Uji klinik itu terdapat 4 fase, namun di buku farmakoekonomi mana pun
hanya ada 3, fase keempat hanya registrasi. itu obat virus, menurut Prof Nizam
secara in Vitro mungkin betul, terdapat penelitian yang meneliti dari Jepang,
namun dari segi farmasetik masih jauh untuk menjadi obat. pada tahun 1994 di
PBBT sudah memproduksi 12 antibiotik. Lalu dihubungi lah pabrik-pabrik untuk
membuat antibiotik dalam skala laboratorium menjadi skala pabrik, namun hasilnya
tidak berhasil sampai sekarang. masalah ketidakberhasilan pembuatan antibiotik
skala industri karena antibiotik perlu diisolasi dan biaya yang dibutuhkan mahal.
Nah, Topik ini ada korelasinya dengan yang dikatakan Prof Nizam tentang
fitofarmaka.
Apakah ada obat untuk menaikkan imunitas? vaksinasi
Apakah ada obat untuk menaikkan imunitas di Indonesia?
Ada, namun tidak diributkan. pabriknya baik-baik saja, ada fitofarmaka
yaitu Dexa Medica yang memproduksi Stimuno yang berasal dari meniran
( phyllanthus niruri). Desa punya kebun meniran, lalu dibuat preparat dan diuji
klinik. karena herbal ada tingkatannya.
1. Jamu: bahan pengobatan pengalaman empiris
2. OHT: lulus uji pra klinis ( Uji farmasetik, toksikologi pada hewan uji)
3. fitofarmaka: terdapat uji klinis (terhadap orang sehat, orang yang sakit,
dan Orang yang dibagi 2 yaitu 1 diberi obat dan lainnya Plasebo)
Angka harapan hidup: manusia tertua di dunia (orang jepang) orang Amerika
sering darah tinggi itulah Norvask & Simvastatin ditemukan.
Metodelogi Farmakoekonomi:
CMA (Cost Minimum Analysis): memilih yang termurah (EA & CA)
EA: beli barang, referensi murah, tidak perduli bagus atau tidak
CA: beli barang terbaik (dokter memilih obat terbaik), harganya mahal.
CEA (Cost Effective Analysis): memilih yang termanjur/ terbaik/ berkualitas
CUA (Cost Utility Analysis): analisis tentang kemanfaatan dan biaya yang
dikeluarkan. Banyak manula penyakit meningkat
Contoh: Pasien gagal ginjal, hipertensi (obatnya variatif, membuat nyaman)
Setiap obat baru lebih manjur, lebih mahal karena biaya penelitian mahal.
Bagaimana menjual produk obat mahal dengan label baru (Proris, Paramex).
CBA (Cost Benefit Analysis)
Mahalnya suatu produk tidak menjamin kualitas produk. Banyak orang Indonesia
meyakini bahwa mahalnya harga suatu produk akan menjamin bahwa kualitasnya
baik. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.