Kementerian Kesehatan RI
Direktorat Kesehatan Keluarga
Pengurus Pusat
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
TIM PENYUSUN 1
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II TUJUAN PELATIHAN 6
BAB III PERAN FUNGSI DAN KOMPETENSI 7
BAB IV GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN 8
BAB V MEKANISME PEMBELAJARAN 9
BAB VI PESERTA DAN PELATIH 17
BAB VII PENYELENGGARA DAN TEMPAT PENYELENGGARAAN 18
BAB VIII EVALUASI HASIL PEMBELAJARAN 19
Angka Kematian Bayi (AKB) berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 adalah 24 per
1000 kelahiran hidup, artinya 1 dari 42 bayi meninggal sebelum ulang tahun pertamanya (151.200).
Meskipun terjadi trend penurunan, namun angka tersebut masih tinggi. Sekitar tiga per empat (75%) dari
semua kematian pada 5 tahun pertama terjadi sebelum usia satu tahun. Dalam menyusun strategi
pelaksanaan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020 – 2024, Kementerian
Kesehatan menetapkan 5 fokus masalah kesehatan yaitu:
1. Masalah Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)
2. Pengendalian stunting
3. Pencegahan dan pengendalian penyakit
4. Germas
5. Tata kelola sistem kesehatan
Berdasarkan Sample Registration System Balitbangkes tahun 2018, penyebab kematian bayi adalah 55%
bermula dari kondisi perinatal, 13,8% kelainan bawaan, 8,1% pneumonia, 5,6% diare, 1,6% meningitis, dan
1,5% sepsis. Tempat meninggalnya balita 62,8% di rumah sakit, 24,4% di rumah, 6,5% di faskes lain, dan
3,9% perjalanan ke RS/faskes.
Sebagai salah satu upaya menurunkan Angka Kematian Bayi, Kementerian Kesehatan mengadakan
pelatihan Peningkatan Kapasitas Bagi Dokter Umum dalam Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi di
Kabupaten/Kota Lokus Percepatan Penurunan AKI dan AKB melalui metode blended learning ini,
terutama pada penyebab terbanyak kematian pada bayi yaitu; pneumonia, diare, masalah gizi, serta upaya
mengenali dan mengatasi secara dini kegawatdaruratan pada bayi.
Kegiatan pembelajaran pada kegiatan ini untuk memberikan penguatan kapasitas dokter umum,
dikarenakan capaian kompetensi bagi peserta sejalan dengan tingkat kemampuan dokter umum yang
terdapat dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia KKI 2012.
A. TUJUAN UMUM
Meningkatkan kompetensi dokter umum dalam tata laksana penyebab terbanyak kematian pada
bayi dalam rangka mengupayakan penurunan kematian bayi.
B. TUJUAN KHUSUS
a. Membekali dokter umum untuk mampu melakukan KIE kepada orang tua tentang pencegahan
Pneumonia, TB, Diare, Masalah Gizi pada bayi menggunakan Buku KIA.
b. Membekali dokter umum untuk mampu memantau status gizi bayi dan tata laksana masalah gizi
dan mengenali kegawatdaruratan anak.
c. Membekali dokter umum untuk mampu mengidentifikasi rujukan bayi dengan Pneumonia, TB,
Diare, Masalah Gizi tepat/terlambat/ berlebihan serta menentukan prioritas tatalaksana
berdasarkan klasifikasi kegawatdaruratan.
d. Membekali dokter umum untuk mampu melakukan penanganan prarujukan injeksi antibiotika,
pemberian oksigen, resomal dan rehidrasi intravena kepada bayi, bantuan hidup dasar pada bayi
dan anak, dan menentukan pasien bayi dan anak layak transport.
e. Membekali dokter umum untuk mampu melakukan pemantauan pasca rujukan bayi dengan
Pneumonia, TB, Diare, Masalah Gizi sesuai standar, dan mengenali tanda gawat napas bayi dan
anak dan melakukan tatalaksana awal gawat napas bayi dan anak.
A. Peran
Setelah mengikuti pelatihan, peserta berperan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bayi di
Puskesmas
B. Fungsi
Dalam melaksanakan perannya peserta mempunyai fungsi dalam melakukan pelayanan kesehatan
bayi di puskesmas
C. Kompetensi
1. Peserta mampu melakukan KIE kepada orang tua tentang pencegahan Pneumonia, TB, Diare,
Masalah Gizi pada bayi menggunakan Buku KIA.
2. Peserta mampu memantau status gizi bayi dan melakukan triase dengan menggunakan SAGA
dan evaluasi dengan pediatric early warning system (PEWS) atau skor penilaian dini kegawatan
anak (SADEWA).
3. Peserta mampu mengidentifikasi rujukan bayi dengan Pneumonia, TB, Diare, Masalah Gizi
tepat/terlambat/ berlebihan serta menentukan prioritas tatalaksana berdasarkan klasifikasi
kegawatdaruratan
4. Peserta mampu melakukan penanganan prarujukan injeksi antibiotika, pemberian oksigen,
resomal, rehidrasi intra vena pada bayi, tata laksana sumbatan jalan napas, serah terima pasien
dari faskes primer kepada tim transport, serta melakukan ventilasi tekanan positif, dan
tatalaksana awal syok.
5. Peserta mampu melakukan pemantauan pasca rujukan bayi dengan Pneumonia, TB, Diare,
Masalah Gizi sesuai standar.
6. Peserta mampu melakukan pemasangan akses intra oseus bila diperlukan, tatalaksana awal gawat
napas bayi dan anak, dan menggunakan HFNC sebagai tatalaksana gawat napas.
Mekanisme pembelajaran dilaksanakan secara blended learning yaitu metode campuran antara
pembelajaran secara online dan tatap muka dengan on the job training (OJT) di Rumah Sakit
Kabupaten/Kota. Rangkaian kegiatan peningkatan kapasitas dokter umum dalam pelayanan Kesehatan ibu
dan Bayi adalah sebagai berikut :
11.10 – 11.50 Deteksi dini, tata laksana dan stabilisasi pra UKK Gastrohepatologi
rujukan Diare menggunakan MTBS IDAI
11.50 – 12.30 Deteksi masalah gizi, tata laksana, dan rujukan UKK Nutrisi & Penyakit Metabolik
IDAI
12.30 – 12.40 Penutupan Analis Kebijakan Ahli Madya
Koordinator Kesehatan Balita dan
Anak Prasekolah
OJT
Minggu ke-3
Sesi 2 ANC + KB Sesi Online
Sabtu pada minggu ke-3
OJT
Minggu ke-4
Sesi 3 Nifas + Neonatal Sesi Online
Sabtu pada minggu ke-4
OJT
Minggu ke-5
Sesi 4 Tatalaksana penyebab terbanyak Sesi Online
kematian Bayi Sabtu pada minggu ke-5
OJT
Minggu ke-6
Penutupan Minggu ke-6
Direktorat Kesehatan
07.45 – 08.00 15’ Pre Test
Keluarga
Direktorat Kesehatan
16.00 - 16.15 15' Post Test
Keluarga
SESI IV “Deteksi Dini, Tata laksana dan Stabilisasi rujukan Masalah Gizi”
1. Fasilitator menyampaikan paparan singkat “Deteksi Dini, Tata laksana dan Stabilisasi
rujukan Masalah Gizi” secara daring (30 menit).
2. Fasilitator pusat memandu diskusi interaktif dengan peserta terkait paparan dan studi
kasus (5 menit)
3. Fasilitator dokter Sp.A kabupaten/kota memandu diskusi terkait paparan dan studi kasus
(20 menit)
4. Fasilitator menjelaskan tentang logbook OJT (5 menit)
3) Hari III, OJT di Rumah Sakit 3 JPL dengan materi terkait pemantauan pasca
rujukan balita Diare/Pneumonia/Masalah gizi, serta materi Mengenali dan
Menangani Kegawatdaruratan Bayi
a) Fasilitator memberikan lembaran studi kasus, Peserta diminta menuliskan informasi
lokasi, nama pasien dan kasus/penyakit pada lembaran studi kasus.
b) Fasilitator membagi kasus diare/pneumonia/masalah gizi/kegawatdaruratan bayi
masing-masing peserta mendapatkan 1 dengan menggunakan lembaran studi kasus.
c) Fasilitator memberikan waktu untuk peserta melakukan kajian kasus terhadap pasien
anak yang ada di RS lokasi OJT (anamnesis, pemeriksaan fisik, kajian kasus
(penelaahan/penilaian terhadap proses pasca perawatan untuk ditindaklanjuti di
puskesmas).
d) Fasilitator memberikan bimbingan pelayanan pasca Perawatan Diare dehidrasi,
Pneumonia, TB, Masalah Gizi
c. Metode Pembelajaran
• Hands-on.
Peserta pendampingan melaksanakan tata laksana pada bayi dengan Diare, Pneumonia,
Masalah Gizi, Mengenali dan Menangani Kegawatdaruratan Bayi.
• One-on-One Teaching.
Peserta pendampingan berdiskusi selama OJT dan selama pendampingan secara virtual.
• Mandiri.
Peserta pendampingan belajar mandiri
d. Bahan Bacaan
1) Modul Introduksi penyebab kematian bayi dan intervensi pencegahan kematian (PP
IDAI)
2) Modul Tata laksana pneumonia dan TB (UKK Respirologi)
3) Modul Tata laksana diare (UKK Gastrohepatologi)
4) Modul Pencegahan masalah gizi; pemantauan pertumbuhan dan penentuan status gizi,
ASI dan MPASI (UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik)
5) Modul Mengenali dan Menangani Kegawatdaruratan Bayi (UKK Emergensi dan Rawat
Intensif Anak)
6) Buku KIA (Kemenkes)
7) Buku Bagan MTBS (Kemenkes)
8) Buku Panduan Pelayanan Kesehatan Balita Pada Masa Pandemi Covid-19 Bagi Tenaga
Kesehatan Revisi 2 (Kemenkes)
A. Peserta
Dokter umum di kabupaten/kota lokus Percepatan Penurunan AKI dan AKB yang memenuhi
kriteria:
1. Pegawai Negeri Sipil (PNS)
2. Bekerja di Puskesmas yang melayani bayi dan balita
3. Aktif menjadi peserta dari awal sampai akhir pelatihan (baik pada saat pembelajaran mandiri,
online dan OJT di RSUD didampingi Dokter Spesialis).
4. Bersedia mengaplikasikan hasil pelatihan di tempat kerjanya serta tidak dipindah-tugaskan
minimal selama 2 tahun setelah dilatih dibuktikan dengan surat pernyataan diri dan diketahui
atasan.
5. Mendapat surat tugas dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
6. Dalam keadaan sehat.
B. Pelatih
Pelatih terdiri dari 2 kategori yaitu:
1. Fasilitator / Mentor RS di Kabupaten / Kota
adalah Dokter Spesialis dokter Spesialis Anak di RSUD Kabupaten/Kota Lokus Percepatan
Penurunan AKI dan AKB yang berkomitmen mendampingi dokter umum peserta latih blended
learning. Fasilitator dalam keadaan sehat. Dalam pelaksanaan OJT wahana klinik menyediakan
APD, disinfektan, print out table logbook untuk peserta dan ruang OJT.
2. Narasumber
Narasumber pusat berasal dari PP IDAI, UKK Respirologi, UKK Gastrohepatologi, UKK Nutrisi
dan Penyakit Metabolik, dan UKK Emergens dan Rawat Intensif Anak.
C. Panitia
1. Direktorat Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan RI
2. Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota
3. Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dan IDI/PDUI
Memiliki peran untuk:
• Memfasilitasi pemilihan calon peserta, calon fasilitator, ijin OJT di RS. Dll termasuk mengawal
pelaksanaan blended learning
• sebagai observer saat blended learning berlangsung, mengikuti saat kelas online berlangsung
• mengevaluasi tindaklanjut peserta latih di tempat kerja dalam rangka mendapatkan sertifikat
• bersama dengan organisasi profesi lain memfasilitasi penguatan sistem pelayanan rujukan bayi
A. Penyelenggara
Peningkatan Kapasitas Dokter Umum dengan Metode Blended Learning ini dilaksanakan oleh
Direktorat Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan RI bekerjasama dengan Organisasi Profesi,
Dinas Kesehatan Provinsi, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
B. Tempat penyelenggaraan
1. Sesi Online dilaksanakan di tempat masing – masing dengan menggunakan platform video
conference.
2. Sesi On The Job Training dilaksanakan di wahana klinik terpilih yaitu Rumah Sakit Kabupaten / Kota
Penilaian peserta didik memiliki prinsip-prinsip valid; andal; edukatif; otentik; objektif; adil; akuntabel; dan
transparan. Evaluasi sumatif hasil pembelajaran meliputi:
Data proses pembelajaran dicatat secara pribadi melalui logbook. Peserta dinyatakan lulus apabila hasil
akhir dari evaluasi hasil pembelajaran mendapatkan nilai angka ≥ 70 (nilai maksimal 100). Tingkat
kehadiran dilakukan berdasarkan sistem presensi baik pada sesi kelas online maupun sesi OJT yang
berlaku di masing-masing rumah sakit pendampingan dan tingkat kehadiran minimal 90% diperlukan untuk
disertakan dalam akhir program pendampingan.
Di akhir pembelajaran, peserta akan memperoleh sertifikat dengan SKP dari IDI
Materi 1
Introduksi Penyebab Kematian Bayi dan
Intervensi Pencegahan Kematian
Tujuan
- Dapat mengetahui penyebab kematian terbanyak pada bayi
- Dapat mengetahui intervensi pencegahan kematian
Pendahuluan
Dalam menyusun strategi pelaksanaan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020
– 2024, Kementerian Kesehatan menetapkan 5 fokus masalah kesehatan yaitu:
1. Masalah Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)
2. Pengendalian stunting
3. Pencegahan dan pengendalian penyakit
4. Germas
5. Tata kelola sistem kesehatan
Sebagai salah satu upaya melaksanakan strategi tersebut, Kementerian Kesehatan mengadakan pelatihan
Peningkatan Kapasitas Bagi Dokter Umum di Kabupaten/Kota Lokus Percepatan Penurunan AKI dan
AKB melaului metode blended training ini. Angka Kematian Bayi (AKB) berdasarkan Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia 2017 adalah 24 per 1000 kelahiran hidup, artinya 1 dari 42 bayi meninggal
sebelum ulang tahun pertamanya (151.200). Meskipun terjadi trend penurunan, namun angka tersebut
masih tinggi (Gambar 1).
Penyebab kematian utama pada bayi adalah komplikasi neonatal (36,9%), pneumoni (36,4%), kelainan
kongenital (12,7%), dan diare (10,2%) (Gambar 2). Kematian akibat komplikasi neonatal (asfiksia, infeksi
neonatal, prematuritas) dibahas pada modul Post Natal Care, sedangkan kematian akibat kelainan
kongenital tidak dibahas pada kesempatan ini.
Berdasarkan Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia yang dirilis oleh Pusdatin Kemenkes pada
tahun 2020, dengan prevalens pneumonia sebesar 3,55%, diperkirakan ada sekitar 885.551 balita
mengalami pneumonia di seluruh Indonesia pada tahun 2019 dengan angka CFR (case fatality rate) 0,07.
Demikian pula dengan diare, dilaporkan sekitar 1.591.944 balita menderita diare. Selain itu, masalah gizi
juga menjadi perhatian khusus karena status gizi yang kurang baik berhubungan dengan kerentanan
seorang anak menderita penyakit infeksi. Sekitar 11,7% anak usia 0 – 23 bulan kurus dan sangat kurus,
serta 30,8% anak berusia kurang dari 5 tahun mengalami stunting.
Sampai saat ini, belum ada data mengenai kontributor kematian bayi, berbeda dengan kematian neonatal
yang sistem pelaporan dan auditnya telah berjalan melalui kegiatan AMP (Audit Maternal Perinatal). Pada
kematian neonatal, dapat diketahui bahwa terlambat dirujuk (32%), stabilisasi prarujukan yang tidak
adekuat (29%), dan terlambat mendapat pertolongan (26%) merupakan kontributor penyebab kematian
neonatal.
Oleh sebab itu, perlu dirancang suatu intervensi secara terpadu, yang meliputi upaya preventif, kuratif,
dan promotif.
1. Upaya preventif
a. Pencegahan pernikahan usia muda (mencegah kelahiran prematur, BBLR, kelainan bawaan)
b. Nutrisi adekuat; ASI eksklusif, praktik pemberian MPASI yang baik, suplementasi vitamin A
c. Imunisasi dasar lengkap
d. Kesehatan lingkungan: air bersih, udara bersih, jamban keluarga
e. Pengetahuan orangtua yang baik mengenai upaya pencegahan sakit pada anak dan penanganan
saat sakit (pemanfaatan Buku KIA)
2. Upaya kuratif
a. Pengobatan yang tepat penyebab kematian terbanyak, diantaranya; pneumonia, diare,
malnutrisi
b. Kemampuan mengenali dan menangani kegawatdaruratan pada bayi
c. Sistem rujukan yang baik
d. Transportasi bayi sakit
3. Upaya promotif
Pemantauan tumbuh kembang anak secara berkelanjutan dengan menggunakan Buku KIA.
Upaya preventif
a. Pencegahan pernikahan usia anak
Pada tahun 2018 di Indonesia, 1 dari 9 perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18
tahun, lazim disebut perkawinan anak. Perkawinan usia anak berkontribusi terhadap kelahiran BBLR
(BBL <2500 gram), kelahiran prematur, kelainan bawaan, stunting di kemudian hari, dan kematian
bayi. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya telah terbit UU Nomor 16 tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perkawinan pada 14 Oktober 2014
yang menetapkan usia minimal baik pria maupun wanita untuk menikah adalah 19 tahun. Oleh sebab
itu, seluruh pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk mencegah perkawinan anak karena
seharusnya usia anak merupakan masa bagi perkembangan fisik, emosional, dan sosial sebelum
memasuki masa dewasa.
ASI eksklusif
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa pemberian ASI saja tanpa tambahan apapun selama 6
bulan pertama (ASI eksklusif) dapat memenuhi semua kebutuhan nutrisi bayi setidaknya sampai bayi
berusia 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dapat mencegah penyakit infeksi
seperti diare dan saluran pernafasan, serta menyediakan nutrisi dan cairan yang dibutuhkan bayi untuk
mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Data dari SDKI 2017 menunjukkan 52%
anak berumur di bawah 6 bulan mendapatkan ASI eksklusif.
Berdasarkan survei SDKI 2017, Persentase Praktik Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) pada
anak 6-23 bulan yang sesuai rekomendasi meningkat dari 37 persen (SDKI 2007) menjadi 40 persen
(SDKI 2017) dengan variasi makanan terlihat pada Gambar 3. Edukasi mengenai rekomendasi PMBA
terus dilakukan, salah satunya melalui media Buku KIA.
Gambar 4. Praktik Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA), SDKI 2017
Suplementasi Vitamin A
Vitamin A berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh anak. Kekurangan vitamin A dapat
menambah keparahan penyakit infeksi, seperti campak dan diare, dan memperlambat proses
penyembuhan penyakit. Pada kasus yang berat, kekurangan vitamin A dapat menyebabkan gangguan
penglihatan dan kebutaan. Vitamin A diberikan pada anak usia 6 – 59 bulan, dengan dosis 100.000 IU
untuk usia 6 - 11 bulan, dan 200.000 untuk usia 12 – 59 bulan yang diberikan pada Bulan Februarui
dan Agustus. Menurut data dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, 2020, jumlah anak yang
telah mendapat suplementasi Vitamin A adalah 78,7%.
c. Imunisasi
Upaya imunisasi di Indonesia yang telah dilakukan sejak tahun 1970-an pada bayi dan anak merupakan
program untuk memenuhi Konvensi Hak Anak yang diberlakukan sejak 2 September 1990 oleh PBB.
Konvensi Hak Anak meliputi hak atas keberlangsungan hidup (survival), hak untuk berkembang
(development), hak atas perlindungan (protection), dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat (participation). Maka sebagai upaya nyata, pemerintah bersama orangtua mempunyai
Beberapa reaksi KIPI yang digolongkan berat, diantaranya kejang, trombositopenia, hypotonic
hyporesponsive episode (HHE), persistent inconsolable screaming (menangis dan menjerit terus-menerus
dan tidak dapat ditenangkan) umumnya bersifat transient, self-limiting, dan tidak menimbulkan
masalah jangka panjang. Selain itu, terdapat pula risiko syok anafilaksis yang berpotensi fatal, namun
apabila dapat dideteksi dan diatasi dengan segera, maka dapat sembuh tanpa efek jangka panjang.
Ensefalopati dapat terjadi akibat imunisasi campak atau DPT.
Dalam pencatatan dan pelaporan KIPI perlu dilengkapi data sebagai berikut:
1. Riwayat imunisasi terdahulu, apakah pernah mengalami KIPI serius (misalnya syok anafilaksis).
Jika ya, apa jenis imunisasinya dan kapan
2. Waktu gejala klinis yang timbul; hari, tanggal, dan jam terjadinya KIPI, timbul cepat atau
lambat, lokal atau sistemik, waktu antara imunisasi dan awal timbulnya gejala.
3. Riwayat penyakit; di mana berobat, rawat jalan atau rawat inap. Apakah ada pemeriksaan
penunjang yang dilakukan dan apa hasilnya, apakah pasien hidup, meninggal, atau cacat
e. Pengetahuan orangtua yang baik mengenai upaya pencegahan sakit pada anak dan
penanganan saat sakit (pemanfaatan Buku KIA)
Sebagai orang terdekat dengan anak, maka orangtua yang pertama kali dapat memantau pertumbuhan
perkembangan anak, mengenali anak sakit, memberikan tata laksana awal, serta memutuskan kapan
anak perlu dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Buku KIA revisi terakhir pada tahun
2020 telah menyediakan seluruh informasi penting tersebut. Pada Buku KIA 2020 terdapat:
- Riwayat kelahiran, termasuk informasi jenis kelahiran, berat badan lahir, panjang badan lahir,
lingkar kepala lahir, Inisiasi Menyusui Dini (IMD), pemberian vitamin K1, pemberian imunisasi
polio oral dan Hepatitis B, apakah sudah dilakukan skrining hipotiroid kongenital, serta
pelayanan kesehatan neonatus melalui kunjungan KN1 (usia 6-<48 jam), KN2 (usia 3 - 7
hari), KN3 (usia 8 - 28 hari).
- Pelayanan imunisasi dasar dan lanjutan
- Kurva pertumbuhan WHO (grafik berat badan memurut umur, grafik panjang/tinggi badan
menurut umur, grafik lingkar kepala, grafik IMT untuk usia 5-6 tahun)
- Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan (tenaga kesehatan memplot hasil pengukuran
antropometri dan menatalaksana segera sesuai Permenkes Standar Antropometri Anak)
- Pelayanan SDIDTK (Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak)
- Praktik Pemberian Makan Bayi, pemberian vitamin A dan obat cacing
- Ringkasan pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan pelayanan dokter
- Kelas ibu Balita (memuat informasi penting mengenai pola asuh, imunisasi, gizi, tumbuh
kembang, perawatan bayi, serta penyakit yang sering ditemukan)
- Pola asuh sesuai tahapan usia
- Perawatan bayi baru lahir dan neonatus (0-28 hari)
- Kondisi, pemantauan kesehatan, serta tanda bahaya pada bayi baru lahir dan neonatus
- Kondisi, pemantauan kesehatan, gizi, perawatan bayi dan anak sampai usia 6 tahun
- Kesehatan lingkungan (air bersih, udara bersih, jamban sehat, hindari gigitan nyamuk,
membersihkan sampah, menjaga kebersihan perlengkapan makan dan minum, cara memasak
menerapkan prinsip kunci keamanan pangan, dll)
- Keselamatan lingkungan (upaya menghindari risiko jatuh, luka bakar dan bahaya listrik, infeksi,
kekurangan nafas, bahaya tenggelam)
- Perlindungan anak, bagaimana melindungi anak dari kekerasan fisik, psikis, dan kejahatan
seksual
- Anak dengan disabilitas
- Perawatan anak sakit (tata laksana awal anak sakit serta tanda bahaya pada bayi dan anak)
- Kesiapsiagaan dalam situasi bencana
Berdasarkan Data Riskesdas 2018, pemanfaatan Buku KIA baru sekitar 65,9%. Oleh sebab itu, upaya
sosialisasi dan pemanfaatan Buku KIA baik oleh orangtua, kader, dan tenaga kesehatan harus terus
ditingkatkan.
Pneumonia
Berdasarkan Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia yang dirilis oleh Pusdatin Kemenkes pada
tahun 2020, dengan prevalens pneumonia sebesar 3,55%, diperkirakan ada sekitar 885.551 balita
mengalami pneumonia di seluruh Indonesia pada tahun 2019 dengan angka CFR (case fatality rate)
0,07. Diagnosis pneumonia ditegakkan secara klinis (WHO; peningkatan laju napas/napas cepat dan
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara
berkembang). Pemeriksaan penunjang berupa pengukuran kadar saturasi oksigen dengan oxymeter
dan foto toraks bila tersedia. Pasien dengan saturasi oksigen <92% pada saat bernapas dengan udara
kamar harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk
mempertahankan saturasi oksigen >92%. Antibiotik untuk community acquired pneumonia adalah yaitu
ampisilin dan gentamisin, atau cefotaksim harus tersedia di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Sebagai
upaya menurunkan Angka Kematian Bayi maka ketersediaan SDM yang kompeten dan terampil, alat
penunjang diagnosis (diantaranya oxymeter), serta ketersediaan oksigen dan antibiotik harus dijaga
dan terjamin berfungsi baik. Pembahasan lebih lanjut mengenai pneumonia akan dijelaskan pada
modul terpisah.
Diare
Menurut data Riskesdas 2018, prevalens diare adalah sebesar 8%. Diare merupakan penyebab
kematian tertinggi akibat infeksi kedua di dunia dan di Asia Tenggara pada anak balita (diluar
neonatus) setelah pneumonia yaitu sebesar 10%. Prinsip dari tatalaksana diare pada balita adalah
LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare):
1. Berikan Oralit
2. Berikan Seng selama 10 hari berturut-turut
3. Teruskan ASI – makan
4. Berikan antibiotik secara selektif
5. Berikan nasihat pada ibu/ keluarga
Pengobatan dengan pemberian oralit dan zinc terbukti efektif dalam menurunkan tingginya angka
kematian akibat diare sampai 40%. Hasil SDKI 2017 menunjukkan masih ada 11% balita diare yang
tanpa pengobatan. Selain itu, pemakaian oralit dan zinc dalam pengobatan diare masih sangat rendah,
dimana untuk oralit sebesar 36% dan zinc sebesar 37%.
Sepsis
Menurut data global WHO, sekitar 60-80% kematian bayi terkait dengan 5 infeksi berat yaitu;
pneumonia, malaria, campak, sepsis neonatal, dan diare. Kisson dkk. pada tahun 2011 membuat
suatu piramida intervensi sebagai upaya penurunan angka kematian terkait sepsis seperti terlihat
pada Gambar 7.
Upaya promotif
Untuk surveilans perkembangan, kegiatan dimulai dengan pengamatan orangtua terhadap perkembangan
anaknya berdasarkan milestone seperti yang terdapat pada Buku KIA 2020 (Gambar 6 - 9). Apabila ada
kecurigaan masalah perkembangan, orangtua membawa ke petugas kesehatan untuk selanjutnya
dilakukan skrining dan apabila terdapat masalah, maka perlu dilakukan assessment untuk mengevaluasi
secara komprehensif sehingga dapat dibuat perencanaan penanggulangan selanjutnya. Untuk membantu
pelaksanaanya, petugas kesehatan dapat menggunakan Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan
Kelainan Tumbuh Kembang Balita, Kementerian Kesehatan 2010 dan Buku Pedoman Pelaksanaan
Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar,
Kementerian Kesehatan 2010.
1. Badan Kependukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan Pusat Statistik, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, USAID. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. 2017
2. Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar. 2018
3. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indoneisa. Data dan Informasi Profil
Kesehatan Indonesia. 2019
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku KIA: Kesehatan Ibu dan Anak. 2020.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Bagan MTBS. 2018.
6. Badan Pusat Statistik, Kementerian PPN. Pencegahan perkawinan anak: percepatan yang tidak bisa
ditunda. Diunduh dari https://www.unicef.org/indonesia/media/2851/file/Child-Marriage-Report-
2020.pdf
7. Rekomendasi IDAI tentang air susu ibu dan menyusui, 2010. Diunduh dari
https://www.idai.or.id/professional-resources/rekomendasi/rekomendasi-ikatan-dokter-anak-
indonesia-mengenai-air-susu-ibu-dan-menyusui
8. Vitamin A supplementation in infants and children 6-59 months of age. WHO recommendation.
Diunduh dari https://www.who.int/elena/titles/guidance_summaries/vitamina_children/en/
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pekan Imunisasi Dunia 2015: Menutup senjang imunisasi. 2015.
10. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hadinegoro SR, Pusponegoro HD, Soedjatmiko,
Oswari H, penyunting. Panduan imunisasi anak: Mencegah lebih baik daripada mengobati. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 2014.
11. Hadinegoro SR. Aktivitas surveilans Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Dalam Widodo AR,
Debora, Surya D, Waiman E, Tumbelaka I, Wigati R, penyunting. Meningkatkan kualitas hidup anak:
Materi program online symposium IDAI. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2014.
12. Kisson N, Carcillo JA, Espinosa V, Argent A, Devictor D, Madden M. World Federation of Pediatric
Intensive Care and Critical Care Societies: Global Sepsis Initiative. Pediatr Crit care Med.
2011;12:494-502.
13. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Modul peningkatan kapasitas bagi dokter umum dalam
pelayanan kesehatan ibu dan anak di 120 kab/kota lokus percepatan penurunan AKI dan AKB. 2020.
14. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi, dan intervensi
dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2016.
2. Pernyataan yang salah terkait syarat pemberian MPASI yang baik adalah:
A. Tepat waktu
B. Adekuat
C. Aman
D. Diberikan dengan cara yang benar
E. Membiarkan anak memilih makanannya
3. Seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 2 bulan dibawa ibunya ke Posyandu pada bulan Agustus
untuk menerima supplementasi vitamin A. Berapakah dosis yang diberikan untuk anak tersebut?
A. 10.000 IU
B. 50.000 IU
C. 100.000 IU
D. 150.000 IU
E. 200.000 IU
4. Air susu ibu merupakan makanan terbaik untuk bayi. Berikut adalah alasan kenapa ASI sangat
penting untuk bayi, kecuali:
A. Produksi ASI sesuai dengan kebutuhan bayi
B. ASI menyebabkan bayi tidak mudah terinfeksi
C. Zat gizi dalam ASI membutuhkan waktu lama untuk dicerna
D. ASI ibu yang sehat steril dan tidak ada kuman
E. ASI mempererat bonding antara ibu dan bayi
5. Menurut World Health Organization (WHO), inisiasi menyusui dini (IMD) adalah:
A. Menyusu dalam 1 jam setelah kelahiran
B. Menyusu setelah 1 jam setelah kelahiran
C. Menyusu pertama dalam waktu 24 jam setelah kelahiran
D. Menyusu pertama kali yang dilakukan oleh bayi
E. Kontak yang dilakukan bayi dan ibu dalam proses menyusui
6. Salah satu imunisasi wajib yang diberikan <24 jam kepada bayi yang baru lahir adalah:
A. BCG
B. Hepatitis B
C. DPT
D. Polio
E. MR
8. Salah satu reaksi lokal yang merupakan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi adalah:
A. Demam
B. Ruam
C. Konjungtivitis
D. Bengkak di tempat suntikan
E. Pembengkakan kelenjar limfe
9. Data yang perlu dilengkapi dalam melakukan pencatatan dan pelaporan KIPI, kecuali:
A. Riwayat imunisasi terdahulu
B. Jenis imunisasi yang diberikan
C. Gejala klinis yang timbul
D. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
E. Imunisasi orang tua
10. Salah satu pemantauan perkembangan bayi yang sesuai untuk bayi berusia 7 bulan adalah:
A. Bayi bisa mengangkat badannya ke posisi berdiri
B. Bayi bisa berbalik dari telungkup
C. Bayi bisa mengangkat kepala mandiri hingga 45 derajat
D. Bayi bisa duduk secara mandiri
E. Bayi bisa menirukan bunyi yang didengar
Anak B, perempuan dibawa ibunya ke Puskesmas pada tanggal 4 Oktober 2020. tanggal lahir anak 2 April
2020. Ibu mengatakan bayi BAB cair sejak kemarin dengan frekuensi + 3x/ hari. Tidak rewel, darah (-),
lendir (-), busa (-). Masih mengkonsumsi ASI saja sejak lahir dari ibunya. Dan tidak terjadi perubahan
pola menyusui dibanding biasanya. Dari catatan imunisasi Buku KIA, terlihat bahwa :
- Telah mendapat Hepatitis B0 + bOPV 0, BCG, Pentavalent 1 + bOPV, sesuai usia
- Dari plotting KMS pada tanggal 2 September 2020, terlihat berat anak 6,7 kg
Pemeriksaan:
➢ Umur 6 bulan
➢ BB: 7 kg, TB: 60 cm
➢ Tampak normal, composmentis;
➢ Suhu: 36,5 C, RR= 39 x/m; N: 100 x/m
➢ Cubitan kulit perut kembali dengan cepat
➢ Mata tidak cekung
➢ Tanda dehidrasi tidak ada
➢ Kelenjar getah bening tidak teraba membesar,
➢ sklera tak ikterik
Pertanyaan:
1. Pelayanan promotif preventif apa saja yang seharusnya sudah diterima anak pada usia tersebut ?
2. Tata laksana apa yang diterima anak dan keluarganya pada hari tersebut?
Tujuan
- Dapat melakukan diagnosa dan tata laksana pneumonia
- Dapat mengetahui kasus rujukan pneumonia
- Dapat melakukan stabilisasi pra-rujukan pneumonia
Pendahuluan
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstitial. Pneumonia
didiagnosis berdasarkan gejala dan tanda klinis. World Health Organization (WHO) membuat klasifikasi
pneumonia berdasarkan adanya gejala batuk disertai adanya napas cepat dengan atau tanpa tarikan dinding
bagian bawah ke dalam (TDDK).
Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara terutama di negara
berkembang termasuk Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab kematian utama pada anak usia <5
tahun, dan diperkirakan 920.000 anak meninggal/tahunnya disebabkan pneumonia. Kejadian pneumonia
pada anak <5 tahun di dunia diperkirakan 0.22 episode tiap anak/tahun, 11.5% membutuhkan perawatan
di rumah sakit. Berdasarkan laporan Subdit ISPA tahun 2017 insiden pneumonia di Indonesia sebesar
20.54/1000 balita.
Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia, antara lain virus, jamur, dan bakteri.
S. pneumoniae merupakan penyebab tersering pneumonia bakterial pada semua kelompok umur. Virus
lebih sering ditemukan pada anak kurang dari 5 tahun. Respiratory Syncytial Virus (RSV) merupakan virus
penyebab tersering pada anak kurang dari 3 tahun. Pada umur yang lebih muda, adenovirus, parainfluenza
virus, dan influenza virus juga ditemukan. Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia pneumonia, lebih sering
ditemukan pada anak-anak, dan biasanya merupakan penyebab tersering yang ditemukan pada anak lebih
dari 10 tahun. Penelitian di Bandung menunjukkan bahwa Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus
epidermidis merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada apusan tenggorok pasien pneumonia
umur 2-59 bulan. Penyebab pneumonia pada anak dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Etiologi Pneumonia berdasarkan Usia
Usia Etiologi
Neonatus Streptokokus grup B, Escherichia coli, bakteri batang Gram negatif, Streptococcus
(<3 minggu) pneumoniae, Haemophilus influenza tipe b,* nontypeable)
3 minggu-3 Respiratory syncytial virus (RSV), Virus lain (rhinovirus, parainfluenza virus, influenza
bulan virus, human metapneumovirus (HMPV), adenovirus), S. pneumoniae, H. influenza (tipe
b,* nontypeable); jika pasien tidak panas pertimbangkan Chlamydia trachomatis
4 bulan-4 Respiratory syncytial virus (RSV), Virus lain (rhinovirus, parainfluenza virus, influenza
tahun virus, HMPV, adenovirus), S. pneumoniae, H. influenza (tipe b,* nontypeable);
Mycoplasma pneumoniae, Streptokokus grup A
≥5 tahun M. pneumoniae, S. pneumoniae, Chlamydophila pneumoniae, H. influenza (tipe b,*
nontypeable), influenza virus, adenovirus, virus lain, Legionella pneumophila
*: H. influenza tipe b jarang pada anak yang sudah mendapat imunisasi
Sumber: Kelly MS, Sandora TJ. Community-acquired pneumonia. Community-aquired pneumonia.
Nelson textbook of Pediatcs. 2019.
Diagnosis
Anamnesis
- Batuk produktif
- Sesak napas
- Demam
- Kesulitan makan/minum
- Tampak lemah
- Penyakit bersifat akut
Pemeriksaan Fisis
- Penilaian keadaan umum anak, frekuensi napas, dan pemeriksaan nadi harus dilakukan pada saat awal
pemeriksaan. Penghitungan frekuensi napas dilakukan pada saat anak tenang/tidak menangis
- Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan makan/minum
- Gejala distres pernapasan seperti napas cepat, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK),
batuk, krepitasi/crackles, dan penurunan suara paru
- Tanda hipoksemia berupa desaturasi (ditandai dengan saturasi oksigen ≤92%) dan adanya sianosis
- Demam
- Adanya tanda bahaya pada anak: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun atau kesukaran
dibangunkan, stridor yang terdengar pada waktu anak tenang, gizi buruk, dan sianosis
- Pneumonia berat ditandai dengan: saturasi oksigen <90% dengan pulse oksimetri atau adanya sianosis
sentral, distres napas berat (grunting, tarikan dinding dada berat), dan adanya tanda bahaya
- Napas cepat: <2 bulan: ≥60 kali/menit; 2-11 bulan: ≥50 kali/menit; 1-5 tahun: ≥40 kali/menit.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi
- Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada anak dengan infeksi saluran napas
bawah akut ringan tanpa komplikasi
- Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita pneumonia yang dirawat inap
- Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan adanya kecurigaan terjadinya
komplikasi, gejala yang menetap atau memburuk, atau tidak respons terhadap antibiotik
- Pemeriksaan foto dada tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab
- Gambaran foto toraks pada pneumonia dapat berupa infiltrat (alveolar dan interstitial), konsolidasi,
maupun adanya komplikasi berupa efusi pleura
Pemeriksaan Laboratorium
- Hasil lekosit, kadar C-reactive protein (CRP), dan prokalsitonin yang tinggi sering dihubungkan
dengan penyebab bakteri
- Pemeriksaan sputum sulit dikerjakan pada anak dan tidak menggambarkan bakteri penyebab
pneumonia. Pemeriksaan cairan pleura (termasuk kultur) bila didapatkan efusi pleura. Pemeriksaan
kultur darah dilakukan pada pasien yang dirawat terutama pada pneumonia dengan komplikasi atau
tidak berespon terhadap terapi yang diberikan
Pemeriksaan Lain
- Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia, seharusnya dilakukan pemeriksaan pulse
oxymetry.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, temuan pada pemeriksaan fisis
Klasifikasi
WHO penggunaan peningkatan laju napas/napas cepat dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
(TDDK) untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang.
Klasifikasi pneumonia (berdasarkan WHO):
• Bayi kurang dari 2 bulan
o Pneumonia berat: napas cepat atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat
(TDDK kuat)
o Pneumonia sangat berat:
▪ tidak mau menetek/minum
▪ kejang
▪ penurunan kesadaran
▪ demam
▪ tangan dan kaki dingin
▪ stridor
▪ wheezing
▪ gizi buruk
Pada Anak:
- Saturasi oksigen ≤92%, sianosis
- Frekuensi napas ≥50 x/menit
- Distres pernapasan ditandai dengan TDDK
- Grunting
- Tanda bahaya
- Terdapat tanda dehidrasi
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Pemberian Antibiotik
• Amoksisilin dosis 80 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis merupakan pilihan pertama untuk antibiotik
oral pada anak <5 tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan
pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik, dan murah. Bila diduga penyebabnya adalah
mycoplasma pneumonia dapat diberikan makrolid seperti Eritromisin, Azitromisin, dan
Klaritromisin
• M. pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotik golongan makrolid
seperti Eritromisin, Azitromisin, dan Klaritromisin diberikan sebagai pilihan pertama secara
empiris pada anak >5 tahun
• Makrolid seperti Eritromisin, Azitromisin, dan Klaritromisin diberikan jika M. pneumoniae atau
C. pneumonia dicurigai sebagai penyebab
• Amoksisilin dosis 80 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis diberikan sebagai pilihan pertama jika S.
pneumoniae sangat mungkin sebagai penyebab.
• Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan Cloxacillin/Oxacillin
Bila klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan antibiotik golongan yang sama
dengan antibiotik intravena sebelumnya. Antibiotik dapat diberikan 7-10 hari.
Nutrisi
a. Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral harus dihindari. Makanan
dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau Orogastric tube (OGT) atau intravena. Tetapi harus
diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak dengan ukuran
lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya menggunakan ukuran yang terkecil atau dapat
menggunakan OGT.
b. Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami overhidrasi karena pada
pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik.
Kriteria pulang
• Gejala dan tanda pneumonia menghilang
• Asupan per oral adekuat
• Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral)
• Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
• Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah
Komplikasi
Necrotizing pneumonia, efusi pleura, empiema, abses paru, perikarditis, endokarditis, bakteremia,
meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis.
Pencegahan
Imunisasi DPT, Haemophilus influenza tipe b, pneumokokus, campak, influenza. Pencegahan lain dengan
pemberian nutrisi yang adekuat untuk mencegah dan mengobati malnutrisi, serta pemberian ASI eksklusif.
2. Klasifikasi pneumonia berat pada anak usia 2 bulan sampai 59 bulan menurut WHO:
A. Ditemukan adanya batuk dan panas badan
B. Ditemukan batuk dan napas cepat
C. Ditemukan panas dan napas cepat
D. Ditemukan napas cepat dan tarikan dinding dada
E. Ditemukan napas cepat, tarikan dinding dada dan tidak dapat minum
Tujuan
- Dapat melakukan diagnosa dan tata laksana tuberkulosis pada anak
- Dapat mengetahui kasus rujukan tuberkulosis pada anak
- Dapat melakukan stabilisasi pra-rujukan tuberkulosis pada anak
Pendahuluan
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik
sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya
merupakan lokasi infeksi primer. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang sudah sangat lama dikenal
manusia, setua peradaban manusia. Pada awal penemuan obat antituberkulosis (OAT), timbul harapan
penyakit ini akan dapat ditanggulangi. Namun dengan perjalanan waktu terbukti penyakit ini tetap menjadi
masalah kesehatan yang sangat serius, baik dari aspek gangguan tumbuh-kembang, morbiditas, mortalitas,
dan kecacatan. Dengan meluasnya kasus HIV-AIDS, tuberkulosis mengalami peningkatan bermakna
secara global. Indonesia menduduki peringkat ke-tiga dunia dari jumlah total pasien TB setelah India dan
Cina. Namun dari proporsi jumlah pasien dibanding jumlah penduduk, Indonesia menduduki peringkat
pertama. TBC anak yang tidak mendapat pengobatan yang tepat akan menjadi sumber infeksi TBC pada
saat dewasanya nanti.
Perlu ditekankan sejak awal adanya perbedaan antara infeksi TBC dengan sakit TBC. Infeksi TBC
relatif mudah diketahui, yaitu dengan berbagai perangkat diagnostik infeksi TBC, misalnya uji tuberkulin.
Seseorang (dewasa atau anak) yang positif terinfeksi TBC (uji tuberkulin positif) belum tentu menderita
sakit TBC. Pasien sakit TBC perlu mendapat terapi OAT, namun seseorang yang mengalami infeksi TBC
tanpa sakit TBC, tidak perlu terapi OAT. Untuk kelompok risiko tinggi, pasien dengan infeksi TBC tanpa
sakit TBC, perlu mendapat profilaksis.
Diagnosis
Anamnesis
Gejala umum dari penyakit TBC
• Berat badan sulit naik, menetap, atau malah turun dalam 2 bulan terakhir (kemungkinan masalah
gizi sebagai penyebab harus disingkirkan dulu dengan tata laksana yang adekuat)
• Demam ≥ 2 minggu (etiologi demam kronik yang lain perlu disingkirkan dahulu, seperti infeksi
saluran kemih (ISK), tifus, atau malaria)
• Pembesaran kelenjar getah bening superfisial terutama di daerah leher
• Keluhan respiratorik berupa batuk kronik lebih dari 2 minggu
Keluhan spesifik organ dapat terjadi bila TBC mengenai organ ekstrapulmonal, seperti:
• Gejala gastrointestinal seperti diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku atau
perut membesar karena cairan
Kelainan pada pemeriksaan fisis baru dijumpai jika TBC mengenai organ di luar paru
• TBC vertebra: gibbus, kifosis, paraparesis, atau paraplegia.
• TBC koksae atau TBC genu: jalan pincang, nyeri pada pangkal paha atau lutut.
• Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) multipel, diameter > 1 cm, tidak nyeri tekan, dan
konfluens (saling menyatu).
• Meningitis TBC: kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal lain.
• Skrofuloderma: Ulkus kulit dengan skinbridge biasanya terjadi di daerah leher, aksila, atau inguinal.
Pemeriksaan penunjang
• Uji tuberkulin: dengan cara Mantoux/uji purified Protein derivative (PPD)) yaitu penyuntikan 0,1 ml
larutan tuberculin/PPD secara intra kutan di bagian volar lengan 2.5 inci dari lipat siku dengan bevel
jarum menghadap ke atas pada sudut 5-15o. Bila suntikan benar akan terbentuk wheal berukuran 6-
10 mm, bila tidak terbentuk dapat diulang pada sisi lengan yang lain atau 5 cm dari tempat suntikan
pertama. Reaksi diukur 48-72 jam setelah penyuntikan. Indurasi transversal diukur dengan cara
palpasi atau metode Ballpoint pen Sokal (mentukan tepi lateral indurasi dengan menggunakan pena)
dan dilaporkan dalam mm berapapun ukurannya, termasuk cantumkan 0 mm jika tidak ada indurasi
sama sekali. Indurasi 10 mm ke atas dinyatakan positif, pada pasien imunokompromais positif bila ≥
5 mm. Uji tuberkulin positif menunjukkan adanya infeksi TBC dan kemungkinan TBC aktif (sakit
TBC) pada anak. Reaksi uji tuberkulin positif biasanya bertahan lama hingga bertahun-tahun walau
pasiennya sudah sembuh, sehingga uji tuberkulin tidak digunakan untuk memantau pengobatan TBC.
Bila diduga hasil negatif karena masih dalam masa inkubasi uji tuberkulin dapat diulang paling cepat
2 minggu setelah penyuntikan pertama
• Foto toraks antero-posterior (AP), dapat dilakukan lateral kanan bila dibutuhkan. Gambaran
radiologis yang sugestif TBC di antaranya: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi
segmen/lobus paru, milier, kavitas, efusi pleura, atelektasis, kalsifikasi, dan milier.
• Pemeriksaan mikrobiologik dari bahan bilasan lambung, induksi sputum, atau sputum, untuk mencari
basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung dan Mycobacterium tuberculosis dari biakan. Hasil
biakan positif merupakan diagnosis pasti TBC. Hasil BTA atau biakan negatif tidak menyingkirkan
diagnosis TBC
• Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) Pemeriksaan lain yang dapat mengonfirmasi kuman M.
tuberculosis sekaligus sensitifitasnya terhadap Rifampisin
• Pemeriksaan patologi dilakukan dari biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan lain yang dicurigai TBC
• Pemeriksaan serologi seperti PAP TB, ICT, Mycodot dan lain-lain, nilai diagnostiknya tidak
direkomendasikan
• Funduskopi perlu dilakukan pada TBC milier dan Meningitis TBC.
Pemeriksaan
Mikroskopis/tes cepat dahak
Ada akses foto rontgen toraks dan/atau Tidak ada akses foto ronthen toraks dan
uji tuberkulin*) uji tuberkulin
Sistem skoring
TBC anak
terkonfirmasi Ada kontak TBC Tidak Ada/tidak
TBC Anak klinis
bakteriologis paru** jelas kontak TBC
paru**
Pemantauan
Terapi
- Pemantauan dilakukan tiap 2 minggu pada fase intensif dan tiap 2 bulan pada fase lanjutan
- Respons klinis
Respons yang baik dapat dilihat dari perbaikan semua keluhan awal. Nafsu makan yang membaik,
berat badan yang meningkat dengan cepat, hilangnya keluhan demam, batuk lama, tidak mudah
sakit lagi. Respons yang nyata biasanya terjadi dalam 2 bulan awal (fase intensif). Bila diagnosis
TBC sudah tepat tetapi tidak ada perbaikan klinis dalam 1-2 bulan terapi, maka pikirkan
kemungkinan TBC resisten obat (RO)
- Evaluasi radiologis
Tidak dilakukan untuk mengevaluasi akhir pengobatan. Foto torak diulang dilakukan bila ada
perburukan klinis atau kemungkinan adanya komplikasi. Jika gambaran radiologis juga memburuk,
evaluasi kepatuhan minum obat, dan kemungkinan kuman TB resisten obat, atau over diagnosis
Jika timbul ikterus atau bilirubin >1.5 mg/Dl; SGPT ↑ ≥5× nilai batas atas normal tanpa gejala klinis; SGPT
↑ ≥3× nilai batas atas normal disertai dengan gejala klinis; SGPT ↑ dengan nilai berapapun di atas batas
normal sebelum diberikan terapi yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea, muntah; OAT
dihentikan, dan dilakukan uji fungsi hati (bilirubin dan transaminase). Bila ikterus telah menghilang dan
kadar transaminase <2x batas atas normal, reintroduksi dilakukan mulai dari Rifampisin 1/3 dosis naik
tiap 2 hari bila dosis penuh Rifampisin fungsi hati baik diberkan INH dosis 1/3 naik tiap 2 hari. Terapi
diberikan RH selama 9 bulan tanpa pirazinamid. Yang perlu diingat, reaksi hepatotoksisitas biasanya
muncul karena kombinasi dengan berbagai obat lain yang bersifat hepatotoksik seperti parasetamol,
fenobarbital, dan asam valproat.
Kecurigaan TBC RO adanya gejala TBC dengan salah satu atau lebih kriteria berikut:
1. Riwayat pengobatan TBC 6–12 bulan sebelumnya
2. Kontak erat dengan pasien TBC-RO (bisa kontak serumah, di sekolah, di tempat penitipan anak,
dsb.)
3. Kontak erat dengan pasien yang meninggal akibat TBC, gagal pengobatan TBC, atau tidak patuh
dalam pengobatan TBC
4. Tidak menunjukkan perbaikan (hasil pemeriksaan dahak dan atau kultur yang masih positif, gejala
tidak membaik atau tidak ada penambahan berat badan) setelah pengabatan dengan OAT lini
pertama selama 2–3 bulan.
Rekomendari TPT
- 6 atau 9 bulan INH setiap hari (6H/9H)
- 3 bulan Rifapentin + INH seminggu sekali (3HP 12 dosis)
- 3 bulan INH + Rifampisin setiap hari (3HR)
- 1 bulan Rifapentin + INH setiap hari (1HP)
- 4 bulan Rifampisin setiap hari (4R)
Bila selama TPT timbul gejala TBC, maka anak harus di evaluasi adanya sakit TBC, dan bila terbukti sakit
TBC maka TPT distop dan mulai pengobatan TBC
Bedah
▪ TBC paru berat dengan destroyed lung untuk lobektomi atau pneumektomi
▪ TBC tulang seperti spondilitis TBC, koksitis TBC, atau gonitis TBC
Tumbuh Kembang
Pertumbuhan pasien akan mengalami perbaikan nyata. Data berat badan dicatat tiap bulan dan
dimasukkan dalam grafik tumbuh untuk memantau pola tumbuh pasien selama menjalani terapi. Walau
berat badan belum mencapai ideal, namun pola grafiknya sudah menaik dan memasuki ‘pita’ di atasnya,
sudah dinilai sebagai respons yang baik.
TBC anak umumnya tidak menular, sehingga pasien TBC anak tidak perlu dikucilkan, agar tidak
mengganggu aspek kembang dan kejiwaan pasien.
Tabel 3 Obat yang lazim digunakan dalam terapi TBC pada bayi, anak, dan remaja
Dosis Dosis
Obat Sediaan Efek samping
mg/kg BB maksimal
Isoniazid Tablet 100 dan 10 (7-15) 300 mg Peningkatan transaminase,
(INH / H) 300 mg; sirup hepatitis, neuritis perifer,
100 mg/5 ml hipersensitivitas
Rifampisin Kapsul/tablet 15(10-20) 600 mg Urin/sekresi warna kuning,
(RIF / R) 150, 300, 450, mual-muntah, hepatitis, flu-
600 mg, sirup like reaction, trombositopenia
100 mg/ ml
Pirazinamid Tablet 500 mg 35 (30-40) 2g Hepatotoksisitas, atralgia,
(PZA / Z) hipersensitivitas
Etambutol Tablet 500 mg 20 (15-25) 1200 mg Neuritis optikal (reversibel),
(EMB / E) gangguan visus, gangguan
warna, gangguan sal cerna
Sumber: Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2016
1. Marais BJ, Schaaf HS. Tuberculosis in children. Cold Spring Harb Perspect Med. 2014;(4):1–21.
2. Nataprawira HM, Hannah RA, Kartika HH. Hospitalized pediatric antituberculosis drug induced
hepatotoxicity. Asian pacific J of trop disease. 2017;7(5):276─9.
3. Hatzenbuehler LA, Starke JR. Tuberculosis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor
NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-20. Philadhelpia: Elsevier; 2016.
hlm. 1095─115.
4. Highsmith HY, Stark JR, Mandalakas AM. Tuberculosis. Dalam: Wilmott RW, DeterdingR, Li A,
Ratjen F, Sly P, Zar HJ, Bush A, penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children.
Edisi ke-9. Philadhelpia: Elsevier; 2019. Hlm. 475─97.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku petunjuk teknis tuberkulosis anak. Jakarta:
Kemenkes RI; 2016.
6. WHO. Guidance for national tuberculosis programmes on the management of tuberculosis in
children. Second edition. 2014
7. WHO operation handbook on tuberculosis; Module 1: Prevention; Tuberculosis preventive
treatment, 2020
1. Anak P, usia 2 tahun 2 bulan, berat badan 12 Kg, didiagnosis TBC paru, hasil tes cepat molekular
(TCM) dari induksi sputum tidak ditemukan MTB. Pada fase intensif 2 bulan pertama anak P diberikan:
A. KDT anak fase intensif 1 tablet
B. KDT anak fase intensif 2 tablet
C. KDT anak fase intensif 21/2 tablet
D. KDT anak fase intensif 3 tablet
E. KDT anak fase intensif 4 tablet
2. Gambaran foto toraks yang sering ditemukan pada TBC anak adalah:
A. Milier
B. Efusi pleura
C. Bronkiektasis
D. Kavitas
E. Pembesaran KGB hilus
3. Pernyataan yang benar pada pasien TBC dalam pengobatan OAT mengalami ADIH:
A. Terdapat kenaikan SGOT/SGPT ≥3x normal tanpa gejala
B. Terdapat kenaikan SGOT/SGPT ≥3x normal dengan gejala
C. Terdapat Peningkatan Bilirubin serum >1,0 mg/dL
D. Reintroduksi dimulai dengan pemberian Isoniazid
E. Diberikan terapi RH selama 6 bulan
6. Anak S, usia 4 tahun, tinggal bersama pamannya yang BTA positif. Anak S sehat, tidak menunjukkan
gejala klinis TBC, maka tindakan paling tepat untuk anak S adalah:
A. Foto Rontgen dada
B. Uji Tuberkulin
C. BTA sputum dan Xpert MTB/Rif (TCM)
D. Observasi gejala
E. Profilaksis INH
9. Kartu pengobatan pasien TBC anak dalam pencatatan pelaporan adalah formulir:
A. TB 01
B. TB 02
C. TB 03
D. TB 05
E. TB 06
10. Pelacakan kontak terhadap anak dari ibu BTA positif, dalam pencatatan pelaporan TBC menggunakan
formulir:
A. TB 05
B. TB 06
C. TB 09
D. TB 10
E. TB 15
A, anak laki-laki 10 bulan dibawa ke IGD dengan keluhan sesak napas 1 hari, didahului demam dan
batuk sejak 3 hari sebelum ke RS. Keluhan tidak disertai mengi, mengorok, kebiruan pada bibir
dan ujung jari, kejang maupun penurunan kesadaran. Anak mulai sulit makan dan menyusu. Karena
keluhannya penderita sudah berobat ke dr umum, diberi obat panas dan obat batuk.
Ayah pasien diketahui menderita TBC paru BTA (+) dan sedang mendapat pengobatan TBC 1
minggu.
Anamnesis Tambahan:
• Anak lahir cukup bulan, spontan, BBL 3200 gram, panjang badan 49 cm
• Anak tidak dari bepergian, ayah supir bis antar kota, ibu tidak bekerja, keluarga tidak ada yang sakit
• Riwayat panas dan batuk ≥ 2 minggu tidak ada
• Riwayat imunisasi dasar lengkap, scar BCG ada
• BB bulan lalu 7 kg
• Pasien tinggal bersama ibu, ayah, 2 kakak (3 dan 6 tahun). Kakak sehat tidak ada keluhan
Pemeriksaan Fisik:
• BB: 7.5 kg, TB: 72.5 cm TB/U: -0.37, BB/TB -2.66 SD
• Tampak sakit berat, composmentis;
• RR= 68 x/m; S: 38,1oC; N: 140 x/m; CRT < 2”
• SpO2 room air 89%; dengan oksigen 1 lt/mnt/nasal: 97%
• Tanda dehidrasi tidak ada
• Kelenjar getah bening teraba 1 cm multiple bilateral,
• sklera tak ikterik, pernapasan cuping hidung tidak ada,
• perioral sianosis tidak ada, retraksi ada, pada auskultasi
• toraks didapatkan crackles, tidak dapatkan acrosianosis
Pemeriksaan Penunjang:
Pertanyaan
1. Sebutkan diagnosis pasien secara lengkap
2. Sebutkan dasar diagnosis tersebut
3. Sebutkan pemeriksaan tambahan lain pasien ini
4. Bagaimana penatalaksanaan kasus ini?
5. Bagaimana tata laksana pada keluarganya
A, anak laki-laki usia 13 bulan dibawa ke IGD dengan keluhan sesak napas 2 hari, disertai demam 2
minggu, batuk 3 minggu, berat badan turun 1 kilogram selama 2 bulan terakhir. Karena keluhannya
penderita sudah berobat ke dr umum, diberi antibiotik namun keluhan tidak berkurang.
Ayah pasien diketahui menderita TBC paru BTA (+) dan sedang mendapat pengobatan TBC 1 minggu.
Imunisasi dasar lengkap, scar BCG ada. Pasien tinggal bersama ibu, ayah, 1 kakak (3 tahun). Kakak sehat
tidak ada keluhan.
Pemeriksaan fisik: BB: 7.3 kg, TB: 72 cm BB/TB -2.8 SD, tampak sakit berat, composmentis; RR= 58
x/m; S: 38,1 C; N: 120 x/m; SpO2 room air 89%; Kelenjar getah bening tidak teraba membesar, sklera
tak ikterik, pernapasan cuping hidung tidak ada, retraksi ada, pada auskultasi toraks didapatkan crackles,
Hepar: 2 cm bac, Lien tidak teraba, dan tidak dapatkan acrosianosis.
Pemeriksaan Penunjang:
Hb 11 g/dL, L: 19.700/mm3, Ht: 36%, T: 420.000/mm3
DC: 0/0/2/70/25/3
CRP: 25 mg/dL
PPD: 11 mm
BTA -/-/-
TCM sputum: terdeteksi M. tuberculosis, sensitif Rifampisin
Tujuan
- Dapat melakukan diagnosa dan tata laksana diare akut
- Dapat mengetahui kasus rujukan diare akut
- Dapat melakukan stabilisasi pra-rujukan diare akut
Pendahuluan
Diare didefinisikan sebagai buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air
saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya tiga kali atau lebih) dalam satu hari. World Health Organization
(WHO) menyebutkan bahwa konsistensi tinja lebih penting dalam mendefinisikan diare dibandingkan
frekuensi buang air besar. Berdasarkan etiologinya, diare dapat dibagi menjadi diare cair dan diare
berdarah. Berdasarkan lama terjadinya diare, diare dibagi menjadi 2 yaitu diare akut apabila berlangsung
< 14 hari dan diare persisten atau diare kronis apabila berlangsung ≥ 14 hari.
Diare merupakan penyebab kematian tertinggi akibat infeksi kedua di dunia dan di Asia Tenggara
pada anak balita (diluar neonatus) pada tahun 2010 setelah pneumonia yaitu sebesar 10%. Di Indonesia,
menurut RISKESDAS 2007, diare menyebabkan kematian bayi (usia 29 hari – 11 bulan) sebesar 31,4%
dan pada anak usia 12 – 59 bulan sebesar 25,2%. Prevalensi tertinggi diare terjadi pada anak balita (1-4
tahun) yaitu 16,7%. Pada tahun 2030 diharapkan dapat mengurangi kematian balita menjadi 25 per 1000
kelahiran untuk meuwjudkan salah satu tujuan dari sustainable Development Goals (SDGs).
Penyebab infeksi utama diare umumnya adalah virus, bakteri dan parasit. Diare juga bisa
disebabkan oleh keracunan makanan atau terkait dengan pemberian antibiotik yang tidak tepat. Rotavirus
diperkirakan sebagai penyebab utama diare cair akut pada 20 – 80% anak di dunia. Berdasarkan kelompok
usia, Rotavirus merupakan penyebab terbanyak diare pada anak usia 6 – 18 bulan, Salmonella non
thypoidal pada bayi sejak lahir hingga usia 3 bulan, Shigella pada anak usia 1 – 7 tahun.
Diare ditularkan melalui cara fecal – oral yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar
atau kontak langsung dengan tangan penderita atau kontak tidak langsung melalui lalat (melalui 5F yaitu
faeces, flies, food, fluid, finger). Faktor risiko terjadinya diare adalah faktor perilaku dan faktor lingkungan.
Faktor perilaku antara lain tidak memberikan ASI, memberikan MPASI terlalu dini, menggunakan botol
susu yang tidak dibersihkan dengan benar, tidak menerapkan kebiasaan cuci tangan pakai sabun sebelum
makan, sebelum memberi ASI/ makan, setelah BAB dan setelah membersihkan BAB anak, dan
penyimpanan makanan yang tidak higienis. Faktor lingkungan antara lain ketersediaan air bersih yang tidak
memadai, kurangnya ketersediaan MCK dan kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk. Faktor-faktor
pejamu yang meningkatkan kerentanan seseorang anak terhadap diare antara lain gizi buruk, defisiensi
imun seperti HIV dan usia balita.
Pemeriksaan fisis
- Keadaan umum, kesadaran, tanda vital dan berat badan
- Tanda utama : keadaan umum sadar atau gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma, mata tampak normal
atau cekung, dan rasa haus ketika air atau ORS ditawarkan apakah normal atau tampak haus atau malas
minum/ tidak bisa minum, serta rasakan turgor kulilt abdomen ketika kulit di atas perut dicubit dan
dilepaskan apakah cubitan kembali cepat atau lambat atau sangat lambat (≥ 2 detik)
- Semua anak dengan diare harus diperiksa apakah didapatkan tanda dehidrasi dan diklasifikasikan status
dehidrasinya
- Adakah tanda-tanda invaginasi/ intususepsi yaitu anak tampak kesakitan, tinja hanya berupa lendir dan
darah (current jelly stool) dan teraba massa seperti sosis di perut.
Tata laksana
Prinsip dari tata laksana diare pada balita adalah LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare):
6. Berikan Oralit
7. Berikan Seng selama 10 hari berturut-turut
8. Teruskan ASI – makan
9. Berikan antibiotik secara selektif
10. Berikan nasihat pada ibu/ keluarga
1. Berikan Oralit
Oralit adalah campuran garam elektrolit yang terdiri atas Natrium Klorida (NaCl), Kalium Klorida
(KCl), sitrat dan glukosa. Oralit diberikan untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi sebagai pengganti
cairan dan elektrolit yang terbuang saat diare. Oralit atau cairan rehidrasi tambahan diberikan sesuai
dengan klasifikasi status dehidrasi, yaitu Rencana Terapi A untuk Diare Tanpa Dehidrasi, Rencana
Terapi B untuk Diare dDehidrasi Ringan/ Sedang dan Rencana Terapi C untuk Diare dengan Dehidrasi
Berat.
- Jika anak menginginkan oralit lebih banyak dari pedoman diatas, berikan sesuai dengan kehilangan
cairan yang sedang berlangsung.
- Oralit (oral rehydration solution/ ORS) atau cairan tambahan lain tetap diberikan setiap kali BAB
sampai diare berhenti sesuai rencana Terapi A untuk mencegah terjadinya dehidrasi yang
berulang
- Pasien dipantau di Puskesmas/ Rumah Sakit selama proses rehidrasi dan evaluasi kembali anak
setelah 3 jam (bila anak tidak bisa minum larutan oralit atau keadaannya terlihat memburuk,
periksa segera anak sebelum 3 jam)
- Jika anak masih mengalami dehidrasi sedang/ringan, ulangi pengobatan untuk 3 jam
berikutnya dengan ORS seperti di atas dan mulai beri anak makanan, susu atau jus dan berikan
ASI sesering mungkin
- Jika timbul tanda dehidrasi berat, lanjutkan ke Rencana Terapi C
- Jika jumlah ORS yang diminum tidak mencukupi karena anak kelelahan atau anak sama sekali
tidak bisa minum ORS karena muntah profus atau karena diare yang terjadi cepat dan terus
menerus seperti pada kolera (>15 – 20 ml/kg/jam) meskipun belum terjadi dehidrasi berat, dapat
diberikan cairan intravena Ringer Laktat atau Ringer Asetat (atau jika tidak tersedia, gunakan
cairan NaCl 0,9%) sebanyak 70 ml/kg BB dalam 2,5 jam untuk anak usia 12 bulan – 5 tahun atau
dalam 5 jam untuk bayi di bawah usia 12 bulan
- Jika terdapat tanda distensi abdomen dengan ileus paralitik atau tanda malabsorbsi glukosa
(ditandai dengan peningkatan tinja saat oralit diberikan atau kegagalan tanda-tanda membaik),
ORS tidak boleh diberikan meskipun dengan menggunakan pipa nasogastik (nasogastric tube/
NGT) tetapi rehidrasi harus diberikan secara intravena.
Seng harus diberikan selama 10 hari berturut-turut meskipun anak sudah tidak mengalami diare dan
diberikan pada semua kasus diare akut pada anak termasuk anak yang mengalami diare berdarah,
dengan dosis sebagai berikut :
Usia Dosis Seng
< 6 bulan 10 mg per hari (1/2 tablet per hari)
≥ 6 bulan 20 mg per hari (1 tablet per hari)
Seng banyak tersedia dalam bentuk tablet dispersible (tablet yang larut dalam air selama 30 detik)
dengan komposisi utamanya zinc sulfat, acetate atau gluconate yang setara dengan zinc elemental 20
mg. Seng tablet diberikan dengan cara melarutkan tablet pada 1 sendok air matang, ASI perah atau
larutan oralit pada bayi atau bisa dikunyah pada anak yang lebih besar. Seng juga tersedia dalam
bentuk sirup untuk mempermudah pemberian bagi anak dibawah 6 bulan.
Jika anak muntah sekitar setengah jam setelah pemberian seng, ulangi pemberian seng dengan cara
potong tablet menjadi lebih kecil dan kemudian dilarutkan beberapa kali hingga 1 dosis penuh. Seng
segera diberikan pada anak diare dengan dehidrasi berat setelah anak bisa minum atau makan
Langkah promotif/preventif :
- ASI tetap diberikan
- kebersihan perorangan, cuci tangan dengan sabun sebelum memberi ASI/ makan, sebelum
makan, setelah BAB dan setelah membersihkan BAB anak
1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas). Jakarta. 2007.
2. Direktorat jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Buku Saku Petugas Kesehatan : Lintas Diare. Jakarta. 2011.
3. Direktorat jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Panduan Sosialisasi Tata laksana Diare pada Balita. Jakarta. 2011.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1.
Jakarta: Badan Penerbit. 2009.
5. Shane Al, Mody RK, Crump JA, Tarr PI, Steiner TS, Kotloff K, dkk. Infectious Diseases Society of
America Clinical Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of Infectious Diarrhea.
Clinical Infectious Disease 2017;65(12):e45-e80.
6. UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Pelatihan Diare. Jakarta. 2009.
7. WHO Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO Indonesia.
2005.
8. WHO. The treatment of diarrhea: a manual for physicians and other senior health workers Child
Health/WHO. Geneva: WHO. 2005
5. Berapa banyak oralit yang diberikan pada anak usia 6 bulan dengan BB 6 kg yang datang dengan diare
dehidrasi ringan/sedang?
A. 300 ml dalam 3 jam
B. 300 ml dalam 4 jam
C. 450 ml dalam 3 jam
D. 450 ml dalam 4 jam
E. 600 ml dalam 6 jam
9. Nasihat yang harus diberikan kepada ibu/keluarga untuk membawa anak kembali ke Pusat Layanan
Kesehatan adalah, kecuali:
A. Anak buang air besar lebih sering
B. Anak muntah berulang-ulang
C. Anak buang air besar disertai darah
D. Anak tidak membaik dalam 5 hari
E. Anak sulit atau sedikit minum
Seorang anak laki-laki, 10 bulan, 10 kg, datang ke UGD karena ibu mengatakan anak dengan keluhan diare
sejak 2 hari yang lalu. Diare 6-7 kali/hari berupa cair, ampas sedikit, tidak ada lendir dan darah. Ibu pasien
juga mengeluhkan adanya muntah sejak 3 hari yang lalu, lebih dari 5 kali/hari, tetapi hari ini muntah sudah
berkurang. Anak tampak haus sejak pagi ini sehingga ibu membawa anaknya ke UGD karena khawatir.
BAK terakhir tidak diketahui, karena anak mengenakan pampers.
Saat di UGD, anak tampak rewel, menangis tanpa air mata dengan tanda vital laju napas 34 x/menit, detak
jantung 132 x /menit regular, temperatur 37,5°C. Mata dan ubun-ubun besar tampak cekung. Cubitan
kulit di perut kembali lambat (2 detik). Pemeriksaan lain dalam batas normal.
Urinalisis : Kuning orange/ BJ 1,020/ pH 7/ leukosit (-)/ nitrit (-)/ protein (-)/ glukosa (-)/ keton (-)/
bilirubin (-)/ urobilin (-)/ leukosit 0-1/ eritrosit 0-1
Analisis Feces : Warna kuning kehijauan, konsistensi cair, darah (-), lendir (-), bakteri (+), leukosit 0-
1/LPB, eritrosit -/LPB, jamur (-), telur cacing (-), larva (-), amoeba (-)
Tujuan
- Dapat mendefinisikan istilah stunting
- Dapat mendefinisikan istilah growth faltering atau at risk of failure to thrive
- Mengenal faktor risiko growth faltering
- Mengetahui teknik pengukuran berat dan panjang badan yang benar
- Dapat mem-plot dan menginterpretasikan hasil pengukuran tersebut
- Mengetahui kapah harus merujuk pasien
- Dapat memberikan konseling untuk anak dengan atau tanpa masalah gizi
- Mengerti tentang Permenkes No. 2 Tahun 2020
Pendahuluan
Lima tahun pertama kehidupan merupakan waktu yang penting untuk memastikan nutrisi dan
pertumbuhan yang memadai pada anak. Pemantauan pertumbuhan anak memungkinkan ibu dan orang
tua untuk mendapat informasi yang baik melalui pemberdayaan alat yang sederhana untuk memantau
pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Ini juga memungkinkan petugas kesehatan, untuk menilai
dan memantau pertumbuhan serta status gizi anak, sehingga petugas kesehatan dapat memberikan
intervensi dini jika ada kelainan.
3. Teknik pengukuran panjang badan (≤ 2 tahun atau pada usia lebih besar yang tidak dapat berdiri
sendiri). *TB = PB – 0,7cm
• Lepaskan sepatu, kaos kaki, topi dan aksesoris rambut lainnya
• Baringkan anak, dengan posisi terlentang
• Pastikan puncak kepala tepat berada pada bagian yang tdk bergerak stadiometer, vertikal
dengan Frankfrut plane (fiksasi dilakukan oleh asisten)
• Luruskan tungkai dan kaki anak dengan menekan kedua lutut dan gerakkan papan
stadiometer ke arah tumit.
• Ukur dan catat sampai dengan skala 0,1 cm terdekat
*secara umum, tinggi badan (yang diukur dengan berdiri) lebih rendah 0,7 cm daripada panjang badan
(yang diukur berbaring)
2. Interpretasi z-score
• Diatas +3
o BB/TB : Obese (gemuk)
o IMT/Umur : Obese (gemuk)
• +2 hingga +3
o BB/TB : Overweight (gizi lebih)
o IMT/Umur : Overweight (gizi lebih)
• -2 hingga +2
o TB/U : perawakan normal
o BB/U : berat badan normal
o BB/TB : gizi baik
o BB/TB +1 hingga +2 : berisiko gizi lebih
o IMT/Umur +1 hingga +2 : berisiko gizi lebih
• -2 hingga -3
o TB/Umur : Perawakan pendek
o BB/Umur : BB kurang
o BB/TB : Gizi kurang
o IMT/Umur : Gizi kurang
• Dibawah -3
o TB/Umur : Perawakan sangat pendek
o BB/Umur : BB sangat kurang
o BB/TB : Gizi buruk
o IMT/Umur : Gizi buruk
65 13-16 bulan 88
49 14-17 bulan 78
38 15-18 bulan 70
32 16-19 bulan 62
28 17-20 bulan 53
26 18-21 bulan 43
24 19-22 bulan 32
19 20-23 bulan 20
10 21-24 bulan 8
Catatan:
Untuk anak usia 0-60 bulan jika pada pemantauan pertumbuhan terjadi peningkatan berat badan diatas
grafik normal makan perlu dirujuk ke Puskesmas untuk memastikan kemungkinan adanya kenaikan massa
lemak tubuh (early adiposity rebound)
1. WHO. Training Course on Child Growth Assessment: Measuring a Child’s Growth. Geneva:
World Health Organization. 2008.
2. WHO. Training Course on Child Growth Assessment: Counselling on Growth and Feeding.
Geneva: World Health Organization. 2008.
3. UNICEF. Strategy for improved nutrition of children and women in developing countries. New
York: UNICEF. 1990.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan. 2020.
2. Tinggi Amir berada di antara -2 dan -3 z score grafik TB/U WHO 2006, maka Amir dapat
dikategorikan sebagai:
A. Perawakan normal
B. Perawakan pendek
C. Perawakan sangat pendek
D. Gagal tumbuh
E. Kerdil
3. Ali, usia 1 tahun, mempunyai IMT yang berada pada garis +3, maka Ali digolongkan sebagai:
A. Gemuk
B. Gizi lebih
C. Gizi normal, batas atas
D. Berisiko Gizi lebih
E. Belum dapat ditentukan
Kasus
Instruksi
Tujuan
- Mengetahui mengapa ASI yang paling baik
- Mengetahui cara menilai kecukupan ASI
- Mengetahui cara penyimpanan ASI
- Dapat memberikan tips untuk mendukung keberhasilan ASI
- Mengetahui kontra indikasi ASI untuk ibu dan bayi
- Mengetahui syarat ASI donor
- Memahami masalah nutrisi pada periode MPASI & faktor penyebabnya
- Memahami syarat dan komposisi MPASI yang baik
- Memahami evaluasi pemberian MPASI melalui monitoring pertumbuhan
Pendahuluan
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang diberikan secara benar
merupakan hal yang sangat penting untuk tumbuh kembang anak. Nutrisi yang tidak cukup atau berlebih
dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit dan masalah tumbuh kembang. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) merekemondasikan pemberian makan pada bayi dan balita sebagai berikut:
- ASI eksklusif selama 6 bulan
- Pemberian MPASI yang aman dan mengandung cukup zat gizi sejak bayi berusia 6 bulan sambil
melanjutkan ASI hingga usia 2 tahun atau lebih.
ASI Eksklusif
- Pemberian ASI sebagai makanan utama dan satu-satunya yang dikonsumsi bayi hingga usia 6 bulan,
tanpa pemberian makanan atau minuman lain, kecuali cairan rehidrasi oral atau obat-
obatan/vitamin/suplemen mineral.
- Inisiasi menyusui dini dimulai dalam 1 jam setelah bayi lahir.
- Bayi menyusui sesuai keinginannya – sebanyak yang bayi bisa, pagi atau malam hari.
- Tidak disarankan memakai botol, teats, atau pacifier.
Manfaat ASI
- Menjalin hubungan kasih saying antara ibu dan bayi.
- Manfaat psikologis dan emosional bagi ibu.
- Menunda kehamilan (kontrasepsi alami).
- Praktis karena ASI mudah diberikan dan lebih ekonomis.
- Mendukung tumbuh kembang anak, sebagai perlindungan (antibodi IgA).
Metode Menyusui
- Posisikan bayi, hidung menempel ke puting susu, tempelkan dagu ke payudara.
- Saat bayi membuka mulut, perlahan masukkan puting susu – usahakan payudara dibawah puting susu
masuk ke mulut bayi.
- Puting masuk terakhir setelah payudara, sehingga bayi menempel dengan lekat.
- Posisi menyusui: cradle position, cross-cradle position, football hold, laid-back position, side lying dan lainnya.
Sangat dianjurkan menyusui dengan berbagai posisi agar kelenjar susu terperah dengan sempurna
sehingga produksi meningkat
- Proses menyusui haruslah memberikan kenyamanan bagi ibu dan bayi.
Penyimpanan ASI
- Dibagi menjadi dua, susu segar (langsung dikonsumsi) atau susu yang sudah dicairkan (sudah
dibekukan dikulkas).
- Suhu penyimpanan ASI yang baru diperah:
o Suhu ruangan (kurang dari 25°C) = 4 jam
o Kotak pendingin (dengan 3 Ice Pack) = 24 jam
Kontraindikasi ASI
Pada ibu:
- Kontraindikasi absolut: HIV
- Kontraindikasi relatif: Lesi HSV, kemoterapi sitotoksik, obat psikoterapi, TB, Hepatitis C
- Memungkinkan: Mastitis, abses payudara, sakit berat, malnutrisi berat, penggunaan bahan
terlarang
Pada bayi:
- Kontraindikasi absolut: galaktosemia, defisiensi laktase kongenital
- Kontraindikasi relatif: Penyakit urin “Maple Syrup Disease”, fenilketonuria, beta oxidation
disorder.
- Memungkinkan: alergi protein.
Alternatif ASI
- ASI donor, susu formula
- Kriteria pendonor ASI
o Sehat fisik dan psikis
o Tidak mengkonsumsi obat-obatan atau suplemen herbal (kecuali: vitamin prenatal,
human insulin, hormon pengganti tiroid, semprot hidung, inhalasi asma, pengobatan
topikal, tetes mata, hormon KB progestin/estrogen dosis rendah).
o Bersedia menjalankan pemeriksaan darah untuk skrining infeksi
o Jumlah ASI masih mencukupi setelah menyusui bayinya.
- Dilarang mendonorkan ASI jika:
o Menggunakan obat-obatan terlarang
o Perokok
o Mengkonsumi alkohol rutin harian lebih dari 60 ml per hari
o Dirinya maupun pasangan seksualnya positif HIV, Hepatitis B, Hepatitis C, penyakit
menular seksual lainnya, atau memiliki risiko tinggi dalam kurun waktu 12 bulan
terakhir
o Menerima transfusi darah atau transplantasi organ dalam kurun waktu 12 bulan
terakhir
o Dalam pengobatan radioaktif atau obat-obatan lainnya yang berpotensi toksik terhadap
bayi dan diekskresikan melalui ASI.
o Mastitis/infeksi jamur area puting susu/areola
o Herpes simpleks/varicella zoster aktif area puting/payudara
Usia12-23 bulan
- Lanjutkan menyusu ASI hingga 2 tahun atau lebih
- Jumlah yang diberikan dapat mencapai ¾-1 mangkok ukuran 250ml
- Frekuensi pemberian 3-4 kali makan, 1-2 kali selingan
- Jumlah energi dari MPASI yang dibutuhkan per hari 550kkal
- Makanan yang diberikan sama dengan untuk orang dewasa. Tekstur makanan dapat masih
dicincang kasar atau diiris-iris. Perhatikan respons anak saat makan.
- Kebutuhan cairan: 1300ml/hari (± 5 gelas belimbing)
- Contoh bahan matang: nasi putih 55gr, semur hati ayam 45gr, bening/bobor bayam 20gr
Responsive Feeding
- Memberikan makan secara responsif adalah menyadari bahwa proses pemberian makan bukan
hanya sebagai nutrisi tetapi sebagai suatu ikatan cinta, kasih sayang, antara ibu dan anak dengan
memperhatikan sinyal/respon yang diberikan oleh anak kepada ibu/pengasuhnya yang memberi
makan.
- Manfaat:
o Membantu anak memiliki kebiasaan makan yang sehat
o Mengurangi risiko anak mengalami obesitas saat ia beranjak dewasa
o Membantu anak belajar cara makan secara mandiri
o Saat pemberian makan menjadi lebih mudah
o Meningkatkan jalinan kasih antara ibu dan anak
- Cara:
- Pastikan anak nyaman dan kurangi distraksi
- Awasi tanda-tanda anak lapar dan kenyang
- Respon berdasarkan tanda-tanda tersebut, contoh: hentikan menyuapi jika anak tampak
kenyang
- Fokus dalam memberikan suasana yang nyaman, memelihara, dan penuh kasih sayang.
- Tanda bayi lapar:
o Menggerakkan tangannya kearah mulut atau meletakkan benda ke mulutnya
o Root (menggerakkan kepalanya kearah apapun yang menyentuh wajahnya dan
membuka mulut)
o Membuat gerakan atau suara menyedot sesuatu
o Mengepalkan tangannya atau jari-jarinya diatas dada atau perut
o Fleksi tangan dan kaki
Keamanan Makanan
Lima kunci menuju makanan lebih aman:
- Jaga tangan, tempat persiapan, dan alat memasak selalu bersih.
- Pisahkan daging, unggas, dan makanan laut mentah, serta gunakan alat memasak yang berbeda.
- Masak makanan hingga sangat matang, terutama daging, daging unggas dan makanan laut.
- Jaga makanan pada suhu yang aman (di bawah 5°C atau di atas 60°C)
- Gunakan air dan alat memasak yang bersih.
1. WHO. Infant and young child feeding: model chapter for textbooks for medical students and
allied health professionals. World Health Organization. 2009.
2. UNICEF. Responsive feeding: supporting close and loving relationships. UNICEF 2016.
3. WHO/UNICEF. HIV and Infant Feeding Counseling: A Training Course. Geneva: World Health
Organization, WHO/FCH/CAH/00.2-6, 2000.
4. WHO/UNICEF. Complementary feeding of young children in developing countries: a review of
current scientific knowledge. World Health Organization, WHO/NUT/98.1.1998.
5. AAP. Is Your Baby Hungry or Full? Responsive Feeding Explained. 2017.
www.healthychildren.org/English/ages-stages/baby/feeding-nutrition/Pages/Is-Your-Baby-Hungry-
or-Full-Responsive-Feeding-Explained.aspx.
6. Kemenkes. Buku KIA ibu dan anak. Jakarta: Kemenkes, 2020.
2. MPASI harus diberikan tepat waktu. Apakah maksud dari pernyataan tersebut?
A. MPASI harus diberikan saat 4 bulan
B. MPASI harus diberikan saat 6 bulan
C. MPASI harus diberikan secara dalam waktu 30 menit
D. MPASI harus diberikan apabila kebutuhan zat nutrien tidak dapat dipenuhi ASI
E. MPASI harus diberikan apabila berat badan mulai menurun dibanding teman seusianya
3. Manakah kondisi di bawah ini yang menandakan bahwa bayi sudah siap menerima makanan padat?
A. Bayi sudah dapat tersenyum
B. Bayi sudah mampu duduk sendiri
C. Bayi sudah dapat menggenggam makanan
D. Bayi sudah dapat menegakkan kepala walaupun duduk masih dibantu
E. Bayi sudah dapat memindahkan barang dari tangan kiri ke tangan kanan
4. Untuk bayi usia 9-12 bulan, berapakah rerata energi yang harus ditambahkan dalam bentuk MPASI?
A. 100 kkal/hari
B. 200 kkal/hari
C. 300 kkal/hari
D. 400 kkal/hari
E. 500 kkal/hari
Kasus
• Nisa, perempuan, 8 bulan, dikatakan mengalami gizi buruk oleh salah satu ibu kader dan diminta
datang ke Puskesmas
• Saat ini BB = 6,1 kg dengan PB = 65 cm. Berat badan sebelumnya berturut-turut 5,8 kg dan 6 kg
• Diketahui pola makan saat ini: Bubur susu atau bubur rumahan komersial 2-3x/hari, jika bubur
susu habis @ 1 sachet/kali, jika bubur saring @ ½ porsi/kali dengan 1x buah pisang atau alpukat
½ buah/kali.
• Hingga saat ini masih diberikan ASI
• Catatan: Berat lahir = 3000 gram, panjang = 49 cm, lingkar kepala = 33 cm
Instruksi
Tujuan
- Dapat mengenali kegawatdaruratan anak dengan metode pediatric assessment triangle (PAT) atau
segitiga asesmen gawat darurat anak (SAGA)
- Dapat melakukan triase dengan menggunakan SAGA dan evaluasi dengan pediatric early warning
system (PEWS) atau skor penilaian dini kegawatan anak (SADEWA)
- Dapat menentukan prioritas tatalaksana berdasarkan klasifikasi kegawatdaruratan
Langkah Triase Anak (dilakukan untuk penilaian awal status kegawatdaruratan anak)
Kondisi pasien dibagi menjadi 3 kategori: tanpa kegawatan (hijau), gawat tidak darurat (kuning), dan
gawat darurat (merah). Pasien label hijau tidak memerlukan tindakan kegawatan; namun harus
diperhatikan penyakit yang mendasari akan potensi adanya kegawatan. Bila ada potensi kegawatan,
pasien harus diobservasi di rumah sakit dan dievaluasi dalam jangka waktu tertentu. Pasien label kuning
dan merah memerlukan tindakan yang cepat untuk mencegah morbiditas dan mortalitas. Pasien label
kuning biasanya berada dalam tahap reversibel atau terkompensasi, sehingga diharapkan mengalami
perbaikan cepat. Pada kondisi ini diperlukan tindakan cepat dan observasi ketat untuk mencegah
penurunan kondisi. Bila stabilitasi dapat dicapai dengan cepat, prognosis adalah baik. Pasien label merah
seringkali berada dalam tahap ireversibel atau dekompensasi sehingga prognosis lebih buruk. Tindakan
cepat dan tepat diperlukan untuk mencegah mortalitas pada kelompok ini, namun dengan kemungkinan
kecacatan lebih besar.
Pengenalan dini dan cepat terhadap kegawatdaruratan pada anak dilakukan sejak pasien tiba, hanya
dengan cara melihat dan mendengar. Komponen yang dinilai adalah tampilan klinis anak yaitu kesadaran,
respirasi dan kardiovaskular, menggunakan metode SAGA, diikuti oleh primary survey dengan menilai
Airway, Breathing, Circulation, Disability dan Exposure (ABCDE).
Tampilan: Pernapasan:
Tonus Napas cuping hidung
Interaksi Retraksi dada
Kenyamanan Suara napas tambahan
Pandangan SAGA Posisi tubuh
Kekuatan bicara/ menangis
Sirkulasi:
Sianosis, pucat
Kutis marmorata
Bila menemukan satu atau lebih kelainan, berikan tindakan segera dan panggil bantuan.
2. Pernapasan
Karakteristik `
Suara napas Mengorok, parau, stridor, merintih, mengi
tambahan
Posisi tubuh Sniffing, tripoding, menolak berbaring
abnormal
Retraksi Supraklavikula, interkosta, substernal, head bobbing
Cuping Hidung Napas cuping hidung
3. Sirkulasi
Karakteristik Hal yang dinilai
Pucat Kulit atau mukosa tampak kurang merah karena kurangnya
aliran darah ke daerah tersebut
Mottling Kulit berbercak kebiruan akibat vasokontriksi
Sianosis Kulit dan mukosa biru
Dari hasil pemeriksaan ketiga komponen SAGA tersebut, kita dapat menyimpulkan apakah anak
tersebut dalam kondisi gawatdarurat atau tidak. Kesimpulan SAGA dapat dilihat pada Tabel 1 Triase
berdasarkan SAGA dapat dilihat pada Tabel 2.
Apabila dari hasil triase kita dapatkan pasien dalam kategori kuning atau merah kita harus segera
melakukan tatalaksana awal (letakkan pasien pada posisi nyaman dan beri oksigen, pada kondisi
kegagalan jantung-paru lanjutkan dengan bantuan hidup dasar anak (lihat modul Bantuan Hidup
Dasar Anak) sambil melanjutkan ke primary survey dengan memeriksa Airway, Breathing, Circulation,
Disability dan Exposure. Tatalaksana berdasarkan kesimpulan SAGA dapat dilihat dalam Tabel 3.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 100
Tabel 1 Kesimpulan dari SAGA
Komponen Stabil Gangguan Pernapasan Gangguan Gangguan Gagal
Sirkulasi SSP/ jantung-
Metabolik paru
Gawat Gagal Renjatan
Napas Napas
Penampilan Normal Normal Abnormal Abnormal Abnormal Abnormal
Upaya Normal Abnormal Abnormal Normal/ Normal Abnormal
Napas Abnormal
Sirkulasi Normal Normal Normal/ Abnormal Normal Abnormal
Abnormal
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 101
Gangguan Fisiologi Prioritas tatalaksana
Gangguan • Oksigen (sesuai kebutuhan)
SSP/metabolik • Pemeriksaan gula darah atau kemungkinan etiologi lainnya
• Pemeriksaan laboratorium dan radiologi sesuai indikasi
Kegagalan jantung- Ikuti algoritma Bantuan Hidup Dasar Anak
paru
Pada pasien dengan kategori kuning dan merah akan kita lanjutkan evaluasi berkala dengan
menggunakan SADEWA yang dilakukan secara berkala sesuai tingkat kegawatan (lihat Tabel 4)
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 102
Hasil Evaluasi SADEWA:
SKOR TATALAKSANA
0–2 Evaluasi SADEWA dan tanda vital setiap 4 jam, tata laksana
sesuai penyakit
3–4 • ulang SADEWA setiap 1 jam
• cek tanda vital setiap 2 jam
• rawat inap
• konsultasikan pada dokter spesialis anak.
Catatan:
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 103
Daftar Pustaka
1. Latief A, Pudjiadi A, Prawira Y, penyunting. Advanced pediatric resuscitation course. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2019.h.16-19.
2. Pudjiadi AH, Latief A. Bidiwardhana N. Buku ajar pediatrik gawat darurat. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 104
Studi Kasus
Anda seorang dokter jaga di puskesmas. Seorang anak perempuan, usia 5 tahun, berat badan 17 kg,
datang dengan keluhan sesak dan napas berbunyi sejak tadi malam. Dari penampakan anak masih terlihat
nyaman di pangkuan ibunya, didapatkan napas cuping hidung dan terdengar wheezing. Tidak pucat
ataupun biru. Apakah kesimpulan saudara dan tindakan apa yang akan anda lakukan?
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 105
Materi 8
Bantuan Hidup Dasar (BHD) pada Bayi dan Anak
Tujuan
- Mampu melakukan bantuan hidup dasar pada bayi dan anak
- Mampu melakukan tata laksana sumbatan jalan napas
Resusitasi jantung paru bertujuan untuk mempertahankan pernapasan dan sirkulasi agar oksigenasi dan
darah dapat mengalir ke jantung, otak, dan organ vital lainnya. Resusitasi merupakan upaya yang
dilakukan terhadap penderita atau korban yang berada dalam keadaan gawat atau kritis untuk mencegah
terjadinya kematian.Resusitasi memerlukan kerjasama tim baik komunikasi maupun dinamika
kelompok. Resusitasi jantung paru (RJP) terdiri atas Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan Hidup
Lanjutan (BHL). Bantuan hidup dasar adalah suatu tindakan resusitasi tanpa menggunakan alat atau
dengan alat yang terbatas seperti bag-mask ventilation, sedangkan pada bantuan hidup lanjut
menggunakan alat dan obat resusitasi sehingga penanganan lebih optimal. Resusitasi Jantung Paru segera
dan efektif berhubungan dengan kembalinya sirkulasi spontan dan kesempurnaan pemulihan fungsi
otak.Bantuan hidup dasar pada anak dibedakan berdasarkan kelompok umur yaitu kurang dari satu
tahun atau lebih dari satu tahun. Perbedaan mendasar terutama pada teknik dasar pemberian bantuan
ventilasi, penilaian denyut nadi dan cara melakukan pijat jantung luar. Penyebab terjadinya henti napas
dan jantung pada bayi adalah:
• Penyakit pernapasan
• Tenggelam
• Sepsis
• Penyakit neurologis
Pada anak usia lebih dari 1 tahun penyebab terbanyak adalah cedera seperti kecelakaan lalulintas,
kecelakaan sepeda, terbakar, cedera senjata api dan tenggelam.Injurie
Peralatan yang sering dibutuhkan untuk mempertahankan jalan napas dan ventilasi dan
mudah dalam pengerjaannya:
• Orofaringeal airway/OPA (guedel)
OPA digunakan untuk menyangga lidah agar tidak jatuh ke dinding posterior faring pada pada pasien
yang tidak sadar. Pemasangan OPA tidak direkomendasikan pada pasien dengan refleks gag dan
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 106
batuk yang baik, karena dapat merangsang muntah. Ukuran OPA optimal adalah jarak antara sudut
mulut sampai angulus mandibula (Lihat Gambar 1).
OPA dapat dipasang dengan teknik langsung menggunakan spatula lidah pada bayi, dan teknik rotasi
90 derajat pada anak. Teknik memutar 180 derajat sangat tidak dianjurkan karena dapat merusak
jaringan orofaring dan mendorong lidah ke belakang.
A B
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 107
• BANTUAN HIDUP DASAR
Alur tata laksana (algoritma) henti jantung dengan satu dan dua penolong dapat dilihat pada Gambar 3.
Pendekatan “HATI”
Hubungi bantuan
Amankan diri dan lingkungan
Tidak membahayakan pasien
Investigasi ABC
5 bantuan napas
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 108
Tahapan BHD pada anak dijabarkan dibawah berikut ini:
1.1. Periksa Kesadaran
Periksa kesadaran anak dengan:
• Bayi: gosok dada infant dengan hati-hati atau sentil kaki bayi.
• Anak: panggil anak dengan suara yang keras dan jelas, lihat apakah anak memberikan
respon. Jika tidak berespon, guncang bahu korban (hati-hati pada pasien dengan
kecurigaan cedera servikal). (Gambar 4)
Pada korban yang sadar, dia akan menjawab dan bergerak. Selanjutnya cepat lakukan
pemeriksaan untuk mencari kemungkinan cedera dan pengobatan yang diperlukan,
namun jika tidak ada respon artinya korban anak sadar maka segera lakukan
pendekatan HATI.
1.3. Buka jalan napas dan periksa apakah korban tersebut bernapas.
Pada bayi dan anak sering terjadi obstruksi dikarenakan lidah jatuh ke belakang, dan
penolong harus dengan segera membebaskan jalan napas dengan beberapa teknik
berikut:
• Jika korban tidak sadar dan tidak dicurigai adanya trauma, buka jalan napas dengan
teknik head tilt–chin lift. Jangan menekan jaringan lunak dibawah dagu karena akan
menyebabkan sumbatan (Gambar 5). Pada bayi dan anak jangan melakukan posisi
hiperekstensi karena akan menutup jalan napas.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 109
Gambar 5. Tekhnik buka jalan napas (head tilt-chin lift)
• Pada korban yang dicurigai mengalami trauma leher gunakan teknik jaw-thrust untuk
membuka jalan napas, yaitu dengan cara meletakkan 2 atau 3 jari dibawah angulus
mandibula kemudian angkat dan arahkan keluar, jika terdapat dua penolong maka
yang satu harus melakukan imobilisasi tulang servikal (Gambar 6).
Tindakan ini dapat dilakukan oleh penolong dengan meletakkan wajahnya didepan anak
(telinga penolong setentang hidung anak, pipi penolong setentang mulut anak, dan mata
penolong melihat gerakan dada). Tindakan ini dilakukan dalam 10 detik (gambar 7).
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 110
1.5. Pernapasan
• Jika pernapasan normal setelah jalan napas terbuka, posisikan anak pada posisi pulih
dengan tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka.
• Jika pernapasan tidak normal (tidak bernapas atau gasping, napas yang agonal atau
napas tidak efektif) berikan 5 kali bantuan napas dengan satu kali bantuan napas
selama 3-5 detik.
• Teknik bantuan napas pada bayi dan anak berbeda, hal ini dapat dilakukan dengan
dan tanpa alat.
• Tanpa alat, pada bayi dilakukan teknik : mouth-to-mouth-and-nose dan pada anak
menggunakan teknik mouth-to-mouth (Gambar 8).
• Dengan alat sungkup (masker), alat yang digunakan harus sesuai dengan ukuran
sehingga dapat menutup mulut dan hidung (Gambar 8).
• Sambil mempertahankan jalan napas, lakukan tiupan napas buatan dengan mulut
atau balon (bag) resusitasi. Bila dada tidak mengembang, perbaiki posisi kepala dan
bila tetap tidak mengembang, pikirkan kemungkinan sumbatan jalan napas.
A B C
Gambar 8. Posisi sungkup yang benar (A), bantuan napas dengan alat (B,C)
Gambar 9. Pemeriksaan nadi brakialis pada bayi (A), nadi karotis pada anak (B)
dan nadi femoralis (C).
• Jika nadi lebih dari 60 kali/menit namun tidak ada napas spontan atau napas tidak
efektif, maka lakukan pemberian bantuan napas sebanyak 12 hingga 20 kali bantuan
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 111
napas/menit, sekali napas buatan 3 sampai 5 detik hingga korban bernapas dengan
spontan, napas yang efektif akan tampak dada korban akan mengembang.
• Jika nadi kurang dari 60 kali/menit dan tidak ada napas atau napas tidak adekuat,
maka lakukan kompresi jantung luar.
• Penilaian denyut nadi tidak perlu dilakukan bila pasien tidak memiliki tanda
kehidupan: tidak bernapas atau napas tidak normal (gasping), tidak ada gerak dan
tidak ada refleks batuk. Penolong dapat segera melakukan kompresi jantung luar.
• Teknik kompresi jantung luar berbeda antara bayi dan anak. Teknik kompresi pada
bayi dapat dilakukan di sternum dengan dua jari (two-finger chest compression
technique) yang diletakkan 1 jari di bawah garis imajiner intermamae atau two
thumb–encircling hands technique yang direkomendasikan jika didapatkan dua
penolong (gambar 10).
Gambar 10. Teknik 2 jari pada satu penolong dan teknik 2 ibu jari pada 2 penolong
Teknik kompresi jantung luar pada anak dilakukan dengan teknik kompresi pada pertengahan
bawah sternum dengan satu atau kedua telapak tangan tapi tidak menekan prosesus xypoid
ataupun sela iga (Gambar 11).
A B
Gambar 11. Teknik 1 tangan (A) dan 2 tangan pada anak (B)
• Kompresi dada harus dilakukan dengan efektif (High Quality CPR) yaitu :
❑ Frekuensi yang adekuat (push fast and hard) yaitu 100-120 kali per menit, dilakukan di atas
alas yang keras
❑ Dinding dada mengembang kembali secara sempurna setelah setiap kompresi (complete
recoil)
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 112
❑ Hindari ventilasi secara berlebihan
❑ Kedalaman minimal 1/3 diameter dinding anteroposterior dada atau 4 cm (1.5 inchi) pada
bayi dan 5 cm (2 inchi) pada anak.
• Resusitasi jantung paru pada bayi dan anak oleh satu dan 2 penolong dilakukan dengan rasio
kompresi jantung luar dilakukan 15 kali dan 2 kali bantuan napas. Dilakukan 5 siklus dalam 1
menit, lalu lakukan evaluasi ulang kondisi korban: nadi, napas, warna, kesadaran, pupil.
Pada sarana atau fasilitas kesehatan, bila orang tua menolak dan memandatangani surat penolakan
tindakan RJP, maka tindakan ini boleh tidak dilakukan. Terutama pada pasien dengan penyakit
terminal atau kelainan genetik yang bersifat letal.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 113
2.2. Tata laksana sumbatan jalan napas oleh benda asing
Alur tata laksana sumbatan jalan napas oleh benda asing dapat dilihat dibawah ini.
• Manoeuvre chest thrust pada bayi diberikan seperti posisi saat melakukan kompresi jantung luar
namun laju kompresi lebih lambat (satu kompresi untuk satu detik) dan lebih kuat dibandingkan
kompresi jantung luar (lihat Gambar 12).
• Posisi manoeuvre abdominal thrusts/ Heimlich antara xypoid dan umbilikal (Gambar 13).
• Setiap selesai melakukan 5 manoeuvre, lihat mulut anak apakah terdapat benda asing dan
keluarkan bila terlihat. Hati-hati jangan mendorong benda asing makin ke bawah dan cegah
kerusakan jaringan lebih lanjut.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 114
Gambar 12. Maneuvre back blows (A) dan chest thrust (B) pada bayi
Gambar 13. Maneuvre back blows (A) dan abdominal thrust/ Heimlich posisi supine(B)
pada anak
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 115
Daftar Pustaka
1. Latief A, Pudjiadi A, Prawira Y, penyunting. Advanced Pediatric Resuscitation course. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2019.h.29-32.
2. Pudjiadi AH, Latief A. Bidiwardhana N. Buku Ajar Pediatrik Gawat Darurat. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
3. Monsieurs KG, Nolan JP, Bossaert LL, Greif R, Maconochie IK, Nikolaou NI, dkk. European
Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2015. Resuscitation. 2015;95:35-46.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 116
Studi Kasus
Anda sedang bertugas di IGD, mendapat panggilan masuk pasien baru anak berumur 6 tahun berat
badan 25 kg, dengan keluhan sesak nafas sejak 4 hari sebelum masuk RS. Pada saat dilakukan
pemeriksaan tiba-tiba dijumpai keadaan anak denyut jantung <60 x dan henti nafas.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 117
Materi 9
Transportasi Pasien Anak Sakit Kritis
Tujuan
- Mampu menentukan pasien bayi dan anak layak transport
- Mampu melakukan serah terima pasien dari faskes primer kepada tim transport
- Mampu memeriksa semua kelengkapan alat yang diperlukan selama transportasi
- Memahami pentingnya penilaian dan stabilisasi selama transportasi
- Memahami pentingnya pencatatan dan pelaporan proses transportasi
PENDAHULUAN
Sistem transportasi dan perawatan pra Rumah Sakit (RS) sangat dibutuhkan untuk optimalisasi rujukan
pasien anak kritis. Sistem transportasi dan rujukan mempengaruhi luaran pasien. Proses perujukan dan
transportasi pasien mempunyai risiko tinggi, terutama dari daerah fasilitas terbatas menuju RS rujukan
yang mempunyai fasilitas lebih lengkap. Keadaan pasien yang belum stabil sering menjadi kendala dalam
melakukan rujukan. Risiko terberat yang dapat terjadi berupa pasien meninggal selama perjalanan.
Sistem transportasi pasien sering terabaikan di negara berkembang dan miskin karena
keterbatasan dana dan sumber daya serta belum menjadi program prioritas. Permasalahan lain adalah
kurangnya kemampuan paramedis dan dokter yang bertugas.
KELAYAKAN TRANSPORTASI
Pada dasarnya semua pasien sakit gawat dan kritis dapat ditransportasi apabila terdapat fasilitas
dan dukungan sumber daya manusia yang kompeten. Stabilisasi pasien harus dilakukan sebelum pasien
diputuskan untuk dilakukan transportasi dalam rangka rujukan untuk mendapatkan layanan kesehatan
pada fasilitas kesehatan lain. Untuk pasien yang tidak mengalami kegawatan, sistim rujukan dapat dimulai
dari poliklinik dalam seting pasien rujukan tanpa kegawatan, sehingga untuk transportasi dapat
dipertimbangkan penggunaan kendaraan pribadi atau kendaraan non-ambulan. Pasien dengan
kegawatan yang akan dirujuk harus dikomunikasikan dengan pihak yang akan dirujuk. Pemilihan moda
transport yang lengkap dan tim yang adekuat juga harus disesuaikan dengan kondisi stabilitas pasien.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 118
Gambar 1. Bagan pengambilan keputusan untuk transportasi pasien
Apabila didapatkan kondisi pasien yang kritis dan tidak stabil, maka transportasi hanya dapat dilakukan
apabila didampingi dengan tenaga yang kompeten dan moda transportasi yang memiliki peralatan
lengkap. Pertimbangkan pula kondisi end of life atau irreversibilitas dari suatu penyakit agar tidak
melakukan upaya transportasi atau rujukan yang tidak perlu.
Pasien dengan patensi jalan napas yang belum terjamin, gangguan hemodinamik berat, kejang tak
teratasi, gangguan metabolisme berat, dan kondisi mengancam jiwa lainnya harus dilakukan stabilisasi
sampai optimal oleh fasilitas kesehatan perujuk. Metode “stay and play” (menunda transportasi dan
melakukan tindakan stabilisasi) lebih dipilih daripada “scoop and run” (sesegera mungkin membawa
pasien ke fasilitas lain) guna menjamin keselamatan pasien selama transportasi.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 119
2. Sistem saraf pusat termasuk trauma
• Kejang yang tidak terkontrol
• GCS<12
• Cidera kepala serius
3. Multipel trauma
4. Kebutuhan pencitraan tertentu
1.KOMUNIKASI
Sebelum melakukan transportasi, harus selalu dipertimbangkan risiko dan manfaat dari proses
transportasi. Setelah itu, dokter Puskesmas atau RS perujuk melakukan komunikasi secara langsung
dengan dokter RS rujukan. Dokter pengirim harus menyampaikan tujuan rujukan, riwayat, kondisi
klinis, data penunjang, dan tatalaksana pasien yang sudah dan akan dikerjakan.1
Dokter RS rujukan mendiskusikan diagnosis dan kebutuhan pasien, serta menentukan kemampuan RS
untuk menerima pasien. Bila tidak mempunyai fasilitias memadai, maka dokter RS rujukan harus
menyarankan transfer pasien ke RS lain yang lebih lengkap dan mampu. Bila RS rujukan mampu
menerima pasien, dokter RS rujukan mendiskusikan terapi atau tindakan yang sebaiknya diberikan pra
transportasi. Dalam memberikan saran, sebaiknya bukan dengan cara menggurui, bukan juga dengan
mengkritik, karena hakikatnya tujuan transportasi adalah demi kepentingan pasien.
Komunikasi dengan keluarga juga merupakan tantangan tersendiri. Waktu yang relatif singkat dan
kebutuhan melakukan tindakan cepat, seringkali membuat komunikasi menjadi terburu-buru.
Walaupun terbatas, komunikasi tim transportasi dengan keluarga, memberikan penjelasan kepada
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 120
keluarga pasien tentang manfaat dan risiko proses transportasi, haruslah menjadi perhatian agar tidak
meningkatkan kecemasan keluarga pasien. Oleh karena itu, sebaiknya informed consent harus disiapkan
sebelum tim transportasi tiba..
Komunikasi dilanjutkan bila terdapat suatu hal yang perlu didiskusikan selama proses stabilisasi. Pada
saat pasien dinyatakan siap untuk untuk ditransfer, dokter RS perujuk sebaiknya menghubungi lagi
dokter RS rujukan untuk menerangkan evaluasi terakhir, jam berangkat, dan perkiraan waktu tiba. Perlu
diterangkan juga pemeriksaan penunjang yang belum selesai atau belum ada hasilnya, serta jaminan
untuk menyusulkan hasil pemeriksaan penunjang setelah hasil diterima.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tim transport yang di dalamnya terdapat dokter mempunyai
luaran yang lebih baik dibandingkan dengan tim transport yang hanya beranggotakan
perawat/paramedis, hal ini berhubungan dengan tindakan medis invasif yang dapat dilakukan oleh dokter
bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Pada pasien anak, umumnya lebih penting pemahaman kasus dan
tatalaksana yang baik oleh tim dibandingkan dengan kecepatan tranportasi.
Isu yang juga penting untuk didiskusikan adalah moda transportasi yang akan digunakan, dengan
mempertimbangkan diagnosis dan kondisi pasien, tujuan rujukan, periode emas, personil tim
transportasi, kondisi cuaca/geografi, lalu-lintas, keamanan pasien dan tim, serta kemampuan biaya.
Filosofi transportasi pasien anak kritis adalah menjamin kelancaran perpindahan pasien, kualitas
perawatan, dan melakukan evaluasi intensif selama proses transportasi; artinya, usaha semaksimal
mungkin agar kesinambungan pengobatan dan perawatan tidak terhenti selama proses transportasi.
Untuk itu diperlukan perencanaan transport pasien seakurat mungkin. Perawatan pasien kritis yang
dilakukan dini sebelum proses rujukan, dapat meningkatkan keselamatan pasien selama perjalanan dan
meningkatkan luaran pasien. Merujuk pasien sebelum pasien stabil dapat meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas selama proses rujukan.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 121
a.Resusitasi dan stabilisasi
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah terbukanya jalan napas, terjaminnya pernapasan dan
tersedianya akses vaskuler:
• Jalan napas terjaga patensinya, bila perlu dipasang ETT lebih dini
• Ventilasi dan oksigenasi berjalan memadai
• Akses vena lancar dan terfiksasi baik. Jantung berdetak dan berfungsi adekuat. Perlu
dipertimbangkan akses intraoseus bila akses perifer sulit didapat.
Selanjutnya, diperlukan kemampuan untuk melakukan resusitasi, stabilisasi, prosedur diagnostik dan
terapi selama transportasi berupa:
• Resusitasi jantung-paru dan cairan, bila perlu obat vasoaktif
• Menjamin ventilasi dan oksigenasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik dan dekompresi rongga
dada bila diperlukan. Pastikan letak dan fungsi pipa endotrakeal baik dengan foto paru
• Mengatasi kegawatan neurologi: kejang, perdarahan intrakranial, fiksasi leher
• Menjamin suhu tubuh stabil
• Memberikan obat definitif atau simptomatik: analgetik, antipiretik, anti kejang, sedasi, antibiotik,
anti muntah
• Obat-obatan yang mungkin diperlukan saat perjalanan,
• Melakukan restraints bila diperlukan (memerlukan informed consent)
• Melakukan pemantauan
• Pemasangan kateter urin dan sonde lambung
Bila pasien kritis membutuhkan tindakan segera di RS rujukan sehingga waktu menjadi penting, proses
stabilisasi pasien dapat dilakukan dalam perjalanan, walaupun dengan segala risiko. Hal ini tentu dengan
pertimbangan bahwa manfaat proses merujuk jauh lebih besar dibandingkan dengan risiko yang terjadi
selama perjalanan.
Tim pengirim atau perujuk mempunyai tanggung jawab sebagai berikut:
• Resusitasi dan stabilisasi pasien dengan target
▪ Jalan napas baik dan bersih
▪ Napas spontan/alat bantu dengan ventilasi dan oksigenasi memadai
▪ Sirkulasi dan hemodinamik adekuat
▪ Diagnosis kerja dan telah dimulainya terapi
• Komunikasi dini dengan penerima
• Meyakini bahwa penerima dapat menangani pasien
• Menginformasikan kepada keluarga dan membuat informed consent
• Akses vaskular dan pipa endotrakeal yang aman dan memadai
• Menyalin semua berkas rekam medik
• Berkomunikasi selama stabilisasi dan saat akan berangkat
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 122
b.Peralatan, Alat Kesehatan dan Obat
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 123
Digoxin Nafcillin/Oxacillin
Dobutamine Intubation Medications Vancomycin
Dopamine Atropine
Epinephrine Etomidate Miscellaneous
Hydralazine Ketamine Albumin (5%)
Isoproterenol Lidocaine Dexamethasone
Milrinone Pancuronium* Diphenhydramine
Nitroproside Rocuronium Furosemide
Norepinephrine Succinylcholine* Glucagon
Procainamide Thiopental + Heparin,
Propanolol Vecuronium Hydrocortisone
Prostaglandin E1* Insulin*
Tolazoline Analgesia/Muscle Relaxant Kayexalate
Diazepam + Potassium Chloride
Neurological Medication Fentanyl + Racemic epinephrine
Diazepam+ Lorazepam * Vit K
Lorazepam * Midazolam +
Setelah semua persiapan dilaksanakan dan tim transportasi siap, tim transportasi bersama dokter
perujuk melakukan evaluasi akhir berupa:
1. Penilaian pasien head-to-toe
2. Flow sheet rinci mengenai tindakan, nama dan jumlah obat, serta waktu diberikan secara tepat,
dilampiri hasil laboratorium dan x-ray bila ada
3. Obat dan alat yang mungkin diperlukan selama perjalanan
4. Kelengkapan data penunjang dan informed consent
5. Komunikasi dengan orang tua
6. Kebutuhan oksigen sudah tersedia sebanyak 3 kali perkiraan waktu tempuh
7. Memastikan semua peralatan yang membutuhkan tenaga listrik, mempunyai cadangan baterai
minimal 2 kali perkiraan waktu tempuh beserta konektor yang kompatibel dengan yang
tersedia di alat transportasi.
Bila semua telah selesai dan siap berangkat, lakukan komunikasi dengan dokter RS rujukan, berupa:
1. Kedua pihak memahami kondisi pasien saat itu dan setuju untuk memulai melaksanakan
transportasi
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 124
2. Kepastian bahwa RS Rujukan telah siap untuk menerima
3. Perkiraan waktu tempuh.
Komunikasi akhir ini untuk menjamin bahwa kedua pihak memiliki pandangan yang sama demi
keselamatan dan keamanan pasien.Bila selama evaluasi diperkirakan manfaat rujukan hilang atau bila
kegagalan terapi diperkirakan tinggi selama transportasi, maka pengiriman pasien tidak perlu dikerjakan.
Oleh karena itu, perlu berkomunikasi dengan RS rujukan dan keluarga. Perlu diingat bahwa tujuan
transportasi adalah kesembuhan pasien, artinya bila risiko lebih tinggi daripada keuntungan untuk
pasien, transportasi tidak boleh dikerjakan. Jadi bila prognosis pasien buruk, tidak perlu tindakan
transportasi karena hanya akan memberikan harapan semu dan menghabiskan biaya tanpa manfaat.
4.PEMANTAUAN, TINDAKAN & DOKUMENTASI DALAM TRANSPORTASI
Semua tindakan yang menjadi prosedur operasi standar di Puskesmas atau RS Perujuk, berupa
pencatatan dan pelaporan, harus tetap berlanjut. Laporan data dan kejadian selama transportasi dapat
dilihat pada Gambar 1.
Keamanan pasien harus diperhatikan dalam perjalanan. Demikian pula semua peralatan harus terfiksasi
dengan baik, jangan sampai lepas dan menimbulkan kecelakaan.
5. SERAH TERIMA
Agar patient safety dan patient centered care terlaksana dengan baik, komunikasi selama perjalanan bisa
dijalin antara tim transportasi dengan RS rujukan/penerima. Bila tim transportasi akan tiba di RS
rujukan, perlu dikomunikasikan bahwa dalam waktu dekat, pasien akan tiba sehingga petugas di UGD
telah siap untuk menerima. Petugas administrasi juga harus mengetahui adanya transportasi pasien kritis
ini. Perawat dan dokter juga harus siap menerima pasien.
Hal-hal penting pada fase ini adalah :
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 125
a. Kontinuitas perawatan & pengobatan
b. Pengurusan administrasi kepindahan
c. Serah terima rekam medik
d. Serah terima alkes dan obat
e. Serah terima pemeriksaan penunjang (lab, X-ray dll.) dan inform consent
f. Memperkenalkan keluarga pasien kepada RS Rujukan.
Pada pasien anak sakit kritis yang membutuhkan tindakan invasif dan proses rujukan, kehadiran keluarga
terutama orang tua mempunyai peran penting. Pertimbangan keberadaan orang tua atau pengasuh
selama proses transportasi adalah aspek emosional pasien dan keluarga, mengurangi kecemasan pasien,
memberikan persetujuan tindakan, dan terjalinnya komunikasi efektif antara orang tua, dokter, atau
paramedis yang ada dalam tim transportasi.
Secara umum aturannya adalah orang tua tidak ikut dalam transportasi. Walaupun demikian fleksibilitas
mungkin dapat diberikan atas pertimbangan :
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 126
1. Cara transportasi
2. Jarak tempuh
3. Jumlah dan komposisi tim
4. Status pasien
5. Sikap orang tua
Sebagian besar anak usia pra-sekolah dan sekolah yang sadar, lebih baik disertai oleh orang tuanya
untuk mengurangi risiko menangis atau rewel. Pasien yang tidak responsif tidak memerlukan
pendampingan orang tua.
Keberadaan orang tua atau pengasuh pada beberapa keadaan justru mempunyai pengaruh yang tidak
menguntungkan, antara lain ruang di ambulans menjadi lebih sempit, mengurangi ruang gerak anggota
tim transportasi, mengganggu dan meningkatkan ketidaknyamanan anggota tim transportasi, dan kadang
membuat pasien anak menjadi lebih gelisah. Orang tua yang mendampingi anak saat transportasi kadang
mengalami kepanikan bila anaknya mengalami penurunan keadaan selama proses transportasi. Orang
tua dan pengasuh harus dinilai kemampuannya untuk tetap menurut dan tenang selama transportasi
sebab menangani kegawatan dalam transportasi sudah sangat menyita pikiran, tenaga, dan konsentrasi.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 127
Daftar Pustaka
1. Kleinman ME, Donogghue AJ, Orr RA, Kissoon N. Stabilization and Transport. In: Nichols DG, ed.
Rogers' Textbook of Pediatrc Intensive Care. 5th ed. Philadelphia/China: Lippincott Williams and
Wilkins; 2016:348- 362.
3. Band RA, Gaieski DF, Hylton JH, Shofer FS, Goyal M, Meisel ZF. Arriving by Emergency Medical
Services Improves Time to Treatment Endpoints for Patients With Severe Sepsis or Septic Shock.
Acad Emerg Med 2011;18:934-40.
4. Huber S, Crönlein M, Matthey Fv, et al. Effect of private versus emergency medical systems
transportation in trauma patients in a mostly physician based system- a retrospective multicenter
study based on the TraumaRegister DGU. Scand J Trauma, Resusc Emerg Med 2016;24:1-8.
5. Sankar J, Singh A, Narsaria P, Dev N, Singh P, Dubey N. Prehospital transport practices prevalent
among patients presenting to the pediatric emergency of a tertiary care hospital. Indian J Crit Care
2015;19:474-8.
6. Acker P, Newberry JA, Hattaway LBF, Socheat P, Raingsey PP, Strehlow MC. Implementing an
Innovative Prehospital Care Provider Training Course in Nine Cambodian Provinces. Cureus
2016;8:e656.
7. Hanneg T, Berner J, Eksborg S, Radell PJ, Flaring U. Characteristics and outcomes of critically ill
children following emergency transport by a specialist paediatric transport team. Acta Pediatr
2016;105:1329-34.
9. Oczkowski SJ, Mazzetti I, Cupido C, Fox-Robichaud AE. The offering of family presence during
resuscitation: a systematic review and meta-analysis. J Intensive Care 2015;3:1-11.
10. McCloskey KA. Interhospital transport of critically ill child, in Singh NC, ed. Manual of Pediatric
Critical Care, WB Saunders Company, Philadelphia 1997; 33-47
11. Udani, S. Transport Protocol in: Khilnani, P. ed. IAP Textbook of Pediatric ICU Protocol 2nd
edition, Jaypee Brother Medical Publishers, Kathmandu, 2013:227-230.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 128
Studi Kasus
Anda sedang bertugas di IGD, mendapat pasien baru anak berumur 6 tahun berat badan 25 kg, dengan
keluhan sesak nafas sejak 4 hari sebelum masuk RS. Pasien sudah dilakukan stabilisasi dan akan di rujuk
ke RS rujukan, langkah apa saja yang harus dilakukan selama proses transportasi?
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 129
Materi 10
Tatalaksana Gawat Napas Pada Bayi dan Anak
Tujuan
- Mampu mengenali tanda gawat napas bayi dan anak
- Mampu melakukan tatalaksana awal gawat napas bayi dan anak
- Mampu menggunakan HFNC sebagai tatalaksana gawat napas
- Mampu melakukan ventilasi tekanan positif
Gawat napas merupakan kondisi gawat darurat dengan gejala kesulitan bernapas akibat gangguan aliran
udara pada saluran napas atau gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida di paru yang dapat
berakibat pada kematian. Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh gangguan pusat napas, saluran
napas (atas dan bawah), parenkim paru, kelainan diafragma, otot pernapasan atau kelainan dinding dada.
Meskipun secara umum gejala sama (takipneu, peningkatan usaha napas, desaturasi, sianosis), terdapat
beberapa tanda khas sebagai pembeda sumber kelainan, contoh: terdengar stridor pada sumbatan jalan
napas atas, mengi pada sumbatan jalan napas bawah, dan ronki halus pada kelainan/penyakit paru.
Gawat napas yang tidak ditatalaksana dengan baik dapat menyebabkan gagal napas. Gagal napas adalah
ketidakmampuan mekanisme kompensasi fisiologis untuk mencukupi pasokan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida, yang berakibat pada hipoksemia, hiperkapnemia, atau keduanya.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 130
oksigen aliran tinggi (high flow oxygen). Penyesuaian terapi dilakukan melalui pemantauan tanda klinis
dan saturasi oksigen (lihat Tabel 2).
Tabel 1. Gambaran klinis gawat Napas, gagal napas dan henti napas
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 131
3. sirkuit terisolasi yang dihangatkan untuk menjaga suhu dan kelembaban relatif oksigen
4. kanula non-oklusif.
Pada neonatus, laju aliran tinggi HFNC sebesar ≥2 L / menit, sedangkan pada anak yang lebih besar
≥4–6 L / menit. Kecepatan aliran yang tinggi melebihi insprasi pasien, proses penghangatan dan
pelembaban campuran udara-oksigen memberikan keamanan dan kenyamanan dalam melewati saluran
napas.
Saat memulai terapi HFNC, klinisi harus mengontrol tiga variabel utama: suhu gas, FiO2, dan laju aliran.
Suhu biasanya diatur sekitar 1–2°C di bawah suhu tubuh, dan disesuaikan untuk kenyamanan pasien.
Pasien anak yang besar dan dewasa muda menggambarkan perasaan tidak nyaman dan agak
klaustrofobik ketika suhu gas berada pada atau di atas suhu tubuh. HFNC biasanya dimulai dengan FiO2
0,6 untuk pasien hipoksemik. FiO2 kemudian dengan cepat disesuaikan selama beberapa menit
berikutnya untuk mencapai saturasi oksigen target (SpO2) 92%–97%.
Pemilihan laju aliran gas didasarkan pada berat badan/usia pasien dan perkiraan dukungan pernapasan
yang dibutuhkan. Secara umum, pasien yang lebih tua / lebih besar dan pasien yang lebih berat upaya
napasnya akan membutuhkan aliran yang lebih tinggi. Pemberian awal dimulai dengan 0,5–1L/kg/menit
dan meningkatkan aliran hingga 1,5–2L/kg/menit selanjutnya dapat mengurangi tekanan intratoraks dan
mengurangi kerja pernapasan (lihat Tabel 3 dan 4).
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 132
Tabel 3. Laju aliran awal HFNC berdasarkan usia dan berat badan
Usia Berat badan Kanula Laju awal Rerata laju
(kg) (L/m) (L/m)
0-30 hari <4 Neonatus 4-5 2-8
1-12 4-10 Infant 4-10 2-20
bulan
1-6 10-20 anak kecil 5-15 3-30
tahun
6-12 20-40 Anak 10-20 5-40
tahun
>12 >40 Anak 20-30 5-50
tahun besar/dewasa
Penyapihan penggunaan HFNC dilakukan setelah kondisi klinis stabil > 24 jam. Beberapa penelitian
merekomendasikan penyapihan sampai FiO2 menjadi 0,3-0,4 sebelum mengurangi laju aliran. Laju aliran
dapat dikurangi 1L/m/jam atau 0,5L/kg tiap 4 jam dengan monitoring. Bila pasien kembali mengalami
gawat napas maka aliran atau FiO2 dinaikkan kembali ke tingkat lebih tinggi yang sebelumnya. Terapi
HFNC dihentikan setelah alirannya laju di bawah 0,5 L/ kg/ menit dan SpO2 dipertahankan di atas 94%
dengan FiO2 <0.4, selanjutnya HFNC dapat disapih ke udara ruangan atau nasal kanul konvensional
dengan mempertimbangkan FiO2.
Setelah inisiasi HFNC, pasien perlu observasi ketat dan terus dipantau. Penilaian klinis yang baik juga
penting untuk mengetahui respon atau kegagalan terapi secara dini. Parameter objektif standar dari
respons klinis adalah tanda vital, upaya napas, dan kebutuhan oksigen.
Teknik paling umum dalam ventilasi tekanan positif adalah “E-C clamp”, yaitu dengan 1 tangan penolong
mendongakkan kepala pasien dengan cara mengangkat mandibula dengan 3 jari (kelingking, manis, dan
tengah, seperti huruf E), sementara 2 jari (telunjuk dan ibu jari, seperti huruf C) menekan sungkup ke
wajah pasien. Tangan yang lain memompa balon selama 1 detik tiap tiupan sampai dada pasien terlihat
terangkat (lihat Gambar 2). Pada bayi dan anak, ventilasi dilakukan tiap 3-5 detik (12-20 kali per menit),
sedangkan pada remaja (ada tanda pubertas), ventilasi dilakukan tiap 5-6 detik (10-12 kali per menit).
Khusus pada pasien yang sudah terpasang pipa endotrakeal (endotracheal tube, ETT) atau laryngeal mask
airway (LMA), ventilasi dilakukan tiap 6 detik, pada semua usia. Pada pasien dengan kesulitan jalan napas
(difficult airway), sebaiknya VTP dilakukan oleh 2 orang.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 133
Tabel 4. Pendekatan inisiasi dan eskalasi terapi High-Flow Nasal Cannula
Neonatus Bayi Pre-School Usia Sekolah
(sampai 1 bulan) (1 bulan-12 bulan) (1-4 tahun) ( 5 tahun keatas)
Pengaturan
8L/menit dan FiO2 10L/menit dan 12L/menit dan FiO2
awal 6L/menit dan FiO2 40%
40% FiO2 40% 40%
Terapi eskalasi Penambahan laju Penambahan laju Penambahan laju Penambahan laju
pertama oksigen sampai oksigen sampai oksigen sampai oksigen sampai
8L/menit 10L/menit 12L/menit 16L/menit
Peningkatan FiO2 Peningkatan FiO2 Peningkatan FiO2
Terapi eskalasi Peningkatan FiO2
menjadi 50% jika SpO2 menjadi 50% jika menjadi 50% jika
kedua menjadi 50% jika SpO2
< 92% SpO2 < 92% SpO2 < 92%
< 92%
Tingkatkan FiO2
Terapi eskalasi Tingkatkan FiO2 untuk untuk menjaga SpO2 Peningkatan laju Peningkatan laju
ke tiga menjaga SpO2 92% dan 92% dan rujukan oksigen menjadi oksigen menjadi 20
rujukan “Urgent: ke tim “Urgent: ke tim 15 L/menit L/menit
Perawatan Kritis Anak Perawatan Kritis Anak
(Transportasi) (Transportasi)
Tingkatkan FiO2
Terapi eskalasi Tidak ada Tidak ada Tingkatkan FiO2
untuk menjaga
ke empat untuk menjaga
SpO2 92% dan
SpO2 92% dan
rujukan “Urgent: ke
rujukan “Urgent:
tim Perawatan
ke tim Perawatan
Kritis Anak
Kritis Anak
(Transportasi)
(Transportasi)
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 134
Gambar 2. Teknik C-E clamp saat melakukan VTP
Perlu diperhatikan bahwa penolong harus menjamin patensi jalan napas selama VTP untuk menghindari
hipoventilasi, oksigenasi yang inadekuat, dan inflasi gaster. Inflasi gaster dapat menyebabkan regurgitasi,
meningkatkan tekanan jalan napas, serta menurunkan kapasitas residual fungsional paru dan komplians
dinding dada. Untuk itu, penolong harus memilih ukuran sungkup yang tepat (meliputi seluruh hidung,
mulut, dan dagu), menggunakan teknik yang benar dalam membuka jalan napas, dan memastikan
perlekatan yang ketat sungkup dengan wajah. Kadang diperlukan penekanan krikoid oleh penolong
kedua (lihat Gambar 3).
Gambar 3. Cara memilih ukuran sungkup yang tepat, meliputi seluruh hidung, mulut, dan dagu (kiri).
Proses penekanan krikoid untuk mencegah inflasi paru (kanan)
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 135
Daftar Pustaka
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 136
Studi Kasus
Anak perempuan, 2 tahun, 10 kg, dibawa ke IGD karena sesak napas sejak 2 hari yang lalu. Keluhan
didahului dengan batuk dan demam pada 3 hari sebelumnya. Pada pemeriksaan fisis didapatkan anak
masih tampak gelisah dan tidak aktif, FP 60 kali per menit, retraksi sela iga, dinding dada, epigastrium.
Saturasi datang 80%, terdapat kebiruan pada kuku jari tangan dan kaki.
a. Bagaimana penilaian pada pasien ini?
b. Bagaimana tatalaksana awal yang diberikan pada pasien ini?
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 137
Materi 11
Syok dan Akses Vaskuler
Tujuan
- Mengetahui mengenali syok pada bayi dan anak
- Mampu melakukan tatalaksana awal syok
- Mampu melakukan pemasangan akses intra oseus bila diperlukan
Syok merupakan keadaan ketidakseimbangan pasokan dan konsumsi oksigen dalam tubuh yang bila
tidak ditangani dapat menyebabkan kematian. Syok dapat disebabkan oleh berkurangnya volume aliran
sirkulasi baik oleh diare, muntah atau perdarahan (syok hipovolemik), gangguan kontraktilitas jantung
(syok kardiogenik), gangguan mekanik seperti pada tamponade jangtung (syok obstruktif), atau
gangguan permeabilitas pembuluh darah akibat proses infeksi/sepsis, reaksi alergi, gangguan persarafan
(syok distributif). Berbagai penyebab syok dapat dilihat pada Tabel 1.
Selain hal tersebut di atas, terdapatnya gangguan ikatan oksigen-hemoglobin dapat menyebabkan syok
akibat hantaran oksigen ke jaringan juga terganggu. Hal ini dapat terjadi pada keracunan sianida. Tanpa
intervensi yang cepat dan tepat akan menyebabkan kegagalan multi organ dan kematian.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 138
Manifestasi klinis syok dibedakan berdasarkan derajat berat penyakit:
a. Fase terkompensasi
Pasien tampak sadar atau agitasi ringan, kulit pucat, laju jantung meningkat, tekanan darah sistolik
normal dan tekanan darah diastolik meningkat atau dapat normal, akral dingin, pengisian kapiler
melambat, dan penurunan produksi urin.
b. Fase tidak terkompensasi
Penurunan kesadaran (somnolen atau letargis), napas cepat dan dalam, tekanan darah turun,
takikardia, pengisian kapiler yang memanjang, akral dingin, oliguri sampai anuri. Pada pemeriksaan
analisis gas darah akan terlihat asidosis metabolik dan meningkatnya serum laktat.
c. Fase irreversibel
Penurunan kesadaran lebih dalam sampai koma, tekanan darah tidak terukur, nadi tidak atau sulit
teraba, anuria, serta tanda-tanda kegagalan sistem organ lain.
Jenis cairan resusitasi yang dapat kita berikan pada keadaan syok secara umum dibagi menjadi koloid
dan kristaloid. Cairan koloid mengandung molekul besar yang dipercaya tidak dapat melewati
membran semipermeabel kapiler. Cairan kristaloid mengandung ion yang permeabel, umumnya
kandungan ion natrium dan klorida menjadi acuan tonisitasnya.
Tujuan pemberian cairan adalah mencukupi volume sirkulasi agar aliran darah dapat menghantar
oksigen dan nutrisi ke jaringan sesuai kebutuhan metabolik, sekaligus mencegah kelebihan air,
elektrolit dan toksisitas iatrogenik yang dapat membahayakan.
Setelah akses vaskular terpasang, cairan kristaloid (atau koloid) diberikan sebanyak 10-20 mL/kg
dalam waktu 5-10 menit, terutama pada syok yang disebabkan oleh kekurangan volume cairan
(hipovolemik, distributif, septik) atau gangguan preload (syok obstruktif). Pada pasien syok dengan
tanda-tanda gagal jantung, yaitu: distress napas disertai ronki paru, hepatomegali, edema, dan
peningkatan tekanan vena jugular, resusitasi cairan dibatasi 5-10 mL/kg dalam 20-30 menit; namun
disarankan juga pemberian inotropik pada tahap awal resusitasi. Pemberian inotropik dan
penghentian resusitasi cairan dilakukan bila terdapat tanda kongesti (hepatomegali dan ronki) atau
tidak terjadi perbaikan hemodinamik setelah pemberian volume 40 mL/kg (lihat Tabel 2).
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 139
Albumin 5% 20-60 ml/kg 5-10 menit 6 g/kg/hr (120 ml/kg/hari)
Albumin 20% 20-30 ml/kg 5-10 menit 6 g/kg/hr (30 ml/kg/hari)
Albumin 25% 20-25 ml/kg 5-10 menit 6 g/kg/hr (24 ml/kg/hari)
Gelatin 20-60 ml/kg 5-10 menit -
Setiap pemberian cairan cepat dalam tatalaksana syok, harus diperhatikan tanda kelebihan cairan,
seperti dalam Tabel 3.
Selanjutnya harus dinilai apakah syok teratasi, dengan tanda seperti terlihat pada Tabel 4.
Bila terdapat hipoglikemia yaitu glukosa darah <40 mg/dL, koreksi dengan dektrose 0,5 g/kg bolus IV/IO
Pada pasien kritis yang membutuhkan rujukan, stabilisasi harus dilakukan sebelum proses perujukan.
Begitu pula, saat transportasi, perlu tetap dijaga patensi akses vaskular, kesinambungan terapi cairan
dan obat vasoaktif, dan penghitungan keseimbangan cairan.
3. AKSES INTRAOSEUS
Akses atau jalan masuk ke sirkulasi/pembuluh darah sangat menentukan dalam tunjangan hidup lanjut
pada anak. Bila akses ke pembuluh darah dapat dicapai dalam menit-menit pertama, obat dan cairan
dapat diberikan segera sehingga resusitasi mungkin lebih berhasil. Ada beberapa pilihan akses yang
dapat digunakan tergantung dari kebutuhan klinik dan ketrampilan penolong yaitu vena perifer, vena
sentral dan intraoseus.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 140
Saat awal tetap diprioritaskan pemasangan vena perifer. Bila kesulitan menemukan vena kecil, dapat
dipolih pembuluh darah besar yaitu vena basilika, vena safena magna atau vena jugularis eksterna. Jika
terdapat kegagalan pemasangan akses vena perifer sebanyak 3 kali, maka harus dilakukan pemasangan
akses intraoseus. Pemasangan vena sentral tidak dilakukan pada kasus emergensi. Akses intraoseus
dapat berlokasi di tuberositas tibia, maleolus medial atau distal femur.
Indikasi kontra kanulasi intraoseus adalah fraktur pada tulang tempat lokasi pemasangan atau infeksi
seperti selulitis, abses atau luka bakar pada kulit di atas tulang yang dituju. Bila gagal dalam pemasangan
akses intraoseus, dapat diulang kembali dengan lokasi yang berbeda dari lokasi pemasangan pertama.
Prosedur tindakan:
a. Persiapan pasien
Jelaskan kepada pasien atau keluarganya mengenai risiko dan keuntungan teknik ini saat melakukan
informed consent.
b. Persiapan alat dan obat-obatan
c. Jarum intraosseous, sebagai alternatif dapat digunakan jarum suntik ukuran gauge 15 atau 18
d. Syringe 5-10 mL dan jarum suntik steril untuk infiltrasi
e. Cairan NaCl 0,9%
f. Kassa steril, plester
g. Lidokain 1% untuk anestesi lokal
h. Sarung tangan steril
i. Larutan povidon iodin
j. Syringe 50 mL, set infus, threeway stop cock, konektor, dan cairan resusitasi (misalnya: larutan garam
fisiologis)
k. Masker (dan alat pelindung diri)
l. Larutan cuci tangan
m. Pemilihan lokasi
n. Neonatus: tibia proksimal, tepat di bawah lempeng pertumbuhan, distal dari tuberositas tibia.
o. Bayi 6-12 bulan: 1 cm distal dari tuberositas tibia.
p. Anak > 1 tahun: 2 cm distal dari tuberositas tibia.
q. Anak besar : tibia proksimal (pilihan utama), dengan alternatif humerus proksimal, tibia distal (di
atas malleolus medial), radius distal dan ulna distal, femur distal.
r. Alternatif lain: spina iliaka anterior superior (SIAS)
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 141
h. Jarum harus menembus kulit dan jaringan subkutan, kemudian didorong menembus korteks
tulang, sampai terasa hilangnya tahanan.
i. Keluarkan stilet, lakukan aspirasi sumsum tulang. Jika sumsum mengalir lambat, lakukan aspirasi
menggunakan spuit 5 mL. (Catatan: sumsum tulang dapat digunakan untuk cross-match dan
pemeriksaan kadar gula darah)
j. Pastikan jarum berada tepat pada sumsum tulang, yang ditandai oleh:
a. cairan sumsum tulang dapat diaspirasi
b. jarum dapat berdiri tegak tanpa topangan
c. cairan infus menetes teratur
d. tidak ada edema lokal setelah cairan infus dimasukan
k. Jika sumsum tulang tidak dapat diaspirasi, dorong larutan garam fisiologis steril sebanyak 5 –
10 mL dengan menggunakan syringe. Tahanan harus terasa minimal. Raba dan amati daerah
betis, awasi kemungkinan terjadi ekstravasasi. Jika ya, maka upaya lebih lanjut di lokasi tersebut
harus dihindari.
l. Jika tidak ditemukan aliran balik maupun ekstravasasi, sambungkan set infus dengan threeway
stopcock pada jarum intraosseus yang telah terpasang, lakukan fiksasi jarum dengan bantalan
kassa dan plester. Meskipun drainase gravitasi cukup, infus bertekanan dengan menggunakan
pompa darah atau syringe mungkin diperlukan selama resusitasi.
m. Bila diperlukan, challenge cairan dapat dilakukan dengan menggunakan threeway stopcock dan
syringe 50 mL.
n. Pencarian akses IV terus dilakukan.
o. Lepas akses intraosseous jika sudah didapatkan akses IV (maksimal 24 jam).
p. Tekan lokasi pemasangan jarum intraosseus selama 5 menit.
q. Tutup dengan kassa steril.
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 142
Komplikasi:
a. Gagal memasang akses intraosseus (±20% kasus).
b. Ekstravasasi, dengan kompresi regio poplitea atau saraf tibialis, terutama jika terdapat tulang yang
retak atau berlubang pada korteksnya akibat prosedur intraosseus sebelumnya.
c. Infeksi, berupa osteomielitis (0,6%) dan selulitis.
d. Kerusakan plat epifisis pertumbuhan, hal ini dapat dihindari dengan menjaga jarum tegak lurus ke
tulang.
e. Emboli lemak, walaupun secara teori mungkin terjadi, namun jarang dilaporkan.
f. Sindrom kompartemen
Perhatian :
a. Pemasangan akses intraosseus jangan sampai memperlambat transportasi ke tempat rujukan
b. Maksimal hanya dua kali percobaan pemasangan infus intraosseus
c. Obat-obatan yang diberikan secara intravena (IV), dapat pula diberikan secara intraoseus dengan
dosis yang sama
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 143
Daftar Pustaka
1. Fiorito BA, Mirza F, Doran TM, Oberle AN, Cruz EC, Wendtland CL, et al. Intraosseous
access in the setting of pediatric critical care transport. Pediatr Crit Care Med. 2005;6:50-3.
2. Fisher JD, Nelson DG, Beyersdorf H, Satkowiak LJ. Clinical spectrum of shock in the pediatric
emergency department. Pediatr Emer Care 2010;26: 622-5.
3. Han YY, Carcillo JA, Dragotta MA, et al. Early reversal of pediatric-neonatal septic shock by
community physicians is associated with improved outcome. Pediatrics 2003;112:793–9.
4. Santhanam I, Sangareddi S, Venkataraman S, Kissoon N, Thiruvengadamudayan V, Kasthuri RK.
A prospective randomized controlled study of two fluid regimens in the initial management of
septic shock in the emergency department. Pediatr Emerg Care 2008;24:647-55.
5. Carcillo JA, Han K, Lin J, Orr R. Goal-directed management of pediatric shock in the
emergency department. Clin Ped Emerg Med 2007;8:165-75.
6. McKiernan CA, Lieberman SA. Circulatory shock in children: an overview. Pediatr Rev
2005;26:451-60.
7. Marik PE, Monnet X, Teboul J-L. Hemodynamic parameters to Guide Fluid Therapy. Annals of
Intensive Care 2011;1:1-9.
8. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving Sepsis Campaign: International guidelines for
management of severe sepsis and septic shock: 2008. Crit Care Med 2008;36:296–327.
9. Triratna S dalam buku ajar Pediatri Gawat Darurat UKK Pediatri Gawat Darurat
10. UKK Pediatri Gawat Darurat .Kedaruratan pada anak dalam Buku Pelatihan Prakonika XV
UKK PGD IDAI.IDAI.2011
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 144
Pretest dan Posttest
1. Anak perempuan, 3 tahun, BB 11 kg, dibawa ke UGD karena demam, diare, dan muntah 3 hari.
Pada pengamatan anak tampak apatis, napas cepat dan dalam, ada retraksi dinding dada, suara napas
grunting, akral dingin dan sianosis. Berdasarkan penilaian SAGA, pasien ini dikategorikan :
a. Gawat napas
b. Gangguan kesadaran
c. Gagal sirkulasi
d. Gagal kardiorespirasi
e. Gagal napas
2. Bayi laki-laki 5 bulan, BB 5,5 kg dibawa ke UGD dengan demam tinggi dan sesak napas 4 hari. Pasien
gelisah, nadi 160x/menit, tekanan darah 86/62 mmHg, waktu pengisian kapiler (CRT) 4 detik, RR
58x/menit. SpO2 79%, napas cuping hidung dan retraksi subkostal. Terapi yang paling tepat adalah:
a. Nasal kanul 2 L/menit
b. Simple mask 5 L/menit
c. Sungkup rebreathing 6 L/menit
d. Ventilasi tekanan positif dengan bag-valve mask
e. Sungkup non rebreathing 6 L/menit
3. BG, usia 10 tahun, BB : 30 kg, dibawa ke IGD RS dengan trauma kepala. Pada pemeriksaan fisik :
berespon dengan rangsang nyeri yang sangat kuat, frekuensi jantung : 62 kali/menit, frekuensi napas
: 10 kali/menit, irregular, Tatalaksana yang termasuk didalam tindakan bantuan hidup dasar pada
pasien ini yaitu :
a. Pasang laryngeral mask untuk mempertahankan jalan napas
b. Beri 5 kali bantuan napas awal
c. Kompresi jantung luar
d. Perbaiki posisi pasien dengan posisi stabil
e. Pasang infus perifer
4. Tindakan yang dapat dilakukan pertama sekali untuk membuka jalan nafas pasien pada saat RJPO
adalah :
a. Intubasi
b. Head tilt, chin lift
c. Pemasangan Collar brace
d. Pemberian oksigen
e. Pemberian pernafasan melalui balon resusitasi
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 145
6. Berikut ini adalah obat-obat yang harus disiapkan di ambulance untuk melakukan intubasi:
a. Atropine
b. Dopamine
c. Epinephrine
d. Hydralazine
e. Dobutamine
8. Pada keadaan syok terjadi kegagalan pemasangan akses vena perifer tiga kali oleh petugas yang
kompeten maka pilihan terbaik untuk akses vaskular adalah :
a. Akses vena jugular eksterna
b. Akses vena femoralis
c. Akses intra oseus
d. Akses vena jugular interna
e. Akses vena basilica
9. An M, 4 tahun, sesak 3 hari, didapatkan frekuensi napas 40 kali/menit, sadar-gelisah, terlihat napas
cuping hidung, retraksi intercostal, saturasi 90% tanpa oksigen, terdengar ronki pada kedua paru,
akral hangat dan perfusi perifer baik. Tatalaksana yang sesuai adalah:
a. Sedasi dan intubasi
b. Oksigen sungkup 15 L/menit
c. Ventilasi tekanan positif dengan oksigen 10 L/menit
d. Oksigen nasal 2 L/menit
e. Inhalasi dengan beta-2 agonis
10. Dibawah ini yang bukan merupakan karakteristik low flow oxygen:
a. Memberikan FiO2 25-81%
b. Digunakan pada distress napas ringan
c. Alat yang digunakan adalah nasal kanula
d. Dapat memberikan FiO2 sampai 100%
e. Aliran oksigen lebih rendah daripada aliran inspirasi pasien
11. An. X, 9 tahun mengeluh demam. Pemeriksaan fisis: letargis, RR 32x/mnt retraksi ringan, nadi
120x/mnt, SpO2 98%, Temp 37,8oC. Berapakah skor SADEWA An. X?
a. 3
b. 7
c. 6
d. 5
e. 4
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 146
12. Parameter apa sajakah yang dinilai pada SADEWA?
a. Tensi, nadi, frekuensi napas
b. Nadi, frekuensi napas, saturasi
c. Suhu, nadi, frekuensi napas
d. Kesadaran, nadi, suhu
e. CRT, frekuensi napas, tensi
13. Posisi tangan yang benar pada saat anda melakukan Heimlich Maneuver berada pada ?
a. Antara sternum dan iga
b. Antara umbilikal dan sympisis
c. Antara umbilikal dan xyphoid
d. Antara sternum dan klavikula
e. Tepat di processus xyphoid
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 147
18. Alat yang dapat digunakan untuk memberikan oksigen aliran tinggi adalah:
a. Nasal kanula
b. Sungkup sederhana
c. Sungkup non rebreathing
d. Oropharingeal airway
e. Endotracheal tube
20. Jenis syok yang terjadi akibat kelainan jantung bawaan pada anak adalah:
a. Syok hipovolemi
b. Syok kardiogenik
c. Syok distributif
d. Syok septik
e. Syok Obstruktif
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 148
Studi Kasus
Kasus 1
Seorang anak laki-laki umur 6 tahun 10 bulan, berat badan 22 kg, datang dengan demam 4 hari terus
menerus, anak mengalami kejang, hematemesis dan melena, kesadaran menurun. Saat tiba di ruang
gawat darurat, kesadaran soporous, pernapasan cepat dan dalam, tidak ada retraksi, akral dingin, pucat,
refill kapiler 5 detik, nadi teraba halus, frekuensi nadi 180 kali/menit, tekanan darah 60 mmHg/palpasi.
Pada pemasangan sonde lambung terdapat cairan coklat.
Kasus 2
Seorang anak laki-laki umur 4 tahun, berat badan 20 kg, datang ke UGD dengan riwayat demam tinggi
7 hari. Demam terutama di malam hari dan agak turun pada pagi dan siang hari. Riwayat diare selama
4 hari dan melena. Anak datang dengan suhu 40°C, kesadaran somnolen dan gelisah, Tekanan darah
palpasi 80 / mmHg , nadi isi dan tegangan kecil, akral dingin. Frekuensi napas 40x menit, dan dalam, tak
ada retraksi dan tidak ada ronkhi basah, capillary refill time 5 detik. Sejak 4 jam tidak kencing. Apa yang
anda segera harus dilakukan ?
Apa yang anda harus segera lakukan ?
Apa diagnosis penderita diatas?
Apa tatalaksana yang harus anda berikan?
Apa evaluasi yang harus anda lakukan setelah tatalaksana?
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 149
PELATIHAN PENINGKATAN KAPASITAS BAGI DOKTER DALAM YANKES IBU
DAN BAYI DI 80 KABUPATEN / KOTA LOKUS PERCEPATAN PENURUNAN AKI
DAN AKB MELALUI METODE BLENDED LEARNING
2022
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 150
DATA PESERTA PELATIHAN
NAMA
ASAL
PUSKESMAS
WAHANA
KLINIK
TELP/HP
TANGGAL PENGISIAN:
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 151
Lembar Studi Kasus Pneumonia/TB
Pendampingan Kasus
Concurrent assessment; kasusnya ada, diskusi bedside atau
Retrospective assessment; tidak ada kasus, diskusi berdasarkan rekam medis
Keluhan utama
Anamnesis
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan penunjang
Tata laksana
_______________________
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 152
CHECKLIST UNTUK FASILITATOR DI KABUPATEN/KOTA
PNEUMONIA DAN TB
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 153
No Item yang dinilai Penilaian
0 1 2
13 Dapat melakukan pencatatan dan pelaporan
14 Dapat melakukan rujukan pasien TBC anak
Jumlah
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 154
Lembar Studi Kasus Diare
Pendampingan Kasus
Concurrent assessment; kasusnya ada, diskusi bedside atau
Retrospective assessment; tidak ada kasus, diskusi berdasarkan rekam medis
Keluhan utama
Anamnesis
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan penunjang
Tata laksana
________________________
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 155
CHECKLIST UNTUK FASILITATOR DI KABUPATEN/KOTA
DIARE
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 156
Lembar Studi Kasus Masalah Gizi
Pendampingan Kasus
Concurrent assessment; kasusnya ada, diskusi bedside atau
Retrospective assessment; tidak ada kasus, diskusi berdasarkan rekam medis
Keluhan utama
Anamnesis
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan penunjang
Tata laksana
________________________
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 157
CHECKLIST UNTUK FASILITATOR DI KABUPATEN/KOTA
PEMANTAUAN PERTUMBUHAN & PENENTUAN STATUS GIZI
ASI DAN MPASI
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 158
CHECKLIST UNTUK FASILITATOR DI KABUPATEN/KOTA
KEGAWATDARURATAN BAYI DAN ANAK
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 159
terlihat terangkat
11 Melakukan RJP sebanyak 5 siklus atau 1 menit, tiap siklus
terdiri dari :
15 kali kompresi jantung dan diikuti 2 kali bantuan napas
(15 : 2)
12 Melakukan penilaian nadi dan napas setelah 5 siklus, bila
belum teraba nadi dan belum bernapas lanjutkan RJP
13 Bila ada tanda gawat napas, lakukan langkah 13-16
Memilih terapi oksigen sesuai kondisi klinis
14 Mempersiapkan terapi HFNC:
• Pilihan interface
• Pengaturan aliran (flow) awal
• Pengaturan FiO2 awal
15 Melakukan pemantauan pasien dengan HFNC:
• Kondisi klinis
• Usaha napas (work of breathing)
• Saturasi oksigen (SpO2)
16 Melakukan penyesuaian pengaturan HFNC sesuai hasil
pemantauan
17 Bila ada tanda syok, lakukan langkah 17-19
Mampu melakukan pemasangan akses vakuler perifer
dan bila gagal merencanakan pemasangan intraoseus
18 Mampu mempersiapkan alat intraoseus dan melakukan
pemasangan
19 Mengetahui jenis obat dan cairan yang dapat diberikan
melalui akses intraosseus untuk mengatasi syok
20 Mampu menentukan, mempersiapkan, melakukan
pengecekan peralatan, obat-obatan serta komunikasi
yang baik bila menemukan kasus yang perlu dirujuk dan
transport antar rumah sakit
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 160
Lembar Studi Kasus Sesi Bayi
Nama :
Asal institusi :
Kab/Kota :
Gelombang :
Pendampingan Kasus
Concurrent assessment; kasusnya ada, diskusi bedside atau
Retrospective assessment; tidak ada kasus, diskusi berdasarkan rekam medis
Diare
Masalah Gizi
Kegawatdaruratan
Bayi
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 161
Lembar Penilaian
Pelatihan Peningkatan Kapasitas Dokter di 120 Kabupaten/Kota Lokus Percepatan Penurunan AKB
Metode Blended Learning Tahun 2022
Nama :
Asal institusi :
Kab/Kota :
Gelombang :
Nilai akhir
PANDUAN PESERTA SESI TATA LAKSANA PENYEBAB TERBANYAK KEMATIAN BAYI 162
163