Anda di halaman 1dari 74

SPEKTROFLUOROMETRI

Kelompok 4
Analisis Fisikokimia – Magister Farmasi Unjani

 Uwan Purnama (2260411006)


 Puspita Rachma Sari (2250411002)
 Nur Sidik Cahyono (2250411006)
 Riska Amelinda (2250411010)
 Santi Hasanah (2260411005)
 Nurhayati (2260411009)
POKOK BAHASAN
Pengertian, Kegunaan, Prinsip Kerja,
PENDAHULUAN
Teori Singkat, Instrumentasi

PENGERJAAN
SAMPEL

ANALISA
KUALITATIF &
KUANTITATIF

CONTOH
APLIKASI

RESUME
PENDAHULUAN
Pengertian
 Spektrofluorometri adalah metode analisis yang menggunakan pengukuran
intensitas cahaya fluoresensi yang dipancarkan oleh zat uji dibandingkan
dengan yang dipancarkan oleh suatu baku tertentu.

 Senyawa fluoresen memiliki dua spektrum, yaitu:

a. Spektrum eksitasi (panjang gelombang dan jumlah cahaya yang diserap)


b. Spektrum emisi (panjang gelombang dan jumlah cahaya yang
dipancarkan)
Kegunaan
 Digunakan secara luas untuk menganalisis obat baik dalam bentuk sediaan
maupun dalam sampel hayati. Obat atau zat aktif yang dianalisis harus yang
mampu berfluoresensi atau ditambahkan pereaksi tertentu yang dapat
membuat zat aktif tersebut menjadi berfluoresensi.
 Identifikasi tumpahan minyak, sumber tumpahan minyak seringkali dapat
diidentifikasi dengan membandingkan fluoresensi spektrum emisi dari
sampel tumpahan dengan sumber yang dicurigai.
Prinsip Kerja Spektrofluorometri

 Berdasar pada fluoresensi dan fosforesensi, yaitu proses emisi foton yang
terjadi pada saat relaksasi molekuler dari keadaan elektron yang tereksitasi.
Proses fotonik ini melibatkan transisi antara keadaan elektron dan vibrasi
molekul fluoresen poliatomik (fluorofor).
 Cahaya yang diemisikan terjadi karena proses absorpsi cahaya oleh atom yang
mengakibatkan keadaan atom tereksitasi. Keadaan atom yang tereksitasi akan
kembali ke keadaan semula dengan melepaskan energi yang berupa cahaya
(de-eksitasi)
 Pada umumnya cahaya yang diemisikan oleh larutan berfluoresensi
mempunyai intensitas maksimum pada panjang gelombang yang biasanya 20
nm hingga 30 nm lebih panjang dari panjang gelombang radiasi eksitasi
(gelombang pita penyerapan sinar yang membangkitkannya).
Prinsip Kerja Spektrofluorometer
 Cahaya polikromatis sumber cahaya diarahkan ke monokromator eksitasi
 Monokromator eksitasi diset pada λex dimana analit menyerap cahaya cukup
kuat diarahkan ke larutan sampel
 Analit menyerap absorpsi λex lalu molekul analit berfluoresensi atau
mengemisikan cahaya λem dengan panjang gelombang lebih besar dari λex
 Monokromator fluoresensi dengan posisi 90° diset pada λem untuk mencegah
gangguan cahaya eksitasi dan cahaya hamburan dari sel atau pelarut
 Detektor kemudian mengubah energi fluoresensi menjadi signal listrik
 Amplifier memperbesar signal listrik agar dapat disajikan pada display atau
direkam dengan printer dalam bentuk intensitas fluoresensi , spektrum
eksitasi atau emisi
Teori Singkat
 Banyak senyawa kimia yang mempunyai sifat fotoluminesensi, yaitu dapat dieksitasikan oleh
cahaya dan kemudian memancarkan kembali sinar yang panjang gelombangnya sama atau
berbeda dengan panjang gelombang semula (panjang gelombang eksitasi).

 Ada 2 peristiwa fotoluminesensi:

a. Fluoresensi, pemancaran kembali sinar oleh molekul yang telah menyerap energy sinar
terjadi dalam waktu yang sangat singkat setelah penyerapan (10-8 detik). Jika penyinaran
kemudian dihentikan, pemancaran kembali oleh molekul tersebut juga berhenti.
Fluoresensi berasal dari transisi antara tingkat-tingkat energy elektronik singlet dalam
suatu molekul.
b. Fosforesensi, pemancaran kembali sinar oleh molekul yang telah menyerap energy sinar
terjadi dalam waktu yang relative lebih lama (10-4 detik). Jika penyinaran kemudian
dihentikan, pemancaran kembali masih dapat berlangsung. Fosforesensi berasal dari
transisi antara tingkat-tingkat energi elektronik triplet ke singlet dalam suatu molekul
(biasanya didahului oleh lintasan antarsistem).
Teori Fluoresensi dan Fosforesensi
 Bila dua atom saling mengikat menjadi suatu molekul, maka pasangan elektron
yang membentuk ikatan antara kedua atom dianggap menempati suatu orbital
molekul yang terbentuk sebagai hasil tumpang tindih (overlapping) dua buah
orbital atom pembentuk molekul.
 Ada dua macam orbital molekul:

a. Orbital ikatan
Energi lebih rendah, ditempati elektron2 ikatan dalam keadaan azas (ground
state)
b. Orbital antiikatan
 Pada orbital ikatan dan antiikatan disuperposisikan juga tingkat-tingkat energi
vibrasi, akibatnya jika molekul menyerap energi sinar maka akan terjadi transisi
dari tingkat energi ikatan dan antiikatan yang diikuti oleh transisi energi vibrasi.
Teori Fluoresensi dan Fosforesensi
 Kebanyakan molekul memiliki jumlah elektron genap. Bila molekul berada
dalam keadaan azas, maka elektron tersebut akan menempati berbagai
orbital. Menurut Pauli, elektron yang berpasangan harus memiliki spin yang
berlawanan. Akibat dari spin yang berpasangan tadi, maka molekul tidak
memiliki sisa spin elektron. Molekul demikian dinamakan bersifat
diamagnetik.
 Tingkat energi di dalam molekul yang spin elektronnya berpasangan disebut
tingkat energi elektron singlet. Jika molekul ditempatkan dalam medan
magnet maka tingkat energi elektron singlet tidak akan pecah menjadi dua
tingkat energi. Sebaliknya, bila molekul memiliki elektron ganjil, maka bila
ditempatkan dalam medan magnet akan mengambil dua orientasi dan akan
terjadi pemecahan tingkat energi yang disebut splitting. Keadaan seperti ini
disebut keadaan doublet.
Teori Fluoresensi dan Fosforesensi
 Bila salah satu elektron keadaan singlet azas menyerap energi cahaya
(tereksitasi) maka ada dua kemungkinan:
a. Transisi ke tingkat energi elektron tereksitasi singlet (S) yang mana spin
elektron yang tereksitasi masih dalam arah yang berlawanan
b. Transisi ke tingkat energi elektron tereksitasi triplet (T) yang mana spin
elektron berubah dari semula berlawanan menjadi searah.
Teori Fluoresensi dan Fosforesensi
 Sifat molekul dalam keadaan singlet berbeda dengan keadaan triplet, yaitu:

a. Molekul dalam keadaan singlet bersifat diamagnetik, sedangkan triplet


bersifat paramagnetik
b. Kebolehjadian transisi singlet ke triplet lebih kecil daripada singlet ke
singlet, karena untuk transisi singlet ke triplet harus disertai perubahan
tingkat energi elektron. Akibatnya usia rata-rata eksitasi triplet lebih lama
dibanding usia rata-rata eksitasi singlet
c. Dalam keadaan tertentu, keadaan tereksitasi triplet dapat diisi dari
keadaan eksitasi singlet. Peristiwa ini disebut lintasan antar sistem.
Proses inilah yang mendasari fosforesensi.
Diagram Tingkat Energi pada Fluoresensi dan Fosforesensi
Diagram Tingkat Energi pada
Fluoresensi dan Fosforesensi
 Pada gambar tersebut ada 4 macam cahaya dengan 4 macam panjang
gelombang, yaitu:
a. Untuk mengeksitasi molekul dari keadaan dasar (So) ke keadaan
tereksitasi singlet (S1 dan S2) dibutuhkan sinar dengan panjang
gelombang λ1 dan λ2. Perhatikan bahwa molekul dapat dieksitasikan ke
berbagai tingkat energi vibrasi ke keadaan S1 dan S2.
b. Sinar yang dipancarkan kembali dari S1 dan T1 sebenarnya adalah sinar
dengan banyak panjang gelombang
Diagram Tingkat Energi pada
Fluoresensi dan Fosforesensi
 S menyatakan keadaan singlet yaitu suatu keadaan di mana semua elektron
berpasangan. Sedangkan T menyatakan keadaan triplet yaitu keadaan di mana
dua elektron dengan spin yang tidak berpasangan. Tingkat dasar merupakan
tingkat singlet. Keadaan triplet mempunyai tingkat energi yang lebih rendah dari
singlet.
 Perhatikan suatu transisi elektron dari keadaan dasar (So) ke tingkat singlet
secara eksitasi vibrasi (S2). Setelah molekul mengalami transisi, molekul akan
mengemisikan energinya yang telah diabsorpsi selama transisi dari tingkat dasar
(So) ke tingkat singlet (S2). Penghamburan (emisi) tersebut terjadi dengan
meradiasikan foton yang energinya sesuai dengan selisih tingkat eksitasi (S2)
dan tingkat dasar (So).
Diagram Tingkat Energi pada
Fluoresensi dan Fosforesensi
 Proses kompetisi relaksasi juga akan terjadi secara vibrasi ke molekul
terdekat dan merupakan suatu proses cepat yang umumnya terjadi pada zat
padat dan cair.
 Suatu proses disebut fluoresensi apabila emisi suatu foton sama nilainya
dengan energi yang diserap oleh suatu molekul.
 Bila suatu molekul tereksitasi di dalam larutan, maka akan dengan cepat
relaksasi ke tingkat vibrasi elektronik terendah, S1. konversi internal antara
S2 ke S1 meliputi perbedaan energi yang kecil. Vibrasi relaksasi ke tingkat
vibrasi terendah (S1) segera mendeaktivasikan molekul. Setelah mencapai
tingkat ini, molekul dapat kembali ke tingkat dasar, misalkan dengan radiasi
emisi. Panjang gelombang fluoresensi lebih besar daripada panjang
gelombang absorpsinya. Pelepasan energi dengan radiasi ini, dikenal sebagai
fluoresensi (yaitu dari S1 ke So).
Diagram Tingkat Energi pada
Fluoresensi dan Fosforesensi
 Selain melakukan konversi internal dan fluoresensi, suatu molekul pada
keadaan singlet (S1) dapat melakukan penyilangan (konversi) antarsistem
yang meliputi pembalikan spin elektron sehingga menempatkan molekul
pada keadaan triplet (T1). Setiap transisi dari tingkat triplet (T1) ke keadaan
dasar (So) merupakan fenomena pembalikan spin yang terlarang sehingga
waktu hidup tingkat triplet lebih lama daripada relaksasi vibrasi yaitu
sekitar 10-4 detik. Keseluruhan proses ini disebut fosforesensi. Suatu proses
fosforesensi adalah suatu proses yang mana suatu molekul melangsungkan
suatu transisi dari triplet ke tingkat dasar.
Hubungan Struktur Molekul dengan

Fluoresensi
Supaya terjadi fluoresensi, harus terjadi peresapan cahaya yang kuat oleh suatu
molekul. Hal ini dapat terjadi pada senyawa aromatic, senyawa heterosiklik dan
molekul dengan system konjugasi. Senyawa dengan transisi elektronik π -- π *,
mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk berfluoresensi daripada
transisi n -- π *. Misalnya, benzen dapat berfluoresensi sedangkan piridina
tidak.
 Dengan suatu pereaksi tertentu, senyawa yang tidak berfluoresensi dapat
diubah menjadi senyawa yang berfluoresensi. Metode ini penting baik untuk
senyawa organic maupun aorganik, dan banyak senyawa anorganik membentuk
kompleks yang mudah berfluoresensi dengan pereaksi organic. Misalnya,
kepekaan pada penetapan So dapat dipertinggi sampai 0,002 µg dengan
menggunakan 2,3-diaminonaftalena sebagai pembentuk kompleks. Vitamin B1
dalam sediaan Farmasi atau makanan dapat ditetapkan secara
spektrofluorimetri setelah dioksidasi menjadi tiokrom yang mudah
berfluoresensi.
Instrumen
Spektrofluoromete
r
Instrumen Spektrofluorometer
 Komponen-komponen utama dari masing-masing instrumen ini yaitu:

1. Sumber energi eksitasi


Banyak terdapat sumber radiasi. Lampu merkuri relatif stabil dan
memancarkan energi terutama pada panjang gelombang diskret. Lampu
tungsten memberikan energi kontinyu di daerah tampak. Lampu pancar xenon
bertekanan tinggi seringkali digunakan pada spektrofluorometer karena alat
tersebut merupakan sebuah sumber dengan intensitas tinggi yang
menghasilkan energi kontinyu dengan intensitas tinggi dari ultraviolet sampai
inframerah. Pada spektrofluorometer biasanya digunakan lampu Xenon ( 150
W ) yang memancarkan spektrum kontinu dengan panjang gelombang 200-
800nm. Energi eksitasi diseleksi dengan monokromator eksitasi.
Instrumen Spektrofluorometer
2. Kuvet untuk sampel
Sel spesimen yang digunakan dalam pengukuran fluoresensi dapat berupa
tabung bulat atau sel empat persegi panjang (kuvet), sama seperti yang
digunakan pada spektrofotometri resapan, terkecuali keempat sisi vertikalnya
dipoles. Ukuran spesimen uji yang sesuai adalah 2 ml sampai 3 ml, tetapi
beberapa instrumen dapat disesuaikan dengan sel-sel kecil yang memuat 100
μl hingga 300 μl atau dengan pipa kapiler yang hanya memerlukan jumlah
spesimen yang kecil.
Bila panjang gelombang untuk eksitasi di atas 320nm dapat digunakan kuvet
dari gelas, akan tetapi untuk eksitasi pada panjang gelombang yang lebih
pendek digunakan kuvet dari silika. Kuvet tidak boleh berfluoresensi dan tidak
boleh tergores karena dapat menghamburkan.
Instrumen Spektrofluorometer
3. Detektor
Pada umumnya fluorometer menggunakan tabung-tabung fotomultiplier
sebagai detektor, banyak tipe dari jenis tersebut yang tersedia dan masing-
masing mempunyai ciri khusus yang berkenaan dengan daerah spektral dengan
kepekaan maksimum, menguntungkan dan derau secara elektrik. Arus foto
diperbesar dan dibaca pada sebuah meter atau perekam. Seperti pada
spektrofotometri, detektor yang biasa digunakan adalah ‘fotomultiplier tube’
atau ‘thermocouple’. Pada umumnya, detektor ditempatkan di atas sebuah
poros yang membuat sudut 90° dengan berkas eksitasi. Geometri sudut siku ini
memungkinkan radiasi eksitasi menembus spesimen uji tanpa
mengkontaminasi sinyal luaran yang diterima oleh detektor fluoresensi. Akan
tetapi tidak dapat dihindarkan detektor menerima sejumlah radiasi eksitasi
sebagai akibat sifat menghamburkan yang ada pada larutan itu sendiri atau
jika adanya debu atau padatan lainnya. Untuk menghindari hamburan ini
maka digunakan instrumen yang bernama filter
Instrumen Spektrofluorometer
4. Sepasang filter atau monokromator untuk menyeleksi panjang gelombang
eksitasi dan emisi
Ini menggunakan sepasang monokromator (grating) untuk menyeleksi
radiasi eksitasi dan emisi yang lebih akurat (memberikan kepekaan yang
tinggi) sehingga kesulitan-kesulitan tersebut diatas dapat diatasi.
Monokromator pertama mendispersikan cahaya dari sumber cahaya
sehingga menghasilkan radiasi eksitasi yang monokromatis. Sampel yang
tereksitasi kemudian berfluoresensi sehingga merupakan sumber cahaya
bagi monokromator kedua. Dengan alat ini dapat dibuat spektrum eksitasi
maupun emisi.
Cara Kerja Spektrofluorometer
 Larutan zat disinari dengan sinar yang panjang gelombangnya di sekitar panjang gelombang
penyerapan maksimum yang berasal dari lampu raksa atau lampu pijar yang telah disekat
dengan filter. Intensitas fluoresensi diukur atau dibandingkan dengan intensitas larutan
baku. Sinar fluoresensi dibebaskan dari sinar hamburan dengan melewatkan sinar melalui
filter atau monokromator. Cara pengukuran pada dasarnya sama dengan cara
spektrofotometri. Karena zat organik yang berfluoresensi mungkin terurai secara fotokimia,
penyinaran harus dilakukan sesingkat mungkin. Oleh karena daerah di mana intensitas
fluoresensi sebanding dengan kadar umumnya sangat sempit, maka perbandingan
tidak boleh kurang dari 0,40 dan tidak boleh lebih dari 2,50

Keterangan : a = pembacaan intensitas fluoresensi larutan baku; b = pembacaan intensitas


fluoresensi larutan blangko untuk zat baku; c = pembacaan intensitas fluoresensi larutan
uji; d = pembacaan intensitas fluoresensi larutan blangko untuk zat uji

 Sebagai zat baku dapat digunakan zat yang sama dengan zat dalam keadaan murni atau zat
murni lain yang mempunyai pita penyerapan dan fluoresensi yang sama dengan zat uji
Cara Kerja
Intensitas

Diagram energi fluoresensi dan fosforesensi


(luminensi)
Diagram alir
penelitian
PENGERJAAN SAMPEL
Pengerjaan sampel
Zat yang dapat ditentukan kadarnya dengan metode analisis
spektrofluorometri, diantaranya :

a) Senyawa anorganik
Hanya beberapa kation tertentu yang dapat Membentuk kompleks
dengan pereaksi organik sehingga berfluoresensi sehingga dapat
dianalisis dengan spektrofluoremetri.

Contoh :
 8-hidroksikinolin (Al, Be, Li, dan Mg)
 Benzoin (B, Zn, Sn, dan Si)
 Alizarin Garnet R (Al)
Pembentukan Fluoren

Tidak semua senyawa senyawa berfluoresensi. Pembentukan fluoren membutuhkan :

a. Gugus aromatic
b. Memiliki potensi untuk meningkatkan perpanjangan konjugasi
c. Salah satu gugus memberikan electron missal –OH, -NH2 yang
menempel pada gugu aromatik. (electron yang menarik diri ke
dalam gugus bisa saja menurunkan atau merusak fluoren)

Contoh pembentukan fluoren


b) Senyawa organik

Metode spektrofluorimetri lebih banyak digunakan untuk analisis


senyawa organik seperti :

 Riboflavin
 Thiamin HCL
 Asam Folat
 Quinin
 Cyanocobalamin
 Penisilin
Pembuatan larutan standar
Dibuat larutan standar senyawa dengan konsentrasi 1000 mg/L dengan
pelarut organik (co: n-heksan) yang kemudian diencerkan menjadi 100 mg/L.
Larutan standar ini kemudian diencerkan menjadi 0.5, 1, 2, 4, 8, dan, 16
mg/L. kemudian dilakukan pengukuran intensitas fluoresensi untuk
menentukan linearitas, presisi, akurasi, limit deteksi, dan limit kuantitasi.

Penentuan λ eksitasi dan λ emisi


Panjang gelombang eksitasi dan emisi ditentukan dengan membaca
spektrum salah satu standar.

Pembuatan kurva standar dan penentuan linieritas


Kurva standar dibuat dengan mengukur Intensitas fluoresensi dari
masing-masing konsentrasi larutan standar seri sebanyak lima kali
ulangan, kemudian diplot terhadap konsentrasi. Linearitas ditentukan
dari koefisien korelasi (R) persamaan garis lurus kurva standar.
ANALISA KUALITATIF
& ANALISA KUANTITATIF
ANALISA KUALITATIF DAN KUANTITATIF SPEKTROFLUOROMETRI
Metode Spektroflurometri dapat digunakan untuk:

a. Analisa kualitatif , Perbandingan spektrum fluoresensi dapat membantu pengenalan senyawa atau
bahan. 

b. Analisa kuantitatif, Pengukuran dapat dilakukan pada kadar yang sangat rendah dengan

ketepatan, keterulangan, dan kepekaan tinggi. Misalnya pengukuran kadar vitamin E.

Teknik analisis spektrofluorometri adalah termasuk salah satu tenik analisis instrumental
disamping teknik kromatografi dan elektroanalisis kimia. Teknik tersebut memanfaatkan fenomena
interaksi materi dengan gelombang elektromagnetik seperti sinar-x, ultraviolet, cahaya tampak dan
inframerah.

Fenomena interaksi bersifat spesifik baik absorpsi maupun emisi. Interaksi tersebut menghasilkan
signal-signal yang disadap sebagai alat analisis kualitatif dan kuantitatif. Contoh teknik
spektroflourometri absorpsi adalah UV/VIS, inframerah (FT-IR) dan absorpsi atom (AAS). Sedang
contoh spektrofluorometri emisi adalah spektrofluorometri nyala dan inductively coupled plasma
(ICP), yang merupakan alat ampuh dalam analisis logam.
Analisa Kuantitatif
• Pada larutan dengan konsentrasi tinggi, sebagian besar cahaya diserap lapisan larutan yang
paling dulu kontak dengan radiasi eksitasi, sehingga fluoresensi hanya terjadi pada bagian yang
menyerap cahaya tersebut. Dengan demikian, pada analisis kuantitatif harus digunakan larutan
yang encer (serapan tidak lebih dari 0,02) supaya dapat memenuhi persamaan fluoresensi:

 F = 2,3IoQabc atau F = kc

 Keterangan:

 F = fluoresensi

 k = konstan = 2,3Ioabc

 Io = intensitas sumber cahaya

 Q = efisiensi fluoresensi

 a = daya serap

 b = tebal larutan

 c = konsentrasi
CONTOH
Analisis Kadar Parasetamol Dalam Tablet dengan
Spektrofluorometri
 Alat:
1) Spektrofluorometer
2) kompor listrik
3) kertas saring
4) gelas ukur
5) pipet volume
6) pipet ukur
7) mikro pipet
8) labu ukur
9) timbangan digital
10) tabung reaksi
11) Termometer
12) Corong
13) Cawan petri
14) Alat uji disolusi.
 Bahan
1) hasil proses pencampuran pembuatan
tablet paracatamol
2) tablet parasetamol
3) baku pembanding  BPFI
4) NaOCl
5) Aq.bidestilata
6) Na2CO3
7) H3BO3
8) kertas Ph.
Prosedur percobaan:

Pembuatan larutan baku: dari Parasetamol 1,mm


mg/mL dibuat menjadi kurva baku ( 0,1; 0,2; 0,4
dan 0,8  µg/mL)

Larutan baku dibuat Larutan NaOCl : dari standar


70,0 g/L konsentrasi 0,01 M dengan aqua
demineralisata

Larutan Buffer : 0,4 M Na2CO3 + 0,4 M


H3BO3
dibuat dengan melarutkan 2,12 g Na2CO3
dalam aqua demineralisata ad 50,0 dan
1,24 g H3BO3 yang dilarutkan dalam aqua
demineralisata ad 50,0mL.
IPC  (In Process Control)
Penentuan homogenitas campuran
Semua bahan di Mixer digerakkan sampel diambil dari
masukkan dalam dengan kecepatan dalam mixer dari tiap
mixer 100 RPM bagian mixer (5 tempat)

  Sampel dilarutkan Sampel diambil


Waktu pengambilan
dengan NaOH  ad masing-masing 100
cuplikan 8 menit
pH 10 mg.

Di+kan aqudest ad lakukan Ambil 1,00 mL + 2,00 mL


10,0 mL, gojok ad pengenceran ad 5000 dapar Na2CO3 H3BO3 + 3,5
homogen kali mL NaOCl, kocok

Dipanaskan pada
Didinginkan dengan Dibaca dengan
suhu 800 C selama 2
aq.dest ad 10,0 mL spektrofluorometer dengan
menit
panjang gelombang eksitasi
= 335nm, panjang
Ditentukan gelombang emisi = 427 nm
homogenitas campuran
berdasarkan nilai CV
Disolusi tablet
Parasetamol Aduk Ambil
dengan sampel 10
1 tablet 900 ml ml pd
aquadest kecepatan
PCT menit ke-8
50 rpm

Kemudian ambil 1 ml Dilakukan Dari sampel


larutan yang sudah pengencera diambil 1
dilakuan pengenceran n 200 kali ml

Kocok,
2 ml dapar kemudian Dinginkan
Na2CO3H3BO3 dan dipanaskan dengan
3,5 ml NaOCl pada suhu aquadest
80°C selama 2 ad 10 ml
menit
Panjang Panjang
gelombang Dibaca dengan
gelombang
emisi 427 spektrofluorome
eksitasi 335
nm ter
nm
Penetapan kandungan zat
aktif

Timbang dan serbukkan


tidak kurang dari 20 Timbang seksama Tambahkan
tablet. sejumlah serbuk tablet NaOH ad pH 10
setara dg ± 100 mg PCT

Ambil 1,00 mL +
2,00 mL dapar Kemudian dilakukan Tambahkan aq.dest
Na2CO3 H3BO3 + pengenceran sampai ad 10,0 mL, gojok ad
3,50 mL NaOCl 5000 kali homogen
kocok

Dibaca dengan
spektrofluorometer
dengan panjang
Panaskan sampai Dinginkan dengan gelombang eksitasi =
suhu 800 C aq.dest ad 10,0 mL 335nm, panjang
gelombang emisi = 427
nm
 Spektroskopi fluorometri hanya dapat menggunakan senyawa yang berfluororesensi,

 Supaya terjadi fluororesensi, harus terjadi peresapan cahaya yang kuat oleh suatu molekul. Hal ini dapat terjadi pada senyawa
aromatic, senyawa heterosiklik dan molekul dengan system konjugasi.

 Senyawa dengan transisi elektronik π- π*, mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk berfluororesensi daripada transisi n-
π*. Misalnya benzene dapat berfluororesensi sedangkan piridin tidak.

 Menggunakan NaOH sebagai pelarut karena salah satu syarat suatu senyawa ata zat yang akan di analisis adalah harus terlebih
dahulu dilarutkan dengan pelarut yang sesuai.

 Zat-zat lain yang dapat diuji menggunakan spektroskopi fluorometri adalah:

1) Vitamin B1 (Thiamin)

2) Vitamin C (Asam Askorbat)

3) Kinin

4) Reserpina

5) Klorpromazin
CONTOH APLIKASI
ABSTRACT
Metode analisa FI-Fluorimetri untuk penentuan rhodamine B (RhB) secara
berkesinambungan dan berurutan dalam produk kosmetik, telah dikembangkan
dan dievaluasi dalam hal sensibilitas dan selektivitas. Telah dilakukan study
terkait pengaruh beberapa larutan surfaktan pada sinyal fluoresensi RhB.
Perhatian khusus diberikan pada sifat agregasi sistem RhB-SDS. Respon linear
telah diperoleh pada range 1,6 × 10−9 sampai 1 × 10−6 mol/L dengan batas deteksi 5
× 10−10 mol/L. Teknik baru ini memberikan pelepasan sederhana terhadap sampel,
filtrasi on-line dengan kecepatan sampling lebih dari 100 sampel per jam.
Penentuan RhB telah diterapkan pada lipstick.
PENDAHULUAN
 Produk kosmetik merupakan produk yang bertujuan untuk
membersihkan, mempercantik, atau meningkatkan daya tarik.
Dampak ekonomi dari produk ini tidak dapat diremehkan. Untuk
industry kosmetik, kemungkinan dapat bernilai miliaran dolar per
tahun.
 Ketika produk kosmetik diaplikasikan pada kulit dan kontak langsung
dengan zat berbahaya dapat menyebabkan penyakit kulit seperti
iritasi, reaksi alergi, serta dapat diserap dan disimpan dalam organ
yang berbeda, baik dalam jangka cepat atau jangka panjang akan
menunjukan toksisitasnya, alasan inilah yang mana pemerintah telah
membuat daftar bahan yang dilarang untuk digunakan pada kosmetik
 Diantara daftar tersebut, FDA telah mengatur penggunaan rhodamine
B (RhB, C28H31N2O3Cl) pada industry kosmetik, karena sifatnya yang
karsinogenik
Lanjutan…
 RhB merupakan turunan pewarna fluorescent kelas xantin, yang
disintesis dari kondensasi anhydrate pthialic dengan m-
dialkylaminophenol. Pada umumnya digunakan sebagai pewarna
sintetis yang diaplikasikan pada pakaian dan pewarna makanan.
Pada industri farmasi, RhB digunakan sebagai pewarna kosmetik dan
obat (larutan, tablet, kapsul, pasta gigi, sabun, lipstick, eye shadow,
dll)
 Dalam papper ini, metode penentuan kuantitatif RhB dalam sampel kosmetik
dilakukan berdasarkan fluoresensi tanpa ekstraksi atau langkah pretreatment yang
telah dikembangkan. Peningkatan sensitivitas dicoba dengan menggunakan surfaktan
anionik SDS (natrium laurilsulfat). Pada kondisi dibawah optimal, sistem telah
disesuaikan dengan analisis Flow Injection Analysist (FIA), yang menunjukkan waktu
pengambilan sampel yang sangat singkat, berpotensi dapat digunakan untuk kontrol
dalam analisis rutin
Percobaan
*Peralatan :
1. Shimadzu RF-5301PC spektrofluorimeter (Shimadzu corporation,
analytical instrument division, Kyoto, Japan)
2. Xenon discharge lamp
3. 1 cm quartz cells (digunakan untuk pengukuran fluorescent)
4. Pompa gilson minipuls 3 peristaltic
5. PVC pumping tubes
6. Valve (digunakan untuk konfigurasi FIA)
7. pH meter
Percobaan
*Bahan/Reagen
1. Larutan stok standar 50µg/mL yang telah dipreparasi dengan melarutkan RhB
dalam ultra pure water dan simpan dalam botol coklat di suhu ruang
2. Larutan standar kerja 5µg/mL yang telah di encerkan dari larutan stok standar
dengan ultra pure water
3. Sodium dedocylsulfate (SDS)
4. Triton X-100
5. Hexadecyltrimethyl-ammonium bromide (HTAB)
6. Sodium tetraborate
7. Concentratted chlorhydric chloride
8. Sodium Hydroxide
9. Sodium Chloride
10. Potasium chloride
11. Sampel Lipstik
Percobaan
*Preparasi Sampel
1. Timbang 5 mg sampel lipstick
2. Pindahkan kedalam beker glass 50 ml
3. Tambahkan 20 ml ultra pure water,
4. Larutkan dengan mengunakan string mechanical selama 15
menit pada 333 K sebelum dimasukkan kedalam sistem FIA
untuk ditentukan
Percobaan
*Prosedur Experiment
Alirkan larutan SDS (2,1 x 10-3 mol/L) yang telah dikombinasikan dengan borax (0,1
mol/L) kedalam reactor R1, membentuk aliran pembawa (Gambar 1). Larutan sampel
atau standar akan dibawa menuju kolom yang dikemas dengan cotton wool (CC) untuk
mengumpulkan komponen waxy yang terdapat dalam sampel, kemudian diiinjekan
selama 15 detik kedalam aliran pembawa. RhB yang terkandung dalam sampel atau
standar akan berinteraksi dengan aliran pembawa kedalam reactor 2. Kemudian
dialirkan kedalam detector fluorosence diukur pada λex 560 nm dan λem 577 nm. Range
linearitas yang diperoleh dengan variasi lebar celah 1.5-1.5 nm sampai 5-5 nm. Setelah
proses injeksi, valve aliran eluent (ultra pure water 338K) diaktifkan menuju CC column
dalam contra-stream, pembersihan komponen waxy yang tertinggal dan dilakukan
pembuangan (Gambar 2).
Result and discussion
3.1 Sifat Spectrum RhB
RhB dalam larutan sebagai jenis ion, berbentuk netral, agregat lactone dan atau
molecular, tergantung pH, pelarut, suhu, dan konsentrasi. RhB ditandai oleh serapan
khas dan spektrum emisi yang dipengaruhi oleh media tertentu seperti kekuatan ion,
adanya bahan tambahan, dll.
Secara tradisional, RhB memiliki absorbsivitas molar yang besar dalam spektrum
electromagnetic yang dikaitkan dengan π→ π* transition. Absorpsi dan fluorescent
emisi dipengaruhi oleh substituent atom Nitrogen pada kelompok amino xanthin base
Result and discussion
3.2 Pengaruh Surfactant
Untuk melakukan emisi luminescent, sifat fluorescent RhB dalam berbagai surfactant telah
dipelajari: surfactant anionic (SDS 0,9 x10 -3 mol/L), surfactant cationic (HTAB 0,5 x 10 -2 mol/L) dan
surfactant non ionic (TX-100 0-1 x 10-3 mol/L). Berdasarkan data percobaan menunjukkan factor
peningkatan sistem RhB-SDS (2.5 kali lipat fluorescent RhB dalam media air) lebih tinggi
disbanding RhB-HTAB (2 kali lipat) (Gambar 3). Pada RhB TX-100, ganggun spektrum sangat
penting untuk diamati. Dengan demikian surfactant anionic SDS dipilih untuk proses selanjutnya
dengan konsentrasi SDS diatas 1x10-2 mol/L. Masalah kelarutan dapat menyebabkan erornya
pengukuran fluoresensi.
Kesetimbangan agregasi SDS dalam RhB pada kondisi percobaan menujukkan ada nya
perbedaan yang sangat besar dari larutan air. Untuk sistem RhB-SDS, respon Fluorescen
menunjukkan inflection point pada SDS = 3.1 x 10 -4 mol/L (Gambar 4). Perubahan SDS CMC
menunjukkan pembentukan agregat campuran pada konsentrasi dibawah CMC yang dilaporkan
8x10-3 mol/L.
Peningkatan intensitas fluoresen RhB dengan penambahan SDS dikaitkan dengan sedikit
pergeseran hipsokromik dari λem maksimum (Gbr. 3); Hal tersebut mencerminkan bahwa lingkungan
mikro di sekitar pewarna sangat berbeda dari yang ada di larutan air. Ini dapat dikaitkan dengan
pembatasan yang dikenakan pada rotasi bebas gerakan yang kompetitif dengan emisi luminescent.
Selain itu, kesetimbangan RhB dari bentuk agregat molekul dapat dipindahkan ke jenis monomer yang
terhadu pada saat disagregasi zat warna
Result and discussion
3.3 Pengaruh pH dan Kekuatan Ion
Intensitas fluoresen RhB dalam larutan SDS mencapai nilai maksimum antara pH
7,0 dan 8,5 (Gbr. 5); karenanya, pH 8,0 dipilih sebagai perolehan optimum dengan
natrium tetraborat untuk pemeriksaan kadar lebih lanjut.
Untuk mempelajari efek penambahan garam inert pada larutan micellar RhB, larutan
NaCl dan KCl diuji. Dalam semua kasus yang dipelajari, peningkatan konsentrasi di atas
6 × 10−2 mol/L memicu fenomena pengaburan pada sistem, dan di bawah nilai-nilai ini
tidak ada pengaruh yang signifikan diamati.
Result and discussion
3.4 Parameter Larutan Sampel
Dalam pelarut polar seperti air, RhB sangat larut dan ditemukan sebagai jenis ionik.
Oleh karena itu, ultra pure water dipilih sebagai pelarut yang memenuhi syarat untuk
melarutkan sampel. Matriks kompleks produk kosmetik menyulitkan analisis rutin, tidak
hanya karena adanya pewarna potensial yang mengganggu, tapi juga beragam senyawa
matriks dan aditif dalam produk tersebut. Lipstik biasanya terdiri dari minyak jarak dalam
persentasi yang tinggi, persen variabel beeswax, carnauba wax, dan lanolin, sejumlah
variabel zat warna larut dan tidak larut, pigmen dan parfum. Komposisi waxy dari lipstik
sulit untuk melebur sempurna pada suhu kamar; oleh karena itu, pemanasan dapat
membantu proses ini, diperlukan selama 15 menit dengan menggunakan mechanic
stirring. Pengaruh suhu pada larutan sampel pada range 298-363 K. Range titik lelesh 333
K. Pada kondisi ini, non-dekomposisi diamati untuk zat warna.
Meskipun kehadiran etanol mempercepat kelarutan komponen waxy, ketika proporsi
etanol dinaikkan, akan terjadi peningkatan kekeruhan filtrat karena sistem emulsifikasi
Result and discussion
3.5 Optimasi Variabel FIA
Variabel yang mempengaruhi kinerja metode Analisa telah dipelajari dan
dioptimalkan untuk mendapatkan sinyal yang tinggi dan reproduktifitas yang baik,
menggunakan metode un-variated. Range yang dipelajari pada variabel FIA dan nilai
optimalnya dicantumkan pada Tabel 1.
Untuk mencapai retensi komponen waxy dan/atau partikulat on-line, kolom yang
digunakan adalah 100 µL tabung polypropylene berbentuk kerucut yang dikemas dengan
filter yang berbeda telah diuji (sebagai serat alami dan sintetis). Untuk menghilangkan
material yang tertahan di CC dan preparat sistem FIA untuk pengujian kadar berikutnya,
ultra pure water pada suhu yang berbeda telah diuji (298–353K) sebagai larutan pencuci
yang efisien pada 338 K.
Result and discussion
3.6 Performa Analisa
Kurva kalibrasi RhB direalisasikan di bawah kondisi kerja optimal sesuai dengan prosedur yang
dijelaskan di atas. Diperoleh linearitas pada range 1,6 × 10 −9 sampai 1 × 10−6 mol/L (konsentrasi
sebelum pengenceran on-line), variasi lebar celah eksitasi dan emisi 1,5–1,5 nm hingga 5,0–5,0 nm.
Gambar 6 menunjukkan diagram yang diperoleh dengan grafik kalibrasi yang sesuai untuk lebar
celah eksitasi dan emisi 3 dan 5nm, masing-masing. Data dilengkapi dengan kuadrat-terkecil standar
memberikan persamaan regresi untuk grafik kalibrasi F =11,867 + 9 × 10 9 C (r2 = 0,9995), di mana F
adalah intensitas fluoresensi (rata-rata dari tiga pengukuran untuk masing-masing) dan C adalah
konsentrasi RhB yang dinyatakan dalam mol/L . Menurut IUPAC, Kemiringan dari grafik kalibrasi
adalah sensitivitas kalibrasi.
Batas deteksi menggunakan eksitasi dan emisi lebar celah 5,0–5,0 nm, diperkirakan sebagai
konsentrasi analit yang menghasilkan sinyal analitik sebesar tiga kali standar deviasi (SD = 1,456)
dari fluoresensi latar memberikan nilai 5 × 10 −10 mol/L dan kuantifikasi batas sama dengan 10 kali
SD dari fluoresensi (1,6 × 10 −9 mol/L). Nilai-nilai ini adalah 2 kali lipat lebih rendah dari yang lain
dilaporkan.
Result and discussion
3.7 Aplikasi dan Validasi
Untuk memeriksa penerapan metodologi yang diusulkan untuk penentuan kuantitatif RhB dalam produk kosmetik, berhasil diterapkan
pada lipstik merek dagang yang berbeda. Sejak tidak ada metode resmi atau standar untuk penentuannya, validasi pengembangan
metode uji recovery telah dilakukan pada sampel ini dan hasil yang diperoleh ditunjukkan pada Tabel 2.
Telah dipelajari pemilihan awal sampel yang dilakukan dengan memilih palet warna yang mengandung zat warna ; sampel tersebut
termasuk kelompok lipstik pink tua, fuchsia dan merah. Aplikasi dilakukan dengan mengambil triplo 5 mg dari 10 sampel, dan setelah
pengenceran yang sesuai, disuntikkan secara triplo dalam sistem FIA. Pada Gambar. 6. Hasil dari tiga sampel yang disajikan di mana
dua dari mereka menyajikan tingkat yang signifikan RhB (12.0 dan 8.3 g L−1 , masing-masing), dan yang ketiga mewakili sisa sampel
tanpa tingkat RhB yang terdeteksi. Tingkat RhB yang ditemukan dalam sampel dapat sangat bervariasi, karena banyaknya sampel,
serta proporsi pewarna yang berbeda. Dalam sampel ini, level yang terdeteksi serupa dari yang lain. Hasil yang diperoleh
menunjukkan reproduktifitas yang baik, dispersi yang rendah dan sensibilitas yang memadai untuk setiap seri puncak sampel yang
diuji. Selain itu, tingkat pengambilan sampel yang tinggi diperoleh (lebih dari 100 sampel per jam ) perbandingan metodologi lain yang
dilaporkan yang melibatkan sampel pretreatment yang memakan waktu, menunjukkan kegunaan metode yang diusulkan untuk kontrol
analitik rutin.
Result and discussion
3.7 Aplikasi dan Validasi
Pemilihan awal sampel dilakukan dengan memilih palet warna yang mungkin berisi pewarna
yang dipelajari; mereka termasuk kelompok lipstik pink, fuchsia dan merah yang kuat. Aplikasi
dilakukan dengan mengambil sampel secara triplo 5 mg dari 10 sampel, dan setelah pengenceran
yang sesuai, disuntikkan secara triplo dalam sistem FIA. Pada Gambar. 6 hasil dari tiga sampel
disajikan di mana dua dari mereka menyajikan tingkat yang signifikan RhB (12.0 dan 8.3 g/L ,
masing-masing), dan yang ketiga mewakili sisa sampel tanpa tingkat RhB yang terdeteksi.
Tingkat RhB yang ditemukan dalam sampel kami dapat sangat bervariasi, karena banyaknya
sampel, serta proporsi pewarna yang berbeda. Pertimbangan lain yang harus diperhatikan adalah
tempat lipstik dibuat atau dikomersialkan. Dalam sampel kami, level yang terdeteksi serupa dari
yang lain. Hasil yang diperoleh menunjukkan reproduktifitas yang baik, dispersi yang rendah dan
sensibilitas yang memadai untuk setiap seri puncak yang diuji. sampel. Selain itu, tingkat
pengambilan sampel yang tinggi diperoleh (lebih dari 100 sampel per jam) perbandingan dengan
metodologi lain yang dilaporkan yang melibatkan sampel pretreatment yang memakan waktu,
menunjukkan kegunaan metode yang diusulkan untuk kontrol analitik rutin.
conclusions
Metode spektrofluorimetri FIA yang diusulkan untuk menentukan RhB
dalam sampel lipstik memiliki keuntungan sederhana, kecepatan, akurasi, batas
deteksi rendah dan alat yang digunakan murah. Penggunaan sistem micellar SDS
memberikan cara yang sederhana untuk meningkatkan fluoresensi dari RhB
sekitar 2,5 kali lipat meningkatkan sensitivitas dan batas deteksi tanpa
manipulasi sampel lebih lanjut. Prosedur yang direkomendasikan ternyata
cukup selektif untuk mentolerir aditif umum yang ada dalam kosmetik
komersial. Selain itu, dapat dikatakan range linieritas yang diperoleh dalam
kurva kalibrasi, dengan hasil sensitivitas tinggi memadai untuk kontrol kualitas
dan analisis rutin lipstik. Metodologi ini telah menunjukkan potensi dalam
penerapannya; Hal ini bisa diterapkan untuk penentuan keberadaan RhB dalam
produk kosmetik lainnya seperti eye shadow, pemerah pipi dan lainnya.
Demikian juga, kami bekerja dalam pengembangan dari aplikasi baru untuk
penentuan RhB dalam makanan dan minuman
RESUME
 Spektroflurometri adalah metode analisis dimana pengukuran intensitas
cahaya fluoresensi yang dipancarkan oleh zat uji dibandingkan dengan yang
dipancarkan oleh baku standar.
 Prinsip pengukuran Spektroflurometri adalah pada saat suatu molekul pada
keadaaan energi dasar mengabsorpsi cahaya UV, molekul tersebut akan
berpindah kekeadaan tereksitasi. Pemancaran kembali sinar yang diabsorpsi
terjadi dan molekul kembali ke tingkat energi dasar karena molekul dalam
keadaan tereksitasi cendrung tidak stabil. Energi yang tidak stabil dalam
molekul tadi akan dilepaskan ke tingkat energi dasar dengan berbagai cara,
dimana energi yang dilepaskan tersebut sebagaiemisi cahaya.
 Syarat utama suatu senyawa bisa dianalisis dengan Spektrofluorometri
adalah senyawa tersebut harus yang mampu berfluoresensi atau bila
ditambahkan pereaksi tertentu akan berfluoresensi.
RESUME
 Komponen utama dalam Spektroflurometer antara lain:

1. Sumber energi eksitasi


2. Kuvet
3. Detektor
4. Sepasang filter atau monokromator untuk menyeleksi panjang gelombang
eksitasi dan emisi
Pustaka
 Skoog, DA. et al., 2006, Fundamentals of Analytical Chemistry, 9th ed.,
Brooks/Cole, Cengage Learning, California.
 Gandjar, I. G., Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
 Modul Kuliah Spektroskopi, 2007, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
 Wang, C. C., Masi, A. N., & Fernández, L. (2008). On-line micellar-enhanced
spectrofluorimetric determination of rhodamine dye in cosmetics. Talanta,
75(1), 135–140. https://doi.org/10.1016/j.talanta.2007.10.041
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai