Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM

ANALISIS INSTRUMENTASI

PERGESERAN BATHOKROMIK DAN HIPSOKROMIK PADA SENYAWA


METIL ORANGE

KAMIS, 02 MARET 2017

Dosen Pengampu Matakuliah:

Drs. Sodiq Ibnu, M.Si

Dr. Sc. Anugrah Ricky Wijaya, S.Si,. M.Sc

Disusun Oleh:

KELOMPOK 6 :OFFERING H 2014


M. Syarief Hidayatullah (140332603283)*
Mahrullina Mahirotul Aisyah (140332600336)
Mira Nur Fadilah (140332604554)
Moh. Ilham Ramadana (140332602141)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
LABORATORIUM KIMIA ANALITIK
JURUSAN KIMIA
2016

PERCOBAAN IV

A. TUJUAN
1. Mengidentifikasi terjadinya pergeseran maks penyerapan sinar oleh senyawa metil
oranye pada berbagai pelarut.
2. Menentukan jenis transisi elektron pada senyawa metil oranye berdasarkan
absorptifitas molarnya.
3. Menggambar kurva (plot) antara maks senyawa metil oranye sebagai konstanta
dielektrikum pelarut.
B. DASAR TEORI

Spektrofotometer UV-Vis merupakan gabungan antara spektrofotometer UV dan


Visible. Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopik yang
memakai sumber REM (radiasi elektromagnetik) ultraviolet dekat (190-380 nm) dan sinar
tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer.
Pada spektrofotometer UV-Vis digunakan dua buah sumber cahaya berbeda yakni
sumber cahaya UV dan sumber cahaya visible. Spektrofotometer ini termasuk
spektrofotometer berkas ganda. Pada spektrofotometer berkas ganda blanko dan sampel
dimasukan atau disinari secara bersamaan, sedangkan skema spektrofoto- meter UV-Vis
seperti yang tertera pada gambar berikut.
E

Energi yang dimiliki sinar UV-Vis mampu menyebabkan perpindahan elektron atau
yang disebut transisi elektronik. Transisi elektronik dapat diartikan sebagai perpindahan
elektron dari satu orbital ke orbital yang lain. Disebut transisi elektronik karena elektron yang
menempati satu orbital dengan energi terendah dapat berpindah ke orbital lain yang memiliki
energi lebih tinggi jika menyerap energi, begitupun sebaliknya elektron dapat berpindah dari
orbital yang memiliki energi lebih rendah jika melepaskan energi. Energi yang diterima atau
diserap berupa radiasi elektromagnetik.
Energi yang terserap kemudian akan dihitung dan dianalisis. Hasilnya akan
memberikan gambaran mengenai materi yang menyerap energi tersebut. Jumlah cahaya yang
diserap proporsional dengan banyaknya partikel yang menyerap.
Penyerapan di wilayah ultraviolet dan sinar tampak berasal dari eksitasi elektron ikatan yang
ada dalam molekul. Panjang gelombang yang spesifik ada hubungannya dengan tipe ikatan
yang dimiliki oleh suatu molekul. Dengan kata lain, puncak-puncak serapan yang spesifik ini
merupakan karakteristik dari gugus fungsi dalam sampel, jika sampel tersebut mengandung
senyawa organik. Dalam hal ini, informasi yang diberikan sangat berguna untuk penentuan
struktur, walaupun tidak dapat digunakan untuk memastikan struktur sebuah senyawa.
Berdasarkan mekanika kuantum transisi elektronik yang dibolehkan atau tidak
dibolehkan (terlarang) disebut kaidah seleksi. Berdasarkan kaidah seleksi, suatu transisi
elektronik termasuk:
1. Transisi diperbolehkan bila nilai sebesar 103 sampai 106.
2. Transisi terlarang bila nilai sebesar 10-3 sampai 103.
Selain dengan melihat harga kaidah seleksi dapat dapat dinyatakan dengan simetri dan spin.
Berdasarkan simetri dan spin suatu transisi elektronik diperbolehkan bila:
1. Berlangsung antara orbital-orbital dalam bidang yang sama.
2. Selama transisi orientasi spin harus tetap.
Dalam satu molekul terdapat dua jenis orbital yakni orbital ikatan (bonding orbital)
dan Orbital Anti-ikatan (antibonding orbital). Orbital ikatan dibagi menjadi beberapa jenis
yakni orbital ikatan sigma (, = ikatan tunggal) dan orbital phi (, = ikatan rangkap),
sedangkan orbital nonikatan berupa elektron bebas yang biasanya dilambangkan dengan n.
Orbital nonikatan umumnya terdapat pada molekul-molekul yang mengandung atom
nitrogen, oksigen, sulfur dan halogen. Orbital ikatan sigma () dan orbital phi () terbentuk
karena terjadinya tumpang tindih dua orbital atom atau orbital-orbital hibrida. Dari dua
orbital atom dapat dibentuk dua orbital molekul yakni orbital ikatan dan orbital anti ikatan.
Dengan demikian jika suatu molekul mempunyai orbital ikatan maka molekul tersebut
mempunyai orbital anti-ikatan. Orbital anti-ikatan biasanya diberi notasi atau tanda asterik
atau bintang (*) pada setiap orbital yang sesuai. Orbital ikatan orbital anti-ikatannya adalah
*, sedangkan orbital ikatan orbital anti-ikatannya adalah *. Terjadinya transisi elektronik
atau promosi elektron dari orbital ikatan ke orbital anti-ikatan tidak menyebabkan terjadinya
disosiasi atau pemutusan ikatan. Dalam proses transisi ini tidak semua elektron ikatan
terpromosikan ke orbital anti-ikatan.
Berdasarkan jenis orbital tersebut maka, jenis-jenis transisi elektronik dibedakan menjadi
empat macam, yakni:
1) Transisi *
2) Transisi *
3) Transisi n *
4) Transisi n *

Transisi * tidak begitu penting karena puncak absorbsi berada pada daerah
ultraviolet vakum yang berarti tidak terukur oleh peralatan atau instrumen pada umumnya.
Walaupun transisi * pada ikatan ganda terisolasi mempunyai puncak absorbsi di
daerah UV vakum tetapi transisi * tergantung pada konjugasi ikatan ganda dengan
suatu gugus fungsi substituen. Akibatnya transisi * pada ikatan ganda terkonjugasi
mempunyai puncak absorbsi pada daerah ultraviolet dekat, dengan panjang gelombang lebih
besar dari 200 nm. Dengan demikian transisi yang penting adalah transisi * serta
beberapa transisi n * dan n*.
Tipe-tipe serapan yang terjadi akan menyesuaikan dengan elektron yang dimiliki oleh
molekul. Karena banyaknya transisi yang mungkin, biasanya spektrum UV-vis akan berupa
puncak-puncak yang lebar yang sulit dipisahkan satu sama lain. Itulah sebabnya, informasi
yang diberikan sebenarnya tidak spesifik untuk tiap gugus fungsi, namun pola dan profil
serapan lebih banyak digunakan sebagai konfirmasi yang kuat kan keberadaan senyawa
organik.
Zat yang dapat dianalisis dengan spektrofotometri UV-Vis yaitu zat dalam bentuk
larutan dan zat yang tidak tampak berwarna maupun berwarna. Terdapat beberapa istilah
yang biasa digunakan yaitu:
1) Kromofor. Kromofor berasal dari bahasa latin yang artinya chromophorus yang berarti
pembawa warna. Pada mulanya pengertian kromofor digunakan untuk sistem yang
menyebabkan terjadinya warna pada suatu senyawa. Kemudian diperluas menjadi suatu
gugus fungsi yang mengabsorbsi radiasi elektromagnetik, termasuk yang tidak memberikan
warna. Jadi kromofor adalah gugus fungsi yang menyerap atau mengabsorbsi radiasi
elektromagnetik di daerah panjang gelombang ultraviolet dan daerah cahaya tampak. Contoh
kromofor: C=O, C=C, N=N dan NO2.
2) Auksokrom (Auxochrom = auxiliary chromophores), yakni gugus yang berpengaruh
(namun sedikit) terhadap absorpsi UV, tetapi berdampak cukup signifikan pada
absorbansinya (maks dan ). Contoh gugus auksokrom adalah : OH, OR, dan NHR.
Secara umum gugus-gugus auksokrom dicirikan oleh adanya pasangan elektron bebas yang
terdapat pada gugus yang bersangkutan.
3) Geseran batokromat atau geseran batokromik (Bathochromic shift) atau geseran merah,
yakni geseran atau perubahan maks ke arah yang lebih besar. Penyebab terjadinya peristiwa
ini adalah adanya perubahan struktur, misalnya adanya auksokrom atau adanya pergantian
pelarut.
4) Geseran hipsokromat (Hypsochromic shift) atau pergeseran hipsokromik atau pergeseran
biru, yakni geseran atau perubahan maks ke arah yang lebih kecil. Munculnya gejala ini juga
sering disebabkan oleh adanya penghilangan auksokrom atau oleh adanya pergantian pelarut.
Seperti yang dibahas diatas, ada dua macam pergeseran panjang gelombang
maksimum senyawa kromofor, yaitu pergeseran batokromik dan hipsokromik. Berbagai
faktor yang mengakibatkan terjadinya pergeseran salah satunya adalah faktor penggantian
pelarut dari polar ke non polar atau sebaliknya. Kepolaran pelarut mempengaruhi maks karena
kepolaran molekul biasanya berubah jika suatu elektron bergerak dari satu orbital ke orbital
lainnya.
Pergeseran panjang gelombang maksimum kearah batokromik atau hipso-kromik
terkait erat dengan jenis transisi elektron didalam senyawa, apakah transisi n *
atau *. Jika suatu senyawa kromofor mempunyai transisi n *, maka pergantian
pelarut dari non polar ke polar menyebabkan terjadinya pergeseran hipsokromik. Hal ini
disebabkan adanya solvasi yang terjadi lebih kuat karena adanya pasangan elektron bebas dan
hal ini menyebabkan turunnya energi n. kadang-kadang juga terjadi karena adanya molekul-
molekul pelarut yang mampu mengadakan ikatan hidrogen berinteraksi lebih kuat dengan
molekul pada keadaan dasar daripada dengan molekul pada keadaan tereksitasi, sehingga
transisinya memerlukan energi yang lebih besar maka terjadi pergeseran yang lebih kecil.
Jika transisinya *, maka pergantian pelarut dari non polar ke polar menyebabkan
terjadinya pergeseran batokromik . Pada umumnya transisi * menghasilkan keadaan
tereksitasi yang lebih polar dari keadaan dasar molekul itu. Interaksi dipol-dipol antara
molekul dalam keadaan tereksitasi dengan molekul-molekul pelarut yang polar,
menyebabkan tingkat energi molekul dalam keadaan tereksitasi menjadi turun. Akibatnya
transisi * suatu molekul dalam pelarut polar memerlukan energi yang lebih kecil dari
transisi * molekul itu dalam pelarut nonpolar sehingga menggeser maks ke yang lebih
tinggi.

C. Alat dan Bahan


1. Alat :
Spektrofotometer UV-Vis Pipet tetes
Labu takar Pipet volum
Gelas kimia Botol semprot
Kertas tissue Corong
2. Bahan
Metil oranye 10-3 M Metanol
Aquades Etanol
Glikol
D. Langkah Kerja

0,5 mL larutan metil orange 10-3 M

ditambah hingga volume 50 mL dengan

Pelarut

dikocok
direkam spektrum serapannya pada 500-200 nm
ditentukan maksimalnya

Hasil

Keterangan :
Pelarut yang digunakan:
a. Air
b. Metanol
c. Etanol
d. Glikol

E. DATA PENGAMATAN

No. Jeni s Pelarut Konstanta Dielektrik maks (nm) Absorbans


1 Air 80,1 462 0,037
2 Glikol 41,4 440 0,031
3 Metanol 33,3 416 0,080
4 Etanol 25,3 418 0,056

F. ANALISIS DATA
Pada percobaan ini, lebar kuvet (b) yang digunakan yaitu 1,0 cm dan konsentrasi larutan
metil oranye yang dipakai yaitu:

Mol MO = 0,001 M 0,5mL = 0,0005 m

0,0005
= = 0,00001
50
Sesuai dengan hukum Lambert-Beer, A= .b.c. Maka nilai dari dapat dihitung melalui

persamaan = ..

Pelarut Air
Spektrum Absorbsi UV/Vis Metil Oranye (aq) dalam pelarut air

Dengan menggunakan persamaan Lambert-Beer, dapat ditentukan absorbtifitas molar


Metil Oranye sebagai berikut.

= . .

0,037 = . 1. 1 105

= 3,7 103 1 1
Pelarut Glikol

Dengan menggunakan persamaan Lambert-Beer, dapat ditentukan absorbtifitas molar


Metil Oranye sebagai berikut.

= . .

0,031 = . 1. 1 105

= 3,1 103 1 1

Pelarut Metanol
Dengan menggunakan persamaan Lambert-Beer, dapat ditentukan absorbtifitas molar
Metil Oranye sebagai berikut.

= . .

0,080 = . 1. 1 105

= 8,0 103 1 1

Pelarut Etanol

Dengan menggunakan persamaan Lambert-Beer, dapat ditentukan absorbtifitas molar


Metil Oranye sebagai berikut.
= . .

0,056 = . 1. 1 105

= 5,6 103 1 1

Berdasarkan data diatas maka dapat dibuat sebagai berikut.


No Pelarut A b (cm) C (mol/L) (1 1) Jenis Transisi
1. Air 0,037 1,0 10-5 3,7 103 Bukan *
2. Glikol 0,031 1,0 10-5 3,1 103 Bukan *
3. Metanol 0,080 1,0 10-5 8,0 103 Bukan *
4. Etanol 0,056 1,0 10-5 5,6 103 Bukan *
Dari hasil perhitungan diperoleh hasil bahwa metil oranye pada beberapa pelarut
tersebut memiliki nilai <10.000. Hal ini menunjukkan bahwa transisi yang terjadi ialah
transisi bukan *. Pada transisi bukan *, pergantian pelarut dari air ke etanol
(polar ke nonpolar) menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik.

Berikut adalah plot antara maks dengan konstanta dielektrik metil oranye pada beberapa
pelarut.

Hitamair

Merahglikol

Hijau metanol

Kuning etanol

Grafik Kontanta Dielektrik vs maks


470

460 Air

450

440 Glikol
tren
430
Etanol
420
Metanol
410
0 20 40 60 80 100
Pita pada spektrum UV-Vis metil oranye menunjukkan kenaikan terjadinya
pergeseran batokromik dengan peningkatan polaritas dari pelarut etanol ke air (kepolaran
pelarut etanol < metanol < glikol < air). Plot maks dengan konstanta dielektrikum
menunjukkan korelasi yang jelas. Namun, terjadi penyimpangan pada pelarut etanol. maks
etanol lebih rendah dari metanol sehingga terjadi pergeseran hipsokromik.

G. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Pada penentuan jenis transisi, terjadi perbedaan dengan hasil pengukuran yang telah
diplotkan maks dengan konstanta dielektrik metil oranye. Jenis transisi yang ditentukan
bukan * sedangkan grafik pergeseran maks adalah pergeseran batokromik dimana
jenis transisi adalah *. Apabila ditelusuri dari perhitungan, hal ini dikarenakan nilai
absorbans yang sangat kecil. Nilai absorbansi semua pengukuran dibawah hukum
Lambert-Beer (dibawah 0,2). Kesalahan ini kemungkinan besar konsentrasi induk metil
oranye tidak tepat. Seharusnya praktikan mengecek atau menstandarisasi atau membuat
larutan metil oranye sehingga terjadinya kesalahan dapat dikurangi bahkan diatasi.

Pada percobaan, terdapat penurunan maks dari etanol ke metanol. Penurunan ini
menyebabkan pergeseran menjadi hipsokromik. Etanol seharusnya lebih non polar
dibandingkan dengan metanol dibuktikan dengan daya hantar listriknya atau konstanta
dielektrik yang lebih besar. Peristiwa tersebut disebabkan oleh faktor solvasi pelarut.
Etanol kepolarannya paling rendah diantara pelarut lainnya maka dengan pelarut etanol,
seharusnya maks paling rendah karena metil oranye bersifat polar. Sehingga gaya antar
molekul metil oranye dan etanol (dalam solvasi) menjadi paling lemah. Akibatnya ikatan
antar atom dalam metil oranye semakin kuat menyebabkan energi transisi semakin besar
atau maks semakin rendah (energi berbanding terbalik dengan ). Namun pada percobaan
metil oranye dalam etanol sedikit lebih besar dari metil oranye dalam metanol. Hal ini
menunjukkan bahwa terjadi kekeliruan dalam solvasi pelarut. Metil oranye kemungkinan
sebagian tersolvasi oleh air. Air yang mensolvasi berasal dari larutan induk atau bekas
pencucian alat. Larutan metil oranye induk dibuat dengan pelarut air, maka bila larutan
ini dilarutkan dalam etanol, metil oranye lebih memilih disolvasi oleh air (air paling polar
dari plarut lainnya). Hal ini mengakibatkan sebagian metil oranye tidak disolvasi oleh
etanol. Oleh karena itu, gaya antar molekul rata rata metil oranye dengan pelarut lebih
besar daripada dengan etanol menyebabkan ikatan antar atom dalam metil oranye
semakin lemah dan energi yang diperlukan dalam transisi elektron lebih kecil atau maks
lebih besar dibandingkan etanol.

H. KESIMPULAN
Transisi elektron yang terjadi pada metil oranye dalam percobaan ini adalah transisi
*. Akibat transisi * dalam metil orange dalam pelarut glikol, metanol, etanol
dan air menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik. Besarnya pengaruh pelarut pada
pergeseran batokromik dapat dapat diketahui dengan peningkatan kontanta dielektrik
pelarut.

I. DAFTAR PUSTAKA
Wonorahardjo, Surjani. 2013. Pengantar Kimia Analitik Modern Metode dan Instrumentasi.
FMIPA UM: Malang
Sutrisno. 2006. Spektroskopi Molekul Organik. Cakrawala Indonesia: Malang

J. TUGAS
Jawaban Pertanyaan

1. Tulislah rumus struktur metil oranye!

2. Apa yang dimaksud dengan kromofor, pergeseran batokromik dan hipsokromik?


Kromofor adalah gugus fungsi yang menyerap atau mengabsorbsi radiasi
elektromagnetik di daerah panjang gelombang ultraviolet dan daerah cahaya tampak.
Pergeseran batokromik yakni pergeseran atau perubahan maks ke arah yang lebih
besar.
Pergeseran hipsokromik yakni pergeseran atau perubahan maks ke arah yang lebih
kecil.
3. Jelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pergeseran panjang gelombang
maksimum (batokromik dan hipsokromik)!
Pelarut
Kepolaran pelarut mempengaruhi maks karena kepolaran molekul biasanya berubah jika
suatu elektron bergerak dari satu orbital ke orbital lainnya. Pergeseran panjang
gelombang maksimum kearah batokromik atau hipsokromik terkait erat dengan jenis
transisi elektron didalam senyawa, apakah transisi n * atau *. Jika suatu
senyawa kromofor mempunyai transisi n *, maka pergantian pelarut dari non polar
ke polar menyebabkan terjadinya pergeseran hipsokromik. Hal ini disebabkan adanya
solvasi yang terjadi lebih kuat karena adanya pasangan elektron bebas dan hal ini
menyebabkan turunnya energi n. kadang-kadang juga terjadi karena adanya molekul-
molekul pelarut yang mampu mengadakan ikatan hidrogen berinteraksi lebih kuat
dengan molekul pada keadaan dasar daripada dengan molekul pada keadaan tereksitasi,
sehingga transisinya memerlukan energi yang lebih besar maka terjadi pergeseran
yang lebih kecil. Jika transisinya *, maka pergantian pelarut dari non polar ke
polar menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik . Pada umumnya transisi *
menghasilkan keadaan tereksitasi yang lebih polar dari keadaan dasar molekul itu.
Interaksi dipol-dipol antara molekul dalam keadaan tereksitasi dengan molekul-molekul
pelarut yang polar, menyebabkan tingkat energi molekul dalam keadaan tereksitasi
menjadi turun. Akibatnya transisi * suatu molekul dalam pelarut polar
memerlukan energi yang lebih kecil dari transisi * molekul itu dalam pelarut
nonpolar sehingga menggeser maks ke yang lebih tinggi.
pH
Adanya perlakuan pada pH yang menyebabkan terjadinya stabilisasi spesies oleh
resonansi pada keadaan transisi maka energi yang dibutuhkan untuk transisi akan
semakin rendah, akibatnya akan terjadi pergeseran kearah yang yang lebih tinggi. Hal
ini berlaku sebaliknya, apabila dengan perlakuan pH menyebabkan kurang stabilnya
spesies pada keadaan transisi maka energi yang dibutuhkan untuk transisi akan semakin
tinggi, akibatnya akan terjadi pergeseran kearah yang yang lebih rendah.
4. Mengapa transisi n * menunjukkan pergeseran hipsokromik jika pelarut diubah dari
nonpolar menjadi polar?
Jika suatu senyawa kromofor mempunyai transisi n *, maka pergantian pelarut dari
non polar ke polar menyebabkan terjadinya pergeseran hipsokromik. Hal ini disebabkan
adanya solvasi yang terjadi lebih kuat karena adanya pasangan elektron bebas dan hal ini
menyebabkan turunnya energi n. kadang-kadang juga terjadi karena adanya molekul-
molekul pelarut yang mampu mengadakan ikatan hidrogen berinteraksi lebih kuat dengan
molekul pada keadaan dasar daripada dengan molekul pada keadaan tereksitasi, sehingga
transisinya memerlukan energi yang lebih besar maka terjadi pergeseran yang lebih
kecil.
5. Mengapa transisi * menunjukkan pergeseran batokromik jika pelarut dari nonpolar
menjadi polar?
Sebab pada umumnya transisi * menghasilkan keadaan tereksitasi yang lebih polar
dari keadaan dasar molekul itu. Interaksi dipol-dipol antara molekul dalam keadaan
tereksitasi dengan molekul-molekul pelarut yang polar, menyebabkan tingkat energi
molekul dalam keadaan tereksitasi menjadi turun. Akibatnya transisi * suatu
molekul dalam pelarut polar memerlukan energi yang lebih kecil dari transisi *
molekul itu dalam pelarut nonpolar sehingga menggeser maks ke yang lebih tinggi.
LAMPIRAN

(Pengambilan Metil Orange) (Pelarutan dengan metanol)

(Pelarutan dengan etanol) (Pelarutan dengan glikol)

(Larutan Mo dengan berbagai pelarut) (Perekaman spektrum serapan 500-200 nm)

Anda mungkin juga menyukai