Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ANALISIS SEDIAAN

“SPEKTROFOTOMETRI FLUORESENSI”

OLEH

KELOMPOK 1

1. AGNES RIWU (184111033)


2. AGUSTINA NONI METE (184111034)
3. ANTONI RIVALDO DOPO KUDU (184111035)
4. APLOSIANA MALORUNG (184111036)
5. APRIANI GA (184111037)
6. CESARINA FREITAS (184111038)
7. CHARLY T.R RUPIASA (184111039)
8. EDELTRUDIS PAULINA FONO (184111040)
9. ELISABETH SILVANA MALO (184111041)
10. FEBRIANA YOSEFA MARIETA (184111043)
11. MERIDA YUNITA MARO (174111050)
12. NUNO SENGKOEN (174111055)

KELAS : FARMASI B/V

FAKULTAS KESEHATAN

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

UNIVERSITAS CITRA BANGSA

KUPANG
2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas Farmakoterapi 1 ini. Penulis berharap agar Tugas ini dapat menambah wawasan bagi
para pembaca tentang “SPEKTROFOTOMETRI FLUORESENSI ”.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu apt. Christin A. Beama S. Farm, M. Farm
selaku dosen pengampu mata kuliah Analisis Sediaan karena tugas yang diberikan juga telah
menambah pengetahuan dan wawasan penulis.

Penulis menyadari Tugas ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Kupang, Januari 2021


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................2

DAFTAR ISI......................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................4

1.1. LATAR BELAKANG.................................................................................................4

1.2. RUMUSAN MASALAH............................................................................................4

1.3. TUJUAN......................................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................5

2.1. TEORI FLUORESENSI DAN FOSFORISENSI.......................................................5

2.2. VARIABEL-VARIABEL YANG MEMPENGARUHI FLUORESENSI DAN


FOSFORESENSI...................................................................................................................6

2.3. MOLEKUL-MOLEKUL YANG MAMPU BERFLUORESENSI.............................9

2.4. PENGGUNAAN FLOURESENSI DAN FOSFORISENSI DIBIDANG FARMASI.11

2.5. SISTEM INSTRUMENTASI....................................................................................12

BAB III PENUTUP........................................................................................................................14

3.1. KESIMPULAN.........................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Banyak senyawa kimia yang mempunyai sifat fotoluminisensi, yakni senyawa kimia
tersebut dapat diekstasikan oleh cahaya dan kemudian memancarkan kembali sinar yang
panjang gelombangnya sama atau berbeda dengan panjang gelombang semula (panjang
gelombang eksitasi). Ada 2 peristiwa fotoluminisensi, yaitu fluorosensi dan fosforisensi.
Pada fluoresensi, pemancaran kembali sinar oleh molekul yang telah menyerap energi sinar
terjadi dalam waktu yang sangat singkat setelah penyerapan (10-8 detik).
Jika penyinaran kemudian dihentikan, pemancaran kembali oleh molekul tersebut juga
berhenti. Fluoresensi berasal dari transisi antara tingkat-tingkat energi elektronik singlet
dalam suatu molekul. Pada fosforesensi, akan terjadi pemancaran kembali sinar oleh
molekul yang telah menyerap energi sinar dalam waktu yang relatif lebih lama (10-4 detik).
Jika penyinaran kemudian dihentikan, pemancaran kembali masih dapat berlangsung.
Fosforesensi berasal dari transisi antara tingkat-tingkat energi elektronik triplet ke singlet
dalam suatu molekul (biasanya didahului oleh lintasan antar sistem).
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana teori fluoresensi dan fosforisensi?
2. Apa variabel yang mempengaruhi fluoresensi dan fosoforisensi?
3. Apa saja molekul yang mampu berfluoresensi?
4. Bagaimana penggunaan fluoresensi dan fosforisensi di bidang farmasi?
5. Bagaimana sistem instrumentasi fluorometri?
1.3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui teori fluoresensi dan fosforisensi
2. Untuk mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi fluoresensi dan fosoforisensi?
3. Untuk mengetahui molekul yang mampu berfluoresensi?
4. Untuk mengetahui penggunaan fluoresensi dan fosforisensi di bidang farmasi?
5. Untuk mengetahui sistem instrumentasi fluorometri?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TEORI FLUORESENSI DAN FOSFORISENSI


Untuk memahami sifat-sifat khas fluoresensi dan fosforesensi perlu diketahui
pengertian orbital molekul. Bila dua atom saling mengikat menjadi suatu molekul maka
pasangan elektron yang membentuk ikatan antara kedua atom dinggap menempati suatu
orbital molekul yang terbentuk sebagai hasil tumpang tindih (overlapping) dua buah
orbital atom pembentuk molekul. Dari hasil kombinasi ini akan membentuk dua macam
orbital molekul, yaitu orbital ikatan dan orbital anti ikatan. Orbital ikatan yang
mempunyai energi lebih rendah akan ditempati elektron-elektron ikatan dalam keadaan
azas (ground state). Perlu diketahui pula bahwa pada orbital ikatan dan anti ikatan
disuperposisikan juga tingkat-tingkat energi vibrasi, akibatnya jika molekul menyerap
energi sinar maka akan terjadi transisi dari tingkat energi ikatan dan anti ikatan yang
diikuti oleh transisi energi vibrasi. Kebanyakan molekul mempunyai jumlah elektron
genap.
Bila molekul dalam keadaan azas, maka elektron-elektron tersebut akan
menempati berbagai orbital. Menurut Pauli, elektron yang berpasangan harus
mempunyai spin yang berlawanan. Akibat dari spin yang berpasangan tadi, maka
molekul tidak mempunyai sisa spin elektron. Molekul-molekul yang mempunyai sifat
demikian dikatakan bersifat diamagnetik. Tingkat energi di dalam molekul yang spin
elektronnya berpasangan disebut tingkat energi singlet. Jika molekl ditempatkan dalam
medan magnet, maka tingkat energi elektron singlet tidak akan pecah menjadi dua
tingkat energi. Sebaliknya suatu radikal bebas mempunyai elektron ganjil bila
ditempatkan dalam medan magnet, maka elektron akan mengambil dua orientasi dan
akan terjadi pemecahan tingkat energi yang disebut dengan splitting. Keadaan seperti
ini disebut dengan keadaan doublet. Bila salah satu elektron keadaan singlet azas
menyerap energi cahaya (tereksitasi) maka ada dua kemungkinan :
a) Transisi ke tingkat energi elektron tereksitasi singlet (S) yang mana spin elektron
yang tereksitasi masih dalam arah yang berlawanan.
b) Transisi ke tingkat energi elektron tereksitasi triplet (T) yang mana spin elektron
berubah dari semula berlawanan menjadi searah Sifat-sifat molekul dalam keadaan
singket tidak sama dengan sifat-sifat molekul dalam keadaan triplet.
Berikut adalah sifat-sifatnya : Molekul dalam keadaan singlet bersifat diamagnetik,
sedangkan pada keadaan triplet bersifat paramagnetik. Kebolehjadian transisi snglet
→triplet lebih kecil daripada transisi singlet→singlet, karena untuk transisi singlet →
triplet harus disertai perubahan tingkat energi elektron. Akibatnya rata-rata (life time)
eksitasi triplet lebih lama dibandingkan usia rata-rata eksitasi singlet. Dalam keadaan
tertentu, keadaan tereksitasi triplet dapat diisi dari keadaan eksitasi singlet. Peristiwa
ini disebut dengan lintasan antar sistem (Inter System Crossing). Proses inilah yang
mendasari fosforisensi.

2.2. VARIABEL-VARIABEL YANG MEMPENGARUHI FLUORESENSI DAN


FOSFORESENSI
Ada beberapa variabel yang berpengaruh pada flueresensi dan fosforesensi yaitu
:
1. Hasil kuantum (efisiensi kuantum, quantum yield)
Efisiensi kuantum merupakan bilangan yang menyatakan perbandingan antara
jumlah molekul yang berfluoresensi terhadap jumlah total molekul yang tereksitasi.
Besarnya efisiensi kuantum adalah :
0 ≤ ∅ ≤1
Nilai ∅ yang diharapkan adalah mendekati 1, yang berarti efisiensi fluoresensi
sangat tinggi.
Selain fluoresensi, molekul-molekul yang tereksitasi juga mengalami
beberapi proses deaktivasi. Dengan demikian maka efisiensi fluoresensi ditentukan
oleh tetapan laju (rate constant). Proses fluoresensi dibandingan dengan tetapan laju
proses-proses deaktivasi yang lain.
Efisiensi fluoresensi dapat dinyatakan dengan besaran hasil kuantum
fluoresensi (∅ ¿ yang mana :
∅: Kf
K f + KKD + KKL + KLAS + KPD + KD
K : konstanta kecepatan untuk proses deaktivasi
f : Fluoresensi
KD : Konversi ke dalam
KL : Konversi ke luar
LAS : lintasan antar system
PD ; pra-disosiasi
D : Disosiasi
Di atas menunjukkan interpretasi secara kuantitatif dari berbagai factor
yang menyangkut struktur molekul dan lingkungan kimia yang mempengaruhi
kemampuan suatu molekul untuk berfluoresensi. Factor struktur dan lingkungan
yang mnyebabkan nilai Kf yang tinggi dan nilai konstanta deaktivasi lain yang
rendah akan membantu terjadinya fluoresensi.
Hasil kuantum dan transisi electron
Menurut pengamatan empiris, peristiwa fluoresensi lebih banyak terjadi
pada senyawa-senyawa yang mana tingkat energy electron tereksitasi yang paling
rendah adalah keadaan tereksitas n → n* dari pada senyawa-senyawa yang mana
tingkat tereksitasi kuantum n→n* lebih besar daripada efisiensi kuantum n→n*,
yang menyebabkannya, yaitu :
a. Absorptivitas molar transisi n→n* lebih besar 100-1000 kali disbanding
transisi n→n*.
Absorptivitas molar merupakan ukuran kebolehjadian adanya transisi, baik dari
tingkat energy yang rendah ke tingkat energy yang lebih tinggi atau sebaliknya.
Dengan demikian kebolehjadian transisi n→n* lebih besar dibandingkan
transisi n→n*.
b. Umur hidup (life time) keadaan tereksitasi n→n* lebih pendek (10 -9 detik)
daripada n→n* (10-7 detik), karenanya tetapan laju fluoresensi (K f ) transisi
n→n* lebih besar dari pada a n→n*, sehingga efisiensi kuantum menjadi lebih
tinggi.
c. Tetapan laju lintasan antar system (KLAS) transisi n→n * lebih kecil daripada
transisi n→n*. Hal ini disebabkan energy antara singlet-singlet pada transisi
n→n* jauh lebih besar daripada energy antara singlet-triplet pada transisi
n→n* jauh lebih besar daripada energy antara singlet-triplet pada transisi
n→n* sehingga untuk membalikkan arah spin juga diperlukan energy yang
besar pada n→n*, dengan demikian nilai KLAS transisi n→n* menjadi kecil,
akibatnya nilai KLAS transisi n→n* menjadi kecil, akibatnya nilai ∅ menjadi
lebih besar (efisiensi kuantumnya tinggi).
2. Pengaruh kekakuan struktur
Fluoresensi dapat terjadi dengan baik jika molekul-molekul memiliki struktur
yang kaku (rigid). Contoh fluoren memiliki efsiensi kuantum (∅) yang besar
(mendekati 1) karena adanya gugus metilen, dibandingkan dengan bifenil yang
memiliki efisiensi kuantum yang lebih kecil (sekitar 0,2).
3. Pengaruh suhu
Bila suhu makin tinggi maka efisiensi kuantum fluoresensi makin berkurang.
Hal ini disebabkan pada suhu yang lebih tinggi, tabrakan-tabrakan antar molekul
atau tabrakan molekul dengan pelarut menjadi lebih sering, yang mana pada
peristiwa tabrakan, kelebihan energy molekul yang tereksitasi dilepaskan ke
molekul pelarut jadi semakin tinggi suhu maka terjadinya konversi keluar besar
(sehingga KKL juga besar), akibatnya efisiensi kuantum.
4. Pengaruh pelarut
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengaruh pelarut pada
fluoresensi, yaitu:
a. Jika pelarut makin polar maka intensitas fluorosensi makin besar alasannya,
semakin polar pelarut maka akan menurunkan energy proses transisi n→n*
sehingga energy transisi ini lebih kecil dibandingkan energy transisi n→n*,
akibatnya intensitas fluorosensi semakin besar.
b. Jika pelarut mengandung atom-atom yang berat (Br, 1 atau senyawa yang lain)
missal : CBr4, C2H5I, maka uinteraksi antara gerakan spin dengan gerakan
orbital electron-elektron ikatan lebih banyak terjadi, dan hal tersebut akan
memperbesar laju lintasan antara system atau mempermudah pembentukan
triplet sehingga kebolehjadian fluorosensi lebih kecil, sedangkan kebolehjadian
fosforesensi lebih besar.
5. Pengaruh PH
PH berpengaruh pada letak keseimbangan antara bentuk terionisasi dan
bentuk tak terionisasi. Sifat fluorosensi dari kedua bentuitu berbeda. Sebagai
contoh, fenol dalam suasana asam akan berada dalam bentuk molekul utuh dengan
panjang gelombang antara 285-365 nm san nilai ↋ = 18 M -1 cm-1 , sementara jika
dalam suasana basa maka fenol akan terionisasi membentuk ion fenolat yang
mempunyai panjang gelombang 310-400 nm dan ↋ = 10 M-1 cm-1 .
Contoh sebaliknya adalah anilin yang bersifat basa lemah sehingga dalam larutan
basa akan berada dalam bentuk molekul utuh sementara dalam larutan asam akan
mengalami protonasi sehingga tidak mempunyai auksukrom.
6. Pengaruh oksigen
Adanya oksigen akan memperkecil intensitas fluoresensi. Hal ini disebabkan
oleh terjadinya oksidasi senyawa karena pengaruh cahaya (fotochemically induced
oxidation). Pengurangan intensitas fluorosensi disebut pemadaman sendiri atau
quenching. Molekul oksigen bersifat paramagnetic, dan molekul yang bersifat
seperti ini dapat mempengaruhi dan mempermudah lintasan antar system sehingga
memperkecil kemungkinan fluorosensi sebaliknya memperbesar kebolehjadian
fosforesensi.
7. Pemadaman sendiri (self quenching) dan penyerapan sendiri
Disebabkan oleh tabrakan-tabrakan antar molekul zat itu sendiri. Tabrakan-
tabrakan itu menyebabkan energy yang tadinya akan dilepaskan sebagai sinar
fluorosensi ditransfer ke molekul lain, akibatnya intensitas berkurang. Salah satu
proses pemadaman sendiri dapat ditulis sebagai :
Molekul analit tereksitasi + pemadam (quencher) →Molekul analit
berkeadaan dasar + pemadam + energi
Hal ini berarti bahwa adanya pemadam akan menginduksi deeksitasi dari
suatu molekul analit yang tereksitasi sehingga tidak ada sinar yang diemisikan.
Oksigen merupakan salah satu contoh pemadam bagi senyawa-senyawa
poliaromatis hidrokarbon, karenanya oksigen ini harus dihilangkan sebelum
dilakukan analisis. Penyerapan sendiri terjadi jika panjang gelombang fluorosensi
tumpang tindih dengan puncak serapan senyawa yang bersangkutann. Akibatnya
intensitas fluoresensi berkurang pada waktu berkas sinar melaui larutan.
2.3. MOLEKUL-MOLEKUL YANG MAMPU BERFLUORESENSI
Sistem ikatan rangkap terkonjugasi memiliki struktur yang planar dan kaku
sehingga akan kaku menyerap secara kuat di daerah 200-800 nm pada radiasi
elektromagnetik. Senyawa-senyawa yang mempunyai ikatan rangkap konjugasi ini
merupakan calon (kandidat) senyawa yang mampu berfluoresensi. Modifikasi struktur
terhadap senyawa-senyawa ini dapat menurunkan atau meningkatkan intensitas
fluoresensi, tergantung pada sifat dan letak gugus substituen.
Meskipun tidak ada aturan umum yang terkait dengan terbentuknya fluoresensi
(peningkatan atau penurunan intensitas fluoresen), akan tetapi beberapa kaidah dapat
membantu analis untuk membuat keputusan terkait dengan penggunaan fluoresensi
sebagai teknik analisis untuk melakukan analisis kuantitatif obat dan metabolitnya.
Sebagai contoh, gugus-gugus yang memberikan elektron (electron donating groups)
seperti gugus hidroksil, amino atau metoksi yang terikat secara langsung pada sistem
ikatan dapat memfasilitasi terjadinya proses fluoresensi.
Gugus-gugus yang menarik elektron (electron withdrawing groups) seperti
nitro, bromo, iodo, siano, atau karboksil cenderung mengurangi intensitas fluoresensi.
Untuk obat-obat yang mempunyai gugus fungsional yang dapat terionisasi yang terikat
pada sistem konjugasi, pemilihan pH dapat mempengaruhi sensitifitas dan selektifitas
pengujian. Dalam kasus senyawa fenol, ionisasinya menjadi anion fenolat biasanya
mendorong fluoresensi; sementara itu perubahan amin aromatis menjadi kation
amonium aromatis menghambat proses fluoresensi.
Penambahan banyaknya ikatan rangkap terkonjugasi dalam suatu sistem
menyebabkan peningkatan fluoresensi utamanya jika dalam sistem struktur aromatis
heterosiklis, yakni suatu struktur aromatis yang mengandung gugus N,S, dan O.
Intensitas fluoresensi senyawa heterosiklis yang mengandung gugus-NH seringkali
meningkat pada pH asam yang mana gugus nitrogen mengalami protonas.

Beberapa senyawa yang menunjukkan fluoresensi instrinsik ( Munson, 1981)

Senyawa Pelarut pH ƛeks ƛem

Adriamisin Air 4 495 580


Alimorfin Air 1 285 355
Aminopterin Air 7 280, 370 460
Amobatbital Air 14 265 410
Asam folat Air 7 315 440
Asam salisilat Air 10 310 400
Difenhidramin Air 2 258 285
Estrogen Air 13 490 546
Imipramin Air 14 295 415
Insulin Air 6 490 520
Kinidin Air 1 350 450
Morfin Air 7 285 350
Oksiklorokuin Air 11 335 380
Pada tabel diatas, meringkas beberapa obat yang dapat diukur secara langsung
karena senyawa-senyawa obat ini berfluoresensi secara intrinsik. Obat-obat yang
terdapat dalam tabel diatas dapat diukur secara langsung dalam media air, dalam pelarut
organik, dan dalam matriks padat. Jenis pengukuran yang digunakan tergantung pada
karakteristik fluoresensi suatu struktur molekul senyawa tertentu. Karena fluoresensi
tergantung pada lingkungan pengukuran, pengaruh pelarut dan suhu sering memberikan
efek yang dramatis, bahkan jika seseorang bekerja dengan senyawa yang sangat
fluoresen.

2.4. PENGGUNAAN FLOURESENSI DAN FOSFORISENSI DIBIDANG


FARMASI.
Ada tiga keuntungan analisis fluorosensi dan fosforimetri dibandingkan dengan
spektrofotometri absorbsi yaitu :
a. Fluorometri lebih peka. Pada fluorometri pengukuran dilakukan dengan
secara langsung terhadap intensitas sinar fluoresen. Pengukuran
langsung ini tanpa dilakukan perbandingan sinar semula (I0). Hal ini
dapat tercapai karena detektor pada fluorometri ditempatkan pada arah
yang tegak lurus dengan sinar pengeksitasi. Kepekaan fluorometri dapat
dipertinggi dengan cara memperbesar intensitas sinar pengeksitasi atau
dengan memperkuat (mengamplifikasi) sinar flouresen.
b. Flourometri lebih selektif. Hal ini karena hanya sedikit senyawa yang
dapat memancarkan kembali sinar fluoresen atau fosforesen. Sementara
itu, pada proses absorbsi dapat dikatakan hampir semua senyawa organik
mampu melakukannya.
c. Pada fluorometri gangguan spektral dapat dikurangi dengan cara
merubah panjang gelombang eksitasi atau emisi. Gangguan spektral
adalah gangguan yang ditimbulkan oleh senyawa – senyawa lain yang
melakukan penyerapan (absorbsi) dan emisi sinar fluoresen pada
gelombang sama dengan senyawa yang dianalisis. Metode fluorosensi
dan fosforisensi digunakan secara luas untuk analisis obat baik alam
bentuk sediaan atau dalam sampel hayati. Hal ini terbukti dari
banyaknya senyawa obat yang ditetapkan dengan metode ini.
2.5. SISTEM INSTRUMENTASI
Peralatan pada fluorosensi dan fosforesensi dapat digolongkan menjadi 2 kelompok
yaitu :
 Fluorometer penyaring.

1 Sumber Sinar
Lampu merkuri dan lampu xenon merupakan sumber radiasi yang paling
sering digunakan. Emisi lampu xenon terdistribusi pada kisaran panjang
gelombang yang luas, sementara itu emisi lampu merkuri memberikan
intensitas yang sangat tinggi pada daerah panjang gelombang tertentu
yaitu didaerah 254 nm dan 366 nm, sehingga sangat sesuai untuk radiasi
eksitasi.
2 Penyaringan Eksitasi
Kebanyakan fluorometer berupa penyaring kaca yang akan
mentransmisikan sinar panjang gelombang yang dikehendaki dan akan
menyerap semua radiasi yang lain. Penyaring-penyaring kaca ini akan
menstramisikan pita radiasi dengan lebar antara 50 – 100 nm.
3 Wadah Sampel
Wadah sampel ada dua jenis yaitu gelas dan kuarsa. Wadah sampel dari
kuarsa harus digunakan pada panjang gelombang di bawah 320 nm.
4 Sinar Emisi dan Penyaringan Sekunder
Sinar fluoresen diemisikan ke segala arah oleh sampel. Beberapa sinar
yang ditransmisikan akan dihamburkan (scattered) dalam arah ini dan
sinar yang tidak diharapkan ini akan dihilangkan dengan penyaring
fluoresensi kedua yang dipilih sedemikian rupa sehingga penyaring
kedua ini akan mentransmisikan secara maksimal.
 . Spektrofluorometer

Kalau diperhatikan, akan nampak bahwa komponen-komponen alat


spektrofluorometer hampir sama dengan komponen-komponen pada
spektrofotometer. Ada 2 perbedaan antar keduanya yakni bahwa pada
spektrofluorometer ada 2 monokromator, yaitu satu monokromator yang
digunakan untuk panjang gelombang eksitasi dan yang lainnya digunakan untuk
panjang gelombang emisi. Suatu jenis spektrum fluoresensi ditunjukkan oleh
gambar 11.9 yang selalu mempunyai spektrum eksitasi dan spektrum emisi.
Dalam gambar 11.9, kinin sulfat mempunyai spektrum eksitasi di ℷ 250 nm dan
spektrum emisi di ℷ 450 nm.
BAB III

PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
1. Sifat fotoluminisensi senyawa yaitu senyawa kimia tersebut dapat diekstasikan
oleh cahaya dan kemudian memancarkan kembali sinar yang panjang
gelombangnya sama atau berbeda dengan panjang gelombang semula (panjang
gelombang eksitasi).
2. Variabel-variabel yang mempengaruhi fluoresensi dan fosforesensi yaitu hasil
kuantum (efisiensi kuantum, quantum yield), pengaruh kekakuan struktur,
pengaruh pelarut, pengaruh suhu, pengaruh PH, pengaruh oksigen terlarut,
pemadaman sendiri (self quenching) dan penyerapan sendiri
3. Senyawa-senyawa yang mempunyai ikatan rangkap konjugasi ini merupakan
calon (kandidat) senyawa yang mampu berfluoresensi
4. Metode fluorosensi dan fosforisensi digunakan secara luas untuk analisis obat
baik alam bentuk sediaan atau dalam sampel hayati. Hal ini terbukti dari
banyaknya senyawa obat yang ditetapkan dengan metode ini.
5. Sistem instrumentasi fluorometri adalah fluorometer penyaring dan
spektrofluorometer
DAFTAR PUSTAKA
Gandjar, Ibnu Gholib., Abdul Rohman.2012.Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Anda mungkin juga menyukai