BUKU PANDUAN
1
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Sambutan Dirjen Bina Pelayanan Medik
Daftar Istilah 3
BAB I Pendahuluan 5
A. Latar Belakang 5
B. Tujuan 5
C. Sasaran 5
BAB II. Penanganan Bayi Baru Lahir 6
A. Penilaian Bayi Baru Lahir 6
B. Perawatan Tali Pusat 7
C. Inisiasi Menyusu Dini 8
D. Pemberian Profilaksis Konjungtivitis Neonatorum 11
E. Pemberian Vitamin K1 pada Bayi Baru Lahir 13
F. Pemeriksaan Fisis Bayi Baru Lahir 14
BAB III. Skrining Bayi Baru Lahir 20
A. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Bayi Baru Lahir 20
B. Skrining Hipotiroid Kongenital 35
C. Skrining Retinopathy of prematurity 44
BAB IV. Permasalahan Bayi Baru Lahir 49
A. Tatalaksana Asfiksia Neonatorum 49
B. Perawatan Bayi Berat Lahir Rendah dengan Metode Kanguru 55
C. Tatalaksana Hiperbilirubinemia Neonatal 59
D. Tatalaksana Sepsis Neonatorum 70
BAB V. Penutup 87
Lampiran 88
2
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Daftar Istilah
3
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
4
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
PANEL AHLI
KONTRIBUTOR
5
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
6
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jumlah kematian perinatal di 33 propinsi di Indonesia tercatat sebesar
217 kasus. Kematian neonatal dini (0-6 hari) dilaporkan sebesar 142 kasus
(78,5%). Proporsi terbesar kematian pada usia neonatal dini disebabkan
oleh gangguan pernapasan (respiratory disorders), prematuritas dan sepsis.
Kematian bayi neonatal lanjut (7-28 hari) tercatat 39 kasus dengan penyebab
tersering adalah sepsis neonatorum (20%).1
Faktor kesehatan ibu saat hamil dan bersalin memberikan kontribusi
terhadap kondisi bayi dalam kandungannya. Dari 217 kasus kematian
perinatal, 96.8% disebabkan oleh gangguan kesehatan ibu ketika hamil.
Penyakit yang sering dialami ibu hamil pada bayi yang lahir mati secara
berturut-turut adalah hipertensi maternal (24%) dan komplikasi ketika
bersalin (partus macet) sebesar 17.5%. Sedangkan gangguan kesehatan
ibu hamil dari bayi meninggal berumur 0-6 hari adalah ketuban pecah dini
(23%) dan hipertensi maternal (22%).1
Untuk menurunkan jumlah kematian neonatal, Health Technology
Assessment telah menyusun beberapa kajian dengan fokus penanganan ibu
hamil dan bayi baru lahir serta memberikan rekomendasi kepada praktisi
klinis, manajemen rumah sakit dan pengambil kebijakan. Buku panduan ini
disusun dengan mengacu kepada rekomendasi HTA terhadap bayi baru lahir
sebagai panduan klinis praktis dalam praktik di rumah sakit.
B. Tujuan
Buku ini disusun sebagai panduan klinis praktis dokter spesialis/umum
di Rumah Sakit dalam melakukan penatalaksanaan bayi baru lahir yang
berbasis bukti.
C. Sasaran
1. Departemen Ilmu Kesehatan Anak di RS Tipe A,B dan C
2. Dokter Spesialis Anak dan Spesialis lain yang terkait
3. Dokter Umum
4. Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten
7
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
BAB II
PERAWATAN BAYI BARU LAHIR
8
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Setelah dilakukan penilaian, apabila bayi baru lahir langsung menangis atau
bernapas spontan dan teratur dilakukan perawatan rutin.2,3
1. Berikan kehangatan
2. Bersihkan jalan napas
3. Keringkan
4. Nilai warna
B. Perawatan Tali Pusat
Tali pusat pada umumnya diklem dengan forsep bedah segera setelah
lahir. Lebih baik jika membiarkan bayi menangis dengan baik beberapa kali
sebelum melakukan klem tali pusat supaya bayi mendapatkan darah
tambahan dari plasenta. Tambahan darah tersebut dapat mencegah anemia
defisiensi besi pada tahun pertama kehidupan.4 Kajian sistematik yang
dilakukan oleh The Cochrane Library terhadap 7 studi RCT, menunjukkan
bahwa penundaan klem tali pusat (waktu maksimum penundaan adalah 120
detik) berhubungan dengan transfusi akibat anemia yang lebih rendah (3
studi, 111 bayi, Risiko Relatif (RR) 2.01, 95% Interval Kepercayaan (IK) 1.24 -
3.27) atau tekanan darah rendah (2 studi, 58 bayi; RR 2.58, 95% IK 1.17 -
5.67) dan lebih sedikit perdarahan intraventrikular (5 studi, 225 bayi; RR
1.74, 95% IK 1.08 - 2.81) dibandingkan klem lebih dini.5
Tali pusat diklem 3-4 cm dari permukaan perut bayi, setelah bayi
dikeringkan dan dinilai maka forseps dapat diganti dengan klem tali pusat
atau pengikat tali pusat steril. Setelah persalinan, tunggul tali pusat masih
basah dan lembut sehingga merupakan tempat tumbuh yang ideal untuk
bakteri. Setelah diklem selama 6 jam, seharusnya tunggul tali pusat
mengering dan tidak ditutup dengan perban. Jika tali pusat tetap lembut
dalam 24 jam atau menjadi basah dan berbau menusuk, maka tali pusat
dirawat dengan “surgical spirits” setiap 3 jam.4
9
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
10
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
6. Vernix (zat lemak putih) yang melekat di tubuh bayi sebaiknya tidak
dibersihkan karena zat ini membuat nyaman kulit bayi. (Gambar 3)
7. Tanpa dibedong, bayi langsung ditengkurapkan di dada atau perut ibu
sehingga terjadi kontak kulit bayi dan kulit ibu.
8. Ibu dan bayi diselimuti bersama-sama. Jika perlu, bayi diberi topi untuk
mengurangi pengeluaran panas dari kepalanya. (Gambar 4)
Kontak Kulit & Menyusu Sendiri penting bagi ibu bayi karena:10
1. Dada ibu menghangatkan bayi dengan tepat selama bayi merangkak
mencari payudara. Ini akan menurunkan kematian karena kedinginan
(hypothermia). (Gambar 5)
2. Saat merangkak mencari payudara, bayi memindahkan bakteri dari kulit
ibunya, dan dia akan menjilat-jilat kulit ibu, menelan bakteri baik di kulit
ibu. Bakteri baik ini akan berkembang biak membentuk koloni di kulit
dan usus bayi, menyaingi bakteri jahat dari lingkungan. (Gambar 6)
3. Ikatan kasih sayang antara ibu-bayi akan lebih baik karena pada 1-2 jam
pertama, bayi dalam keadaan siaga. Setelah itu biasanya bayi tidur dalam
waktu lama. (Gambar 7)
4. Ibu dan bayi merasa lebih tenang. Pernapasan dan detak jantung bayi
lebih stabil. Bayi akan lebih jarang menangis sehingga mengurangi
pemakaian energi. (Gambar 8)
5. Makanan awal non ASI mengandung zat putih telur yang bukan berasal
dari susu manusia, misalnya susu hewan. Hal ini dapat mengganggu
pertumbuhan fungsi usus dan mencetuskan alergi lebih awal.
6. Bayi yang diberi kesempatan menyusu dini lebih berhasil menyusui
eksklusif dan akan lebih lama disusui.
7. Hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan bayi diputing susu
dan sekitarnya, emutan dan jilatan bayi pada puting ibu merangsang
pengeluaran hormon oksitosin.
Proses menyusui bayi pertama kali dilakukan oleh ibu dalam 1 jam
pertama pascapersalinan. Pada persalinan dengan tindakan misalnya seksio
sesaria, proses IMD tetap dapat dilakukan.
Dalam keadaan asfiksia, bayi diperbolehkan tidak mendapat IMD. Dalam
keadaan ini bayi memerlukan pertolongan segera untuk life saving.
11
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Sumber: www.promkes.com
12
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Keparahan Sebagian besar kasus : ringan (self- Lebih parah sebab mikroba mampu
limited); dapat memberat dengan gejala menembus epitel kornea intak. Jika tidak
: pembengkakan kelopak mata, diobati, dapat terjadi edema epitel kornea
kemosis, papillary reaction, pseudo- dan ulserasi kornea, yang dapat
membran, peripheral pannus dan berkembang menjadi perforasi kornea
keterlibatan kornea. dan endoftalmitis.
13
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
14
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
untuk bayi dan 125 mg untuk ibu).25 Neonatus dapat diterapi dengan
seftriakson dosis tunggal (25 atau 50 mg/kgBB) IV/IM (intramuskular). Dosis
total tidak melebihi 125 mg.26 Sefiksim, seftriakson, sefalosporin generasi
ketiga, dan florokuinolon – efektif untuk eradikasi Neisseria gonorrhea.27
Pilihan regimen terapi menurut Buku Saku WHO adalah (1) seftriakson (50
mg/kgBB; dosis total 150 mg IM dosis tunggal); (2) kanamisin (25 mg/kgBB;
dosis total 75 mg IM dosis tunggal); (3) oxytetracycline eye ointment atau (4)
chloramphenicol eye ointment.28
Kedua mata bayi sesering mungkin (setiap jam,19 atau setidaknya 4 kali
perhari28) diirigasi dengan larutan normal saline untuk mengeliminasi
sekret.11
Terapi pada Herpes simplex conjunctivitis dengan asiklovir dosis rendah
(30 mg/kgBB/hari IV terbagi 3 dosis) selama setidaknya 2 minggu untuk
mencegah infeksi sistemik. Terapi topikal dengan acyclovir ophthalmic solution
dua kali perhari dapat ditambahkan.29
REKOMENDASI HTA
Semua bayi baru lahir harus mendapatkan profilaksis vitamin K1 dengan
1 mg dosis tunggal intramuskular.
(Rekomendasi A)
Sumber: Laporan HTA 2003-2006
15
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Anamnesis:
1. Keluhan tentang bayinya
2. Masalah kesehatan pada ibu yang mungkin berdampak pada bayi (TBC,
demam saat persalinan, KPD > 18 jam, hepatitis B atau C, sifilis,
HIV/AIDS, penggunaan obat).
3. Cara, waktu, tempat bersalin dan tindakan yang diberikan pada bayi jika
ada.
4. Warna air ketuban
5. Riwayat bayi buang air kecil dan besar
6. Frekuensi bayi menyusu dan kemampuan menghisap
Pemeriksaan fisis
Prinsip:
Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan bayi tenang (tidak menangis).
Pemeriksaan tidak harus berurutan, dahulukan menilai pernapasan dan
tarikan dinding dada bawah, denyut jantung serta perut.
Pemeriksaan fisis yang dilakukan Keadaan normal
Posisi tungkai dan lengan fleksi.
Lihat postur, tonus dan aktivitas
Bayi sehat akan bergerak aktif.
Wajah, bibir dan selaput lendir, dada
Lihat kulit harus berwarna merah muda, tanpa
adanya kemerahan atau bisul.
Frekuensi napas normal 40-60 kali per
Hitung pernapasan dan lihat
menit.
tarikan dinding dada bawah ketika
Tidak ada tarikan dinding dada bawah
bayi sedang tidak menangis.
yang dalam
Hitung denyut jantung dengan
Frekwensi denyut jantung normal 120-
meletakkan stetoskop di dada kiri
160 kali per menit.
setinggi apeks kordis.
Lakukan pengukuran suhu ketiak
Suhu normal adalah 36,5 - 37,5º C
dengan termometer.
Bentuk kepala terkadang asimetris
karena penyesuaian pada saat proses
persalinan, umumnya hilang dalam 48
Lihat dan raba bagian kepala jam.
Ubun-ubun besar rata atau tidak
membonjol, dapat sedikit membonjol
saat bayi menangis.
16
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Pemeriksaan secara detail pada bayi baru lahir yang dilakukan segera setelah
bayi lahir adalah rutin dilakukan. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk
melakukan skrining kelainan bawaan. Menurut panduan dari National
Institute for Health and Clinical Excelence (NICE), komponen skrining dengan
pemeriksaan fisis meliputi:35
- pemeriksaan jantung
- pemeriksaan tulang paha
- pemeriksaan mata
- pemeriksaan testis pada anak laki-laki
17
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Pemeriksaan mata
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kelainan struktural pada mata,
bukan memeriksa ketajaman penglihatan. Kelainan utama yang sering
ditemukan adalah katarak dan retinoblastoma. Penyakit tersebut jarang (2-3
per 10.000 kelahiran hidup). Skrining didasarkan pada inspeksi mata dan
pemeriksaan refleks fundus.
18
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Gambar 9. Algoritma pemeriksaan fisis bayi baru lahir menurut skrining NIPE
Sumber : http://www.newbornphysical.screening.nhs.uk
19
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
DAFTAR PUSTAKA
20
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
20 AAP, AAOP, Red Book: 2003 Report of the committee on Infectious Disease,
26th ed. ELK Grove Village, IL, 2003.
21 Barker R and Isenberg S. Is single dose ceftriaxone the best treatment for
ophthalmia neonatorum in a resource poor setting?
22 Scott R Lambert, Conjunctivitis of the newborn (Ophthalmia Neonatorum).
David Taylor & Creig S Hoyt. Pediatric Ophthalmology and Strabismus,
Philadelphia, Elsevers Saunders, 2005, 146-8.
23 Solomon A, et al. Mass treatment with single-dose azithromycin for
trachoma. NEJM 2004;351(19):1962-72.
24 Scémann J-F, et al. Longitudinal evaluation of three azithromycin
distribution strategies for treatment of trachoma in a Sub-Saharan African
country, Mali. Acta Tropica 2007;101:40-53.
25 Hoosen AA, Kharsany AB, Ison CA. Single low-dose ceftriaxone for the
treatment of gonococcal ophthalmia –implications for the national
programme for the syndromic management of sexually transmitted diseases.
S AFR Med J. 2002;92(3):238-40.
26 Workowski KA, Levine WC. Sexually transmitted diseases treatment
guidelines 2002. Centers for disease control and prevention. MMWR Recomm
Rep 2002;51 (RR-6)1-78.
27 Population and Public Health Branch. Material Safety Data Sheet – Infectious
substances. Health Canada 2001;1-4.
28 WHO Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta; WHO.2009.
29 Whittey R, Arwin A, Prober C, et al. A Controlled trial comparing vidarabine
with acyclovir in neonatal herpes simplex virus infection. N Engl J Med.
1991;324(7):444-9.
30 National health and medical research council Australia. Joint statement and
recommendations on vitamin K to newborn infants to prevent vitamin K
deficiency bleeding in infancy. Oktober 2000. Didapat dari URL:
http://www.health. gov.au /nhmrc/publications/pdf/ch39.pdf
31 Fetus and Newborn Committee of The Paediatric Society of New Zealand, The
New Zealand College of Midwives, The New Zealand Nurses Organisation, The
Royal New Zealand College of General Practitioners, The Royal Australian
and New Zealand College of Obstetricians and Gynaecologists. Vitamin K
prophylaxis in the newborn. Prescriber Update No.21:36-40. Didapat dari
URL:http://www.medsafe.govt.nz/Profs/PUarticles/vitk.htm
32 British Columbia Reproductive Care Program. Vitamin K prophylaxis. Maret
2001.Didapat dari
URL:http//www.rcp.gov.bc.ca/Guideline/Newborn/Master.Nb12.VitK.pdf
33 St John EB. Hemorrhagic disease of newborn. Juni 2002. Didapat dari
URL:http://www.emedicine.com
34 Isarangkura PB, Chuansumrit A. Vitamin K deficiency in infants. Hematology
1999 Educational Program and Scientific Supplement of the IX Congress of
the International Society of Haematology, Asian-Pacific Division. Bangkok,
Thailand. 1999:154-9.
35 NICE. Newborn screening in the UK.
21
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
BAB III
SKRINING BAYI BARU LAHIR
20
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Usia Kemampuan
Neonatus menangis ,suara mendengkur (cooing),suara berkumur
(gurgles)
2 - 3 bulan tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling) : aaa, ooo
4 - 6 bulan mengeluarkan suara kombinasi vokal dan konsonan.
- ocehan bermakna (true babling) atau lalling (pa..pa.., da..da)
- memberi respons terhadap suara marah atau bersahabat
- belajar menangis dengan suara yang bervariasi sesuai
kebutuhan
7 - 11 bulan menggabungkan kata/suku kata yang tidak mengandung arti,
seperti bahasa asing (jargon); usia 10 bulan : mampu meniru
suara (echolalia)
- mengerti kata perintah sederhana : kesini
- mengerti nama obyek sederhana : sepatu, cangkir
12 - 18 - menjawab pertanyaan sederhana
bulan - mengerti instruksi sederhana, menunjukkan bagian tubuh
dan nama mainan
24 - 35 - kata yang diucapkan antara 150 -300 kata
bulan - volume dan pitch suara belum terkontrol
-mengenali warna, mengerti konsep besar - kecil, sekarang -
nanti
36 - 47 - jumlah kata yang diucapkan mencapai 900 – 1.200 kata
bulan -memberi respons pada 2 kalimat perintah yang tidak
berhubungan seperti:ambil sepatu, letakkan gelas di atas
meja
- mulai bertanya kenapa dan bagaimana?
21
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Masa Perinatal
Prematur , berat badan lahir rendah (< 2500 gram), hiperbilirubinemia, dan
asfiksia.
Masa Postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus (rubela, campak, parotitis, infeksi otak),
perdarahan telinga tengah, trauma tulang temporal yang mengakibatkan tuli
saraf atau tuli konduktif.
Faktor faktor risiko yang perlu dipertimbangkan dan telah ditetapkan oleh
American Joint Committée on Infant Hearing pada tahun 2000 :
Usia 0 – 28 hari :
- Menjalani perawatan di NICU selama ≥ 48 jam
- Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang mempunyai
hubungan dengan tuli sensorineural atau tuli konduktif, misalnya
sindroma Rubela;
- Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yang
menetap
sejak masa anak-anak;
- Kelainan kraniofasial termasuk kelainan morfologi pinna (daun telinga)
atau liang telinga;
- Infeksi intra uterin, seperti TORCHS (toksoplasma, rubella,
sitomegalovirus, herpes dan sifilis).
22
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
4.1. Tujuan
Menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin pada bayi baru lahir
agar dapat segera dilakukan habilitasi pendengaran yang optimal sehingga
dampak negatif cacat pendengaran dapat dibatasi.
23
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Dilakukan pada semua bayi baru lahir (dengan atau tanpa faktor
risiko terhadap gangguan pendengaran). Skrining awal dilakukan
dengan pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) sebelum bayi keluar
dari rumah sakit (usia 2 hari). Bila bayi lahir pada fasilitas kesehatan
yang tidak memiliki sarana OAE, paling lambat pada usia 1 bulan telah
melakukan pemeriksaan OAE di tempat lain. Bayi dengan hasil skrining
Pass (lulus) maupun Refer (tidak lulus) harus menjalani pemeriksaan
BERA (atau BERA otomatis) pada usia 1 – 3 bulan.
Pada usia 3 bulan, diagnosis harus sudah dipastikan berdasarkan
hasil pemeriksaan: OAE, BERA, timpanometri (menilai kondisi telinga
tengah). Untuk bayi yang telah dipastikan mengalami gangguan
pendengaran sensorineural, perlu dilakukan pemeriksaan ASSR
(Auditory Steady State Response) atau BERA dengan stimulus tone
burst, agar diperoleh informasi ambang dengar pada masing-masing
frekuensi; hal ini akan membantu proses pengukuran alat bantu
dengar yang optimal. Khusus untuk bayi yang tidak memiliki liang
telinga (atresia) diperlukan pemeriksaan tambahan berupa BERA
hantaran tulang (bone conduction).
Berdasarkan tahapan waktu tersebut di atas, habilitasi
pendengaran sudah harus dimulai pada usia 6 bulan.
Kriteria UNHS:
1. Mudah dikerjakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi sehingga kejadian refer minimal.
2. Tersedia intervensi untuk habilitasi gangguan pendengaran.
3. Skrining, deteksi dan intervensi yang dilakukan secara dini akan
menghasilkan outcome yang baik.
4. Cost-effective.
Kriteria keberhasilan : cakupan (coverage) 95 %, nilai refferal : < 4 %
24
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
SKRINING
PENDENGARAN
BAYI BARU LAHIR
Hospital Community
based based
25
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
a. Pemeriksaan obyektif
Menilai integritas telinga luar dan tengah serta sel rambut luar (outer hair
cells) koklea. OAE bukan pemeriksaan pendengaran karena hanya
memberi informasi tentang sehat tidaknya koklea. Pemeriksaan ini
mudah, praktis, otomatis, noninvasif, tidak membutuhkan ruangan
kedap suara maupun obat sedatif.
Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena dinyatakan dengan kriteria
Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan keadaan
koklea baik; sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan koklea
sehingga dibutuhkan pemeriksaan lanjutan berupa AABR atau BERA
pada usia 3 bulan.
Hasil OAE dipengaruhi oleh gangguan (sumbatan) liang telinga dan
kelainan pada telinga tengah (misalnya cairan).
Untuk skrining pendengaran, digunakan OAE skrining (OAE screener)
yang memberikan informasi kondisi rumah siput koklea pada 4 - 6
frekuensi. Sedangkan untuk diagnostik digunakan OAE yang mampu
memeriksa lebih banyak lagi frekuensi tinggi.
26
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
1. Pemeriksaan dilakukan pada bayi baru lahir yang berusia > 24 jam.
2. Lingkungan dan bayi harus tenang.
3. Liang telinga harus bersih dari kotoran (serumen) maupun cairan.
4. Menggunakan probe yang sesuai dengan ukuran telinga bayi. Pada bayi
usia kurang dari 6 bulan digunakan probe khusus yang bergerigi (tree
tip) untuk mencegah kolaps liang telinga.
5. Posisi probe mengarah ke membran timpani.
6. Bila hasil Refer, sebaiknya diulang beberapa kali sampai dipastikan
memang hasilnya Refer.
Gambar 11.
OAE Skrining 6 frekuensi Gambar 12. OAE Diagnostik
27
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Gambar 15.
Gambar 14.
Gambar 13. BERA Click BERA Otomatis
BERA tone burst
28
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Pemeriksaan Timpanometri
b. Pemeriksaan Subyektif
Persyaratan
Pemeriksaan di ruang kedap suara/cukup tenang
Respon bayi dinilai oleh 2 orang pemeriksa
Stimulus berjarak 1 meter dari dari telinga, di belakang garis lapang
pandangan
Stimulus : Audiometer + loud speaker
Intensitas stimulus dikalibrasi dengan sound level meter
Cara Pemeriksaan
31
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Prosedur Pemeriksaan
Terlebih dahulu anak dilatih memberikan respons melalui kegiatan
bermain, misalnya memasukkan sebuah balok ke dalam kotak; bila anak
mendengar suara dengan intensitas (kekerasan bunyi) tertentu.
Selanjutnya intensitas diturunkan sampai diperoleh intensitas terkecil di
mana anak masih memberikan respons terhadap bunyi. Bila suara diganti
dengan ucapan (kata-kata) dapat juga ditentukan speech reception
threshold (SRT).
Cara penilaian
1. Bila semua pertanyaan (3 buah) dijawab “Ya” berarti tidak terdapat
kelainan daya dengar (Kode N/normal).
2. Bila terdapat minimal 1 (satu) jawaban “Tidak” berarti kita harus hati-
hati terhadap kemungkinan gangguan daya dengar (Kode HTN/Hati-
hati Tidak Normal). Tes harus diulang 1 (satu) bulan lagi.
3. Bila semua jawaban adalah “Tidak” mungkin terdapat gangguan lain
dengan atau tanpa kelainan daya dengar (ada gangguan lain dan tidak
normal).
4. Bila semua jawaban pada kemampuan ekspresif dan reseptif adalah
“Tidak” dengan kemampuan visual normal berarti ada kelainan pada
daya dengar (Kode TN/Tidak Normal).
Anak dengan kode HTN, GTN, dan TN dicatat pada kemampuan mana anak
tidak bisa mengerjakan; dan bila dilakukan tes dibawah kelompok usianya,
sampai usia mana anak bisa mengerjakan tes tersebut.
32
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
DPOAE dan AABR pada usia 3 bulan. Bila tetap tidak lulus, segera
dilakukan pemeriksaan BERA stimulus click + tone burst 500 Hz atau
ASSR, sedangkan BERA bone conduction diperiksa bila ada pemanjangan
masa laten (gangguan pendengaran konduktif).
Sebaiknya pemeriksaan tersebut diatas dikonfirmasi dengan
Behavioral Audiometry. Terhadap bayi yang lulus skrining awal, tetap
dilakukan pemeriksaan DPOAE dan AABR pada usia 3 bulan. Bila tidak
lulus, segera dilanjutkan dengan pemeriksaan audiologi lengkap. Untuk
bayi yang lulus skrining namun mempunyai faktor risiko terhadap
gangguan pendengaran, dianjurkan untuk follow up sampai anak bisa
berbicara.
5. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT, pemeriksaan
pendengaran baik secara subyektif maupun obyektif, pemeriksaan
perkembangan motorik, kemampuan berbicara serta psikologis.
6. Tatalaksana
Apabila ditemukan adanya gangguan pendengaran sensorineural harus
dilakukan habilitasi berupa amplifikasi pendengaran, misalnya dengan alat
bantu dengar (ABD). Selain itu, bayi/anak juga perlu mendapat habilitasi
wicara berupa terapi wicara atau terapi audioverbal (AVT) sehingga dapat
belajar mendeteksi suara dan memahami percakapan agar mampu
berkomunikasi dengan optimal.
Rekomendasi dari American Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) yang
ditetapkan berdasarkan banyak penelitian menyatakan bahwa bila skrining
pendengaran pada bayi telah dimulai pada usia 2 hari, kemudian diagnosis
dipastikan pada usia 3 bulan sehingga habilitasi yang optimal dapat dimulai
pada usia 6 bulan; maka pada usia 36 bulan kemampuan wicara anak tidak
berbeda jauh dengan anak yang memiliki pendengaran normal.
Dalam hal pemasangan ABD harus dilakukan seleksi ABD yang tepat dan
proses fitting yang sesuai dengan kebutuhan sehingga diperoleh amplifikasi
yang optimal.
Proses fitting ABD pada bayi/anak jauh lebih sulit dibandingkan orang
dewasa. Akhir-akhir ini ambang pendengaran yang spesifik pada bayi dapat
ditentukan melalui teknik Auditory Steady State Response (ASSR), yang
hasilnya dianggap sebagai prediksi audiogram, sehingga proses fitting ABD
bayi lebih optimal. Bila ternyata ABD tidak dapat membantu, salah satu
alternatif adalah implantasi koklea.
7. Pencegahan
Mengingat tingginya angka infeksi yang dapat terjadi pada ibu hamil dan
anak maka perlu dilakukan imunisasi misalnya untuk rubela, sehingga
pemeriksaan kehamilanpun dianjurkan untuk dilakukan secara teratur.
Apabila diketahui kemungkinan adanya faktor genetik , maka dianjurkan
untuk konseling genetik.
33
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
REKOMENDASI HTA
1. Skrining pendengaran dilakukan pada semua bayi baru lahir dengan atau
tanpa faktor risiko. (Rekomendasi B LoE IIb)
Daftar Pustaka
34
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Definisi
Hipotiroid kongenital (HK) merupakan kelainan pada bayi sejak lahir yang
disebabkan defisiensi sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid, dan
berkurangnya kerja hormon tiroid pada tingkat selular.1
HK merupakan salah satu penyebab terjadinya retardasi mental pada
anak. HK merupakan suatu penyakit bawaan yang dapat disembuhkan secara
total jika pengobatan dilakukan sejak dini. Di antara penyebab-penyebab
retardasi mental yang dapat dicegah yang dapat dikenali melalui uji saring
pada bayi baru lahir (BBL), HK merupakan penyebab yang tersering,
sementara penyebab lain misalnya phenylketonuria (PKU) lebih jarang.1
Epidemiologi
Angka kejadian HK di dunia adalah sekitar 1:3.500.2 Di Indonesia dengan
populasi 200 juta penduduk dan angka kelahiran 2% berarti ada 4.000.000
bayi dilahirkan setiap tahunnya. Berdasarkan data tersebut setiap tahun di
Indonesia diperkirakan lahir 1.143 bayi dengan HK. Di RSCM pada tahun
1992-2004 terdapat 93 kasus dengan perbandingan perempuan terhadap laki-
laki adalah 57:36 (61%:39%). Prevalensi HK di Jawa Barat adalah 1:3.885.3
Dalam suatu penelitian deskriptif retrospektif ditemukan 30 kasus HK di Poli
Endokrinologi Anak dan Remaja FKUI/RSCM pada tahun 1992-2002 yang
terdiri dari 9 anak laki-laki (30%) dan 21 anak perempuan (70%). Pada saat
datang pertama kali didapatkan 53,3% kasus berumur 1-5 tahun. Hanya 3
kasus HK yang terdiagnosis di bawah umur 3 bulan.4
Etiologi
Etiologi yang spesifik bervariasi pada berbagai negara, yang tersering
menurut Bourgeois yaitu:5
1. Tiroid ektopik (25-50%)
2. Agenesis tiroid (20-50%)
3. Dishormogenesis (4-15%)
4. Disfungsi hipotalamus pituitari (10-15%)
Manifestasi klinis
Sebagian besar BBL dengan HK adalah asimtomatik karena adanya T4
transplasenta maternal. Pada sejumlah kasus defisiensi tiroid dapat
menunjukkan gejala yang berat yang tampak pada minggu-minggu pertama
kehidupan dan pada derajat defisiensi yang ringan gangguan baru
bermanifestasi setelah usia beberapa bulan.6
Hipotiroid kongenital memberikan menifestasi klinis sebagai berikut:
1. Gangguan makan (malas, kurang nafsu makan, dan sering tersedak pada
satu bulan pertama)
2. Jarang menangis, banyak tidur (somnolen), dan tampak lamban6
3. Konstipasi
4. Tangisan parau (hoarse cry)
5. Pucat5,7
6. Berat dan panjang lahir normal, lingkar kepala sedikit melebar
7. Ikterus fisiologis yang memanjang
8. Lidah besar (makroglosia) sehingga menimbulkan gangguan pernafasan
35
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Skrining
Hampir 90% kasus HK terdeteksi dengan uji saring, sedangkan selebihnya
diketahui berdasarkan pemeriksaan klinis. Sebagian kecil anak dapat saja
memiliki hasil pemeriksaan yang negatif tetapi selanjutnya ternyata
dinyatakan menderita HK. Dokter harus mampu mengenali gejala klinis dan
tanda hipotiroidisme serta riwayat gangguan tiroid pada keluarga yang
mengindikasikan perlunya dilakukan uji tiroid lengkap, apapun hasil uji
saringnya saat lahir. Pada BBL dari kehamilan multipel yang salah satunya
didiagnosis HK maka terhadap bayi lainnya juga perlu dilakukan uji saring
ulang, bahkan bila perlu dilakukan uji tambahan.7
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk mendeteksi dini
HK adalah (1) kadar TSH; (2) kadar T4 atau free T4 (FT4).
Pemeriksaan primer TSH merupakan uji fungsi tiroid yang paling sensitif.
Peningkatan kadar TSH sebagai marka hormonal, cukup akurat digunakan
untuk menapis hipotiroid kongenital primer.8
Pemeriksaan pencitraan yang dapat menunjang diagnosis hipotiroid
adalah sebagai berikut :
1. Scanning tiroid (menggunakan 99mTc atau 123I)6
2. Ultrasonografi (USG)6
3. Radiografi (Rontgen tulang/bone age)
4. Elektrokardiografi (EKG) dan ekokardiografi (ECG)5,6
5. Elektromiografi (EMG)9
6. Elektroensefalogram (EEG)6
7. Brain Evoke Response Audiometry (BERA)9
8. Proton magnetic resonance spectroscopy6
Prosedur skrining
Sampel darah dapat berupa darah kapiler dari tusukan tumit bayi (heel
stick); dari permukaan lateral atau medial dari tumit bayi (Gambar 20 dan 21).
Sebaiknya darah diambil pada hari ke-3 s/d 5 untuk menghindarkan TSH
36
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Gambar 21.
Gambar 19. Gambar 20. Cara meneteskan darah
Lokasi tusukan tumit Cara pengambilan pada kertas saring
spesimen
Gambar 23.
Spesimen dibungkus
dalam amplop
Gambar 22.
Spesimen dikeringkan selama
3-4 jam pada suhu kamar
Sumber: Rustama DS
37
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Kriteria skrining
Nilai TSH neonatus diperkirakan dengan metode ELISA menggunakan
peroksidase yang dilabeli dengan monoclonal antibody antiTSH ke dalam micro
well yang kemudian diukur kadarnya dengan menghitung tingkat
absorpsinya. Nilai TSH yang mencapai 10 mIU/l dianggap normal, 10-20
mIU/L dianggap sebagai nilai batas dan >20 mIU/L dianggap abrnormal.12
Nilai tersebut dapat bervariasi, tergantung pada reagen yang digunakan.
Tes uji saring dilakukan dengan pengukuran TSH IRMA, dengan double
antibody radioimmunoassay, dan pemeriksaan T4 dengan coated tube
radioimmunoassay. Reagen yang digunakan dalam bentuk kit (contoh kit
Skybio Ltd dan DPC). Bila nilai TSH <20mIU/L dianggap normal; kadar TSH
>20 mIU/L. dianggap abnormal dan perlu pemeriksaan lebih lanjut. Bila
kadar TSH > 50 IU/L perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
TSH dan T4 serum. Bila kadar TSH tinggi, > 50 mIU/L; dan T4 rendah, < 6
µg/dL, bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis. Semua bayi dengan kadar TSH diatas nilai cut-off
dipanggil kembali/recall (Gambar 24).8
Mayoritas bayi hipotiroidisme primer mempunyai nilai TSH >80 μIU/mL.
Beberapa kondisi hipotiroidisme nonprimer yang berhubungan dengan nilai
T4 rendah misalnya hipotiroidisme sekunder, thyroid binding globulin (TBG)
rendah, terapi maternal (dengan lithium, iodida), prematuritas, penyakit berat,
hipotiroidisme sementara yang idiopatik, dan tiroiditis maternal. Sebagian
besar kelainan ini biasanya bersifat sementara. Frekuensi hipotiroidisme
sekunder diperkirakan 1:60.000 dan sebagai akibat kelainan hipofisis atau
hipotalamus. Nilai T4 yang rendah dengan TSH normal atau sedikit meningkat
ditemukan pada bayi berat lahir rendah kemudian akan menjadi normal
setelah status nutrisinya diperbaiki.13
38
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
39
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
1.Gangguan makan 1
2. Konstipasi 1
4.Hipotonia 1
6.Makroglosia 1
7.Cutis marmorata 1
10.Typical Fascies 3
Total 13
Sumber : Letarte, Garagorri (1989)
Pengobatan
Setelah dikonfirmasi, terapi dengan hormon tiroid pada penderita HK
harus diberikan secepat mungkin. Target terapi adalah mencapai kadar T4
normal dalam 2 minggu dan TSH dalam 1 bulan.10
Bayi baru lahir biasanya membutuhkan dosis 8-15 µg/kg/hari; tujuan
terapi adalah menormalisasi kadar TSH sesegera mungkin. Terapi untuk bayi
cukup bulan dimulai dengan 50 µg/hari selama 1-2 minggu, kemudian dosis
diturunkan menjadi 37.5 µg/hari (p.o.). Tablet levothyroxine sintetis
dilarutkan dalam 5-10 ml air dan diminumkan kepada bayi dengan spuit pada
awal menyusu untuk memastikan seluruh obatnya terminum dengan baik.11
Dianjurkan untuk memberikan selang waktu minimal 1 jam antara terapi
dengan konsumsi susu formula yang mengandung kedelai atau suplementasi
besi dan serat.10,11 Pemberian ASI dapat dilanjutkan.10
Sebagai tanda bahwa bayi mendapatkan terapi yang mencukupi, kadar T4
harus segera mencapai nilai normal. Untuk mencapai kecukupan obat,
dianjurkan selama pengobatan, nilai T4 berada diatas nilai tengah rentang
kadar T4 normal, yaitu 130-206 nmol/L (10-16 µg/dL) dan nilai TSH < 5
mIU/L (0.5-2.0 mIU/L); FT4 18-30 pmol/L (1.4-2.3 ng/dL). Kondisi ini
40
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Pemantauan
Pemantauan fungsi tiroid dengan pemeriksaan TSH dan T4 atau FT4
dilakukan :
41
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
42
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Daftar Pustaka
43
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Definisi
Retinopathy of Prematurity (ROP) adalah suatu kelainan retina dari bayi
prematur berat badan lahir rendah (BBLR) yang dapat berpotensi
mengakibatkan kebutaan.
Epidemiologi
Prevalensi ROP pada studi di Panti Netra di Indonesia melaporkan
prevalensi ROP sebesar 1.1 %.1,2 Namun dengan meningkatnya harapan hidup
bayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah di negara berkembang
akibat kemajuan teknologi perawatan neonatus, ROP berkembang menjadi
suatu masalah yang berarti.1
Faktor risiko
Beberapa keadaan dilaporkan sebagai faktor risiko berkembangnya ROP
pada bayi prematur/BBLR. Studi yang dilakukan Karna, dkk (2004) terhadap
faktor risiko terjadinya ROP, dikatakan bahwa jenis kelamin, sindroma
distress respiratori, terapi 36 minggu usia pasca konsepsi dan penggunaan
steroid prenatal tidak menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap ROP
berat. Kejadian ROP menurun pada usia kehamilan 26-28 minggu (OR:4.12,
95% IK: 1.05–16.11) dibandingkan pada usia kehamilan 25 minggu (OR:11.27,
95% IK: 2.61 –48.66). Dilaporkan juga bahwa pemberian oksigen lebih dari 2
minggu meningkatkan insidens ROP berat (OR:4.09, 95% IK: 1.52–11.03).3
Shah VA (2005) menyatakan insidens ROP diantara bayi dengan berat
lahir sangat rendah sebesar 29.2%. Terdapat hubungan bermakna antara
ROP dan bayi dengan berat badan yang semakin rendah, semakin muda
(imatur), atau sakit. Usia median untuk onset ROP adalah 35 minggu (dari 31-
40 minggu) usia postmenstrual. Bayi dengan usia gestasi < 30 minggu dan
atau bayi dengan berat lahir < 1.000 g merupakan ambang batas risiko ROP.
Faktor risiko utama untuk terjadinya hal tersebut antara lain preeklamsia
maternal, berat lahir, dan kejadian perdarahan pulmonal, durasi ventilasi dan
ventilasi tekanan positif yang berlanjut. Untuk mencegah ROP, diperlukan
pencegahan terhadap kejadian prematuritas, mengontrol preeklamsia, serta
menggunakan ventilasi dan terapi oksigen secara bijaksana.4
Skrining
Pada bayi aterm retina berkembang sempurna, dan ROP tidak dapat
terjadi. Namun, pada bayi prematur, perkembangan retina yang berjalan dari
papil nervus optikus ke anterior selama masa gestasi berlangsung secara
tidak lengkap, dengan tingkat imaturitas retina bergantung terutama pada
derajat prematuritas saat lahir.
Perhatian dan perawatan yang efektif diperlukan, dimana bayi prematur
yang berisiko mendapatkan pemeriksaan retina yang terjadwal baik.
Pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan oleh seorang spesialis mata yang
terlatih dalam skrining ROP pada bayi prematur. Demikian juga spesialis anak
yang merawat bayi prematur dengan risiko ini menyadari akan pengaturan
jadwal ini.
44
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
a. Tujuan skrining
Tujuan suatu program skrining yang efektif adalah untuk
mengidentifikasi bayi prematur yang memerlukan terapi ROP (ROP threshold,
ROP prethreshold), tapi juga dengan meminimalisasi sejumlah pemeriksaan
yang penuh stres ini bagi si bayi sakit.
ROP merupakan kelainan yang berpotensi menyebabkan kebutaan,
namun sebetulnya kebutaannya dapat dicegah. Identifikasi dini dilanjutkan
dengan terapi yang dilakukan dalam kerangka waktu yang tepat, akan dapat
mencegah kebutaan.
Walaupun tanpa terapi, 85% kasus ROP dapat mengalami regresi
spontan, dan dari 15% yang mengalami progresi , 85% di antaranya berespon
baik dengan terapi laser ataupun krioterapi.
b. Pedoman skrining
Pedoman Skrining ROP ditetapkan pada banyak negara. Perlu diingat
bahwa parameter skrining ini dapat berbeda antar negara yang satu dengan
lainnya.
Komite/Pokja Nasional ROP yang dibentuk pada Indonesia National ROP
Workshops bulan Januari 2009 di Jakarta merekomendasikan beberapa hal
berkaitan dengan bayi prematur dan ROP, diantaranya adalah Parameter
Skrining ROP pada bayi prematur sebagai berikut:5
- Bayi dengan berat lahir <1500g atau usia gestasi <34 minggu harus
diperiksa untuk kemungkinan terjadinya ROP
- Pemeriksaan harus dimulai selama minggu ke 4 atau pada usia
postmenstrual 32-33 minggu
- Pemeriksaan terhadap bayi dengan berat lahir lebih besar atau usia gestasi
lebih tinggi daripada yang disebutkan di atas dapat dilakukan sesuai
permintaan neonatologis/spesialis anak
Data bayi yang diperiksa harus dilakukan menurut standar pelaporan
yang sudah ditetapkan dan dikeluarkan oleh Komite/Pokja Nasional ROP
(lihat lampiran).6
c. Teknik Pemeriksaan
Sarana /Prasarana:
• Dilatasi pupil dengan tetes mata siklopentolat 0.5% dan fenilefrin 2.5%,
paling tidak 30 menit sebelum pemeriksaan.
• Oftalmoskopi indirek sebagai standar baku emas.
• RetCam 120, alternatif teknik baru skrining
• Penulisan dan penyimpanan data sesuai stand
• Informasi untuk orang tua oleh spesialis mata, dengan didampingi seorang
staf NICU/ruang rawat intermediate
d. Pengakhiran skrining:
Skrining dilanjutkan sampai tidak mempunyai risiko lagi terhadap
berkembangnya ROP secara serius:
• Regresi ROP dengan terapi
• Vaskularisasi matur secara lengkap di seluruh retina
• Matur sampai zona 3 tanpa ROP
• Usia gestasi 45 minggu dan tanpa adanya threshold disease atau
perburukan ROP
45
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
e. Penundaaan skrining:
Apabila keputusan untuk melakukan penundaan skrining dibuat atas
alasan klinis, maka hal tersebut haruslah merupakan keputusan bersama
antara dokter mata dengan tim dokter perinatologi dengan
mempertimbangkan risiko penundaan tersebut. Keputusan tersebut harus
ditulis dalam catatan medik bayi dengan menjelaskan secara jelas alasan
ditundanya skrining dan pemeriksaan harus dijadwalkan kembali dalam
segera setelah waktu pemeriksaan yang seharusnya.
Klasifikasi ROP
The International Classification of ROP (ICROP) mengklasifikasikan
kelainan pada ROP berdasarkan : 7
lokasi keterlibatan retina berdasarkan zona (zona 1-3);
stadium atau beratnya retinopati pada persambungan retina vaskuler dan
avaskuler (stadium 1-5);
luasnya keterlibatan retina berdasarkan arah jarum jam;
ada/tidaknya dilatasi vena serta lekukan pembuluh darah polus posterior.
(Gambar klasifikasi ROP, lihat lampiran)
Catatan penting:
- Kerjasama yang baik antara spesialis mata dan neonatologis/spesialis anak
sangat penting untuk mendapatkan hasil yang baik
- Buatlah perencanaan jadwal yang baik untuk pemeriksaan follow-up pada
saat pasien akan dipulangkan:
46
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Tatalaksana
Observasi8
Scleral Buckle
Vitrektomi
Cryotherapy8
Laser8
Komplikasi
Katarak
Glaukoma
Kerusakan kornea
Atrofi nervus optikus
Kerusakan pigmen fovea
Miopia8
Strabismus8
Ablasi retina8
REKOMENDASI HTA
1. Bayi dengan berat lahir <1500g atau usia gestasi <34 minggu harus
diperiksa untuk kemungkinan terjadinya ROP. (Rekomendasi C LoE IV)
3. Pemeriksaan terhadap bayi dengan berat lahir lebih besar atau usia gestasi
lebih tinggi daripada yang disebutkan di atas dapat dilakukan sesuai
permintaan neonatologis/spesialis anak. (Rekomendasi C LoE IV)
47
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Daftar pustaka
48
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
BAB IV
PERMASALAHAN BAYI BARU LAHIR
A. Asfiksia Neonatorum
49
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Bayi Lahir
Berikan kehangatan
30 detik
Evaluasi napas, frekuensi denyut jantung Bernapas, FJ>100, kemerahan Perawatan suportif
dan warna
Bernapas, FJ>100,
sianosis
kemerahan
Apneu Beri tambahan
atau oksigen
FJ<100
30 detik
sianosis menetap
Ventilasi efektif Perawatan
Berikan ventilasi tekanan positif*(VTP)
FJ> 100 & kemerahan Pasca resusitasi
FJ < 60 FJ > 60
FJ < 60
50
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
1. Tim resusitasi
Di tingkat puskesmas, bidan harus dapat mengantisipasi, mengenali gejala
asfiksia dan dapat memberikan resusitasi dasar dengan segera, bila diperlukan
segera melakukan rujukan ke rumah sakit. Di tingkat pelayanan kesehatan yang
lebih tinggi, tiap rumah sakit yang menolong persalinan harus memiliki tim
resusitasi yang terdiri dari dokter dan paramedis yang telah mengikuti pelatihan
resusitasi neonatus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi.7
2. Alat resusitasi
Di tingkat puskesmas, harus tersedia minimal balon mengembang sendiri (self
inflating bag/ ambu bag) bagi pelaksanaan ventilasi dalam resusitasi asfiksia
neonatorum. Balon mengembang sendiri juga minimal harus ada sebagai cadangan
dimanapun resusitasi dibutuhkan, bila sumber gas bertekanan gagal atau T-piece
resusitator tidak berfungsi.8 Di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi,
rumah sakit harus dilengkapi dengan alat ventilasi yang lebih canggih. Neopuff
harus ada ditingkat ini.
3. Penggunaan oksigen
Penelitian Saugstad dkk9,10 menyatakan bahwa penggunaan oksigen aliran
bebas (21%) menurunkan risiko mortalitas dan hipoksik iskemik ensefalopati. 11,12,13
Penelitian Tan dkk14 menyatakan bahwa saat ini belum cukup bukti yang bisa
dijadikan dasar untuk merekomendasikan penggunaan oksigen aliran bebas
sebagai ganti oksigen 100%, karena beberapa penelitian yang menggunakan
oksigen aliran bebas tetap menggunakan oksigen 100% sebagai cadangan pada
lebih dari ¼ objek penelitiannya. Karenanya bila oksigen aliran bebas (O 2 21%)
digunakan pada awal resusitasi bayi-bayi cukup bulan, oksigen 100% tetap harus
tersedia sebagai cadangan bila resusitasi gagal.
51
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Bayi dibungkus plastik transparan dari ujung kaki sampai sebatas leher, kepala
dikeringkan dan dibiarkan terbuka. Plastik yang digunakan adalah plastik
transparan atau kantong pembungkus yang terbuat dari low density polyethylene
(LDPE) atau linear low density polyethylene (LLDPE) atau polyvinylidene chloride
(PVDC) atau plastik membran semi-permeabel seperti Opsite® atau Tegaderm®.18
Inkubator transpor juga diperlukan untuk memindahkan bayi ke ruang perawatan
setelah resusitasi.
Blender oksigen diperlukan untuk memberikan konsentrasi oksigen antara
21% sampai 100%. Selang bertekanan tinggi menghubungkan oksigen dan sumber
udara ke blender mengatur gas dari 21% ke 100%. Pengatur aliran dapat
dihubungkan ke blender dengan kecepatan aliran 0 sampai 20 L/menit untuk
mendapatkan konsentrasi oksigen yang dapat diberikan langsung ke bayi atau
melalui alat tekanan positif.
Secara garis besar hal-hal berikut harus diperhatikan pada resusitasi bayi
kurang bulan :
a. Menjaga bayi tetap hangat
Bayi yang lahir kurang bulan hendaknya mendapatkan semua langkah untuk
mengurangi kehilangan panas.
b. Pemberian oksigen
Saugstad dkk9,10 menyatakan bahwa penggunaan oksigen aliran bebas (21%)
menurunkan risiko mortalitas dan hipoksik iskemik ensefalopati 11,12,13
Sementara Tan dkk14 menyatakan bahwa saat ini belum cukup bukti untuk
merekomendasikan penggunaan oksigen aliran bebas sebagai ganti oksigen
100%, karena beberapa penelitian yang menggunakan oksigen aliran bebas
tetap menggunakan oksigen 100% sebagai cadangan pada lebih dari ¼ objek
penelitiannya.19
Untuk menghindari pemberian oksigen yang berlebihan saat resusitasi
pada bayi kurang bulan, digunakan blender oksigen dan oksimeter agar jumlah
oksigen yang diberikan dapat diatur dan kadar oksigen yang diserap bayi dapat
diketahui. Saturasi oksigen lebih dari 95% dalam waktu lama, terlalu tinggi
bagi bayi kurang bulan dan berbahaya bagi jaringannya yang imatur.7
c. Ventilasi
Bayi kurang bulan mungkin sulit diventilasi dan juga mudah cedera dengan
ventilasi tekanan positif yang intermiten. Hal-hal berikut perlu
dipertimbangkan:7
i.Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
Jika bayi bernapas spontan dengan frekuensi jantung diatas 100 x/menit
tapi tampak sulit bernapas dan sianosis pemberian CPAP mungkin
bermanfaat. CPAP diberikan dengan memasang sungkup balon yang tidak
mengembang sendiri atau T-piece resuscitator pada wajah bayi dan
mengatur katup pengontrol aliran atau katup Tekanan Positif Akhir
Ekspirasi (TPAE) sesuai dengan jumlah CPAP yang diinginkan. Pada
umumnya TPAE sampai 6 cmH2O cukup. CPAP tidak dapat digunakan
dengan balon mengembang sendiri.
ii.Tekanan terendah digunakan untuk memperoleh respons yang adekuat
Jika VTP intermiten diperlukan karena apnu, frekuensi jantung kurang
dari 100 x/menit, atau sianosis menetap, tekanan awal 20-25 cmH2O
cukup untuk sebagian besar bayi kurang bulan. Jika tidak ada perbaikan
frekuensi jantung atau gerakan dada, diperlukan tekanan yang lebih tinggi.
52
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
53
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
REKOMENDASI HTA
1. Asfiksia neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka
Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera
ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif,
kuratif dan rehabilitatif. [Rekomendasi B LoE IIb]
2. Secara umum definisi asfiksia neonatorum yang digunakan mengacu pada
definisi WHO. Namun begitu, 3% bayi dengan asfiksia neonatorum yang
mengalami komplikasi dan sesuai dengan 4 kriteria klinis asfiksia menurut
AAP/ACOG perlu penanganan dan pemantauan dengan sarana yang lebih
lengkap tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. [Rekomendasi C LoE IV]
3. Dalam penatalaksanaan asfiksia neonatorum, direkomendasikan ketersediaan
alat-alat/bahan resusitasi di tingkat pelayanan dasar berupa oksigen, sungkup
oksigen, balon mengembang sendiri, penghangat, pipa orogastrik, laringoskop,
pipa endotrakeal, kateter penghisap, kateter umbilikal dan obat-obat resusitasi
seperti cairan kristaloid dan epinefrin. [Rekomendasi C LoE IV]
4. Tenaga resusitasi di tingkat pelayanan dasar direkomendasikan dapat melakukan
resusitasi dasar yang bersertifikasi terutama memberikan ventilasi yang adekuat.
[Rekomendasi C LoE IV]
5. Fasilitas pelayanan kesehatan pada pelayanan primer direkomendasikan
ketersediaan alat-alat/bahan resusitasi berupa oksigen, balon mengembang
sendiri, sungkup oksigen, penghangat, pipa orogastrik, kateter penghisap, kateter
umbilikal dan obat-obat resusitasi seperti cairan kristaloid dan epinefrin.
[Rekomendasi C LoE IV]
54
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Perawatan metode kanguru (PMK) adalah perawatan untuk bayi baru lahir dengan
melakukan kontak langsung antara kulit bayi dengan kulit ibu (skin-to-skin contact).23
Perawatan metode kanguru ini bermanfaat terutama untuk bayi kurang bulan.
Terdapat dua tipe PMK:
1. PMK intermiten
PMK yang dapat dilakukan saat bayi belum stabil (masih mendapatkan
sokongan medis)
Waktu: dilakukan saat ibu menjenguk bayinya, lama dikerjakan sebaiknya
lebih dari 1 jam
Tempat: perawatan bayi (NICU/Special care nursery)
2. PMK kontinu
PMK yang dilakukan saat bayi sudah dalam keadaan stabil (tidak ada penyakit
akut)
Waktu: ibu dan bayi bersama dalam 24 jam
Tempat : ruangan rawat khusus PMK kontinu
Kriteria Pelaksanaan PMK
PMK intermiten:
Bayi kurang bulan yang masih memerlukan pemantauan kardiopulmonal, oksimetri,
pemberian oksigen terapi, cairan intravena, dan pemantauan lain, keadaan tersebut
tidak mencegah pelaksanaan PMK.24,25
PMK kontinu:
Bayi yang memenuhi kriteria untuk dilakukan PMK adalah bayi prematur (kurang
bulan), berat lahir ≤2000 gram, tidak ada kegawatan pernapasan dan sirkulasi, tidak
ada kelainan kongenital yang berat, dan mampu bernapas sendiri. Ibu dapat
memberikan nutisi (ASI dan formula secara oral maupun melalui pipa lambung)
Meskipun demikian, pada sebagian besar kasus PMK dapat segera dilakukan setelah
bayi lahir.23
Implementasi PMK
Komponen PMK
Terdapat empat komponen PMK yaitu :
1. Kangaroo position (posisi)
2. Kangaroo nutrition (nutrisi)
3. Kangaroo support (dukungan)
4. Kangaroo discharge (pemulangan) dan pemantauan ketat
55
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Posisi bayi diamankan dengan kain panjang atau pengikat lainnya. Kepala bayi
dipalingkan ke sisi kanan atau kiri, dengan posisi sedikit tengadah (ekstensi). Tepi
pengikat tepat berada di bawah kuping bayi. Posisi kepala seperti ini bertujuan untuk
menjaga agar saluran napas tetap terbuka dan memberi peluang agar terjadi kontak
mata antara ibu dan bayi. Hindari posisi kepala terlalu fleksi atau ekstensi. Tungkai
bayi haruslah dalam posisi ”kodok”; tangan harus dalam posisi fleksi. 23
Kain diikatkan dengan kuat setinggi dada bayi agar bayi tidak tergelincir saat ibu
bangun dari duduk. Perut bayi sebaiknya berada di sekitar epigastrium ibu dan
diperhatikan agar tidak tertekan. Dengan cara ini bayi dapat melakukan pernapasan
perut dan napas ibu akan merangsang bayi. 23
Ibu dapat menggunakan baju berkancing depan. Bayi menggunakan popok dan topi.
ibu tetap dapat melakukan pekerjaan ringan sehari-hari. Bila ibu ingin kekamar
mandi atu melakukan aktivitas yang mengharuskan tidak dapat menggendong
bayinya maka anggota keluarga lain dapat bergantian menggendong bayi tersebut.
Ibu dapat tidur dengan kepala lebih tinggi menggunakan beberapa bantal dan tetap
melaksanakan PMK.
56
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
melakukan PMK dengan berhasil. Wanita hamil sebaiknya sudah diberikan informasi
dan edukasi tentang PMK sejak kunjungan antenatal pertama.
Edukasi yang diberikan kepada ibu di antaranya harus mengandung informasi
mengenai pemantauan terhadap tanda bahaya. Berikut ini beberapa tanda bahaya:
Kesulitan bernapas : dada tertarik ke dalam, merintih
Bernapas sangat cepat atau sangat lambat
Serangan apnea sering dan lama
Bayi terasa dingin : suhu bayi di bawah normal walaupun telah dilakukan
penghangatan
Bayi teraba panas
Sulit minum: bayi tidak lagi terbangun untuk minum, berhenti minum atau
muntah
Kejang
Diare
Kulit menjadi kuning
57
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
REKOMENDASI HTA
1. PMK terbukti dapat menstabilkan suhu bayi dengan menggunakan panas badan
ibu dan sama efektif bahkan lebih baik dari inkubator. [Rekomendasi A LoE Ib]
2. PMK memberikan ibu kepercayaan diri dalam merawat bayi berat lahir rendah,
PMK kontinu di RS lebih efisien dalam hal maka keperluan tenaga kesehatan
khususnya perawat. Bayi yang belum dapat dilakukan PMK kontinu, dianjurkan
untuk melakukan PMK intermitten untuk membiasakan ibu merawat bayi dengan
PMK. [Rekomendasi A LoE Ia]
3. Ibu yang melakukan PMK mempunyai kadar stress hormone (kortisol) yang lebih
rendah sehingga diasumsikan ibu dan bayi lebih tenang/tidak stress.
[Rekomendasi A LoE Ia]
4. PMK direkomendasikan untuk BBLR di Indonesia terutama apabila bayi tersebut
stabil keadaan klinisnya dan hanya memerlukan inkubator untuk perawatannnya.
Pusat pelayanan primer seperti PUSKESMAS dapat meneruskan perawatan BBLR
yang telah di pulangkan dari pusat pelayanan sekunder atau tersier. Pusat
pelayanan kesehatan sekunder dapat melakukan PMK kontinu untuk BBLR yang
masih menggunakan alat kesehatan minimal. PMK dapat dilakukan disemua level
pelayanan kesehatan di Indonesia sesuai dengan sarana dan prasarana yang
tersedia. [Rekomendasi A LoE Ia]
5. Kriteria definitif pemulangan terdiri dari : [Rekomendasi C LoE IV]
Bayi mencapai berat badan minimum yakni 1500 g.
Kesehatan bayi secara keseluruhan dalam kondisi baik dan tidak ada apnea
atau infeksi
Bayi minum dengan baik
Berat bayi selalu bertambah (sekurang-kurangnya 15g/kg/hari) untuk
sekurang-kurangnya tiga hari berturut-turut
Ibu mampu merawat bayi dan dapat datang secara teratur untuk melakukan
follow-up
Bayi yang dipulangkan dengan berat badan < 1800 gram difollow-up setiap
minggu dan dilakukan minimal di RS Umum Daerah, sedangkan dan bayi
dengan berat badan >1800 gram dilakukan follow-up setiap dua minggu; boleh
dilakukan di Puskesmas.
6. Rekomendasi waktu pemantauan: [Rekomendasi C LoE IV]
Dua kali kunjungan follow up perminggu sampai dengan 37 minggu usia
pascamenstruasi.
Kunjungan pertama paling lambat dalam 48 jam setelah pemulangan. Satu kali
kunjungan follow up perminggu setelah 37 minggu.
58
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
C. Hiperbilirubinemia Neonatal
59
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
(chloromycetin)
60
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Ikterus fisiologis
Sindroma Chrigler-Najjar tipe 1 dan 2
Sindroma Gillbert
Hipotiroidisme
Ikterus karena ASI
Gangguan pada Eksresi Bilirubin
Karakteristik : peningkatan bilirubin direk dan indirek, tes Coomb’s negatif, nilai bilirubin direk > 2
mg/dl (34 mol/L) atau > 20% dari total bilirubin serum, bilirubin direk pada urin
Obstruksi bilier : atresia bilier, choledocal cyst, sklerosis kolangitis primer, batu empedu, keganasan,
sindroma Dubin-Johnson, sindroma Rotor’s
Infeksi : sepsis, infeksi saluran kemih, sifilis, toksoplasmosis, tuberkulosis, hepatitis, rubella, herpes
Kelainan metabolisme : defisiensi alfa1 antitripsin, fibrosis kistik, galaktosemia, glycogen storage disease,
penyakit Gaucher’s, hipotiroidisme, penyakit Wilson’s, penyakit Niemann-Pick
Abnormalitas kromosom : sindroma Turner’s, sindroma trisomi kromosom 18 dan 21
Obat-obatan : aspirin, asetaminofen, sulfa, alcohol, rifampisin (Rifadin), eritromisin, kortikosteroid,
Tetrasiklin
*G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase.
61
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Perkiraan total bilirubin serum dengan penilaian secara klinis yaitu mengenai
wajah 5 mg/dL; dada bagian atas 10 mg/dL; abdomen 12 mg/dL; sedangkan jika
meliputi sampai telapak tangan dan kaki > 15 mg/dL.28
Perkiraan yang konsisten dan dapat diandalkan untuk memperkirakan total
bilirubin serum adalah ikterus terlihat di atas garis puting susu. Pada keadaan
ini, nilai bilirubin akan bervariasi, namun < 12 mg/dL.40
Jika ikterus telah mencapai pertengahan dada ke bawah maka korelasi antara
pengamatan visual dengan total bilirubin serum akan semakin tidak akurat. Hal
ini disebabkan perbedaan warna kulit diantara etnis, lambatnya deposit pigmen
pada kulit meski nilai bilirubin meningkat, perbedaan persepsi antarpengamat
dan faktor lain yang menyulitkan prediksi secara tepat hanya melalui pengamatan
visual.41
Pemeriksaan terhadap neonatus meliputi warna kulit (pucat), petekiae, pletora,
ekstravasasi darah (misalnya sefalhematoma atau memar), hepatosplenomegali
62
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
*Tatalaksana Bilirubinemia42
Fototerapi Transfusi Tukar
≤24 jam 10-12 (7-10) 20 (18)
25-48 jam 12-15 (10-12) 20-25 (20)
49-72 jam 15-18 (12-15) 25-30 (>20)
>72 jam 18-20 (12-15) 25-30 (>20)
Keterangan :
nilai bilirubin dinyatakan dalam mg/dL – nilai tanda dalam kurung
merupakan nilai bilirubin untuk neonatus dengan faktor risiko
Gambar 30. Nomogram42
Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia
a. Fototerapi
Sebagian besar unit neonatal di Indonesia memberikan fototerapi pada setiap
bayi baru lahir cukup bulan dengan BST ≥ 12 mg/dL atau bayi prematur
dengan BST ≥10 mg/dL tanpa melihat usia. Berikut ini adalah pedoman terapi
sinar pada bayi usia gestasi ≥ 35 minggu yang direkomendasikan oleh
63
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Gambar 31. Tatalaksana Fototerapi untuk neonatus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu35
Keterangan Gambar 31 :
o Gunakan bilirubin total. Jangan dikurangi dengan bilirubin direk atau bilirubin
terkonjugasi.
o Faktor risiko : penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi signifikan,
instabilitas suhu, sepsis, asidosis, atau albumin < 3.0 g/dL (jika diukur).
o Untuk neonatus 35-37 minggu dengan kondisi sehat, intervensi dapat mengacu pada
garis di sekitar risiko sedang.
o Terapi sinar konvensional/standar dapat dilakukan di RS atau di rumah jika kadar
BST 2-3 mg/dl di bawah garis cut off point (35-50 mg/dl). Terapi sinar di rumah tidak
dianjurkan pada bayi yang mempunyai faktor risiko.
o Fototerapi intensif digunakan bila nilai BST sudah melampaui cut off point untuk
fototerapi pada setiap kategori.
64
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Tabel 9. Indikasi transfusi tukar berdasarkan rasio bilirubin : albumin pada usia
gestasi dan kelompok risiko tertentu27,35,43
Usia gestasi dan kelompok risiko Rasio bilirubin : albumin
38 minggu dan sehat 8.0
> 38 minggu + hemolisis atau 7.2
35 – 37 6/7 dan sehat
35 – 37 6/7 + hemolisis 6. 8
Ikterus yang terjadi < 24 jam pada neonatus cukup bulan selalu dikategorikan
sebagai ikterus patologis. Berdasarkan kenaikan nilai total bilirubin serum,
65
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Gambar 32. Hubungan antara konsentrasi hemoglobin darah, massa hemoglobin total dan
persentase retikulosit
Keterangan Gambar 32 :
Setiap tabel menunjukkan hasil pengamatan pada bayi yang diberikan perlakuan yang sama.
Setiap poin mewakili rerata perminggu pengamatan hidup pada masing-masing kelompok
A. Transfusi tukar dengan darah yang memiliki rhesus negatif: 4 bayi
B. Transfusi tukar dengan darah yang memiliki rhesus positif: 3 bayi
C. Beberapa transfusi kecil dengan endapan sel Rh negatif: 9 bayi.
D. Penyembuhan spontan: 1 bayi
66
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
67
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
A
Usia gestasi 35-37 minggu + faktor risiko
hiperbilirubinemia lainnya
Risiko tinggi Risiko menengah tinggi Risiko menengah rendah Risiko rendah
Evaluasi fototerapi Evaluasi fototerapi Jika keluar RS dalam < 72 jam, Jika keluar RS
(lihat Gambar 5) (lihat Gambar 5) kontrol dalam 2 hari dalam < 72 jam,
Pengukuran TSB Pengukuran Pertimbangkan pengukuran kontrol dalam 2 hari
dalam 4-8 jam TSB/TcB dalam TcB/TSB saat kontrol
4- 24jam
B
Usia gestasi 35-37 minggu, tanpa risiko hiperbilirubinemia
atau
Usia gestasi ≥ 38 minggu + faktor risiko hiperbilirubinemia lainnya
Risiko tinggi Risiko menengah tinggi Risiko menengah rendah Risiko rendah
Evaluasi fototerapi Evaluasi fototerapi Jika keluar RS dalam < 72 jam, Jika keluar RS
(lihat Gambar 5) (lihat Gambar 5) kontrol dalam 2 hari dalam < 72 jam,
Pengukuran TSB Pengukuran kontrol dalam 2-3
dalam 4-24 jam TSB/TcB dalam hari
24jam
68
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Risiko tinggi Risiko menengah tinggi Risiko menengah rendah Risiko rendah
Evaluasi fototerapi Kontrol dalam 2 Jika keluar RS dalam < 72 jam, Jika keluar RS
(lihat Gambar 5) hari kontrol dalam 2-3 hari dalam < 72 jam,
Pengukuran TSB Pertimbangkan kontrol sesuai
dalam 4-24 jam pengukuran dengan usia ketika
TcB/TSB saat keluar RS atau
kontrol pertimbangan
selain ikterus (ASI)
Keterangan Bagan 2 :
Evaluasi terhadap laktasi dan dukung ibu untuk menyusui bayinya.
Pengulangan pengukuran TSB tergantung pada usia saat pengukuran dan perbandingan
nilai TSB terhadap persentil 95 (lihat gambar 1). Semakin dini pengukuran TSB dan semakin
tinggi nilainya, maka pengukuran ulang harus segera dilakukan.
Pada saat kontrol, dokter akan melakukan pemeriksaan klinis sesuai standar.
69
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Tabel 11. Indikasi Tatalaksana Transfusi Tukar pada Bayi Kurang Bulan45
D. Sepsis neonatorum
Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the world’s mother 2007 (data
tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh
penyakit infeksi, diantaranya (1) sepsis, (2) pneumonia, (3) tetanus, dan (4) diare.46
Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam
periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses
kelahiran atau in utero. Di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme
penyebabnya adalah batang Gram negatif.47,48 Sepsis neonatorum awitan dini
memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas
sebesar 15-50%.49
Kajian WHO dalam Meeting to explore simplified antimicrobial regimens for the
treatment of neonatal sepsis (2002) menyatakan bahwa bakteri batang Gram-negatif,
khususnya Klebsiella merupakan penyebab utama sepsis neonatorum, diikuti dengan
Staphylococcus, dan Escherichia (Gambar 32 dan 33).50
70
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam)
yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (health care-associated
infection).51,52 Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi
horizontal.53
CDC (2008) telah mengganti istilah infeksi nosokomial menjadi health care-
associated infection (HAI). HAI didefinisikan sebagai kondisi sistemik atau lokal
sebagai reaksi akibat adanya agen infeksi atau toksinnya; ditegakkan jika tidak ada
bukti bahwa infeksi sedang terjadi atau sedang dalam masa inkubasi ketika bayi
mulai dirawat di rumah sakit.54
71
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di
negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli,
Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa).53
Faktor predisposisi HAI yang mencetuskan SAL antara lain BBLR,
prematuritas, perawatan di NICU, penggunaan ventilator mekanis, prosedur invasif,
dan pemberian cairan parenteral; sedangkan faktor risiko dari komunitas yang
mencetuskan SAL antara lain buruknya higienitas, perawatan tali pusat, dan minum
susu botol.55
Definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected)
maupun terbukti infeksi (proven).56 Definisi SIRS dipakai untuk menjelaskan
sindroma klinis yang ditandai oleh 2 atau lebih dari kriteria ini: (a) demam atau
hipotermia, (b) takikardia, (c) takipneu atau hiperventilasi, dan (d) jumlah leukosit
abnormal atau meningkatnya morfologi leukosit abnormal.57 Jika sepsis disertai
dengan disfungsi organ, hipoperfusi, atau hipotensi – sepsis dikategorikan sebagai
sepsis berat. Syok septik terjadi jika terdapat hipotensi sebagai akibat tidak
adekuatnya penggantian volume cairan tubuh.58
Usia 0-7 hari >38,5ºC atau >180 atau <100 >50 >34
<36ºC
Usia 7-30 hari >38,5ºC atau >180 atau <100 >40 >19,5 atau <5
<36ºC
Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel
(salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit)
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
72
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan kriteria
diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan
perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4
variabel, yaitu variabel klinis, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan
variabel inflamasi.60
Pemeriksaan penunjang seperti biakan darah untuk kultur kuman penyebab
merupakan standar baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun
demikian, terdapat beberapa kendala yaitu kultur kuman penyebab seringkali
menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Selain itu, hasil pemeriksaan baru dapat
diketahui setelah 48-72 jam. Hal yang penting juga diperhatikan bahwa kuman
penyebab infeksi tidak selalu sama, baik antar klinik, antar waktu, ataupun antar
negara.
Tabel 15. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus
Variabel Klinis
Suhu tubuh tidak stabil
Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit
Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )
Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik* (atau dapat digantikan dengan laju nadi, kualitas isi
nadi dan pengisian kapiler)
TD < 2 SD menurut usia bayi
73
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
74
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
75
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD) dan sepsis
awitan lambat (SAL).
Pencegahan untuk SAD : Dengan pemberian ampicillin 1 gram intravena yang
diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat
menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada
bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan resiko infeksi
GBS sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampicillin
dan gentamicin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum
sebesar 82% dan infeksi GBS sebesar 86%.67
Terdapat rekomendasi dari the Centers for Disease Control and Prevention/CDC
(2002) mengenai kemoprofilaksis pada wanita hamil terhadap infeksi GBS onset dini
pada neonatus. Terdapat indikasi pemberian antibiotik intrapartum untuk profilaksis
infeksi GBS onset dini melalui skrining kultur prenatal universal terhadap setiap
wanita hamil pada usia gestasi 35-37 minggu (Bagan 3).69
76
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Sumber : http://aapredbook.aappublication.org
77
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Sumber : http://aapredbook.aappublication.org
78
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Sumber : http://www.newbornwhocc.org
79
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
REKOMENDASI HTA
1. Sepsis neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka
mortalitas yang cukup tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka Kematian
Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera
ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif,
kuratif dan rehabilitatif. [Rekomendasi B LoE IIb]
2. Penegakan diagnosis :
Penegakan diagnosis Sepsis neonatorum dipilih dengan pendekatan standar
klinis yang menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko
tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor.
Penegakkan diagnosis dilakukan secara klinis dengan disertai pemeriksaan
penunjang.
Selain itu penegakan diagnosis juga dapat mengacu pada usulan kriteria
diagnosis menurut The International Sepsis Forum. Kriteria diagnosis sepsis
didasarkan pada perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi.
Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu
variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variabel
inflamasi.
Penajaman tentang pemeriksaan klinis untuk menentukan diagnosis sepsis
atau dugaan sepsis sangat penting.
Pemeriksaan penunjang sangat tergantung dari ketersediaan fasilitas di
tempat pelayanan kesehatan:
Di sarana yang memiliki fasilitas untuk pemeriksaan penunjang
konvensional dianjurkan untuk melakukan :
Skrining Infeksi maternal
Pemeriksaan untuk bayi meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap,
pemeriksaan kultur/biakan, CRP dan IT ratio.
Di sarana kesehatan yang memiliki fasilitas lengkap untuk
pemeriksaan penunjang canggih, selain melakukan pemeriksaan
penunjang konvensional seperti tersebut di atas, apabila terdapat
indikasi dapat melakukan pemeriksaan penunjang canggih sesuai dengan
fasilitas yang ada, seperti pemeriksaan IgG, IgM, sitokin, interleukin,
PCR, prokalsitonin, dan lain-lain.
80
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
3. Penatalaksanaan
Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus
menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik:
Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis.
Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk GBS).
Beberapa mikro-organisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi mutan
resisten selama terapi (Pseudomonas sp).
Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya
menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria). Pada kasus sepsis
neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga diberikan terapi suportif.
Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan dampak positif antara lain :
Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT), pemberian fresh
frozen plasma, pemberian pentoxifilin. [Rekomendasi A LoE Ia]
4. Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola resistensi
kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal berikut:
1. Usia saat awitan penyakit
2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi.
3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit.
4. Farmakokinetik antibiotik.
5. Pencegahan
Pencegahan secara umum :
Melakukan pemeriksaan antenatal yang baik dan teratur.
Skrining infeksi maternal kemudian mengobatinya, misalnya infeksi
TORCH, infeksi saluran kemih, dll.
Mencegah persalinan prematur atau kurang bulan.
Meningkatkan status gizi ibu agar tidak mengalami kurang gizi dan
anemia.
Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk ibu dengan ancaman
persalinan kurang bulan.
Konseling ibu tentang risiko kehamilan ganda.
Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari :
Persalinan yang bersih dan aman
Stabilisasi suhu
Inisiasi pernapasan spontan dengan melakukan resusitasi yang baik dan
benar sesuai dengan kompetensi penolong
Pemberian ASI dini dan eksklusif
Pencegahan infeksi dan pemberian imunisasi
Membatasi tindakan/prosedur medik pada bayi.
81
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
82
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
DAFTAR PUSTAKA
1 Lawn JE, Cousens S, Zupan J; Lancet Neonatal Survival Steering Team. 4 million
neonatal deaths: When? Where? Why? Lancet. 2005;365 (9462):891 –900.
2 London, Susan Mayor. Communicable disease and neonatal problems are still
major killers of children. BMJ 2005;330:748 (2 April),
doi:10.1136/bmj.330.7494.748-g
3 Lee, et.al. Risk Factors for Neonatal Mortality Due to Birth Asphyxia in Southern
Nepal: A Prospective, Community-Based Cohort Study. PEDIATRICS Vol. 121 No. 5
May 2008, pp. e1381-e1390 (doi:10.1542/peds.2007-1966). (Level of evidence IIb)
4 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar tahun 2007.
2008
5 World Health Organization. Basic Newborn Resuscitation: A Practical Guide-
Revision. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 1999. Available at:
www.who.int/reproductive-
health/publications/newborn_resus_citation/index.html. Accessed June 20, 2008.
6 American Heart Association & American Academy of Pediatrics. Buku Panduan
Resusitasi Neonatus Edisi ke-5. 2006.
7 American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and
Gynaecologists. Care of the neonate. Guidelines for perinatal care. Gilstrap LC, Oh
W, editors. Elk Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics; 2002.p. 196-7.
8 IDAI. Asfiksia Neonatorum.Standar Pelayanan Medis Kesehatan anak . 2004 : 272-
276. (level of evidence IV)
9 Saugstad OD, et.al. Resuscitation of Newborn Infants with 21% or 100% Oxygen :
An updated systematic review and meta-analysis. Neonatology 2008; 94(3):176-182
10 Saugstad OD, Ramji S., Vento M. Resuscitation of depressed newborn Infants with
ambient air or pure oxygen : a meta-analysis. Biol Neonate. 2005;87(1):27-34.
11 Zhu JJ, Wu MY. Which is better to resuscitate asphyxiated newborn infants : room
air or pure oxygen?. Zhonghua Er Ke Zha Zhi.2007 Sep;45(9):644-649.
12 Rabi Y, Rabi D, Yee W. Room air resuscitation of depressed newborn: a systematic
review and meta-analysis. Resuscitation. 2007 Mar; 72(3):353-363.
13 Bajaj N, Udani RH, Nanavati RN. Room air vs 100 percent oxygen for neonatal
resuscitation: a controlled clinical trial. J Trop Pediatr. 2005 Aug; 51(4):206-211.
14 Tan A, Schulze A, O'Donnell CPF, Davis PG. Resuscitation of Newborn infants with
100% oxygen or air : a systematic review and meta-analysis. The Lancet 2004;
364:1329-1333 (DOI : 10.1016/S0140-6736 (04)17189-4)
15 Fearnley SJ, Pulse Oximetry, Update in Anaesthesia, 1995: Issue 5.Dapat diakses
pada www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u05/u05_003.htm
16 Jubran A, Pulse oximetry, Crit Care. 1999; 3(2): R11–R17. Published online 1999
May 18. doi: 10.1186/cc341.
17 Vohra S, Roberts RS, Zhang B, Janes M, Schmidt B. Heat Loss Prevention (HeLP)
in the delivery room: a randomized controlled trial of polyethylene occlusive skin
wrapping in very preterm infants. J Pediatr. 2004;145 :750 –753.
18 McCall EM, Alderdice FA, Halliday HL, Jenkins JG, Vohra S. Interventions to
prevent hypothermia at birth in preterm and/or low birthweight infants. Cochrane
Database of Systematic Reviews 2008, Issue 1. Art. No.: CD004210.
DOI:0.1002/14651858. CD004210.pub3. (Level of evidence Ia)
83
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
19 McCall EM, Alderdice FA, Halliday HL, Jenkins JG, Vohra S. Interventions to
prevent hypothermia at birth in preterm and/or low birthweight infants. Cochrane
Database of Systematic Reviews 2008, Issue 1. Art. No.: CD004210.
DOI:0.1002/14651858. CD004210.pub3. (Level of evidence Ia)
20 Meneguel JF, Guinsburg R, Miyoshi MH, Peres CA, Russo RH, Kopelman BI,
Camano L. Antenatal treatment with corticosteroids for preterm neonates: impact
on the incidence of respiratory distress syndrome and intra-hospital mortality. Sao
Paulo Med J 2003; 121(2):45-52. (Level of evidence IIb)
21 Berglund S, Grunewald C, Pettersson H, Cnattingius S. Severe asphyxia due to
delivery-related malpractice in Sweden 1990–2005. BJOG 2008;115:316–323.
(Level of evidence IIIb)
22 Fahdhy M, Chongsuvivatwong V. Evaluation of World Health Organization
partograph implementation by midwives for maternity home birth in Medan,
Indonesia. Midwifery. 2005 Dec;21(4):301-10.Epub 2005 Aug 1.
23 Department of Reproductive Health and Research, World Health Organization.
Kangaroo mother care.A practical guide. 1st ed. Geneva : WHO, 2003.
24 London, M., Ladewig, P., Ball, J., & Bindler, R. (2006). Maternal and child nursing
care (2nd ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall. (p. 573, 791 - 793)
25 Robles, M. (1995). Kangaroo care: The human incubator for the premature infant.
University of Manitoba, Women’s Hospital in the Health Sciences Centre:
Winnipeg, MN.
26 Usman A, Irawaty S, Triyanti A, Alisjahbana A. Pencegahan Hipotermia pada
Perawatan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Rumah dengan Metoda Kanguru.
Unit Penelitian FK Unpad/RSHS. Bandung 1996.
27 Subcommitte on Hyperbilirubinemia. Clinical practice guidelies : Management of
hyperbilirubinemia in the newborn 35 or more weeks gestasion. Pediatrics 2004;
114: 297-316.
28 Porter ML. Dennis BL. Hyperbilirubinemia in the term of newborn. Am Fam
Physician 2002;65:599–606,613–4.
29 Sarici SU. et al. An Early (Sixth-Hour) Serum bilirubin measurement is useful in
predicting the development of significant hyperbilirubinemia and severe abo
hemolytic disease in a selective high-risk population of newborns with abo
incompatibility. American Academy of Pediatrics Journal. 2002;109(4);e53.
30 Linn S. et al. Epidemiology of neonatal hyperbilirubinemia. American Academy of
Pediatrics Journal. 1985;75;770-774.
31 Suradi R, Monintja HE, Munthe BG, Suparno. Glucose-6-phosphate
dehydrogenase deficiency in the dr. Ciptomangunkusumo general hospital. Pediatr
Indones 1979: 19:30-40.
32 Jaundice and hyperbilirubinemia in the newborn. In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, eds. Nelson Textbook of pediatrics. 16th ed. Philadelphia: Saunders,
2000:511-28. pediatrics. 16th ed. Philadelphia: Saunders, 2000:511-28.
33 Hiperbilirubinemia pada neonatus. Dalam :Pelayanan Obstetri dan Neonatal
Emergensi Komprehensif (PONEK).2008;183-96.
34 Raunch D. Kernicterus. Diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/007309.htm. Diakses tanggal
10 Desember 2009.
35 Maisles MJ. Et al. Hyperbilirubinemia in the newborn infant ≥ 35 weeks’ gestation:
an update with clarifications. American Academy of Pediatrics Journal. Vol 124,
Number 4. 2009;1193-8.
84
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
36 Siberry GK, Iannone R, eds. The Harriet Lane handbook: a manual for pediatric
house officers. 15th ed. St. Louis: Mosby, 2000:257-8.
37 Gartner LM, Herschel M. Jaundice and breastfeeding. Pediatr Clin North Am
2001;48:389-99.
38 WHO Indonesia. Masalah-masalah bayi baru lahir:Ikterus. Buku saku pelayanan
kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota.
Jakarta: WHO.2009;p 68-9.
39 Melton K, Akinbi HT. Neonatal jaundice. Strategies to reduce bilirubin-induced
complications. Postgrad Med 1999;106:167-8,171-4,177-8.
40 Bhutani VK, Johnson LH, Keren R: Diagnosis and management of
hyperbilirubinemia in the term neonate: for a safer first week. Pediatr. Clin. North
Am. 51, 843-861 (2004).
41 Bhutani VK. Screening for Severe Neonatal Hyperbilirubinemia: Tests. Diunduh
dari http://www.medscape.com. Diakses tanggal 10 Desember 2009.
42 Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. Predictive ability of a predischarge hour-
spesific serum bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in a healthy
term and near-term newborns. Pediatrics. 1999;103:6-14
43 Treatment of Hyperbilirubinemia. Diunduh dari www.yalepediatrics.org. Diakses
Mei 2007.
44 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Paket Pelatihan Pelayanan Obstetri dan
Neonatal (PONEK): Asuhan Neonatal Esensial. 2008.
45 The Royal Women’s Hospital Neonatal Services: Clinician’s Handbook. February
2009.
46 WHO, Departement of Child and Adolescent Health and Development.
www.who.int/child-adolescent-health/OVERVIEW/CHILD_HEALTH/map_00-03_
world.jpg. [Tingkat pembuktian IIIb]
47 Gordon A, Jeffery HE. Antibiotic regimens for suspected late onset in newborn
infants. Available at: URL:
http://www.nichd.nih.gov/cochrane/Gordon/GORDON.HTM [Tingkat Pembuktian
Ia]
48 Yurdakok M. Antibiotic use in neonatal sepsis. Turk J Pediatr 1994; 40(1): 17-33.
[Tingkat Pembuktian IV]
49 Schuchat A, Zywicki SS, Dinsmoor MJ, Mercer B, Romaguera J, O’Sullivan MJ, et
al. Risk Factors and Opportunities for Prevention of Early-onset Neonatal Sepsis: A
Multicenter Case-Control Study. Pediatrics 2000; 105: 21-26. [Tingkat Pembuktian
IIb]
50 Department of Child and Adolescent Health and Development World Health
Organization. Explore simplified antimicrobial regimens for the treatment of
neonatal sepsis. Meeting to explore simplified antimicrobial regimens for the
treatment of neonatal sepsis (2002).
51 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR,
Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology.
Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 143-6.
52 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR,
Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology.
Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 147-150.
53 Rodrigo I. Changing patterns of neonatal sepsis. Sri Lanka J Child Health 2002;
31: 3-8.
85
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
54 Horan TC, Andrus M dan Dudeck MA. CDC/NHSN surveillance definition of health
care–associated infection and criteria for specific types of infections in the acute
care setting. Am J Infect Control 2008;36:309-32. doi:10.1016/j.ajic.2008.03.002.
55 Sankar JM, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK. Sepsis in the Newborn. AIIMS- NICU
protocols (2008).
56 Opal SM. Concept of PIRO as a new conceptual framework to understand sepsis.
Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): Suppl: S55-60.
57 Angus DC, Wax RS. Epidemiology of sepsis: an update. Crit Care Med 2001; 29
(Suppl): S109-16.
58 Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, Angus D, Cook D, et al. 2001
SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit
Care Med 2003;31:1250-6.
59 Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, et al. Sepsis
neonatorum. Dalam : Standard Pelayanan Medik IDAI.2004. h 286-90
60 Haque KN. Definitions of Bloodstream Infection in the Newborn.Pediatr Crit Care
Med 2005; 6: S45-9.
61 Franz AR, Kron M, Pohlandt F, Steinbach G. Comparison of procalcitonin with
interleukin-8, C-reactive protein and differential white blood cell count for the
early diagnosis of bacterial infections in newborn infants. Pediatr Infect Dis J
1999;18:666-71.
62 Franz AR, Steinbach G, Kron M, Pohlandt F. Reduction of unnecessary antibiotics
therapy in newborn infants using interleukin-8 and C-reactive as markers of
bacterial infections. Pediatrics 1999;104:447-53.
63 Phillip AGS, Mills PC. Use of C-reactive protein in minimizing antibiotic exposure;
experience with infants initially admitted to a well-baby nursery. Pediatrics
2000;106:e4.
64 G. Parry et al. CRIB II : an update of the Clinical Risk Index for Babies score.
Lancet 2003;361(9371):1789-91.
65 Ricardson DK et al. Score for Neonatal Acute Physiology : a physiology severity
index for neonatal intensive care. Pediatrics 1993;91:617-23.
66 Richardson DK et al. SNAP-II and SNAPPE-II : Simplified newborn illness severity
and mortality risk scores. Pediatr 2001; 138:92-100.
67 Benitz WE, Gould JB, Druzin ML. Antimicrobial Prevention of Early-onset Group B
Streptococcal Sepsis: Estimates of Risk Reduction Based on a Critical Literature
Review. Pediatrics 1999; 103; 78. [Tingkat Pembuktian IIa].
68 Clark R. Power R, White R, bloom B, Sanchez P, Benjamin DK. Prevention and
treatment of nosocomial sepsis in the NICU. Journal of perinatology 2004; 24:
446-53. [Tingkat Pembuktian Ia].
69 Centers for Disease Control and Prevention. Prevention of perinatal group B
streptococcal disease. Revised guidelines from CDC. MMWR Recomm Rep.
2002;51(RR-11):1-22.
86
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
BAB V
PENUTUP
Penyusunan buku saku tatalaksana bayi baru lahir ini merupakan suatu proses
rangkuman hasil-hasil HTA Indonesia beberapa tahun terakhir dilengkapi dengan
topik-topik penting lainnya dalam perawatan bayi baru lahir. Buku saku ini
dilengkapi dengan petunjuk praktis (timeline) untuk mengingat waktu skrining bayi
baru lahir. Keseluruhannya diharapkan memudahkan praktisi medis untuk
mendapatkan gambaran tatalaksana holistik bayi baru lahir.
Berkaitan dengan diseminasi hasil-hasil HTA Indonesia mengenai bayi baru lahir,
maka buku saku ini diharapkan dapat melengkapi buku-buku panduan maupun
pedoman yang telah dibuat sebelumnya dengan kajian yang berbasis-bukti.
Diharapkan dengan terbitnya buku saku, para dokter di sarana pelayanan
kesehatan primer dapat memanfaatkan buku ini dalam praktik klinis sehari-hari
serta memacu para dokter untuk mengembangkan HTA di RS masing-masing.
87
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
LAMPIRAN
88
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Rekomendasi Derajat
Topik Rekomendasi
Profilaksis Semua bayi baru lahir harus mendapat profilaksis A
Vitamin K vitamin K1. Ia
Jenis vitamin K yang digunakan adalah vitamin A
K1. Ia
Cara pemberian vitamin K1 adalah secara A
intramuskular atau oral. Ia
Dosis yang diberikan untuk semua bayi baru lahir A
1 mg dosis tunggal intramuskular. Ia
Skrining Skrining pendengaran dilakukan pada semua bayi B
Pendengaran baru lahir dengan atau tanpa faktor risiko IIb
Bayi
Skrining dilakukan sebelum bayi meninggalkan C
Baru Lahir
RS pada bayi yang lahir di RS dan sebelum usia IV
satu bulan pada bayi yang lahir selain di RS.
Diagnosis gangguan pendengaran ditegakkan B
sebelum usia tiga bulan dan dilanjutkan dengan IIb
tatalaksana sebelum usia enam bulan.
Skrining pendengaran di Indonesia dilaksanakan
dengan alur terlampir dalam lampiran 2.
89
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
90
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
3. Penatalaksanaan
Pada kasus tersangka sepsis, pemberian
antibiotik diberikan tanpa harus menunggu
hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan
kombinasi dua antibiotik:
Dapat mencakup sebagian besar penyebab
sepsis.
Efek sinergis antibiotik (penisilin dan
aminoglikosida untuk GBS).
Beberapa mikro-organisme penyebab
infeksi dapat berkembang menjadi mutan
resisten selama terapi (Pseudomonas sp).
Aktivitas bakterisidal serum yang lebih
tinggi dibandingkan hanya menggunakan
antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria).
Pada kasus sepsis neonatorum berat,
selain pemberian antibiotik juga diberikan
terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang
terbukti memberikan dampak positif antara
lain :
Pemberian intravenous immunoglobulin
(IVIG), granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF),
transfusi tukar (TT), pemberian fresh frozen
plasma, pemberian pentoxifilin.
[Rekomendasi A]
4. Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik
akan berpengaruh pada pola resistensi
kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik
harus berdasarkan hal-hal berikut:
1. Usia saat awitan penyakit
2. Spesies bakteri yang paling sering
menyebabkan infeksi.
3. Pola resistensi antibiotik pada masing-
masing rumah sakit.
4. Farmakokinetik antibiotik.
5. Pencegahan
Pencegahan secara umum :
Melakukan pemeriksaan antenatal yang
baik dan teratur.
Skrining infeksi maternal kemudian
mengobatinya, misalnya infeksi TORCH,
infeksi saluran kemih, dll.
Mencegah persalinan prematur atau
kurang bulan.
Meningkatkan status gizi ibu agar tidak
mengalami kurang gizi dan anemia.
Memberikan terapi kortikosteroid
antenatal untuk ibu dengan ancaman
91
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
92
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
93
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
tenang/tidak stress.
PMK direkomendasikan untuk BBLR di Indonesia C
terutama apabila bayi tersebut stabil keadaan Ia
klinisnya dan hanya memerlukan inkubator
untuk perawatannnya. Pusat pelayanan primer
seperti PUSKESMAS dapat meneruskan
perawatan BBLR yang telah di pulangkan dari
pusat pelayanan sekunder atau tersier. Pusat
pelayanan kesehatan sekunder dapat melakukan
PMK kontinu untuk BBLR yang masih
menggunakan alat kesehatan minimal. PMK
dapat dilakukan disemua level pelayanan
kesehatan di Indonesia sesuai dengan sarana dan
prasarana yang tersedia.
Kriteria definitif pemulangan terdiri dari : C
Bayi mencapai berat badan minimum yakni IV
1500 g.
Kesehatan bayi secara keseluruhan dalam
kondisi baik dan tidak ada apnea atau infeksi
Bayi minum dengan baik
Berat bayi selalu bertambah (sekurang-
kurangnya 15g/kg/hari) untuk sekurang-
kurangnya tiga hari berturut-turut
Ibu mampu merawat bayi dan dapat datang
secara teratur untuk melakukan follow-up
Bayi yang dipulangkan dengan berat badan <
1800 gram difollow-up setiap minggu dan
dilakukan minimal di RS Umum Daerah,
sedangkan dan bayi dengan berat badan >1800
gram difollow-up setiap dua minggu boleh
dilakukan di Puskesmas.
94
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
LAMPIRAN
95
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
96
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
97
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
98
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
99
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
LAMPIRAN
4B – makula terlepas
100
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
A B
101
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
102
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Plus disease
3.3. Formulir Rekapitulasi Data Skrining ROP Periode …………. - ………… 20….
Rumah Sakit
Dokter:
1. Spesialis anak: …………………..
2. Spesialis mata: …………………..
a. Jumlah bayi prematur yang lahir (hidup dan mati) dari bulan ……… - ……..
20….;
b. Jumlah bayi prematur yang dilakukan skrining ROP dari bulan ……… - ……
20….;
c. Jumlah bayi prematur yang mengalami ROP dari bulan ………….. - ……… 20…;
103
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
*jumlah bayi yang hidup sampai diizinkan untuk pulang dari NICU
Contoh : jumlah bayi yang masih hidup ketika diperbolehkan pulang dari perinatologi RS A 10
bayi survival rates = 10
104
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
**jumlah bayi prematur dengan diagnosis ROP yang memiliki faktor-faktor risiko di atas
Contoh: faktor risiko No.1, jumlah bayi 20 ; jumlah bayi dengan diagnosis ROP 5
Tabel 4. Staging
Berat lahir Im- Pre Plus Plus Aggres- Regres- Stage Stage Stage Stage Stage
(gram) mature Disease disease sive sion of I II III IV V
Retina (n) (n) Posterior ROP (n) (n) (n) (n) (n)
(n) ROP (n)
(n)
< 1.000
1.000-1.499
1.500-1.749
1.750-1.999
2.000+
TOTAL
Usia Im- Pre Plus Plus Aggres- Regres- Stage Stage Stage Stage Stage
gestasi mature Disease disease sive sion of I II III IV V
(minggu) Retina (n) (n) Posterior ROP (n) (n) (n) (n) (n)
(n) ROP (n)
(n)
< 28
29-30
31-32
33-34
35+
TOTAL
105