Anda di halaman 1dari 20

SPEKTROFOTOMETRI

LUMINESENSI MOLEKUL

MATA KULIAH KIMIA ANALITIK LANJUTAN

DOSEN PENGAMPU:
Drs. AJAT SURAJAT, M.Si

OLEH:
Nama : Rita Ulfa Khairani
NIM : 8206141006
Kelas : Pendidikan Kimia A 2020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Rahman, atas segala
rahmatnya yang telah diberikan kepada hambanya sehingga makalah yang

berjudul Spektrofotometri Luminesensi Molekul pada mata kuliah Kimia


Analitik Lanjut ini dapat tersusun hingga selesai.
Besar harapan, semoga makalah ilmiah ini dapat menambah
pengetahuan para pembaca sehingga bisa di implementasikan dan
bermanfaat.
Karena keterbatasan pengetahuan yang kami miliki, kami
menyadari masih banyak kekurangan dari makalah ini. Oleh karen itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
demi kesempurnakan makalah ini.

Medan, 07 Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..................................................................................1
B. TUJUAN MAKALAH..................................................................................2
C. RUMUSAN MASALAH..............................................................................2
BAB II KAJIAN TEORI.........................................................................................3
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................8
BAB IV KESIMPULAN.......................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari materi dan atributnya
berdasarkan cahaya, suara atau pratikel yang dipancarkan, diserap atau
dipantulkan oleh materi tersebut. Spektroskopi juga dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari interaksi antara cahaya dan materi. Dalam catatan
sejarah, spektroskopi mengacu kepada cabang dimana “cahaya tampak”
digunakan dalam teori-teori struktur materi serta analisa kualitatif dan
kuantitatif. Dalam masa modern, definisi spektroskopi berkembang seiring
teknik-teknik baru yang dikembangkan untuk memanfaatkan tidak hanya
cahaya tamoak, tetapi juga bentuk lain dari radiasi elektromagnetik dan non-
elektromagnetik seperti gelombang mikro, gelombang radio, elektron, fonon,
gelombang suara, sinar x, dan lain sebagainya.
Spektroskopi umunya digunakan dalam kimia fisik dan kimia analisis
untuk mengidentifikasikan suatu substansi melalui spektrum yang dipancarkan
atau yang diserap. Alat untuk merekam spektrum disebut spectrometer.
Spektroskopi juga digunakan secara intensif dalam astronomi dan
penginderaan jarak jauh. Kebanyakan teleskop-teleskop besar mempunyai
spektrograf yang digunakan untuk mengukur komposisi kimia dan atribut fisik
lainnya dari suatu objek astronomi atau untuk mengukur komposisi kimia dan
atribut fisik lainnya dari suatu objek astronomi atau untuk mengukur kecepatan
objek astronomi atau untuk mengukur kcepatan objek astronomi berdasarkan
pergeran Doppler garis- garis spectral. Salah satu jenis spektroskopi adalah
spektroskopi fluoresensi.
Spektroskopi fluoresensi merupakan suatu metode yang didasarkan
pada penyerapan energi oleh suatu materi sama seperti spektroskopi lainnya.
Bedanya terletak pada energi yang dibebaskannya setelah terjadi peristiwa
eksitasi. Dengan spektroskopi fluoresensi, energi yang dipancarkan lebih kecil
dari energi untuk eksitasi, karena sebagian energi yang digunakan misalnya
untuk getaran (vibrasi). Akibat panjang gelombang untuk eksitasi berbeda

1
dengan panjang gelombang untuk pancaran (emisi) dan perubahan panjang
gelombang.

B. TUJUAN MAKALAH
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian
dari spektroskopi fluresensi, alat yang digunakan, prinsip
penggunaannya, dan manfaat (penerapan) dalam mengidentifikasi
berbagai jenis sampel.

C. RUMUSAN MASALAH

1. Pengertian dari spektroskopi fluoresensi


2. Alat yang digunakan spektroskopi fluoresensi
3. Prinsip spektroskopi fluoresensi
4. Manfaat (penerapan) dalam mengidentifikasi berbagai jenis sampel dari
spektroskopi fluoresensi

2
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1. Spektroskopi Luminesensi

Penyerapan energi oleh molekul memungkinkan terjadinya Eksitasi,


Fluoresensi, dan Fosforesensi. Banyak senyawa kimia memiliki sifat luminensi
(dapat dieksitasikan oleh cahaya dan memancarkan kembali sinar dengan panjang
gelombang sama atau berbeda dengan semula). Ada dua peristiwa luminensi yaitu
Fluorosensi dan Fosforesensi

2.2. Spektroskopi Fosforesensi

Spektroskopi fosforesensi merupakan salah satu metode dari fenomena


luminesensi, dimana cahaya dipancarkan setelah terjadinya penyerapan energi dari
radiasi gelombang pendek, pemancaran cahaya masih diteruskan beberapa saat
walaupun radiasi gelombang pendek sudah berhenti menyinarinya. Istilah ini
disebut juga dengan after glow.

2.3. Spektroskopi Flouresensi


Spektroskopi fluoresensi merupakan suatu prosedur yang menggunakan
pengukuran intensitas cahaya fluoresensi yang dipancarkan oleh zat uji
dibandingkan dengan yang dipancarkan oleh suatu baku tertentu. Pada umumnya
cahaya yang diemisikan oleh larutan berfluoresensi mempunyai intensitas
maksimum pada panjang gelombang yang biasanya 20 nm hingga 30 nm lebih
panjang dari panjang gelombang radiasi eksitasi (gelombang pita penyerapan sinar
yang membangkitkannya). Emisi cahaya terjadi karena proses absorbsi cahaya
oleh atom yang mengakibatkan keadaan atom tereksitasi. Keadaan atom yang
tereksitasi akan kembali keadaan semula dengan melepaskan energi yang berupa
cahaya (deeksitasi). Fluoresensi spektroskopi menggunakan foton energi yang
lebih tinggi untuk merangsang sampel, yang kemudian akan memancarkan foton
energi yang lebih rendah.

A. Instrumentasi

3
Gambar 1. Spektroskopi Flouresensi

1. Sumber energi eksitasi


Lampu merkuri relatif stabil dan memancarkan energi terutama pada panjang
gelombang diskret. Lampu tungsten memberikan energi kontinyu di daerah tampak. Lampu
pancar xenon bertekanan tinggi seringkali digunakan pada spektrofluorometer karena alat
tersebut merupakan sebuah sumber dengan intensitas tinggi yang menghasilkan energi
kontinyu dengan intensitas tinggi dari ultraviolet sampai inframerah.
2. Kuvet untuk sample
Sel spesimen yang digunakan dalam pengukuran fluoresensi dapat berupa tabung
bulat atau sel empat persegi panjang (kuvet), sama seperti yang digunakan pada
spektrofotometri resapan, terkecuali keempat sisi vertikalnya dipoles. Bila panjang
gelombang untuk eksitasi di atas 320nm dapat digunakan kuvet dari gelas, akan tetapi untuk
eksitasi pada panjang gelombang yang lebih pendek digunakan kuvet dari silika. Kuvet
tidak boleh berfluoresensi dan tidak boleh tergores karena dapat menghamburkan.
3. Detektor
Pada umumnya, detektor ditempatkan di atas sebuah poros yang membuat sudut 90o
dengan berkas eksitasi. Geometri sudut siku ini memungkinkan radiasi eksitasi menembus
spesimen uji tanpa mengkontaminasi sinyal luaran yang diterima oleh detektor fluoresensi.
Akan tetapi tidak dapat dihindarkan detektor menerima sejumlah radiasi eksitasi sebagai
akibat sifat menghamburkan yang ada pada larutan itu sendiri atau jika adanya debu atau
padatan lainnya. Untuk menghindari hamburan ini maka digunakan instrument yang
bernama filter.

4
B. Fluorimetri

Fluorimetri adalah metode analisa yang erat hubungannya dengan


spektrofotometri. Energi yang diserap oleh molekul untuk transisi elektronik ke
level energi yang lebih tinggi (first excited singlet) harus dilepaskan kembali pada
waktu kembali ke level energi terendah (ground singlet). Energi yang dilepaskan
ini dapat berupa panas dan untuk beberapa molekul tertentu sebagian dari energi
yang diserap dipancarkan kembali berupa cahaya (fluoresensi). Apabila terjadi
transisi dari ”first excited singlet” ke ”lowest triplet state” (intersystem crossing),
maka elektronik state disebut fosforesensi. Umur dari fosforesensi (triplet state)
lebih lama (10-4detik sampai beberapa hari). Jika dibandingkan dengan fluoresensi
(singlet excited state) yaitu sekitar 10-8 detik. Transisi energi yang terjadi pada
waktu eksitasi (absorbsi), fluoresensi dan fosforesensi dapat dilihat pada diagram
berikut :

Gambar 2. Diagram transisi energi dari eksitasi, fluoresensi


dan fosforesensi

Dimana :G = Ground Singlet


LAS = Lintas Antar Sistem
S1 = First Excited Singlet(Intersystem Crossing)

S2 = Second Excited Singlet


T1 = Lowest Triplet State

T2 = Excited Triplet

5
C. Spektrum Eksitasi (Peresapan) dan Fluoresensi (Emisi)
Maksimum dari spektrum fluoresensi setelah pada panjang gelombang
yang lebih panjang jika dibandingkan dengan maksimum dari spektrum
eksitasi. Ini disebabkan karena perbedaan energi dari excited state dan ground
state pada waktu absorbsi lebih besar dari proses emisi. Teoritis, secara
keseluruhan kedua spektrum tersebut merupakan bayangan cermin seperti
terlihat pada diagram berikut:

Gambar 3. Hubungan spektrum eksitasi dengan spektrum emisi

Keadaan Eksitasi Singlet/Triplet


Keadaan elektronik molekular dimana semua spin elektron berpasangan
disebut keadaan singlet, dan tidak ada pembelahan tingkat energi elektronik
yang terjadi ketika molekul itu terpapar pada medan magnetik. Keadaan
dasar untuk radikal bebas, pada sisi lain, adalah keadaan doublet karena
elektron ganjil dapat mengasumsikan dua orientasi dalam medan magnetik
yang mengarahkan energy berbeda pada sistem.
Ketika salah satu pasangan elektron dari molekul dieksitasi pada level
energi yang tinggi, maka baik singlet atau triplet akan terbentuk. Dalam
kondisi singlet yang dieksitasi, spin dari elektron yang dipromosikan masih
berpasangan dengan elektron dasar. Dalam kondisi triplet, spin dari dua
elektron menjadi tidak berpasangan dan dengan demikian harus disejajarkan.
Keadan ini dapat ditujukkan sebagai berikut dimana tanda panah
menunjukkan arahnya. Nomenklatur singlet, doublet dan triplet
diturunkan dari pertimbangan multipolisitas spektroskopik di dalam

6
perlunya ketiadaan pemikiran yang ada. Perlu dicatat bahwa keadaan triplet
ini mempunyai energy sedikit lebih rendah dibandingkan dengan keadaan eksitasi
singlet.
Sifat-sifat molekul dalam triplet yang dieksitasi berbeda secara
signifikan dari pada keadaan singlet. Misalnya, molekul adalah paramagnetic
dalam kondisi tripolet dan diamagnetik dalam singlet. Waktu rata-rata dari
keadaan triplet yang dieksitasi adalah berkisar dari 10-4 hingga beberapa
detik, dibandingkan dengan lama rata-rata 10-5 hingga 10-8s untuk keadaan
singlet yang dieksitasi. Eksitasi yang dipengaruhi oleh radiasi dari molekul
keadaandasar hingga pada keadaan triplet yang dieksitasi memiliki probabilitas
rendah dan absorpsi puncak terhadap proses yang memiliki beberapa golongan
dari besaranyang kurang intensif dibandingkan dengan transisi singlet.

Gambar 4. Description of fluorescence origin. F, fluorescence; P, phosphorescence; S,


singlet; T, triplet; RD, radiationless deactivation; VR, vibrational relaxation; ISC,
intersystem crossing; and E, energy

2.4. Bahan Organik


Senyawa Organik didefinisikan sebagai senyawa yang dibangun oleh unsur
karbon sebagai kerangka utamanya yang mengikat unsur non logam yang lain
(hidrogen, oksigen, nitrogen). Senyawa-senyawa ini umumnya berasal dari
makhluk hidup atau yang terbentuk oleh makhluk hidup (organisme). Definisi lain
Senyawa organik adalah senyawa yang mengandung karbon dan hidrogen beserta
dengan elemen lainnya (misalnya nitrogen dan oksigen). CO, CO 2, O2 bukan
senyawa organik karena tidak mengandung atom hidrogen. Kromofor organik
memiliki ikatan konjugasi (perulangan ikatan rangkap-tunggal) sehingga dapat

7
menyerap cahaya tampak. Serapan ahaya tampak tersebut berkaitan dengan
transisi elektronik yang terjadi pada bahan kromofor. Selain itu, molekul
kromofor organik umunya memiliki atom hidrogen yang bermuatan parsial positif
dan gugus atom bermuatan parsial negatif. Dengan demikian dimungknkan terjadi
interaksi antara dua molekul kromofor atau interaksi antara molekul kromofr dan
molekul pelarut. Perubahan medium dapat memiliki efek terhadap konformasi
molekul.

2.5. Bahan Anorganik


Senyawa Anorganik adalah senyawa-senyawa yang tidak disusun dari atom
karbon, umumnya senyawa ini ditemukan di alam. Banyak senyawa anorganik
merupakan senyawa ionik, yang terdiri dari anion dan kation yang bergabung
dengan adanya ikatan ion . beberapa contoh senyawa ini seperti garam dapur
(Natrium klorida) dengan lambang NaCl, alumunium hidroksida yang dijumpai
pada obat maag, memiliki lambang Al(OH)3. Senyawa anorganik dapat
diklasifikasikan sebagai senyawa bentuk oksida asam basa dan bentuk garam,
Senyawa oksida merupakan senyawa yang dibentuh oleh atom oksigen dengan
atom lainnya. Keberadaan atom oksigen sebagai penciri senyawa oksida.

2.6. Polimer Hibrid (organik + anorganik)


Polimer hibrid merupakan gabungan antara polimer organik dan anorganik.
Penggabungan tersebut mengkombinasikan sifat unggul dari komponen organik
dan anorganik sehingga dapat digunakan untuk berbagai aplikasi.Contohnya
bahan lampu hemat energi yang dapat disintetik dan diperbaharui.

8
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Bahan Organik

Gambar 4. Sampel Organik Nile Red

Nile red merupakan sebuah senyawa yang sangat fluorescent, dan bisa dilarutkan
dalam beberapa pelarut, dan menghasilkan larutan dengan berbagai macam warna.
Nile red bersifat berbeda bergantung pada lingkungan ataupun pelarut, sifatnya ini
ditunjukkan melalui emisi cahaya di bagian diskrit dari spectrum cahaya.

Gambar 5. Gugus Fungsi Nile Red

9
Gambar 6. Grafik Intensitas Normal Pada Nile Red

Gambar 6. Nile Red dalam DCM

Bahan organik yang digunakan disini adalah bahan Nile red yang terdiri
dari beberapa jenis, bergantung panjang gelombang absorbansinya. Nile red yang
digunakan disini berwarna merah muda dimana ahan ini dapat melakukan emisi
pada saat panjang gelombang 600 nm – 700nm. Hal ini dapat pula dilihat dari
grafik pada Gambar.6 bahwa terdapat puncak emisi disekitar panjang gelombang

± 645nm . Emisi dapat terjadi ketika energi pengeksitasi dari sumber cahaya
lebih besar dibandingkan dengan energi gap dari bahan tersebut. Disini
perbandingan dapat dilihat pada panjang gelombang, emisi akan terjadi ketika
panjabg gelombang cahaya pengeksitasi lebih kecil dibandingkan panjang
gelombang bahan dapat mengalami absorbansi ini didasarkan pada rumus :

h. c
E= λ

Cahaya yang digunakan pada saat percobaan untuk gambar 6 adalah


cahaya biru yang memiliki panjang gelombang sekitar 450 nm. Jadi dari hasil
percobaan dapat dikatakan bahwa Nile red dapat melakukan melakukan emis
ketika diberikan cahaya pengeksitasi biru, dan nile red merupakan bahan

10
fluoresens.

3.2 Bahan Anorganik


Senyawa Anorganik adalah senyawa-senyawa yang tidak disusun dari atom
karbon, umumnya senyawa ini ditemukan di alam. Banyak senyawa anorganik
merupakan senyawa ionik, yang terdiri dari anion dan kation yang bergabung
dengan adanya ikatan ion . beberapa contoh senyawa ini seperti garam dapur
(Natrium klorida) dengan lambang NaCl, alumunium hidroksida yang dijumpai
pada obat maag, memiliki lambang Al(OH)3.
Senyawa anorganik dapat diklasifikasikan sebagai senyawa bentuk oksida
asam basa dan bentuk garam, Senyawa oksida merupakan senyawa yang dibentuh
oleh atom oksigen dengan atom lainnya. Keberadaan atom oksigen sebagai penciri
senyawa oksida.
Senyawa anorganik yang bersifat fluoresensi, seperti CaWO4 (kalsium
tungstat), CaCO3 (kalsium karbonat), SiO2 (Silikon Dioksida), dan ZnSiO4
(zircon).
Jika panjang gelombang terjadinya absorbansi dari senyawa tersebut lebih
tinggi daripada panjang gelombang pengeksitasinya, maka akan terjadi emisi yang
artinya bahwa senyawa tersebut bersifat fluoresensi.

3.3 Polimer Hibrid ( polimer organic + anorganic )

Polimer hibrid merupakan gabungan antara polimer organik dan anorganik.


Penggabungan tersebut mengkombinasikan sifat unggul dari komponen organik
dan anorganik sehingga dapat digunakan untuk berbagai aplikasi.
Contohnya bahan lampu hemat energi yang dapat disintetik dan
diperbaharui.

11
Sifat Optik Polimer Hibrid dengan dopan Luminisen

12
Polimer hibrid dengan dopan coumarin 1 mengeluarkan emisi biru,
Coumarin 6 mengeluarkan emisi hijau, dan nile red mengeluarkan emisi merah.
Jika ketiga kromofor tersebut dicampurkan emisi mencangkup seluruh daerah
cahaya tampak. Pada komposisi tertentu dapat dihasilkan emisi putih.

3.4 Analisis Kuantitatif


Pada larutan dengan konsentrasi tinggi, sebagian besar cahaya diserap
lapisan larutan yang paling dulu kontak dengan radiasi eksitasi, sehingga
fluoresensi hanya terjadi pada bagian yang menyerap cahaya tersebut. Dengan
demikian, pada analisis kuantitatif harus digunakan larutan yang encer
(serapan tidak lebih dari 0,02) supaya dapat memenuhi persamaan fluoresensi:
F = 2,3 Io Qabc atau F = kc
Keterangan:
F = fluoresensi
k = konstan = 2,3Ioabc
Io = intensitas sumber cahaya
Q = efisiensi fluoresensi
a = daya serap
b = tebal larutan
c = konsentrasi
Hal-hal yang diperhatikan dalam analisa kuantitatif:
1. Konsentrasi
Perlu larutan yang 10-100 kali lebih encer daripada analisa spektrofotometri.
2. Radiasi eksitasi
Memerlukan cahaya monokromatik. Untuk eksitasi cahaya monokromatik

13
sangat esensial, karena intensitas berubah-ubah sesuai dengan panjang gelombang.
3. Metoda iluminasi
a. right angle method : mengukur fluoresensi yang tegak lurus radiasi eksitasi.
Cara ini lebih umum dipakai karena alat yang dibuat untuk cara ini
lebih ekonomis dan memberikan nilai blangko yang lebih kecil untuk
cahaya terhambur dan fluoresensi dari dinding kuvet.
b. frontal-method : mengukur fluoresensi pada sudut beberapa derajat dari
arah radiasi eksitasi. Cara ini dipakai untuk larutan yang kurang
transparan (opaque), larutan pekat atau zat padat, kromatrografi kertas atau
KLT
4. Oksigen
Merupakan zat pengganggu karena beroksidasi sehingga intensitas fluoresensi
menurun (quenching).
5. pH
Perubahan pH mempunyai efek yang nyata terhadap fluoresensi.
6. Foto dekomposisi
Diperlukan sumber cahaya dengan intensitas tinggi sehingga penguraian zat
yang diperiksa lebih besar.
7. Suhu dan kekentalan
Perubahan suhu dan kekentalan menyebabkan perubahan frekuensi banturan
molekul-molekul.

Beberapa kesalahan sering terjadi pada fluorometer dan fosforimeter:


 Efisiensi kuantum proses pendar-cahaya harus sama dengan reprodusibel.
Jika efisiensi kuantum berkurang akan menyebabkan fenomena quenching.
 Atom-atom berat dan jenis-jenis paramagnetik berpengaruh terhadap ISC.
 Penyilangan antarsistem dan efisiensi kuantum terutama pada fluorometer
seperti sifat paramagnetik O2 dapat menyebabkan quenching.
 Suatu pergeseran atau perubahan intensitas sumber cahaya dan posisi
sel dapat menyebabkan kesalahan pengukuran, demikian juga efek yang dikenal
dengan inner filter yang disebabkan oleh perbedaan intensitas pendar-fluor
pada sisi kanan dan sisi kiri kuvet, akan mengakibatkan kesalahan
pengukuran.

14
3.5 Kelebihan fluorometer dan fosforimeter dalam analisis kuantitatif

 Metode ini selektif dan tidak terjadi interferensispektral. Interferensi ini


bila timbul dapat diatasi dengan pemilihan panjang gelombang yang
tepat baik pada eksitasi maupun pemendarannya.
 Metode ini sensitif. Pada fosforometer, resolusi waktunya
cukup besar, karena panjangnya waktu hidup. Hal ini
jugamengeliminasi penghamburan sampel. Tidak seperti fluorometer,
fosforometer jarang digunakan dalam analisis kimia karena rumitnya
peralatan. Untuk memperoleh hasil reprodusibel pada analisis
fosforimeter, diperlukan pendinginan sampel dengan suatu
campuran5:2:2 dietileter, isopentana dan etanol, EPA.

15
BAB IV
KESIMPULAN

Keuntungan dari analisis fluoresensi adalah kepekaan yang baik karena :


1. Intensitas dapat diperbesar dengan menggunakan sumber eksitasi
yang tepat
2. Detektor yang digunakan seperti tabung pergandaan foto sangat peka
3. Pengukuran energi emisi lebih tepat daripada energi terabsorbsi
Terdapat dua jenis luminensi yaitu phosporensi dan juga fluoresensi,
fluoresensi adalah ketika cahaya diemisikan seketika ketika cahaya diserap,
sedangkan phosporesensi ketika caha yang diserap disimpan terlebih dahulu baru
diemisikan. Suatu bahan dikatakan fluoresens ketika dapat mengemisikan cahaya
yang diserap.

16
DAFTAR PUSTAKA
Allen, B., (2005), Enccapsulation and Enzyme Medicated Release of Molecular
Cargo inPolysulfide nanoparticles, United states

Anonim, (2013), http://www.ilmukimia.org/2013/04/kimia-anorganik.html.


Diakses pada hari Minggu, 06 Desember 2020 pukul 10:06 WIB.

Fitrilawati, F., Indra Masruri, N. Syakir, P. Pitriana, R. Hidayat,”Pembuatan


Bahan Luminesen Berbasiskan Polimer Hibrid dengan Dopan RGB
Organik Untuk Aplikasi Lampu Flouresen Padat”, Prosiding Seminar
Nasional Energi 2010, Jatinangor 3 November 2010 (2010) (ISSN
2087-7471).

Jamil, N. A., (2013), Ekstraksi Dan Hasil Ekstraksi Dan Penentuan Kadarion
Aluminium Hasil Ekstraksidari Abu Terbang (Fly Ash) Batubara,
Universitas Jember, Jember.

Listyono, G. M.,(2012). https://www.scribd.com/doc/87010479/3-BAB-II,


Diakses pada hari Minggu, 06 Desember 2020 pukul 11:12 WIB.

Made, J ., (2007), Diktat Mata Kuliah Pengantar Biospektroskopi, Unpad,


Jatinangor

Norman S., Fitrilawati, Indra Masruri dan Rahmat Hidayat, "Prototipe Lampu
Flouresen Padat Berbasis Polimer Hibrid dan Karakterisasinya",
Prosiding Seminar Nasional Energi 2010, Jatinangor 3 November 2010
(2010) (ISSN 2087-7471).

Pitriana, P., Hidayati, R., Purba, D., Syakir, N., Fitrilawati, F., Herman, Hidayat,
R., Preparation and Characterization of Hybrid Inorganic-Organic
Polymer, International Seminar on Chemistry 2008 , Bandung 30-31
October 2008303.

Tim Penyusun, (2007), Modul Kuliah Spektroskopi, Universitas Sanata Dharma,


Yogyakarta

17

Anda mungkin juga menyukai