Anda di halaman 1dari 33

Sok we bo bilih aya nu kirang mh tambihan dei :)

1. Cover
2. KATA PENGANTAR
3. Daftar isi
4. Pendahuluan
5. Rumusan masalah
6. Tujuan
7. Tinjauan pustaka :
- pengertian Spektroskopi
- prinsip Spektroskopi fluoresensi
- kelebihan dan kekurangan
- metode penelitian

Kata pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya
penulis diberi kesehatan dan kekuatan lahir batin dalam menulis Karya Tulis Ilmiah untuk
melengkapi dan menambah wawasan pada mata kuliah Kimia Kuantum dan menyelesaikan
karya tulis ini yang berjudul ―Spektroskopi ― dengan tepat waktu. Adapun tujuan dari
pembuatan paper yang berjudul spektroskopi adalah untuk mengetahui teknik dari masing-
masing spektroskopi berdasarkan sinyal radiasinya, untuk mengetahui prinsip kerja dari masing-
masing spektoskopi berdasarkan sinyal radiasinya, untuk mengetahui penerapan spektroskopi di
berbagai bidang. Penulis juga menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak
untuk meningkatkan kualitas penulisan yang lebih baik.

Tasikmalaya, Februari 2020

Penulis,
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari tentang metode-metode untuk
menghasilkan dan menganalisis spektrum. Interpretasi spektrum yang dihasilkan dapat
digunakan untuk analisis unsur kimia, meneliti arus energi atom dan molekul, meneliti struktur
molekul, dan untuk menentukan komposisi dan gerak benda-benda langit (Danusantoso, 1995:
409). Dikenal dua kelompok utama spektroskopi, yaitu spektroskopi atom (emisi) dan
spektroskopi molekul (absorpsi). Dasar dari spektroskopi atom adalah tingkat energi elektron
terluar suatu atom atau unsur yang melibatkan energi elektronik, vibrasi, dan rotasi. sedangkan
dasar dari spektroskopi molekul adalah tingkat energi molekul radiasi yang terabsorpsi.
Berdasarkan sinyal radiasi elektromagnetik, spektroskopi dibagi menjadi empat golongan yaitu
spektroskopi absorpsi, spektroskopi emisi, spektroskopi scattering, dan spektroskopi fluoresensi.
Pada spektroskopi absorpsi, terdapat beberapa tipe metode spektroskopi berdasarkan sifat
radiasinya, yaitu spektroskopi absorpsi atom (nyala), absorpsi atom (tanpa nyala) dan absorpsi
sinar-x. Pada spektroskopi emisi, terdapat beberapa tipe metode spektroskopi yaitu arc spark,
plasma argon, emisi atom atau emisi nyala dan emisi sinar-x. Spektrometer merupakan alat yang
digunakan dalam pengukuran spektroskopi yaitu untuk mengukur absorbansi sinar
monokromatis oleh suatu larutan dengan cara melewatkan cahaya pada panjang gelombang
spesifik dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dengan detektor fototube
oleh suatu obyek kaca atau kuarsa yang disebut kuvetdengan sebagian dari cahaya tersebut
akan diserap dan sisanya akan dilewatkan. Nilai absorbansi dari cahaya yang dilewatkan akan
sebanding dengan konsentrasi larutan di dalam kuvet. Jenis spektrometer antara lain adalah
spectrometer sinar tampak, spektrometer ultraungu, spektrometer infra-merah, spektrometer
resonansi magnet inti, spektrometer serapan, spektrometer massa, dan spektrometer
fluoresensi. Perbedaan dari jenis spektrometer tersebut terletak pada sumber cahaya atau
sampel yang disesuaikan dengan apa yang akan diteliti. Pada spektrometer sinar tampak,
contohnya pada serapan cahaya dari radiasi panas

plasma, sumber cahaya plasma difokuskan oleh lensa pemfokus dan diterima monokromator,
kemudian dipilih panjang gelombang yang sesuai dengan mengatur selektor panjang gelombang,
dan pada saat yang tepat ada cahaya keluaran yang ditangkap fotodiode kemudian sinyal dari
fotodiode diteruskan ke osiloskop. Fotodiode yang digunakan sekiranya yang cocok dengan
panjang gelombang cahaya dari sumber cahaya plasma tersebut (Widdi Usada, 2009: 1).
Komponen-komponen pokok spektrometer terdiri dari empat bagian penting yaitu sumber
radiasi/cahaya, monokromator, tempat cuplikan (kuvet), dan detektor. Sumber radiasi adalah
suatu sumber energi yang memancarkan pancaran radiasi elektromagnetik, sedangkan
monokromator adalah alat yang paling umum dipakai untuk menghasilkan berkas radiasi dengan
satu panjang gelombang. Monokromator untuk radiasi ultra violet, sinar tampak dan infra merah
adalah serupa, yaitu mempunyai celah (slit), lensa, cermin, dan prisma atau grating. Terdapat
dua macam monokromator yaitu monokromator prisma bunsen dan monokromator grating
Czerney-Turney.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1pengertian

Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari materi dan atributnya berdasarkan cahaya, suara
atau partikel yang dipancarkan, diserap atau dipantulkan oleh materi tersebut. Spektroskopi
juga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara cahaya dan materi.
Dalam catatan sejarah, spektroskopi mengacu kepada cabang ilmu dimana "cahaya tampak"
digunakan dalam teori-teori struktur materi serta analisa kualitatif dan kuantitatif. Dalam masa
modern, definisi spektroskopi berkembang seiring teknik-teknik baru yang dikembangkan untuk
memanfaatkan tidak hanya cahaya tampak, tetapi juga bentuk lain dari radiasi elektromagnetik
dan non-elektromagnetik seperti gelombang mikro, gelombang radio, elektron, fonon,
gelombang suara, sinar x dan lain sebagainya.

. Atomic Fluorescence Spectroscopy Atomic Fluoresence Spectroscopy (AFS) adalah salah


satu jenis spektroskopi elektromagnetik yang menganalisis fluorescence dari atom sampel.
Didalamnya meliputi penggunaan sorotan sinar, biasanya sinar ultraviolet, yang
mengeksitasi elektron dalam atom dan menyebabkannya memancarkan sinar. Alat untuk
mengukur fluorescence disebut fluorometers atau fluorimeter.

Fluoresensi spektroskopi alias atau metode spektrofluorometri, merupakan jenis


spektroskopi elektromagnetik yang menganalisis fluoresensi dari sampel seperti definisi diatas.
Ini melibatkan menggunakan berkas cahaya, biasanya sinar ultraviolet, bahwa eksitasi elektron
pada molekul senyawa tertentu dan menyebabkan mereka memancarkan cahaya dari energi
yang lebih rendah biasanya, tetapi tidak harus, cahaya tampak. Molekul memiliki berbagai
bentuk disebut sebagai tingkat energi. Fluoresensi spektroskopi terutama yang bersangkutan
dengan elektronik dan bentuk getaran. Secara umum, spesies yang diperiksa akan memiliki
bentuk energi rendah.

Energi yang tersimpan di dalam atom dapat dilepaskan dengan berbagai cara. Ketika energi
dilepaskan sebagai cahaya, maka dikenal sebagai fluorescent (cahaya yang berpendar). Atomic
fluorescent spectroscopy ini mengukur cahaya yang teremisi ini.

Fluorescent umumnya diukur pada sudut dari sumber eksitasi untuk meminimalisasi
berkumpulnya cahaya yang tersebar dari sumbereksitasi dan biasanya menggunakan rotasi
pada prisma PellinBroca pada meja kemudi yang juga dapat memisahkan cahaya menjadi
spektrum-spektrumnya untuk anilisi yang lebih jelas.Panjang gelombang akan memberitahu
kita tentang komposisi atomnya. Untuk penyerapanyang sedikit (konsentrasi yang sedikit pula),
intensitas dari cahaya yang terserap sebandingdengan konsentrasi atom. Umumnya atomic
fluorescent lebih sensitif (dapat mendeteksikonsentrasi yang rendah) daripada atomic
absorption.

Prinsip-prinsip umum dapat diilustrasikan dengan diagram Jablonski (Veberg, 2006). Menurut
diagram Jablonski, energi emisi lebih rendah dibandingkan dengan eksitasi. Ini berarti
bahwa emisi fluoresensi yang lebih tinggi terjadi pada panjang gelombang dari penyerapan
(eksitasi). Perbedaan antara eksitasi dan panjang gelombang emisi dikenal sebagai
pergeseran Stoke.

Analisa dari larutan atau solidmembutuhkan atom sampel yang menguap atau teratomisasi
pada temperature yang relativerendah dalam pipa panas, flame atau graphitefurnace.
Sebuah lampu HCL atau Lasermenghasilkan eksitasi untuk membawa atom keenergy yang
lebih tinggi. Atomic fluorescent akanterdispersi dan dideteksi oleh monokromator dan
photomultiplier tube yang mirip dengan alat AAS.

Cahaya dari sumber eksitasi melewati filter atau monokromator, dan pemogokan sampel.
Sebagian cahaya insiden diserap oleh sampel, dan beberapa molekul dalam sampel berpendar.
Lampu neon yang dipancarkan ke segala arah. Beberapa lampu neon ini melewati filter kedua
atau monokromator dan mencapai detektor, yang biasanya diletakkan pada suhu 90°. Untuk
insiden sinar untuk meminimalkan risiko memantulkan cahaya yang ditransmisikan atau
kejadian mencapai detektor.

2.1. Prinsip Fluoresensi


2.1.1 Pengertian Flouresensi
Fluoresensi adalah proses pemancaran radiasi cahaya oleh suatu materi
setelah tereksitasi oleh berkas cahaya berenergi tinggi. Emisi cahaya terjadi karena
proses absorbsi cahaya oleh atom yang mengakibatkan keadaan atom tereksitasi
(Retno, 2013).
Keadaan atom yang tereksitasi akan kembali keadaan semula dengan
melepaskan energi yang berupa cahaya (de-eksitasi). Fluoresensi merupakan proses
perpindahan tingkat energi dari keadaan atom tereksitasi (S1 atau S2) menuju ke
keadaan stabil (ground states). Proses fluoresensi berlangsung kurang lebih 1 nano
detik sedangkan proses fosforesensi berlangung lebih lama, sekitar 1 sampai dengan
1000 mili detik (Rhys-Williams, 2011).

Gambar 2.1. Diagram Jablonski

Gambar 2.1 adalah gambar diagram Jablonski yang menunjukan terjadinya


proses fluoresensi dan fosforesensi. Ketika suatu atom atau molekul mengabsorbsi
energi cahaya sebesar hνA maka elektron-elektron pada kondisi dasar (ground sate)
S0 akan berpindah ke tingkat energi yang lebih tinggi ke tinggat S1 atau S2.
Atom akan mengalami konversi internal atau relaksasi pada kondisi S1
dalam waktu yang sangat singkat sekitar 10-1 ns, kemudian atom tersebut akan
melepaskan sejumlah energi sebesar hνf yang berupa cahaya karenanya energi atom
semakin lama semakin berkurang dan akan kembali menuju ke tingkat energi dasar
S0 untuk mencapai keadaan suhu yang setimbang (thermally equilibrium).
Emisi fluoresensi dalam bentuk spektrum yang lebar terjadi akibat
perpindahan tingkat energi S1 menuju ke sub-tingkat energi S0 yang berbeda- beda
yang menunjukan tingkat keadaan energi dasar vibrasi atom 0, 1, dan 2 berdasarkan
prinsip Frank-Condon (Hankiewiez, 2012).
Apabila intersystem crossing terjadi sebelum transisi dari S1 ke S0 yaitu
saat di S1 terjadi konversi spin ke triplet state yang pertama (T1), maka transisi dari
T1 ke S0 akan mengakibatkan fosforesensi dengan energi emisi cahaya sebesar hνP
dalam selang waktu kurang lebih 1μs sampai dengan 1s.
Proses ini menghasilkan energi emisi cahaya yang relatif lebih rendah
dengan panjang gelombangyang lebih panjang dibandingkan dengan fluoresensi
(Skoog, Holler, Crouch, 2012).
Beberapa kondisi fisis yang mempengaruhi fluoresensi pada molekul antara
lain polaritas, ion-ion, potensial listrik, suhu, tekanan, derajat keasaman (pH), jenis
ikatan hidrogen, viskositas dan quencher (penghambat de-eksitasi). Kondisi-
kondisi fisis tersebut mempengaruhi proses absorbsi energi cahaya eksitasi.
Hal ini berpengaruh pada proses de-eksitasi molekul sehingga
menghasilkan karakteristik intensitas dan spektrum emisi fluoresensi yang berbeda-
beda . flouresensi lazim seribu kali lebih peka daripada spektrofotometri, meskipun
nilai-nilai yang sebenarnya bergantungpada senyawa-senyawa yang dilibatkan dan
instrumen mana yang tersedia.
Fakta bahwa fluoresensi ditandai dengan dua parameter panjang gelombang
yang signifikan meningkatkan spesifikasi dari metode ini, dibandingkan dengan
teknik spektroskopi hanya didasarkan pada penyerapan. Suatu sifat yang menonjol
dari analisis flouresensi adalah tingginya kepekaan dibandingkan dengan tehnik
lazim lainnya (Retno, 2013).
Prinsip dasar setup peralatan untuk pengamatan sinyal fluoresensi
diperlihatkan pada Gambar 2.2. berikut ini

Gambar 2.2. Prinsip Dasar Pengamatan Fluoresensi

Pada gambar 2.2, sumber dalam daerah uv/vis menyinari sampel sehingga
sampel berfluoresensi. Adapun bagian-bagian prinsip dasar pengamatan fluoresensi
adalah:

Source merupakan sumber spectrum yang kontinyu misalnya dari jenis


lampu merkuri atau xenon. Monokromator (M1) untuk menyinari sampel dengan
panjang gelombang tertentu. Monokromator kedua (M2) yang pada iradiasi konstan
dapat dipakai menentukan panjang gelombang spectrum fluoresensi sampel.
Detektor berupa fotosel yang sangat peka misalnya fotomultiplier merah
untuk panjang gelombang lebih besar dari pada 500 nm. Detektor merupakan suatu
bagian spektrofotometer yang penting karena kualitas detector akan
menentukan kualitas spektrofotometer. Fungsi detector didalam spektrofotometer
adalah menangkap cahaya yang diteruskan dari sampel dan mengubah signal radiasi
menjadi signal elektronik.
Pada detector diinginkan kepekaan radiasi yang tinggi terhadap radiasi yang
diterima, dengan tingkat kebisingan yang rendah, kemampuan respon kuantitatif
dan signal elektronik yang ditansfer oleh detector dapat diaplikasikan oleh penguat
(amplifier) ke recorder (rekaman / pembacaan )
Amplifier atau penguat dan Visual display untuk menggandakan radiasi dan
meneruskan ke pembacaan. Amplifier dibutuhkan saat signal elektronik yang
dialirkan setelah melewati detector untuk menguatkan karena penguat dengan
resistensi masukan yang tinggi sehingga rangkaian detector tidak tersadap habis
yang menyebabkan keluaran yang cukup besar untuk dapat dideteksi oleh suatu alat
pengukur (meter).
Metode yang dirancang adalah sebuah sistem untuk dapat menangkap sinyal
fluoresensi dari bahan yang akan diidentifikasikasi. Sinyal fluoresensi terjadi akibat
transisi molekul energi level S1 dasar ke energi level S0 dengan berbagai alternatif
seperti energi vibrasi 3,2,1 dan 0. Dengan menggunakan persamaan Plank maka
panjang gelombang maksimum ( ) adalah transisi dari energy level S1 tingkat
m

dasar ke energi level S0 tingkat dasar. Sinyal fluoresensi ini pada dasarnya adalah
sinyal transien yaitu singkat dan lemah, sehingga perlu penangan khusus untuk
meningkatkan perbandingan signal-to.noise ratio (S/N ratio).
Gambar 2.3. Spectrum fluoresensi

Pada Gambar 2.3. ditunjukkan spectrum sinyal pengeksitasi dan spectrum sinyal
fluoresensi secara simultan menunjukkan spektrum fluoresensi yaitu eksitasi filter,
dikromtik mirror dan emisi.
1. Eksitasi filter
Foton dengan energi hƲEX ditembakkan dari sumber energi eksternal seperti
lampu pijar atau laser yang kemudian diserap oleh fluorophore sehingga
elektronnya tereksitasi ke tingkat energi eksitasi (S1’).
2. Dikromatik mirror
Molekul yang telah tereksitasi secara cepat rileks ke level energi vibrasi
yang paling rendah dari S 1 ’ yaitu S1 akibat disisipasi energi. Proses ini disebut
konversi internal, secara umum terjadi selama kurang dari 10-12
s. Emisi
fluoresensi merupakan akibat dari keseimbangan termal tingkat eksitasi, yaitu pada
level energi vibrasi yang paling rendah . Tetapi tidak semua molekul yang
tereksitasi kembali ke groundstate dengan memancarkan fluoresensi, seperti
collisional quenching yang tidak memiliki tahap konversi internal.
Untuk elektron yang tereksitasi ke S2’ dan seterusnya, elektron juga akan
segera dengan cepat rileks ke keadaan S1’, dan emisi tetap terjadi pada keadaan
energi vibrasi terendah S1.
3. Emisi
Ketika fluorophore kembali ke groundstate (S0), ia akan memancarkan
foton berenergi hƲEM yaitu sesuai dengan berbedaan energi antara S 1 dan S 0 .
Karena adanya pengurangan energi pada tahap 2 maka foton yang diemisikan
hƲEM memiliki energi yang lebih kecil dan panjang gelombang yang lebih besar
daripada foton yang diserap hƲEX , sehingga spektrum emisi fluoresensi tidak
tergantung panjang gelombang eksitasi. Perbedaan energi eksitasi dan emisi (hƲEX
- hƲEM ) disebut pergeseran stoke.

Intensitas emisi fluoresensi sebanding dengan amplitudo spektrum eksitasi,


tetapi panjang gelombang emisi tidak bergantung pada panjang gelombang eksitasi

2.1.2. Parameter Fluoresensi


2.1.4. Parameter Fluoresensi
Intensitas fluoresensi adalah jumlah foton yang diemisikan per unit waktu
(s) per unit volume larutan (l) dalam mol atau ekivalensinya dalam Einstein, dimana
1 Einstein = 1 foton mol. Intensitas fluoresensi dalam unit volume larutan (medium)
yang tereksitasi terjadi dalam selang waktu transisi (lifetime). Intensitas fluoresensi
tersebut merupakan hasil emisi de-eksitasi sehingga lifetime pada S1 akan
berpengaruh terhadap besarnya intensitas fluoresensi.

Pada gambar 2.3, Ks adalah konstanta kecepatan radiasi S → S


(transisi
r 1 0

dari S1 ke S0 ) , ks adalah konstanta kecepatan non radiasi T1 → S0 (transisi dari T1


nr
ke S0) yang terjadi setelah proses internal crossing system S1 → T1, kics adalah
konstanta kecepatan proses internal conversion (bersifat non radiatif) dari T1 → S0
yang terjadi setelah transisi S2 → S1, dan kT adalah konstanta kecepatan radiatif
r
transisi T1 → S0 yang terjadi setelah proses internal crossing system T1 → S0.
Eksitasi hingga ke tingkat energi S1 terjadi apabila sejumlah molekul A
menyerap energi cahaya, dan ketika kembali ke tingkat energi S0 molekul tersebut
akan mengemisikan radisi atau melepaskan energi non radiasi (fonon atau energi
panas) dengan laju eksitasi sebagai berikut:
𝑑[1 ∗]
− 𝐴
= (𝑘𝑠 + 𝑘𝑠 )[1 ∗].………………......................................................(2.1)
𝑑𝑡
𝑟 𝑛𝑟 𝐴
Dengan 𝐴∗adalah molekul A yang tereksitasi. Jumlah konsentrasi
molekul yang tereksitasi dalam waktu t detik diperoleh dengan
mengintegrasikan persamaan 2.1 terhadap waktu t sebagai berikut:
[1A∗] = [1A
]exp �− t � ................................................................................................... (2.2)
τs

τsadalah lifetime pada A∗ di S1, yang didefinisikan sebagai:


1
τs = ks+ks
……………………………………………………..………….. ….(2.3)
r nr

Molekul A∗ mengemisikan foton akibat laju konstanta radiasi kr, yaitu:


s
k
r
A∗ → A + foton ................................................................................................................... (2.4)
Respon intensitas fluoresensi iF(t) merupakan intensitas yang mengalami
penurunan secara eksponensial saat molekul A dieksitasi oleh pulsa cahaya δ(t):
if(t) = ks[1 ∗] = ks[1 ∗] exp �– t � ............................................................................ (2.5)
r A r A 0 τs

Laju konstanta radiasi dan non-radiasi berpengaruh terhadap intensitas fluoresensi


sehingga hubungan antara kedua konstanta tersebut dapat dinyatakan sebagai
efisiensi kuantum fluoresensi ΦF (lihat persamaan 2.3 dan 2.4). Dengan kata lain,
rasio antara jumlah foton yang diemisikan dan jumlah foton yang diserap dapat
dituliskan sebagai berikut:
s
ΦF = k
r
= k s τ ................................................................................ (2.6)
ks+ks rs
r nr

Φ = τs .......................................................................................................................................................................................................................................(2.7)
F τr

Dalam kondisi tunak perubahan laju molekul yang tereksitasi bernilai konstan
sehingga persamaan 2.1 menjadi:
d[1 ∗]
− A
= 0 = kaαN0 − (ks + ks)[1 ∗] ................................................................. (2.8)
dt r r A

Dimana kaαN0 adalah jumlah foton yang diserap per unit volume (L) per satuan
detik (s). Karena jumlah molekul adalah konstan, sehingga intensitas fluoresensi
dalam kondisi tunak adalah:
ks
iF = ks[1 ∗] = αI r
= αI Φ ..................................................................... (2.9)
r A 0 ks+ks 0F
r nr

Intensitas fluoresensi dalam kondisi tunak per jumlah foton yang diserap sebagai
fungsi panjang gelombang foton yang diemisikan dinyatakan dalam persamaan
berikut:

∫0 𝐹𝜆(𝜆𝐹)𝑑𝜆𝐹 = Φ𝐹 .......................................................................................................... (2.10)
Atau
𝐼𝐹(𝜆𝐸, 𝜆𝐹) = 𝑘𝐹𝜆(𝜆𝐹)𝐼𝐴(𝜆𝐸)…………………………………………………(2.11)

Dengan mensubtitusikan persamaan 2.10 ke persamaan 2.11 diperoleh:


𝐼𝐹(𝜆𝐸, 𝜆𝐹) = 𝑘Φ𝐹𝐼𝐴(𝜆𝐸) ............................................................................................... (2.12)
Dimana
𝐼𝐴(𝜆𝐸) = 𝐼0(𝜆𝐸) − 𝐼𝑇(𝜆𝐸)……………………………………………………(2.13)
Dengan
𝐼𝐹(𝜆𝐹) =intensitas fluoresensi yang diukur pada rentang spektrum panjang
gelombang fluoresensi 𝜆𝐹
𝐼𝐴(𝜆𝐸) = selisih intensitas cahaya yang datang dengan intensitas yang
ditransmisikan pada gelombang 𝜆𝐸.
𝐼𝑇(𝜆𝐸) = intensitas eksitasi ditransmisikan.
𝐼0(𝜆𝐸) = intensitas cahaya yang datang.
𝜅 = konstanta fluoresensi, yang besarnya tergantung pada set up optis
antara detektor dengan berkas fluoresensi
Proses fluoresensi dapat terjadi pada partikel dalam suatu medium. Hal
tersebut terjadi akibat respon terhadap cahaya eksitasi dari elemen-elemen
penyusunnya (kumpulan-kumpulan molekul atau atom yang relatif homogen)
dengan mengasumsikan bahwa dimensi partikel sangat tipis sehingga proses
absorbsi terhadap cahaya eksitasi tidak mengalami hambatan atau gangguan.
Pada saat cahaya eksitasi I0 datang menuju medium (dimensi lxl) yang
berisi partikel-partikel, cahaya tersebut akan diabsorbsi oleh partikel-partikel
sebesar IA dan sebagian diteruskan (tanpa absorbsi) sebesar IT (persamaan 2.13).
Cahaya yang diabsorbsi selanjutnya dikonversi menjadi emisi cahaya fluoresensi
(IF) oleh faktor efisiensi kuantum ΦF (persamaan 2.12).
Hubungan antara intensitas fluoresensi dan absorbansi suatu partikel
akibat eksitasi dari suatu sumber cahaya dinyatakan dengan menggunakan hukum
Beer-Lambert. Intensitas cahaya eksitasi yang ditransmisikan oleh sejumlah
konsentrasi partikel N sebesar IT(λE) pada luasan medium a dan sepanjang arah
rambat cahaya eksitasi l dituliskan sebagai berikut
𝐼𝑟 = 𝐼0(𝜆𝐸)(exp[−𝑁𝑎𝜀(𝛾𝐸)𝐼] ) ..................................................................................... (2.14)
Dimana
ε(λE) = koefesien absorbsi pada panjang gelombang eksitasi (L/[partikel.m])
l = panjang lintasan optik yang dilewati oleh sumber cahaya (m)
N = konsentrasi partikel (partikel/L)
a = luasan berkas cahaya eksitasi yang melewati partikel-partikel dalam medium
(m2)
Tanda minus dalam exponensial pada persamaan 2.1. menunjukkan bahwa
intensitas cahaya eksitasi yang ditransmisikan oleh konsentrasi partikel menurun
secara eksponensial akibat luasan berkas sinar eksitasi a dan absorbsi sepanjang
lintasan l. Dengan mensubstitusikan persamaan 2.14 ke 2.13 didapatkan persamaan
intensitas absorbsi cahaya eksitasi pada konsentrasi partikel, sebesar:
𝐼𝑟 = 𝐼0(𝜆𝐸)(1 − exp[−𝑁𝑎𝜀(𝛾𝐸)𝐼] )............................................................................. (2.15)
Intensitas cahaya fluoresensi yang diemisikan oleh suatu konsentrasi partikel pada
suatu volume, adalah sebanding dengan jumlah intensitas cahaya absorbsi yang
terkonversi menjadi cahaya fluoresensi (persamaan2. 12). Selanjutnya dengan
mensubtitusikan persamaan 2.15 ke 2.12 diperoleh intensitas cahaya fluoresensi
sebagai fungsi ΦF yaitu:
𝐼𝐹 = 𝑘Φ𝐹𝐼0(𝜆𝐸)(1 − exp[−𝑁𝑎𝜀(𝜆𝐸)𝐼] ) .................................................................. (2.16)
Persamaan 2.16 merupakan fungsi IF yang membentuk hubungan
eksponensial sebagai fungsi dari IA dan IT. ΦF merupakan faktor konversi
intensitas cahaya yang diabsorbsi oleh konsentrasi partikel menjadi energi cahaya
fluoresensi dan diperoleh melalui pendekatan empirik (eksperimen) dan analitik
mengacu pada persamaan 2.7 dan 2.10. Faktor ΦF tergantung dari karakteristik
absorbsi dan fluoresensi partikel dalam medium. Persamaan 2.16 dapat
disederhanakan dengan menggunakan deret Mc Laurin menjadi sebagai berikut:
exp[−𝑁𝑎𝜀(𝜆𝐸)𝐼] = [1 − 𝑁𝑎𝜀(𝜆𝐸)𝐼] ....................................................................... (2.17)
Persamaan 2.17 kemudian disubtitusikan ke persamaan 2.16 diperoleh bentuk
persamaan yang lebih sederhana, yaitu :
𝐼𝐹 = 𝑘Φ𝐹𝐼0(𝜆𝐸)[𝑁𝑎𝜀(𝜆𝐸)𝐼])...................................................................................... (2.18)
Perbandingan antara IF dan Io pada persamaan 2.18 dinyatakan dalam persamaan
2.19 dan disebut sebagai intensitas fluoresensi yang ternormalisasi.
𝐼𝐹
= 𝑘Φ𝐹𝑁𝑎𝜀(𝜆𝐸)𝐼 ................................................................................................. (2.19)
𝐼0
Perbandingan jumlah foton yang diserap dengan emisi fluoresensi didefenisikan
sebagai fraksi ∅ f R

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑁𝑢𝑚𝑏𝑒𝑟 𝑜𝑓 𝑃ℎ𝑜𝑡𝑜𝑛𝑠 𝑒𝑚𝑚𝑖𝑡𝑒𝑑 ..................................................................................................


∅𝑓 = (2.20)
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑁𝑢𝑚𝑏𝑒𝑟 𝑜𝑓 𝑃ℎ𝑜𝑡𝑜𝑛𝑠 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑒𝑑

I f = ∅ f ∆l = K f [S 1 ] = ∅ f (K lC + K lSC + K f + K Q [Q])[S 1 ] ……….…………..…


R R

(2.21)
∅𝑓 = Kf ..........................................................................................................................................................................
(2.22 )
𝐾𝐼𝐶+𝐾 𝐼𝑆𝐶+𝐾𝑓+ 𝐾𝑄[𝑄]

𝑇= 1
. ……………………………………...……..……….(2.23)
𝐾𝐼𝐶+𝐾 𝐼𝑆𝐶+𝐾𝑓+ 𝐾𝑄[𝑄]

𝑇= 1
𝑟 𝐾𝑓
…………………………………………………………….………...(2.24)
..................................................................................................................................
∅ =T (2.25)
𝑓 𝑇𝑟

𝑇 = 1
𝑟 𝐾𝑝+𝐾 ′𝑉𝑅+ 𝐾𝑄[𝑄𝑝]
……………………………………………………..…..(2.26)
∅𝑝

∅𝑡
𝑇𝑝
=
𝑇𝑃𝑟
……………………………………………………..………...…..(2.27)

Dimana Kp = konstanta orde pertama peluruhan dari energi T1 ke S0


K’VR = konstanta vibrasi relaksasi energi state T1
K QP[Qp] = pseudo orde pertama
Tp dan TpR = waktu hidup masing – masing ‘presence’ dan ‘absence’
∅t
R
= formasi efisiensi pada triplet state

Peluruhan Intensitas sinyal fluoresensi adalah :


( 2.28
I = I0e-t/𝜏...........................................................................................................................
)

Dengan : I0 adalah intensitas awal pada t = 0


I adalah intensitas setelah waktu 𝜏,
𝜏 adalah lifetime (waktu hidup)
Persamaan B eer-Lambert pada proses absorbsi
Log ( I0 / I𝜏 ) = 𝜀𝑏𝑐........................................................................................................... (
2.29
Dimana I0 = Intensitas cahaya pengeksitasi
I𝜏 = Intensitas cahaya yang ditransmisikan
Hukum lambert-beer atau Hukum Beer, berbunyi: “jumlah radiasi cahaya
tampak (ultraviolet, inframerah dan sebagainya) yang diserap atau ditransmisikan
oleh suatu larutan merupakan suatu fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal
larutan”.
Hukum Lambert-Beer menyatakan hubungan linieritas antara absorban
dengan konsentrasi larutan analit dan berbanding terbalik dengan transmitan.
Dalam hukum Lambert-Beer tersebut ada beberapa pembatasan, yaitu :
a) Sinar yang digunakan dianggap monokromatis
b) Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang
yang sama
c) Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung
terhadap yang lain dalam larutan tersebut
d) Tidak terjadi fluorensensi atau fosforisensi
e) Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi
larutan Hukum Lambert-Beer dinyatakan dalam rumus
sbb :
A = e.b.c ....................................................................................................... (2.30)
dimana A = absorban
e = absorptivitas molar
b = tebal kuvet (cm)
c = konsentrasi
Berdasarkan hukum Lambert-Beer, rumus yang digunakan untuk
menghitung banyaknya cahaya yang di hamburkan:
𝑇= It ......................................................................................................................................................................................................................................... (2.31)
𝐼𝑜

dan absorbansi dinyatakan dengan rumus:


A =-Log T= Log It ..............................................................................................................................................................................................(2.32)
𝐼𝑜

dimana I0 merupakan intensitas cahaya datang dan It atau I1 adalah intensitas


cahaya setelah melewati sampel.
A. METODE PENELITIAN Tempat Penelitian
Penelitian yang berjudul Studi tentang pengamatan fluoresensi berdasarkan
domain panjang gelombang pada spektroscopy fluoresensi untuk identitikasi bahan
dilaksanakan Laboratorium Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( LIPI )
Serpong, Banten dan perpustakaan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan
umum Universitas Sumatera Utara.
Bahan
Sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan pengamatan spektorscopi
fluoresensi dan sampel molekuler terdiri dari minyak zaitun , minyak cendana , dan
minyak cem - ceman. Untuk pengukuran Panjang gelombang Luminesensi absorpsi dan
panjang gelombang eksitasi.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam peneltian ini adalah pengamatan Spektroscopi
Fluoresensi (Absorpsi spectrometer dan spectrometer fluoresensi )
Prosedur Penelitian
Mempersiapkan bahan – bahan berupa sampel molekuler. Melakukan studi
pengamatan fluoresensi berdasarkan domain panjang gelombang pada spektroscopy
flouresensi untuk identifikasi bahan dengan melakukan pengujian sampel – sampel
molekuler. Melakukan studi pengamatan dan pengukuran fluoresensi berdasarkan
domain panjang gelombang luminesensi dan panjang gelombang eksitasi. Pada
spektroscopi flouresensi untuk identifikasi bahan dengan metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bahwa kebanyakan molekul organik dalam suatu pelarut jika disinari
dengan cahaya dalam daerah uv atau visible akan berfluoresensi. Untuk pengukuran
panjang gelombang luminesensi dilakukan sebanyak 1391 kali pengukuran untuk masing
– masing el. Pengukuran panjang gelombang eksitasi dilakukan sebanyak 1986 kali
pengukuran untuk masing – masing sampel.
Untuk pengukuran panjang gelombang luminesensi dipakai rentang antara 451,18
nm – 749,85nm untuk masing – masing sampel. Pengukuran panjang gelombang eksitasi
dipakai 314,54 nm – 749,85 nm untuk masing–masing sampel. Set up percobaan
fotoluminesensi dan fluoresensi adalah seperti diperlihatkan pada gambar 1.
60

Intensitas
Gambar 1. Setup
40
percobaan
fotoluminesensi 450 550 650 750
B. HASIL PENELITIAN -20
Hasil Pengukuran Spektrum Absorpsi

Hasil pengukuran spektrum absorpsi untuk ketiga jenis sampel yang diteliti dengan memggunakan alat
ukur Detektor Ocean Optics USB HR2000 terlihat pada Gambar 2, dapat diperhatikan untuk peak (
puncak panjang gelombang tertinggi ) untuk masig – masing sampel yang terdiri dari : series 1 (warna
biru) adalah minyak zaitun, series 2 ( warna merah ) adalah minyak cendana, dan series3 ( warna hijau
) adalah minyak cem-ceman.

60
Intensitas

40

20
Panjang Gelombang

Gambar450 2. Spektrum
550 Pengukuran
650 750Absorpsi
-20 Dari hasil spektrum pengukuran absorpsi diatas terlihat bahwa intensitas minyak zaitun relative
lebih tinggi dibandingkan dengan minyak cendana dan minyak cem – ceman. Respon intensitas tersebut
berada pada panjang gelombang 314,54 – 749,85. Minyak zaitun memiliki % intensitas tertinggi yaitu
76,
Minyak cendana memiliki intensitas tertinggi sebesar 42 dan minyak cem – ceman memiliki intensitas
tertinggi sebesar 44.
Hasil Pengukuran Spektrum Eksitasi Fluoresensi
Hasil pengukuran spektrum absorpsi untuk ketiga jenis sampel yang diteliti dengan
memggunakan alat ukur Detektor Ocean Optics USB HR2000 terlihat pada grafik 4.2, dapat
diperhatikan untuk peak ( puncak panjang gelombang tertinggi ) untuk masig – masing sampel yang
terdiri dari : series 1 (warna biru) adalah minyak zaitun, series 2 ( warna merah ) adalah minyak cendana,
dan series3 ( warna hijau ) adalah minyak cem-ceman.
Panjang Gelombang

Gambar 3. Spektrum Eksitasi fluoresensi.


Dari hasil spectrum pengukuran absorpsi diatas terlihat bahwa intensitas minyak
zaitun relative lebih tinggi dibandingkan dengan minyak cendana dan minyak cem –
ceman. Respon intensitas tersebut berada pada panjang gelombang 451,18 – 749,85 nm.
Minyak zaitun memiliki % intensitas tertinggi yaitu 73 Minyak cendana memiliki
intensitas tertinggi sebesar 41 dan minyak cem – ceman memiliki intensitas tertinggi
sebesar 43.
Pembahasan
Proses Terjadinya Fluoresensi.

Fluoresensi adalah proses pemancaran radiasi cahaya oleh suatu materi setelah
tereksitasi oleh berkas cahaya berenergi tinggi. Emisi cahaya terjadi karena proses
absorbsi cahaya oleh atom yang mengakibatkan keadaan atom tereksitasi. Keadaan atom
yang tereksitasi akan kembali keadaan semula dengan melepaskan energi yang berupa
cahaya (deeksitasi). Fluoresensi merupakan proses perpindahan tingkat energidari
keadaan atom tereksitasi (S1 atau S2) menuju ke keadaan stabil (ground states) .
Berdasarkan rumus plank E = ,
maka dapat dihitung energi – energi untuk
masing – masing bahan / sampel.
Perhitungan Energi untuk Masing – Masing Sampel
Minyak Zaitun .

Minyak zaitun dengan nama latin Olea europea L. ini termasuk pada jenis minyak
yang tidak mengering dan mempunyai banyak manfaat di bidang kesehatan maupun
kecantikan. Untuk identifikasi bahan dengan sampel minyak zaitun ini dapat dilakukan
dengan menggunakan alat spektroskopy fluoresensi dengan menggunakan alat ukur
panjang gelombang berupa Detektor Ocean Optics USB HR2000 sehingga muncul grafik
berupa intensitas terhadap panjang gelombang yang telah di atur secara continue pada
alat, seperti pada gambar 4.3 pembacaan peak pada sampel ini bersesuain dengan rumus
perhitungan energy,
E=
60

40

Intensitas
Intensitas

20

450 550 650 750


-20
Panjang Gelombang

Gambar 4. Spektrum eksitasi fluoresensi


sampel minyak zaitun .

Tabel 1. Perhitungan energi, stokes shift dan efisiensi quantum untuk sampel 1

Mimyak zaitun.

Jenis Nilai
Perhitungan
E1 0,388. 10-18J
E2 0,383. 10-18 J
λ1 512
λ2 518
I1 76
I2 73
Stokes shift 6
Efisiensi 0,9605
quantum
Dari perhitungn energi, stokes shift, dan efisiensi quantum serta pembacaan peak intensitas terhadap
panjang gelombang untuk sampel 1 ini maka diperoleh nilai yang pasti hingga dapat digunakan
sebagai data acuan identifikasi bahan untuk sampel minyak zaitun. Minyak Cendana ( merah )
Minyak cendana dengan nama latin Santalum album L ini termasuk pada jenis minyak yang
tidak mengering dan mempunyai banyak manfaat di bidang kesehatan maupun kecantikan.
Untuk identifikasi bahan dengan sampel minyak cendana ini juga dilakukan dengan
menggunakan alat spektroskopy fluoresensi dengan menggunakan alat ukur panjang gelombang berupa
Detektor Ocean OpticsUSB HR2000 sehingga muncul grafik berupa intensitas terhadap panjang
gelombang yang telah di atur secara continue pada alat, seperti yang tampak pada gambar 4.4
pembacaan peak pada sampel ini bersesuain dengan rumus perhitungan energy
E=
10

450 550 650 750


-10
Panjang Gelombang

Gambar 5. Spektrum eksitasi fluoresensi


sampel minyak cendana.

Tabel 2. Perhitungan energi, stokes shift dan efisiensi quantum untuk sampel 2 Minyak cendana.

Jenis Nilai
perhitungan
E1 0,360 . 10-18 J
E2 0,357 . 10 -18 J
λ1 552
λ2 557
I1 42
I2 41
Stokes shift 5
Efisiensi quantum 0,95

Dari perhitungn energi, stokes shift, dan efisiensi quantum serta pembacaan
peak intensitas terhadap panjang gelombang untuk sampel 2 ini maka diperoleh nilai
yang pasti hingga dapat digunakan sebagai data acuan identifikasi bahan untuk
sampel minyak cendana.
Minyak Cem –ceman
Minyak cem - ceman dengan nama latin Piper Betle chaciva ini termasuk pada
jenis minyak yang tidak mengering dan mempunyai banyak manfaat di segala bidang,
mulai dari bidang industry, kesehatan maupun kecantikan.
Untuk identifikasi bahan dengan sampel minyak cem – ceman ini juga dilakukan
dengan menggunakan alat spektroskopy fluoresensi dengan menggunakan alat ukur
panjang gelombang berupa Detektor Ocean OpticsUSB HR2000 sehingga muncul grafik
berupa intensitas terhadap panjang gelombang yang telah di atur secara continue pada
alat, seperti tampak pada gambar 4.5. Pembacaan peak pada sampel ini bersesuain
dengan rumus perhitungan energy,
E=
40
Intensitas

30

20
450 550 650 750
-10
Panjang Gelombang

Gambar 6. Spektrum eksitasi fluoresensi sampel minyak cem-ceman


Tabel 3. Perhitungan energi, stokes shift dan efisiensi quantum untuk sampel 3 Minyak cem – ceman

Jenis perhitungan Nilai


E1 0,39 . 10-18 J
E2 0,386 . 10-18 J
λ1 510
λ2 514
I1 45
I2 43
Stokes shift 4
Efisiensi quantum 0,97
gelombang eksitasi ( ) = 518 nm . Intensitas absorpsi ( I1 ) =76 au dan Intensitas
Fluoresensi ( I2 ) = 73 au. Stokes Shift 6 nm dan efisiensi quantum = 0,9605 au.
Untuk minyak Cendana, diperoleh energi absorpsi ( E 1 ) = 0,360.10-18 J dan energi
eksitasi ( E2 ) sebesar 0,357 . 10 -18 J panjang gelombang absorpsi ( ) = 552 nm dan
panjang gelombang eksitasi ( ) = 557 nm . Intensitas absorpsi ( I1 ) =42 au dan Intensitas
Fluoresensi ( I2 ) = 41 au. .Stokes Shift 5 nm dan efisiensi quantum =0,95 au .
Untuk minyak Cem – ceman , diperoleh energi absorpsi ( E 1 ) = 0,39.1018J dan
energi eksitasi ( E2 ) sebesar 0,386 . 10 -18 J panjang gelombang absorpsi ( ) = 510 nm dan
panjang gelombang eksitasi ( ) = 514 nm . Intensitas absorpsi ( I1 ) =45 au dan Intensitas
Fluoresensi ( I2 ) = 43 au. .Stokes Shift 4 nm dan efisiensi quantum = 0,97 au.
Berdasarkan data pengukuran yang diperoleh dapat dibuat sistem eksperimen
percobaan untuk menetukan domain panjag gelombang untuk absorpsi dan eksitasi,
dengan respon intensitas untuk spektrum absorpsi berada pada panjang gelombang antara
314,54 – 749,85. Dan respon intensitas untuk spectrum eksitasi berada pada panjang
gelobang antara 451,18 – 749,85.
Saran
Dari perhitungan energi, stokes shift, dan efisiensi quantum serta pembacaan peak
intensitas terhadap panjang gelombang untuk sampel 3 ini maka diperoleh nilai yang pasti
hingga dapat digunakan sebagai data acuan identifikasi bahan untuk sampel minyak cem -
ceman.
Berdasarkan perhitungan energi dari masing-masing sampel dan pembacaan peak
dari masing-masing grafik spektrum pengukuran panjang gelombang absorbsi- eksitasi
diatas jelas tampak bahwa masing – masing sampel tersebut memiliki nilai yang unik dan
pasti, sehingga dapat diambil sebagai acuan data pada identifikasi bahan, khususnya untuk
bahan sampel molekuler yang terdiri dari minyak zaitun , minyak cendana, dan minyak
cem-ceman sehingga dapat membantu untuk mengetahui atau melihat sejauh mana sampel
yang diuji mendekati pada ketiga jenis sampel minyak tersebut.

Anda mungkin juga menyukai