Anda di halaman 1dari 24

JURNAL PRAKTIKUM KIMIA ANALISIS KESALAHAN SPEKTROFOTOMETRI

OLEH: KELOMPOK VIII

Ni Made Oka Dwicandra A.A. Kt. Sri Trisna Dewi Widhiani Charli Chanjaya Putu Aan Pustiari

0808505071 0808505072 0808505073 0808505074

JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA BUKIT JIMBARAN 2011

KESALAHAN SPEKTROFOTOMETRI

I.

Tujuan 1. 2. Untuk mengetahui kesalahan pengukuran karena variasi konsentrasi larutan. Menetapkan pada nilai absorban atau transmitan yang memberikan kesalahan minimal.

II.

Dasar Teori Salah satu contoh instrumentasi analisis yang kompleks adalah

spektrofotometer UV-Vis. Alat ini banyak bermanfaat untuk penentuan konsentrasi senyawa-senyawa yang dapat menyerap radiasi pada daerah ultraviolet (200 400 nm) atau daerah sinar tampak (400 800 nm). Analisis ini dapat digunakan yakni dengan penentuan absorbansi dari larutan sampel yang diukur (Tahir, 2007). Hukum Lambert menyatakan bahwa bila cahaya monokromatik melewati medium tembus cahaya, laju berkurangnya intensitas oleh bertambahnya ketebalan, berbanding lurus dengan intensitas cahaya. Ini setara dengan menyatakan bahwa intensitas cahaya yang dipancarkan berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya ketebalan medium yang menyerap. Dengan menyatakan bahwa lapisan manapun dari medium itu yang tebalnya sama akan menyerap cahaya masuk kepadanya dengan fraksi yang sama (Bassett, et.al., 1994). Hukum Beer mengkaji efek konsentrasi penyusun yang berwarna dalam larutan terhadap transmisi maupun absorbsi cahaya. Ditemukan hubungan yang sama antara transmisi dan konsentrasi seperti yang ditemukan Lambert antara transmisi dan ketebalan lapisan, yakni intensitas berkas cahaya monokromatik berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi zat penyerap secara linier (Bassett, et.al., 1994). Pelemahan radiasi elektromagnetik yang melewati sampel dideskripsikan secara kuantitatif menjadi dua subjek yang berbeda, namun masih berhubungan, yaitu transmitan dan absorbansi. Transmitan didefinisikan sebagai rasio kekuatan radiasi elektromagnet yang mengeksitasi sampel, PT, terhadap yang mengenai sampel, P0.

Mengalikan transmitan dengan 100 memberikan persen transmitan (%T), yang bervariasi dari 100% (tidak ada absorbsi) hingga 0% (absorbsi sempurna). Seluruh metode deteksi, baik itu mata manusia ataupun modern photoelectric transducer, memperkirakan transmitan radiasi elektromagnetik (Harvey, 2000). Pelemahan radiasi yang melewati sampel menghasilkan nilai transmitan kurang dari 1. Persamaan sebelumnya tidak membedakan bagaimana pelemahan radiasi itu terjadi. Selain absorbsi oleh analit, beberapa fenomena lainnya memberikan pengaruh terhadap jumlah pelemahan radiasi, termasuk refleksi dan absorbsi oleh wadah sampel, absorbsi oleh komponen dalam matriks sampel selain analit, dan hamburan radiasi. Untuk mengatasi hilangnya kekuatan radiasi, digunakan metode blangko. Kekuatan radiasi yang mengeksitasi dari blangko dianggap sebagai P0.

Metode alternatif untuk menyatakan pelemahan radiasi elektromagnet adalah absorbansi, A yang dinyatakan dengan:

Absorbansi adalah satuan yang lebih umum digunakan untuk menyatakan pelemahan radiasi karena merupakan fungsi linear dari konsentrasi analit (Harvey, 2000). Hukum Lambert Beer menyatakan bahwa bila cahaya monokromatik melewati medium tembus cahaya, laju berkurangnya intensitas oleh bertambahnya ketebalan, berbanding lurus dengan intensitas cahaya. Hal ini berarti bahwa intensitas cahaya yang dipancarkan berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya ketebalan medium yang menyerap. Dengan menyatakan bahwa lapisan manapun dari medium itu yang tebalnya sama akan menyerap cahaya masuk dengan fraksi yang sama (Bassett, et.al., 1994). Hukum Beer hanya valid untuk konsentrasi analit yang rendah. Terdapat dua hal yang memberi kontribusi terhadap batasan fundamental ini. Pada konsentrasi yang tinggi, partikel tunggal dari analit tidak lagi bereaksi secara terpisah satu sama lain. Interaksi antar partikel ini akan mengakibatkan perubahan nilai . Yang kedua adalah absorbivitas dan absorbivitas molar tergantung pada indeks refraksi sampel. Karena indeks refraksi bervariasi pada berbagai konsentrasi, maka nilai absorbivitas dan absorbivitas molar akan berubah. Pada konsentrasi rendah, indeks refraksi akan relatif konstan, dan kurva kalibrasi akan linear (Harvey, 2000). Banyaknya sinar yang diserap akan bergantung pada banyak molekul yang beinteraksi dengan sinar. Jika pengukuran dilakukan pada suatu zat warna organik yang kuat/tajam berupa larutan pekat, maka akan diperoleh absorbansi yang sangat tinggi karena ada banyak molekul yang berinteraksi dengam sinar. Namun, dalam larutan yang sangat encer, sangat sulit untuk melihat warnanya (absorbansinya sangat rendah). Hal ini dapat menyebabkan kesalahan pengukuran (akibat variasi konsentrasi larutan). Pada umumnya, Hukum Beer berlaku dalam jangka lebar konsentrasi jika struktur ion berwarna ataupun non-elektrolit berwarna dalam keadaan terlarut tidak berubah dengan berubahnya konsentrasi. Elektrolit dalam kualitas kecil yang tidak bereaksi kimia dengan komponen berwarna biasanya tidak mempengaruhi penerapan cahaya, elektrolit dalam jumlah besar dapat mengakibatkan bergesernya

absorbsi maksimum, dan dapat juga mengubah nilai koefisien ekstingsi (Bassett, et.al., 1994). Penyimpangan biasanya dijumpai bila zat terlarut berwarna mengion, berdisosiasi, atau berasosiasi dalam larutan karena sifat dasar spesies dalam larutan akan berubah-ubah dengan berubahnya konsentrasi. Hukum ini tidak berlaku jika zat terlarut berwarna itu membentuk kompleks yang komposisinya bergantung pada konsentrasi (Bassett, et.al., 1994). Perilaku suatu zat selalu diuji dengan mengalurkan Log I0/It ataupun log T terhadap konsentrasi: suatu garis lurus yang melewati titik (0,0) menyatakan kesesuaian dengan hukum itu. Untuk larutan yang tidak mematuhi hukum Beer, paling baik adalah dengan membuat suatu kurva kalibrasi dengan menggunakan sederetan standar yang konsentrasinya diketahui. Angka yang ditunjuk oleh alat dialurkan sebagai ordinat melawan konsentrasi (katakan mg per 100 cm3 atau 1.000 cm3) sebagi absis. Untuk kerja yang seksama tiap kurva kalibrasi hendaknya mencakup jangka pengenceran yang kemungkinan besar akan dijumpai dalam perbandingan yang senyatanya (Bassett, et.al., 1994). Terdapat dua hal yang berpengaruh terhadap hukum Beer. Batasan yang pertama adalah hukum Beer valid untuk radiasi monokromatis, yaitu radiasi yang terdiri dari satu panjang gelombang. Bagaimanpun juga, bahkan selektor panjang gelombang terbaikpun mengirimkan radiasi dengan bandwidth efektif yang kecil tetapi terbatas. Dengan menggunakan radiasi polikromatis selalu memberikan deviasi negatif dari hukum Beer, tetapi diminimalisasi jika nilai tetap konstan pada rentang panjang gelombang yang dikirimkan selektor panjang gelombang. Untuk alasan ini, seperti terlihat pada gambar berikut, dipilih untuk mengukur absorbansi pada puncak absorbansi yang lapang. Sebagai tambahan deviasi hukum Beer tidak terlalu serius jika bandwidth efektif dari sumber kurang dari sepersepuluh dari bandwidth alami spesies absorbsi.ketika pengukuran dilakukan pada kemiringan, linearitas diperkuat dengan bandwidth efektif yang lebih sempit (Harvey, 2000).

Penentuan kalibrasi dilakukan dengan mengikuti prosedur sebagai berikut: a. Dilakukan dengan larutan blangko (berisi pelarut murni yang digunakan dalam sampel) dengan kuvet yang sama. b. Setiap perubahan panjang gelombang diusahakan dilakukan proses kalibrasi. c. Proses kalibrasi pada pengukuran dalam waktu yang lama untuk satu macam panjang gelombang, dilakukan secara periodik selang waktu per 30 menit. Dengan adanya proses kalibrasi pada spektrofotometer UV-Vis ini maka akan membantu pemakai untuk memperoleh hasil yang akurat dan presisi. (Wiryawan, dkk., 2008). Pengukuran absorbansi untuk tujuan analisis kuantitatif dengan metode spektrofotometri uv-visibel harus memenuhi hukum Lambert-Beer. Hukum Lambert Beer berlaku dengan baik bila larutannya tidak terlalu encer ataupun pekat. Kesalahan relative minimal yang diberikan atau dihasilkan larutan tersebut terjadi bila absorbansinya = 0,434 atau transmisinya 36,8%. Umumnya di dalam prosedur analisis kuantitatif serapan larutan yang diukur sebaiknya berada pada rentang transmitan 15-75%. (Widjaja dan Laksmiani, 2010).

III. Alat dan Bahan 3.1 Alat Pipet tetes Ball filler Spektrofotometer

Gelas ukur Pipet volume Gelas beaker Labu ukur Neraca analitik

3.2 Bahan Aquadest Kafein 1mg/mL dalam methanol

IV. Prosedur Pelaksanaan Dibuat larutan stok kafein

Disiapkan larutan baku kafein dengan konsentrasi dimana absorbansinya = 0,434 (absorptivitas molar diambil dari pustaka, = 2120 M-1cm-1).

Diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum.

Dihitung absorptivitas molar kafein pada saat percobaan dari absorbansi yang diperoleh dengan pengukuran.

Disiapkan 1 seri larutan baku kafein dengan konsentrasi yang diharapkan memberikan transmitran sebesar 5%, 35%, 65%, 95%.

Diukur absorbansi dari semua 1 seri larutan baku kafein pada panjang gelombang maksimumnya.

Ditentukan konsentrasi dari 1 seri larutan baku kafein hasil pengukuran spektrofotometer.

Ditentukan kesalahan relatif spektrofotometri terhadap konsentrasi sebenarnya.

V.

Data Pengamatan 1. Hasil pengukuran spektrofotometri


200 203 206 209 212 215 218 221 224 227 230 233 236 239 242 245 248 251 254 257 260 263 266 269 272 275 278 281 284 287 290 293 296 A 1,874 2,015 2,191 2,327 2,440 2,297 1,920 1,619 1,416 1,277 1,203 1,058 0,840 0,730 0,621 0,621 0,654 0,738 0,915 1,222 1,504 1,777 1,973 2,079 2,118 2,094 1,995 1,780 1,422 0,948 0,547 0,302 0,166

299 300 303 306 309 312 315 318 321 324 327 330 333 336 339 342 345 348 351 354 357 360 363 366 369 372 375 378 381 384 387 390 393 396 399

0,099 0,094 0,054 0,034 0,025 0,021 0,019 0,018 0,017 0,017 0,016 0,016 0,015 0,015 0,014 0,014 0,014 0,014 0,013 0,013 0,013 0,012 0,012 0,012 0,011 0,011 0,011 0,011 0,011 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010

2.

Absorbansi 1 seri larutan baku kafein Transmitan 5% 35% 65% 95% Absorbansi 2,077 1,082 0,507 0,158

VI. Perhitungan 1. Menentukan Konsentrasi Larutan Stok Baku Kafein yang digunakan untuk memberikan absorbansi 0,434 Diketahui: A b = = = 0,434 2120 M-1.cm-1 1 cm ? .b.c

Ditanyakan: c Jawab: A c = = = = = = = 2,047 10-4M 2,047 10-4M 194,19 g.mol-1 397,51 10-4 gL-1 397,51 10-4 mg/mL =

Jadi konsentrasi larutan yang dibuat untuk mendapatkan absorbansi 0,434 adalah 397,51 10-4 mg/mL. 2. Membuat larutan Baku Kafein yang digunakan untuk memberikan absorbansi 0,434 Konsentrasi larutan baku yang tersedia di Lab. 1mg/mL

Dibuat larutan dengan konsentrasi 397,51 10-4 mg/mL sehingga dilakukan pengenceran. Diketahui : M1 M2 V2 = 1mg/mL = 397,51 10-4 mg/mL = 5mL

Ditanyakan: V1 = ? Jawab: V1 M1 V1 1mg/mL V1 = = = = V2 M2 5 mL 397,51 10-4 mg/mL 1987,55 10-4 mL 0,2 mL

Jadi larutan 1mg/mL yang dipipet untuk membuat larutan dengan konsentrasi 397,51 10-4 mg/mL adalah 0,2 mL 3. Menentukan absorptivitas molar dari kaffein yang discanning

dilaboratorium. Larutan yang telah dibuat di atas kemudian di scaning dalam spektrofotometer, dari pengukuran spektrofotometer diperoleh: max 212 nm dan Amax = 2,440 Selanjutnya dihitung absorptivitas molar dari kaffein yang discanning dilaboratorium. Diketahui : Amax = 2,440 b c = 1 cm = 2,047 10-4M

Ditanyakan: = ? Jawab: A 2,440 = = bc 1cm 2,047 10-4M

= 1,192 104M-1cm-1 4.

1,192 104 M-1cm-1

Jadi, absorptivitas molar dari kaffein yang discanning dilaboratorium adalah

Perhitungan konsentrasi 1 seri larutan yang memberikan transmitan 5%, 35%, 65%, dan 95%. Dari nilai absortivitass molar tersebut, dibuat 1 seri larutan yang memberikan transmitan 5%, 35%, 65%, dan 95%. a. Transmitan 5% Diketahui : T b = 5% = 1,192 104M-1cm-1 = 1cm

Ditanyakan: c = ? Jawab: A - log T - log 5% 1,301 c b. Transmitan 35% Diketahui : T b = 35% = 1,192 104M-1cm-1 = 1cm = = = = = bc bc 1,192 104 M-1cm-1 1cm c 1,192 104 M-1 c 1,091 10-4 M

Ditanyakan: c = ? Jawab: A - log T - log 35% = = = bc bc 1,192 104 M-1cm-1 1cm c

0,456 c

= =

1,192 104 M-1 c 0,383 10-4 M

c. Transmitan 65% Diketahui : T b = 65% = 1,192 104M-1cm-1 = 1cm

Ditanyakan: c = ? Jawab: A - log T - log 65% 0,187 c d. Transmitan 95% Diketahui : T b = 95% = 1,192 104M-1cm-1 = 1cm = = = = = bc bc 1,192 104 M-1cm-1 1cm c 1,192 104 M-1 c 0,157 10-4 M

Ditanyakan: c = ? Jawab: A - log T - log 95% 0,022 c = = = = = bc bc 1,192 104 M-1cm-1 1cm c 1,192 104 M-1 c 0,018 10-4 M

5.

Pembuatan 1 seri larutan yang memberikan transmitan 5%, 35%, 65%, dan 95% Larutan stok yang tersedia di laboratorium 1mg/mL 1 mg/mL = = = 1mg/mL 10-3 g/mg 103 mL/L 1mol/194,19 g 5,150 10-3 mol/L 5,150 10-3 M

a.

Transmitan 5% Diketahui: M1 M2 V2 Ditanyakan: V1 = ? Jawab: V1 M1 V1 5,150 10-3 M V1 = = = = V2 M2 5mL 1,091 10-4 M 1,059 10-1 mL 0,1059 mL = 5,150 10-3 M = 1,091 10-4 M = 5mL

Jadi volume larutan baku kafein 5,150 10-3 M yang harus dipipet adalah 0,1059 mL

b. Transmitan 35% Diketahui: M1 M2 V2 Ditanyakan: V1 = ? Jawab: V1 M1 = V2 M2 = 5,150 10-3 M = 0,383 10-4 M = 5mL

V1 5,150 10-3 M V1

= = =

5mL 0,383 10-4 M M 0,372 10-1 mL 0,0372 mL

Ketelitian pipet ukur hanya 0,01 ml, untuk meminimalkan kesalahan pengukuran, dilakukan pengenceran dari larutan baku 5,150 10-3 M Pengenceran larutan baku kafein 5,150 10-3 M V1 M1 V1 5,150 10-3 M V1 = = = V2 M2 5mL 0,515 10-3 M 0,5 mL

Jadi untuk membuat larutan kafein 0,515 10-3 M, dipipet 0,5 mL larutan baku kafein 5,150 10-3 M, kemudian diencerkan dengan aquadest hingga volumenya 5 mL Kemudian, larutan ini kemudian digunakan untuk membuat larutan yang memberikan transmitan 35% Diketahui: M1 M2 V2 Ditanyakan: V1 = ? Jawab: V1 M1 V1 0,515 10-3 M V1 = = = = V2 M2 5mL 0,383 10-4 M M 3,718 10-1 mL 0,37 mL = 0,515 10-3 M = 0,383 10-4 M = 5mL

Jadi volume larutan baku kafein 0,515 10-3 M yang harus dipipet adalah 0,37 mL

c. Transmitan 65% Diketahui :

M1 M2 V2

= 0,515 10-3 M = 0,157 10-4 M = 5mL

Ditanyakan: V1 = ? Jawab: V1 M1 V1 0,515 10-3 M V1 = V2 M2 = 5mL 0,157 10-4 M = 1,524 10-1 mL = 0,15 mL Jadi volume larutan baku kafein 0,515 10-3 M yang harus dipipet adalah 0,15 mL d. Transmitan 95% Diketahui: M1 M2 V2 = 0,515 10-3 M = 0,018 10-4 M = 5mL

Ditanyakan: V1 = ? Jawab: V1 M1 V1 0,515 10-3 M V1 = V2 M2 = 5mL 0,018 10-4 M = 0,174 10-1 mL = 0,017 mL Ketelitian pipet ukur hanya 0,01 ml, untuk meminimalkan kesalahan pengukuran, dilakukan pengenceran dari larutan baku 0,5150 10-3 M Pengenceran larutan baku kafein 0,5150 10-3 M V1 M1 V1 0,5150 10-3 M V1 = V2 M2 = 5mL 0,0515 10-3 M = 0,5 mL

Jadi untuk membuat larutan kafein 0,0515 10-3 M, dipipet 0,5 mL larutan baku kafein 0,5150 10-3 M, kemudian diencerkan dengan aquadest hingga volumenya 5 mL Kemudian, larutan ini digunakan untuk membuat larutan yang memberikan transmitan 95% Diketahui: M1 = 0,0515 10-3 M M2 = 0,018 10-4 M V2 = 5mL Ditanyakan: V1 = ? Jawab: V1 M1 V1 0,0515 10-3 M V1 = V2 M2 = 5mL 0,018 10-4 M = 1,748 10-1 mL = 0,17 mL Jadi volume larutan baku kafein 0,0515 10-3 M yang harus dipipet adalah 0,17 mL 6. Perhitungan Konsentrasi berdasarkan data absorbansi a. Transmitan 5% Diketahui: A b c c % kesalahan Jawab : A 2,077 = bc = 1,192 104M-1cm-1 1 cm c = 2,077 = 1 cm = 1,192 104M-1cm-1 = 1,091 10-4 M =? =?

Ditanyakan:

= 1,742 10-4 M

% kesalahan

= = =

100% 100% 100%

= - 59,67% b. Transmitan 35% Diketahui: A b c c % kesalahan Jawab : A 1,082 c = bc = 1,192 104M-1cm-1 1 cm c = 0,908 10-4 M = 1,082 = 1 cm = 1,192 104M-1cm-1 = 0,383 10-4 M =? =?

Ditanyakan:

% kesalahan

= = =

100% 100% 100%

= - 137,08% c. Transmitan 65% Diketahui: A = 0,507

b c c

= 1 cm = 1,192 104M-1cm-1 = 0,157 10-4 M =? =? = bc = 1,192 104M-1cm-1 1 cm c = = = = = -170,70% 100% 100% 100%

Ditanyakan:

% kesalahan Jawab : A 0,507 c % kesalahan

d. Transmitan 95% Diketahui: A b c c % kesalahan Jawab : A 0,158 c = bc = 1,192 104M-1cm-1 1 cm c = 0,133 10-4 M = 0,158 = 1 cm = 1,192 104M-1cm-1 = 0,018 10-4 M =? =?

Ditanyakan:

% kesalahan

= = =

100% 100% 100%

= -638,89%

VII. Pembahasan Dalam praktikum kesalahan spektrofotometri ini, digunakan larutan baku kafein dalam metanol dengan konsentrasi 1 mg/mL. Larutan ini akan digunakan untuk mengukur absorptivitas molar dari kafein pada percobaan ini. Karena konsentrasi larutan yang terlalu pekat, perlu dilakukan pengenceran agar absorbansinya dapat terbaca pada spektrofotometer UV-vis. Untuk mengefisienkan waktu dan bahan, maka digunakan absorptivitas molar kafein yang diperoleh dari pustaka, yaitu 2120 M-1cm-1 (Oxford Higher Education, 2005). Selain itu dipilih absorbansi yang memberikan kesalahan yang minimal, yaitu 0,434 (Susanti dkk, 2005). Kuvet yang digunakan dalam percobaan ini terbuat dari kuarsa dengan ketebalan 1 cm. Dari hasil perhitungan, diperoleh konsentrasi larutan kafein untuk mendapatkan absorbansi 0,434 adalah 397,51 10-4 mg/mL atau 5,150 10-3 M. Larutan kafein 5,150 10-3 M yang telah dibuat kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 200 400 nm. Sebelum pengukuran dengan larutan baku, alat dikalibrasi dengan blanko, yaitu berupa larutan yang mengandung matrik selain komponen yang akan dianalisis dengan tujuan menghindari serapan oleh pelarut. Blanko yang digunakan pada percobaan ini adalah aquadest sebagai pelarut yang digunakan untuk mengencerkan larutan baku kafein. Menurut pustaka, max kafein adalah 210 nm (Oxford Higher Education, 2005). Setelah dilakukan pengukuran terhadap larutan baku kafein 5,150 10-3 M, diperoleh absorbansi maksimum sebesar 2,440 pada max 212 nm. Dipilih panjang gelombang maksimum yang memberikan absorbansi maksimum, kepekaannya juga maksimum karena perubahan absorbansi setiap satuan konsentrasinya adalah yang

paling besar. Selain itu, disekitar panjang gelombang maksimum, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi. Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan panjang gelombang maksimal. (Gandjar dan Rohman, 2007). Perbedaan hasil yang didapatkan dengan literatur ini disebabkan karena kondisi percobaan pada literatur berbeda dengan kondisi percobaan yang dilakukan oleh praktikan. Dengan mengetahui absorbansi maksimumnya, maka absorptivitas molar () dapat dihitung dari rumus A = bc. Hasil ini merupakan absorptivitas molar kafein yang diperoleh pada saat praktikum. Menurut pustaka, absorptivitas molar kafein adalah 2120 M-1cm-1. Sedangkan pada saat praktikum diperoleh nilai = 1,192 104 M-1cm-1. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kondisi praktikum berbeda dengan kondisi pada pustaka. Dengan hasil yang diperoleh ini maka dapat ditentukan variasi konsentrasi larutan kafein pada berbagai nilai transmitan yaitu sebesar 5%, 35%, 65%, dan 95%. Sebelumnya, ditentukan terlebih dahulu absorbansi larutan yang diharapkan memberikan transmitan 5%, 35%, 65%, dan 95% dengan rumus A = -log T. A merupakan absorbansi dan T adalah transmitan. Dari hasil perhitungan, diperoleh absorbansi yang memberikan nilai transmitan sebesar 5%, 35% 65%, dan 95% berturut-turut ialah 1,301; 0,456; 0,187; dan 0,022. Dan dari data tersebut diperoleh konsentrasi larutan berturut-turut pada transmitan 5%, 35% 65%, dan 95% adalah 1,091 10-4 M; 0,383 10-4 M; 0,364 10-4 M; dan 0,018 10-4 M. Volume yang dipipet dari larutan baku kafein 1 mg/mL untuk memberikan konsentrasi 1,091 10-4 M adalah 0,1059 mL. Sedangkan volume larutan baku kafein 1 mg/mL yang dipipet untuk memberikan konsentrasi 0,383 10-4 M adalah 0,0372 mL. Karena ketelitian pipet ukur hanya 0,01 ml, untuk meminimalkan kesalahan pengukuran, dilakukan pengenceran dari larutan baku 5,150 10-3 M menjadi 0,515 10-3 M agar memberikan transmitan 35% dan 65%. Sedangkan untuk larutan yang memberikan transmitan 95% diencerkan kembali sampai konsentrasi 0,0515 10-3 M karena volume larutan yang dipipet terlalu kecil.

Selanjutnya semua variasi konsentrasi larutan baku kafein yang telah dibuat tersebut diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum larutan kafein berdasarkan percobaan yaitu 212 nm. Dan dari hasil pengukuran diperoleh absorbansi larutan tersebut berturut-turut adalah 2,077; 1,082; 0,507; dan 0,158. Dari nilai absorbansi ini kemudian dihitung konsentrasi larutan berdasarkan perhitungan dengan rumus A = bc, diperoleh konsentrasinya berturut-turut sebesar 1,742 10-4 M; 0,908 10-4 M; 0,425 10-4 M; dan 0,133 10-4 M. Kemudian ditentukan kesalahan relatif dengan menggunakan persamaan kesalahan spektrofotometri yaitu : % kesalahan spektrometri =

c 100% dimana c

c merupakan selisih antara konsentrasi perhitungan dengan konsentrasi sebenarnya dan c merupakan konsentrasi larutan sebenarnya. Semakin kecil persentase kesalahan spektrofotometri, semakin kecil pula kemungkinan kesalahan pengukuran pada variasi konsentrasi tersebut. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai kesalahan spektrofotometri dari konsentrasi larutan yang memberikan nilai transmitan 5%, 35%, 65%, dan 95% berturut-turut adalah -59,67%; -137,08%; 170,70%; dan -638,89%. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa kesalahan pengukuran

spektrofotometri paling rendah ditunjukkan pada konsentrasi larutan yang memberikan nilai transmitan 5% yaitu sebesar -59,67%. Nilai negatif ini disebabkan oleh konsentrasi hasil pengukuran spektrofotometer melebihi

konsentrasi sebenarnya. Hasil dari praktikum ini memiliki perbedaan dengan pustaka. Menurut pustaka, kesalahan pengukuran minimal ditunjukkan pada nilai transmitan 36,8% atau absorbansi 0,434 (Susanti dkk., 2010). Hukum Lambert-Beer hanya berlaku pada larutan yang tidak terlalu pekat atau terlalu encer. Dalam hal ini, apabila larutan kafein terlalu pekat, menyebabkan partikel tunggal dari kafein tidak lagi bereaksi secara terpisah satu sama lain sehingga interaksi antar partikel ini akan mengakibatkan perubahan nilai , selain itu pada larutan pekat akan diperoleh absorbansi yang sangat tinggi karena ada banyak molekul yang berinteraksi dengam sinar. Di lain pihak apabila larutan kafein terlalu encer, maka akan diperoleh

absorbansi dari kafein akan sangat rendah. Hal inilah yang dapat menyebabkan kesalahan pengukuran. Adapun kesalahan-kesalahan paralaks yang dapat

mempengaruhi kurang akuratnya hasil praktikum adalah pada saat pembuatan larutan atau pengenceran dimana masih terdapat sisa larutan pada dinding labu ukur yang mempengaruhi konsentrasi larutan selanjutnya dan dipengaruhi oleh ketelitian dalam pengambilan sejumlah volume larutan dengan pipet volume. Kuvet yang digunakan juga kurang bersih karena digunakan bergilir dengan larutan yang berbeda, sedangkan alat spektrofotometer sangat sensitif. Selain itu, karena blanko yang digunakan hanya aquadest, sedangkan larutan baku yang digunakan merupakan larutan baku kafein dalam metanol. Sehingga adanya kemungkinan serapan oleh pelarut ikut terbaca. Serta sulitnya membuat konsentrasi sesuai dengan perhitungan sehingga konsentrasi hanya dibuat mendekati konsentrasi perhitungan.

VIII. Kesimpulan 1. Kesalahan pengukuran spektrofotometri dapat disebabkan oleh variasi konsentrasi di mana pada larutan yang terlalu encer dan pekat hukum LambertBeer tidak berlaku sehingga Absorbansi tidak lagi sebanding dengan konsentrasi larutan. 2. Kesalahan pengukuran spektrofotometri minimal ditunjukkan pada konsentrasi larutan yang memberikan nilai transmitan 35%.

DAFTAR PUSTAKA

Oxford Higher Education. 2005. Analytical Chemistry. Available at: http://www.oup.com/uk/orc/bin/0198502893/resources/

manual/sols_ch06.pdf. Opened at: 5 Maret 2011. Bassett, J., R. C. Denney, G. H. Jeffery, dan J. Mendham. 1994. Buku Ajar Vogel : Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik, Edisi 4. Jakarta : EGC. Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2009. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Harvey, D. 2000. Modern Analytical Chemistry. New York: The McGraw Hill Companies. Susanti, Pitri, dkk. 2011. Petunjuk Praktikum Analisis Fisiko Kimia. Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana. Jimbaran. Tahir, Iqmal. 2007. Arti Penting Kalibrasi Pada Proses Pengukuran Analitik Aplikasi pada Penggunaan pHmeter dan Spektrofotometer Uv-Vis. Laboratorium Kimia Dasar, Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Wiryawan, Adam, dkk. 2008. Kimia Analitik untuk SMK. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai