Anda di halaman 1dari 22

PROTOKOL PENELITIAN

Hubungan antara Status Gizi dengan Luaran Pasien Anak dengan


COVID-19 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada Periode
Maret 2020-Juli 2021: Sebuah Studi Retrospektif

Peneliti:
dr. Klara Yuliarti, Sp.A(K)
dr. Madeleaine Ramdhani Jasin, Sp.A(K)
Rivaldo
Intan Dyah Puspitasari
Jason Theola
Rizky Farandi Mubasir
Rosa Syahruzad
dr. Valensia Vivian The

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RSUPN DR. CIPTO MANGUNKUSUMO
JAKARTA
2021
1 DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah Ilmiah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Urgensi (Keutamaan) Penelitian 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Kanker Serviks 3
2.1.1 Definisi, Etiologi, dan Epidemiologi Kanker Serviks 3
2.1.2 Faktor Risiko Kanker Serviks 4
2.1.3 Stadium pada Kanker Serviks 5
2.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kanker Serviks 8
2.2.1 Peran Tingkat Pendidikan pada Pasien Kanker Serviks 8
2.3 Kerangka Teori 9
2.4 Kerangka Konsep 9
BAB III METODE PENELITIAN 10
3.1 Rancangan Penelitian 10
3.2 Waktu dan Tempat 10
3.3 Populasi dan Sampel 10
3.4 Kriteria Penerimaan dan Penolakan 10
3.4.1 Kriteria Penerimaan 10
3.4.2 Kriteria Penolakan 10
3.5 Perhitungan Besar Samepl 11
3.6 ALUR PENELITIAN 11
3.7 Etika Penelitian 12
3.8 Manajemen dan analisis data 13
3.9 Definisi Operasional 14
3.10 Jadwal Penelitian 14
DAFTAR PUSTAKA 15
2
3 BAB I
4 PENDAHULUAN

4.1 Latar Belakang


Dunia saat ini tengah dilanda pandemi COVID-19, termasuk Indonesia. Kasus pertama di
Indonesia muncul pada 2 Maret 2020. Saat ini, jumlah kasus COVID-19 sudah mencapai
2.911.733 kasus terkonfirmasi dengan angka kematian mencapai 74.920. Pandemi COVID-
19 ini berdampak kepada kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, termasuk anak-anak.
Menurut data Kemenkes, anak berusia 0-5 tahun mencapai 3% dari total kasus positif,
sedangkan anak berusia 6-18 tahun mencapai 9.9%.1 Bisa ditambah klasifikasi kasus dan
angka mortalitas dari data yang telah diketahui.
Berbagai faktor berkontribusi terhadap hal ini. Salah satunya adalah adanya krisis
nutrisi di Indonesia. Sebelum pandemi COVID-19, Indonesia telah menghadapi triple
burden of malnutrition, yaitu stunting, wasting, dan obesitas. Hal ini utamanya terjadi pada
anak-anak. Menurut data Riskesdas 2018, jumlah balita berstatus gizi buruk dan gizi kurang
mencapai 17.7%. Selain itu, balita dengan status gizi pendek dan sangat pendek mencapai
37.2%. Sementara itu, balita dengan status gizi gemuk mencapai angka 11.8%.2
Permasalahan nutrisi dapat berpengaruh pada keberlangsungan hidup anak, terutama
ketika sedang mengidap penyakit infeksi. Nutrisi berperan salah satunya dalam pembentukan
sistem kekebalan tubuh. Salah satu yang berperan adalah ASI, yang merupakan imunisasi
pertama bagi bayi. Dengan demikian, malnutrisi dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh,
sehingga anak menjadi lebih rentan terkena infeksi dan juga berpengaruh terhadap luaran
penyakit.3,4
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan adanya korelasi antara malnutrisi dengan
penyakit-penyakit infeksi, seperti malaria dan infeksi parasit.. 5,6 Meski begitu, Hingga kini,
penelitian mengenai status gizi anak dan luaran penyakit COVID-19 masih belum banyak
didapatkan. masih sedikit penelitian yang meneliti korelasi malnutrisi dengan infeksi
COVID-19 pada populasi anak. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk meneliti
hubungan antara malnutrisi dengan infeksi COVID-19 pada anak.

4.2 Rumusan Masalah Ilmiah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
Bagaimana hubungan antara status gizi terhadap luaran penyakit COVID-19 pada pasien
anak? di RSCM tahun 2020-2021?
4.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum:
Mengetahui hubungan status gizi dengan pasien anak dengan luaran penyakit infeksi
COVID-19 pada anak
Tujuan khusus:
1. Mengetahui sebaran status gizi pasien anak dengan diagnosis COVID-19 di RSCM
tahun 2020-2021.
2. Mengetahui sebaran luaran penyakit pada pasien anak dengan diagnosis COVID-19 di
RSCM tahun 2020-2021.
3. Mengetahui hubungan antara status gizi dengan (gizi buruk, gizi kurang, gizi baik,
obesitas) terhadap luaran penyakit pada pasien anak terdiagnosis COVID-19 pada
anak di RSCM tahun 2020-2021.

4.4 Hipotesis Penelitian


Status gizi mempengaruhi luaran pasien anak dengan COVID-19.
1. Anak dengan malnutrisi memiliki derajat penyakit COVID-19 lebih berat
dibandingkan dengan anak dengan status gizi baik
2. Anak dengan malnutrisi memiliki mortalitas lebih tinggi

4.5 Urgensi (Keutamaan) Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat:
1. Mengungkapkan sebaran status gizi pasien anak dengan COVID-19 di RSCM
selama tahun 2020-2021 dan hubungannya dengan luaran penyakit COVID-19
2. Menjadi salah satu referensi untuk mengetahui faktor risiko nutrisi terhadap luaran
penyakit COVID-19 pada anak sehingga menjadi panduan untuk tata laksana
pasien anak dengan COVID-19
3. Menjadi pemicu untuk penelitian selanjutnya mengenai analisis lebih lanjut terhadap
peranan status gizi terhadap penyakit COVID-19 pada anak
5 BAB II
6 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nutrisi dan Status Gizi


2.1.1. Definisi dan Pengukuran Status Gizi
Status gizi adalah kondisi yang dicapai akibat dari asupan zat gizi yang diterima dengan
kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk proses metabolisme dalam tubuh.7 Perubahan pada
asupan maupun kebutuhan zat gizi akan menyebabkan perubahan status gizi. Perubahan
tersebut diakibatkan oleh berbagai faktor, seperti usia, jenis kelamin, kondisi tubuh
seseorang, dan berbagai macam faktor lain.7,8
Penilaian status pertumbuhan dan status gizi pada anak di Indonesia mengikuti
Rekomendasi Asuhan Nutrisi Pediatrik Ikatan Dokter Anak Indonesia. (kepustakaan) Pada
usia 0-5 tahun, kurva yang digunakan adalah WHO 2006 berdasarkan skor Z, sedangkan
untuk anak usia di atas 5 sampai 18 tahun menggunakan CDC 2000 berdasarkan kriteria
Waterlow. Tabel 1 berikut menunjukkan penentuan status gizi menggunakan grafik WHO
2006.9

Tabel 1. Penentuan statuz gizi menurut kriteria Waterlow (grafik CDC) dan grafik WHO

2.1.2. Hubungan Nutrisi dan Infeksi


Status gizi dipengaruhi oleh asupan dan kebutuhan nutrisi. Banyak faktor yang berperan di
dalamnya, namun bisa disederhanakan melihat dari hubungan antara pejamu, agen, dan
lingkungan. Ketidakseimbangan salah satu faktor tersebut akan menyebabkan perubahan
status gizi dan menimbulkan masalah gizi, salah satunya adalah infeksi.7
Infeksi dan nutrisi saling memengaruhi. Nutrisi yang adekuat sejak dalam kandungan
akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi. Berlangsung hingga bayi menyusui, air
susu ibu (ASI) juga memiliki banyak zat gizi yang baik untuk bayi membangun sistem
imunitas dalam tubuhnya, terutama bayi akan menerima imunisasi. Selain itu, keadaan
malnutrisi bisa mengakibatkan seseorang lebih rentan terkena infeksi dan tingkat
kesembuhan yang lebih lama daripada yang memiliki status gizi cukup. Namun, kondisi
infeksi sendiri bisa meningkatkan risiko malnutrisi. Pada saat tubuh mengalami infeksi,
banyak zat gizi yang berkurang, contohnya vitamin C, zat besi, maupun protein. Kekurangan
ini perlu mendapatkan asupan yang adekuat, namun pada orang sakit biasanya timbul gejala
anoreksia, sehingga kondisi ini bisa menyebabkan sebuah lingkaran setan, dan bisa berakibat
fatal jika tidak ditangani lebih lanjut.3,4
Hal ini juga selaras dengan beberapa penelitian sebelumnya. Das et al menyebutkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara malnutrisi dengan kematian yang
disebabkan oleh malaria.5 Selain itu, Ahmed et al dalam penelitiannya, menunjukkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara infeksi parasit dengan luaran berupa malnutrisi dan
anemia pada kelompok anak-anak.6

2.2. Parameter Laboratorium dengan Status Nutrisi


Status gizi berlebih berhubungan dengan peningkatan kadar CRP (C-Reactive Protein) pada
serum pada populasi anak-anak. Beberapa studi dengan jumlah populasi yang cukup besar
menunjukkan peningkatan kadar CRP pada anak-anak yang obesitas. Hal ini berhubungan
dengan inflamasi kronik dari pasien obesitas. Adiposit menghasilkan sitokin-sitokin
proinflamasi yang mengakibatkan kondisi inflamasi low-grade. Inflamasi ini meningkatkan
produksi CRP sebagai salah satu marka inflamasi yang dihasilkan oleh tubuh ketika terjadi
inflamasi pada tubuh, seperti infeksi, trauma, dan sebagainya.10,11
Selain itu, obesitas dihubungkan dengan peningkatan marka hemostasis seperti D-
dimer dan fibrinogen, dan penurunan jumlah inhibitor fibrinolitik. Hal ini menyebabkan
peningkatan kejadian trombosis dan penurunan kondisi fibrinolitik.12,13

2.3. COVID-19
COVID-19 (Coronavirus Disease 2019) adalah sebuah penyakit menyerupai pneumonia
yang ditemukan pertama kali di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Penyakit ini terus menyebar
hingga menjadi pandemi. Etiologi dari penyakit ini adalah SARS-CoV-2 (severe acute
respiratory syndrome coronavirus 2), yang sebelumnya memiliki nama 2019-nCoV.14
Coronavirus merupakan virus berkapsul dengan materi genetik RNA. SARS-CoV-2 ini
merupakan subgenus dari virus SARS.15 Virus ini berkerabat dekat dengan dua coronavirus
pada kelelawar.16 Mirip dengan SARS-CoV, reseptor pejamu yang digunakan untuk masuk
ke dalam tubuh adalah ACE2 (angiotensin-converting enzyme 2).17
Hingga 19 Juli 2021, WHO mencatat sejak pertama kali penyakit ini ditemukan, sudah
sekitar 190,597,409 kasus terkonfirmasi, dengan angka kematian sekitar 4,093,145.18 Di
Indonesia, terdapat 2,911,733 orang yang terkonfirmasi positif COVID-19, dengan angka
kematian mencapai 74,920 orang.19 Penyebaran yang cepat ini didukung selain mobilitas
yang tinggi, transmisi virus ini melalui droplet ketika seseorang yang terinfeksi batuk atau
bersin. Selain itu juga virus ini mampu ditularkan sejak beberapa hari sebelum gejala
muncul.20
Gejala pasien yang terinfeksi COVID-19 bervariasi, mulai dari asimtomatik hingga
yang menunjukkan gejala parah sehingga perlu dilakukan perawatan intensif di rumah sakit.
Menurut laporan yang ada, perkiraan pasien asimtomatik bisa mencapai 33% dari yang
terkonfirmasi COVID-19.21 Studi besar dari Chinese Center for Disease Control and
Prevention melibatkan 72,314 laporan kasus yang ada, dibagi menjadi gejala ringan
(meliputi tanpa atau pneumonia ringan) sekitar 81%, gejala berat (meliputi dispnea, hipoksia,
serta gambaran pencitraan toraks menunjukkan keterlibatan >50% lapang paru dalam 24--48
jam) sekitar 14%, dan gejala kritis (meliputi gagal napas, syok, atau disfungsi multiorgan)
sekitar 5%. Hal ini juga bervariasi menyesuaikan dengan kelompok usia dan adanya
komorbid pada pasien tersebut.22
Dalam perjalanan penyakit ini, terdapat periode inkubasi yang bervariasi antara 4--5
hari, namun beberapa penelitian menunjukkan periode inkubasi paling lama hingga 14 hari
sejak terpajan virus tersebut.23 Gejala awal yang biasa dialami berdasarkan sebuah studi
CDC yang dilakukan di Amerika Serikat pada 370,000 laporan kasus terkonfirmasi, yaitu
batuk (50%), demam (43%), nyeri otot (36%), nyeri kepala (34%), sesak (29%), nyeri
tenggorokan (20%), diare (19%), mual muntah (12%), serta kehilangan penciuman yang
<10%.24 Dalam beberapa hari, beberapa pasien bisa menimbulkan gejala berat sehingga perlu
perawatan di rumah sakit. Gejala biasa memberat setelah 7-8 hari setelah gejala awal
muncul.25 Gejala yang biasa muncul pada kondisi kritis adalah gagal napas, yang akan
mengakibatkan komplikasi di organ lain seperti gagal ginjal akut (acute kidney injury, AKI),
saluran cerna, neurologis, jantung, trombosis, sepsis, dan pneumotoraks.26
Persebaran gejala COVID-19 pada anak-anak juga mirip pada populasi orang dewasa.
Pada sebuah tinjauan sistematis dan meta-analisis pada populasi berjumlah 9,335 yang
terkonfirmasi positif, gejala awal berupa demam (63%), batuk (34%), mual muntah (20%),
dan diare (20%). Beberapa gejala lain seperti sesak, gejala pada hidung, ruam, kelelahan,
tanda mirip penyakit Kawasaki, masih terjadi <20%.27 Gejala COVID-19 pada anak dapat
dibagi menjadi lima, yaitu asimtomatik (tidak adanya gejala yang berhubungan dengan
COVID-19); ringan (adanya gejala saluran napas atas [seperti demam, kelelahan, myalgia,
batuk, nyeri tenggorokan, pilek] dan/atau gejala saluran cerna [mual, muntah, nyeri
abdomen], sedang (adanya gejala ringan dengan gejala pneumonia tanpa hipoksemia); berat
(adanya gejala sedang dengan dispnea, saturasi oksigen <92%, dan sianosis sentral); dan
kritis (adanya acute respiratory distress syndrome [ARDS], gagal napas, ensefalopati, AKI,
infark miokard, dan disfungsi koagulasi).28 Liguoro et al melalui tinjauan sistematisnya,
melaporkan bahwa sekitar 15% anak-anak asimtomatik, 42% menunjukkan gejala ringan,
39% gejala sedang, 2% gejala berat, dan 0,7% saja yang mengalami gejala kritis. 29 Terdapat
beberapa faktor risiko yang menimbulkan gejala yang lebih berat, seperti kondisi
imunosupresi, asma, penyakit jantung bawaan, obesitas, dan kondisi metabolik.30

2.4. Status Gizi dengan COVID-19


Sudah ada beberapa penelitian yang menghubungkan status gizi dengan COVID-19.
Zhao et al melaporkan bahwa COVID-19 dapat menyebabkan risiko nutrisi pada pasien
dengan komorbid tertentu seperti malnutrisi dan penyakit kronik lainnya, sehingga
menyebabkan risiko kematian dan lamanya perawatan di rumah sakit pada pasien dewasa. 31
Song et al juga melaporkan hal yang sama, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan pada risiko malnutrisi terhadap tingkat kematian di rumah sakit.32 Risiko
malnutrisi ini didapatkan pada skoring yang dilakukan oleh masing-masing penelitian.31,32
Selain COVID-19 mampu meningkatkan risiko malnutrisi pada pasien, adanya
komorbid nutrisi pada pasien juga meningkatkan prognostik buruk pada pasien. Seperti studi
yang telah dihimpun oleh Fedele et al, pasien dewasa dengan obesitas dan malnutrisi
mengalami peningkatan risiko kematian di rumah sakit akibat komplikasi pada pernapasan
dan sistem kardiovaskular. Selain itu, beberapa defisiensi mikronutrien juga diduga
memperburuk prognosis pasien dewasa, salah satunya adalah defisiensi vitamin D.33 Zhou et
al juga melaporkan hal yang sama, menggunakan skoring CONUT (controlling nutritional
status) untuk menentukan status nutrisi dan imun, menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan dengan tingkat kematian dan perpindahan ke ICU (intensive care unit) akibat
perburukan.34
Hingga saat ini, studi korelatif antara status nutrisi pada prognosis pasien COVID-19
pada populasi anak masih terbatas. Kompaniyets et al melaporkan bahwa pasien obesitas
meningkatkan risiko rawat inap dan gejala berat, sesuai juga dengan penelitian lain. 30,35
Selain itu, Fernandes et al juga menyatakan bahwa obesitas menjadi salah satu prediktor
independen untuk gejala yang lebih berat.36 Yilmas dan Şen menunjukkan bahwa defisiensi
vitamin D menyebabkan gejala demam lebih tinggi pada anak dengan COVID-19, walaupun
tidak ada hubungan dengan lama perawatan dan tingkat mortalitas.37 Namun, terdapat
penelitian lain yang menunjukkan bahwa obesitas tidak berhubungan signifikan terhadap
keparahan gejala. Keterbatasan studi ini adalah sampel yang diteliti lebih sedikit.38
Hingga sekarang, mekanisme obesitas terhadap luaran pasien dengan COVID-19
masih dipelajari lebih lanjut. Smati et al menyatakan bahwa obesitas pada pasien COVID-19
dengan komorbid diabetes tipe II memperburuk prognosis awal pasien secara signifikan,
selain pada pasien lansia.39 Busetto et al menyatakan bahwa pasien overweight dan obesitas,
walaupun masih berusia muda, membutuhkan perawatan intensif dan bantuan ventilator
dibandingkan pasien dengan berat badan normal.40
Ada beberapa mekanisme yang diajukan terkait pengaruh obesitas terhadap prognosis
pasien COVID-19. Obesitas adalah penyakit metabolik yang dapat tergambar oleh resistensi
insulin, peningkatan glukosa serum, peningkatan leptin, serta inflamasi kronik low-grade.
Pada infeksi, glukosa serum yang tidak terkontrol dapat memengaruhi fungsi sel imun.
Insulin dan leptin berperan dalam produksi sitokin efektor seperti IFN-γ and TNF-α.
Turunan asam lemak rantai panjang, antara lain prostaglandin, berperan dalam memulai
respon lokal ketika terjadi infeksi.41 Gangguan pada komponen-komponen di atas dapat
mengganggu respon imun tubuh terhadap infeksi, termasuk kemungkinan COVID-19.
Teori lain yang diajukan terkait dengan hubungan kolesterol dan reseptor ACE-2.
SARS-CoV membutuhkan kolesterol untuk berikatan dengan reseptor ACE-2. Tanpa
kolesterol, ikatan antara protein S pada SARS-CoV dan receptor ACE-2 berkurang secara
signifikan.41 Pasien dengan obesitas sering kali diiringi dengan dislipidemia, sehingga dapat
memengaruhi infeksi COVID-19 yang dialami.
Kondisi malnutrisi sendiri masih terus diteliti apakah memang pasien dengan kondisi
tersebut meningkatkan risiko terinfeksi dan memunculkan gejala yang lebih berat.
Berdasarkan studi terkini, malnutrisi memengaruhi sebagian parameter imun tubuh. Hitung
total leukosit dan limfosit, limfosit T dan CD4 terlihat normal pada mayoritas pasien, dan
cenderung lebih ditentukan pada kondisi infeksi daripada kondisi nutrisi. Anak-anak dengan
malnutrisi menunjukkan ada respons fase akut terhadap infeksi yang meningkat dengan
peningkatan CRP (C-Reactive Protein) dengan kadar IgM dan IgG yang cenderung normal
atau meningkat. Namun, terdapat juga beberapa parameter imun yang berubah, seperti
peningkatan sel-sel inflamatorik di usus, penurunan faktor komplemen di darah, dan
peningkatan apoptosis pada limfosit.42
Beberapa studi menunjukkan adanya peranan hormon pada malnutrisi. Peranan leptin,
prolaktin, dan growth hormone (GH) menstimulasi pertumbuhan dan fungsi timus, dan
kadarnya rendah pada anak-anak malnutrisi.43-45 Studi lain menyebutkan rendahnya kadar
berhubungan dengan tingginya risiko kematian pada kondisi malnutrisi. Terdapat sebuah
hipotesis yang disebut “hipotesis toleransi”, yang menyebutkan bahwa imunitas seluler yang
rendah merupakan adaptasi untuk mencegah reaksi autoimun, dan harga yang harus dibayar
adalah kerentanan untuk mengalami infeksi. Namun, studi ini perlu ditelusuri lebih lanjut
terkait reaksi autoimun pada anak-anak malnutrisi.46
Peranan malnutrisi pada COVID-19 menunjukkan adanya hubungan erat, terutama
pada pasien geriatri. Pada pasien dengan malnutrisi protein-energi (PEM, protein-energy
malnutrition) khususnya pada pasien geriatri yang juga mengalami imunosenesen yang
terinfeksi COVID-19, memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. 47,48 Pada anak, topik ini masih
belum diteliti lebih mendalam. Namun pada penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa PEM
berhubungan dengan peningkatan risiko gejala berat respirasi yang berhubungan dengan
influenza di Afrika Selatan (OR [odd ratio] yang disesuaikan 2,4, CI [confidence interval]
95% 1,1-5,6)47,49
Selain itu, peranan vitamin D pada infeksi COVID-19 juga masih terus berkembang.
Vitamin D memengaruhi imunitas bawaan dan imunitas adaptif. Reseptor vitamin D (VDR,
vitamin D receptor) ada pada makrofag, limfosit T, dan jaringan timus. Metabolit aktif
vitamin D, 1,25-dihidroksivitamin D (1,25[OH]D) menunjukkan pengaruh terhadap sistem
imun melalui beberapa jalur: memacu perubahan monosit menjadi makrofag, menurunkan
aktivitas antigen-presenting makrofag, mencegah maturasi sel dendritik; menginhibisi
hipersensitivitas tipe lambat; supresi aktivitas dan produksi sel NK (natural killer);
mengurangi sitokin proinflamasi tipe I seperti interferon-gamma, tumor necrosis factor-beta,
dan interleukin-2, interleukin-6, interleukin-8, dan interleukin 12.50 Hipovitaminosis D
berhubungan dengan peningkatan rasio CD4/CD8, sehingga terjadi penurunan kemampuan
sistem imun menghasilkan limfosit T teraktivasi. Selain itu, dengan kadar 1,25(OH)D yang
normal pada serum, terdapat produksi katelisidin dan defensin yang tidak hanya
meningkatkan aktivitas antimikroba pada sistem imun, tetapi juga mengeliminasi virus
influenza.50 Lakkiredy et al. menunjukkan bahwa terdapat penurunan yang signifikan dari
makra inflamasi melalui suplementasi vitamin D dosis tinggi pada kelompok eksperimental
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya menjalani terapi standar COVID-19.51
Beberapa studi juga menunjukkan penurunan risiko gejala berat COVID-19 pada kondisi
pasien yang memiliki kadar vitamin D yang cukup sebelum masuk rawat inap dan juga
melalui studi uji klinis.50
Dari studi-studi yang telah disebutkan, masih sedikit bukti yang mendukung adanya
hubungan status nutrisi terhadap keparahan gejala COVID-19, termasuk lama rawat inap,
durasi penggunaan ventilasi. Studi sebelumnya juga tidak memasukkan pasien yang
malnutrisi atau mengalami gizi kurang.

2.5. Kerangka Teori

2.6. Kerangka Konsep


7 BAB III
8 METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian


Penelitian ini akan menggunakan metode studi potong lintang. Sumber data penelitian ini
berasal dari rekam medis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui korelasi antara status nutrisi pasien COVID-19 anak dengan luaran
klinisnya.

3.2. Waktu dan Tempat


Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2021 s.d.hingga Juli 2022 di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta. Penelitian dilakukan dari penyusunan proposal hingga penelitian
dipublikasikan.
Data diambil dari rekam medis pasien anak dengan COVID-19 sejak Maret 2020 hingga
Desember 2021???

3.3. Populasi dan Subjek


Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien anak terkonfirmasi COVID-19 di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo. Subjek penelitian ini adalah pasien anak terkonfirmasi
COVID-19 yang memiliki data lengkap terkait variabel yang hendak dinilai.

3.4. Kriteria Penerimaan dan Penolakan


3.4.1. Kriteria Penerimaan
● Anak usia 0-18 tahun yang terkonfirmasi positif COVID-19 menggunakan PCR
dengan hasil positif untuk PCR SARS-CoV2.
3.4.2. Kriteria Penolakan
● Data rekam medis tidak lengkap
3.5. Variabel
● Variabel bebas pada studi ini meliputi:
○ Status nutrisi
○ Berat badan terhadap usia
○ Tinggi badan terhadap usia
● Variabel tergantung yaitu tingkat keparahan COVID-19.

3.6. Perhitungan Besar Sampel


Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan lebih dari satu variabel bebas
dan satu variabel terikat, sehingga rumus perhitungan jumlah sampel minimum dengan
proporsi dua kelompok tidak memungkinkan untuk digunakan. Oleh karena itu, untuk
menghitung jumlah sampel minimum studi ini digunakan rumus:

dengan
n = jumlah sampel minimum
I = jumlah variabel bebas = 3, yaitu status nutrisi, berat badan terhadap usia, dan tinggi
badan terhadap usia
P = proporsi studi secara keseluruhan, yaitu penjumlahan proporsi subyek dengan
gangguan nutrisi yang mengalami gejala COVID berat-kritis dan ringan-sedang lalu
dibagi 2 = (0.39 + 0.5)/2 = 0.444*
*dihitung menggunakan data penelitian relevan sebelumnya28
Berdasarkan perhitungan di atas, sampel minimum yang dibutuhkan adalah sebanyak 68
sampel

3.7. Alur Penelitian


Penelitian ini dimulai ketika proposal telah selesai disusun dan lolos kaji etik. Selanjutnya,
dilakukan pengambilan data pada rekam medis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
dengan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dilakukan pengolahan data,
analisis data, dan pembuatan publikasi/laporan penelitian.
SKEMA ALUR PENELITIAN

3.8. Etika Penelitian


Penelitian adalah penelitian yang dilakukan oleh Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan menggunakan data rekam medis sehingga
membutuhkan persetujuan lulus kaji etik. Hal yang harus senantiasa dijunjung tinggi
dalam pelaksanaan penelitian:
1. Hak-hak subjek sebagai manusia dengan menjaga kerahasiaan serta tidak
memanfaatkan data-data pribadi pasien
2. Bertindak jujur dan tidak merugikan subjek
3. Melaksanakan penelitian sesuai dengan etika profesi dokter

3.9. Manajemen dan analisis data


Data yang dikumpulkan akan dianalisis menggunakan IBM SPSS for Windows versi 20
dan Microsoft Excel. Data yang dikumpulkan berupa identitas, status nutrisi, dan luaran
klinis pasien tersebut, (lama hari perawatan, lama hari sampai dengan bebas gejala,
riwayat penggunaan ventilasi mekanik, dan luaran klinis umum (meninggal atau tidak)),
dan parameter laboratorium (CRP, D-dimer, fibrinogen, dan darah perifer lengkap).
Definisi Operasional

N Variabe Definisi operasional Skala


o l ukur
1 Status BB/TB diplot pada kurva WHO 2006 untuk anak usia Kategori
Nutrisi 0 - 5 tahun dan CDC 2000 untuk anak usia 5 - 18 k
tahun.

BB/TB < -3 SD : Gizi buruk


-3 SD < BB/TB < -2 SD : Gizi kurang
-2 SD < BB/TB < +1 SD : Gizi baik
> +1 SD : Risiko gizi lebih (overweigth atau obesitas),
lanjutkan ploting pada kurva IMT/U (demikian pula
bila pada kurva CDC 2000 didapatkan perhitungan
status gizi >110%)

IMT/U diplot pada kurva WHO 2006 untuk anak usia


0 - 2 tahun dan CDC 2000 untuk anak usia 2 - 18
tahun.

IMT > +3 SD : Obesitas


IMT > +2 SD : Overweight
+1SD > IMT > +2SD : Risiko Gizi Lebih
-2SD > IMT > +1SD : Gizi Baik
-2SD > IMT > -3SD : Gizi Kurang
IMT < -3 SD : Gizi Buruk
2 Berat BB/U diplot pada kurva WHO 2006 untuk anak usia 0 Kategori
badan - 5 tahun dan CDC 2000 untuk anak usia 5 - 18 tahun. k
terhadap
usia BB/U < -3 SD: Berat badan sangat kurang
-3 SD < BB/U < -2 SD: Berat badan kurang
-2 SD < BB/U < +1 SD: Berat badan normal
BB/U > +1 SD: Risiko berat badan lebih
3 Tinggi TB/U diplot pada kurva WHO 2006 untuk anak usia 0 Kategori
badan - 5 tahun dan CDC 2000 untuk anak usia 5 - 18 tahun. k
terhadap
usia TB/U >+3 SD : Sangat tinggi
-2SD>TB/U>+3SD : Tinggi badan normal
-2SD>TB/U>-3SD : Pendek
TB/U <-3 SD : Sangat pendek
4 Tingkat Ringan : Gejala infeksi saluran napas atas (malaise, Kategori
keparaha demam, batuk, nyeri tenggorokan, pilek, mialgia, k
n bersin) dan gejala non respiratori, seperti nyeri perut,
COVID- mual, muntah, atau gejala.
19
Sedang : Gejala dan tanda klinis pneumonia. Demam,
batuk, takipnu*, dapat disertai ronki atau wheezing
pada auskultasi paru tanpa distres
napas dan hipoksemia.
*Takipnu= Frekuensi napas <2 bulan:
≥60x/menit, 2–11 bulan: ≥50x/menit, 1–5
tahun: ≥40x/menit, >5 tahun: ≥30x/menit

Berat:
Gejala dan tanda klinis pneumonia berat berupa napas
cuping hidung, sianosis, retraksi subkostal, desaturasi
(saturasi oksigen
<95%).
Adanya tanda dan gejala bahaya umum seperti kejang,
penurunan kesadaran, muntah profuse, tidak dapat
minum, dengan atau
tanpa gejala respiratori.

Kritis:
Gejala dan tanda klinis pneumonia berat berupa napas
cuping hidung, sianosis, retraksi subkostal, desaturasi
(saturasi oksigen
<95%).
Adanya tanda dan gejala bahaya umum seperti kejang,
penurunan kesadaran, muntah profuse, tidak dapat
minum, dengan atau
tanpa gejala respiratori.

3.10. Analisis statistik


Normalitas distribusi data diuji dengan menggunakan uji Saphiro-wilk. Data yang
terdistribusi secara normal akan disajikan sebagai rerata dan standar deviasi, sedangkan data
yang tidak terdistribusi secara normal akan disajikan sebagai median dan rentang.
Hubungan variabel bebas (status nutrisi, tinggi badan terhadap usia, dan berat badan
terhadap usia) dan variabel tergantung (derajat covid ringan/sedang/berat/kritis) dianalisis
menggunakan uji Chi-square atau Fisher. Hasil uji Chi-square digunakan apabila data yang
dianalisis memenuhi syarat uji Chi-square, yaitu berupa data kategorik dengan expected
count kurang dari lima yang tidak melebihi 20%. Apabila tidak memenuhi syarat Chi-square,
data dianalisis dengan uji Fisher exact test. Nilai p < 0.05 dianggap bermakna.
Korelasi parameter inflamasi (CRP, d-dimer, fibrinogen) sebagai variabel antara dengan
variabel bebas (status gizi) dan luaran (covid ringan/sedang/berat/kritis) dianalisis
menggunakan uji Pearson untuk data yang terdistribusi secara normal, atau Spearman untuk
data yang tidak terdistribusi secara normal.

3.11. Jadwal Penelitian

Uraian Kegiatan 20 20
21 22
7 8 8- 10- 1-3
10 12
Pembuatan Proposal
Pengajuan Komite Etik
Penelitian
Analisis Data
Penulisan Laporan
Publikasi
9 DAFTAR PUSTAKA

1. Peta sebaran [Internet]. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2021 Jul 20 [cited 2020 jul
20]. Available from: https://covid19.go.id/peta-sebaran
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan nasional RISKESDAS 2018.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2018.
3. Katona P, Katona-Apte J. The interaction between nutrition and infection. Clin Infect
Dis. 2008;46(10):1582-8.
4. Farhadi S, Ovchinnikov R. The relationship between nutrition and infectious diseases: A
review. Biomed Biotechnol Res J. 2018;2(3):168-72.
5. Das D, Grais RF, Okiro EA, Stepniewska K, Mansoor R, van der Kam S, et al. Complex
interactions between malaria and malnutrition: a systematic literature review. BMC Med.
2018;16(1):186.
6. Ahmed A, Al-Mekhlafi HM, Al-Adhroey AH, Ithoi I, Abdulsalam AM, Surin J. The
nutritional impacts of soil-transmitted helminths infections among Orang Asli
schoolchildren in rural Malaysia. Parasit Vectors. 2012;5(1):119.
7. Par'i HM, Wiyono S, Harjatmo TP. Penilaian status gizi. Penilaian status gizi. 1 ed.
Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan;
2017. p. 3-13.
8. Pan WH, Yeh WT. How to define obesity? Evidence-based multiple action points for
public awareness, screening, and treatment: an extension of Asian-Pacific
recommendations. Asia Pac J Clin Nutr. 2008;17(3):370-4.
9. Unit Kerja Koordinasi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Asuhan nutrisi pediatrik. 1 ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
10. Visser M, Bouter LM, McQuillan GM, Wener MH, Harris TB. Low-grade systemic
inflammation in overweight children. Pediatrics. 2001 Jan 1;107(1):e13.
11. Ford ES, Galuska DA, Gillespie C, Will JC, Giles WH, Dietz WH. C-reactive protein and
body mass index in children: Findings from the Third National Health and Nutrition
Examination Survey, 1988-1994. J Pediatr. 2001 Apr 1;138(4):486–92.
12. Semeraro F, Giordano P, Faienza MF, Cavallo L, Semeraro N, Colucci M. Evidence that
fibrinolytic changes in paediatric obesity translate into a hypofibrinolytic state. Thromb
Haemost. 2017 Nov 25;108(08):311–7.
13. Giordano P, Del Vecchio GC, Cecinati V, Delvecchio M, Altomare M, De Palma F, et al.
Metabolic, inflammatory, endothelial and haemostatic markers in a group of Italian obese
children and adolescents.Eur J Pediatr. 2011 Jul 1;170(7):845–50.
14. World Health Organization. WHO Director-General's remarks at the media briefing on
2019-nCoV on 11 February 2020 [Internet]. World Health Organization; 2020 [Diakses
20 Juli 2021]. Tersedia di: https://www.who.int/director-general/speeches/detail/who-
director-general-s-remarks-at-the-media-briefing-on-2019-ncov-on-11-february-2020.
15. Gorbalenya AE, Baker SC, Baric RS, de Groot RJ, Drosten C, Gulyaeva AA, et al. The
species Severe acute respiratory syndrome-related coronavirus: classifying 2019-nCoV
and naming it SARS-CoV-2. Nat Microbiol. 2020;5(4):536-44.
16. Perlman S. Another decade, another coronavirus. N Engl J Med. 2020;382(8):760-2.
17. Zhou P, Yang X-L, Wang X-G, Hu B, Zhang L, Zhang W, et al. A pneumonia outbreak
associated with a new coronavirus of probable bat origin. Nature. 2020;579(7798):270-3.
18. World Health Organization. WHO coronavirus (COVID-19) dashboard [Internet]. World
Health Organizaton; 2021 [Diakses 20 Juli 2021] Tersedia di: https://covid19.who.int/.
19. Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Beranda [Internet]. Satuan Tugas Penanganan
COVID-19; 2021 [Diakses 20 Juli 2021] Tersedia di: https://covid19.go.id/.
20. Meyerowitz EA, Richterman A, Gandhi RT, Sax PE. Transmission of SARS-CoV-2: A
review of viral, host, and environmental factors. Ann Intern Med. 2020;174(1):69-79.
21. Oran DP, Topol EJ. The proportion of SARS-CoV-2 infections that are asymptomatic.
Ann Intern Med. 2021;174(5):655-62.
22. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and important lessons from the coronavirus
disease 2019 (COVID-19) outbreak in China: Summary of a report of 72 314 cases from
the Chinese Center for Disease Control and Prevention. JAMA. 2020;323(13):1239-42.
23. Li Q, Guan X, Wu P, Wang X, Zhou L, Tong Y, et al. Early transmission dynamics in
Wuhan, China, of novel coronavirus–infected pneumonia. N Engl J Med.
2020;382(13):1199-207.
24. Stokes EK, Zambrano LD, Anderson KN, Marder EP, Raz KM, El Burai Felix S, et al.
Coronavirus disease 2019 case surveillance - United States, January 22-May 30, 2020.
MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2020;69(24):759-65.
25. Cohen PA, Hall LE, John JN, Rapoport AB. The early natural history of SARS-CoV-2
infection: Clinical observations from an urban, ambulatory COVID-19 clinic. Mayo Clin
Proc. 2020;95(6):1124-6.
26. Cummings MJ, Baldwin MR, Abrams D, Jacobson SD, Meyer BJ, Balough EM, et al.
Epidemiology, clinical course, and outcomes of critically ill adults with COVID-19 in
New York City: a prospective cohort study. Lancet. 2020;395(10239):1763-70.
27. Irfan O, Muttalib F, Tang K, Jiang L, Lassi ZS, Bhutta Z. Clinical characteristics,
treatment and outcomes of paediatric COVID-19: a systematic review and meta-analysis.
Arch Dis Child. 2021;106(5):440.
28. Dewi R, Kaswandani N, Karyanti MR, et al. Mortality in children with positive SARS-
CoV-2 polymerase chain reaction test: Lessons learned from a tertiary referral hospital in
Indonesia. Int J Infect Dis. 2021;107:78-85. doi:10.1016/j.ijid.2021.04.019
29. Liguoro I, Pilotto C, Bonanni M, Ferrari ME, Pusiol A, Nocerino A, et al. SARS-COV-2
infection in children and newborns: a systematic review. Eur J Pediatr.
2020;179(7):1029-46.
30. Kompaniyets L, Agathis NT, Nelson JM, Preston LE, Ko JY, Belay B, et al. Underlying
medical conditions associated with severe COVID-19 illness among children. JAMA
Netw Open. 2021;4(6):e2111182-e.
31. Zhao X, Li Y, Ge Y, Shi Y, Lv P, Zhang J, et al. Evaluation of nutrition risk and its
association with mortality risk in severely and critically ill COVID-19 patients. JPEN J
Parenter Enteral Nutr. 2021;45(1):32-42.
32. Song F, Ma H, Wang S, Qin T, Xu Q, Yuan H, et al. Nutritional screening based on
objective indices at admission predicts in-hospital mortality in patients with COVID-19.
Nutr J. 2021;20(1):46.
33. Fedele D, De Francesco A, Riso S, Collo A. Obesity, malnutrition, and trace element
deficiency in the coronavirus disease (COVID-19) pandemic: An overview. Nutrition.
2021;81:111016.
34. Zhou J, Ma Y, Liu Y, Xiang Y, Tao C, Yu H, et al. A correlation analysis between the
nutritional status and prognosis of COVID-19 patients. J Nutr Health Aging.
2021;25(1):84-93.
35. Zachariah P, Johnson CL, Halabi KC, Ahn D, Sen AI, Fischer A, et al. Epidemiology,
clinical features, and disease severity in patients with coronavirus disease 2019 (COVID-
19) in a children’s hospital in New York City, New York. JAMA Pediatr.
2020;174(10):e202430-e.
36. Fernandes DM, Oliveira CR, Guerguis S, Eisenberg R, Choi J, Kim M, et al. Severe acute
respiratory syndrome coronavirus 2 clinical syndromes and predictors of disease severity
in hospitalized children and youth. J Pediatr. 2021;230:23-31.e10.
37. Yılmaz K, Şen V. Is vitamin D deficiency a risk factor for COVID-19 in children?
Pediatr Pulmonol. 2020;55(12):3595-601.
38. Chao JY, Derespina KR, Herold BC, Goldman DL, Aldrich M, Weingarten J, et al.
Clinical characteristics and outcomes of hospitalized and critically ill children and
adolescents with coronavirus disease 2019 at a tertiary care medical center in New York
City. J Pediatr. 2020;223:14-9.e2.
39. Smati S, Tramunt B, Wargny M, Caussy C, Gaborit B, Vatier C, Vergès B, Ancelle D,
Amadou C, Bachir LA, Bourron O. Relationship between obesity and severe COVID ‐19
outcomes in patients with type 2 diabetes: Results from the CORONADO study.
Diabetes, Obesity and Metabolism. 2021 Feb;23(2):391-403.
40. Busetto L, Bettini S, Fabris R, Serra R, Dal Pra C, Maffei P, Rossato M, Fioretto P,
Vettor R. Obesity and COVID‐19: an Italian snapshot. Obesity. 2020 Sep;28(9):1600-5.
41. Popkin BM, Du S, Green WD, Beck MA, Algaith T, Herbst CH, Alsukait RF, Alluhidan
M, Alazemi N, Shekar M. Individuals with obesity and COVID‐19: A global perspective
on the epidemiology and biological relationships. Obesity Reviews. 2020
Nov;21(11):e13128.
42. Rytter MJH, Kolte L, Briend A, Friis H, Christensen VB. The immune system in
children with malnutrition—a systematic review. PLOS ONE. 2014 Aug
25;9(8):e105017.
43. Howard JK, Lord GM, Matarese G, Vendetti S, Ghatei MA, Ritter MA, et al. Leptin
protects mice from starvation-induced lymphoid atrophy and increases thymic cellularity
in ob/ob mice. J Clin Invest. 1999 Oct 15;104(8):1051–9.
44. De Mello-Coelho V, Savino W, Postel-Vinay MC, Dardenne M. Role of prolactin and
growth hormone on thymus physiology. Dev Immunol. 1998;6(3–4):317–23.
45. Savino W, Postel-Vinay MC, Smaniotto S, Dardenne M. The thymus gland: a target
organ for growth hormone. Scand J Immunol. 2002 May 1;55(5):442–52.
46. Monk JM, Steevels TAM, Hillyer LM, Woodward B. Constitutive, but not challenge-
induced, interleukin-10 production is robust in acute pre-pubescent protein and energy
deficits: new support for the tolerance hypothesis of malnutrition-associated immune
depression based on cytokine production in vivo. Int J Environ Res Public Health.
2011;8(1).
47. James PT, Ali Z, Armitage AE, Bonell A, Cerami C, Drakesmith H, et al. The role of
nutrition in COVID-19 susceptibility and severity of disease: a systematic review. J
Nutr. 2021 Jul 1;151(7):1854–78.
48. Li X, Wang L, Yan S, Yang F, Xiang L, Zhu J, et al. Clinical characteristics of 25 death
cases with COVID-19: A retrospective review of medical records in a single medical
center, Wuhan, China. Int J Infect Dis. 2020 May 1;94:128–32.
49. Tempia S, Walaza S, Moyes J, Cohen AL, von Mollendorf C, Treurnicht FK, et al. Risk
factors for influenza-associated severe acute respiratory illness hospitalization in South
Africa, 2012–2015. Open Forum Infect Dis [Internet]. 2017 Jan 1 [cited 2021 Jul
24];4(1). Available from: https://doi.org/10.1093/ofid/ofw262
50. Menshawey E, Menshawey R, Nabeh OA. Shedding light on vitamin D: the shared
mechanistic and pathophysiological role between hypovitaminosis D and COVID-19
risk factors and complications. Inflammopharmacology. 2021 Aug 1;29(4):1017–31.
51. Lakkireddy M, Gadiga SG, Malathi RD, Karra ML, Raju ISSVPM, Ragini, et al. Impact
of daily high dose oral vitamin D therapy on the inflammatory markers in patients with
COVID 19 disease. Sci Rep. 2021 May 20;11(1):10641.

Anda mungkin juga menyukai