Anda di halaman 1dari 107

HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

BUKU PANDUAN

Tatalaksana Bayi Baru Lahir


Di Rumah Sakit

Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik


Kementrian Kesehatan RI
2010

1
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Sambutan Dirjen Bina Pelayanan Medik
Daftar Istilah 3
BAB I Pendahuluan 5
A. Latar Belakang 5
B. Tujuan 5
C. Sasaran 5
BAB II. Penanganan Bayi Baru Lahir 6
A. Penilaian Bayi Baru Lahir 6
B. Perawatan Tali Pusat 7
C. Inisiasi Menyusu Dini 8
D. Pemberian Profilaksis Konjungtivitis Neonatorum 11
E. Pemberian Vitamin K1 pada Bayi Baru Lahir 13
F. Pemeriksaan Fisis Bayi Baru Lahir 14
BAB III. Skrining Bayi Baru Lahir 20
A. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Bayi Baru Lahir 20
B. Skrining Hipotiroid Kongenital 35
C. Skrining Retinopathy of prematurity 44
BAB IV. Permasalahan Bayi Baru Lahir 49
A. Tatalaksana Asfiksia Neonatorum 49
B. Perawatan Bayi Berat Lahir Rendah dengan Metode Kanguru 55
C. Tatalaksana Hiperbilirubinemia Neonatal 59
D. Tatalaksana Sepsis Neonatorum 70
BAB V. Penutup 87

Lampiran 88

2
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Daftar Istilah

123I Isotop radioaktif iodine yang digunakan pada pencitraan


kedokteran nuklir
99mTc Merupakan metastabil isomer nuklir dari technetium-99
AABR Automated Auditory Brainstem Response
AAP American Academy of Pediatrics
ABD Alat Bantu Dengar
ABR Auditory Brainstem Response
ACOG American Congress of Obstetricians and Gynecologists
AHA American Heart Association
AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome
ANOVA Analysis Of Variance
APGAR Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration
ASI Air Susu Ibu
ASSR Auditory Steady State Response
AVT Audioverbal Therapy
BERA Brainstem Evoked Respons Audiometry
BOA Behavioral Observation Audiometry
BOT Behavioral Observation Test
BST Bilirubin Serum Total
CDC Centers for Disease Control and Prevention
CPA Conditioned Play Audiometry
CPAP Continuous Positive Airway Pressure
CRIB Clinical Risk Index for Babies
CRP C-Reactive Protein
CSF Cerebrospinal Fluid
DPOAE Distortion Product Otoacoustic Emission
ECMO Extra Corporeal Membrana Oxygenation
ELISA Enzyme-linked Immunosorbent Assay
EMG Electromyography
FiO2 Fraksi oksigen dalam udara inspirasi dalam campuran gas
G6PD Glucose-6 Phosphate Dehydrogenase
GBS Guillain-Barre Syndrome
G-CSF Granulocyte Colony Stimulating Factor
GM-CSF Granulocyte-Macrophage Colony Stimulating Factor
HAI Health care-associated Infection
HIV Human Immunodeficiency Virus
I/T rasio Perbandingan neutrofil imatur dengan total neutrofil
IAP Intrapartum Antimicrobial Prophylaxis
IgG Imunoglobulin G
IgM Imunoglobulin M
IMD Inisiasi Menyusu Dini
IVIG Intravenous Immunoglubulin
KPD Ketuban Pecah Dini
LDPE Low Density Polyethylene
LLDPE Linear Low Density Polyethylene
LoE Level of Evidence
NICU Neonatal Intensive Care Unit
OAE Otoacoustic Emission

3
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

PCR Polymerase Chain Reaction


PMK Perawatan Metode Kanguru
PO2 Tekanan Oksigen Parsial
PVDC Polyvinylidene Chloride
RCT Randomised Controlled Trials
Rooming-in Rawat gabung
ROP Retinopathy Of Prematurity
SAD Sepsis Awitan Dini
SAL Sepsis Awitan Lambat
SIRS Systemic Inflammatory Response Syndrome
SNAP Score for Neonatal Acute Physiology
SNAPPE II SNAP Perinatal Extension
SRT Speech Reception Threshold
Surgical spirits Larutan campuran etil alkohol dengan metil alkohol
TBC Tuberkulosis
TBG Thyroid Binding Globulin
TORCHS Toxoplasma Rubella Cytomegalovirus Herpes Syphilis
TPAE Tekanan Positif Akhir Ekspirasi
TSH IRMA TSH Immunoradiometric Assay
TSH Thyroid Stimulating Hormone
TT Transfusi tukar
VRA Visual Reinforcement Audiometry
VSD Ventricular Septal Defect
VTP Ventilasi Tekanan Positif
WHO World Health Organization

4
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

PANEL AHLI

1. Prof. Dr. Asril Aminullah, SpA (K)


Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Subbagian Perinatologi, IKA, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

2. Dr. Indra Sugiarno, SpA (K)


Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Subbagian Perinatologi, IKA, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

3. Dr. Rinawati Rohsiswanto, SpA (K)


Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Subbagian Perinatologi, IKA, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

4. Dr. Jose R.L. Batubara, SpA (K)


Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Subbagian Perinatologi, IKA, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

5. Dr. Rosalina Dewi, SpA (K)


Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Subbagian Perinatologi, IKA, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

6. Dr. Ronny Suwento, SpTHT-KL


Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher (PERHATI)
Subbagian THT Komunitas, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

7. Dr. Tri Juda Airlangga, SpTHT-KL


Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher (PERHATI)
Subbagian THT Komunitas, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

8. Dr. Rita Sitorus, SpM (K), PhD


Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI)
Subbagian Pediatri Oftalmologi, Departemen Ilmu Penyakit Mata, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta

KONTRIBUTOR

Dr. Made Dyah


Subdit Bayi, Binkesmas, Kementrian Kesehatan RI

UNIT PENGKAJIAN TEKNOLOGI KESEHATAN INDONESIA

1. Prof. DR. Dr. Eddy Rahardjo, SpAn, KIC


Ketua I

2. Dr. Santoso Soeroso, SpA, MARS


Ketua II

3. Dr. K. Muhammad Akib, SpRad, MARS


Anggota

4. Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn


Anggota

5. Drg. Anwarul Amin, MARS


Anggota

5
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

6. Dr. Diar Wahyu Indriarti, MARS


Anggota

7. Dr. Ady Thomas


Anggota

8. Dr. Ririn Fristikasari, M.Kes


Anggota

9. Dr. Titiek Resmisari


Anggota

10. Dr. Henny Adriani Puspitasari


Anggota

11. Dr. Maria Gita Dwi Wahyuni


Anggota

6
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jumlah kematian perinatal di 33 propinsi di Indonesia tercatat sebesar
217 kasus. Kematian neonatal dini (0-6 hari) dilaporkan sebesar 142 kasus
(78,5%). Proporsi terbesar kematian pada usia neonatal dini disebabkan
oleh gangguan pernapasan (respiratory disorders), prematuritas dan sepsis.
Kematian bayi neonatal lanjut (7-28 hari) tercatat 39 kasus dengan penyebab
tersering adalah sepsis neonatorum (20%).1
Faktor kesehatan ibu saat hamil dan bersalin memberikan kontribusi
terhadap kondisi bayi dalam kandungannya. Dari 217 kasus kematian
perinatal, 96.8% disebabkan oleh gangguan kesehatan ibu ketika hamil.
Penyakit yang sering dialami ibu hamil pada bayi yang lahir mati secara
berturut-turut adalah hipertensi maternal (24%) dan komplikasi ketika
bersalin (partus macet) sebesar 17.5%. Sedangkan gangguan kesehatan
ibu hamil dari bayi meninggal berumur 0-6 hari adalah ketuban pecah dini
(23%) dan hipertensi maternal (22%).1
Untuk menurunkan jumlah kematian neonatal, Health Technology
Assessment telah menyusun beberapa kajian dengan fokus penanganan ibu
hamil dan bayi baru lahir serta memberikan rekomendasi kepada praktisi
klinis, manajemen rumah sakit dan pengambil kebijakan. Buku panduan ini
disusun dengan mengacu kepada rekomendasi HTA terhadap bayi baru lahir
sebagai panduan klinis praktis dalam praktik di rumah sakit.

B. Tujuan
Buku ini disusun sebagai panduan klinis praktis dokter spesialis/umum
di Rumah Sakit dalam melakukan penatalaksanaan bayi baru lahir yang
berbasis bukti.

C. Sasaran
1. Departemen Ilmu Kesehatan Anak di RS Tipe A,B dan C
2. Dokter Spesialis Anak dan Spesialis lain yang terkait
3. Dokter Umum
4. Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten

7
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

BAB II
PERAWATAN BAYI BARU LAHIR

A. Penilaian Bayi Baru Lahir


Segera setelah bayi baru lahir, letakkan bayi di atas kain bersih dan
kering yang disiapkan pada perut bawah ibu. Segera lakukan penilaian awal
dengan menjawab 4 pertanyaan:2
1. Apakah bayi cukup bulan?
2. Apakah air ketuban jernih, tidak bercampur mekoneum?
3. Apakah bayi menangis?
4. Apakah tonus otot baik?
Jika bayi tidak cukup bulan dan atau air ketuban bercampur mekoneum
dan atau tidak menangis atau tidak bernapas atau megap-megap dan atau
tonus otot tidak baik lakukan langkah resusitasi. (Lihat Bab II Permasalahan
Bayi Baru Lahir Asfiksia Neonatorum).

Gambar 1. Bagan Alur Manajemen Bayi Baru Lahir


Sumber: Buku Acuan Pelatihan Klinik Panduan Asuhan Persalinan Normal. 2009

8
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Setelah dilakukan penilaian, apabila bayi baru lahir langsung menangis atau
bernapas spontan dan teratur dilakukan perawatan rutin.2,3
1. Berikan kehangatan
2. Bersihkan jalan napas
3. Keringkan
4. Nilai warna
B. Perawatan Tali Pusat
Tali pusat pada umumnya diklem dengan forsep bedah segera setelah
lahir. Lebih baik jika membiarkan bayi menangis dengan baik beberapa kali
sebelum melakukan klem tali pusat supaya bayi mendapatkan darah
tambahan dari plasenta. Tambahan darah tersebut dapat mencegah anemia
defisiensi besi pada tahun pertama kehidupan.4 Kajian sistematik yang
dilakukan oleh The Cochrane Library terhadap 7 studi RCT, menunjukkan
bahwa penundaan klem tali pusat (waktu maksimum penundaan adalah 120
detik) berhubungan dengan transfusi akibat anemia yang lebih rendah (3
studi, 111 bayi, Risiko Relatif (RR) 2.01, 95% Interval Kepercayaan (IK) 1.24 -
3.27) atau tekanan darah rendah (2 studi, 58 bayi; RR 2.58, 95% IK 1.17 -
5.67) dan lebih sedikit perdarahan intraventrikular (5 studi, 225 bayi; RR
1.74, 95% IK 1.08 - 2.81) dibandingkan klem lebih dini.5
Tali pusat diklem 3-4 cm dari permukaan perut bayi, setelah bayi
dikeringkan dan dinilai maka forseps dapat diganti dengan klem tali pusat
atau pengikat tali pusat steril. Setelah persalinan, tunggul tali pusat masih
basah dan lembut sehingga merupakan tempat tumbuh yang ideal untuk
bakteri. Setelah diklem selama 6 jam, seharusnya tunggul tali pusat
mengering dan tidak ditutup dengan perban. Jika tali pusat tetap lembut
dalam 24 jam atau menjadi basah dan berbau menusuk, maka tali pusat
dirawat dengan “surgical spirits” setiap 3 jam.4

Gambar 2. Proses pelepasan tali pusat


Sumber: www.medscape.com

Kajian sistematik yang dilakukan oleh Cochrane menyatakan bahwa tidak


terdapat perbedaan bermakna insidens infeksi antara pemberian triple dye;
klorheksidin; bubuk salisilat; bubuk green clay; bubuk katoxin; dan fusin

9
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

dibandingkan dengan perawatan tali pusat kering/plasebo. Studi


menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan menggunakan antibiotik atau
antiseptik pada perawatan tali pusat dibandingkan dengan perawatan kering.
Selain itu didapatkan bahwa rata-rata waktu pelepasan tali pusat pada:
perawatan kering adalah 9 hari, bubuk 7 hari, alkohol 11 hari sedangkan
antibiotik 12 hari.6
Kunjungan rumah untuk perawatan tali pusat di negara berkembang
harus dilakukan lebih sering, sehingga pelepasan tunggul tali pusat yang
lebih cepat akan menurunkan kunjungan dan biaya perawatan postnatal.7
C. Inisiasi Menyusu Dini
Rooming-in dalam 24 jam memperbesar kesempatan untuk terjadi
bonding dan optimalisasi inisiasi menyusu dini. Selama memungkinkan, ibu
dan bayi harus tetap disatukan selama rawat inap di RS. Untuk menghindari
pemisahan yang tidak perlu, penilaian bayi baru lahir setelah periode
postpartum idealnya dilakukan di kamar ibu. Suatu RCT menunjukkan
bahwa wanita multipara yang bayinya dirawat di ruang terpisah memiliki
rerata volume ASI yang lebih rendah secara bermakna daripada wanita yang
roomin-in dengan bayinya (Kruskal-Wallis, H = 14.68, nilai p= 0.0021).
Gambaran ini juga tampak pada wanita primipara, hanya saja perbedaannya
tidak bermakna secara statistik (Kruskal-Wallis, H = 4.77, nilai p=0.19).
Disebutkan pula bahwa rooming-in pada wanita multipara berhubungan
dengan peningkatan rerata volume ASI sebanyak 149 ml.8
Bayi-bayi dengan usia kehamilan 34-36 minggu atau lebih, dapat
memenuhi semua kebutuhannya langsung dari ASI. Berdasarkan hasil
penelitian refleks hisap dengan EMG, diketahui bahwa refleks hisap yang
efektif baru timbul pada bayi dengan usia kehamilan 34 minggu.9 Oleh sebab
itu, bila memungkinkan bayi baru lahir diletakkan pada payudara ibu segera
setelah dikeringkan dan dilakukan penilaian pada menit pertama karena:10
1. Penelitian menunjukkan bahwa semakin cepat bayi baru lahir dilekatkan
pada payudara ibu, semakin besar keberhasilan ibu dalam menyusui.
Hal ini didukung oleh suatu studi yang menunjukkan bahwa ibu yang
bayinya menghisap dalam 2 jam pertama postpartum memiliki volume ASI
yang lebih banyak secara bermakna pada hari keempat daripada yang
tidak. Rerata volume ASI adalah 284 ml (SE:14 ml) dan 184 ml (SE:27 ml)
dengan nilai p=0.0006. Bayi yang menyusu dalam 2 jam pertama pasca
persalinan memiliki berat badan yang lebih tinggi secara bermakna
dibandingkan bayi yang tidak menyusu yaitu 3547.9 g (SE = 62.3) versus
3290.5 g (SE =88.7) (ANOVA F 1,75 = 4.98, nilai p value = 0.0286.8
Stimulasi puting dengan penghisapan dapat mempercepat kala tiga dengan
mempercepat oksitosin maternal yang merangsang kontraksi uterus.
2. Meyakinkan ibu bahwa bayi dalam keadaan sehat.

Berikut ini langkah-langkah melakukan IMD yang dianjurkan:10


1. Dianjurkan suami atau keluarga mendampingi ibu saat persalinan.
2. Disarankan juga tidak menggunakan bahan kimia saat persalinan, karena
akan mengganggu dan mengurangi kepekaan bayi untuk mencari puting
susu ibu.
3. Begitu lahir, bayi diletakkan di perut ibu yang sudah dialasi kain kering.
4. Keringkan seluruh tubuh bayi termasuk kepala secepatnya, kecuali kedua
tangannya.
5. Tali pusat dipotong lalu diikat.

10
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

6. Vernix (zat lemak putih) yang melekat di tubuh bayi sebaiknya tidak
dibersihkan karena zat ini membuat nyaman kulit bayi. (Gambar 3)
7. Tanpa dibedong, bayi langsung ditengkurapkan di dada atau perut ibu
sehingga terjadi kontak kulit bayi dan kulit ibu.
8. Ibu dan bayi diselimuti bersama-sama. Jika perlu, bayi diberi topi untuk
mengurangi pengeluaran panas dari kepalanya. (Gambar 4)

Kontak Kulit & Menyusu Sendiri penting bagi ibu bayi karena:10
1. Dada ibu menghangatkan bayi dengan tepat selama bayi merangkak
mencari payudara. Ini akan menurunkan kematian karena kedinginan
(hypothermia). (Gambar 5)
2. Saat merangkak mencari payudara, bayi memindahkan bakteri dari kulit
ibunya, dan dia akan menjilat-jilat kulit ibu, menelan bakteri baik di kulit
ibu. Bakteri baik ini akan berkembang biak membentuk koloni di kulit
dan usus bayi, menyaingi bakteri jahat dari lingkungan. (Gambar 6)
3. Ikatan kasih sayang antara ibu-bayi akan lebih baik karena pada 1-2 jam
pertama, bayi dalam keadaan siaga. Setelah itu biasanya bayi tidur dalam
waktu lama. (Gambar 7)
4. Ibu dan bayi merasa lebih tenang. Pernapasan dan detak jantung bayi
lebih stabil. Bayi akan lebih jarang menangis sehingga mengurangi
pemakaian energi. (Gambar 8)
5. Makanan awal non ASI mengandung zat putih telur yang bukan berasal
dari susu manusia, misalnya susu hewan. Hal ini dapat mengganggu
pertumbuhan fungsi usus dan mencetuskan alergi lebih awal.
6. Bayi yang diberi kesempatan menyusu dini lebih berhasil menyusui
eksklusif dan akan lebih lama disusui.
7. Hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan bayi diputing susu
dan sekitarnya, emutan dan jilatan bayi pada puting ibu merangsang
pengeluaran hormon oksitosin.

Proses menyusui bayi pertama kali dilakukan oleh ibu dalam 1 jam
pertama pascapersalinan. Pada persalinan dengan tindakan misalnya seksio
sesaria, proses IMD tetap dapat dilakukan.
Dalam keadaan asfiksia, bayi diperbolehkan tidak mendapat IMD. Dalam
keadaan ini bayi memerlukan pertolongan segera untuk life saving.

11
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Inisiasi Menyusu Dini

Gambar 3. Verniks kaseosa Gambar 4. Diberi topi

Gambar 5. Kontak kulit ke kulit Gambar 6. Breast crawl

Gambar 7. Bonding crawl Gambar 8. Ibu dan bayi lebih tenang

Sumber: www.promkes.com

12
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

D. Pemberian Profilaksis Konjungtivitis Neonatorum


Konjungtivitis neonatorum merupakan konjungtivitis pada bayi baru lahir
yang terjadi dalam bulan pertama kehidupan, dengan manifestasi klinis
berupa eritema dan edema pada kelopak mata dan konjungtiva palpebra,
sekret purulen dengan gambaran satu atau lebih sel polimorfonuklear (PMN)
pada pewarnaan Gram, yang dilihat dengan minyak emersi, dari apus
konjungtiva.11
Konjungtiva bayi baru lahir steril, namun segera terkolonisasi oleh
berbagai mikroorganisme baik patogen atau nonpatogen. Konjungtiva bayi
rentan terinfeksi, tidak hanya karena rendahnya kadar agen nonbakterial dan
protein (lisozim dan imunoglobulin A dan G), juga karena lapisan film air mata
(tear film) dan alirannya baru terbentuk.12
Isenberg (1995) menemukan 4 faktor risiko perinatal terhadap
konjungtivitis neonatorum yaitu vaginitis maternal, terdapat mekonium pada
kelahiran, persalinan pada lingkungan nonsteril, dan endometritis
pascapersalinan.13 Yetman dan Coody (1997) mengemukakan faktor risiko lain
yaitu ketuban pecah dini/premature rupture of membrane (PROM), penyakit
menular seksual (yang positif maupun suspek), trauma lokal pada mata
sewaktu persalinan.14
Terdapat 2 tipe konjungtivitis neonatorum, yaitu aseptik dan septik.15
Tipe aseptik (konjungtivitis kimia) disebabkan oleh penggunaan tetes mata
argentin nitrat untuk profilaksis. Tipe septik disebabkan oleh infeksi bakteri
dan virus.16 Mayoritas penyebabnya adalah infeksi Chlamydia trachomatis
disusul oleh Neisseria gonorrhea dengan mekanisme penularan selama
persalinan melalui jalan lahir dari ibu yang terinfeksi. Perbandingan
manifestasi klinis dapat dilihat pada tabel 1.11 Gonokokus merupakan agen
penyebab infeksi yang paling virulen, dan merupakan penyebab tersering
kebutaan pada tahun pertama kehidupan – sehingga memerlukan profilaksis
pada bayi baru lahir.11
Tabel 1. Perbandingan manifestasi klinis konjungtivitis septik11

Keterangan chlamydial conjunctivitis gonococcal conjunctivitis


Onset Lebih lambat Lebih cepat
Masa inkubasi 5-14 hari 2-5 hari
(kolonisasi pascakelahiran pada mata, (dapat terjadi lebih cepat pada kasus
tidak selalu menimbulkan infeksi) ketuban pecah dini/premature rupture of
membrane)
Gejala klinis 40% neonatus terinfeksi terdapat sekret Biasanya terjadi bilateral, ditandai oleh
serous yang kemudian menjadi banyak sekret purulen yang hiperakut dan berat,
dan purulen edema kelopak mata dan kemosis

Keparahan Sebagian besar kasus : ringan (self- Lebih parah sebab mikroba mampu
limited); dapat memberat dengan gejala menembus epitel kornea intak. Jika tidak
: pembengkakan kelopak mata, diobati, dapat terjadi edema epitel kornea
kemosis, papillary reaction, pseudo- dan ulserasi kornea, yang dapat
membran, peripheral pannus dan berkembang menjadi perforasi kornea
keterlibatan kornea. dan endoftalmitis.

Komplikasi 10-20% berkembang menjadi Kebutaan


pneumonia pada anak (pneumonia
infantile syndrome )

Herpes simplex conjunctivitis terjadi bersamaan dengan infeksi herpes


sistemik, ditandai vesikel di sekeliling mata dan umumnya terdapat
keterlibatan kornea. Konjungtivitis kimia biasanya terjadi dalam 24 jam

13
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

pascaprofilaksis dengan larutan argentin nitrat, dapat sembuh sendiri dalam


beberapa hari. Pembengkakan kelopak dikaitkan dengan mata merah, atau
stenosis lakrimal (jarang). Konjungtivitis neonatorum yang disebabkan
mikroba lainnya – seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenza, Escherichia coli, Klebsiella sp dan Pseudomonas
aeruginosa – umumnya bergejala ringan tanpa komplikasi kornea ataupun
sistemik.11
Crede (1881) memperkenalkan penggunaan larutan argentin nitrat 2%
sebagai metode pencegahan konjungtivitis neonatorum dan berhasil
menurunkan insidens konjungtivitis gonokokal di Eropa dan AS.
Penggunaannya hanya terbatas pada profilaksis konjungtivitis oleh infeksi
Gonokokus; namun tidak efektif terhadap infeksi Klamidia. Metode ini tidak
digunakan lagi karena menyebabkan konjungtivitis kimia. Profilaksis
konjungtivitis neonatorum pada masa kini digantikan oleh eritromisin atau
tetrasiklin ointment.11
Isenberg (1995) menemukan bahwa larutan 2.5% povidone iodine lebih
efektif untuk profilaksis konjungtivitis neonatorum daripada terapi dengan
larutan argentin nitrat 1% (P<0.001) atau 0.5% eritromisin ointment (P=0.008),
serta kurang toksik dan lebih murah.13
Iyamu E dan Enabulele O (2003) menyatakan Neisseria gonorrhea masih
sensitif terhadap eritromisin. Profilaksis dengan ointment eritromisin 0.5%
yang dioleskan pada kedua mata beberapa jam setelah bayi lahir.17
Terapi yang adekuat sangat diperlukan sebab konjungtivitis neonatorum
dapat menimbulkan komplikasi serius berupa kebutaan akibat ulserasi
kornea dan pembetukan jaringan parut.11,13 Terapi diberikan berdasarkan
manifestasi klinis dan diagnosis yang didapat dari pewarnaan Gram dan
Giemsa. Terapi sistemik lebih diutamakan daripada terapi topikal, mengingat
organisme penyebab infeksi ditularkan melalui hubungan seksual, penting
untuk mengobati ibu dan pasangan seksualnya. WHO merekomendasikan
terapi untuk mengatasi infeksi baik oleh Gonokokus maupun Klamidia.
Kejadian ko-infeksi sekitar 2%.18 Kasus gonococcal conjunctivitis memerlukan
kultur sekret mata atau darah (juga cairan serebrospinal jika terjadi infeksi
sistemik).19
Untuk Chlamydial conjunctivitis, WHO dan AAP merekomendasikan terapi
oral dengan eritromisin sirup, dosis 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis terbagi,
selama 14 hari.20 Atau terapi oral dengan trimethoprim 40 mg kombinasi
dengan sulphamethoxazole 200 mg dua kali perhari selama 14 hari.21
Eritromisin atau tetrasiklin topikal dapat digunakan sebagai terapi tambahan.
Kelebihan penggunaan eritromisin adalah kemampuan eradikasi karier
nasofaring, sebagai terapi pneumonitis dan lebih efektif dibanding terapi
topikal dalam hal mencegah kekambuhan konjungtivitis.22 Terapi dengan
azitromisin merupakan alternatif dari eritromisin – telah diteliti pada populasi
endemis – penggunaan massal azitromisin dosis tunggal atau 3 hari
menurunkan angka kesakitan akibat infeksi Chlamydia trachomatis.23,24
Untuk pasangan seksual yang terinfeksi, diterapi dengan doksisiklin oral 100
mg dua kali perhari selama 7 hari atau azitromisin oral 1 g sebagai terapi
dosis tunggal.20
Gonococcal conjunctivitis diterapi dengan Penisilin G intravena (IV) dosis
100.000 U/kgBB/hari selama seminggu. Pada daerah dengan resistensi
penisilin, terapi penggantinya adalah sefalosporin generasi ketiga yang
digunakan selama 7 hari. Seftriakson oral dosis rendah merupakan terapi
yang sangat efektif dan direkomendasikan oleh WHO (dosis tunggal 62.5 mg

14
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

untuk bayi dan 125 mg untuk ibu).25 Neonatus dapat diterapi dengan
seftriakson dosis tunggal (25 atau 50 mg/kgBB) IV/IM (intramuskular). Dosis
total tidak melebihi 125 mg.26 Sefiksim, seftriakson, sefalosporin generasi
ketiga, dan florokuinolon – efektif untuk eradikasi Neisseria gonorrhea.27
Pilihan regimen terapi menurut Buku Saku WHO adalah (1) seftriakson (50
mg/kgBB; dosis total 150 mg IM dosis tunggal); (2) kanamisin (25 mg/kgBB;
dosis total 75 mg IM dosis tunggal); (3) oxytetracycline eye ointment atau (4)
chloramphenicol eye ointment.28
Kedua mata bayi sesering mungkin (setiap jam,19 atau setidaknya 4 kali
perhari28) diirigasi dengan larutan normal saline untuk mengeliminasi
sekret.11
Terapi pada Herpes simplex conjunctivitis dengan asiklovir dosis rendah
(30 mg/kgBB/hari IV terbagi 3 dosis) selama setidaknya 2 minggu untuk
mencegah infeksi sistemik. Terapi topikal dengan acyclovir ophthalmic solution
dua kali perhari dapat ditambahkan.29

E. Pemberian Profilaksis Vitamin K1 pada Bayi Baru Lahir


Permasalahan pada Perdarahan akibat Defisiensi Vitamin K (PDVK)
adalah terjadinya perdarahan otak dengan angka kematian 10-50% yang
umumnya terjadi pada bayi dalam rentang umur 2 minggu sampai 6 bulan,
dengan akibat angka kecacatan 30-50%. Data dari Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo tahun 1990-2000 menunjukkan terdapatnya 21 kasus
PDVK, 17 kasus (81%) mengalami komplikasi perdarahan intrakranial dengan
angka kematian 19%. (Catatan Medik IKA-RSCM, tahun 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya PDVK antara lain ibu yang
selama kehamilan mengkonsumsi obat-obatan yang mengganggu metabolisme
vitamin K seperti, obat antikoagulan oral (warfarin); obat-obat antikonvulsan
(fenobarbital, fenitoin, karbamazepin); obat-obat antituberkulosis (INH,
rifampicin); sintesis vitamin K yang kurang oleh bakteri usus (pemakaian
antibiotik, khususnya pada bayi kurang bulan); gangguan fungsi hati
(kolestasis); kurangnya asupan vitamin K dapat terjadi pada bayi yang
mendapat ASI eksklusif, karena ASI memiliki kandungan vitamin K yang
rendah yaitu <20 ug/L bila dibandingkan dengan susu sapi yang memiliki
kandungan vitamin K 3 kali lipat lebih banyak (60 ug/L). Selain itu asupan
vitamin K yang kurang juga disebabkan sindrom malabsorpsi dan diare
kronik. 30,31,32,33,34
International Society on Thrombosis and Haemostasis, Pediatric/Perinatal
Subcommittee seperti yang dilaporkan oleh Sutor dkk24 (tahun 1999) dan
Isarangkura dkk (Thailand, 1989) menyatakan bahwa pemberian vitamin K
baik secara oral maupun IM sama efektif. Efikasi profilaksis oral meningkat
dengan pemberian berulang 3 kali daripada dosis tunggal, dan efikasi lebih
tinggi bila diberikan dalam dosis 2 mg daripada dosis 1 mg. Pemberian
vitamin K oral yang diberikan tiap hari atau tiap minggu sama efektif dengan
profilaksis vitamin K IM.34

REKOMENDASI HTA
Semua bayi baru lahir harus mendapatkan profilaksis vitamin K1 dengan
1 mg dosis tunggal intramuskular.
(Rekomendasi A)
Sumber: Laporan HTA 2003-2006

15
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

F. Pemeriksaan Bayi Baru Lahir

Waktu pemeriksaan bayi baru lahir adalah sebagai berikut:2


Bayi lahir di fasilitas kesehatan Bayi lahir di rumah
1. Baru lahir, 1. Baru lahir,
setelah IMD, pemberian setelah IMD, pemberian vitamin
vitamin K1 dan salep/tetes K1 dan salep/tetes mata
mata antibiotika antibiotika
2. Sebelum bidan meninggalkan
2. Usia 6-12 jam
bayi
3. Dalam 1 minggu pascalahir, 3. Dalam 1 minggu pascalahir,
dianjurkan dalam 2-3 hari dianjurkan dalam 2-3 hari
4. Dalam minggu ke 2 pascalahir 4. Dalam minggu ke 2 pascalahir

Anamnesis:
1. Keluhan tentang bayinya
2. Masalah kesehatan pada ibu yang mungkin berdampak pada bayi (TBC,
demam saat persalinan, KPD > 18 jam, hepatitis B atau C, sifilis,
HIV/AIDS, penggunaan obat).
3. Cara, waktu, tempat bersalin dan tindakan yang diberikan pada bayi jika
ada.
4. Warna air ketuban
5. Riwayat bayi buang air kecil dan besar
6. Frekuensi bayi menyusu dan kemampuan menghisap

Pemeriksaan fisis
Prinsip:
Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan bayi tenang (tidak menangis).
Pemeriksaan tidak harus berurutan, dahulukan menilai pernapasan dan
tarikan dinding dada bawah, denyut jantung serta perut.
Pemeriksaan fisis yang dilakukan Keadaan normal
 Posisi tungkai dan lengan fleksi.
Lihat postur, tonus dan aktivitas
 Bayi sehat akan bergerak aktif.
 Wajah, bibir dan selaput lendir, dada
Lihat kulit harus berwarna merah muda, tanpa
adanya kemerahan atau bisul.
 Frekuensi napas normal 40-60 kali per
Hitung pernapasan dan lihat
menit.
tarikan dinding dada bawah ketika
 Tidak ada tarikan dinding dada bawah
bayi sedang tidak menangis.
yang dalam
Hitung denyut jantung dengan
 Frekwensi denyut jantung normal 120-
meletakkan stetoskop di dada kiri
160 kali per menit.
setinggi apeks kordis.
Lakukan pengukuran suhu ketiak
 Suhu normal adalah 36,5 - 37,5º C
dengan termometer.
 Bentuk kepala terkadang asimetris
karena penyesuaian pada saat proses
persalinan, umumnya hilang dalam 48
Lihat dan raba bagian kepala jam.
 Ubun-ubun besar rata atau tidak
membonjol, dapat sedikit membonjol
saat bayi menangis.

16
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Lihat mata  Tidak ada kotoran/sekret


 Bibir, gusi, langit-langit utuh dan tidak
Lihat bagian dalam mulut.
ada bagian yang terbelah.
- Masukkan satu jari yang
 Nilai kekuatan isap bayi.
menggunakan sarung tangan ke
Bayi akan mengisap kuat jari
dalam mulut, raba langit-langit.
pemeriksa.
 Perut bayi datar, teraba lemas.
Lihat dan raba perut.
 Tidak ada perdarahan, pembengkakan,
nanah, bau yang tidak enak pada tali
Lihat tali pusat
pusat.atau kemerahan sekitar tali pusat
 Kulit terlihat utuh, tidak terdapat
Lihat punggung dan raba tulang
lubang dan benjolan pada tulang
belakang.
belakang
Lihat lubang anus.  Terlihat lubang anus dan periksa
- Hindari memasukkan alat atau apakah mekonium sudah keluar.
jari dalam memeriksa anus  Biasanya mekonium keluar dalam 24
- Tanyakan pada ibu apakah bayi jam setelah lahir.
sudah buang air besar
 Bayi perempuan kadang terlihat cairan
vagina berwarna putih atau
kemerahan.
Lihat dan raba alat kelamin luar.
 Bayi laki-laki terdapat lubang uretra
- Tanyakan pada ibu apakah bayi
pada ujung penis. Teraba testis di
sudah buang air kecil
skrotum.
 Pastikan bayi sudah buang air kecil
dalam 24 jam setelah lahir.
Timbang bayi.  Berat lahir 2,5-4 kg.
- Timbang bayi dengan  Dalam minggu pertama, berat bayi
menggunakan selimut, mungkin turun dahulu baru kemudian
hasil dikurangi selimut naik kembali.
Mengukur panjang dan lingkar  Panjang lahir normal 48-52 cm.
kepala bayi  Lingkar kepala normal 33-37 cm.
 Kepala dan badan dalam garis lurus;
wajah bayi menghadap payudara;
ibu mendekatkan bayi ke tubuhnya
Menilai cara menyusui, minta ibu
 Bibir bawah melengkung keluar,
untuk menyusui bayinya
sebagian besar areola berada di dalam
mulut bayi
 Menghisap dalam dan pelan kadang
disertai berhenti sesaat

Pemeriksaan secara detail pada bayi baru lahir yang dilakukan segera setelah
bayi lahir adalah rutin dilakukan. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk
melakukan skrining kelainan bawaan. Menurut panduan dari National
Institute for Health and Clinical Excelence (NICE), komponen skrining dengan
pemeriksaan fisis meliputi:35
- pemeriksaan jantung
- pemeriksaan tulang paha
- pemeriksaan mata
- pemeriksaan testis pada anak laki-laki

Penyakit Jantung Bawaan


Penyakit jantung bawaan meliputi spektrum penyakit yang luas, dari VSD
yang dapat mengalami resolusi spontan hingga kondisi yang menyebabkan

17
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

kematian. Insidens keseluruhan sekitar 1 dalam 100 kelahiran hidup, tetapi


insidens kondisi yang lanjut hanya 1 dalam 1000 kelahiran hidup.
Pertimbangan dilakukan skrining adalah bahwa adanya tindakan bedah yang
direncanakan akan memberikan keluaran yang lebih baik daripada bedah
emergensi dalam halmortalitas dan morbiditas. Juga mengurangi stres pada
orang tua.
Program skrining dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisis semua elemen
sistem kardiovaskular dan riwayat pemberian makanan. Ekokardiografi hanya
sesuai dilakukan sebagai bagia penilaian yang lebih lanjut atau sebagai
bagian penilaian anak dengan risiko tinggi seperti bayi dengan Down
Syndrome. Sementara pemeriksaan oksimetri dapat memiliki peran penting
dalam skrining.
Metode awal apapun yang digunakan untuk modalitas skrining, sangat
penting memberikan akses kepada klinisi berpengalaman untuk menegakkan
diagnosis sehingga tindakan bedah dapat segera dilakukan.

Developmental Dysplasia of the Hip (DDH)


Insidens kasus ini adalah 1-2 per 100 bayi lahir hidup. Penatalaksanaan
bertujuan untuk melakukan stabilisasi panggul, diawali dengan penggunaan
splint. Apabila hal tersebut gagal maka dibutuhkan pembedahan.
Skrining dilakukan dengan pemeriksaan fisis menggunakan Metode
Barlow dan Ortolani. Meskipun pemeriksaan dilakukan segera setelah bayi
lahir dan diulang 6-8 minggu kemudian, kemungkinan adanya keterlambatan
deteksi DDH tidak dapat dihilangkan. Penggunaan ultrasonografi dalam
pemeriksaan panggul menunjukkan bahwa pemeriksaan ini lebih sensitif
tetapi diduga berhubungan dengan pertimbangan penatalaksanaan yang
berlebihan. Seperti diketahui bahwa penatalaksanaan dapat menyebabkan
kerusakan panggul, maka ini harus menjadi dasar pertimbangan dan menjadi
alasan penggunaan ultrasonografi secara universal tidak direkomendasikan.
Namun tetap direkomendasikan bagi bayi dengan riwayat presentasi bokong
(breech presentation) pada kehamilan atau riwayat keluarga garis pertama
dengan DDH.

Pemeriksaan mata
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kelainan struktural pada mata,
bukan memeriksa ketajaman penglihatan. Kelainan utama yang sering
ditemukan adalah katarak dan retinoblastoma. Penyakit tersebut jarang (2-3
per 10.000 kelahiran hidup). Skrining didasarkan pada inspeksi mata dan
pemeriksaan refleks fundus.

Cryptorchidism (Undescended Testes –UDT)


Adesensus testis ditemukan pada 2% bayi laki-laki. Kondisi ini dianggap
penting karena berhubungan dengan hipospadia dan adanya adesensus testis
bilateral merupakan indikasi hiperplasia adrenal kongenital, juga
meningkatkan risiko terjadinya torsi, subfertilitas dan keganasan.
Terdapat perdebatan mengenai perlunya bayi dengan adesensus testis
dilakukan tindakan untuk memperbaiki letaknya pada skrotum, belum
terdapat bukti yang baik bahwa tindakan tersebut dapat mengubah risiko
terjadinya keganasan dan bukti mengenai hubungannya dengan fertilitas
masih inkonsisten. Telah menjadi kesepakatan bahwa pembedahan dilakukan
sebelum anak mulai sekolah; banyak pihak yang merekomendasikan
pembedahan antara usia 1 dan 2 tahun.

18
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Gambar 9. Algoritma pemeriksaan fisis bayi baru lahir menurut skrining NIPE
Sumber : http://www.newbornphysical.screening.nhs.uk

19
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

DAFTAR PUSTAKA

1 Pusat Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. Riset


Kesehatan Dasar 2008.
2 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku Acuan Pelatihan Klinik
Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: 2009.(in press)
3 Perkumpulan Perinatologi Indonesia (PERINASIA). Buku Panduan Resusitasi
Neonatus. Edisi ke-5. Jakarta: PERINASIA, 2007. H.1-10.
4 Perinatal Education Program.Newborn manual.
5 Rabe H, Reynolds GJ, Diaz-Rosello JL. Early versus delayed umbilical cord
clamping in preterm infants. Cochrane Database of Systematic Reviews 2004,
Issue 4. Art. No.: CD003248. DOI: 10.1002/14651858.CD003248.pub2. (LoE
1A)
6 Zupan J, Garner P, Omari AAA. Topical umbilical cord care at birth.
Cochrane Database of Systematic Reviews 2004, Issue 3. Art. No.: CD001057.
DOI: 10.1002/14651858.CD001057.pub2. (LoE 1A)
7 Mugford M, Somchiwong M,Waterhouse I. Treatment of umbilical cords: a
randomised trial to assess the effect of treatment methods on the work of
midwives. Midwifery 1986;2:177–86.
8 Bystrova K, Widström AM, Matthiesen AM, Ransjö-Arvidson AB, Welles-
Nyström B, Vorontsov I, Uvnäs-Moberg K. Early lactation performance in
primiparous and multiparous women in relation to different maternity home
practices. A randomised trial in St. Petersburg. International Breastfeeding
Journal 2007, 2:9.
9 Carfoot S, Williamson P, Dickson R. A randomized controlled trial in the
north of England examining the effects of skin-to-skin care on breastfeeding.
Midwifery. 2005;21:71-79. (Level of evidence Ia)
10 Zuraidah. Satu jam pertama yang menakjubkan. Diunduh dari URL:
http://www.promkes.com.
11 Mallika PS, et al. Neonatal Conjungtivitis – A Review. Malaysian Family
Phsycian 2008; Volume 3, Number 2. ISSN : 1985-2274.
12 Prescott LM, Harley JP and Klein DA. Microbiology. 4th ed. McGraw-Hills Co,
USA;1999.p.780.
13 Isenberg SJ, Leonard MD, Wood M. A controlled trial of povidone-iodine as
prophylaxis against ophthalmia neonatorum. The New England Journal of
Medicine. 1995;332:562-6.
14 Yetman R and Coody D. Conjunctivitis: A practice guideline. J Pediatric
Health Care 1997; 11(5):238-44.
15 Schaller UC, Klauss V. Is Crede’s prophylaxis for ophthalmia neonatorum
still valid? Bull World Health Organ. 2001;79(3):262-6.
16 Darvielle T. Chlamydia trachomatis infection in neonates and young children.
Semin Pediatr Infect Dis. 2005;5(4):235-44.
17 Iyamu E, Enabulele O. A Survey on Ophthalmia Neonatorum in Benin City,
Nigeria (Emphasis on gonococcal ophthalmia). Online J Health Allied S cs.
2003;2:2. ISSN 0972-5997.
18 Guidelines for the management of sexually transmitted infections 2003.
Accessed on 15 Aug 2007 at http://www.who.int/reproductive-
health/publicationa/rhs_01_01_mngt_stis/guidelines_mngt_stis.pdf
19 Canadian STD Guidelines Ophthalmia Neonatorum. Supplement November
1995 Vol. 21S4.

20
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

20 AAP, AAOP, Red Book: 2003 Report of the committee on Infectious Disease,
26th ed. ELK Grove Village, IL, 2003.
21 Barker R and Isenberg S. Is single dose ceftriaxone the best treatment for
ophthalmia neonatorum in a resource poor setting?
22 Scott R Lambert, Conjunctivitis of the newborn (Ophthalmia Neonatorum).
David Taylor & Creig S Hoyt. Pediatric Ophthalmology and Strabismus,
Philadelphia, Elsevers Saunders, 2005, 146-8.
23 Solomon A, et al. Mass treatment with single-dose azithromycin for
trachoma. NEJM 2004;351(19):1962-72.
24 Scémann J-F, et al. Longitudinal evaluation of three azithromycin
distribution strategies for treatment of trachoma in a Sub-Saharan African
country, Mali. Acta Tropica 2007;101:40-53.
25 Hoosen AA, Kharsany AB, Ison CA. Single low-dose ceftriaxone for the
treatment of gonococcal ophthalmia –implications for the national
programme for the syndromic management of sexually transmitted diseases.
S AFR Med J. 2002;92(3):238-40.
26 Workowski KA, Levine WC. Sexually transmitted diseases treatment
guidelines 2002. Centers for disease control and prevention. MMWR Recomm
Rep 2002;51 (RR-6)1-78.
27 Population and Public Health Branch. Material Safety Data Sheet – Infectious
substances. Health Canada 2001;1-4.
28 WHO Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta; WHO.2009.
29 Whittey R, Arwin A, Prober C, et al. A Controlled trial comparing vidarabine
with acyclovir in neonatal herpes simplex virus infection. N Engl J Med.
1991;324(7):444-9.
30 National health and medical research council Australia. Joint statement and
recommendations on vitamin K to newborn infants to prevent vitamin K
deficiency bleeding in infancy. Oktober 2000. Didapat dari URL:
http://www.health. gov.au /nhmrc/publications/pdf/ch39.pdf
31 Fetus and Newborn Committee of The Paediatric Society of New Zealand, The
New Zealand College of Midwives, The New Zealand Nurses Organisation, The
Royal New Zealand College of General Practitioners, The Royal Australian
and New Zealand College of Obstetricians and Gynaecologists. Vitamin K
prophylaxis in the newborn. Prescriber Update No.21:36-40. Didapat dari
URL:http://www.medsafe.govt.nz/Profs/PUarticles/vitk.htm
32 British Columbia Reproductive Care Program. Vitamin K prophylaxis. Maret
2001.Didapat dari
URL:http//www.rcp.gov.bc.ca/Guideline/Newborn/Master.Nb12.VitK.pdf
33 St John EB. Hemorrhagic disease of newborn. Juni 2002. Didapat dari
URL:http://www.emedicine.com
34 Isarangkura PB, Chuansumrit A. Vitamin K deficiency in infants. Hematology
1999 Educational Program and Scientific Supplement of the IX Congress of
the International Society of Haematology, Asian-Pacific Division. Bangkok,
Thailand. 1999:154-9.
35 NICE. Newborn screening in the UK.

21
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

BAB III
SKRINING BAYI BARU LAHIR

A. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Bayi Baru Lahir

1. Gejala gangguan pendengaran pada bayi dan anak


Gejala gangguan pendengaran pada bayi sulit diketahui mengingat
ketulian tidak terlihat. Biasanya keluhan orangtua adalah bayi tidak memberi
respons terhadap bunyi. Umumnya orangtua melaporkan sebagai terlambat
bicara (delayed speech), tidak memberi respons saat dipanggil atau ada
suara/bunyi. Dapat pula sebagai keluhan perkembangan kosakata yang tidak
sesuai dengan usia anak, berbicara tidak jelas, atau meminta sesuatu dengan
isyarat.
Gangguan pendengaran dibedakan menjadi :
- tuli sebagian (hearing impaired) yaitu penurunan fungsí pendengaran tetapi
masih bisa berkomunikasi dengan atau tanpa alat bantu dengar;
- tuli total (deaf) adalah gangguan fungsí pendengaran yang sedemikian
terganggu sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat
pengerasan bunyi.

2. Perkembangan sistem pendengaran


Pada usia gestasi 9 minggu, mulai terbentuk ketiga lapisan pada gendang
telinga, dan pada minggu ke-20 sudah terjadi pematangan koklea dengan
fungsi menyamai dewasa dan dapat memberi respons terhadap suara. Pada
saat yang sama, bentuk daun telinga sudah menyerupai daun telinga orang
dewasa walaupun masih terus berkembang sampai usia 9 tahun. Pada usia
gestasi 30 minggu terjadi pneumatisasi dari timpanum, demikian juga dengan
liang telinga luar yang terus berkembang sampai usia 7 tahun.
Perkembangan auditorik berhubungan erat dengan perkembangan otak.
Neuron dibagian korteks mengalami pematangan dalam waktu 3 tahun
pertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi
perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan hal tersebut, maka
upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran sampai habilitasi
dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung.

2.a. Perkembangan mendengar

Usia Kemampuan Auditorik


0 – 4 bulan Bila diberikan stimulus bunyi, respon mendengar yang terjadi
masih bersifat refleks (behavioral responses) seperti:
- Refleks auropalpebral (mengejapkan mata)
- Heart rate meningkat
- Eye widening (melebarkan mata)
- Cessation (berhenti menyusu)
- Grimacing (mengerutkan wajah)
4 – 7 bulan 4 bulan : memutar kepala pada arah horizontal; masih lemah
(belum konsisten)

20
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

7 bulan : memutar kepala pada arah horizontal dengan cepat;


namun pada arah bawah masih lemah
7 - 9 bulan Memutar kepala dengan cepat; mengidentifikasi sumber bunyi
dengan tepat
9 - 13 12 bulan : keingintahuan terhadap bunyi lebih besar; mencari
bulan sumber bunyi yang berasal dari arah atas
13 bulan : dapat mengidentifikasi bunyi dari semua arah
dengan cepat

2.b. Perkembangan Bicara dan Bahasa


Perkembangan bicara seorang anak sejalan dengan pertambahan usianya
dan perkembangan mendengar.

Usia Kemampuan
Neonatus menangis ,suara mendengkur (cooing),suara berkumur
(gurgles)
2 - 3 bulan tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling) : aaa, ooo
4 - 6 bulan mengeluarkan suara kombinasi vokal dan konsonan.
- ocehan bermakna (true babling) atau lalling (pa..pa.., da..da)
- memberi respons terhadap suara marah atau bersahabat
- belajar menangis dengan suara yang bervariasi sesuai
kebutuhan
7 - 11 bulan menggabungkan kata/suku kata yang tidak mengandung arti,
seperti bahasa asing (jargon); usia 10 bulan : mampu meniru
suara (echolalia)
- mengerti kata perintah sederhana : kesini
- mengerti nama obyek sederhana : sepatu, cangkir
12 - 18 - menjawab pertanyaan sederhana
bulan - mengerti instruksi sederhana, menunjukkan bagian tubuh
dan nama mainan
24 - 35 - kata yang diucapkan antara 150 -300 kata
bulan - volume dan pitch suara belum terkontrol
-mengenali warna, mengerti konsep besar - kecil, sekarang -
nanti
36 - 47 - jumlah kata yang diucapkan mencapai 900 – 1.200 kata
bulan -memberi respons pada 2 kalimat perintah yang tidak
berhubungan seperti:ambil sepatu, letakkan gelas di atas
meja
- mulai bertanya kenapa dan bagaimana?

3. Etiologi dan Faktor Resiko


Gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan saat
terjadinya yaitu :
Masa Prenatal
Dibagi menjadi genetik dan nongenetik seperti gangguan/kelainan masa
kehamilan, kelainan struktur anatomi (atresia liang telinga, aplasia koklea),
dan kekurangan zat gizi (misal : defisiensi Iodium).

21
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Yang paling penting adalah trimester I kehamilan, misalnya akibat infeksi


bakteri atau virus (TORCHS). Disamping itu, beberapa jenis obat ototoksik
dan teratogenik berpotensi menyebabkan gangguan pendengaran.

Masa Perinatal
Prematur , berat badan lahir rendah (< 2500 gram), hiperbilirubinemia, dan
asfiksia.

Masa Postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus (rubela, campak, parotitis, infeksi otak),
perdarahan telinga tengah, trauma tulang temporal yang mengakibatkan tuli
saraf atau tuli konduktif.

Gangguan pendengaran pada masa prenatal dan perinatal biasanya adalah


tuli sensorineural bilateral derajat berat/sangat berat.

Faktor faktor risiko yang perlu dipertimbangkan dan telah ditetapkan oleh
American Joint Committée on Infant Hearing pada tahun 2000 :
Usia 0 – 28 hari :
- Menjalani perawatan di NICU selama ≥ 48 jam
- Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang mempunyai
hubungan dengan tuli sensorineural atau tuli konduktif, misalnya
sindroma Rubela;
- Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yang
menetap
sejak masa anak-anak;
- Kelainan kraniofasial termasuk kelainan morfologi pinna (daun telinga)
atau liang telinga;
- Infeksi intra uterin, seperti TORCHS (toksoplasma, rubella,
sitomegalovirus, herpes dan sifilis).

Usia 29 hari – 2 tahun :


- Kecurigaan orangtua/pengasuh terhadap gangguan pendengaran,
keterlambatan bicara, afasia atau keterlambatan perkembangan lain;
- Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap masa
anak-anak;
- Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui
mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural, tuli konduktif atau
gangguan fungsi tuba Eustachius;
- Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaran
sensorineural, termasuk meningitis bakterialis;
- Infeksi intra uterin seperti TORCHS (toksoplasma, rubela, sitomegalovirus,
herpes, sífilis);
- Adanya faktor risiko tertentu pada masa neonatus, terutama
hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal
yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang membutuhkan
ECMO (extra corporeal membrana oxygenation);
- Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang
progresif seperti sindroma Usher, neurofibromatosis dan lain-lain;

22
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

- Adanya kelainan neurodegeneratif seperti sindroma Hunter dan kelainan


neuropati sensomotorik (Friederich’s ataxia, sindroma Charcot - Marie
Tooth)
- Trauma kapitis;
- Otitis media yang berulang atau menetap disertai efusi telinga tengah
minimal 3 bulan.

Kapan kita curiga ada gangguan pendengaran ?


12 bulan -- belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru
18 bulan -- tidak dapat menyebut 1 kata berarti
24 bulan -- perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
30 bulan -- belum dapat merangkai 2 kata

4. Skrining gangguan pendengaran pada bayi baru lahir

4.1. Tujuan
Menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin pada bayi baru lahir
agar dapat segera dilakukan habilitasi pendengaran yang optimal sehingga
dampak negatif cacat pendengaran dapat dibatasi.

4.2. Prinsip dasar skrining pendengaran pada bayi


Skrining pendengaran dilakukan dengan maksud membedakan populasi
bayi menjadi kelompok yang tidak mempunyai masalah gangguan
pendengaran (Pass/lulus) dengan kelompok bayi yang mungkin mengalami
gangguan pendengaran (Refer/tidak lulus).
Skrining pendengaran bukan diagnosis pasti karena selain kelompok
Pass/lulus dan kelompok Refer/tidak lulus masih ada 2 kelompok lain,
yaitu kelompok positif palsu (hasil refer namun sebenarnya pendengaran
normal) dan negatif palsu (hasil pass tetapi sebenarnya ada gangguan
pendengaran).
Hasil skrining pendengaran harus diterangkan dengan jelas kepada
pihak orangtua untuk mencegah kecemasan yang tidak perlu.
Hasil skrining pendengaran yang telah dilakukan oleh suatu
unit/kelompok masyarakat atau fasilitas kesehatan (RS, puskesmas,
praktik dokter, klinik, balai kesehatan ibu dan anak/BKIA) harus dirujuk
ke fasilitas kesehatan yang memiliki sarana pemeriksaan pendengaran
yang lengkap dan mampu melaksanakan habilitasi pendengaran dan
wicara.

Pemeriksaan pendengaran yang lengkap bertujuan menentukan status


pendengaran bayi dan anak berdasarkan prinsip :
Ear spesific
Frequency specific (penentuan ambang dengar pada setiap frekuensi)

23
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Berdasarkan fasilitas yang tersedia, skrining gangguan pendengaran


dapat dikelompokkan menjadi :
I. Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based
hearing screening)
II. Skrining gangguan pendengaran pada komunitas (community based
hearing screening)

Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based


hearing screening) dikelompokan menjadi :
1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)
2. Targeted Newborn Hearing Screening

1.Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)

Dilakukan pada semua bayi baru lahir (dengan atau tanpa faktor
risiko terhadap gangguan pendengaran). Skrining awal dilakukan
dengan pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) sebelum bayi keluar
dari rumah sakit (usia 2 hari). Bila bayi lahir pada fasilitas kesehatan
yang tidak memiliki sarana OAE, paling lambat pada usia 1 bulan telah
melakukan pemeriksaan OAE di tempat lain. Bayi dengan hasil skrining
Pass (lulus) maupun Refer (tidak lulus) harus menjalani pemeriksaan
BERA (atau BERA otomatis) pada usia 1 – 3 bulan.
Pada usia 3 bulan, diagnosis harus sudah dipastikan berdasarkan
hasil pemeriksaan: OAE, BERA, timpanometri (menilai kondisi telinga
tengah). Untuk bayi yang telah dipastikan mengalami gangguan
pendengaran sensorineural, perlu dilakukan pemeriksaan ASSR
(Auditory Steady State Response) atau BERA dengan stimulus tone
burst, agar diperoleh informasi ambang dengar pada masing-masing
frekuensi; hal ini akan membantu proses pengukuran alat bantu
dengar yang optimal. Khusus untuk bayi yang tidak memiliki liang
telinga (atresia) diperlukan pemeriksaan tambahan berupa BERA
hantaran tulang (bone conduction).
Berdasarkan tahapan waktu tersebut di atas, habilitasi
pendengaran sudah harus dimulai pada usia 6 bulan.

Kriteria UNHS:
1. Mudah dikerjakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi sehingga kejadian refer minimal.
2. Tersedia intervensi untuk habilitasi gangguan pendengaran.
3. Skrining, deteksi dan intervensi yang dilakukan secara dini akan
menghasilkan outcome yang baik.
4. Cost-effective.
Kriteria keberhasilan : cakupan (coverage) 95 %, nilai refferal : < 4 %

2.Targeted Newborn Hearing Screening

Skrining pendengaran yang dilakukan hanya pada bayi yang


mempunyai faktor risiko terhadap gangguan pendengaran (Gambar 10).
Kelemahan metode ini adalah sekitar 50 % bayi yang lahir tuli tidak

24
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

mempunyai faktor risiko. Model ini biasanya dilakukan di NICU


(Neonatal ICU) atau ruangan Perinatologi.

SKRINING
PENDENGARAN
BAYI BARU LAHIR

Hospital Community
based based

UNIVERSAL NEWBORN TARGETED NEWBORN


HEARING SCREENING HEARING SCREENING
(UNHS) Hanya bayi dengan faktor
Semua bayi risiko
Gambar 10. Klasifikasi skrining pendengaran bayi baru lahir

4.3. Pemeriksaan skrining pendengaran

Sampai saat ini pemeriksaan pendengaran yang terbaik adalah audiometri


karena dapat memberikan informasi ambang pendengaran yang bersifat
spesific frequency. Kelemahan pemeriksaan audiometri adalah besarnya
faktor subyektif dan membutuhkan kerja sama (pasien kooperatif) dan
membutuhkan respons yang dapat dipercaya dari pasien; akibatnya
pemeriksaan audiometri tidak dapat dilakukan pada pasien berusia
dibawah 6 bulan.

Baku emas pemeriksaan skrining pendengaran pada bayi


(1) Otoacoustic Emission(OAE)
(2) Automated ABR ( BERA Otomatik)

U.S Joint Committee on Infant Hearing Screening (JCIH 2000)

25
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Pemeriksaan objektif Pemeriksaan subyektif


(Elektrofisiologis) (Behavioral)

OAE (mulai 2 hari) Behavioral Observation Test


Behavioral Observation Audiometry (0 – 6
bulan)
Visual Reinforcement Audiometry (7 -30
bulan)
Conditioned Play Audiometry (30 bulan –
5 tahun)

BERA Tes Daya Dengar /TDD modifikasi


Otomatis (≤ 3 bulan)
Click (≥ 3 bulan)
Tone burst (≥ 3 bulan)
Bone conduction
Timpanometri
ASSR

a. Pemeriksaan obyektif

a.1.Otoacoustic Emission (OAE)

Menilai integritas telinga luar dan tengah serta sel rambut luar (outer hair
cells) koklea. OAE bukan pemeriksaan pendengaran karena hanya
memberi informasi tentang sehat tidaknya koklea. Pemeriksaan ini
mudah, praktis, otomatis, noninvasif, tidak membutuhkan ruangan
kedap suara maupun obat sedatif.
Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena dinyatakan dengan kriteria
Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan keadaan
koklea baik; sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan koklea
sehingga dibutuhkan pemeriksaan lanjutan berupa AABR atau BERA
pada usia 3 bulan.
Hasil OAE dipengaruhi oleh gangguan (sumbatan) liang telinga dan
kelainan pada telinga tengah (misalnya cairan).
Untuk skrining pendengaran, digunakan OAE skrining (OAE screener)
yang memberikan informasi kondisi rumah siput koklea pada 4 - 6
frekuensi. Sedangkan untuk diagnostik digunakan OAE yang mampu
memeriksa lebih banyak lagi frekuensi tinggi.

26
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Persiapan pemeriksaan OAE

1. Pemeriksaan dilakukan pada bayi baru lahir yang berusia > 24 jam.
2. Lingkungan dan bayi harus tenang.
3. Liang telinga harus bersih dari kotoran (serumen) maupun cairan.
4. Menggunakan probe yang sesuai dengan ukuran telinga bayi. Pada bayi
usia kurang dari 6 bulan digunakan probe khusus yang bergerigi (tree
tip) untuk mencegah kolaps liang telinga.
5. Posisi probe mengarah ke membran timpani.
6. Bila hasil Refer, sebaiknya diulang beberapa kali sampai dipastikan
memang hasilnya Refer.

Gambar 11.
OAE Skrining 6 frekuensi Gambar 12. OAE Diagnostik

a.2. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) atau Auditory


Brainstem Response (ABR)

BERA menilai perubahan potensial listrik di otak yang timbul setelah


pemberian stimulus suara. ABR berfungsi untuk menilai integritas saraf
sepanjang jalur pendengaran.
Pemeriksaan BERA yang dilakukan umumnya menggunakan
stimulus suara jenis click, pemeriksaan ini tidak frequency spesific artinya
hanya diketahui ambang respons pada frekuensi rata-rata (2000 - 4000
Hz). Agar dapat memperoleh ambang pada masing-masing frekuensi harus
ditambahkan pemeriksaan BERA dengan stimulus tone burst.
Pemeriksaan BERA sebaiknya dilakukan pada ruang kedap suara. Pada

27
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

bayi diperlukan sedatif untuk mencegah internal noise. Bila digunakan


BERA otomatis, karena waktunya singkat dapat dilakukan tanpa sedatif.
Respons neural terhadap stimulus bunyi yang diterima akan direkam
komputer melalui elektroda pemukaan (surface electrode) yang
ditempelkan pada kepala (dahi dan prosesus mastoid). Parameter yang
dinilai berdasarkan morfologi gelombang, amplitudo dan masa laten. Hasil
penilaian adalah intensitas stimulus terkecil (desibel/dB) yang masih
memberikan gelombang BERA. Ada 5 gelombang BERA yang dapat dibaca,
masing masing menggambarkan respons dari bagian-bagian jaras
auditorik mulai dari nervus akustikus sampai kolikulus inferior. Pada
bayi yang paling mudah diidentifikasi adalah gelombang V (kolikulus
inferior).
Perlu diperhatikan agar pemeriksaan BERA pada bayi dibawah usia
3 bulan atau bayi lahir prematur, mungkin terjadi pemanjangan masa
laten sehingga didapat kesan adanya tuli konduktif, pada kasus seperti ini
perlu dilakukan BERA ulangan pada saat usia lebih dari 3 bulan dan
dilakukan koreksi usia (pada prematur).

Pemeriksaan BERA Otomatis (Automated ABR)

Merupakan pemeriksaan BERA otomatis sehingga tidak diperlukan


analisis gelombang evoked potential karena hasil pencatatan mudah
dibaca, berdasarkan kriteria pass atau refer (tidak lulus). Pemeriksaan ini
sama dengan BERA konvensional yaitu menggunakan elektroda
permukaan dengan pemberian stimulus click, mudah dilakukan, praktis,
tidak invasif dan hanya dapat menggunakan intensitas 30 – 40 dB.
Umumnya digunakan untuk keperluan skrining pendengaran.

Pemeriksaan pendengaran secara obyektif juga perlu dilakukan dan


disesuikan dengan usia anak. Apabila terdapat kelainan maka diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut yang disesuaikan dengan alur HTA (Health
Technology Assesment) skrining pendengaran bayi 2006.

Gambar 15.
Gambar 14.
Gambar 13. BERA Click BERA Otomatis
BERA tone burst

28
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Pemeriksaan Timpanometri

Pemeriksaan ini bertujuan untuk


menilai keadaan telinga tengah
(normal, tekanan negatif, cairan) dan
fungsi tuba Eustachius. Pada bayi
berusia kurang dari 6 bulan
digunakan timpanometri frekuensi
tinggi (High Frequency
Tympanometry) dengan pertimbangan
pada usia tersebut liang telinga
masih lentur/ kolaps sehingga
menghalangi stimulus suara yang
masuk.
Gambar 16.Timpanogram

Auditory Steady State Response (ASSR)

Dengan ASSR dapat dibuat prediksi atau estimasi audiometri


(predicting audiometry) atau evoked potential audiometry karena dapat
memberikan gambaran audiogram pada bayi dan anak. Hal ini
dimungkinkan karena ASSR memberikan informasi ambang pendengaran
pada frekuensi spesifik secara otomatis dan simultan, yaitu pada
frekuensi 500, 1.000, 2.000 dan 4.000 Hz. Bila perlu dapat di setting
untuk frekuensi lainnya.

Stimulasi berupa bunyi modulasi yang kontinu berupa AM (Amplitude


Modulation) dan FM (Frequency Modulated) melalui insert phone.
Intensitas stimulus dapat mencapai 127 dB HL. Selain dapat memberikan
informasi ambang pendengaran, ASSR sangat bermanfaat untuk fitting
alat bantu dengar pada bayi dan menilai sisa pendengaran sebagai
pertimbangan untuk implantasi koklea.

Gambar 17. Auditory Steady State Response


29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

b. Pemeriksaan Subyektif

Bila sarana pemeriksaan yang bersifat obyektif atau elektrofisiologis tidak


tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan subyektif yang mengandalkan
respons behavioral sebagai reaksi bayi terhadap stimulus bunyi, antara
lain pemeriksaan Behavioral Observation Test (BOT) atau Behavioral
Observation Audiometry (BOA), Visual Reinforcement Audiometry (VRA) dan
Conditioned Play Audiometry (CPA). Namun bila memungkinkan, tetap
dianjurkan untuk mengkonfirmasi hasilnya dengan pemeriksaan obyektif.

b.1. Pemeriksaan Behavioral


Pemeriksaan pendengaran yang subyektif karena respon dari bayi dan
anak tidak konsisten. Namun demikian pemeriksaan behavioral memiliki
kemampuan frequency spesific. Tentu saja, nilai sensitivitas dan
spesifitasnya kurang dibandingkan pemeriksaan obyektif seperti OAE dan
BERA. Idealnya dilakukan di ruang kedap suara, bila tidak tersedia dapat
di ruangan biasa tetapi cukup tenang.
Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lebih obyektif, dapat
dimanfaatkan untuk bayi dibawah 6 bulan misalnya pemeriksaan
Behavioral Observation Test (BOT) atau Behavioral Observation Audiometry
(BOA).
Pada anak usia 6 bulan atau lebih pemeriksaan behavioral juga dapat
dilakukan untuk konfirmasi pemeriksaan obyektif yang telah dilakukan,
terutama bila menghadapi kendala untuk memperoleh pemeriksaan yang
bersifat frequency spesific.

Behavioral Observation Audiometry (BOA)

Tujuan : menentukan ambang pendengaran berdasarkan unconditioned


responses terhadap bunyi; misalnya refleks behavioral. Untuk menilai
bayi/anak 0 – 6 bulan.
Frekuensi stimulus : range speech frequency.

Persyaratan
Pemeriksaan di ruang kedap suara/cukup tenang
Respon bayi dinilai oleh 2 orang pemeriksa
Stimulus berjarak 1 meter dari dari telinga, di belakang garis lapang
pandangan
Stimulus : Audiometer + loud speaker
Intensitas stimulus dikalibrasi dengan sound level meter

Respon yang dinilai : respon behavioral /refleks( unconditioned


response):
- mengejapkan mata (refleks auropalpebral)
- ritme jantung bertambah cepat
- berhenti meyusu (cessation reflex)
- mengerutkan wajah (grimacing)
- terkejut (refleks Moro)
30
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Prosedur Pemeriksaan BOA


 Bayi dipangku dalam kondisi siap memberi respons/setengah tidur
 Dapat sambil menyusu
 Bila tidur nyenyak; bangunkan. Bila ketakutan : tunda.
 Orangtua tidak ikut mambantu respons
 Respons harus konsisten dan dapat diulang
 Pada saat terjadi respons, catat intensitas
 Bila respon (-) catat intensitas paling besar

Keterbatasan : tidak menentukan threshold (ambang pendengaran).


Prosedur Behavioral Obsevation Test sama dengan BOA, tetapi
menggunakan stimulus yang tidak terukur frekuensi dan intensitasnya(
misalnya bertepuk tangan).

Visual Reinforcement Audiometry (VRA)

Tujuan : Menentukan ambang pendengaran bayi 7 -30 bulan dengan


menilai conditioned response (respons yang telah dilatih terlebih dahulu).
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menentukan ambang
pendengaran.
Keterbatasan : karena stimulus berasal dari pengeras suara (loudspeaker),
maka ambang yang diperoleh menunjukkan kondisi telinga yang lebih
baik.

Cara Pemeriksaan

Bayi dilatih terlebih dahulu untuk


memberikan respons khusus (misal
memutar kepala) terhadap stimulus
bunyi dengan kekerasan bunyi
(intensitas) tertentu. Bila bayi
memberikan respons, berikan hadiah
berupa cahaya lampu. Kemudian
pemeriksaan diulang dengan intensitas
yang lebih rendah sampai tercapai
ambang dengar yaitu stimulus terkecil
yang masih menghasilkan respons.

Gambar 18. Visual Reinforcement


Audiometry (VRA)
Keterangan Gambar 8
S : Speaker; VR : Visual reinforcer;
P : Orang tua( memangku bayi);
I : Bayi; A : Pemeriksa; TA : Observer

Conditioned Play Audiometry (CPA)

Tujuan : Menilai ambang pendengaran berdasarkan respons yang telah


dilatih (conditioned) melalui kegiatan bermain terhadap stimulus bunyi.
Stimulus bunyi diberikan melalui ear phone sehingga dapat diperoleh

31
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

ambang pada masing masing frekuensi (frequency-specific) dan masing-


masing telinga (ear specific). Dengan teknik ini, dapat ditentukan jenis dan
derajat ganggguan pendengaran.
Dilakukan untuk anak usia 30 bulan – 5 tahun.

Prosedur Pemeriksaan
Terlebih dahulu anak dilatih memberikan respons melalui kegiatan
bermain, misalnya memasukkan sebuah balok ke dalam kotak; bila anak
mendengar suara dengan intensitas (kekerasan bunyi) tertentu.
Selanjutnya intensitas diturunkan sampai diperoleh intensitas terkecil di
mana anak masih memberikan respons terhadap bunyi. Bila suara diganti
dengan ucapan (kata-kata) dapat juga ditentukan speech reception
threshold (SRT).

b.2. Tes Daya Dengar (Modifikasi)


Merupakan pemeriksaan subyektif untuk deteksi dini gangguan
pendengaran pada bayi dan anak dengan menggunakan kuesioner
berisikan pertanyaan- pertanyaan ada tidaknya respons (daya dengar)
bayi atau anak terhadap stimulus bunyi. Pertanyaan berbeda untuk 8
kelompok usia. Untuk tiap kelompok usia, daftar pertanyaan terbagi
menjadi 3 kelompok penilaian kemampuan; (1) Ekspresif, (2) Reseptif dan
(3) Visual; masing-masing terdiri dari 3 pertanyaan dengan jawaban “Ya”
atau “Tidak”. Daftar pertanyaan Tes Daya Dengar (modifikasi) dapat
dilihat pada lampiran 2.

Cara penilaian
1. Bila semua pertanyaan (3 buah) dijawab “Ya” berarti tidak terdapat
kelainan daya dengar (Kode N/normal).
2. Bila terdapat minimal 1 (satu) jawaban “Tidak” berarti kita harus hati-
hati terhadap kemungkinan gangguan daya dengar (Kode HTN/Hati-
hati Tidak Normal). Tes harus diulang 1 (satu) bulan lagi.
3. Bila semua jawaban adalah “Tidak” mungkin terdapat gangguan lain
dengan atau tanpa kelainan daya dengar (ada gangguan lain dan tidak
normal).
4. Bila semua jawaban pada kemampuan ekspresif dan reseptif adalah
“Tidak” dengan kemampuan visual normal berarti ada kelainan pada
daya dengar (Kode TN/Tidak Normal).

Anak dengan kode HTN, GTN, dan TN dicatat pada kemampuan mana anak
tidak bisa mengerjakan; dan bila dilakukan tes dibawah kelompok usianya,
sampai usia mana anak bisa mengerjakan tes tersebut.

4.4. Tindak Lanjut setelah Skrining Pendengaran


Bayi yang tidak lulus skrining tahap kedua harus dirujuk untuk
pemeriksaan audiologi lengkap termasuk pemeriksaan OAE,ABR dan
Behavioral Audiometry, sehingga dapat dipastikan ambang pendengaran
pada kedua telinga dan lokasi lesi auditorik. Diagnosis pasti idealnya telah
selesai dikerjakan pada saat bayi berusia 3 bulan.
Berdasarkan alur skrining pendengaran bayi HTA 2006 (Lampiran 1),
bayi yang gagal pada skrining awal, dilakukan pemeriksaan timpanometri,

32
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

DPOAE dan AABR pada usia 3 bulan. Bila tetap tidak lulus, segera
dilakukan pemeriksaan BERA stimulus click + tone burst 500 Hz atau
ASSR, sedangkan BERA bone conduction diperiksa bila ada pemanjangan
masa laten (gangguan pendengaran konduktif).
Sebaiknya pemeriksaan tersebut diatas dikonfirmasi dengan
Behavioral Audiometry. Terhadap bayi yang lulus skrining awal, tetap
dilakukan pemeriksaan DPOAE dan AABR pada usia 3 bulan. Bila tidak
lulus, segera dilanjutkan dengan pemeriksaan audiologi lengkap. Untuk
bayi yang lulus skrining namun mempunyai faktor risiko terhadap
gangguan pendengaran, dianjurkan untuk follow up sampai anak bisa
berbicara.

5. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT, pemeriksaan
pendengaran baik secara subyektif maupun obyektif, pemeriksaan
perkembangan motorik, kemampuan berbicara serta psikologis.

6. Tatalaksana
Apabila ditemukan adanya gangguan pendengaran sensorineural harus
dilakukan habilitasi berupa amplifikasi pendengaran, misalnya dengan alat
bantu dengar (ABD). Selain itu, bayi/anak juga perlu mendapat habilitasi
wicara berupa terapi wicara atau terapi audioverbal (AVT) sehingga dapat
belajar mendeteksi suara dan memahami percakapan agar mampu
berkomunikasi dengan optimal.
Rekomendasi dari American Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) yang
ditetapkan berdasarkan banyak penelitian menyatakan bahwa bila skrining
pendengaran pada bayi telah dimulai pada usia 2 hari, kemudian diagnosis
dipastikan pada usia 3 bulan sehingga habilitasi yang optimal dapat dimulai
pada usia 6 bulan; maka pada usia 36 bulan kemampuan wicara anak tidak
berbeda jauh dengan anak yang memiliki pendengaran normal.
Dalam hal pemasangan ABD harus dilakukan seleksi ABD yang tepat dan
proses fitting yang sesuai dengan kebutuhan sehingga diperoleh amplifikasi
yang optimal.
Proses fitting ABD pada bayi/anak jauh lebih sulit dibandingkan orang
dewasa. Akhir-akhir ini ambang pendengaran yang spesifik pada bayi dapat
ditentukan melalui teknik Auditory Steady State Response (ASSR), yang
hasilnya dianggap sebagai prediksi audiogram, sehingga proses fitting ABD
bayi lebih optimal. Bila ternyata ABD tidak dapat membantu, salah satu
alternatif adalah implantasi koklea.

7. Pencegahan
Mengingat tingginya angka infeksi yang dapat terjadi pada ibu hamil dan
anak maka perlu dilakukan imunisasi misalnya untuk rubela, sehingga
pemeriksaan kehamilanpun dianjurkan untuk dilakukan secara teratur.
Apabila diketahui kemungkinan adanya faktor genetik , maka dianjurkan
untuk konseling genetik.

33
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

REKOMENDASI HTA

1. Skrining pendengaran dilakukan pada semua bayi baru lahir dengan atau
tanpa faktor risiko. (Rekomendasi B LoE IIb)

2. Skrining dilakukan sebelum bayi meninggalkan RS pada bayi yang lahir


di RS dan sebelum usia satu bulan pada bayi yang lahir selain di RS.
(Rekomendasi C LoE IV)

3. Diagnosis gangguan pendengaran ditegakkan sebelum usia tiga bulan dan


dilanjutkan dengan tatalaksana sebelum usia enam bulan.
(Rekomendasi B LoE IIb)

4. Skrining pendengaran di Indonesia dilaksanakan dengan alur sebagai


berikut: (terlampir dalam lampiran 2).

5. Departemen THT meningkatkan kerjasama dengan cabang ilmu terkait yaitu


Departemen Ilmu Kesehatan Anak (Perinatologi dan Neurologi), Kebidanan
dan Kandungan, Rehabilitasi Medik, Psikiatri, dan ahli audiologi dalam hal
penatalaksaan pasien.

6. Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan dari PERHATI-KL menyusun


kebijakan penyediaan fasilitas skrining pendengaran pada bayi dengan
mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat.

7. Institusi pendidikan dan PERHATI-KL menyelenggarakan kursus, pelatihan,


dan bimbingan teknologi untuk meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM
berkaitan dengan skrining pendengaran pada bayi baru lahir.

Daftar Pustaka

1. Joint Committee on infant hearing. Year 2000 Position Statement: Principles


and Guidelines for Early Hearing Detection and Intervention Programs.
Pediatrics 2000;106:789-817.
2. Suwento R. Zizlavsky S, Hendarmin H. Gangguan pendengaran pada bayi
dan anak. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 31-42
3. Rehm HL, Willianson RE, Keana MA, Corey DP, Korf BR. Understanding the
genetics of deafness, a guide for parents and families. Harvard Medical
School Center for hereditary deafness. Diunduh dari:
http://hearing.harvard.edu. Diakses tanggal 10 April 2004.
4. Stach BA. Causes of hearing impairment. Dalam: Stach BA. Clinical
Audiology: An introduction. San Diego: Singular Publishing Group; 1998. h.
117-61.
5. Fatmawaty. Peranan Tes Daya Dengar (TDD) untuk deteksi dini gangguan
pendengaran pada anak dengan keterlambatan wicara. Tesis S2
Departemen IKA FKUI/ RSCM.2006

34
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

B. Skrining Hipotiroid Kongenital

Definisi
Hipotiroid kongenital (HK) merupakan kelainan pada bayi sejak lahir yang
disebabkan defisiensi sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid, dan
berkurangnya kerja hormon tiroid pada tingkat selular.1
HK merupakan salah satu penyebab terjadinya retardasi mental pada
anak. HK merupakan suatu penyakit bawaan yang dapat disembuhkan secara
total jika pengobatan dilakukan sejak dini. Di antara penyebab-penyebab
retardasi mental yang dapat dicegah yang dapat dikenali melalui uji saring
pada bayi baru lahir (BBL), HK merupakan penyebab yang tersering,
sementara penyebab lain misalnya phenylketonuria (PKU) lebih jarang.1

Epidemiologi
Angka kejadian HK di dunia adalah sekitar 1:3.500.2 Di Indonesia dengan
populasi 200 juta penduduk dan angka kelahiran 2% berarti ada 4.000.000
bayi dilahirkan setiap tahunnya. Berdasarkan data tersebut setiap tahun di
Indonesia diperkirakan lahir 1.143 bayi dengan HK. Di RSCM pada tahun
1992-2004 terdapat 93 kasus dengan perbandingan perempuan terhadap laki-
laki adalah 57:36 (61%:39%). Prevalensi HK di Jawa Barat adalah 1:3.885.3
Dalam suatu penelitian deskriptif retrospektif ditemukan 30 kasus HK di Poli
Endokrinologi Anak dan Remaja FKUI/RSCM pada tahun 1992-2002 yang
terdiri dari 9 anak laki-laki (30%) dan 21 anak perempuan (70%). Pada saat
datang pertama kali didapatkan 53,3% kasus berumur 1-5 tahun. Hanya 3
kasus HK yang terdiagnosis di bawah umur 3 bulan.4

Etiologi
Etiologi yang spesifik bervariasi pada berbagai negara, yang tersering
menurut Bourgeois yaitu:5
1. Tiroid ektopik (25-50%)
2. Agenesis tiroid (20-50%)
3. Dishormogenesis (4-15%)
4. Disfungsi hipotalamus pituitari (10-15%)

Manifestasi klinis
Sebagian besar BBL dengan HK adalah asimtomatik karena adanya T4
transplasenta maternal. Pada sejumlah kasus defisiensi tiroid dapat
menunjukkan gejala yang berat yang tampak pada minggu-minggu pertama
kehidupan dan pada derajat defisiensi yang ringan gangguan baru
bermanifestasi setelah usia beberapa bulan.6
Hipotiroid kongenital memberikan menifestasi klinis sebagai berikut:
1. Gangguan makan (malas, kurang nafsu makan, dan sering tersedak pada
satu bulan pertama)
2. Jarang menangis, banyak tidur (somnolen), dan tampak lamban6
3. Konstipasi
4. Tangisan parau (hoarse cry)
5. Pucat5,7
6. Berat dan panjang lahir normal, lingkar kepala sedikit melebar
7. Ikterus fisiologis yang memanjang
8. Lidah besar (makroglosia) sehingga menimbulkan gangguan pernafasan

35
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

9. Ukuran abdomen besar dengan hernia umbilikalis


10. Temperatur tubuh subnormal, seringkali <35ºC
11. Kulit (terutama ekstremitas) dingin, kering dan berbercak
12. Miksedema kelopak mata, regio genitalia, dan ekstremitas
13. Frekuensi nadi lambat
14. Murmur, kardiomegali, dan efusi perikardium
15. Anemia (makrositik) yang membaik dengan terapi hematinik
16. Letargi
17. Coarse facial features
18. Fontanel anterior dan posterior paten dengan sutura kranialis lebar8
19. Retardasi perkembangan fisik dan mental
20. Hipotonia
21. Tanda ileus paralitik: hipomotilitas, distensi abdomen, dan hipertimpani
Pada usia sekitar tiga hingga enam bulan gambaran klinis telah
sepenuhnya terlihat.6
Diagnosis dan tatalaksana HK harus dilakukan sedini mungkin pada
periode neonatal yaitu untuk mencapai perkembangan otak maupun
pertumbuhan fisik yang normal, karena terapi efektif bila dimulai pada
minggu-minggu pertama kehidupan.7

Skrining
Hampir 90% kasus HK terdeteksi dengan uji saring, sedangkan selebihnya
diketahui berdasarkan pemeriksaan klinis. Sebagian kecil anak dapat saja
memiliki hasil pemeriksaan yang negatif tetapi selanjutnya ternyata
dinyatakan menderita HK. Dokter harus mampu mengenali gejala klinis dan
tanda hipotiroidisme serta riwayat gangguan tiroid pada keluarga yang
mengindikasikan perlunya dilakukan uji tiroid lengkap, apapun hasil uji
saringnya saat lahir. Pada BBL dari kehamilan multipel yang salah satunya
didiagnosis HK maka terhadap bayi lainnya juga perlu dilakukan uji saring
ulang, bahkan bila perlu dilakukan uji tambahan.7
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk mendeteksi dini
HK adalah (1) kadar TSH; (2) kadar T4 atau free T4 (FT4).
Pemeriksaan primer TSH merupakan uji fungsi tiroid yang paling sensitif.
Peningkatan kadar TSH sebagai marka hormonal, cukup akurat digunakan
untuk menapis hipotiroid kongenital primer.8
Pemeriksaan pencitraan yang dapat menunjang diagnosis hipotiroid
adalah sebagai berikut :
1. Scanning tiroid (menggunakan 99mTc atau 123I)6
2. Ultrasonografi (USG)6
3. Radiografi (Rontgen tulang/bone age)
4. Elektrokardiografi (EKG) dan ekokardiografi (ECG)5,6
5. Elektromiografi (EMG)9
6. Elektroensefalogram (EEG)6
7. Brain Evoke Response Audiometry (BERA)9
8. Proton magnetic resonance spectroscopy6

Prosedur skrining
Sampel darah dapat berupa darah kapiler dari tusukan tumit bayi (heel
stick); dari permukaan lateral atau medial dari tumit bayi (Gambar 20 dan 21).
Sebaiknya darah diambil pada hari ke-3 s/d 5 untuk menghindarkan TSH

36
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

surge;3 skrining dilakukan sebelum pemulangan dari rumah sakit atau


sebelum transfusi. Hasil false negative dapat terjadi pada bayi dengan kondisi
sakit berat atau setelah mendapat transfusi.10
Tetesan darah ditempelkan pada kertas saring Schleicher & Schuell
#903TM (S & S 903). Setelah dibiarkan kering selama 3-4 jam, dapat
dikirimkan perpos dalam amplop surat.8
Dengan demikian hasil bisa cepat diperoleh dan pada kasus positif
memungkinkan pengobatan sebelum bayi berumur 1 bulan. Pada bayi
prematur atau bayi yang sakit berat, pengambilan darah bisa ditangguhkan,
tetapi tidak melebihi umur 7 hari.8
Deteksi dini HK akan mencegah keterlambatan perkembangan neurologis
dan retardasi mental akibat HK yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.11
Cara pengambilan spesimen diperlihatkan dalam gambar berikut:

Gambar 21.
Gambar 19. Gambar 20. Cara meneteskan darah
Lokasi tusukan tumit Cara pengambilan pada kertas saring
spesimen

Gambar 23.
Spesimen dibungkus
dalam amplop

Gambar 22.
Spesimen dikeringkan selama
3-4 jam pada suhu kamar
Sumber: Rustama DS

37
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Kriteria skrining
Nilai TSH neonatus diperkirakan dengan metode ELISA menggunakan
peroksidase yang dilabeli dengan monoclonal antibody antiTSH ke dalam micro
well yang kemudian diukur kadarnya dengan menghitung tingkat
absorpsinya. Nilai TSH yang mencapai 10 mIU/l dianggap normal, 10-20
mIU/L dianggap sebagai nilai batas dan >20 mIU/L dianggap abrnormal.12
Nilai tersebut dapat bervariasi, tergantung pada reagen yang digunakan.
Tes uji saring dilakukan dengan pengukuran TSH IRMA, dengan double
antibody radioimmunoassay, dan pemeriksaan T4 dengan coated tube
radioimmunoassay. Reagen yang digunakan dalam bentuk kit (contoh kit
Skybio Ltd dan DPC). Bila nilai TSH <20mIU/L dianggap normal; kadar TSH
>20 mIU/L. dianggap abnormal dan perlu pemeriksaan lebih lanjut. Bila
kadar TSH > 50 IU/L perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
TSH dan T4 serum. Bila kadar TSH tinggi, > 50 mIU/L; dan T4 rendah, < 6
µg/dL, bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis. Semua bayi dengan kadar TSH diatas nilai cut-off
dipanggil kembali/recall (Gambar 24).8
Mayoritas bayi hipotiroidisme primer mempunyai nilai TSH >80 μIU/mL.
Beberapa kondisi hipotiroidisme nonprimer yang berhubungan dengan nilai
T4 rendah misalnya hipotiroidisme sekunder, thyroid binding globulin (TBG)
rendah, terapi maternal (dengan lithium, iodida), prematuritas, penyakit berat,
hipotiroidisme sementara yang idiopatik, dan tiroiditis maternal. Sebagian
besar kelainan ini biasanya bersifat sementara. Frekuensi hipotiroidisme
sekunder diperkirakan 1:60.000 dan sebagai akibat kelainan hipofisis atau
hipotalamus. Nilai T4 yang rendah dengan TSH normal atau sedikit meningkat
ditemukan pada bayi berat lahir rendah kemudian akan menjadi normal
setelah status nutrisinya diperbaiki.13

Gambar 24. Algoritma skrining hipotiroid kongenital8

38
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Follow up hasil skrining


Follow up jangka pendek dimulai dari hasil laboratorium (hasil positif) dan
berakhir dengan pemberian terapi hormon tiroid (tiroksin). Follow up jangka
panjang diawali sejak pemberian obat dan berlangsung seumur hidup pada
kelainan yang permanen.
Hasil tes positif membutuhkan penilaian oleh klinisi dan petugas
laboratorium yang kompeten dan menjamin diagnosis yang tepat dan akurat.
Pada bayi dengan hasil tes positif, harus segera dipanggil kembali untuk
pemeriksaan TSH dan T4 serum. Bayi dengan hasil TSH tinggi (≥ 50 mIU/L)
dan T4 rendah (< 6 µg/dL), harus dianggap menderita HK sampai diagnosis
pasti ditegakkan.
Penatalaksanaan selanjutnya adalah sebagai berikut :
 Anamnesis pada ibu, apakah ada penyakit tiroid pada ibu atau keluarga,
atau mengkonsumsi obat antitiroid;
 Anamnesis tentang bayi;
 Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda dan gejala HK (Tabel 2);

Tabel 2. Daftar isian pemeriksaan fisis follow up hasil skrining8

Gejala Ya Tidak Tanda Ya Tidak


Letargi Kulit burik
Konstipasi Ikterus
Kesulitan Hernia
minum (sering umbilikalis
tersedak)
Kulit teraba Makroglosi
dingin
Fontanel melebar
Perut buncit
Tangisan serak
Kulit kering
Refleks lambat
Refleks lambat

 Bila memungkinkan, lakukan pemeriksaan penunjang :


• Sidik tiroid (dengan 123I atau TC99m).
• Pencitraan, pemeriksaan pertumbuhan tulang (sendi lutut dan
panggul). Tidak tampaknya epifisis pada lutut menunjukkan derajat
hipotiroid dalam kandungan.
• Pemeriksaan anti tiroid antibodi bayi dan ibu, bila ada riwayat penyakit
autoimun tiroid.
 Penjelasan/penyuluhan kepada orangtua bayi mengenai :
• penyebab HK dari bayi mereka,
• pentingnya diagnosis dan terapi dini untuk mencegah hambatan
tumbuh kembang bayi,
• cara pemberian obat tiroksin,
• pentingnya pemeriksaan secara teratur sesuai jadwal yang dianjurkan
dokter.

39
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Skrining untuk fasilitas terbatas


Untuk tingkat pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas, dapat
dipergunakan neonatal hipotyroid index untuk skrining HK (Tabel 3). Skrining
ini didasarkan pada penilaian terhadap klinis bayi; diagnosis HK ditentukan
jika skor 4; bayi normal jika skor <2. Seluruh bayi dengan skor > 2
kemudian diperiksa nilai FT4 & TSHs. Pemeriksaan ini tidak valid setelah bayi
berusia > 6 bulan.

Tabel 3. Neonatal hypotiroid index


0

Manifestasi klinis Skor

1.Gangguan makan 1

2. Konstipasi 1

3. Bayi tidak aktif 1

4.Hipotonia 1

5.Hernia umbilikalis (>0.5cm) 1

6.Makroglosia 1

7.Cutis marmorata 1

8.Kulit kering 1.5

9.Large fontanelle (>0.5cm) 1.5

10.Typical Fascies 3

Total 13
Sumber : Letarte, Garagorri (1989)

Pengobatan
Setelah dikonfirmasi, terapi dengan hormon tiroid pada penderita HK
harus diberikan secepat mungkin. Target terapi adalah mencapai kadar T4
normal dalam 2 minggu dan TSH dalam 1 bulan.10
Bayi baru lahir biasanya membutuhkan dosis 8-15 µg/kg/hari; tujuan
terapi adalah menormalisasi kadar TSH sesegera mungkin. Terapi untuk bayi
cukup bulan dimulai dengan 50 µg/hari selama 1-2 minggu, kemudian dosis
diturunkan menjadi 37.5 µg/hari (p.o.). Tablet levothyroxine sintetis
dilarutkan dalam 5-10 ml air dan diminumkan kepada bayi dengan spuit pada
awal menyusu untuk memastikan seluruh obatnya terminum dengan baik.11
Dianjurkan untuk memberikan selang waktu minimal 1 jam antara terapi
dengan konsumsi susu formula yang mengandung kedelai atau suplementasi
besi dan serat.10,11 Pemberian ASI dapat dilanjutkan.10
Sebagai tanda bahwa bayi mendapatkan terapi yang mencukupi, kadar T4
harus segera mencapai nilai normal. Untuk mencapai kecukupan obat,
dianjurkan selama pengobatan, nilai T4 berada diatas nilai tengah rentang
kadar T4 normal, yaitu 130-206 nmol/L (10-16 µg/dL) dan nilai TSH < 5
mIU/L (0.5-2.0 mIU/L); FT4 18-30 pmol/L (1.4-2.3 ng/dL). Kondisi ini

40
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

dipertahankan terus selama terapi sampai bayi berusia 3 tahun. Dianjurkan


memberikan dosis awal tidak kurang dari 10 ug/kg/hari, agar tercapai IQ
mendekati normal.8,10
Setelah terapi, diharapkan kadar T4 meningkat mencapai > 10 µg/dL; FT4
> 2 ng/dl dalam 2 minggu pascaterapi inisial. TSH diharapkan normal dalam
1 bulan pascaterapi inisial. Pemeriksaan FT4 pada 1 minggu pascaterapi
inisial dapat mengkonfirmasi peningkatan konsentrasi T4 serum. Dosis
tiroksin harus disesuaikan dengan klinis bayi, serta konsentrasi FT4 serum
dan TSH.10
Tujuan terapi adalah mencapai tumbuh kembang normal dengan
mempertahankan konsentrasi total T4 dan FT4 serum dalam nilai tengah
rentang normal sepanjang 1 tahun pertama kehidupan bayi, dengan
konsentrasi TSH serum yang optimal (0.5-2.0 mIU/L). Kegagalan mencapai
target konsentrasi FT4 serum tersebut dalam 2 minggu pascaterapi dan atau
kegagalan menurunkan nilai TSH sampai < 20 mIU/L dalam 4 minggu
pascaterapi – harus dipikirkan bahwa bayi tidak mendapat dosis terapi yang
adekuat.10
Segala upaya terapi untuk mencapai target tersebut, tetap harus
mempertimbangkan efek samping dari pengobatan yang berlebihan terhadap
bayi, serta harus dilakukan pemantauan konsentrasi FT4 serum secara
berkala. Kondisi hipertiroidisme yang berkepanjangan akibat terapi, terkait
dengan kejadian premature craniosynostosis.10
Pada umumnya dosis tiroksin bervariasi tergantung berat badan dan
disesuaikan respons masing-masing anak dalam menormalkan kadar T4.
Sebagai pedoman, dosis yang umum dipergunakan adalah :

0 – 6 bulan 25-50 µg/hari atau 8-15 µg/kg/hari


6 – 12 bulan 50-75 µg/hari atau 7-10 µg/kg/hari
1 – 5 tahun 50-100 µg/hari atau 5-7 µg/kg/hari
5 – 10 tahun 100-150 µg/hari atau 3-5 µg/kg/hari
> 10 – 12 tahun 100-200 µg/hari atau 2-4 µg/kg/hari

Pemantauan
Pemantauan fungsi tiroid dengan pemeriksaan TSH dan T4 atau FT4
dilakukan :

Setelah pemberian tiroksin Tiap 2 minggu, sampai kadar


T4 normal
1-12 bulan Tiap 2 bulan

1-2 tahun Tiap 3 bulan

2 – 3 tahun Tiap 4 bulan

> 3 tahun Tiap 6 bulan

Sebaiknya T4 dan TSH diperiksa setelah 2 minggu perubahan dosis tiroksin.

41
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Pemantauan lainnya meliputi :


• Pertumbuhan
• Perkembangan
• Fungsi mental dan kognitif
• Gejala kekurangan/kelebihan dosis tiroksin
• Tes pendengaran
• Umur tulang

Gambar 25. Alur follow up hasil skrining hipotiroid kongenital


Sumber : Pedoman Umum Pelaksanaan Skrining Hipotiroid Kongenital
(Pokjanas Hipotiroid Kongenital Kementrian Kesehatan)

42
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Daftar Pustaka

1. Rustama DS, Fadil MR, Harahap ER, Primadi A. Newborn screening in


Indonesia. Dalam: David-Padilla C, Abad L, Silao CL, Therell BL.
Southeast Asian J Tropical Med and Public Health 2003; 34 Suppl 3:76-9.
2. Satyawirawan FS. Penapisan hipotiroid congenital. Dalam : Suryaatmadja
M. Pendidikan berkesinambungan patologi klinik 2005. Jakarta:
Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2005. H. 95-104.
3. Pulungan AB. Hipotiroid kongenital (HK). UKK Endokrinologi IDAI,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta.
4. Deliana M, Batubara JR, Tridjaja B, Pulungan AB. Hipotiroidisme
kongenital di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta, tahun 1992-
2002. Sari Pediatri 2003; 5(2):79-84. (Level of Evidence IIB, Grade of
Recommendation B)
5. Bourgeois MJ. Congenital hypothyroidism. Department of Pediatrics,
Division of Pediatric Endocrinology and Metabolism, Texas Tech University
School of Medicine; 2004. h.1-13.
6. LaFranchi S. Thyroid function in preterm infant. Thyroid 1999; 9: 71-8
7. Newborn S. Prog
8. Komite Nasional Skrining Hipotiroid Kongenital. Pedoman Umum
Pelaksanaan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK). Departemen
Kesehatan; 2005.
9. (Deliana)
10. National Guideline Clearinghouse. Update of newborn screening and
therapy for congenital hypothyroidism (2006).
11. Murray MA. Primary TSH screen for congenital hypothyroidism. Summer
2009;1(2):1-5.
12. (Devi)
13. (Satyawirawan FS.)

43
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

C. Skrining Retinopathy of Prematurity

Definisi
Retinopathy of Prematurity (ROP) adalah suatu kelainan retina dari bayi
prematur berat badan lahir rendah (BBLR) yang dapat berpotensi
mengakibatkan kebutaan.

Epidemiologi
Prevalensi ROP pada studi di Panti Netra di Indonesia melaporkan
prevalensi ROP sebesar 1.1 %.1,2 Namun dengan meningkatnya harapan hidup
bayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah di negara berkembang
akibat kemajuan teknologi perawatan neonatus, ROP berkembang menjadi
suatu masalah yang berarti.1

Faktor risiko
Beberapa keadaan dilaporkan sebagai faktor risiko berkembangnya ROP
pada bayi prematur/BBLR. Studi yang dilakukan Karna, dkk (2004) terhadap
faktor risiko terjadinya ROP, dikatakan bahwa jenis kelamin, sindroma
distress respiratori, terapi 36 minggu usia pasca konsepsi dan penggunaan
steroid prenatal tidak menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap ROP
berat. Kejadian ROP menurun pada usia kehamilan 26-28 minggu (OR:4.12,
95% IK: 1.05–16.11) dibandingkan pada usia kehamilan 25 minggu (OR:11.27,
95% IK: 2.61 –48.66). Dilaporkan juga bahwa pemberian oksigen lebih dari 2
minggu meningkatkan insidens ROP berat (OR:4.09, 95% IK: 1.52–11.03).3
Shah VA (2005) menyatakan insidens ROP diantara bayi dengan berat
lahir sangat rendah sebesar 29.2%. Terdapat hubungan bermakna antara
ROP dan bayi dengan berat badan yang semakin rendah, semakin muda
(imatur), atau sakit. Usia median untuk onset ROP adalah 35 minggu (dari 31-
40 minggu) usia postmenstrual. Bayi dengan usia gestasi < 30 minggu dan
atau bayi dengan berat lahir < 1.000 g merupakan ambang batas risiko ROP.
Faktor risiko utama untuk terjadinya hal tersebut antara lain preeklamsia
maternal, berat lahir, dan kejadian perdarahan pulmonal, durasi ventilasi dan
ventilasi tekanan positif yang berlanjut. Untuk mencegah ROP, diperlukan
pencegahan terhadap kejadian prematuritas, mengontrol preeklamsia, serta
menggunakan ventilasi dan terapi oksigen secara bijaksana.4

Skrining
Pada bayi aterm retina berkembang sempurna, dan ROP tidak dapat
terjadi. Namun, pada bayi prematur, perkembangan retina yang berjalan dari
papil nervus optikus ke anterior selama masa gestasi berlangsung secara
tidak lengkap, dengan tingkat imaturitas retina bergantung terutama pada
derajat prematuritas saat lahir.
Perhatian dan perawatan yang efektif diperlukan, dimana bayi prematur
yang berisiko mendapatkan pemeriksaan retina yang terjadwal baik.
Pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan oleh seorang spesialis mata yang
terlatih dalam skrining ROP pada bayi prematur. Demikian juga spesialis anak
yang merawat bayi prematur dengan risiko ini menyadari akan pengaturan
jadwal ini.

44
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

a. Tujuan skrining
Tujuan suatu program skrining yang efektif adalah untuk
mengidentifikasi bayi prematur yang memerlukan terapi ROP (ROP threshold,
ROP prethreshold), tapi juga dengan meminimalisasi sejumlah pemeriksaan
yang penuh stres ini bagi si bayi sakit.
ROP merupakan kelainan yang berpotensi menyebabkan kebutaan,
namun sebetulnya kebutaannya dapat dicegah. Identifikasi dini dilanjutkan
dengan terapi yang dilakukan dalam kerangka waktu yang tepat, akan dapat
mencegah kebutaan.
Walaupun tanpa terapi, 85% kasus ROP dapat mengalami regresi
spontan, dan dari 15% yang mengalami progresi , 85% di antaranya berespon
baik dengan terapi laser ataupun krioterapi.

b. Pedoman skrining
Pedoman Skrining ROP ditetapkan pada banyak negara. Perlu diingat
bahwa parameter skrining ini dapat berbeda antar negara yang satu dengan
lainnya.
Komite/Pokja Nasional ROP yang dibentuk pada Indonesia National ROP
Workshops bulan Januari 2009 di Jakarta merekomendasikan beberapa hal
berkaitan dengan bayi prematur dan ROP, diantaranya adalah Parameter
Skrining ROP pada bayi prematur sebagai berikut:5
- Bayi dengan berat lahir <1500g atau usia gestasi <34 minggu harus
diperiksa untuk kemungkinan terjadinya ROP
- Pemeriksaan harus dimulai selama minggu ke 4 atau pada usia
postmenstrual 32-33 minggu
- Pemeriksaan terhadap bayi dengan berat lahir lebih besar atau usia gestasi
lebih tinggi daripada yang disebutkan di atas dapat dilakukan sesuai
permintaan neonatologis/spesialis anak
Data bayi yang diperiksa harus dilakukan menurut standar pelaporan
yang sudah ditetapkan dan dikeluarkan oleh Komite/Pokja Nasional ROP
(lihat lampiran).6

c. Teknik Pemeriksaan
Sarana /Prasarana:
• Dilatasi pupil dengan tetes mata siklopentolat 0.5% dan fenilefrin 2.5%,
paling tidak 30 menit sebelum pemeriksaan.
• Oftalmoskopi indirek sebagai standar baku emas.
• RetCam 120, alternatif teknik baru skrining
• Penulisan dan penyimpanan data sesuai stand
• Informasi untuk orang tua oleh spesialis mata, dengan didampingi seorang
staf NICU/ruang rawat intermediate

d. Pengakhiran skrining:
Skrining dilanjutkan sampai tidak mempunyai risiko lagi terhadap
berkembangnya ROP secara serius:
• Regresi ROP dengan terapi
• Vaskularisasi matur secara lengkap di seluruh retina
• Matur sampai zona 3 tanpa ROP
• Usia gestasi 45 minggu dan tanpa adanya threshold disease atau
perburukan ROP

45
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

• Regresi tanpa terapi dengan pemeriksaan yang stabil

e. Penundaaan skrining:
Apabila keputusan untuk melakukan penundaan skrining dibuat atas
alasan klinis, maka hal tersebut haruslah merupakan keputusan bersama
antara dokter mata dengan tim dokter perinatologi dengan
mempertimbangkan risiko penundaan tersebut. Keputusan tersebut harus
ditulis dalam catatan medik bayi dengan menjelaskan secara jelas alasan
ditundanya skrining dan pemeriksaan harus dijadwalkan kembali dalam
segera setelah waktu pemeriksaan yang seharusnya.

Klasifikasi ROP
The International Classification of ROP (ICROP) mengklasifikasikan
kelainan pada ROP berdasarkan : 7
lokasi keterlibatan retina berdasarkan zona (zona 1-3);
stadium atau beratnya retinopati pada persambungan retina vaskuler dan
avaskuler (stadium 1-5);
luasnya keterlibatan retina berdasarkan arah jarum jam;
ada/tidaknya dilatasi vena serta lekukan pembuluh darah polus posterior.
(Gambar klasifikasi ROP, lihat lampiran)

Gambar 26. Klasifikasi Zona ROP


Sumber: Kuschel C, Dai S. Retinopathy of Prematurity.
Newborn Services Clinical Guideline. 2007.

Catatan penting:
- Kerjasama yang baik antara spesialis mata dan neonatologis/spesialis anak
sangat penting untuk mendapatkan hasil yang baik
- Buatlah perencanaan jadwal yang baik untuk pemeriksaan follow-up pada
saat pasien akan dipulangkan:

46
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

 Dokter spesialis anak (neonatologis) dan dokter spesialis mata perlu


membuat rencana follow-up pasien.
 Sebaiknya tunda pemulangan pasien apabila follow-up mata belum
dijadwalkan.
 Buatlah pasien menyadari tanggung jawabnya untuk membawa
bayinya pada pemeriksaan follow-up mata seperti dijadwalkan.

Tatalaksana
Observasi8
Scleral Buckle
Vitrektomi
Cryotherapy8
Laser8

Komplikasi
Katarak
Glaukoma
Kerusakan kornea
Atrofi nervus optikus
Kerusakan pigmen fovea
Miopia8
Strabismus8
Ablasi retina8

REKOMENDASI HTA

1. Bayi dengan berat lahir <1500g atau usia gestasi <34 minggu harus
diperiksa untuk kemungkinan terjadinya ROP. (Rekomendasi C LoE IV)

2. Pemeriksaan harus dimulai selama minggu ke 4 atau pada usia


postmenstrual 32-33 minggu. (Rekomendasi C LoE IV)

3. Pemeriksaan terhadap bayi dengan berat lahir lebih besar atau usia gestasi
lebih tinggi daripada yang disebutkan di atas dapat dilakukan sesuai
permintaan neonatologis/spesialis anak. (Rekomendasi C LoE IV)

Sumber : Komite/Pokja Nasional ROP 2009

47
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Daftar pustaka

1 Sitorus RS, Abidin MS, Lorenz B, Prihartono. Prevalence of ROP in Indonesia:


results from School for the Blind studies in Java island. Acta Medica
Lithuanica 2006;13:204-6
2 Sitorus RS, Abidin MS, Prihartono J. Causes and temporal trends of childhood
blindness in Indonesia: study at schools for the blind in Java. Br J
Ophthalmol. 2007 Sep;91(9):1109-13
3 Karna P, Muttineni J, Angell L, Karmaus W. Retinopathy of prematurity and
risk factors:a prospective cohort study. BMC Pediatrics 2005, 5:18.
4 Shah VA. Incidence, Risk Factors of Retinopathy of Prematurity Among Very
Low Birth Weight Infants in Singapore. Ann Acad Med Singapore 2005;34:169-
78.
5 Indonesia National Committee on ROP. Report on The first National ROP
Workshops. Jakarta, 2009.
6 International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity.
The international classification of retinopathy of prematurity revisited. Arch
Ophthalmol 2005; 123(7):991-999.
7 International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity.
The international classification of retinopathy of prematurity revisited. Arch
Ophthalmol 2005; 123(7):991-999.
8 The Early Treatment for Retinopathy of Prematurity Comparative Group. The
Early Treatment for Retinopathy of Prematurity Study: structural findings at
age 2 years. Br J Ophthalmology 2006;90:1378-82.doi:
10.1136/bjo.2006.098582.

48
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

BAB IV
PERMASALAHAN BAYI BARU LAHIR

A. Asfiksia Neonatorum

Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak


tahun 2000 – 2003 asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai
penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis
neonatorum dan kelahiran prematur.1,2 Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan
setelah mengalami asfiksia saat lahir, kini hidup dengan morbiditas jangka panjang
seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan belajar.3 Data dari Riset
Kesehatan Dasar Depkes tahun 2007 menyatakan bahwa kematian pada bayi baru
lahir usia 0-6 hari 35,9% disebabkan oleh gangguan pernafasan.4 WHO
mendefinisikan asfiksia neonatorum sebagai kegagalan bernapas secara spontan
dan teratur segera setelah lahir.5
Dalam rangka menegakkan diagnosis, dilakukan anamnesis untuk
mendapatkan faktor risiko terjadinya asfiksia neonatorum. Kemudian dilakukan
pemeriksaan fisis sesuai dengan algoritma resusitasi neonatus, yaitu: 1) Bayi tidak
bernafas atau menangis; 2) Denyut jantung kurang dari 100x/menit; 3) Tonus otot
menurun; 4) Cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa mekonium pada
tubuh bayi; 5)BBLR.

Tabel 4. Faktor risiko asfiksia neonatorum


Faktor Faktor
Faktor risiko antepartum risiko risiko
intrapartum janin
Primipara 7 Malpresentasi7 Prematuritas3,7
Penyakit pada ibu:3 Partus lama7 BBLR3,7
-
Demam saat kehamilan Persalinan yang sulit dan Pertumbuhan
- Hipertensi dalam kehamilan traumatik7 janin terhambat3,7
-
Anemia Mekoneum dalam ketuban3,7 Kelainan
-
Diabetes mellitus Ketuban pecah dini3 kongenital3,7
-
Penyakit hati dan ginjal Induksi Oksitosin
-
Penyakit kolagen dan Prolaps tali pusat3
pembuluh darah
Perdarahan antepartum3,7
Riwayat kematian neonatus
sebelumnya7
Penggunaan sedasi, anelgesi
atau anestesi3

49
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Bayi Lahir

Cukup bulan? Ya Perawatan rutin :


Air ketuban jernih ? Berikan kehangatan
Bernapas atau menangis ? Bersikan jalan nafas
Tonus otot baik ? Keringkan
Nilai warna kulit

Berikan kehangatan
30 detik

Posisikan, bersihkan jalan napas* (bila


perlu)
Keringkan,rangsang, posisikan lagi

Evaluasi napas, frekuensi denyut jantung Bernapas, FJ>100, kemerahan Perawatan suportif
dan warna

Bernapas, FJ>100,
sianosis
kemerahan
Apneu Beri tambahan
atau oksigen
FJ<100
30 detik

sianosis menetap
Ventilasi efektif Perawatan
Berikan ventilasi tekanan positif*(VTP)
FJ> 100 & kemerahan Pasca resusitasi

FJ < 60 FJ > 60

Lakukan ventilasi tekanan positif*


Kompresi dada
30 detik

FJ < 60

Berikan epinefrin* Nilai kembali efektivitas :


Ventilasi
Kompresi dada
Intubasi endotrakeal
Pemberian epinefrin
Pertimbangkan kemungkinan :
Hipovolemia
FJ< 60 atau sianosis menetap
atau ventilasi tidak berhasil

FJ = Frekuensi Jantung Pertimbangkan :


*Intubasi endotrakeal dapat Malformasi jalan napas
dipertimbangkan pada beberapa langkah Gangguan paru seperti
pneumotoraks Pertimbangkan untuk
Hernia diafragmatika menghentikan resusitasi
Penyakit jantung bawaan

Gambar 27. Algoritma resusitasi neonatus6

50
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Penatalaksanaan resusitasi dasar pada penanganan segera asfiksia neonatorum


dilakukan sesuai dengan algoritma tatalaksana asfiksia neonatorum yang
direkomendasikan American Heart Association (AHA)/American Academy of
Pediatrics (AAP)6, dengan melakukan beberapa penyesuaian:

1. Tim resusitasi
Di tingkat puskesmas, bidan harus dapat mengantisipasi, mengenali gejala
asfiksia dan dapat memberikan resusitasi dasar dengan segera, bila diperlukan
segera melakukan rujukan ke rumah sakit. Di tingkat pelayanan kesehatan yang
lebih tinggi, tiap rumah sakit yang menolong persalinan harus memiliki tim
resusitasi yang terdiri dari dokter dan paramedis yang telah mengikuti pelatihan
resusitasi neonatus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi.7

2. Alat resusitasi
Di tingkat puskesmas, harus tersedia minimal balon mengembang sendiri (self
inflating bag/ ambu bag) bagi pelaksanaan ventilasi dalam resusitasi asfiksia
neonatorum. Balon mengembang sendiri juga minimal harus ada sebagai cadangan
dimanapun resusitasi dibutuhkan, bila sumber gas bertekanan gagal atau T-piece
resusitator tidak berfungsi.8 Di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi,
rumah sakit harus dilengkapi dengan alat ventilasi yang lebih canggih. Neopuff
harus ada ditingkat ini.

3. Penggunaan oksigen
Penelitian Saugstad dkk9,10 menyatakan bahwa penggunaan oksigen aliran
bebas (21%) menurunkan risiko mortalitas dan hipoksik iskemik ensefalopati. 11,12,13
Penelitian Tan dkk14 menyatakan bahwa saat ini belum cukup bukti yang bisa
dijadikan dasar untuk merekomendasikan penggunaan oksigen aliran bebas
sebagai ganti oksigen 100%, karena beberapa penelitian yang menggunakan
oksigen aliran bebas tetap menggunakan oksigen 100% sebagai cadangan pada
lebih dari ¼ objek penelitiannya. Karenanya bila oksigen aliran bebas (O 2 21%)
digunakan pada awal resusitasi bayi-bayi cukup bulan, oksigen 100% tetap harus
tersedia sebagai cadangan bila resusitasi gagal.

4. Penggunaan oksimeter untuk monitoring dan panduan pemberian oksigen


Alat ini dapat mendeteksi hipoksia pada bayi sebelum bayi terlihat sianosis
secara klinis.15 Oksimeter tidak dapat digunakan pada kondisi hipovolemia dan
vasokontriksi. Keakuratannya ada pada kisaran saturasi oksigen 70-100% (± 2%).
Dibawah 70% alat ini kurang akurat. Pada pemakaian klinis, oksimeter dapat
mendeteksi hipoksia secara cepat sehingga dapat dapat dijadikan alat monitoring
dan panduan untuk pemberian oksigen secara lebih akurat.15,16
Resusitasi pada bayi kurang bulan memerlukan tambahan tenaga terampil,
termasuk petugas yang terlatih dalam melakukan intubasi endotrakeal, dan
tambahan sarana untuk menjaga suhu tubuh. Jika bayi diantisipasi kurang bulan
secara signifikan (misalnya <28 minggu), diperlukan plastik pembungkus
(polyethylene) yang dapat dibuka-tutup serta alas hangat yang dapat dipindah-
pindahkan siap pakai. Penelitian Vohra dkk17 pada neonatus dengan usia gestasi
<37 minggu atau berat lahir < 2.500 gram menunjukkan bahwa penggunaan
plastik pembungkus dalam 10 menit pertama setelah lahir pada bayi usia gestasi <
28 minggu efektif, namun tidak terbukti efektif pada usia gestasi 28-31 minggu.

51
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Bayi dibungkus plastik transparan dari ujung kaki sampai sebatas leher, kepala
dikeringkan dan dibiarkan terbuka. Plastik yang digunakan adalah plastik
transparan atau kantong pembungkus yang terbuat dari low density polyethylene
(LDPE) atau linear low density polyethylene (LLDPE) atau polyvinylidene chloride
(PVDC) atau plastik membran semi-permeabel seperti Opsite® atau Tegaderm®.18
Inkubator transpor juga diperlukan untuk memindahkan bayi ke ruang perawatan
setelah resusitasi.
Blender oksigen diperlukan untuk memberikan konsentrasi oksigen antara
21% sampai 100%. Selang bertekanan tinggi menghubungkan oksigen dan sumber
udara ke blender mengatur gas dari 21% ke 100%. Pengatur aliran dapat
dihubungkan ke blender dengan kecepatan aliran 0 sampai 20 L/menit untuk
mendapatkan konsentrasi oksigen yang dapat diberikan langsung ke bayi atau
melalui alat tekanan positif.

Secara garis besar hal-hal berikut harus diperhatikan pada resusitasi bayi
kurang bulan :
a. Menjaga bayi tetap hangat
Bayi yang lahir kurang bulan hendaknya mendapatkan semua langkah untuk
mengurangi kehilangan panas.
b. Pemberian oksigen
Saugstad dkk9,10 menyatakan bahwa penggunaan oksigen aliran bebas (21%)
menurunkan risiko mortalitas dan hipoksik iskemik ensefalopati 11,12,13
Sementara Tan dkk14 menyatakan bahwa saat ini belum cukup bukti untuk
merekomendasikan penggunaan oksigen aliran bebas sebagai ganti oksigen
100%, karena beberapa penelitian yang menggunakan oksigen aliran bebas
tetap menggunakan oksigen 100% sebagai cadangan pada lebih dari ¼ objek
penelitiannya.19
Untuk menghindari pemberian oksigen yang berlebihan saat resusitasi
pada bayi kurang bulan, digunakan blender oksigen dan oksimeter agar jumlah
oksigen yang diberikan dapat diatur dan kadar oksigen yang diserap bayi dapat
diketahui. Saturasi oksigen lebih dari 95% dalam waktu lama, terlalu tinggi
bagi bayi kurang bulan dan berbahaya bagi jaringannya yang imatur.7
c. Ventilasi
Bayi kurang bulan mungkin sulit diventilasi dan juga mudah cedera dengan
ventilasi tekanan positif yang intermiten. Hal-hal berikut perlu
dipertimbangkan:7
i.Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
Jika bayi bernapas spontan dengan frekuensi jantung diatas 100 x/menit
tapi tampak sulit bernapas dan sianosis pemberian CPAP mungkin
bermanfaat. CPAP diberikan dengan memasang sungkup balon yang tidak
mengembang sendiri atau T-piece resuscitator pada wajah bayi dan
mengatur katup pengontrol aliran atau katup Tekanan Positif Akhir
Ekspirasi (TPAE) sesuai dengan jumlah CPAP yang diinginkan. Pada
umumnya TPAE sampai 6 cmH2O cukup. CPAP tidak dapat digunakan
dengan balon mengembang sendiri.
ii.Tekanan terendah digunakan untuk memperoleh respons yang adekuat
Jika VTP intermiten diperlukan karena apnu, frekuensi jantung kurang
dari 100 x/menit, atau sianosis menetap, tekanan awal 20-25 cmH2O
cukup untuk sebagian besar bayi kurang bulan. Jika tidak ada perbaikan
frekuensi jantung atau gerakan dada, diperlukan tekanan yang lebih tinggi.

52
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

iii.Pemberian surfaktan secara signifikan


Bayi sebaiknya mendapat resusitasi lengkap sebelum surfaktan diberikan.
Penelitian menunjukkan bayi yang lahir kurang dari usia kehamilan 30
minggu mendapatkan keuntungan dengan pemberian surfaktan setelah
resusitasi, sewaktu masih di kamar bersalin atau bahkan jika mereka
belum mengalami distres pernapasan.
iv.Pencegahan terhadap kemungkinan cedera otak

Setelah resusitasi, perlu dilakukan pemantauan kadar gula darah, kejadian


apnu dan bradikardi pada bayi, jumlah oksigen dan ventilasi yang tepat, pemberian
minum yang dilakukan secara perlahan dan hati-hati sambil mempertahankan
nutrisi melalui intravena dan pemantauan kecurigaan tehadap infeksi.

Pencegahan asfiksia neonatorum

Pencegahan, eliminasi dan antisipasi terhadap faktor-faktor risiko asfiksia


neonatorum menjadi prioritas utama. Bila ibu memiliki faktor risiko yang
memungkinkan bayi lahir dengan asfiksia, maka langkah-langkah antisipasi harus
dilakukan. Pemeriksaan antenatal dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan
seperti anjuran WHO untuk mencari dan mengeliminasi faktor-faktor risiko.20, 21
Bila bayi berisiko lahir prematur yang kurang dari 34 minggu, pemberian
kortikosteroid 24 jam sebelum lahir menjadi prosedur rutin yang dapat membantu
maturasi paru-paru bayi dan mengurangi komplikasi sindroma distres pernapasan
(respiratory distress syndrome).20
Pada saat persalinan, penggunaan partogram yang benar dapat membantu
deteksi dini kemungkinan diperlukannya resusitasi neonatus. Penelitian Fahdhly
dan Chongsuvivatwong22 terhadap penggunaan partogram oleh bidan di Medan
menunjukkan bayi yang dilahirkan dengan skor apgar 1 menit < 7 berkurang
secara signifikan dengan pemantauan partogram WHO.
Adanya kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar
tenaga obstetri di kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan
situasi yang tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan. Setiap
anggota tim persalinan harus dapat mengidentifikasi situasi persalinan yang dapat
menyebabkan kesalahpahaman atau menyebabkan keterlambatan pada situasi
gawat.

53
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

REKOMENDASI HTA

1. Asfiksia neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka
Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera
ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif,
kuratif dan rehabilitatif. [Rekomendasi B LoE IIb]
2. Secara umum definisi asfiksia neonatorum yang digunakan mengacu pada
definisi WHO. Namun begitu, 3% bayi dengan asfiksia neonatorum yang
mengalami komplikasi dan sesuai dengan 4 kriteria klinis asfiksia menurut
AAP/ACOG perlu penanganan dan pemantauan dengan sarana yang lebih
lengkap tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. [Rekomendasi C LoE IV]
3. Dalam penatalaksanaan asfiksia neonatorum, direkomendasikan ketersediaan
alat-alat/bahan resusitasi di tingkat pelayanan dasar berupa oksigen, sungkup
oksigen, balon mengembang sendiri, penghangat, pipa orogastrik, laringoskop,
pipa endotrakeal, kateter penghisap, kateter umbilikal dan obat-obat resusitasi
seperti cairan kristaloid dan epinefrin. [Rekomendasi C LoE IV]
4. Tenaga resusitasi di tingkat pelayanan dasar direkomendasikan dapat melakukan
resusitasi dasar yang bersertifikasi terutama memberikan ventilasi yang adekuat.
[Rekomendasi C LoE IV]
5. Fasilitas pelayanan kesehatan pada pelayanan primer direkomendasikan
ketersediaan alat-alat/bahan resusitasi berupa oksigen, balon mengembang
sendiri, sungkup oksigen, penghangat, pipa orogastrik, kateter penghisap, kateter
umbilikal dan obat-obat resusitasi seperti cairan kristaloid dan epinefrin.
[Rekomendasi C LoE IV]

54
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

B. Perawatan Bayi Berat Lahir Rendah dengan Metode Kanguru

Perawatan metode kanguru (PMK) adalah perawatan untuk bayi baru lahir dengan
melakukan kontak langsung antara kulit bayi dengan kulit ibu (skin-to-skin contact).23
Perawatan metode kanguru ini bermanfaat terutama untuk bayi kurang bulan.
Terdapat dua tipe PMK:
1. PMK intermiten
PMK yang dapat dilakukan saat bayi belum stabil (masih mendapatkan
sokongan medis)
Waktu: dilakukan saat ibu menjenguk bayinya, lama dikerjakan sebaiknya
lebih dari 1 jam
Tempat: perawatan bayi (NICU/Special care nursery)
2. PMK kontinu
PMK yang dilakukan saat bayi sudah dalam keadaan stabil (tidak ada penyakit
akut)
Waktu: ibu dan bayi bersama dalam 24 jam
Tempat : ruangan rawat khusus PMK kontinu
Kriteria Pelaksanaan PMK
PMK intermiten:
Bayi kurang bulan yang masih memerlukan pemantauan kardiopulmonal, oksimetri,
pemberian oksigen terapi, cairan intravena, dan pemantauan lain, keadaan tersebut
tidak mencegah pelaksanaan PMK.24,25
PMK kontinu:
Bayi yang memenuhi kriteria untuk dilakukan PMK adalah bayi prematur (kurang
bulan), berat lahir ≤2000 gram, tidak ada kegawatan pernapasan dan sirkulasi, tidak
ada kelainan kongenital yang berat, dan mampu bernapas sendiri. Ibu dapat
memberikan nutisi (ASI dan formula secara oral maupun melalui pipa lambung)
Meskipun demikian, pada sebagian besar kasus PMK dapat segera dilakukan setelah
bayi lahir.23
Implementasi PMK
Komponen PMK
Terdapat empat komponen PMK yaitu :
1. Kangaroo position (posisi)
2. Kangaroo nutrition (nutrisi)
3. Kangaroo support (dukungan)
4. Kangaroo discharge (pemulangan) dan pemantauan ketat

Kangaroo position (posisi)


Bayi diletakkan diantara payudara dengan posisi tegak lurus, dada bayi menempel ke
dada ibu. Posisi kanguru ini disebut juga dengan kontak kulit-ke-kulit, karena kulit
bayi mengalami kontak seluas-luasnya secara langsung dengan kulit ibu.23,26

55
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Gambar 28. Memposisikan bayi untuk PMK23


Sumber: World Health Organization. Kangaroo mother care.A practical guide. 1st ed.
2003.

Posisi bayi diamankan dengan kain panjang atau pengikat lainnya. Kepala bayi
dipalingkan ke sisi kanan atau kiri, dengan posisi sedikit tengadah (ekstensi). Tepi
pengikat tepat berada di bawah kuping bayi. Posisi kepala seperti ini bertujuan untuk
menjaga agar saluran napas tetap terbuka dan memberi peluang agar terjadi kontak
mata antara ibu dan bayi. Hindari posisi kepala terlalu fleksi atau ekstensi. Tungkai
bayi haruslah dalam posisi ”kodok”; tangan harus dalam posisi fleksi. 23
Kain diikatkan dengan kuat setinggi dada bayi agar bayi tidak tergelincir saat ibu
bangun dari duduk. Perut bayi sebaiknya berada di sekitar epigastrium ibu dan
diperhatikan agar tidak tertekan. Dengan cara ini bayi dapat melakukan pernapasan
perut dan napas ibu akan merangsang bayi. 23
Ibu dapat menggunakan baju berkancing depan. Bayi menggunakan popok dan topi.
ibu tetap dapat melakukan pekerjaan ringan sehari-hari. Bila ibu ingin kekamar
mandi atu melakukan aktivitas yang mengharuskan tidak dapat menggendong
bayinya maka anggota keluarga lain dapat bergantian menggendong bayi tersebut.
Ibu dapat tidur dengan kepala lebih tinggi menggunakan beberapa bantal dan tetap
melaksanakan PMK.

Kangaroo nutrition (nutrisi)


Posisi kanguru sangat ideal bagi proses menyusui. PMK membuat proses menyusui
menjadi lebih berhasil, proses menyusui menjadi lebih lama dan dapat meningkatkan
volume ASI.23 Pemberian nutrisi pada saat melakukan PMK dapat ASI atau formula
baik oral maupun melalui pipa lambung. Cara dan waktu pemberian nutrisi sesuai
protokol untuk BBLR/neonatus kurang bulan.

Kangaroo support (dukungan)


Bentuk dukungan pada PMK dapat berupa dukungan fisik maupun emosional.
Dukungan dapat diperoleh dari petugas kesehatan, seluruh anggota keluarga, ibu
dan masyarakat. Tanpa adanya dukungan, akan sangat sulit bagi ibu untuk dapat

56
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

melakukan PMK dengan berhasil. Wanita hamil sebaiknya sudah diberikan informasi
dan edukasi tentang PMK sejak kunjungan antenatal pertama.
Edukasi yang diberikan kepada ibu di antaranya harus mengandung informasi
mengenai pemantauan terhadap tanda bahaya. Berikut ini beberapa tanda bahaya:
Kesulitan bernapas : dada tertarik ke dalam, merintih
Bernapas sangat cepat atau sangat lambat
Serangan apnea sering dan lama
Bayi terasa dingin : suhu bayi di bawah normal walaupun telah dilakukan
penghangatan
Bayi teraba panas
Sulit minum: bayi tidak lagi terbangun untuk minum, berhenti minum atau
muntah
Kejang
Diare
Kulit menjadi kuning

Kangaroo discharge (pemulangan) dan pemantauan


Pemulangan berarti ibu dan bayinya boleh pulang ke rumah dengan tetap menjalani
PMK di rumahnya dan dapat dilakukan pemantauan oleh pusat pelayanan kesehatan
terdekat dengan domisili keluarga. PMK dapat dipulangkan dari rumah sakit ketika
telah memenuhi kriteria dibawah ini: 23
Ibu dan bayi :
Kesehatan bayi secara keseluruhan dalam kondisi baik dan tidak ada apnea atau
infeksi
Bayi minum dengan baik
Berat bayi selalu bertambah (sekurang-kurangnya 15g/kg/hari atau 20-30
g/hari) untuk sekurang-kurangnya tiga hari berturut-turut
Ibu mampu merawat bayi dan dapat datang secara teratur untuk melakukan
follow-up

Tujuan tindak lanjut dan monitoring (pemantauan):


1. Memberikan pelayanan pada bayi berat lahir rendah/ prematur pascarawat inap
yang telah menjalani Perawatan Metode Kanguru
2. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan bayi yang menjalani PMK
3. Skrining gangguan pertumbuhan dan perkembangan bayi yang menjalani PMK di
rumah
4. Memfasilitasi perawatan metode kanguru dari yang intermiten menjadi kontinu
hingga bayi dapat dilepas dari PMK
5. Untuk mempromosikan pemberian ASI eksklusif
6. Mempromosikan dan melakukan imunisasi
7. Meningkatkan angka kesintasan BBLR

Waktu yang baik saat ibu melakukan pemantauan adalah:


1. Dua kali kunjungan perminggu sampai dengan 37 minggu usia pascamenstruasi
2. Satu kali kunjungan perminggu setelah 37 minggu

57
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

REKOMENDASI HTA

1. PMK terbukti dapat menstabilkan suhu bayi dengan menggunakan panas badan
ibu dan sama efektif bahkan lebih baik dari inkubator. [Rekomendasi A LoE Ib]
2. PMK memberikan ibu kepercayaan diri dalam merawat bayi berat lahir rendah,
PMK kontinu di RS lebih efisien dalam hal maka keperluan tenaga kesehatan
khususnya perawat. Bayi yang belum dapat dilakukan PMK kontinu, dianjurkan
untuk melakukan PMK intermitten untuk membiasakan ibu merawat bayi dengan
PMK. [Rekomendasi A LoE Ia]
3. Ibu yang melakukan PMK mempunyai kadar stress hormone (kortisol) yang lebih
rendah sehingga diasumsikan ibu dan bayi lebih tenang/tidak stress.
[Rekomendasi A LoE Ia]
4. PMK direkomendasikan untuk BBLR di Indonesia terutama apabila bayi tersebut
stabil keadaan klinisnya dan hanya memerlukan inkubator untuk perawatannnya.
Pusat pelayanan primer seperti PUSKESMAS dapat meneruskan perawatan BBLR
yang telah di pulangkan dari pusat pelayanan sekunder atau tersier. Pusat
pelayanan kesehatan sekunder dapat melakukan PMK kontinu untuk BBLR yang
masih menggunakan alat kesehatan minimal. PMK dapat dilakukan disemua level
pelayanan kesehatan di Indonesia sesuai dengan sarana dan prasarana yang
tersedia. [Rekomendasi A LoE Ia]
5. Kriteria definitif pemulangan terdiri dari : [Rekomendasi C LoE IV]
Bayi mencapai berat badan minimum yakni 1500 g.
Kesehatan bayi secara keseluruhan dalam kondisi baik dan tidak ada apnea
atau infeksi
Bayi minum dengan baik
Berat bayi selalu bertambah (sekurang-kurangnya 15g/kg/hari) untuk
sekurang-kurangnya tiga hari berturut-turut
Ibu mampu merawat bayi dan dapat datang secara teratur untuk melakukan
follow-up
Bayi yang dipulangkan dengan berat badan < 1800 gram difollow-up setiap
minggu dan dilakukan minimal di RS Umum Daerah, sedangkan dan bayi
dengan berat badan >1800 gram dilakukan follow-up setiap dua minggu; boleh
dilakukan di Puskesmas.
6. Rekomendasi waktu pemantauan: [Rekomendasi C LoE IV]
Dua kali kunjungan follow up perminggu sampai dengan 37 minggu usia
pascamenstruasi.
Kunjungan pertama paling lambat dalam 48 jam setelah pemulangan. Satu kali
kunjungan follow up perminggu setelah 37 minggu.

58
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

C. Hiperbilirubinemia Neonatal

Definisi dan Epidemiologi


Jaundice/kuning terjadi pada sekitar 60% bayi baru lahir yang sehat dengan usia
gestasi ≥ 35 minggu.27,28
Sebagian besar kuning adalah jinak, akan tetapi karena potensi toksik dari
bilirubin, semua bayi lahir harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan
menjadi hiperbilirubinemia berat. 27
Hiperbilirubunemia neonatal: adalah naiknya kadar bilirubin serum total (BST)
melebihi normal, yaitu ≥ 5 mg/dL (86 mol/L). 28,29
Harvard School of Public Health: terdapat 42,7% (n=834) kasus hiperbilirubinemia
pada bayi dengan berat lahir < 2.500 gram (RO=3,45 IK=3,01) dan 47,5% (n=777)
kasus hiperbilirubinemia pada bayi kurang bulan (usia gestasi < 37 minggu)
(RO=4,34 IK=3,77).30
Hiperbilirubinemia neonatal berhubungan dengan penyakit lain seperti anemia
hemolitik, kelainan endokrin metabolik, kelainan anatomi organ hati, dan
infeksi.28
Di Indonesia, dua etiologi terbanyak penyakit hemolitik yang menyebabkan
kuning pada bayi baru lahir, yaitu inkompatibilitas ABO dan defisiensi enzim
glukosa-6-fosfat-dehidrogenase (G6PD).31

Etiologi dan Faktor Risiko


Neonatus tanpa faktor risiko yang teridentifikasi, jarang mengalami peningkatan
bilirubin serum > 12 mg/dL. Banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan level
bilirubin serum. Tabel 2 menampilkan berbagai faktor risiko hiperbilirubinemia
neonatal.28,32
Tertundanya pelepasan mekonium (sumbatan mekonium, tertundanya asupan
minum, dan hipotiroidisme) akan meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. 28,33
Bayi baru lahir dengan risiko tersebut perlu diobservasi ketat sepanjang minggu-
minggu awal kelahirannya.28
Kernikterus: konsekuensi neurologis akibat deposisi bilirubin tidak terkonjugasi
pada jaringan otak (ganglia basal otak). Pada neonatus yang mengalami
kernikterus, akan didapatkan nilai bilirubin yang sangat tinggi – dapat mencapai
> 20-25 mg/dL.28,34
Faktor risiko neurotoksisitas hiperbilirubinemia serta dampak kernikterus
terdapat pada tabel 3 dan 4.28
Penyebab hiperbilirubinemia neonatal dapat diklasifikasikan ke dalam 3
kelompok berdasarkan mekanisme akumulasi bilirubin, yaitu peningkatan
produksi bilirubin, penurunan konjugasi bilirubin dan terganggunya proses
eksresi bilirubin (Tabel 5).28

Tabel 5. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia neonatal.28,35


Faktor maternal Faktor neonatal
Golongan darah ABO atau inkompatibilitas Trauma saat lahir : sefalhematoma,
Rh memar yang luas, persalinan
dengan tindakan
Ibu menyusui (ASI ekslusif) Obat-obatan : sulfisoxazole asetil
dengan eritromisin suksinat
(Pediazole), kloramfenikol

59
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

(chloromycetin)

Obat-obatan : diazepam (Valium), Oksitosin Kehilangan berat badan yang masif


(Pitosin) setelah kelahiran
Etnis : Asia Timur, Native American Infeksi TORCH*
Penyakit Maternal : DM Gestasional Jenis kelamin laki-laki
Polisitemia
Prematuritas
Saudara kandung dengan hiperbilirubinemia
Ikterus dalam 24 jam pascakelahiran
Penyakit autoimun atau hemolitik (contoh :
defisiensi G6PD**)
*TORCH = toxoplasmosis, other viruses, rubella, cytomegalovirus, herpes (simplex) viruses.
**G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase.

Tabel 6. Faktor Risiko Neurotoksisitas Hiperbilirubinemia35

Penyakit hemolitik autoimun


Defisiensi G6PD
Asfiksia
Sepsis
Asidosis
Albumin < 30 mg/dl

Tabel 7. Efek dari Toksisitas Bilirubin pada Neonatus28


Dini Lanjut Kronis
Letargi Iritabilitas Athetoid cerebral palsy
Asupan ASI yang buruk Opistotonus Kehilangan pendengaran
frekuensi tinggi
Suara tangisan dengan nada Gagal nafas/apneu Paralisis terhadap lirikan ke
tinggi atas
Hipotonia Oculogyric crisis Displasia gigi
Hipertonia Retardasi mental ringan
Demam

Tabel 8. Klasifikasi Hiperbilirubinemia neonatal36


Peningkatan Produksi Bilirubin
Kausa hemolitik
Karakteristik : peningkatan kadar bilirubin indirek, >6% retikulosit, konsentrasi hemoglobin <13 g/dl
(130 g/L)
Tes Coomb’s positif : inkompatibilitas faktor Rh, inkompatibilitas ABO, minor antigens
Tes Coomb’s negatif : defek selaput lendir sel darah merah (sferositosis, eliptositosis), defek enzim sel
darah merah (defisiensi G6PD*, defisiensi piruvat kinase), obat (Pediazole, streptomisin, vitamik K),
abnormalitas sel darah merah (hemoglobinopati), sepsis
Kausa nonhemolitik
Karakteristik : peningkatan kadar bilirubin indirek, persentase retikulosit normal
Kelainan ekstravaskular : sefalhematoma, memar, perdarahan SSP, swallowed blood
Polisitemia : transfusi darah ibu-janin, transfusi darah antar janin kembar, keterlambatan penjepitan
tali pusat
Gangguan sirkulasi enterohepatik : fibrosis kistik, atresia ileum, stenosis pilorus, penyakit
Hirschprung’s, ikterus karena ASI
Penurunan Bilirubin Direk
Karakteristik : peningkatan level bilirubin indirek, persentase retikulosit normal

60
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Ikterus fisiologis
Sindroma Chrigler-Najjar tipe 1 dan 2
Sindroma Gillbert
Hipotiroidisme
Ikterus karena ASI
Gangguan pada Eksresi Bilirubin
Karakteristik : peningkatan bilirubin direk dan indirek, tes Coomb’s negatif, nilai bilirubin direk > 2
mg/dl (34 mol/L) atau > 20% dari total bilirubin serum, bilirubin direk pada urin
Obstruksi bilier : atresia bilier, choledocal cyst, sklerosis kolangitis primer, batu empedu, keganasan,
sindroma Dubin-Johnson, sindroma Rotor’s
Infeksi : sepsis, infeksi saluran kemih, sifilis, toksoplasmosis, tuberkulosis, hepatitis, rubella, herpes
Kelainan metabolisme : defisiensi alfa1 antitripsin, fibrosis kistik, galaktosemia, glycogen storage disease,
penyakit Gaucher’s, hipotiroidisme, penyakit Wilson’s, penyakit Niemann-Pick
Abnormalitas kromosom : sindroma Turner’s, sindroma trisomi kromosom 18 dan 21
Obat-obatan : aspirin, asetaminofen, sulfa, alcohol, rifampisin (Rifadin), eritromisin, kortikosteroid,
Tetrasiklin
*G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase.

Diagnosis dan Manifestasi Klinis


Ikterus fisiologis pada bayi baru lahir mengikuti pola tertentu, yaitu kadar
bilirubin serum tertinggi mencapai 5-6 mg/dL (86-103 mol/L) dan dicapai pada
hari ke-3 sampai 4 kemudian menurun pada 1 minggu pertama pascakelahiran;
disebabkan antara lain karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup
eritrosit, imaturitas ambilan hepatik dan proses konjugasi, serta peningkatan
sirkulasi enterohepatik.28,37
Pemberian ASI pada neonatus mungkin meningkatkan risiko terjadinya awitan
dini ikterus fisiologis.28
Neonatus yang minum ASI memiliki kemungkinan 3-6 kali lebih besar untuk
mengalami ikterus sedang (total bilirubin serum > 12 mg/dL) atau ikterus berat
(total bilirubin serum > 15 mg/dL = 257 mol/L) daripada neonatus yang
mendapat susu formula.28
Pada ikterus karena ASI awitan lambat, puncak peningkatan nilai bilirubin terjadi
pada hari ke-6 sampai 14 pascakelahiran. Total bilirubin serum antara 12-20
mg/dL dan sifatnya nonpatologis. Penyebab ikterus karena ASI belum diketahui
secara pasti, namun terdapat teori yang menyatakan suatu substansi dalam ASI
yaitu β-glukoronidase dan asam lemak nonesterifikasi akan menghambat
metabolisme bilirubin.37 Bilirubin serum akan menurun setelah 2 minggu
pascakelahiran, namun mungkin bertahan tinggi dalam 1-3 bulan.28
Jika diagnosis ikterus karena ASI meragukan atau total bilirubin serum terus
meningkat, maka pemberian ASI digantikan sementara dengan susu formula
namun ibu tetap melanjutkan memerah ASI untuk mempertahankan kuantitas
produksi ASI. Penggantian ASI dengan susu formula akan menurunkan bilirubin
total dalam 48 jam (rata-rata 3 mg/dL/hari) – hal ini akan mengkonfirmasi
diagnosis dan proses menyusui dihentikan.28 Meskipun menghentikan ASI akan
menurunkan bilirubin dengan cepat dalam waktu 48 jam dan sekarang ini
merupakan satu-satunya pemeriksaan diagnostik definitif, hal ini tidak selalu
direkomendasikan.38
Ikterus patologis harus dicurigai jika kriteria ikterus fisiologis atau ikterus karena
ASI tidak terpenuhi. Manifestasi ikterus patologis terjadi dalam 24 jam
pascakelahiran, peningkatan total bilirubin serum > 5 mg/dL/hari, dan total
bilirubin serum > 17 mg/dL pada neonatus cukup bulan.39 Hal lain yang perlu

61
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

dipertimbangkan antara lain kejadian ikterus yang memanjang, riwayat penyakit


(sepsis, rubela, toksoplasmosis, perdarahan masif, eritroblastosis fetalis), dan
peningkatan bilirubin direk serum > 2 mg/dL atau > 20% dari total konsentrasi
bilirubin.28
Pemeriksaan fisis pada neonatus dengan ikterus dapat dilakukan dalam ruangan
dengan pencahayaan yang baik dan pada kulitnya disinari cahaya putih (dapat
pula dengan cahaya langsung dari jendela) untuk menilai warna kulit dan
jaringan subkutan. Penyinaran dilakukan pada dahi, dada bagian tengah, lengan,
tungkai, serta telapak tangan dan kaki. Ikterus biasanya dimulai dari bagian
wajah kemudian turun ke batang tubuh sampai ekstremitas. Ikterus dapat hilang
timbul menyerupai warna kulit. Ikterus tidak tampak jika total bilirubin serum <
4 mg/dL (68 mol/L).40
Gambar 3 menampilkan pelaporan penilaian ikterus secara visual. Penilaian
dengan Skala Krammer berdasarkan zona batas pada kulit yang mengalami
ikterus dan intensitas warna kulit (kuning atau oranye – kuning oranye=tidak
terkonjugasi) – sesuai dengan pengukuran level bilirubin transkutaneus (TcB:
transcutaneous bilirubin).40

Gambar 29. Skala Krammer dengan modifikasi41

Perkiraan total bilirubin serum dengan penilaian secara klinis yaitu mengenai
wajah 5 mg/dL; dada bagian atas 10 mg/dL; abdomen 12 mg/dL; sedangkan jika
meliputi sampai telapak tangan dan kaki > 15 mg/dL.28
Perkiraan yang konsisten dan dapat diandalkan untuk memperkirakan total
bilirubin serum adalah ikterus terlihat di atas garis puting susu. Pada keadaan
ini, nilai bilirubin akan bervariasi, namun < 12 mg/dL.40
Jika ikterus telah mencapai pertengahan dada ke bawah maka korelasi antara
pengamatan visual dengan total bilirubin serum akan semakin tidak akurat. Hal
ini disebabkan perbedaan warna kulit diantara etnis, lambatnya deposit pigmen
pada kulit meski nilai bilirubin meningkat, perbedaan persepsi antarpengamat
dan faktor lain yang menyulitkan prediksi secara tepat hanya melalui pengamatan
visual.41
Pemeriksaan terhadap neonatus meliputi warna kulit (pucat), petekiae, pletora,
ekstravasasi darah (misalnya sefalhematoma atau memar), hepatosplenomegali

62
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

(karena anemia hemolitik atau infeksi), tanda sepsis neonatorum, mikrosefali


(infeksi kongenital), kehilangan berat badan, dan tanda dehidrasi. Pemeriksaan
harus pula menggali adakah riwayat kelahiran kurang bulan dan kecil masa
kehamilan pada neonatus.28,38
Gambar 4 menampilkan nomogram untuk menentukan risiko dari 2.840 bayi
baru lahir dengan usia gestasi ≥ 36 minggu dan berat lahir ≥ 2.000 gram / usia
gestasi ≥ 35 minggu dengan berat lahir ≥ 2.500 gram berdasarkan nilai spesifik
serum bilirubin menurut jam.42

*Tatalaksana Bilirubinemia42
Fototerapi Transfusi Tukar
≤24 jam 10-12 (7-10) 20 (18)
25-48 jam 12-15 (10-12) 20-25 (20)
49-72 jam 15-18 (12-15) 25-30 (>20)
>72 jam 18-20 (12-15) 25-30 (>20)
Keterangan :
nilai bilirubin dinyatakan dalam mg/dL – nilai tanda dalam kurung
merupakan nilai bilirubin untuk neonatus dengan faktor risiko
Gambar 30. Nomogram42

Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia
a. Fototerapi
Sebagian besar unit neonatal di Indonesia memberikan fototerapi pada setiap
bayi baru lahir cukup bulan dengan BST ≥ 12 mg/dL atau bayi prematur
dengan BST ≥10 mg/dL tanpa melihat usia. Berikut ini adalah pedoman terapi
sinar pada bayi usia gestasi ≥ 35 minggu yang direkomendasikan oleh

63
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Subcommitte on Hyperbilirubinemia, American Academy of Pediatrics (Gambar


5).35

Gambar 31. Tatalaksana Fototerapi untuk neonatus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu35

Keterangan Gambar 31 :
o Gunakan bilirubin total. Jangan dikurangi dengan bilirubin direk atau bilirubin
terkonjugasi.
o Faktor risiko : penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi signifikan,
instabilitas suhu, sepsis, asidosis, atau albumin < 3.0 g/dL (jika diukur).
o Untuk neonatus 35-37 minggu dengan kondisi sehat, intervensi dapat mengacu pada
garis di sekitar risiko sedang.
o Terapi sinar konvensional/standar dapat dilakukan di RS atau di rumah jika kadar
BST 2-3 mg/dl di bawah garis cut off point (35-50 mg/dl). Terapi sinar di rumah tidak
dianjurkan pada bayi yang mempunyai faktor risiko.
o Fototerapi intensif digunakan bila nilai BST sudah melampaui cut off point untuk
fototerapi pada setiap kategori.

Fototerapi intensif: radiasi dalam spektrum biru-hijau (panjang gelombang


antara 430-490 nm), setidaknya 30 μW/cm2 per nm (diukur pada kulit bayi
secara langsung di bawah pertengahan unit fototerapi) dan diarahkan ke
permukaan kulit bayi seluas-luasnya. Pengukuran harus dilakukan dengan
radimeter spesifik dari manufaktur unit fototerapi tersebut.27
Belum ada standar pasti untuk menghentikan fototerapi, tetapi fototerapi dapat
dihentikan bila kadar BST sudah berada di bawah cut off point dari setiap
kategori.27
Untuk bayi yang dirawat di RS pertama kali setelah lahir (umumnya dengan
BST ≥ 18 mg/dL atau 308 μmol/L) maka fototerapi dapat dihentikan bila kadar
BST turun sampai di bawah 13-14 mg/dL (239 μmol/L).27
Untuk bayi dengan penyakit hemolitik atau dengan keadaan lain yang
difototerapi di usia dini dan dipulangkan sebelum bayi berusia 3-4 hari,

64
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

direkomendasikan untuk pemeriksaan ulang bilirubin 24 jam setelah


dipulangkan.27
Untuk bayi yang dirawat di RS untuk kedua kalinya dengan hiperbilirubinemia
dan kemudian dipulangkan, jarang terjadi kekambuhan yang signifikan
sehingga pemeriksaan ulang bilirubin dilakukan berdasarkan indikasi klinis. 27
Pernah dibandingkan antara pemberian fototerapi secara intermiten dan
kontinu dan hasilnya bervariasi. Tidak ada bukti ilmiah yang dapat dipercaya
dalam penggunaan fototerapi kontinu.27
Fototerapi dapat diinterupsi/dihentikan sesaat pada saat pemberian minum
atau pemeriksaan fisis singkat. Bila kadar bilirubin mencapai zona transfusi
tukar, fototerapi harus diberikan secara kontinu sampai terjadi penurunan
BST yang diharapkan atau sampai dilakukan trasfusi tukar.27
Meskipun sinar matahari memberikan radiasi yang cukup pada gelombang
425-475 nm sebagai fototerapi, tetapi keterpaparan sinar matahari secara
langsung harus dihindari terutama pada kondisi bayi telanjang sebab dapat
meningkatkan risiko kulit terbakar.27
b. Transfusi tukar
Transfusi tukar diindikasikan pada kernikterus, yang biasanya ditandai dengan
nilai total bilirubin serum > 20 mg/dL karena adanya hemolisis.28
Transfusi tukar dipertimbangkan pada keadaan hiperbilirubinemia yang
signifikan.28
Pada neonatus cukup bulan yang tidak mengalami hemolisis, cenderung
toleran terhadap nilai total bilirubin serum yang tinggi, tatalaksana yang
diutamakan adalah fototerapi.28
Transfusi tukar merupakan metode tercepat untuk menurunkan nilai total
bilirubin serum. Prosedur ini jarang diperlukan jika fototerapi dilakukan
dengan intensif. Pada kelainan hemolisis, anemia berat atau peningkatan total
bilirubin serum yang tinggi (> 1 mg/dL perjam dalam < 6 jam), transfusi tukar
merupakan tatalaksana yang direkomendasikan.28,33
Prosedur ini perlu dipertimbangkan pada ikterus nonhemolitik pada neonatus
jika fototerapi gagal untuk menurunkan nilai bilirubin.28,33
Komplikasi transfusi tukar antara lain emboli udara, vasospasme, infark,
infeksi dan bahkan kematian. Oleh karena itu, fototerapi intensif harus lebih
dulu diupayakan sebelum beralih pada transfusi tukar.28,33
Rasio bilirubin total berbanding albumin dapat digunakan sebagai pedoman
tambahan untuk menentukan apakah terdapat indikasi transfusi tukar (Tabel
6).27,35,43

Tabel 9. Indikasi transfusi tukar berdasarkan rasio bilirubin : albumin pada usia
gestasi dan kelompok risiko tertentu27,35,43
Usia gestasi dan kelompok risiko Rasio bilirubin : albumin
38 minggu dan sehat 8.0
> 38 minggu + hemolisis atau 7.2
35 – 37 6/7 dan sehat
35 – 37 6/7 + hemolisis 6. 8

Ikterus yang terjadi < 24 jam pada neonatus cukup bulan selalu dikategorikan
sebagai ikterus patologis. Berdasarkan kenaikan nilai total bilirubin serum,

65
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

risiko hiperbilirubinemia neonatal dapat diklasifikasikan sebagai rendah,


menengah, atau tinggi (lihat Gambar 31). Dengan asumsi bahwa nilai total
bilirubin serum akan meningkat secara kontinu, maka dapat diprediksi nilai
total bilirubin serum dan dapat dihitung dalam berapa hari lagi kemungkinan
kejadian toksisitas akibat hiperbilirubin.28
Bagan 1 menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk evaluasi
ikterus pada neonatus, sementara bagan 2 menjelaskan algoritma manajemen
dan kontrol sesuai rekomendasi American Academy of Pediatrics (2009).35

Gambar 32. Hubungan antara konsentrasi hemoglobin darah, massa hemoglobin total dan
persentase retikulosit

Keterangan Gambar 32 :
Setiap tabel menunjukkan hasil pengamatan pada bayi yang diberikan perlakuan yang sama.
Setiap poin mewakili rerata perminggu pengamatan hidup pada masing-masing kelompok
A. Transfusi tukar dengan darah yang memiliki rhesus negatif: 4 bayi
B. Transfusi tukar dengan darah yang memiliki rhesus positif: 3 bayi
C. Beberapa transfusi kecil dengan endapan sel Rh negatif: 9 bayi.
D. Penyembuhan spontan: 1 bayi

66
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Gambar 33. Algoritma Evaluasi Bayi Baru Lahir dengan Hiperbilirubinemia


(Modifikasi dari Maisles et al35)

67
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

A
Usia gestasi 35-37 minggu + faktor risiko
hiperbilirubinemia lainnya

Pengukuran nilai TcB dan TSB sebelum keluar RS

Penilaian zona bilirubin (Gambar 4)

Risiko tinggi Risiko menengah tinggi Risiko menengah rendah Risiko rendah

Evaluasi fototerapi Evaluasi fototerapi Jika keluar RS dalam < 72 jam, Jika keluar RS
(lihat Gambar 5) (lihat Gambar 5) kontrol dalam 2 hari dalam < 72 jam,
Pengukuran TSB Pengukuran Pertimbangkan pengukuran kontrol dalam 2 hari
dalam 4-8 jam TSB/TcB dalam TcB/TSB saat kontrol
4- 24jam

B
Usia gestasi 35-37 minggu, tanpa risiko hiperbilirubinemia
atau
Usia gestasi ≥ 38 minggu + faktor risiko hiperbilirubinemia lainnya

Pengukuran nilai TcB dan TSB sebelum keluar RS

Penilaian zona bilirubin (Gambar 4)

Risiko tinggi Risiko menengah tinggi Risiko menengah rendah Risiko rendah

Evaluasi fototerapi Evaluasi fototerapi Jika keluar RS dalam < 72 jam, Jika keluar RS
(lihat Gambar 5) (lihat Gambar 5) kontrol dalam 2 hari dalam < 72 jam,
Pengukuran TSB Pengukuran kontrol dalam 2-3
dalam 4-24 jam TSB/TcB dalam hari
24jam

68
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

C Usia gestasi ≥38 minggu


tanpa faktor risiko hiperbilirubinemia lainnya

Pengukuran nilai TcB dan TSB sebelum keluar RS

Penilaian zona bilirubin (Gambar 4)

Risiko tinggi Risiko menengah tinggi Risiko menengah rendah Risiko rendah

Evaluasi fototerapi Kontrol dalam 2 Jika keluar RS dalam < 72 jam, Jika keluar RS
(lihat Gambar 5) hari kontrol dalam 2-3 hari dalam < 72 jam,
Pengukuran TSB Pertimbangkan kontrol sesuai
dalam 4-24 jam pengukuran dengan usia ketika
TcB/TSB saat keluar RS atau
kontrol pertimbangan
selain ikterus (ASI)

Gambar 34. Algoritma Manajemen dan Kontrol Hiperbilirubinemia Neonatal


(Modifikasi dari Maisles et al35)

Keterangan Bagan 2 :
Evaluasi terhadap laktasi dan dukung ibu untuk menyusui bayinya.
Pengulangan pengukuran TSB tergantung pada usia saat pengukuran dan perbandingan
nilai TSB terhadap persentil 95 (lihat gambar 1). Semakin dini pengukuran TSB dan semakin
tinggi nilainya, maka pengukuran ulang harus segera dilakukan.
Pada saat kontrol, dokter akan melakukan pemeriksaan klinis sesuai standar.

Tatalaksana Hiperbilirubinemia pada Bayi Kurang Bulan


Sekitar 80% bayi kurang bulan mengalami kuning pada minggu pertama
kehidupan. Hal ini disebabkan makin muda usia gestasi, usia eritrosit lebih
singkat serta kemampuan hepar untuk ambilan dan konjugasi bilirubin belum
optimal.44
Kejadian kuning pada bayi kurang bulan memiliki awitan yang lebih dini,
mencapai puncak lebih lambat, kadar puncak lebih tinggi dan memerlukan lebih
banyak waktu untuk menghilang (sampai dengan 2 minggu).44
Di bawah ini adalah tabel indikasi tatalaksana fototerapi dan transfusi tukar pada
bayi kurang bulan.

69
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Tabel 10. Indikasi Tatalaksana Fototerapi pada Bayi Kurang Bulan 45

Usia Berat <1.500 g Berat 1.500-2.000 g Berat > 2.000 g


Kadar Bilirubin Kadar Bilirubin Kadar Bilirubin
(µmol/L) (µmol/L) (µmol/L)
< 24 jam Risiko tinggi dan Risiko tinggi : >70 dan >85
yang lainnya: > 70 yang lainnya: > 70
24-48 jam >85 >120 >140
49-72 jam >120 >155 >200
>72 jam >140 >170 >240

Tabel 11. Indikasi Tatalaksana Transfusi Tukar pada Bayi Kurang Bulan45

Usia Berat <1.500 g Berat 1.500-2.000 Berat > 2.000 g


Kadar Bilirubin g Kadar Bilirubin
(µmol/L) Kadar Bilirubin (µmol/L)
(µmol/L)
<24 jam >170 - 255 >255 >270-310
24-48 jam >170-255 >255 >270-310
49-72 jam >170-255 >270 >290-320
>72 jam >255 >290 >310-340

D. Sepsis neonatorum

Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the world’s mother 2007 (data
tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh
penyakit infeksi, diantaranya (1) sepsis, (2) pneumonia, (3) tetanus, dan (4) diare.46
Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam
periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses
kelahiran atau in utero. Di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme
penyebabnya adalah batang Gram negatif.47,48 Sepsis neonatorum awitan dini
memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas
sebesar 15-50%.49
Kajian WHO dalam Meeting to explore simplified antimicrobial regimens for the
treatment of neonatal sepsis (2002) menyatakan bahwa bakteri batang Gram-negatif,
khususnya Klebsiella merupakan penyebab utama sepsis neonatorum, diikuti dengan
Staphylococcus, dan Escherichia (Gambar 32 dan 33).50

70
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Gambar 32. Patogen pada neonatus50

Gambar 35. Perubahan spektrum patogen pada sepsis neonatorum50

Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam)
yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (health care-associated
infection).51,52 Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi
horizontal.53
CDC (2008) telah mengganti istilah infeksi nosokomial menjadi health care-
associated infection (HAI). HAI didefinisikan sebagai kondisi sistemik atau lokal
sebagai reaksi akibat adanya agen infeksi atau toksinnya; ditegakkan jika tidak ada
bukti bahwa infeksi sedang terjadi atau sedang dalam masa inkubasi ketika bayi
mulai dirawat di rumah sakit.54

71
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di
negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli,
Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa).53
Faktor predisposisi HAI yang mencetuskan SAL antara lain BBLR,
prematuritas, perawatan di NICU, penggunaan ventilator mekanis, prosedur invasif,
dan pemberian cairan parenteral; sedangkan faktor risiko dari komunitas yang
mencetuskan SAL antara lain buruknya higienitas, perawatan tali pusat, dan minum
susu botol.55
Definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected)
maupun terbukti infeksi (proven).56 Definisi SIRS dipakai untuk menjelaskan
sindroma klinis yang ditandai oleh 2 atau lebih dari kriteria ini: (a) demam atau
hipotermia, (b) takikardia, (c) takipneu atau hiperventilasi, dan (d) jumlah leukosit
abnormal atau meningkatnya morfologi leukosit abnormal.57 Jika sepsis disertai
dengan disfungsi organ, hipoperfusi, atau hipotensi – sepsis dikategorikan sebagai
sepsis berat. Syok septik terjadi jika terdapat hipotensi sebagai akibat tidak
adekuatnya penggantian volume cairan tubuh.58

Tabel 12. Kriteria SIRS

Usia Neonatus Suhu Laju Nadi per Laju napas Jumlah


menit per menit leukosit X
103/mm3

Usia 0-7 hari >38,5ºC atau >180 atau <100 >50 >34
<36ºC
Usia 7-30 hari >38,5ºC atau >180 atau <100 >40 >19,5 atau <5
<36ºC

Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel
(salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit)

Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8

Tabel 13. Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik

Infeksi Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman


penyebab atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila
terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang lain).
Sepsis SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka.
Sepsis berat Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau
disertai gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua
organ lain (seperti gangguan neurologi, hematologi,
urogenital, dan hepatologi).
Syok septik Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg
pada bayi <7 hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari).

Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8

72
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Dalam hal penegakan diagnosis sepsis neonatorum mengalami kendala karena


gejala dan tanda klinis sepsis tidak spesifik, yaitu dapat menyerupai keadaan lain
yang disebabkan oleh keadaan non-infeksi. Dilain pihak, penegakan diagnosis secara
dini berperan sangat penting karena dapat membantu menurunkan tingkat
mortalitas. Ada sarana kesehatan yang menggunakan pendekatan diagnosis
berdasarkan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut ke dalam risiko
mayor dan risiko minor (Tabel 9). Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko
minor maka pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan
pemeriksaan penunjang (septic work-up) sesegera mungkin.59

Tabel 14. Pengelompokan faktor risiko59


Risiko mayor Risiko minor
1. Ketuban pecah > 24 jam 1. Ketuban pecah > 12 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu 2. Ibu demam; saat intrapartum suhu
> 38 C > 37,5 C
3. Korioamnionitis 3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1 < 5 ,
4. Denyut jantung janin yang menit ke-5 < 7 )
menetap > 160x/menit 4. Bayi berat lahir sangat rendah
5. Ketuban berbau (BBLSR) < 1500 gram.
5. Usia gestasi < 37 minggu.
6. Kehamilan ganda.
7. Keputihan pada ibu.
8. Ibu dengan infeksi saluran kemih
(ISK) / tersangka ISK yang tidak
diobati.

Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan kriteria
diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan
perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4
variabel, yaitu variabel klinis, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan
variabel inflamasi.60
Pemeriksaan penunjang seperti biakan darah untuk kultur kuman penyebab
merupakan standar baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun
demikian, terdapat beberapa kendala yaitu kultur kuman penyebab seringkali
menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Selain itu, hasil pemeriksaan baru dapat
diketahui setelah 48-72 jam. Hal yang penting juga diperhatikan bahwa kuman
penyebab infeksi tidak selalu sama, baik antar klinik, antar waktu, ataupun antar
negara.
Tabel 15. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus
Variabel Klinis
Suhu tubuh tidak stabil
Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit
Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )
Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik* (atau dapat digantikan dengan laju nadi, kualitas isi
nadi dan pengisian kapiler)
TD < 2 SD menurut usia bayi

73
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )


TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )
Variabel Perfusi Jaringan
Pengisian kembali kapiler > 3 detik
Asam laktat plasma > 3 mmol/L*
Variabel Inflamasi
Leukositosis ( > 34000x109/L )
Leukopenia ( < 5000 x 109/L )
Neutrofil muda > 10%
Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2
Trombositopenia <100000 x 109/L
C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal*
Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal**
IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL**
16 S rRNA gene PCR : positif**
*sangat dianjurkan apabila fasilitas tersedia
** di Negara maju dan dalam penelitian

Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9

Pada dasarnya, pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis sepsis


dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :
 Kelompok pemeriksaan penunjang konvensional, yang meliputi pemeriksaan
darah perifer lengkap, kultur darah dan CRP.
 Kelompok pemeriksaan penunjang canggih : marker/petanda dan mediator.

Berikut ini 10 langkah perencanaan penggunaan antibiotik:


1. Kultur darah (dan mungkin cairan serebrospinal dan atau urin) harus dimulai
sebelum memulai terapi antibiotik;
2. Gunakan sedapat mungkin antibiotik spektrum sempit, seperti penisilin
(piperacillin-tazobactam) dan aminoglikosida (amikasin);
3. Jangan memulai terapi dengan sefalosporin generasi ke tiga (sefotaksim,
seftazidim) atau karbapenem (imipenem, meropenem);
4. Kembangkan kebijakan antibiotik lokal dan nasional untuk membatasi
pengguanaan antibiotik spektrum luas yang mahal seperti imipenem untuk
pengobatan empirik;
5. Percaya hasil kultur dan laboratorium mikrobiologi;
6. Peningkatan CRP bukan berarti sepsis;
Franz AR (1999) menyatakan terdapatnya satu saja tanda klinis (yang
menandakan infeksi) ditambah dengan CRP > 10 mg/L, maka dapat ditegakkan
diagnosis septikemia neonatorum awitan dini atau lanjut pada neonatus usia
berapapun yang dirawat di NICU.61,62
Philip dan Mills (2000) merekomendasikan neonatus (usia berapapun) dengan CRP
≥ 10 mg/L dan terdapatnya satu atau lebih tanda klinis dan atau satu atau lebih
faktor risiko untuk infeksi; harus dipindahkan dari ruang rawat biasa ke NICU
dan mendapatkan terapi antibiotik.63
7. Jika kultur darah steril dalam 2-3 hari, penghentian antibiotik hampir selalu
aman dan tepat.
8. Usahakan untuk tidak menggunakan antibotik untuk waktu yang lama.
9. Obati sepsis bukan kolonisasi.

74
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Kolonisasi merupakan presentasi mikroorganisme pada kulit, membran mukosa,


luka terbuka, atau pada eksresi/sekresi tetapi tidak menyebabkan tambahan
gejala atau tanda klinis.54
10. Lakukan yang terbaik untuk pencegahan infeksi nosokomial dengan cara
menggalakkan pengendalian infeksi, khususnya mencuci tangan.

Terdapat kesulitan untuk menilai tingkat keparahan penyakit pada neonatus.


Kondisi hipoglikemi, kesulitan makan per oral, dan kejang – tidak dapat memberikan
gambaran menyeluruh tentang kondisi kesehatan atau morbiditas pada neonatus.
Sampai saat ini, berat lahir, usia gestasi, dan skor APGAR merupakan petanda
morbiditas neonatus. Mulai dikembangkan pula sistem penilaian lain untuk
mengukur tingkat keparahan penyakit neonatus, antara lain (a) Clinical Risk Index for
Babies (CRIB); (b) Score for Neonatal Acute Physiology (SNAP); (c) Score for Neonatal
Acute Physiology and SNAP Perinatal Extension (SNAP-II dan SNAPPE II).64,65,66

Tabel 16. Penilaian kondisi bayi dengan SNAP65

Parameter 1 poin 3 poin 5 poin


Tekanan Darah (mmHg)
Tinggi 66-80 81-100 > 100
Rendah 30-35 20-29 < 20
Frekuensi Nadi
Tinggi 180-200 201-250 > 250
Rendah 80-90 40-79 < 40
Frekuensi Napas 60-100 > 100 ....
Temperatur oF 95-96 92-94.9 < 92
PO2, mmHg 50-65 30-50 < 30
Rasio PO2/FiO2* 2.5-3.5 0.3-2.49 < 0.3
PCO2, mmHg 50-65 66-90 > 90
Indeks oksigenasi 0.07-0.20 0.21-0.40 > 0.40
Hematokrit, %
Tinggi 66-70 > 70 ....
Rendah 30-35 20-29 < 20
Hitung leukosit (x 1.000) 2.0-5.0 < 2.0 ....
I/T rasio > 0.21 .... ....
Hitung netrofil absolut 500-999 < 500 ....
Hitung trombosit (x 1.000) 30-100 0-29 ....
Blood urea nitrogen, mg/dL 40-80 > 80 ....
Kreatinin, mg/dL 1.2-2.4 2.5-4.0 > 4.0
Urin output, mL/kg/jam 0.5-0.9 0.1-0.49 < 0.1
Bilirubin indirek (sesuai dengan berat
badan) 15-20 > 20 ....
> 2 kg; mg/dL 5-10 > 10 ....
≤ 2 kg; mg/dL
Bilirubin direk, mg/dL ≥ 2.0 .... ....
Natrium, mEq/L
Tinggi 150-160 161-180 > 180
Rendah 120-130 < 120 ....
Kalium, mEq/L
Tinggi 6.6-7.5 7.6-9.0 > 9.0
Rendah 2.0-2.9 < 2.0 ....
Kalsium (terionisasi), mg/dL

75
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Tinggi ≥ 1.4 .... ....


Rendah 0.8-1.0 < 0.8 ....
Kalsium (total), mg/dL
Tinggi ≥ 12 .... ....
Rendah 5.0-6.9 < 5.0 ....
Glukosa (atau dengan strip reagen), mg/dL
Tinggi 150-250 > 250 ....
Rendah 30-40 < 30 ....
Bikarbonat serum, mEq/L
Tinggi ≥ 33 .... ....
Rendah 11-15 ≤ 10 ....
pH serum 7.20-7.30 7.10-7.19 < 7.10
Kejang Sekali Berkali-kali ....
Apnu Responsif Tidak Apnu
dengan responsif komplit
stimulasi dengan
stimulasi
Uji darah samar feses Positif .... ....
*FiO2 : fraction of inspired oxygen as a percent

Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD) dan sepsis
awitan lambat (SAL).
Pencegahan untuk SAD : Dengan pemberian ampicillin 1 gram intravena yang
diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat
menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada
bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan resiko infeksi
GBS sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampicillin
dan gentamicin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum
sebesar 82% dan infeksi GBS sebesar 86%.67

Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan HAI antara lain :68


1. Pemantauan yang berkelanjutan
2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis
dibandingkan jumlah pasien
3. Bentuk ruang perawatan
4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai
5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan
6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral
7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal
8. Pemakaian antibiotik yang rasional
9. Program pendidikan : meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil
program kontrol.

Terdapat rekomendasi dari the Centers for Disease Control and Prevention/CDC
(2002) mengenai kemoprofilaksis pada wanita hamil terhadap infeksi GBS onset dini
pada neonatus. Terdapat indikasi pemberian antibiotik intrapartum untuk profilaksis
infeksi GBS onset dini melalui skrining kultur prenatal universal terhadap setiap
wanita hamil pada usia gestasi 35-37 minggu (Bagan 3).69

76
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Gambar 36. Indikasi Intrapartum Antimicrobial Prophylaxis

Sumber : http://aapredbook.aappublication.org

77
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Gambar 37. Algoritma Intrapartum Antimicrobial Prophylaxis

Sumber : http://aapredbook.aappublication.org

78
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Gambar 38. Protokol Sepsis

Sumber : http://www.newbornwhocc.org

79
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

REKOMENDASI HTA

1. Sepsis neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka
mortalitas yang cukup tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka Kematian
Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera
ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif,
kuratif dan rehabilitatif. [Rekomendasi B LoE IIb]

2. Penegakan diagnosis :
Penegakan diagnosis Sepsis neonatorum dipilih dengan pendekatan standar
klinis yang menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko
tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor.
Penegakkan diagnosis dilakukan secara klinis dengan disertai pemeriksaan
penunjang.
Selain itu penegakan diagnosis juga dapat mengacu pada usulan kriteria
diagnosis menurut The International Sepsis Forum. Kriteria diagnosis sepsis
didasarkan pada perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi.
Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu
variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variabel
inflamasi.
Penajaman tentang pemeriksaan klinis untuk menentukan diagnosis sepsis
atau dugaan sepsis sangat penting.
Pemeriksaan penunjang sangat tergantung dari ketersediaan fasilitas di
tempat pelayanan kesehatan:
 Di sarana yang memiliki fasilitas untuk pemeriksaan penunjang
konvensional dianjurkan untuk melakukan :
 Skrining Infeksi maternal
 Pemeriksaan untuk bayi meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap,
pemeriksaan kultur/biakan, CRP dan IT ratio.
 Di sarana kesehatan yang memiliki fasilitas lengkap untuk
pemeriksaan penunjang canggih, selain melakukan pemeriksaan
penunjang konvensional seperti tersebut di atas, apabila terdapat
indikasi dapat melakukan pemeriksaan penunjang canggih sesuai dengan
fasilitas yang ada, seperti pemeriksaan IgG, IgM, sitokin, interleukin,
PCR, prokalsitonin, dan lain-lain.

80
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

3. Penatalaksanaan
Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus
menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik:
Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis.
Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk GBS).
Beberapa mikro-organisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi mutan
resisten selama terapi (Pseudomonas sp).
Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya
menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria). Pada kasus sepsis
neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga diberikan terapi suportif.
Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan dampak positif antara lain :
Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT), pemberian fresh
frozen plasma, pemberian pentoxifilin. [Rekomendasi A LoE Ia]

4. Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola resistensi
kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal berikut:
1. Usia saat awitan penyakit
2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi.
3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit.
4. Farmakokinetik antibiotik.

5. Pencegahan
Pencegahan secara umum :
Melakukan pemeriksaan antenatal yang baik dan teratur.
Skrining infeksi maternal kemudian mengobatinya, misalnya infeksi
TORCH, infeksi saluran kemih, dll.
Mencegah persalinan prematur atau kurang bulan.
Meningkatkan status gizi ibu agar tidak mengalami kurang gizi dan
anemia.
Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk ibu dengan ancaman
persalinan kurang bulan.
Konseling ibu tentang risiko kehamilan ganda.
Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari :

Persalinan yang bersih dan aman

Stabilisasi suhu

Inisiasi pernapasan spontan dengan melakukan resusitasi yang baik dan
benar sesuai dengan kompetensi penolong

Pemberian ASI dini dan eksklusif

Pencegahan infeksi dan pemberian imunisasi
Membatasi tindakan/prosedur medik pada bayi.

81
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Dengan


pemberian ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan
tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan
dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini,
serta menurunkan resiko infeksi GBS sampai 36%. Pada wanita dengan
korioamnionitis dapat diberikan ampicillin dan gentamicin, yang dapat
menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi GBS
sebesar 86%. [Rekomendasi B LoE IIa]

Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain:


Pemantauan yang berkelanjutan
Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis
dibandingkan jumlah pasien
Bentuk ruang perawatan
Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai
Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan
Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral
Pemakaian kateter vena sentral yang minimal
Pemakaian antibiotik yang rasional
Program pendidikan
Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.
[Rekomendasi A LoE Ia]

82
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

DAFTAR PUSTAKA

1 Lawn JE, Cousens S, Zupan J; Lancet Neonatal Survival Steering Team. 4 million
neonatal deaths: When? Where? Why? Lancet. 2005;365 (9462):891 –900.
2 London, Susan Mayor. Communicable disease and neonatal problems are still
major killers of children. BMJ 2005;330:748 (2 April),
doi:10.1136/bmj.330.7494.748-g
3 Lee, et.al. Risk Factors for Neonatal Mortality Due to Birth Asphyxia in Southern
Nepal: A Prospective, Community-Based Cohort Study. PEDIATRICS Vol. 121 No. 5
May 2008, pp. e1381-e1390 (doi:10.1542/peds.2007-1966). (Level of evidence IIb)
4 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar tahun 2007.
2008
5 World Health Organization. Basic Newborn Resuscitation: A Practical Guide-
Revision. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 1999. Available at:
www.who.int/reproductive-
health/publications/newborn_resus_citation/index.html. Accessed June 20, 2008.
6 American Heart Association & American Academy of Pediatrics. Buku Panduan
Resusitasi Neonatus Edisi ke-5. 2006.
7 American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and
Gynaecologists. Care of the neonate. Guidelines for perinatal care. Gilstrap LC, Oh
W, editors. Elk Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics; 2002.p. 196-7.
8 IDAI. Asfiksia Neonatorum.Standar Pelayanan Medis Kesehatan anak . 2004 : 272-
276. (level of evidence IV)
9 Saugstad OD, et.al. Resuscitation of Newborn Infants with 21% or 100% Oxygen :
An updated systematic review and meta-analysis. Neonatology 2008; 94(3):176-182
10 Saugstad OD, Ramji S., Vento M. Resuscitation of depressed newborn Infants with
ambient air or pure oxygen : a meta-analysis. Biol Neonate. 2005;87(1):27-34.
11 Zhu JJ, Wu MY. Which is better to resuscitate asphyxiated newborn infants : room
air or pure oxygen?. Zhonghua Er Ke Zha Zhi.2007 Sep;45(9):644-649.
12 Rabi Y, Rabi D, Yee W. Room air resuscitation of depressed newborn: a systematic
review and meta-analysis. Resuscitation. 2007 Mar; 72(3):353-363.
13 Bajaj N, Udani RH, Nanavati RN. Room air vs 100 percent oxygen for neonatal
resuscitation: a controlled clinical trial. J Trop Pediatr. 2005 Aug; 51(4):206-211.
14 Tan A, Schulze A, O'Donnell CPF, Davis PG. Resuscitation of Newborn infants with
100% oxygen or air : a systematic review and meta-analysis. The Lancet 2004;
364:1329-1333 (DOI : 10.1016/S0140-6736 (04)17189-4)
15 Fearnley SJ, Pulse Oximetry, Update in Anaesthesia, 1995: Issue 5.Dapat diakses
pada www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u05/u05_003.htm
16 Jubran A, Pulse oximetry, Crit Care. 1999; 3(2): R11–R17. Published online 1999
May 18. doi: 10.1186/cc341.
17 Vohra S, Roberts RS, Zhang B, Janes M, Schmidt B. Heat Loss Prevention (HeLP)
in the delivery room: a randomized controlled trial of polyethylene occlusive skin
wrapping in very preterm infants. J Pediatr. 2004;145 :750 –753.
18 McCall EM, Alderdice FA, Halliday HL, Jenkins JG, Vohra S. Interventions to
prevent hypothermia at birth in preterm and/or low birthweight infants. Cochrane
Database of Systematic Reviews 2008, Issue 1. Art. No.: CD004210.
DOI:0.1002/14651858. CD004210.pub3. (Level of evidence Ia)

83
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

19 McCall EM, Alderdice FA, Halliday HL, Jenkins JG, Vohra S. Interventions to
prevent hypothermia at birth in preterm and/or low birthweight infants. Cochrane
Database of Systematic Reviews 2008, Issue 1. Art. No.: CD004210.
DOI:0.1002/14651858. CD004210.pub3. (Level of evidence Ia)
20 Meneguel JF, Guinsburg R, Miyoshi MH, Peres CA, Russo RH, Kopelman BI,
Camano L. Antenatal treatment with corticosteroids for preterm neonates: impact
on the incidence of respiratory distress syndrome and intra-hospital mortality. Sao
Paulo Med J 2003; 121(2):45-52. (Level of evidence IIb)
21 Berglund S, Grunewald C, Pettersson H, Cnattingius S. Severe asphyxia due to
delivery-related malpractice in Sweden 1990–2005. BJOG 2008;115:316–323.
(Level of evidence IIIb)
22 Fahdhy M, Chongsuvivatwong V. Evaluation of World Health Organization
partograph implementation by midwives for maternity home birth in Medan,
Indonesia. Midwifery. 2005 Dec;21(4):301-10.Epub 2005 Aug 1.
23 Department of Reproductive Health and Research, World Health Organization.
Kangaroo mother care.A practical guide. 1st ed. Geneva : WHO, 2003.
24 London, M., Ladewig, P., Ball, J., & Bindler, R. (2006). Maternal and child nursing
care (2nd ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall. (p. 573, 791 - 793)
25 Robles, M. (1995). Kangaroo care: The human incubator for the premature infant.
University of Manitoba, Women’s Hospital in the Health Sciences Centre:
Winnipeg, MN.
26 Usman A, Irawaty S, Triyanti A, Alisjahbana A. Pencegahan Hipotermia pada
Perawatan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Rumah dengan Metoda Kanguru.
Unit Penelitian FK Unpad/RSHS. Bandung 1996.
27 Subcommitte on Hyperbilirubinemia. Clinical practice guidelies : Management of
hyperbilirubinemia in the newborn 35 or more weeks gestasion. Pediatrics 2004;
114: 297-316.
28 Porter ML. Dennis BL. Hyperbilirubinemia in the term of newborn. Am Fam
Physician 2002;65:599–606,613–4.
29 Sarici SU. et al. An Early (Sixth-Hour) Serum bilirubin measurement is useful in
predicting the development of significant hyperbilirubinemia and severe abo
hemolytic disease in a selective high-risk population of newborns with abo
incompatibility. American Academy of Pediatrics Journal. 2002;109(4);e53.
30 Linn S. et al. Epidemiology of neonatal hyperbilirubinemia. American Academy of
Pediatrics Journal. 1985;75;770-774.
31 Suradi R, Monintja HE, Munthe BG, Suparno. Glucose-6-phosphate
dehydrogenase deficiency in the dr. Ciptomangunkusumo general hospital. Pediatr
Indones 1979: 19:30-40.
32 Jaundice and hyperbilirubinemia in the newborn. In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, eds. Nelson Textbook of pediatrics. 16th ed. Philadelphia: Saunders,
2000:511-28. pediatrics. 16th ed. Philadelphia: Saunders, 2000:511-28.
33 Hiperbilirubinemia pada neonatus. Dalam :Pelayanan Obstetri dan Neonatal
Emergensi Komprehensif (PONEK).2008;183-96.
34 Raunch D. Kernicterus. Diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/007309.htm. Diakses tanggal
10 Desember 2009.
35 Maisles MJ. Et al. Hyperbilirubinemia in the newborn infant ≥ 35 weeks’ gestation:
an update with clarifications. American Academy of Pediatrics Journal. Vol 124,
Number 4. 2009;1193-8.

84
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

36 Siberry GK, Iannone R, eds. The Harriet Lane handbook: a manual for pediatric
house officers. 15th ed. St. Louis: Mosby, 2000:257-8.
37 Gartner LM, Herschel M. Jaundice and breastfeeding. Pediatr Clin North Am
2001;48:389-99.
38 WHO Indonesia. Masalah-masalah bayi baru lahir:Ikterus. Buku saku pelayanan
kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota.
Jakarta: WHO.2009;p 68-9.
39 Melton K, Akinbi HT. Neonatal jaundice. Strategies to reduce bilirubin-induced
complications. Postgrad Med 1999;106:167-8,171-4,177-8.
40 Bhutani VK, Johnson LH, Keren R: Diagnosis and management of
hyperbilirubinemia in the term neonate: for a safer first week. Pediatr. Clin. North
Am. 51, 843-861 (2004).
41 Bhutani VK. Screening for Severe Neonatal Hyperbilirubinemia: Tests. Diunduh
dari http://www.medscape.com. Diakses tanggal 10 Desember 2009.
42 Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. Predictive ability of a predischarge hour-
spesific serum bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in a healthy
term and near-term newborns. Pediatrics. 1999;103:6-14
43 Treatment of Hyperbilirubinemia. Diunduh dari www.yalepediatrics.org. Diakses
Mei 2007.
44 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Paket Pelatihan Pelayanan Obstetri dan
Neonatal (PONEK): Asuhan Neonatal Esensial. 2008.
45 The Royal Women’s Hospital Neonatal Services: Clinician’s Handbook. February
2009.
46 WHO, Departement of Child and Adolescent Health and Development.
www.who.int/child-adolescent-health/OVERVIEW/CHILD_HEALTH/map_00-03_
world.jpg. [Tingkat pembuktian IIIb]
47 Gordon A, Jeffery HE. Antibiotic regimens for suspected late onset in newborn
infants. Available at: URL:
http://www.nichd.nih.gov/cochrane/Gordon/GORDON.HTM [Tingkat Pembuktian
Ia]
48 Yurdakok M. Antibiotic use in neonatal sepsis. Turk J Pediatr 1994; 40(1): 17-33.
[Tingkat Pembuktian IV]
49 Schuchat A, Zywicki SS, Dinsmoor MJ, Mercer B, Romaguera J, O’Sullivan MJ, et
al. Risk Factors and Opportunities for Prevention of Early-onset Neonatal Sepsis: A
Multicenter Case-Control Study. Pediatrics 2000; 105: 21-26. [Tingkat Pembuktian
IIb]
50 Department of Child and Adolescent Health and Development World Health
Organization. Explore simplified antimicrobial regimens for the treatment of
neonatal sepsis. Meeting to explore simplified antimicrobial regimens for the
treatment of neonatal sepsis (2002).
51 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR,
Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology.
Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 143-6.
52 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR,
Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology.
Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 147-150.
53 Rodrigo I. Changing patterns of neonatal sepsis. Sri Lanka J Child Health 2002;
31: 3-8.

85
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

54 Horan TC, Andrus M dan Dudeck MA. CDC/NHSN surveillance definition of health
care–associated infection and criteria for specific types of infections in the acute
care setting. Am J Infect Control 2008;36:309-32. doi:10.1016/j.ajic.2008.03.002.
55 Sankar JM, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK. Sepsis in the Newborn. AIIMS- NICU
protocols (2008).
56 Opal SM. Concept of PIRO as a new conceptual framework to understand sepsis.
Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): Suppl: S55-60.
57 Angus DC, Wax RS. Epidemiology of sepsis: an update. Crit Care Med 2001; 29
(Suppl): S109-16.
58 Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, Angus D, Cook D, et al. 2001
SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit
Care Med 2003;31:1250-6.
59 Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, et al. Sepsis
neonatorum. Dalam : Standard Pelayanan Medik IDAI.2004. h 286-90
60 Haque KN. Definitions of Bloodstream Infection in the Newborn.Pediatr Crit Care
Med 2005; 6: S45-9.
61 Franz AR, Kron M, Pohlandt F, Steinbach G. Comparison of procalcitonin with
interleukin-8, C-reactive protein and differential white blood cell count for the
early diagnosis of bacterial infections in newborn infants. Pediatr Infect Dis J
1999;18:666-71.
62 Franz AR, Steinbach G, Kron M, Pohlandt F. Reduction of unnecessary antibiotics
therapy in newborn infants using interleukin-8 and C-reactive as markers of
bacterial infections. Pediatrics 1999;104:447-53.
63 Phillip AGS, Mills PC. Use of C-reactive protein in minimizing antibiotic exposure;
experience with infants initially admitted to a well-baby nursery. Pediatrics
2000;106:e4.
64 G. Parry et al. CRIB II : an update of the Clinical Risk Index for Babies score.
Lancet 2003;361(9371):1789-91.
65 Ricardson DK et al. Score for Neonatal Acute Physiology : a physiology severity
index for neonatal intensive care. Pediatrics 1993;91:617-23.
66 Richardson DK et al. SNAP-II and SNAPPE-II : Simplified newborn illness severity
and mortality risk scores. Pediatr 2001; 138:92-100.
67 Benitz WE, Gould JB, Druzin ML. Antimicrobial Prevention of Early-onset Group B
Streptococcal Sepsis: Estimates of Risk Reduction Based on a Critical Literature
Review. Pediatrics 1999; 103; 78. [Tingkat Pembuktian IIa].
68 Clark R. Power R, White R, bloom B, Sanchez P, Benjamin DK. Prevention and
treatment of nosocomial sepsis in the NICU. Journal of perinatology 2004; 24:
446-53. [Tingkat Pembuktian Ia].
69 Centers for Disease Control and Prevention. Prevention of perinatal group B
streptococcal disease. Revised guidelines from CDC. MMWR Recomm Rep.
2002;51(RR-11):1-22.

86
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

BAB V
PENUTUP

Penyusunan buku saku tatalaksana bayi baru lahir ini merupakan suatu proses
rangkuman hasil-hasil HTA Indonesia beberapa tahun terakhir dilengkapi dengan
topik-topik penting lainnya dalam perawatan bayi baru lahir. Buku saku ini
dilengkapi dengan petunjuk praktis (timeline) untuk mengingat waktu skrining bayi
baru lahir. Keseluruhannya diharapkan memudahkan praktisi medis untuk
mendapatkan gambaran tatalaksana holistik bayi baru lahir.

Berkaitan dengan diseminasi hasil-hasil HTA Indonesia mengenai bayi baru lahir,
maka buku saku ini diharapkan dapat melengkapi buku-buku panduan maupun
pedoman yang telah dibuat sebelumnya dengan kajian yang berbasis-bukti.
Diharapkan dengan terbitnya buku saku, para dokter di sarana pelayanan
kesehatan primer dapat memanfaatkan buku ini dalam praktik klinis sehari-hari
serta memacu para dokter untuk mengembangkan HTA di RS masing-masing.

87
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

LAMPIRAN

Lampiran 1. Level of Evidence dan Derajat Rekomendasi

Level of evidence dan derajat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi


dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
US Agency for Health Care Policy and Research.Level of evidence:

Ia. Meta-analysis of randomised controlled trials.


Ib. Minimal satu randomised controlled trials.
IIa. Minimal penelitian non-randomised controlled trials.
IIb. Cohort dan Case control studies
IIIa. Cross-sectional studies
IIIb. Case series dan case report
IV. Konsensus dan pendapat ahli

Derajat rekomendasi/Level of Evidence (LoE) :

A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib.


B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan II b.
C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb dan IV.

88
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Level of Evidence Health Technology Assessment (HTA) Tahun 2003-2008

Rekomendasi Derajat
Topik Rekomendasi
Profilaksis Semua bayi baru lahir harus mendapat profilaksis A
Vitamin K vitamin K1. Ia
Jenis vitamin K yang digunakan adalah vitamin A
K1. Ia
Cara pemberian vitamin K1 adalah secara A
intramuskular atau oral. Ia
Dosis yang diberikan untuk semua bayi baru lahir A
1 mg dosis tunggal intramuskular. Ia
Skrining Skrining pendengaran dilakukan pada semua bayi B
Pendengaran baru lahir dengan atau tanpa faktor risiko IIb
Bayi
Skrining dilakukan sebelum bayi meninggalkan C
Baru Lahir
RS pada bayi yang lahir di RS dan sebelum usia IV
satu bulan pada bayi yang lahir selain di RS.
Diagnosis gangguan pendengaran ditegakkan B
sebelum usia tiga bulan dan dilanjutkan dengan IIb
tatalaksana sebelum usia enam bulan.
Skrining pendengaran di Indonesia dilaksanakan
dengan alur terlampir dalam lampiran 2.

Departemen THT meningkatkan kerjasama


dengan cabang ilmu terkait yaitu Departemen
Ilmu Kesehatan Anak (Perinatologi dan
Neurologi), Kebidanan dan Kandungan,
Rehabilitasi Medik, Psikiatri, dan ahli audiologi
dalam hal penatalaksaan pasien.
Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan
dari PERHATI-KL menyusun kebijakan
penyediaan fasilitas skrining pendengaran pada
bayi dengan mempertimbangkan situasi dan
kondisi setempat.
Institusi pendidikan dan PERHATI-KL
menyelenggarakan kursus, pelatihan, dan
bimbingan teknologi untuk meningkatkan jumlah
dan kompetensi SDM berkaitan dengan skrining
pendengaran pada bayi baru lahir.
Sepsis 1. Sepsis neonatorum merupakan masalah pada B
Neonatorum bayi baru lahir dengan angka mortalitas yang
cukup tinggi. Dalam rangka menurunkan
Angka Kematian Perinatal dan Angka
Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu

89
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

segera ditanggulangi dengan berbagai macam


cara dan usaha mulai dari aspek promotif,
kuratif dan rehabilitatif.
2. Penegakan diagnosis :
Penegakan diagnosis Sepsis neonatorum
dipilih dengan pendekatan standar klinis
yang menggunakan faktor risiko dan
mengelompokkan faktor risiko tersebut
dalam risiko mayor dan risiko minor.
Penegakkan diagnosis dilakukan secara
klinis dengan disertai pemeriksaan
penunjang.
Selain itu penegakan diagnosis juga
dapat mengacu pada usulan kriteria
diagnosis menurut The International
Sepsis Forum. Kriteria diagnosis sepsis
didasarkan pada perubahan klinis sesuai
dengan perjalanan infeksi. Gambaran
klinis sepsis neonatorum dikelompokkan
menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik,
variabel hemodinamik, variabel perfusi
jaringan, dan variabel inflamasi.
Penajaman tentang pemeriksaan klinis
untuk menentukan diagnosis sepsis atau
dugaan sepsis sangat penting.
Pemeriksaan penunjang sangat
tergantung dari ketersediaan fasilitas di
tempat pelayanan kesehatan:
 Di sarana yang memiliki fasilitas
untuk pemeriksaan penunjang
konvensional dianjurkan untuk
melakukan :
 Skrining Infeksi maternal
 Pemeriksaan untuk bayi meliputi
pemeriksaan darah perifer lengkap,
pemeriksaan kultur/biakan, CRP
dan IT ratio.
 Di sarana kesehatan yang memiliki
fasilitas lengkap untuk pemeriksaan
penunjang canggih, selain melakukan
pemeriksaan penunjang konvensional
seperti tersebut di atas, apabila
terdapat indikasi dapat melakukan
pemeriksaan penunjang canggih
sesuai dengan fasilitas yang ada,
seperti pemeriksaan IgG, IgM, sitokin,
interleukin, PCR, prokalsitonin, dan
lain-lain.

90
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

3. Penatalaksanaan
Pada kasus tersangka sepsis, pemberian
antibiotik diberikan tanpa harus menunggu
hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan
kombinasi dua antibiotik:
Dapat mencakup sebagian besar penyebab
sepsis.
Efek sinergis antibiotik (penisilin dan
aminoglikosida untuk GBS).
Beberapa mikro-organisme penyebab
infeksi dapat berkembang menjadi mutan
resisten selama terapi (Pseudomonas sp).
Aktivitas bakterisidal serum yang lebih
tinggi dibandingkan hanya menggunakan
antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria).
Pada kasus sepsis neonatorum berat,
selain pemberian antibiotik juga diberikan
terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang
terbukti memberikan dampak positif antara
lain :
Pemberian intravenous immunoglobulin
(IVIG), granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF),
transfusi tukar (TT), pemberian fresh frozen
plasma, pemberian pentoxifilin.
[Rekomendasi A]
4. Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik
akan berpengaruh pada pola resistensi
kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik
harus berdasarkan hal-hal berikut:
1. Usia saat awitan penyakit
2. Spesies bakteri yang paling sering
menyebabkan infeksi.
3. Pola resistensi antibiotik pada masing-
masing rumah sakit.
4. Farmakokinetik antibiotik.
5. Pencegahan
Pencegahan secara umum :
Melakukan pemeriksaan antenatal yang
baik dan teratur.
Skrining infeksi maternal kemudian
mengobatinya, misalnya infeksi TORCH,
infeksi saluran kemih, dll.
Mencegah persalinan prematur atau
kurang bulan.
Meningkatkan status gizi ibu agar tidak
mengalami kurang gizi dan anemia.
Memberikan terapi kortikosteroid
antenatal untuk ibu dengan ancaman

91
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

persalinan kurang bulan.


Konseling ibu tentang risiko kehamilan
ganda.
Melakukan Perawatan Neonatal Esensial
yang terdiri dari :

Persalinan yang bersih dan aman

Stabilisasi suhu

Inisiasi pernapasan spontan dengan
melakukan resusitasi yang baik dan
benar sesuai dengan kompetensi
penolong

Pemberian ASI dini dan eksklusif

Pencegahan infeksi dan pemberian
imunisasi
Membatasi tindakan/prosedur medik
pada bayi
Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan
dengan pemberian antibiotik. Dengan
pemberian ampicillin 1 gram intravena yang
diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam
selama persalinan, dapat menurunkan risiko
terjadinya infeksi awitan dini (early-onset)
sampai 56% pada bayi lahir prematur karena
ketuban pecah dini, serta menurunkan resiko
infeksi GBS sampai 36%. Pada wanita dengan
korioamnionitis dapat diberikan ampicillin dan
gentamicin, yang dapat menurunkan angka
kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan
infeksi GBS sebesar 86%. [Rekomendasi B ]
Pencegahan untuk SAL : berhubungan
dengan infeksi nosokomial antara lain:
Pemantauan yang berkelanjutan
Surveilans angka infeksi, data kuman
dan rasio jumlah tenaga medis
dibandingkan jumlah pasien
Bentuk ruang perawatan
Sosialisasi insidens infeksi nosokomial
kepada pegawai
Program untuk meningkatkan kepatuhan
mencuci tangan
Perhatian terhadap penanganan dan
perawatan kateter vena sentral
Pemakaian kateter vena sentral yang
minimal
Pemakaian antibiotik yang rasional
Program pendidikan
Meningkatkan kepatuhan pegawai
berdasarkan hasil program kontrol.
[Rekomendasi A]

92
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Asfiksia Asfiksia neonatorum merupakan masalah pada B


neonatorum bayi baru lahir dengan angka morbiditas dan IIb
mortalitas yang tinggi. Dalam rangka
menurunkan Angka Kematian Perinatal dan
Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu
segera ditanggulangi dengan berbagai macam
cara dan usaha mulai dari aspek promotif, kuratif
dan rehabilitatif.
Secara umum definisi asfiksia neonatorum yang C
digunakan mengacu pada definisi WHO. Namun IV
begitu, 3% bayi dengan asfiksia neonatorum yang
mengalami komplikasi dan sesuai dengan 4
kriteria klinis asfiksia menurut AAP/ACOG perlu
penanganan dan pemantauan dengan sarana
yang lebih lengkap tingkat pelayanan kesehatan
yang lebih tinggi.
Dalam penatalaksanaan asfiksia neonatorum, C
direkomendasikan ketersediaan alat-alat/bahan IV
resusitasi di tingkat pelayanan dasar berupa
oksigen, sungkup oksigen, balon mengembang
sendiri, penghangat, pipa orogastrik, laringoskop,
pipa endotrakeal, kateter penghisap, kateter
umbilikal dan obat-obat resusitasi seperti cairan
kristaloid dan epinefrin.
Tenaga resusitasi di tingkat pelayanan dasar C
direkomendasikan dapat melakukan resusitasi IV
dasar yang bersertifikasi terutama memberikan
ventilasi yang adekuat.
Fasilitas pelayanan kesehatan pada pelayanan C
primer direkomendasikan ketersediaan alat- IV
alat/bahan resusitasi berupa oksigen, balon
mengembang sendiri, sungkup oksigen,
penghangat, pipa orogastrik, kateter penghisap,
kateter umbilikal dan obat-obat resusitasi seperti
cairan kristaloid dan epinefrin.
Perawatan PMK terbukti dapat menstabilkan suhu bayi A
Metode dengan menggunakan panas badan ibu dan sama Ib
Kanguru efektif bahkan lebih baik dari inkubator.
PMK memberikan ibu kepercayaan diri dalam A
merawat bayi berat lahir rendah, PMK kontinu di Ia
RS lebih efisien dalam hal maka keperluan tenaga
kesehatan khususnya perawat. Bayi yang belum
dapat dilakukan PMK kontinu, dianjurkan untuk
melakukan PMK intermitten untuk membiasakan
ibu merawat bayi dengan PMK.
Ibu yang melakukan PMK mempunyai kadar A
stress hormone (kortisol) yang lebih rendah Ia
sehingga diasumsikan ibu dan bayi lebih

93
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

tenang/tidak stress.
PMK direkomendasikan untuk BBLR di Indonesia C
terutama apabila bayi tersebut stabil keadaan Ia
klinisnya dan hanya memerlukan inkubator
untuk perawatannnya. Pusat pelayanan primer
seperti PUSKESMAS dapat meneruskan
perawatan BBLR yang telah di pulangkan dari
pusat pelayanan sekunder atau tersier. Pusat
pelayanan kesehatan sekunder dapat melakukan
PMK kontinu untuk BBLR yang masih
menggunakan alat kesehatan minimal. PMK
dapat dilakukan disemua level pelayanan
kesehatan di Indonesia sesuai dengan sarana dan
prasarana yang tersedia.
Kriteria definitif pemulangan terdiri dari : C
Bayi mencapai berat badan minimum yakni IV
1500 g.
Kesehatan bayi secara keseluruhan dalam
kondisi baik dan tidak ada apnea atau infeksi
Bayi minum dengan baik
Berat bayi selalu bertambah (sekurang-
kurangnya 15g/kg/hari) untuk sekurang-
kurangnya tiga hari berturut-turut
Ibu mampu merawat bayi dan dapat datang
secara teratur untuk melakukan follow-up
Bayi yang dipulangkan dengan berat badan <
1800 gram difollow-up setiap minggu dan
dilakukan minimal di RS Umum Daerah,
sedangkan dan bayi dengan berat badan >1800
gram difollow-up setiap dua minggu boleh
dilakukan di Puskesmas.

Rekomendasi waktu pemantauan: C


Dua kali kunjungan follow up per minggu IV
sampai dengan 37 minggu usia pasca
menstruasi.
Kunjungan pertama paling lambat dalam 48 jam
setelah pemulangan.
Satu kali kunjungan follow up per minggu
setelah 37 minggu

94
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

LAMPIRAN

LAMPIRAN 2. Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir

2.1. Alur Skrining Pendengaran Bayi

95
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

2.2. Modifikasi Tes Daya Dengar

Umur kurang atau sampai 3 bulan

No. Daftar Pertanyaan Ya Tidak


1. Kemampuan ekspresif
Apakah bayi dapat mengatakan aaaaa, ooooo?
Apakah bayi menatap wajah dan tampak mendengarkan
anda, lalu berbicara saat anda diam? Apakah anda dapat
seolah-olah berbicara dengan bayi anda?
2. Kemampuan reseptif
Apakah bayi kaget bila mendengar suara (mengejapkan
mata, napas lebih cepat)?
Apakah bayi kelihatan menoleh bila anda berbicara di
sebelahnya?
3. Kemampuan visual
Apakah bayi anda dapat tersenyum?
Apakah bayi anda kenal dengan anda, seperti tersenyum
lebih cepat pada anda dibandingkan orang lain?

Umur lebih dari 3 bulan sampai 6 bulan

No. Daftar Pertanyaan Ya Tidak


1. Kemampuan ekspresif
Apakah bayi dapat tertawa keras?
Apakah bayi dapat bermain menggelembungkan mulut
seperti meniup balon?
2. Kemampuan reseptif
Apakah bayi memberi respons tertentu, seperti menjadi
lebih riang bila anda datang?
Pemeriksa duduk menghadap bayi yang dipangku orang
tuanya, bunyikan bel di samping tanpa terlihat bayi,
apakah bayi itu menoleh ke samping?
3. Kemampuan visual
Pemeriksa menatap maya bayi sekitar 45 cm, lalu
gunakan mainan untuk menarik pandangan bayi ke kiri,
kanan, atas dan bawah. Apakah bayi dapat
mengikutinya?
Apakah bayi berkedip bila pemeriksa melakukan gerakan
menusuk mata, lalu berhenti sekitar 3 cm tanpa
menyentuh mata?

96
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Umur lebih dari 6 bulan sampai 12 bulan

No. Daftar Pertanyaan Ya Tidak


1. Kemampuan ekspresif
Apakah bayi dapat membuat suara berulang seperti
mamamama, babababa?
Apakah bayi dapat memanggil mama atau papa,
walaupun tidak untuk memanggil orang tuanya?
2. Kemampuan reseptif
Pemeriksa duduk menghadap bayi yang dipangku orang
tuanya, bunyikan bel di samping bawah tanpa terlihat
bayi, apakah bayi langsung menoleh ke samping bawah?
Apakah bayi mengikuti perintah tanpa dibantu gerakan
badan, seperti stop, berikan mainanmu?
3. Kemampuan visual
Apakah bayi bayi mengikuti perintah dengan dibantu
gerakan badan, seperti stop, berikan mainanmu?
Apakah bayi secara spontan memulai permainan
dengan gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau
cilukba?

Umur lebih dari 12 bulan sampai 18 bulan

No. Daftar Pertanyaan Ya Tidak


1. Kemampuan ekspresif
Apakah anak dapat memanggil mama atau papa, hanya
untuk memanggil orang tuanya?
Apakah anak mulai menggunakan kata-kata lain, selain
kata mama, papa, anggota keluarga lain dan hewan
peliharaan?
2. Kemampuan reseptif
Pemeriksa duduk menghadap bayi yang dipangku orang
tuanya, bunyikan bel di samping bawah tanpa terlihat
bayi, apakah bayi langsung menoleh ke samping bawah?
Apakah anak mengikuti perintah tanpa dibantu gerakan
badan, seperti stop, berikan mainanmu?
3. Kemampuan visual
Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan
gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba?
Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila
ingin sesuatu, bukan dengan cara memegang dengan
semua jari?

97
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Umur lebih dari 18 bulan sampai 24 bulan

No. Daftar Pertanyaan Ya Tidak


1. Kemampuan ekspresif
Apakah anak dapat mengucapkan dua atau lebih kata
yang menunjukan keinginan, seperti susu, minum, lagi?
Apakah anak secara spontan mengatakan 2 kombinasi
kata, seperti mau bobo, lihat papa?
2. Kemampuan reseptif
Apakah anak dapat menunjukkan paling sedikit satu
anggota badan, misal mana hidungmu? Mana matamu?
Tanpa diberi contoh?
Apakah anak dapat mengerjakan 2 macam perintah dalam
satu kalimat, seperti ambil sepatumu dan taruh disini,
tanpa diberi contoh?
3. Kemampuan visual
Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan
gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba?
Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila
ingin sesuatu, bukan dengan cara memegang dengan
semua jari?

Umur lebih dari 24 bulan sampai 30 bulan

No. Daftar Pertanyaan Ya Tidak


1. Kemampuan ekspresif
Apakah anak mulai menggunakan kata-kata lain, selain
kata mama, papa, anggota keluarga lain dan hewan
peliharaan?
Apakah anak mulai mengucapkan kata yang berarti “milik”,
misal susu kamu, bonekaku?
2. Kemampuan reseptif
-Apakah anak dapat mengerjakan 2 macam perintah dalam satu
kalimat, seperti ambil sepatudan taruh disini, tanpa diberi
contoh?
-Apakah anak dapat menunjuk minimal 2 nama benda di
depannya
(cangkir, bola, sendok)?
3. Kemampuan visual
- Apakah Apakah anak secara spontan memulai permainan
dengan
gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba?
- Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin
sesuatu,
bukan dengan cara memegang dengan semua jari?

98
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Umur lebih dari 30 bulan sampai 36 bulan

No. Daftar Pertanyaan Ya Tidak


1. Kemampuan ekspresif
- Apakah anak sudah dapat mengucapkan kata depan. Seperti di
atas, di dalam, di bawah?
-Apakah anak dapat mengucapkan 2 atau 3 kalimat dalam
pembicaraan?
2. Kemampuan reseptif
- Apakah anak dapat menunjuk minimal 2 nama benda di
depannya
(cangkir, bola, sendok)?
- Apakah anak dapat menunjukan minimal 2 nama benda di
depannya sesuai fungsinya (misal untuk minum: cangkir, untuk
dilempar: bola, untuk makan: sendok, untuk menggambar: pensil
warna)?
3. Kemampuan visual
Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan
gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba?
Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin
sesuatu, bukan dengan cara memegang dengan semua jari?

Umur lebih dari 36 bulan

No. Daftar Pertanyaan Ya Tidak


1. Kemampuan ekspresif
Apakah anak dapat menyebutkan nama benda dan
kegunaannya? cangkir untuk minum, bola untuk dilempar,
pensil warna untuk menggambar, sendok untuk makan?
Apakah lebih dari tigaperempat orang mengerti apa yang
dibicarakan anak anda?
2. Kemampuan reseptif
- Apakah anak dapat menunjukan minimal 2 nama benda di
depannya sesuai fungsinya (misal untuk minum: cangkir, untuk
dilempar: bola, untuk makan: sendok, untuk menggambar: pensil
warna)?
-Apakah anak dapat mengerjakan perintah yang disertai kata
depan? (misal : sekarang kubus itu di bawah meja, tolong taruh di
atas meja)?
3. Kemampuan visual
-Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan gerakan
tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba?
-Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin
sesuatu,
bukan dengan cara memegang dengan semua jari?

99
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

LAMPIRAN

LAMPIRAN 3 Skrining Retinopathy of Prematurity

3.1. Klasifikasi dan Gambaran ROP berdasarkan stadium

Stadium 1 Demarcation line – batas yang tegas,


mendatar, dan berwarna keputihan antara
retina vascular dan avaskular (retina normal
memiliki batas halus, nonlinear dan
kasar/feathery)

Stadium 2 Elevated ridge – garis batas memiliki tiga


dimensi

Stadium 3 Neovascularization – ekstraretinal, jaringan


proliferative fibrovaskular

Stadium 4 Retinal detachment – dapat berupa eksudasi


atau tarikan dan bisa terlepas sebagian atau
total
4A – tidak terdapat keterlibatan makula

4B – makula terlepas

Stadium 5 Total retinal detachment

Plus Adanya dilatasi dan lengkung-lengkung


diseases kompleks dari pembuluh darah polus posterior
pada sedikitnya dua kuadran retina. Hal ini
berhubungan dengan penyakit yang berat dan
hasil yang buruk. Lebih sering terjadi pada
stadium lanjut dan zona lebih rendah.

100
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Pre-plus disease : lengkung arteri lebih


kompleks dan dilatasi vena lebih daripada
normal tetapi tidak terlalu berat untuk
diklasifikasikan sebagai penyakit plus.
Rush disease (Aggressive Posterior ROP, AP-
ROP) : Bentuk ROP yang berat dan jarang
dengan peningkatan kompleksitas lengkungan
dan dilatasi pembuluh darah terdapat pada
keempat kuadran dari zona 1 dan terkadang
zona 2. Bisa tidak berlanjut kdari stadium 1 ke
stadium 3, tetapi cepat berlanjut ke stadium 4
atau 5.

Sumber: Kuschel C, Dai S. Retinopathy of Prematurity. Newborn Services Clinical


Guideline. 2007.

3.2. Gambar ROP dengan Retinal Camera (Ret Cam)

A B

Foto fundus untuk menggambarkan garis demarkasi pada stadium 1(A).


Garis demarkasi dalam stadium 1 ROP (B).

Foto fundus memperlihatkan ROP


stadium 2 pada persambungan
retina vaskular dan avaskular.

101
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Foto fundus memperlihatkan ROP


stadium 3 moderat dengan ekstensi
posterior sampai ke garis batas (tampak
dilatasi pembuluh darah posterior).

Gambaran ROP Stadium 4B


retinal detachment.

Gambaran ROP stadium 5.

102
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Plus disease

Sumber : The International Classification of Retinopathy of Prematurity Revisited


An International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity. Arch
Ophthalmol / Vol 123, July 2005.

3.3. Formulir Rekapitulasi Data Skrining ROP Periode …………. - ………… 20….

Rumah Sakit

Dokter:
1. Spesialis anak: …………………..
2. Spesialis mata: …………………..

Tabel 1. Situasi di NICU


Jumlah dokter spesialis anak
Jumlah perawat
Jumlah inkubator
Jumlah air-oxygen blenders
Jumlah pulse oxymeters
Jumlah flow devices
Jumlah CPAP
% jumlah bayi dengan oksigen yang dapat
dimonitor

a. Jumlah bayi prematur yang lahir (hidup dan mati) dari bulan ……… - ……..
20….;
b. Jumlah bayi prematur yang dilakukan skrining ROP dari bulan ……… - ……
20….;
c. Jumlah bayi prematur yang mengalami ROP dari bulan ………….. - ……… 20…;

103
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

Tabel 2. Data skrining


Berat lahir Jumlah Survival* Jumlah Jumlah Jumlah bayi
(gram) bayi lahir rates bayi yang bayi yang yang
hidup dilakukan terdiagnosis mendapatkan
skrining ROP terapi
ROP
< 1.000
1.000-1.499
1.500-1.749
1.750-1.999
2.000+
TOTAL -
Usia gestasi Jumlah Survival* Jumlah Jumlah Jumlah bayi
(minggu) bayi lahir rates bayi yang bayi yang yang
hidup dilakukan terdiagnosis mendapatkan
skrining ROP terapi
ROP
< 28
29-30
31-32
33-34
35+
TOTAL

*jumlah bayi yang hidup sampai diizinkan untuk pulang dari NICU
Contoh : jumlah bayi yang masih hidup ketika diperbolehkan pulang dari perinatologi RS A 10
bayi  survival rates = 10

Tabel 3. Faktor risiko yang ditemukan pada bayi prematur


Jumlah bayi* Jumlah bayi dengan
diagnosis ROP**
Sepsis atau infeksi berat yang disertai
dengan gangguan hemodinamik
Penggunaan O2 >7 hari atau O2 dengan
konsentrasi tinggi (misalnya
penggunaan head box, penggunaan O2
nasal, CPAP, Ventilator)
Transfusi darah berulang
Respiratory disease
Apneu
Asfiksia (APGAR score menit ke-5 < 3)
Small for gestational age (berdasarkan
kurva Lubchenco, terlampir)
Bronchopulmobary dysplasia
Patent ductus arteriosus
Intraventricular haemorrhage
Genetik (riwayat keluarga dengan
prematur dan atau ROP)
*jumlah keseluruhan bayi prematur dengan faktor-faktor risiko di atas

104
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit

**jumlah bayi prematur dengan diagnosis ROP yang memiliki faktor-faktor risiko di atas
Contoh: faktor risiko No.1, jumlah bayi 20 ; jumlah bayi dengan diagnosis ROP 5

Tabel 4. Staging
Berat lahir Im- Pre Plus Plus Aggres- Regres- Stage Stage Stage Stage Stage
(gram) mature Disease disease sive sion of I II III IV V
Retina (n) (n) Posterior ROP (n) (n) (n) (n) (n)
(n) ROP (n)
(n)
< 1.000
1.000-1.499

1.500-1.749

1.750-1.999

2.000+
TOTAL
Usia Im- Pre Plus Plus Aggres- Regres- Stage Stage Stage Stage Stage
gestasi mature Disease disease sive sion of I II III IV V
(minggu) Retina (n) (n) Posterior ROP (n) (n) (n) (n) (n)
(n) ROP (n)
(n)
< 28
29-30
31-32
33-34
35+
TOTAL

Tabel 5. Zone classification


Berat lahir Zone I Zone II Zone III
(gram) (n) (n) (n)
< 1.000
1.000-1.499
1.500-1.749
1.750-1.999
2.000+
TOTAL
Usia gestasi Zone I Zone II Zone III
(minggu) (n) (n) (n)
< 28
29-30
31-32
33-34
35+
TOTAL

105

Anda mungkin juga menyukai