of Health Division Of Family Health Bureau
Of Early Intervention. Report of recommendations for motor disorder
assessment and intervention for young children (age 0-3 years). New York:
2006
6. Bower E. Current techniques in physiotherapy for children with cerebral
palsy. Curr Paediatr. 1999;9:79-83.

78 Update in Child Neurology


Masalah saluran cerna pada anak
dengan palsi serebral
Pramita G. Dwipoerwantoro

Tujuan:
1. Mengetahui manifestasi klinis tersering gangguan saluran cerna pada palsi sereberal
2. Mengetahui mekanisme yang mendasari gangguan saluran cerna pada palsi sereberal
3. Memahami tata laksana masalah saluran cerna pada anak dengan palsi sereberal

Dengan berkembangnya ilmu kedokteran saat ini, terutama dengan


adanya fasilitas neonatal intensive care unit (NICU) dan kemajuan
teknologi diagnostik, terjadi peningkatan harapan hidup bayi prematur
dan matur dengan gangguan neurologik. Hal tersebut tentunya
merupakan tantangan tersendiri bagi ilmu kedokteran anak, terutama
bidang neurologi, gastroenterologi, nutrisi, rehabilitasi medik, maupun
keperawatan. Walaupun masalah utama pasien yang mengalami
keterbatasan perkembangan tersebut terkait fisik dan mental, beberapa
laporan klinik menunjukkan bahwa kerusakan otak berpengaruh secara
signifikan terhadap disfungsi sistem saluran cerna.1-5
Palsi serebral (PS) termasuk dalam kelompok kelainan gerak, postur
dan tonus yang kronik dan non-progresif, akibat kerusakan susunan
saraf pusat sebelum perkembangan serebral komplet. Prevalensi PS
diperkirakan sekitar dua per 1000 kelahiran hidup, dan kelainan yang
tersering dijumpai adalah tipe spastik. Kelainan tipikal neuropatologik
tersering adalah leukomalasia periventrikular dan atrofi kortikal/
serebral.6 Disfungsi motorik saluran cerna, antara lain penyakit refluks
gastroesofageal (PRGE), disfagia, muntah, dan konstipasi kronik
merupakan gejala klinis yang paling sering dikeluhkan pada berbagai
derajat kerusakan susunan saraf pusat.7,8

Disfagia
Disfungsi oromotor sering dijumpai dan merupakan salah satu tanda
awal gangguan neuromuskular. Masalah menelan merupakan masalah
yang tersering dijumpai (90%) pada anak dengan gangguan neurologik,
dan hal ini merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap
terjadinya malnutrisi pada anak dengan PS.9 Perkembangan kemampuan
oromotor merupakan cerminan maturasi neurologik secara umum dan
memerlukan koordinasi gerakan beberapa otot rangka rongga mulut,
faring, dan esofagus dengan keterlibatan saraf kranial VI dan batang
otak serta korteks serebri.5
Everything you should know about motor and movement problems in children
79
Pramita G Dwipoerwantoro

Manifestasi klinik disfagia dapat berupa distres selama makan


(termasuk batuk, tersedak, dan menolak makan), episode aspirasi
ataupun aspirasi kronik terkait kelainan respiratorik, dan gagal tumbuh.
Kesulitan menelan makanan cair sering dijumpai pada PS.5 Masalah
menelan dapat mencetuskan terjadinya PRGE dan esofagitis pada anak
dengan PS. Sebagian besar anak dengan PS mengalami disfungsi fase
oral saat menelan, dengan pembentukan abnormal bolus makanan
akibat gerakan atau kontraksi yang tidak terkoordinasi maupun akibat
lidah yang rigid.10 Pada kondisi pembentukan bolus makanan abnormal
terjadi defek saat propulsi bolus ke arah orofarings akibat tidak adanya
koordinasi gerakan motorik halus lidah ke arah palatum. Masalah
menelan memberikan implikasi yang signifikan terhadap perkembangan,
nutrisi, kesehatan saluran nafas, maupun fungsi saluran cerna pada
anak dengan PS. Kondisi disfagia akan menyebabkan asupan nutrisi
berkurang, yang dapat menyebabkan malnutrisi.11 Selain itu, masalah
yang dapat timbul akibat kesulitan menelan pada anak dengan PS adalah
pneumonia aspirasi berulang. Diagnosis dini dapat dilakukan antara lain
dengan studi proses menelan menggunakan video fluoroskopi untuk
menilai motilitas faring simultan dengan mekanisme proteksi saluran
nafas selama proses menelan.
Tata laksana untuk mengurangi dan memperbaiki PRGE,
masalah respirologi rekuren, dan status nutrisi antara lain dilakukan
dengan pemberian proton pump inhibitor (PPI), insersi gastrostomi,
maupun nutrisi enteral dengan pemilihan formula yang mempercepat
pengosongan lambung.

Disfungsi esofagus
Penyakit refluks gastroesofageal (PRGE) sering dijumpai pada anak
dengan gangguan neurologis. Angka kejadiannya bervariasi antara
70% hingga 90%, bergantung pada penegakan diagnosis menggunakan
uji pH esofagus atau endoskopi saluran cerna atas (esofagogastro-
duodenoskopi, EGD). 10,12 Posisi terlentang dalam jangka lama,
peningkatan tekanan intra-abdomen akibat spastisitas dan skoliosis, dan
adanya komorbiditas hernia hiatal merupakan kontributor meningkatnya
frekuensi refluks gastroesofagus (RGE). Disfungsi susunan saraf pusat
(SSP) merupakan penyebab utama dismotilitas menyeluruh saluran
cerna atas, bahkan sampai keseluruhan usus halus.5 Pada kondisi
tersebut katup esofagus bawah akan mengalami penurunan tekanan
saat fase istirahat dan peningkatan frekuensi relaksasi transien. Keadaan
ini, ditambah dengan motilitas yang abnormal, akan menyebabkan
inkoordinasi neuromuskular.
Beberapa penelitian menunjukkan tingginya insidens RGE berupa
laporan mengenai gejala muntah, ruminasi, dan regurgitasi sebesar 20%
sampai 30% pada anak dengan PS. Angka kejadian anemia defisiensi
besi dan hematemesis terkait RGE dilaporkan sebesar 10% sampai

80 Update in Child Neurology


Masalah saluran cerna pada anak dengan palsi serebral

20%.13 Uji pH-metri patologis dijumpai pada 48% kasus, dengan hasil
endoskopi menunjukkan esofagitis refluks pada 96% kasus; terdiri atas
14% esofagitis derajat 1, 33% derajat 2, 39% derajat 3, dan 13% derajat 4
menurut klasifikasi Savary-Miller. Kelainan esofagus Barret didapatkan
pada 14% kasus dan striktur peptik didapatkan pada 4% kasus.14
Diagnosis PRGE memerlukan anamnesis yang cermat mengenai
kesehatan secara menyeluruh maupun riwayat diet, pemeriksaan fisis
lengkap, dan observasi proses makan. Penegakan diagnostik paripurna
meliputi uji pH-metri, endoskopi saluran cerna atas (EGD) dan biopsi
jaringan, serta studi barium. Uji pH-metri saluran cerna atas bermanfaat
untuk mengevaluasi jumlah episode refluks patologis maupun
mengevaluasi hubungan waktu dengan gejala klinis yang kompleks.
Pemeriksaan EGD, biopsi jaringan dan studi barium bermanfaat melihat
kelainan mukosa serta mencari adanya striktur, divertikel, maupun
hernia hiatal. Studi radionuklir berupa skintigrafi gastroesofagus
bermanfaat dalam evaluasi fungsi pengosongan lambung terkait RGE.
Pemeriksaan manometri esofagus, dilakukan sebelum tindakan operasi
fundoplikasi, dapat digunakan untuk mengevaluasi motilitas viseral.15,16
Tata laksana awal setelah diagnosis PRGE ditegakkan adalah
pemberian antirefluks, yaitu golongan PPI sebagai lini pertama, dan
biasanya memerlukan pemantauan oleh konsultan gastroenterologi
untuk pemberian jangka lama. Pemberian PPI jangka lama dilaporkan
cukup aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Penggunaan H2-blocker
dan prokinetik dapat bermanfaat pada beberapa kasus. Fundoplikasi
Nissen merupakan teknik bedah yang tersering digunakan bila
terdapat indikasi, dan bermanfaat memperkuat barier antirefluks serta
memperbaiki keluhan.5

Konstipasi
Keluhan buang air besar yang jarang (frekuensi kurang dari normal)
dan tinja keras merupakan keluhan yang umum dijumpai pada anak PS,
walaupun seringkali merupakan kondisi yang tidak terdiagnosis dengan
baik. Prevalensi konstipasi kronik pada anak dengan PS bervariasi antara
25% sampai 75%.10 Konstipasi kronik terjadi akibat pemanjangan waktu
transit di kolon (terutama kolon kiri dan rektum), sekunder akibat
dismotilitas saluran cerna atas. Hal ini menjelaskan mengapa pemberian
prokinetik sering gagal mengatasi masalah konstipasi kronik pada anak
dengan PS. Hal lain yang berkontribusi terhadap kondisi konstipasi
kronik pada anak PS adalah diet yang kurang serat dan cairan serta
keterlambatan diagnosis.

Simpulan
Anak dengan PS dapat mengalami disfungsi saluran cerna yang
signifikan, bermanifestasi sebagai gangguan fungsi oromotor, ruminasi,

Everything you should know about motor and movement problems in children
81
Pramita G Dwipoerwantoro

PRGE dengan atau tanpa aspirasi, gangguan pengosongan lambung, dan


konstipasi. Anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisis yang teliti, dan
diagnosis dini akan mencegah konsekuensi lanjut terjadinya malnutrisi
berat yang akan memengaruhi kualitas hidup.

Daftar Pustaka
1. Reilly S, Skuse D, Poblete X. Prevalence of feeding problems and oral motor
dysfunction in children with cerebral palsy: a community survey. J Pediatr.
1996;129:877-82.
2. Sondheimer JM, Morris BA. Gastroesophageal reflux among severely retarded
children. J Pediatr. 1979;94:710-4.
3. Staiano A, Del Giudice E. Colonic transit and anorectal manometry in children
with severe brain damage. Pediatrics. 1994;94:169-73.
4. Ravelli AM, Milla PJ. Vomiting and gastroesophageal motor activity
in children with disorders of the central nervous system. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1998;26:56-63.
5. Quitadamo P, Thapar N, Staiano A, Borrelli O. Gastrointestinal and
nutritional problems in neurologically impaired children. European J
Paediatr Neurol. 2016;20:810-5.
6. Kuban KC, Leviton A. Cerebral palsy. N Engl J Med. 1994;330:188–95.
7. Staiano A, Cucchiara S, Del Giudice E, Andreotti MR, Minella R. Disorders of
oesophageal motility in children with psychomotor retardation and gastro-
oesophageal reflux. Eur J Pediatr. 1991;150: 638-41.
8. Martinelli M, Staiano A. Motility problems in the intelectually challenged
child, adolescent, and young adult. Gastroenterol Clin N Am. 2011;40:765-75.
9. Reilly S, Skuse D, Poblete X. Prevalence of feeding problems and oral motor
dysfunction in children with cerebral palsy: a community survey. J Pediatr.
1996;129:877-82.
10. Del Giudice E, Staiano A, Capano G, Romanpo A, Florimonte L, Miele E, dkk.
Gastrointestinal manifestations in children with cerebral palsy. Brain Dev.
1999;21:307-11.
11. Campanozzi A, Capano G, Miele E, Romano A, Scuccimarra G, Del Giudice E,
dkk. Impact of malnutrition on gastrointestinal disorders and gross motor
abilities in children with cerebral palsy. Brain Dev. 2007;29:25-9.
12. Wesley JR, Coran AG, Sarahan TM, Klein MD, White SJ. The need for
evaluation of gastro-esophageal reflux in brain-damaged children referred
for feeding gastrostomy. J Pediatr Surg. 1981;16:866-71.
13. Ravelli AM, Milla PJ. Vomiting and gastroesophageal motor activity
in children with disorders of the central nervous system. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1998;26:56-63.
14. Bohmer CJ, Niezen-de Boer MC, Klinkenberg-Knol EC, Tuynman HA, Voskuil
JH, Devillé WL,dkk. Gastro-esophageal reflux disease in institutionalised
intellectually disabled individuals. Neth J Med. 1997;51:134-9.
15. Fonkalsrud EW, Foglia RP, Ament ME, Berquist W, Vargas J. Operative
treatment for the gastroesophageal reflux syndrome in children. J Pediatr
Surg. 1989;24:525-9.

82 Update in Child Neurology


Masalah saluran cerna pada anak dengan palsi serebral

16. Okada T, Sasaki F, Asaka M, Kato M, Nakagawa M, Todo S. Delay of gastric


emptying measured by C-acetate breath test in neurologically impaired
13

children with gastroesophageal reflux. Eur J Pediatr Surg. 2005;15:77-81.

Everything you should know about motor and movement problems in children
83
Masalah dan tata laksana nutrisi
pada palsi serebral
Titis Prawitasari

Tujuan:
1. Memahami masalah nutrisi pada anak dengan palsi serebral
2. Memahami tata laksana nutrisi komprehensif pada anak dengan palsi serebral

Pemenuhan nutrisi yang adekuat merupakan bagian yang tidak


terpisahkan bagi terpenuhinya proses tumbuh kembang yang optimal
seorang anak. Akan tetapi, terdapat berbagai kondisi yang menyebabkan
anak mengalami hambatan dan berisiko tinggi untuk jatuh pada kondisi
malnutrisi dan gagal tumbuh. Gangguan neurologis dan perkembangan
merupakan populasi yang rentan untuk mengalami masalah pertumbuhan
dan malnutrisi.1
Palsi serebral (PS) merupakan salah satu penyebab tersering
disabilitas fisis pada anak, merupakan suatu kelainan perkembangan
gerak dan postur yang menetap akibat gangguan pada otak yang
menyebabkan keterbatasan aktivitas motorik. Kelainan motorik
pada palsi serebral dapat disertai juga dengan kelainan sensasi,
persepsi, kognitif, komunikasi, perilaku, epilepsi, maupun kelainan
muskuloskeletal lainnya.2 Kompleksitas kondisi PS tersebut dengan
sendirinya menyebabkan terjadinya berbagai masalah yang sangat
memengaruhi kondisi kesehatan, pemenuhan nutrisi dan kualitas hidup
secara keseluruhan. Berikut ini akan dibahas berbagai masalah nutrisi
yang sering terjadi pada anak dengan serebral palsi serta bagaimana
mendeteksi secara dini serta melakukan tata lakasana dengan tepat
dan menyeluruh.

Masalah nutrisi pada palsi serebral


Angka kejadian malnutrisi pada PS sangat bervariasi, berkisar antara 46%
sampai 90%, dengan 2% sampai 16% di antaranya mengalami overweight
dan obesitas.1,3 Pada prinsipnya, terjadinya malnutrisi pada PS dapat
disebabkan asupan yang tidak adekuat, peningkatan pengeluaran,
perubahan metabolisme, disfungsi oromotor, dan masalah postural.1,3-8

Tidak adekuatnya asupan


Canadian Paediatric Society telah melakukan telaah yang memperlihatkan
bahwa asupan kalori pada anak dengan PS lebih rendah dibandingkan

84 Update in Child Neurology


Masalah dan tata laksana nutrisi pada palsi serebral

dengan anak seusianya pada populasi.3 Hal ini terjadi akibat kurangnya
keterampilan makan pada anak PS. Kurangnya koordinasi antara
tangan dan mulut menyebabkan banyak makanan yang tumpah serta
perlunya waktu yang lama untuk menghabiskan makanan dengan
kalori yang cukup, sehingga jumlah dan target kalori yang diinginkan
tidak tercapai.3 Anak dengan PS derajat berat sangat bergantung pada
orangtua atau pengasuh dalam proses pemberian makan; mereka juga
tidak dapat mengkomunikasikan rasa kenyang-lapar sehingga sering
terjadi kesalahan interpretasi oleh orangtua atau pengasuh mengenai
kecukupan asupan. Dismotilitas, hipotonia, serta kondisi non-ambulatory
sangat berperan terhadap terjadinya konstipasi yang juga memengaruhi
asupan pada anak PS.1,3

Peningkatan pengeluaran
Refluks gastroesofagus merupakan kondisi yang sering terjadi pada
anak dengan PS. Adanya regurgitasi dan muntah sering menyebabkan
keseimbangan cairan dan kalori yang negatif. Kondisi esofagitis refluks
sering menyebabkan abdominal discomfort yang berakibat terjadinya
food refusal sehingga makin memperberat kurangnya jumlah asupan
kalori.3

Perubahan metabolisme
Secara umum, anak dengan PS mempunyai resting energy expenditure
(REE) yang lebih rendah dibandingkan anak dengan usia maupun berat
badan yang sama. Jumlah kalori yang sesuai dengan REE cukup untuk PS
tipe hipotonia serta non-ambulatory. Sebaliknya, PS dengan peningkatan
tonus otot dan atetosis memerlukan kalori yang lebih banyak. Bahkan
pada PS ringan hingga sedang yang dapat beraktivitas (ambulatory)
dibutuhkan jumlah kalori yang lebih banyak dibandingkan dibandingkan
pada populasi seusianya.3

Disfungsi oromotor
Sebanyak hampir 90% anak PS mengalami disfungsi oromotor.1,3 Refleks
hisap yang tidak baik, refleks ekstrusi yang menetap, ketidakmampuan
untuk menutup mulut dan mengunyah, merupakan permasalahan
yang sering terjadi. Adanya riwayat kesulitan mengisap dalam proses
menyusu air susu ibu (ASI), riwayat batuk dan tersedak sewaktu makan,
dan sulitnya transisi dari periode cair menuju padat merupakan keadaan
yang sering diakui oleh orangtua, bahkan jauh sebelum diagnosis PS
ditegakkan.1,3,8,12

Everything you should know about motor and movement problems in children
85
Titis Prawitasari

Masalah postural
Adanya skoliosis dan kelainan tulang belakang lainnya sering
menyebabkan terbatasnya kapasitas lambung, memperburuk refluks
gastroesofagus, mengganggu posisi postural yang aman dan fisiologis
untuk makan, serta memengaruhi motilitas usus.3 Adanya skoliosis juga
mengakibatkan pengurangan kapasitas dan volume paru sehingga pada
akhirnya berakibat terjadinya peningkatan energy expenditure.3

Faktor prediktor terjadinya malnutrisi


Malnutrisi lebih sering terjadi pada PS dengan derajat yang lebih berat
(gross motor function classification system atau GMFCS III dan IV),
walaupun bukan tidak mungkin terjadi pada derajat yang lebih ringan
sekalipun.1,9-11 Palsi serebral tipe kuadriplegia spastik sangat berisiko
mengalami masalah nutrisi dan pertumbuhan. Adanya disfungsi
oromotor berkorelasi erat dengan tingginya risiko terjadinya malnutrisi.3,9

Tata laksana nutrisi komprehensif


Penanganan yang tepat dan menyeluruh terhadap masalah nutrisi pada
anak dengan PS dapat dilaksanakan dengan melakukan asuhan nutrisi
pediatrik, yang meliputi 5 langkah berupa penilaian status nutrisi,
perhitungan kebutuhan, penentuan rute dan formula serta pemantauan
dan evaluasi.
1. Penilaian status nutrisi dilakukan dengan melakukan anamnesis
berbagai aspek, meliputi:
a. Riwayat nutrisi berupa pola makan dan praktik pemberian
makan, tekstur, jenis dan jumlah makanan, tingkat keterampilan
makan, interaksi sosio-psikologis saat makan, durasi dan lama
makan serta identifikasi pengaruh lingkungan terhadap proses
pemberian makan.1,3,5,12 Dilakukan pula penilaian terhadap
adanya riwayat gangguan motilitas, konstipasi, disfagia, refluks
gastroesofagus, riwayat tersedak, infeksi saluran napas berulang,
batuk jika makan.1,3
b. Riwayat penyakit dan pengobatan, dengan menanyakan
mengenai obat-obatan yang selama ini diberikan, adanya riwayat
atopi atau alergi terhadap makanan atau obat tertentu, serta
riwayat penyakit dahulu yang penting.3
c. Riwayat tumbuh kembang, mencatat berat lahir, berat badan,
panjang badan dan lingkar kepala selama ini serta melakukan
plotting pada grafik pertumbuhan. Midparental height sebaiknya
diukur dan dapat dijadikan perkiraan potensi tinggi yang dapat
dicapai.3
d. Pemeriksaan fisis menyeluruh harus dilakukan, dimulai dengan
mengerjakan pengukuran berat dan tinggi badan serta indeks

86 Update in Child Neurology


Masalah dan tata laksana nutrisi pada palsi serebral

antropometri lainnya dengan benar. Kondisi palsi serebral


sering menyebabkan pengukuran berat dan tinggi badan tidak
dapat dilakukan dengan sempurna.1,11 Pada PS dengan skoliosis
atau kontraktur, sebagai alternatif, dapat digunakan panjang
ekstremitas bawah (knee height) maupun panjang lengan atas.
Pengukuran triceps skinfold thickness dan lingkar lengan atas
lebih dapat dipercaya daripada berat badan menurut tinggi badan
dalam menentukan status gizi pada kondisi seperti ini.1,3,11
Pada pemeriksaan fisis harus dicari adanya ulkus
dekubitus, edema, hipotonia, spastistas, kontraktur, skoliosis,
hingga gangguan gerak. Mulut, rahang, dan gigi perlu diperiksa,
karena sangat berhubungan dengan kemampuan makan.
Pemeriksaan dada, auskultasi jantung-paru perlu dilakukan
untuk mencari adanya aspirasi maupun kelainan lainnya yang
memperberat kondisi. Demikian pula penilaian adanya clubbing
fingers yang dapat menandakan adanya hipoksia kronis yang
mungkin terjadi. Pemeriksaan terhadap gerakan usus dan
dismotilitas serta adanya konstipasi juga harus dilakukan.1,3,12
e. Pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium darah
dan urine serta berbagai modalitas radiologis dilakukan sesuai
indikasi. Pemeriksaan darah perifer lengkap dapat menjadi awal
kecurigaan adanya defisiensi zat besi, pemeriksaan albumin
menunjukkan kurangnya protein, pemeriksaan terhadap kalsium
dan vitamin D mungkin perlu dilakukan pada kecurigaan adanya
osteoporosis.1,3,7 Swallowing study (pemeriksaan mekanisme
menelan) dengan berbagai tekstur dan tipe makanan mungkin
diperlukan untuk menilai efektifitas dan keamanan pilihan
bentuk dan rute pemberian makan dalam rangka mencegah
terjadinya aspirasi.3

2. Perhitungan kebutuhan
a. Energi: Kebutuhan energi dapat dihitung berdasarkan berbagai
cara, yaitu:1,3,12
1. Kalori per sentimeter tinggi badan
2. Rumus perhitungan catch-up growth menurut usia tinggi
badan (height age)
3. Rumus perhitungan BMR × muscle tone factor × activity factor
+ growth factor
Pada Tabel 1 tercantum berbagai perhitungan kebutuhan kalori
untuk anak dengan kelainan neurologis, termasuk PS. Perlu
diingat bahwa perhitungan ini hanya merupakan panduan dasar
yang harus selalu diikuti dengan pemantauan dan evaluasi untuk
penggunaan individual.1,3 Idealnya digunakan baku emas berupa
pengukuran kebutuhan kalori berdasarkan kalorimetri indirek.12
b. Protein: Estimasi kebutuhan protein dihitung dengan
menggunakan recommended dietary allowance (RDA) menurut
usia kronologis atau dapat juga menggunakan usia tinggi badan

Everything you should know about motor and movement problems in children
87
Titis Prawitasari

terutama jika parameter pertumbuhan di jauh bawah usia


kronologis.12
c. Vitamin/mineral: Defisiensi mikronutrien yang sering terjadi
adalah vitamin A, C, D, dan asam folat serta defisiensi besi serta
kalsium. Pemberian suplementasi dan terapi diberikan sesuai
dengan rekomendasi pada populasi normal.1,3,12
d. Cairan: Kebutuhan cairan mungkin sedikit lebih tinggi
dibandingkan populasi normal, karena pada PS sering terdapat
konstipasi serta perlu diperhitungkan cairan yang keluar melalui
drooling, muntah maupun lainnya.3,8,12 Tetapi pada dasarnya
perhitungan cairan dapat dilakukan berdasarkan rumus Holliday-
Segar, yaitu kebutuhan cairan 100 mL/kg sampai dengan berat
badan 10 kg, 1000 mL + 50 mL/kg di atas 10 kg untuk berat
badan 10 kg sampai 20 kg, dan 1500 mL + 20 mL/kg di atas 20
kg untuk berat badan 20 kg atau lebih.12

Tabel 1. Panduan estimasi kebutuhan kalori pada anak dengan kelainan neurologis

Rekomendasi kalori3,12
Kalori per sentimeter tinggi badan
13.9 kal/cm pada anak dengan disfungsi motorik, ambulatory, usia 5-12 tahun
11.1 kal/cm pada anak dengan disfungsi motorik, non-ambulatory, usia 5-12 tahun
15 kal/cm pada PS dengan aktivitas ringan-sedang
10 kal/cm pada PS dengan aktivitas yang sangat terbatas
Rumus perhitungan catch up growth menurut usia tinggi

Energi (kal/kg) = BB ideal x RDA (berdasarkan usia tinggi)


BB aktual

Protein (g/kg) = BB ideal x RDA (berdasarkan usia tinggi)


BB aktual
Rumus perhitungan BMR x activity x injury factors

Kcal/day = (BMR × muscle tone factor × activity factor) + growth factor


BMR = Body surface area (m2) × standard metabolic rate (kcal/m2/h) × 24 h

Keterangan:
BB = berat badan, RDA = Recommended Dietary Allowance
Muscle tone factor: 0.9 if decreased, 1.0 if normal, 1.1 if increased
Activity factor: 1.15 if bedridden, 1.2 if dependant, 1.25 if crawling,1.3 if ambulatory
Growth factor: 5 kcal/g of desired weight gain

1. Penentuan rute
Metode yang paling mudah dan tidak invasif untuk meningkatkan
kalori adalah dengan memperbaiki asupan oral.1,3,12 Pengaturan dan
koreksi postur tubuh sewaktu proses makan sangat penting untuk
dilakukan.3 Keterampilan oromotor dapat dilatih dan diterapi,
meskipun kemajuannya sangat bergantung pada banyak faktor.1,3,5
Asupan per oral harus selalu dipertahankan sepanjang diketahui
tidak terdapat risiko terjadinya aspirasi, anak tumbuh dengan baik

88 Update in Child Neurology


Masalah dan tata laksana nutrisi pada palsi serebral

serta waktu pemberian makan yang tidak lama (±30 menit).3 Apabila
ketiga hal tersebut tidak dapat terpenuhi, maka pemberian nutrisi
enteral harus segera dilakukan.3 Pemberian via pipa nasogastrik
merupakan pilihan yang paling sering digunakan karena tidak terlalu
invasif dan mudah.3,12 Pemilihan pipa nasogastrik terutama bertujuan
untuk meningkatkan toleransi serta efikasi, karena sesungguhnya
penggunaannya hanya untuk jangka pendek saja (tidak lebih dari
3 bulan).3,12 Pasien PS yang memerlukan dukungan nutrisi enteral
yang lama, sebaiknya dilakukan tindakan gastrostomi. Gastrostomi
dapat dilakukan melalui tindakan pembedahan, laparaskopi maupun
percutaneous endoscopic gastrostomy.1,3,12 Pada kasus tertentu,
utamanya refluks gastroesofagus atau dismotilitas lambung,
diperlukan pemberian makanan via jejunum. Jika hanya diperlukan
untuk jangka pendek, untuk keperluan ini dapat digunakan pipa
nasojejunal, sedangkan pada penggunaan lama akses gastrojejunal
bahkan jejunostomi lebih dianjurkan.3,12

2. Pemilihan formula
Pemilihan formula dilakukan berdasarkan rute yang dapat digunakan
oleh anak, target kalori yang dituju, aktivitas dan kondisi anak
(penyakit penyerta lainnya, alergi), serta toleransi anak.1,3 Pemberian
formula dengan densitas kalori tinggi menjadi pilihan bagi anak
dengan toleransi volume terbatas.12 Tersedia densitas kalori tinggi
(1-1,5 kalori/ml) untuk anak di atas 1 tahun dan densitas kalori
sampai dengan 1 kalori/ml untuk anak di bawah 1 tahun.3 Cara
pemberian formula yang dianjurkan adalah dengan cara intermiten
atau bolus, yang lebih fisiologis serta menyerupai pola makan
sehari-hari. Pemberian formula secara kontinu dianjurkan pada
kondisi anak dengan toleransi yang buruk serta pada penggunaan
via pipa gastrojejunal.3,12 Tata laksana nutrisi seringkali memerlukan
modifikasi makanan dalam upaya mencapai target akan kebutuhan
makro dan mikronutren.8,12 Peningkatan konsistensi dan densitas
kalori dapat dilakukan sesuai kondisi anak dan dapat menggunakan
berbagai bahan yang mudah dan murah yang mungkin tersedia di
rumah. Beberapa contoh caloric enhancers dan natural thickeners
yang dapat digunakan tertera pada Tabel 2.12 Penentuan tekstur
dan konsistensi makanan yang dapat dikonsumsi anak dengan PS
sebaiknya telah melewati pemeriksaan swallowing study terlebih
dahulu, dapat berupa fiber-optic endoscopic evaluation of swallowing
(FEES) maupun dengan videofluoroscopic swallowing study (modified
barium swallow).3,12

3. Pemantauan dan evaluasi


Pemantauan terhadap toleransi, keamanan, dan efektivitas pilihan
rute dan formula harus dilakukan secara berkala.1,12 Demikian pula,
perhitungan kebutuhan harus selalu dievaluasi dan disesuaikan.

Everything you should know about motor and movement problems in children
89
Titis Prawitasari

Pasien PS yang menggunakan alat bantu/kursi roda tetapi masih


mampu beraktivitas dikatakan mempunyai pertumbuhan yang baik
apabila berada pada persentil ke-25 grafik pertumbuhan normal. Pada
pasien PS yang hanya berbaring saja, target pertumbuhannya adalah
berada pada persentil ke-10 kurva berat badan menurut tinggi badan
populasi normal.3

Tabel 2. Berbagai bahan yang dapat digunakan sebagai calorie enhancers dan natural
thickeners12
Bahan
Calorie enhancers Natural thickeners
Mentega 90 kalori/sdm Pureed baby food, buah/sayur 15 kalori/sdt
Margarin 90 kalori/sdm Infant cereal 5-11 kalori/sdt
Minyak 90 kalori/sdm Yogurt 8-16 kalori/sdt
Mayonaise 90 kalori/sdm Puding 20 kalori/sdt
Alpukat 180 kalori/gelas Tahu sutra 10 kalori/sdt
Selai kacang 375 kalori/buah Potato flakes 11 kalori/sdt
Keju 80 kalori/sdt
parmesan 25 kalori/sdt
Keterangan: sdm = sendok makan; sdt = sendok teh

Simpulan
Pemberian nutrisi yang adekuat merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari tata laksana komprehensif PS. Semua anak dengan PS berisiko
mengalami masalah nutrisi, oleh karena itu perlu dilakukan deteksi dini
sejak awal dengan lebih memerhatikan adanya disfungsi oromotor yang
sangat erat hubungannya dengan kejadian malnutrisi. Pemberian asupan
per oral lebih diutamakan pada anak dengan palsi serebral yang tidak
berisiko mengalami aspirasi. Nutrisi enteral harus segera diberikan pada
kasus disfungsi oromotor yang rentan terhadap aspirasi atau kondisi
anak PS yang tidak dapat mencukupi kebutuhannya melalui asupan oral.
Pipa nasogastrik hanya digunakan untuk pemakaian jangka pendek,
sedangkan penggunaan jangka panjang disarankan untuk melakukan
gastrostomi. Pemberian nutrisi enteral secara bolus atau intermiten
lebih fisiologis dibandingkan pemberian kontinu. Modifikasi diet dengan
memperhatikan densitas kalori serta konsistensi yang sesuai dapat
membantu meningkatkan toleransi dan tercapainya target kenaikan
berat badan. Pemantauan dan evaluasi harus dilakukan secara berkala
untuk mencegah terjadinya overweight dan obesitas akibat pemberian
pemberian makan berlebihan dan rendahnya aktivitas pada anak PS.

90 Update in Child Neurology


Masalah dan tata laksana nutrisi pada palsi serebral

Daftar pustaka
1. Penagini F, Mameli C, Fabiano V, Brunetti D, Dililo D, Zuccotti GV. Dietary
intakes and nutritional issues in neurologically impaired children. Nutrients.
2015;7:9400-15.
2. Rosenbaum P, Paneth N, Leviton A, Goldstein M, Bax M, Damiano D, dkk.
A report: the definition and classification of CP. Dev Med Child Neurol
Suppl. 2007;109:8-14.
3. Marchand V. Canadian Paediatric Society, Nutrition and Gastroenterology
Committee. Nutrition in neurologically impaired children. Paediatr Child
Health. 2009;14:395-401.
4. Kuperminc MN, Stevenson RD. Growth and nutrition disorders in children
with cerebral palsy. Dev Disabil Res Rev. 2008;14:137-46.
5. Pinto VV, Alves LAC, Mendes FM, Ciamponi AL. The nutritional state of
children and adolescents with cerebral palsy is associated with oral motor
dysfunction and social conditions: a cross sectional study BMC Neurology.
2016;16:55-62.
6. Bell KL, Boyd RN, Tweedy SM, Weir KA, Stevenson RD, Davies PSW. A
prospective, longitudinal study of growth, nutrition and sedentary behavior
in young children with cerebral palsy. BMC Public Health. 2010;10:179-85.
7. Akhter N, Khan AA, Ayyub A. Motor impairment and skeletal mineralization
in children with cerebral palsy. JPMA. 2017;67:200-7.
8. Benfer KA, Weir KA, Bell KL, Ware RS, Davies PSW, Boyd RN. Longitudinal
cohort protocol study of oropharyngeal dysphagia: relationships to gross
motor attainment, growth and nutritional status in preschool children with
cerebral palsy. BMJ Open. 2012;0:e001460-7.
9. Reid SM, Carlini JB, Reddihough DS. Using the Gross Motor Function
Classification System to describe patterns of motor severity in cerebral
palsy. Dev Med Child Neurol. 2011;53:1007-12.
10. Teixeira JS, Gomes MM. Anthropometric evaluation of pediatric patients with
nonprogressive chronic encephalopathy according to differentmethods of
classification. Rev Paul Pediatr. 2014;32:194-9.
11. Haapala H, Peterson MD, Daunter A, Hurvitz EA. Agreement between actual
height and estimated height using segmental limb lengths for individuals
with cerebral palsy. Am J Phys Med Rehabil. 2015;94:539-46.
12. Quinn HP. Cerebral palsy and developmental disabilities. Hendricks KM,
Duggan C, Walker WA. Editors. In: Manual of pediatric nutrition. 3rd ed.
Canada: BC Decker; 2000. p. 332-47.

Everything you should know about motor and movement problems in children
91
Tata laksana operatif
muskuloskeletal untuk
meningkatkan kualitas hidup
anak dengan palsi serebral
Aryadi Kurniawan

Tujuan:
1. Mengetahui komplikasi muskuloskeletal yang dapat terjadi pada palsi serebral
2. Mengetahui strategi untuk meningkatkan kualitas hidup anak dengan palsi serebral
dari segi muskuloskeletal
3. Mengenal intervensi ortopedik yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi
muskuloskeletal pada anak dengan palsi serebral
4. Mengetahui kondisi yang merupakan indikasi dilakukannya tindakan ortopedi

Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh orang tua anak dengan
palsi serebral (PS) adalah, ”Dok, apakah anak saya akan bisa berjalan?”
Setelah anak tersebut bisa berjalan dan ternyata pola berjalannya
berbeda dengan lazimnya anak lain, maka pertanyaan selanjutnya adalah,
“Apakah anak saya bisa berjalan normal?”
Anak dengan PS memang memiliki potensi kualitas hidup lebih
rendah dibandingkan anak normal. Kualitas hidupnya dapat menjadi
lebih buruk apabila potensi tersebut tidak terpenuhi. Dampak kualitas
hidup rendah tersebut akan dialami seumur hidup oleh anak dan juga
akan berpengaruh pada kualitas hidup orang tua dan keluarga serta
terhadap sistem perawatan kesehatan dan masyarakat luas. Tujuan
utama dari tata laksana anak dengan PS adalah membesarkan anak
tersebut menjadi seorang dewasa dengan PS yang memiliki kualitas
hidup optimal sehingga dapat membuatnya semandiri mungkin.
Salah satu komponen penting dalam kemandirian tersebut adalah
kemampuan untuk mobilisasi atau berjalan secara independen. Pada
suatu penelitian pada 2295 pasien PS berusia 6 tahun disimpulkan bahwa
prediktor terbesar seorang anak PS dapat berjalan adalah kemampuan
untuk duduk dan berdiri pada usia 2 tahun.1 Tingkat mobilitas seorang
anak dengan PS dapat dinilai menggunakan skala Gross Motor Function
Classification System (GMFCS; Gambar 1).2 Berdasarkan suatu analisis
menggunakan GMFCS pada 657 anak PS, GMFCS dapat digunakan
sebagai alat untuk menentukan prognosis fungsi motorik kasar pada PS.
Anak PS GMFCS I dapat melakukan semua kegiatan sesuai usia mereka
meskipun dengan beberapa kesulitan dalam kecepatan, keseimbangan,

92 Update in Child Neurology


Tata laksana muskuloskeletal untuk meningkatkan kualitas hidup anak dengan palsi serebral

dan koordinasi. Anak PS GMFCS II memiliki kemampuan yang serupa


pada permukaan datar tapi membutuhkan bantuan saat berhadapan
dengan permukaan tidak rata atau tangga. Anak PS GMFCS III dapat
berjalan mandiri namun memerlukan alat bantu jalan dan menggunakan
kursi roda untuk berjalan jarak jauh. Anak PS GMFCS IV dan V tidak
dapat berjalan (nonambulatory). Anak PS GMFCS IV dapat berdiri dan

GMFCS level 1: Dapat berjalan tanpa


keterbatasan
Anak dapat berjalan di dalam dan luar ruang
dan naik tangga tanpa keterbatasan. Anak
dapat melakukan aktivitas motorik kasar
termasuk berlari dan melompat, namun
kecepatan, keseimbangan, dan koordinasi
terganggu.

GMFCS level 2: Dapat berjalan dengan


keterbatasan
Anak dapat berjalan di dalam dan luar ruang
dan naik tangga dengan berpegangan, namun
mengalami keterbatasan berjalan pada
permukaan yang tidak rata dan tanjakan
serta di tempat yang ramai atau sempit.

GMFCS level 3: Berjalan menggunakan alat


bantu mobilitas yang digerakkan dengan
tangan
Anak dapat berjalan di dalam dan luar
ruang pada permukaan datar dengan alat
bantu mobilitas. Anak mungkin dapat naik
tangga dengan berpegangan. Anak mungkin
dapat menjalankan kursi roda sendiri
secara manual atau dengan bantuan apabila
menempuh jarak jauh atau di luar ruang
dengan permukaan yang tidak rata.
GMFCS level 4: Mobilitas mandiri terbatas,
dapat menggunakan alat bantu mobilitas
bertenaga listrik
Anak mungkin masih dapat berjalan
jarak pendek dengan walker atau lebih
mengandalkan mobilitas beroda baik di
rumah, di sekolah, maupun di lingkungan.
GMFCS level 5: Harus ditransport dengan
kursi roda manual
Hendaya fisik menyebabkan adanya restriksi
kontrol volunter gerakan dan kemampuan
mempertahankan kepala dan batang tubuh
melawan gravitasi. Terdapat keterbatasan
semua area fungsi motorik. Anak tidak
memiliki kemampuan mobilitas mandiri dan
harus ditransport.

Gambar 1. Gross Motor Function Classification System2

Everything you should know about motor and movement problems in children
93
Aryadi Kurniawan

Gambar 2. Peningkatan GMFM pada semua level GMFCS sampai usia 6-7 tahun. Anak PS GMFCS I dan II
akan memiliki GMFM yang stabil sedangkan anak PS GMFCS III, IV, dan V akan mengalami penurunan GMFM
signifikan saat memasuki usia remaja.

menggunakan alat bantu untuk berpindah posisi, sedangkan anak GMFCS


V tidak mampu berdiri dan bergantung penuh pada pengasuhnya.3
Studi lain yang melanjutkan penelitian tersebut di atas mendapatkan
dari 10 kali pengamatan pada 657 anak dengan PS tersebut Gross Motor
Function Measure (GMFM) akan meningkat hingga usia enam sampai
tujuh tahun. Setelah itu, pada anak dengan GMFCS I dan II tidak akan
terjadi penurunan GMFM, sedangkan pada anak dengan GMFCS III, IV,
dan V akan terjadi penurunan GMFM secara signifikan ketika memasuki
usia remaja (Gambar 2).4
Intervensi muskuloskeletal pada anak PS harus dilakukan dalam
kerangka kurva GMFM tersebut. Anak PS GMFCS I dan II memiliki
kemampuan mobilisasi, sehingga tujuan intervensi muskuloskeletal pada
kelompok ini adalah untuk meningkatkan atau mengoptimalkan fungsi
berjalannya. Pada kelompok anak PS yang mampu berjalan, penting bagi
mereka untuk mengadopsi pola berjalan yang sedekat mungkin dengan
pola anatomis dan fungsional sehingga penggunaan energi (energy
expenditure) mereka mendekati normal.5,6 Anak PS GMFCS III dan IV akan
mencapai puncak GMFM pada usia enam sampai tujuh tahun sebelum
mengalami penurunan fungsi, sehingga intervensi muskuloskeletal pada
kelompok ini bertujuan memperpanjang atau mempertahankan tingkat
mobilitas mereka. Pada anak PS GMFCS V yang nonambulatory, penting
untuk dapat mengadopsi posisi duduk yang tegak, seimbang, dan stabil
di kursi roda. Posisi duduk yang tegak dan stabil membutuhkan sendi
panggul yang enlocated dan tulang belakang yang relatif tegak. Dislokasi
panggul (dislocated hip) pada anak PS nonambulatory adalah kejadian
yang harus dihindari dan dicegah. Dislokasi panggul menyebabkan

94 Update in Child Neurology


Tata laksana muskuloskeletal untuk meningkatkan kualitas hidup anak dengan palsi serebral

rasa nyeri saat duduk dan mempersulit anak untuk duduk seimbang,
sehingga anak PS nonambulatory (yang pada dasarnya memang sudah
membutuhkan perhatian dan perawatan lebih) akan menjadi lebih sulit
perawatannya. Pada akhirnya anak PS yang mengalami dislokasi panggul
akan menghabiskan sebagian besar waktunya dalam posisi berbaring
untuk menghindari rasa nyeri akibat dislokasi panggul tersebut. Posisi
berbaring yang lama dapat menyebabkan pneumonia ortostatik akibat
aspirasi air liurnya. Tapin7 melaporkan 66% kematian pada anak PS
nonambulatory adalah akibat infeksi sistem pernafasan, sedangkan
Himmelman8 melaporkan 53% kematian pada anak PS adalah akibat
kegagalan respiratorik.
Intervensi operatif ortopedik dapat mencegah atau memperbaiki
deformitas muskuloskeletal yang terjadi pada PS.9-13 Intervensi tersebut
dapat berbentuk soft tissue procedure berupa pemanjangan otot,
pemanjangan muskulotendinosa, atau transfer otot, dan dapat pula
berbentuk bony procedure berupa artrodesis, rekonstruksi osteotomi,
dan prosedur stabilisasi sendi. Sudah menjadi standar universal bahwa
penanganan deformitas PS dengan intervensi operatif dilakukan secara
bersamaan untuk semua deformitas sendi. Hal ini dilakukan untuk
menghindari “birthday syndrome,” yaitu anak PS yang selalu merayakan
ulang tahunnya di rumah sakit karena setiap tahun menjalani operasi,
atau “diving syndrome” yang terjadi karena prosedur operatif bertahap
menyebabkan pola berjalan anak PS mengikuti pola seseorang bersiap-
siap menyelam (Gambar 3).
Patologi muskuloskeletal dasar pada PS adalah tonus otot abnormal
(sebagian besar berupa spastisitas) serta hilangnya kendali atas otot
tertentu yang dibutuhkan untuk suatu gerakan spesifik dan gangguan
keseimbangan. Pertumbuhan otot normal terjadi sebagai respons

Gambar 3. “Birthday syndrome” atau “diving syndrome” akibat melakukan intervensi operatif
muskuloskeletal bertahap pada PS14

Everything you should know about motor and movement problems in children
95
Aryadi Kurniawan

Gambar 4. Patofisiologi muskuloskeletal pada PS. Perubahan tonus otot (spastisitas) menyebabkan
pemendekan otot diikuti kontraktur otot dan akhirnya terjadi deformitas tulang dan sendi15

terhadap stimulus peregangan yang muncul dari aktivitas fisis sehari


hari. Hipertonia dan kurangnya pemakaian otot karena keterlambatan
perkembangan motorik akan menyebabkan rendahnya pertumbuhan
otot sehingga otot menjadi lebih pendek. Memendeknya otot akan
menyebabkan kontraktur sendi (keterbatasan gerak sendi) dan pada
akhirnya akan menyebabkan perubahan bentuk sendi dan tulang
(deformitas) pada anak-anak yang sedang dalam fase pertumbuhan.
Deformitas tulang dan sendi pada akhirnya mengakibatkan instabilitas
sendi yang berujung pada dislokasi.15 Patofisiologis muskuloskeletal
pada PS dapat dilihat pada Gambar 4.
Menurut Ziv,16 pertumbuhan panjang otot spastis akan berkurang
45% dibandingkan pertumbuhan pada otot normal sehingga
mengakibatkan kontraktur sendi. Moreau17 melaporkan pertumbuhan
otot pada anak PS lebih rendah dibandingkan otot normal, dengan otot
rektus femoris dan vastus lateralis yang memiliki luas penampang 48%
dan ketebalan 30% otot normal.
Atas dasar uraian di atas, maka strategi untuk meningkatkan
kualitas hidup anak dengan PS dari sudut pandang muskuloskeletal
adalah dengan menurunkan hipertonia, mempertahankan panjang otot,
mengatasi kontraktur, dan mengatasi deformitas tulang (bony deformity).

Menurunkan hipertonia
Penurunan hipertonia dapat dilakukan melalui prosedur pada susunan

96 Update in Child Neurology


Tata laksana muskuloskeletal untuk meningkatkan kualitas hidup anak dengan palsi serebral

saraf pusat berupa selective dorsal rhizotomy (SDR) atau pemberian


baklofen secara intratekal. Penurunan hipertonia juga dapat dilakukan
melalui prosedur pada otot dengan pemberian fenol atau alkohol pada
ujung saraf atau penyuntikan toksin botulinum A secara intramuskular.

Mempertahankan panjang otot


Panjang otot dapat dipertahankan dengan melakukan peregangan
(stretching) dan fisioterapi untuk mendorong pasien aktif menggerakan
sendi-sendi yang berisiko untuk terjadinya kontraktur. Alat bantu berupa
ortosis atau plaster (gips) dapat dipasang untuk mempertahankan
panjang otot. Intervensi bedah berupa soft tissue procedure juga dapat
mempertahankan panjang otot. Soft tissue procedure dapat berupa:
yy prosedur tendon transfer, yaitu dengan mengubah insersi sebuah
otot sehingga berfungsi menjadi otot antagonistik sehingga
mempertahankan panjang otot pada sisi berlawanan
yy prosedur muscle release, yaitu dengan memotong sebagian otot
spastik dominan sehingga otot antagonis yang kurang dominan
dapat berkontraksi.
Setelah dilakukan soft tissue procedure, kembali dilakukan
peregangan, fisioterapi, dan pemasangan ortosis untuk mempertahankan
kemajuan atau gain yang sudah didapat.

Mengatasi kontraktur
Ketika sudah terjadi kontraktur maka tindakan bedah adalah satu-
satunya cara untuk mengatasi kontraktur tersebut. Salah satu cara untuk
mengidentifikasi adanya kontraktur adalah dengan menggunakan skala
Tardieu. Kontraktur diatasi dengan memanjangkan tendon, memotong
kapsul sendi yang contracted. Setelah dilakukan soft tissue procedure,
kembali dilakukan peregangan, fisioterapi dan pemasanagan ortosis
untuk mempertahankan gain yang sudah didapat.

Mengatasi bony deformity


Ketika sudah terjadi bony deformity atau dislokasi sendi, maka tindakan
operasi adalah satu-satunya cara untuk mengatasi kondisi tersebut.
Prosedur yang dilakukan adalah artrodesis, rekonstruksi osteotomi, dan
stabilisasi sendi. Operasi rekonstruksi, artrodesis, dan stabilisasi sendi
adalah operasi besar, mahal, kompleks, berdurasi lama, dan memiliki
risiko operasi yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan operasi
lainnya pada anak PS.
Pencegahan dislokasi sendi panggul pada anak PS nonambulatory
(GMFCS V dan sebagian IV) membutuhkan perhatian khusus. Anak
PS nonambulatory menghabiskan sebagian besar waktunya dalam

Everything you should know about motor and movement problems in children
97
Aryadi Kurniawan

posisi duduk. Bagi mereka, duduk adalah postur dasar dan esensial
untuk fungsi sehari-hari dan kesehatan. Posisi duduk yang seimbang
memudahkan penglihatan, mobilitas dengan kursi roda, asupan
makanan, dan meminimalisasi refluks gaster dan aspirasi. Dislokasi
panggul akan membuat perawatan anak PS nonambulatory yang memang
tidak mudah menjadi lebih sulit. Dislokasi panggul juga berhubungan
dengan peningkatan mortalitas pada anak PS nonambulatory karena
masalah pernapasan.
Sebuah penelitian oleh Elkamil 18 melaporkan mengenai hip
surveillance yang membandingkan insidens dislokasi panggul pada PS di
dua negara maju, yaitu Norwegia dan Swedia. Penelitian dilakukan pada
119 anak Norwegia dan 136 anak Swedia dengan PS GMFCS III sampai
V yang lahir antara tahun 1996 sampai 2003. Norwegia memberikan
pelayanan kesehatan tanpa hip surveillance pada pasien PS, sedangkan
Swedia melakukan hip surveillance sejak 1994. Insidens dislokasi
panggul di Norwegia adalah 15%, sedangkan di Swedia 0,7% (p<0.001).
Di Swedia, operasi panggul dilakukan pada 32% subyek, sedangkan di
Norwegia 44,5% memerlukannya. Walaupun jumlah operasi panggul pada
anak Swedia cukup banyak, namun ternyata operasi panggul tersebut
dilakukan pada usia yang secara signifikan lebih muda. Rerata usia
subyek Swedia saat dilakukan operasi panggul 5,7 tahun, sedangkan
di Norwegia rerata usia tersebut adalah 7,6 tahun (p=0.001). Operasi
panggul di Swedia juga lebih banyak bersifat preventif dibandingkan
operasi di Norwegia yang lebih banyak bersifat rekonstruksi.18
Di Australia yang sudah menjadikan hip surveillance sebagai
program nasional, dilakukan skrining dengan pemeriksaan fisis dan
foto Röntgen pelvis untuk deteksi dini pergeseran sendi panggul pada
anak PS. Dampak kebijakan tersebut adalah prosedur operasi yang
dilakukan menjadi lebih banyak bersifat preventif, terjadi penurunan
jumlah operasi rekonstruksi, dan prosedur salvage surgery sudah tidak
pernah dilakukan lagi.19

Simpulan
Beberapa take home message dari uraian di atas adalah sebagai
berikut:

1. Palsi serebral tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas anak dengan


PS dapat ditingkatkan atau dipertahankan.
2. Anak PS GMFCS I dan II akan tetap dapat mempertahankan
kemampuan mobilisasinya, sedangkan anak PS GMFCS III, IV, dan V
akan mengalami penurunan kemampuan mobilisasi saat memasuki
pubertas/usia remaja.
3. Tata laksana muskuloskeletal pada anak PS dapat dilakukan secara
konservatif maupun operatif; keduanya bersifat saling melengkapi.
4. Program hip surveillance bagi anak PS nonambulatory dapat

98 Update in Child Neurology


Tata laksana muskuloskeletal untuk meningkatkan kualitas hidup anak dengan palsi serebral

meningkatkan kualitas hidupnya, menurunkan morbiditas dan


mortalitas, serta meningkatkan efsisensi biaya.

Daftar pustaka
1. Wu YW, Day SM, Strauss DJ, Shavelle RM. Prognosis for ambulation in
cerebral palsy: A population-based study. Pediatrics. 2004;114:1264-71
2. Palisano RJ, Hanna SE, Rosenbaum PL, Russell DJ, Walter SD, Wood EP, dkk.
Validation of a model of gross motor function for children with cerebral
palsy. Phys Ther. 2000;80:974-85.
3. Rosenbaum PL, Walter SD, Hanna SE, Palisano RJ, Russell DJ, Raina P, dkk.
Prognosis for gross motor function in cerebral palsy: creation of motor
development curves. J Am Med Assoc. 2002;288:1357-63.
4. Hanna SE, Rosenbaum PL, Bartlett DJ, Palisano RJ, Walter SD, Avery L, dkk.
Stability and decline in gross motor function among children and youth with
cerebral palsy aged 2 to 21 years. Dev Med Child Neurol. 2009;51:295-302.
5. Marconi V, Carraro E, Trevisi E, Capelli C, Martinuzzi A, Zamparo P. The
Locomotory Index in diplegic and hemiplegic children: the effects of age and
speed on the energy cost of walking. Eur J Phys Rehabil Med. 2012;48:403-12.
6. Rose J, Gamble JG, Burgos A, Medeiros J, Haskell WL. Energy expenditure
index of walking for normal children and for children with cerebral palsy.
Dev Med Child Neurol. 1990;32:333-40.
7. Tapin AD, Nicolas CB, Lebreton C, Dauvergne F, Gallien P. Analysis of
the medical causes of death in cerebral palsy. Ann Phys Rehabil Med.
2015;57:24-37.
8. Himmelman K, Sundh V. Survival with cerebral palsy over five decades in
Western Sweden. Dev Med Child Neurol. 2015;57:762-7.
9. Thomason P, Rodda J, Sangeux M, Selber P, Graham K. Management of
children with ambulatory cerebral palsy: An evidence-based review. J Pediatr
Orthop. 2012;32:S182-6.
10. Thomason P, Baker R, Dodd K, Taylor N, Selber P, Wolfe R, dkk. Single-event
multilevel surgery in children with spastic diplegia. A pilot randomized
controlled trial. J Bone Joint Surg Am. 2011;93:451-60.
11. Lee SH, Chung CY, Park MS, Choi IH, Cho TJ, Yoo WJ, dkk. Parental
satisfaction after single-event multilevel surgery in ambulatory children
with cerebral palsy. J Pediatr Orthop. 2009;29:398-401.
12. Thomason P, Selber P, Graham K. Single event multilevel surgery in children
with bilateral spastic cerebral palsy: A 5 year prospective cohort study. Gait
Posture. 2013;37: 23-8.
13. Saraph V, Zwick E-B, Zwick G, et al. Multilevel surgery in spastic diplegia:
evaluation by physical examination and gait analysis in 25 children. J Pediatr
Orthop. 2002;22:150-7.
14. Rang M, Silver R, de la Garza J. Cerebral palsy. Dalam: Lovell WW, Winter RB,
penyunting. Pediatric orthopaedics. Edisi ke-2. Philadelphia: JB Lippincott;
1986. h. 345-9
15. Hof AL. Changes in muscles and tendons due to neural motor disorders:
Implications for therapeutic intervention. Neural Plasticity. 2001;8:71-81.

Everything you should know about motor and movement problems in children
99
Aryadi Kurniawan

16. Ziv I, Blackburn N, Rang M, Koreska J. Muscle growth in normal and spastic
mice. Dev Med Child Neurol. 1984;26:94-9.
17. Moreau NG, Teefey S, Damiano DL. In vivo muscle architecture and size of
the rectus femoris and vastus lateralis in children and adolescents with
cerebral palsy. Dev Med Child Neurol. 2009;51:800-6.
18. Elkamil AI, Andersen GL, Hägglund G, Lamvik T, Skranes J, Vik T. Prevalence
of hip dislocation among children with cerebral palsy in regions with and
without a surveillance programme: a cross sectional study in Sweden and
Norway. BMC Musculoskelet Disord. 2011;12:284.
19. Dobson F, Boyd RN, Parrott J, Nattrass GR, Graham K. Hip surveillance in
children with cerebral palsy. Impact on the surgical management of spastic
hip disease. J Bone Joint Surg [Br]. 2002;84-B:720-6.

100 Update in Child Neurology


Developmental coordination
disorder: A common but often
unrecognized condition
Amanda Soebadi

Tujuan:
1. Mengenal developmental coordination disorder sebagai
2. gangguan neurodevelopmental
3. Mengenali tanda-tanda developmental coordination disorder
4. Mengetahui pemeriksaan klinis sederhana untuk mendeteksi
5. developmental coordination disorder
6. Mengetahui tata laksana developmental coordination disorder

Developmental coordination disorder (DCD) merupakan gangguan


perkembangan motorik yang ditandai kegagalan penguasaan
keterampilan gerak baik gerak kasar maupun halus, yang bukan akibat
ketidakmampuan belajar secara umum maupun kurangnya stimulasi.1,2
Untuk dapat disebut sebagai DCD, gangguan tersebut harus menghambat
performa akademik dan/atau kehidupan sehari-hari dan tidak disebabkan
oleh kelainan neurologis, misalnya palsi serebral. Anak dengan DCD
mungkin terlambat mencapai milestone perkembangan motorik, misalnya
berdiri dan berjalan, tidak cakap dalam kegiatan olahraga, dan memiliki
tulisan tangan yang buruk. Gangguan ini sebelumnya juga dikenal
sebagai clumsy child syndrome atau dispraksia.2,3 Di Amerika Serikat
dan Eropa, prevalensinya diperkirakan antara 5-6% pada anak berusia
5-11 tahun, dengan perbandingan lelaki:perempuan berkisar antara 2:1
sampai 7:1.1 Di Indonesia, DCD masih belum banyak dikenal sehingga
anak dengan DCD seringkali dianggap malas, bodoh, atau ceroboh oleh
guru dan orangtuanya.
Pada anak yang lebih besar dan remaja, DCD dapat menyebabkan
hambatan akademik, gangguan cemas, kesulitan berkonsentrasi, dan
hambatan dalam kehidupan sosial.1,4,5 Developmental coordination
disorder juga dapat menjadi komorbiditas gangguan neurodevelopmental
lainnya, antara lain gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas
(attention deficit/hyperactivity disorder; ADHD), gangguan spektrum
autisme (autism spectrum disorder; ASD), dan disleksia. 2 Adanya
komorbiditas DCD berpengaruh negatif terhadap luaran gangguan-
gangguan tersebut.2
Anak dengan DCD seringkali dibawa ke dokter karena adanya
keterlambatan perkembangan motorik atau kesulitan lain di bidang

Everything you should know about motor and movement problems in children
101
Amanda Soebadi

motorik.2 Diagnosis dini DCD penting agar anak dapat memperoleh


intervensi yang tepat demi mencapai potensi diri dan kualitas hidup yang
optimal. Pada makalah ini akan dibahas mengenai tanda dan gejala DCD,
pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi DCD dalam praktik
sehari-hari, serta pengenalan beberapa modalitas tata laksana DCD.

Epidemiologi
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi
kelima (DSM-V), prevalensi DCD pada anak berusia lima sampai 11 tahun
diperkirakan antara 5-6%, dengan perbandingan lelaki dan perempuan
antara 2:1 sampai 7:1.1 Di Eropa, dari pelbagai penelitian didapatkan
angka kejadian antara 5% sampai 20%. Perbedaan angka kejadian yang
cukup besar diduga karena belum seragamnya kriteria diagnosis dan
instrumen pemeriksaan yang digunakan.6 Di Cina, prevalensi DCD
dilaporkan sebesar 5,9% pada anak dari keluarga yang memiliki lebih
dari satu anak dan 8,7% pada anak tunggal.7 Pada penelitian di lima
sekolah dasar di Jakarta, angka kejadian DCD pada anak yang dicurigai
berdasarkan wawancara orangtua adalah 28,3%.8
Developmental coordination disorder dapat berdiri sendiri, namun
dapat juga menjadi komorbiditas gangguan neurodevelopmental
lainnya.6 Komorbiditas DCD dijumpai pada 42% anak dengan ADHD
tipe inatensi, 31,3% anak dengan ADHD tipe hiperaktif-impulsif, dan
28,9% anak dengan ADHD tipe campuran.4 Pada anak dengan ASD
angka kejadian komorbiditas DCD dilaporkan sebesar 32%.9 Adanya
komorbiditas DCD memperburuk luaran anak, terutama dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari.5,10,9

Etiologi dan faktor risiko


Etiologi DCD belum diketahui secara pasti dan bersifat multifaktorial.
Faktor genetik serta faktor risiko pra- dan perinatal diduga berperan
dalam terjadinya DCD. Di samping itu, faktor lingkungan turut
berpengaruh terhadap manifestasi DCD.
Kelahiran prematur merupakan salah satu faktor risiko perinatal
yang cukup banyak dilaporkan. Suatu meta-analisis pada anak non-palsi
serebral yang lahir prematur (usia gestasi <37 minggu) melaporkan
prevalensi gangguan keterampilan motorik (motor skill) ringan sebesar
40,5% (IK95% 32,1%-43,9%) dan gangguan keterampilan motorik sedang
sebesar 19% (IK95% 14,2%-23,8%).11 Risiko menjadi lebih besar apabila
bayi lahir sangat prematur dengan berat lahir <1500 g (OR 6,29; IK95%
4,37 sampai 9,05)12 atau kecil masa kehamilan (OR 1,74; IK95% 1,46
sampai 2,08).13 Di Jerman dijumpai peningkatan prevalensi DCD dari
0,8% sampai 2,5% pada tahun 1990 menjadi 3,2% sampai 8,6% pada tahun
2003, seiring dengan peningkatan jumlah bayi prematur yang bertahan
hidup tanpa disabilitas mayor.14 Pencapaian kemampuan berjalan pada

102 Update in Child Neurology


Developmental coordination disorder: A common but often unrecognized condition

usia 15 bulan atau lebih juga ditengarai berhubungan dengan DCD (OR
3,05; IK95% 2,57 sampai 3,60).13
Faktor lain yang berpengaruh terhadap manifestasi DCD antara
lain pola asuh, tinggal di wilayah urban, aktivitas fisis, obesitas, dan
penggunaan piranti elektronik atau screen time. Pada studi di Jakarta,
hanya 36% anak dengan DCD melaporkan aktivitas fisis ≥3 jam per
minggu, dibandingkan dengan 57% anak tanpa DCD. Penelitian yang
sama mendapatkan obesitas dan overweight pada 70% anak dengan DCD
dan hanya pada 41% anak tanpa DCD, sedangkan screen time >2 jam
sehari didapatkan sedikit lebih banyak pada anak dengan DCD (38%)
dibandingkan anak tanpa DCD (31%).8 Namun demikian, hubungan kausal
faktor-faktor tersebut dengan DCD masih perlu diteliti lebih lanjut.

Patogenesis
Patogenesis DCD diduga berhubungan dengan gangguan fungsi ringan
di otak yang dikenal dengan istilah minor neurological dysfunction.15
Gangguan tersebut bukan disebabkan kelainan struktural atau anatomis
otak dan tidak cukup berat untuk menyebabkan kelainan neurologis
yang jelas semacam palsi serebral, namun menyebabkan pola motorik
yang clumsy dan kemampuan motorik kompleks di bawah anak lain
seusianya.15
Anak dengan DCD seringkali menunjukkan gangguan dalam
memproses informasi sensorik, termasuk informasi visual-visuospasial,
taktil (raba-sentuh), vestibular (keseimbangan), dan proprioseptif
(tekanan dan rasa posisi tubuh).16 Dibandingkan dengan anak tipikal,
anak dengan DCD memiliki defisit dalam perencanaan motorik (motor
planning) dan pemecahan masalah motorik (motor problem solving).17
Integrasi sensorik yang kurang baik berkontribusi terhadap kesulitan
anak DCD dalam merencanakan gerakan.16 Semua ini menyebabkan anak
DCD lambat dalam memulai dan melaksanakan suatu gerakan bertujuan,
serta memiliki koordinasi mata-tangan dan presisi gerakan yang kurang
baik dibandingkan anak tipikal.18,19
Berbagai komponen SSP terlibat dalam proses integrasi sensorimotor
hingga perencanaan motorik. Informasi sensoris taktil (dari kulit dan
mukosa) dan proprioseptif (dari otot) dihantarkan melalui medula
spinalis; informasi vestibular diterima oleh organ vestibular dan diproses
di serebelum. Sebagian informasi proprioseptif juga melalui serebelum.
Sistem vestibular dan proprioseptif juga menjadi sumber informasi
dalam pengaturan tonus otot. Informasi taktil dan proprioseptif memberi
informasi bagi perencanaan motorik halus, sedangkan informasi
vestibular lebih terlibat dalam aktivitas motorik kasar.16,20 Seluruh
informasi sensoris ini kemudian menuju talamus untuk dilakukan
integrasi sensorimotor, yakni perpaduan dan penyesuaian antara
informasi sensorik yang masuk dengan informasi motorik yang akan
keluar, juga dengan informasi sensorik yang diperoleh dari proses

Everything you should know about motor and movement problems in children
103
Amanda Soebadi

motorik. Dari talamus, informasi sensorik yang telah diintegrasikan


kemudian menuju ke lobus parietalis inferior untuk mengalami persepsi
dan interpretasi lebih lanjut. Hasil “penerjemahan” informasi sensorik
inilah yang akan memberi informasi bagi perencanaan motorik di korteks
prefrontal dan korteks premotor. Perencanaan motorik yang telah dibuat
kemudian diteruskan ke korteks motorik yang akan memberi instruksi
melalui traktus piramidalis, yang pada akhirnya akan menghasilkan
gerak otot efektor. Sistem ekstrapiramidal dan ganglia basalis juga turut
berperan mengatur gerak otot efektor. Gerak otot memberikan berbagai
stimulus sensorik baru yang akan kembali mengalami siklus seperti di
atas.16,20 Pada DCD diduga terdapat gangguan pada proses-proses yang
terjadi di talamus dan lobus parietalis inferior, sehingga pemrosesan
informasi sensorik yang diterima gagal “diterjemahkan” dengan tepat
untuk memberi informasi bagi perencanaan motorik selanjutnya. Bagan
skematis sederhana patofisiologi DCD dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Etiopatogenesis DCD8

Gambaran klinis
Gejala klinis DCD umumnya baru dirasakan pada usia sekolah, ketika
anak mulai kesulitan memenuhi tuntutan akademik dan sosial,
terutama dalam perbandingan dengan anak lain seusianya. Keluhan
dapat bersumber dari orangtua berupa kesulitan yang dialami anak

104 Update in Child Neurology


Developmental coordination disorder: A common but often unrecognized condition

dalam aktivitas sehari-hari, misalnya naik tangga, mengikat tali sepatu,


mengancingkan baju, atau menggosok gigi, sering menumpahkan
minuman, menjatuhkan benda, sering terbentur atau tersandung apabila
berjalan. Kekurangan anak dalam aktivitas sehari-hari yang tampaknya
sederhana ini dapat mengganggu kehidupan keluarga dan hubungan
anak dengan anggota keluarga lainnya.
Seringkali juga didapatkan keluhan dari guru, misalnya berupa
tulisan anak yang buruk, cara memegang pensil yang salah, atau kesulitan
menggunting. Kalaupun anak dapat melakukan hal-hal tersebut,
gerakannya seringkali tampak canggung, lambat, atau kurang tepat.
Anak mungkin kerap gagal menyelesaikan tugasnya di sekolah karena
kelambatannya dalam bekerja. Kinerja anak yang lambat atau canggung
di sekolah dapat menyebabkan prestasi akademiknya terganggu atau
kurang dibandingkan potensi kognitifnya.
Dalam bermain dan berolahraga, anak biasanya menghindari
aktivitas yang membutuhkan koordinasi kompleks, misalnya lompat
tali, bersepeda, lempar-tangkap bola, dan kegiatan olahraga kompetitif.
Beberapa anak menjadi lebih senang bermain dengan anak yang lebih
muda, yang memiliki keterampilan motorik yang setara. Hal tersebut
dapat menyebabkan anak terkucilkan dari pergaulan.

Diagnosis
Diagnosis DCD ditegakkan atas dasar kriteria diagnosis DSM-V (Tabel
1).1 Ada empat komponen yang harus terpenuhi, yakni kurangnya
kemampuan koordinasi motorik untuk usianya, terganggunya aktivitas
sehari-hari, performa akademik, dan aktivitas bermain, awitan pada masa
perkembangan dini, serta tidak didapatkannya disabilitas intelektual,
gangguan penglihatan, atau kondisi neurologis lain yang memengaruhi

Tabel 1. Kriteria diagnosis DCD menurut DSM-V1


A. Akuisisi dan eksekusi keterampilan motorik terkoordinasi secara bermakna di
bawah kemampuan yang diharapkan untuk usia kronologis serta kesempatan yang
dimiliki untuk mempelajari dan menggunakan keterampilan tersebut. Kesulitan
bermanifestasi sebagai kecerobohan (misalnya menjatuhkan atau menabrak
benda) serta performa motorik yang lambat dan tidak akurat (misalnya dalam
menangkap benda, menggunakan gunting atau alat makan, menulis, naik sepeda,
atau keikutsertaan dalam olahraga.
B. Defisit keterampilan motorik dalam Kriteria A secara bermakna dan persisten
mengganggu aktivitas sehari-hari yang sesuai usia kronologisnya (misalnya
perawatan dan pemeliharaan diri) dan berpengaruh terhadap produktivitas
akademik/sekolah, aktivitas pra-vokasional dan vokasional, aktivitas di waktu
luang, dan bermain.
C. Awitan gejala pada masa perkembangan dini.
D. Defisit keterampulan motorik tidak dapat dijelaskan oleh disabilitas intelektual
(gangguan perkembangan intelektual) atau gangguan penglihatan dan tidak
disebabkan kondisi neurologis yang mempengaruhi gerak (misalnya palsi serebral,
distrofi muscular, penyakit degeneratif).

Everything you should know about motor and movement problems in children
105
Amanda Soebadi

gerak. 1 Menurut rekomendasi European Academy of Childhood


Disability (EACD), penegakan diagnosis idealnya dilakukan oleh tim
multidisiplin yang terdiri atas dokter yang kompeten (neurologi anak,
tumbuh kembang, atau psikiatri anak) dan terapis yang terlatih dalam
penggunaan instrumen baku yang telah distandardisasi untuk menilai
kemampuan motorik pada anak yang dicurigai DCD.6 Peran dokter dalam
diagnosis DCD tidak hanya menilai kemampuan motorik fungsional
anak, namun juga menyingkirkan kelainan neurologis lain. Hal-hal
tersebut dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis-neurologis, dan
penilaian koordinasi motorik menggunakan instrumen baku.

Diagnosis banding
Diagnosis banding DCD mencakup berbagai kelainan yang dapat
menyebabkan gangguan motorik pada anak (Tabel 2).21 Salah satu
ciri klinis yang membedakan DCD dengan sebagian besar diagnosis
banding tersebut adalah sifat DCD yang nonprogresif, bahkan cenderung
membaik seiring bertambahnya usia. Gangguan koordinasi yang progresif
atau regresi (kemunduran) kemampuan motorik tidak sesuai dengan
DCD dan patut menimbulkan kecurigaan ke arah kelainan neurologis

Tabel 2. Diagnosis banding DCD21


Kelainan neuromuskular perifer
Distrofi muskular Becker
Distrofi miotonik
Hereditary motor sensory neuropathy (HMSN) tipe Ia dan II
Miotonia kongenita (resesif autosom)
Miastenia kongenital
Disabilitas intelektual
Kelainan susunan saraf pusat
Palsi serebral (ada faktor risiko antenatal atau perinatal; bentuk ringan dengan
tipe hemiplegia atau campuran dengan ciri atetoid atau ataksik)
Tumor otak (terutama yang tumbuh lambat di fossa posterior; progresif)
Panthotenate kinase-associated neurodegeneration (Hallervorden-Spatz disease)
Sindrom perisylvian (operkular)
Benign familial chorea
Epilepsi:
- absans dengan mioklonia
- epilepsi mioklonik-astatik
- sindrom Landau-Kleffner
Kelainan campuran susunan saraf pusat dan perifer
Friedreich’s ataxia
Penyakit Pelizaeus-Merzbacher
Lain-lain
Sindrom Ehlers-Danlos
GM-1 gangliosidosis (awitan juvenil)
Diterjemahkan dari: Gibbs J, Appleton J, Appleton R. Dyspraxia or developmental
coordination disorder? Unravelling the enigma. Arch Dis Child. 2007;92:534-9.

106 Update in Child Neurology


Developmental coordination disorder: A common but often unrecognized condition

yang serius. Anak dengan epilepsi yang bermanifestasi sering jatuh atau
menjatuhkan benda (misalnya epilepsi mioklonik-astatik) terkadang
disangka clumsy oleh orangtua. Pada beberapa kasus diperlukan
pemantauan jangka panjang untuk memastikan bahwa defisit motorik
tidak bersifat progresif.22

Skrining
Skrining DCD pada anak usia sekolah dapat dilakukan menggunakan
Developmental Coordination Disorder Questionnaire (DCDQ). Kuesioner
ini terdiri atas 15 pertanyaan dengan jawaban berskala 1 sampai 5, dapat
diisi oleh dokter umum, dan mampu mengidentifikasi anak usia lima
sampai 15 tahun yang dicurigai mengalami DCD, dengan sensitivitas
75% dan spesifisitas 71%.23 Anak yang dicurigai DCD atas dasar hasil
skrining tersebut perlu dirujuk untuk penegakan diagnosis dan tata
laksana lebih lanjut.

Anamnesis
Anamnesis pada anak DCD dan orangtuanya diarahkan untuk
mengetahui adanya kesulitan dalam kegiatan motorik kompleks serta
dampaknya pada kehidupan sehari-hari baik di rumah, di sekolah,
maupun dalam pergaulan sosial. Untuk mengetahui adanya masalah
dalam koordinasi motorik anak, dapat ditanyakan mengenai kemampuan
anak melakukan aktivitas perawatan diri, bermain, dan belajar. Tentunya
kemampuan yang ditanyakan harus sesuai dengan usia anak. Pastikan
juga bahwa anak mendapatkan kesempatan yang cukup untuk dapat
mempelajari keterampilan tersebut (misalnya, anak yang selalu disuapi
tidak memperoleh kesempatan untuk belajar menggunakan sendok
dan garpu, anak dengan screen time berlebihan akan kehilangan
kesempatan bermain secara fisik). Prestasi di sekolah serta partisipasi
dalam kegiatan bermain bersama teman dan kegiatan olahraga perlu
ditanyakan. Tanyakan pula riwayat kelahiran, riwayat perkembangan,
dan riwayat keluhan yang sama pada anggota keluarga. Keluhan lain,
misalnya kesulitan berkonsentrasi, tidak dapat duduk diam, kesulitan
membaca, atau masalah dalam interaksi sosial perlu ditanyakan untuk
mengidentifikasi adanya komorbiditas. Tanyakan apakah sejak awal
anak kesulitan mempelajari keterampilan motorik baru, atau apakah
masalah motorik makin lama makin perburukan (progresif) atau terjadi
kemunduran hal yang sebelumnya sudah dikuasai (regresi). Adanya
progresivitas atau regresi merupakan petunjuk ke arah diagnosis
banding lainnya. Jika didapatkan riwayat keterlambatan pada semua
ranah perkembangan, tidak hanya perkembangan motorik kompleks,
maka diperlukan evaluasi untuk menyingkirkan disabilitas intelektual
sebagai penyebab masalah motorik. Hal-hal yang perlu ditanyakan pada
orangtua anak yang dicurigai DCD dapat dilihat pada Tabel 3.

Everything you should know about motor and movement problems in children
107
Amanda Soebadi

Tabel 3. Anamnesis orangtua anak yang dicurigai DCD

Masalah koordinasi motorik


●● Apakah menurut orangtua (atau orang lain) anak dapat dikatakan clumsy?
●● Apakah anak mengalami kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya
memakai baju (termasuk mengancingkan baju dan mengikat tali sepatu),
menggosok gigi, dan makan menggunakan sendok dan garpu?
●● Pada usia berapakah anak dapat mengendarai sepeda roda dua (tanpa roda
bantu)?
●● Apakah anak mengalami kesulitan dalam aktivitas motorik halus, misalnya
menulis (baik huruf cetak maupun huruf bersambung) atau menggunting?
Apakah anak suka berganti-ganti preferensi tangan yang digunakan (kanan atau
kiri)?
●● Apakah anak mengalami kesulitan dalam aktivitas motorik kasar, misalnya
melempar atau menendang bola, mengikuti kegiatan olahraga dalam tim, atau
mengikuti pelajaran olahraga di sekolah?
Gangguan sosial dan akademik
●● Apakah kesulitan yang dialami anak mengganggu kehidupan sehari-hari anak
dan/atau keluarga (misalnya sering terlambat masuk sekolah atau menyebabkan
orang lain terlambat)?
●● Bagaimana prestasi anak di sekolah? Apakah anak sering tidak dapat
menyelesaikan pekerjaannya di sekolah karena kesulitannya?
●● Apakah anak cenderung menghindari bermain dengan teman seusianya?
Faktor risiko
●● Apakah anak lahir prematur? Jika ya, pada usia gestasi berapa?
●● Berapa berat lahir anak?
●● Pada usia berapakah anak dapat berjalan sendiri?
●● Adakah anggota keluarga lain yang pernah didiagnosis sebagai DCD (atau
memiliki keluhan yang sama), ADHD, ASD, atau gangguan belajar spesifik
(misalnya disleksia)?
Dimodifikasi dari: Harris SR, Mickelson CR, Zwicker JG. Diagnosis and management of
developmental coordination disorder. Can Med Assoc J. 2015;187:659-65.24

Pemeriksaan fisis dan neurologis


Pada anak dengan kecurigaan DCD, pemeriksaan fisis dan neurologis
lengkap perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab
lain masalah motorik pada anak, misalnya palsi serebral, distrofi
muskular, atau kelainan degeneratif atau neurometabolik yang
menyebabkan kemunduran kemampuan motorik. Pemeriksaan yang
perlu dilakukan meliputi pemeriksaan fisis umum, status neurologis
termasuk pemeriksaan saraf kranial, tonus dan massa otot, luas
gerak sendi, kekuatan motorik, refleks tendon, dan refleks patologis.
Pengukuran antropometri juga perlu dilakukan karena adanya hubungan
antara obesitas dengan DCD.24
Sesuai dengan defisit inti pada DCD, yakni koordinasi motorik, maka
kemampuan motorik kasar dan halus anak perlu dinilai. Kemampuan
fungsional motorik kasar dapat dinilai antara lain dengan meminta anak
untuk berlari, berjalan dengan satu kaki di depan kaki yang lainnya pada
garis lurus (tandem walking), melompat pada satu kaki, melompat pada
dua kaki, dan berdiri pada satu kaki. Kemampuan fungsional motorik
halus dinilai dengan mengamati anak saat mengancingkan baju, menarik

108 Update in Child Neurology


Developmental coordination disorder: A common but often unrecognized condition

ritsleting, menulis, menggunting, dan mengikat tali sepatu. Amati pula


apakah anak kinan (dominan tangan kanan), kidal, atau ambidekstrus
(tangan kanan dan kiri sama dominan).

Penilaian obyektif koordinasi motorik


Melalui pemeriksaan klinis, dokter dapat menentukan secara kasar
apakah anak mengalami kesulitan dalam koordinasi motorik, khususnya
berkaitan dengan aktivitas sehari-hari. Akan tetapi, menurut keterangan
kriteria diagnosis dalam DSM-V, penilaian kemampuan motorik
perlu dinilai secara obyektif menggunakan pemeriksaan yang telah
distandardisasi sehingga dapat diketahui seberapa jauh kemampuan
anak dibandingkan anak-anak normal seusianya. Dua instrumen yang
telah divalidasi untuk menentukan kemampuan koordinasi motorik anak
adalah Movement Assessment Battery for Children (M-ABC) dan Bruininks-
Oseretsky Test of Motor Proficiency (BOT-MP) yang kini telah direvisi
menjadi BOT-2.2,6 Perlu diingat bahwa kedua instrumen ini hanya dapat
menilai kemampuan motorik anak, namun tidak dapat mendiagnosis
komorbiditas maupun menyingkirkan diagnosis banding dan tidak
memandang dampak akademik-sosial. Instrumen BOT-2 lebih rinci
dibandingkan M-ABC dalam karakterisasi defisit motorik, dan digunakan
untuk konfirmasi kemampuan motorik pada anak yang sebelumnya telah
diduga memiliki kemampuan motorik yang kurang melalui uji skrining.
Pemeriksaan BOT-2 dapat dilakukan pada usia empat sampai
21 tahun dan bertujuan menilai seluruh kemampuan motorik anak
mencakup motorik kasar dan halus, kelincahan (agility), keseimbangan,
koordinasi, kontrol visual motor, serta kecepatan gerak. Pemeriksaan ini
memiliki nilai referensi yang spesifik untuk masing-masing kelompok
usia dan jenis kelamin dan telah divalidasi secara khusus untuk diagnosis
DCD.6,25 Seorang anak dikatakan memiliki kemampuan motorik di bawah
rerata apabila skor yang diperoleh berada antara persentil ketiga dan
ke-17, dan jauh di bawah rerata apabila skor berada di bawah persentil
kedua. Bentuk panjang BOT-2 (Total Motor Composite) membutuhkan
waktu cukup lama (60 sampai 90 menit), namun bentuk pendeknya
(Short Form) memiliki performa diagnostik yang hampir sebanding dan
memakan waktu lebih singkat (sekitar 30 sampai 45 menit).25 Untuk
melakukan pemeriksaan BOT-2 diperlukan ruangan yang cukup besar
(panjang ruangan minimal 5 meter untuk Short Form dan 17 meter untuk
Total Motor Composite) serta peralatan khusus yang telah distandardisasi,
antara lain balok titian, matras, papan sasaran, sejumlah koin dengan
ukuran dan berat tertentu, tatakan dan kotak koin, kertas untuk melipat,
gambar labirin, contoh gambar untuk disalin, dan lain-lain.25

Neurological soft signs


Mengingat lamanya pemeriksaan serta tempat dan peralatan yang

Everything you should know about motor and movement problems in children
109
Amanda Soebadi

dibutuhkan, dapat dibayangkan bahwa pemeriksaan dengan instrumen


baku di atas sulit dilakukan di praktik dokter spesialis anak. Beberapa
studi telah melaporkan penggunaan pemeriksaan tanda neurologis halus
atau neurological soft signs (NSS) sebagai metode pemeriksaan sederhana
yang dapat digunakan dalam diagnosis DCD.
Neurological soft signs adalah abnormalitas ringan pada pemeriksaan
neurologis tertentu, tanpa adanya tanda-tanda lain kelainan neurologis
yang menetap atau sementara. 6 Adanya NSS diduga merupakan
indikator disfungsi ringan difus SSP yang bermanifestasi sebagai
gangguan koordinasi, refleks yang imatur, dan disintegrasi perseptual
atau sensorimotor.7 Selain menilai koordinasi motorik, NSS juga dapat
menilai persepsi sensorik, yang merupakan salah satu komponen yang
diperlukan dalam perencanaan motorik. Tanda-tanda yang termasuk
dalam NSS antara lain tandem walking, uji jari ke hidung (finger-to-nose
test), oposisi jari, diadokokinesia, mirror movements, grafestesia, dan
stereognosis.26-28 Neurological soft signs telah diteliti pada beberapa
gangguan neurodevelopmental, antara lain ADHD, ASD, dan DCD.28-31
Di Jakarta telah dilakukan penelitian yang menggunakan
serangkaian pemeriksaan NSS untuk membantu dalam diagnosis
DCD pada anak usia sekolah dasar.8 Rangkaian ini terdiri atas tujuh
pemeriksaan yang sederhana, memakan waktu kurang dari 30 menit,
dan membutuhkan peralatan minimal yang lazim ditemukan di praktik
dokter spesialis anak (Tabel 4). Dengan menggunakan BOT-2 sebagai
gold standard, rangkaian pemeriksaan tersebut memiliki sensitivitas
57% dan spesifisitas 64% apabila dua atau lebih NSS positif. Apabila
empat atau lebih NSS positif, spesifisitasnya dapat mencapai 99%,
dengan sensitivitasnya 16,7%.8 Karena pemeriksaan tersebut diteliti pada
populasi anak yang telah dicurigai DCD pada skrining, maka sebelumnya
perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis terlebih dahulu
seperti yang telah diuraikan di atas. Kelemahan lain dari pemeriksaan
tersebut adalah lebih banyak memeriksa kemampuan motorik halus,
sehingga pada pemeriksaan klinis dapat ditambahkan pemeriksaan
motorik kasar, misalnya tandem walking. Perangkat pemeriksaan ini
saat ini masih dalam penyempurnaan.

Tata laksana
Karena manifestasi klinis DCD bervariasi pada anak yang berbeda, tata
laksananya membutuhkan pendekatan individual sesuai masalah yang
dominan pada anak. Tata laksana DCD ditujukan untuk memperbaiki
kemampuan motorik serta mengatasi komorbiditas bila ada. Terdapat
tiga pendekatan berbeda dalam memberikan intervensi untuk anak
dengan DCD, yaitu pendekatan task-oriented, process-oriented, serta
fisioterapi dan terapi okupasi konvensional.6,31

110 Update in Child Neurology


Developmental coordination disorder: A common but often unrecognized condition

Pendekatan task-oriented
Pendekatan task-oriented memiliki fokus perbaikan keterampilan dan
aktivitas motorik tertentu yang menyebabkan kesulitan bagi anak. Yang
termasuk dalam pendekatan task-oriented antara lain neuromotor task
training (NTT) dan cognitive orientation to daily occupational performance
(CO-OP). Neuromotor task training didasarkan atas teori motor learning;
metode ini menekankan pentingnya strukturisasi dan penjadwalan
gerak motorik yang merupakan komponen-komponen suatu tugas
tertentu, dan mempertimbangkan bagaimana lingkungan serta tugas
tersebut dapat dimodifikasi untuk mengakomodasi kekurangan anak.31
Intervensi CO-OP menggunakan pendekatan collaborative problem

Tabel 4. Rangkaian pemeriksaan NSS untuk mendeteksi DCD8


Pemeriksaan Deskripsi Respons positif
Stereognosis Mengenali bentuk benda yang Tidak mampu mengenali salah
diletakkan di telapak tangan (kubus, satu benda yang diletakkan
bola, koin) tanpa melihatnya pada salah satu atau kedua
tangan
Grafestesia Mengenali aksara (huruf atau Tidak mampu mengenali salah
angka) yang digoreskan pada satu aksara yang digoreskan
telapak tangan, terdiri atas 0 pada salah satu atau kedua
(“nol”), I (“satu”), dan X (“X”), tanpa tangan
melihatnya
Oposisi jari Menempelkan jari telunjuk, Tidak mampu melakukan
jari tengah, jari manis, dan jari paling sedikit satu siklus
kelingking secara berurutan ke ibu gerakan pada salah satu atau
jari pada tangan yang sama kedua tangan
Diadokokinesia Melakukan gerakan pronasi-supinasi Tidak mampu melakukan
tangan secara berturut-turut dan gerakan paling sedikit
berulang, diperiksa bergantian pada delapan siklus gerakan tanpa
kedua tangan melakukan kesalahan pada
salah satu atau kedua tangan
Mirror Ada atau tidaknya gerakan yang Terlihat gerakan tersebut pada
movements tidak berhubungan yang muncul salah satu atau kedua tangan
pada tangan saat subjek sedang
melakukan diadokokinesis
atau aposisi jari pada tangan
kontralateralnya
Jari-ke-hidung Menunjuk ujung jari pemeriksa Meleset dalam menunjuk
dengan ujung telunjuk jarinya ujung jari pemeriksa dan/atau
kemudian menunjuk hidungnya hidungnya, dan/atau terdapat
sendiri secara berturut-turut dan tremor
berulang
Keseimbangan Berdiri tegak dengan kedua tangan Tubuh subjek cenderung jatuh
(Uji Romberg) direntangkan dan kedua mata ke arah manapun
terpejam selama 10 detik
Gerak Gerak yang tidak disengaja dan/ Tampak tremor halus atau
involunter atau tidak disadari, diamati saat gerak koreiform halus
subjek melakukan uji Romberg (tidak termasuk gerak
involunter yang lebih nyata
misalnya atetosis, ballismus,
mioklonus)

Everything you should know about motor and movement problems in children
111
Amanda Soebadi

solving yang mengambil prinsip-prinsip cognitive behavioral therapy


untuk mengajarkan anak membentuk model mental untuk menghasilkan
strategi demi mencapai suatu tujuan gerak.32 Tugas-tugas yang diajarkan
terutama yang diperlukan dalam aktivitas sehari-hari. Pada beberapa
penelitian, intervensi dapat diberikan dalam kelompok.31,33 Intervensi
task-oriented terutama akan berhasil baik pada anak yang memiliki
kemampuan verbal baik.6,31 Pendekatan task-oriented memiliki beda rerata
fungsi motorik tertinggi dibandingkan kedua pendekatan lainnya [beda
rerata terstandardisasi (dw) 0,89; IK95% 0,64-1,14].31

Pendekatan process-oriented
Fokus pendekatan process-oriented adalah memperbaiki komponen-
komponen serta fungsi-fungsi yang mendasari aktivitas motorik.6,31
Pendekatan ini meliputi terapi sensori integrasi dan terapi kinestetik dan
perseptual. Pendekatan ini berupaya memperbaiki proses motorik anak
secara bottom-up dengan memperbaiki proses-proses yang diperlukan
untuk menghasilkan perencanaan motorik yang baik. Hipotesis yang
mendasari adalah bahwa dengan memperbaiki sensori integrasi,
kinesthesia, kekuatan otot, stabilitas core, dan persepsi visual-motor,
maka performa motorik dapat diperbaiki.31 Dibandingkan dua pendekatan
lainnya, pendekatan process-oriented memiliki besar efek terkecil yang
tidak bermakna secara statistika (dw 0,12; IK95% -0,10-0,35).31

Fisioterapi dan terapi okupasi konvensional


Dalam pandangan fisioterapi dan terapi okupasi konvensional, terdapat
sejumlah kemampuan motorik kasar dan halus yang paling mendasar
(antara lain kontrol postural dan stabilitas batang tubuh, manipulasi
tangan, dan kemampuan visual-perseptual) yang merupakan prasyarat
untuk mempelajari keterampilan motorik yang lebih canggih. Anak
perlu dilatih dalam kemampuan-kemampuan dasar tersebut sebelum
dapat diajarkan tugas-tugas motorik selanjutnya. Pendekatan ini juga
berasumsi bahwa kemampuan motorik tersebut harus dikuasai dengan
urutan hierarkis tertentu.31 Fisioterapi dan terapi okupasi konvensional
memiliki efektivitas lebih tinggi dibandingkan pendekatan process-
oriented namun lebih rendah ketimbang pendekatan task-oriented (dw
0,83; IK95% 0,46-1,20).31
European Academy for Childhood Disability merekomendasikan
bahwa anak yang didiagnosis sebagai DCD harus mendapat intervensi
(level of evidence 1, peringkat bukti A). Terapi perseptual-motor (level
of evidence 2) dan latihan fungsi motorik kasar dan kekuatan otot (level
of evidence 3) mungkin bermanfaat. Belum ada bukti yang cukup untuk
merekomendasikan terapi sensori integrasi (level of evidence 3) maupun

112 Update in Child Neurology


Developmental coordination disorder: A common but often unrecognized condition

terapi kinestetik (level of evidence 3) pada anak dengan DCD.6 Keterlibatan


orangtua, guru dan sekolah, serta partisipasi anak dalam aktivitas sesuai
kemampuannya sangat berpengaruh terhadap luaran terapi.6,31 Tindakan
suportif yang dapat dilakukan di tingkat keluarga dan lingkungan antara
lain melibatkan anak dalam aktivitas olahraga yang disesuaikan tingkat
kesulitan dan kompetisinya, memberikan waktu lebih di sekolah untuk
aktivitas motorik halus yang sulit (misalnya menulis atau menggunting),
atau memperbolehkan anak mengetik sebagai pengganti menulis untuk
tugas-tugas tertentu.6

Prognosis
Kemampuan motorik anak dengan DCD cenderung mengalami perbaikan
seiring bertambahnya usia. Namun demikian, umumnya individu dengan
DCD akan tetap memiliki defisit motorik hingga dewasa, dengan derajat
yang bervariasi. Anak dengan DCD yang mendapatkan intervensi, tanpa
memandang jenis intervensinya, memiliki luaran fungsi motorik yang
lebih baik dibandingkan yang tidak diintervensi (dw 0,56; p=0,002).31
Gangguan akademik, pekerjaan, dan psikososial yang terjadi bergantung
pada derajat kesulitan motorik. Kurangnya aktivitas fisik dapat
menyebabkan kebugaran yang kurang baik sehingga individu dengan
DCD memiliki risiko kardiovaskular yang lebih tinggi dibandingkan
populasi umum. Prognosis DCD yang merupakan komorbiditas gangguan
neurodevelopmental lain lebih buruk dibandingkan DCD yang berdiri
sendiri.6

Simpulan
Developmental coordination disorder merupakan suatu gangguan
perkembangan motorik yang ditandai kurangnya koordinasi motorik
untuk usia dan menyebabkan gangguan akademik dan psikososial.
Gangguan ini patut dicurigai pada anak yang dikeluhkan sebagai clumsy,
mengalami kesulitan dalam menulis, kegiatan olahraga, atau aktivitas
motorik kompleks sehari-hari. Diagnosis ditegakkan atas dasar kriteria
DSM-V dan dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
neurologis, serta penilaian kemampuan motorik dengan pemeriksaan
baku. Neurological soft signs merupakan pemeriksaan sederhana yang
dapat membantu deteksi DCD di tempat praktik pada anak yang
dicurigai. Walau DCD cenderung perbaikan seiring bertambahnya usia,
intervensi yang tepat tetap diperlukan untuk mencapai luaran optimal
dan meminimalisir risiko dampak psikososial.

Everything you should know about motor and movement problems in children
113
Amanda Soebadi

Daftar pustaka
1. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual
of mental disorders. Edisi ke-5. Washington, DC: American Psychiatric
Publishing; 2013.
2. Kirby A, Sugden DA. Children with developmental coordination disorders.
J R Soc Med. 2007;100:182-6.
3. Vaivre-Douret L. Developmental coordination disorder: State of art. Clin
Neuropsychol. 2014;44:13-23.
4. Sigurdsson E, van Os J, Fombonne E. Are impaired childhood motor skills
a risk factor for adolescent anxiety? Results from the 1958 UK birth cohort
and the National Child Development Study. Am J Psychiatr. 2002;159:1044-6.
5. Lingam R, Golding J, Jongmans MJ, Hunt LP, Ellis M, Emond A. The association
between developmental coordination disorder and other developmental
traits. Pediatrics. 2010;126:e1109-18.
6. Blank R, Smits-Engelsman B, Polatajko H, Wilson P. European Academy for
Childhood Disability (EACD): Recommendations on the definition, diagnosis
and intervention of developmental coordination disorder (long version).
Dev Med Child Neurol. 2012;54:54-93.
7. Hua J, Jin H, Gu G, Liu M, Zhang L, Wu Z. The influence of Chinese one-
child family status on developmental coordination disorder status. Res Rev
Disabil. 2014;35:3089-95.
8. Soebadi A. Peran neurological soft signs dalam diagnosis developmental
coordination disorder pada anak usia sekolah dasar [tesis]. Jakarta:
Universitas Indonesia; 2016.
9. Kopp S, Beckung E, Gillberg C. Developmental coordination disorder and
other motor control problems in girls with autism spectrum disorder and/
or attention-deficit hyperactivity disorder. Res Rev Disabil. 2010;31:350-61.
10. Kadesjö B, Gillberg C. Attention deficits and clumsiness in Swedish 7-year-
old children. Dev Med Child Neurol. 1998;40:796-804.
11. Williams J, Lee KJ, Anderson PJ. Prevalence of motor-skill impairment in
preterm children who do not develop cerebral palsy: a systematic review.
Dev Med Child Neurol. 2009;52:232-7.
12. Edwards J, Berube M, Erlandson K, Haug S, Johnstone H, Meagher M, dkk.
Developmental coordination disorder in school-aged children born very
preterm and/or at very low birth weight: a systematic review. J Dev Behav
Pediatr. 2011;32:678-87.
13. Faebo Larsen R, Hvas Mortensen L, Martinussen T, Nybo Andersen AM.
Determinants of developmental coordination disorder in 7-year-old children:
a study of children in the Danish National Birth Cohort. Dev Med Child
Neurol. 2013;55:1016-22.
14. Seeländer J, Fidler V, Hadders-Algra M. Increase in impaired motor
coordination in 6-year-old German children between 1990 and 2007. Acta
Paediatr. 2013;102:e44-8.
15. Hadders-Algra M, Schoemaker MM, van den Houten J. Developmental
coordination disorder. Edisi ke-5. Dalam: Hadders-Algra M, Maathuis K,
Pangalila RK, Becher JG, de Moor J, penyunting. [Pediatric rehabilitation].
Assen: Van Gorcum; 2015. Buku dalam bahasa Belanda. h. 539-49.
16. Wilson PH, McKenzie BE. Information processing deficits associated with

114 Update in Child Neurology


Developmental coordination disorder: A common but often unrecognized condition

developmental coordination disorder: a meta-analysis of research findings.


J Child Psychiatr. 1998;6:829-40.
17. Elbasan B, Kayihan H, Duzgun I. Sensory integration and activities of daily
living in children with developmental coordaintion disorder. Italian J Pediatr.
2012;38:14.
18. Lewis M, Vance A, Maruff P, Wilson P, Cairney S. Differences in motor imagery
between children with developmental coordination disorder with and
without the combined type of ADHD. Dev Med Child Neurol. 2008;50:608-12.
19. Elders V, Sheehan S, Wilson AD, Levesley M, Bhakta B, Mon-Williams M.
Head-torso-hand coordination in children with and without developmental
coordination disorder. Dev Med Child Neurol. 2010;52:238-43.
20. Zwicker JG, Missiuna C, Harris SR, Boyd LA. Brain activation of children with
developmental coordination disorder is different than peers. Pediatrics.
2010;126:e678-86.
21. Gibbs J, Appleton J, Appleton R. Dyspraxia or developmental coordination
disorder? Unravelling the enigma. Arch Dis Child. 2007;92:534-9.
22. Hamilton SS, Duryea TK, Bridgemohan C, Torchia MM. Developmental
coordination disorder: clinical features and diagnosis. Diunduh dari: http://
www.uptodate.com/contents/developmental-coordination-disorder-clinical-
features-and-diagnosis. Diakses 22 Februari 2016.
23. Wilson BN, Crawford SC, Green D, Roberts G, Aylott A, Kaplan B.
Psychometric properties of the revised Developmental Coordination
Disorder Questionnaire. Phys Occup Ther Pediatr. 2009;29:182-202.
24. Harris SR, Mickelson ECR, Zwicker JG. Diagnosis and management of
developmental coordination disorder. Can Med Assoc J. 2015;187:659-65.
25. Bruininks RH, Bruininks BD. Bruininks-Oseretsky Test of Motor Proficiency
Manual. 2nd edition. Bloomington: PsychCorp; 2005.
26. Fellick JM, Thomson APJ, Sills J, Hart CA. Neurological soft signs in
mainstream pupils. Arch Dis Child. 2001;85:371-4.
27. Holden EW, Tarnowski KJ, Prinz R. Reliability of neurological soft signs in
children: Reevaluation of the PANESS. J Abnorm Child Psychol. 1982;10:163-72.
28. Kashiwagi M, Suzuki S. [Simple and useful evaluation of motor difficulty
in childhood (9-12 years old children) by interview score on motor skills
and soft neurological signs – aim for the diagnosis of developmental
coordination disorder] [abstrak]. Artikel dalam bahasa Jepang. No To
Hattatsu. 2009;41:343-8.
29. Patankar VC, Sangle JP, Shah HR, Dave M, Kamath RM. Neurological soft
signs in children with attention deficit hyperactivity disorder. Indian J
Psychiatry. 2012;54:159-65.
30. Gustafsson P, Svedin CG, Ericsson I, Linden C, Karlsson MK, Thernlund
G. Reliability and validity of the assessment of neurological soft-signs in
children with and without attention-deficit-hyperactivity disorder. Dev Med
Child Neurol. 2010;52:364-70.
31. Smits-Engelsman BCM, Blank R, van der Kaay , Mosterd-van der Meijs R,
Vlugt-van den Brand E, dkk. Efficacy of interventions to improve motor
performance in children with developmental coordination disorder: a
combined systematic review and meta-analysis. Dev Med Child Neurol.
2013;55:229-37.

Everything you should know about motor and movement problems in children
115
Amanda Soebadi

32. Schoemaker MM, Smits-Engelsman BCM. Is treating motor problems in


DCD just a matter of practice and more practice? Curr Dev Disord Rep.
2015;2:150-6.
33. Pless M, Carlsson M, Effects of motor intervention on developmental
coordination disorder: a meta-analysis. Adapt Phys Activ Q. 2000;17:381-401.

116 Update in Child Neurology

Anda mungkin juga menyukai