Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kebutuhan analisis suatu sample/produk semakin meningkat seiring
bertambahnya kesadaran untuk mengetahui suatu komponen secara detail dan tepat.
Spektroskopi merupakan salah satu metode yang umumnya digunakan untuk
menganalisis suatu produk dengan mengukur absorbansi dengan melewatkan cahaya
dengan panjang gelombang tertentu pada kuvet, sebagian cahaya tersebut akan diserap
dan sebagian akan dilewatkan. Spektroskopi merupakan studi antaraksi radiasi
elektromagnetik dengan materi (Rhys-williams, 2011). Interpretasi spektrum yang
dihasilkan dari spektroskopi dapat digunakan untuk analisis unsur kimia, meneliti arus
energi atom dan molekul, meneliti struktur molekul, dan untuk menentukan komposisi
dan gerak benda-benda langit (Danusantoso,2012).

Flourescence spectroscopy salah satu teknik spectroscopy yang telah digunakan


secara luas dalam bidang biokimia dan biofisika molekuler. Flourescence
spectroscopycukup terkenal karena sensitif terhadap perubahan dinamika dan struktural
biokimia dan biofisika, meskipun pengukuran fluorescence tidak memberikan informasi
struktural yang terinci (Royer 1995). Flourescence spectroscopy menggunakan foton
energi yang lebih tinggi untuk merangsang sampel, kemudian akan memancarkan foton
energi yang lebih rendah.
.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah adalah :
1. Bagaimana prinsip kerja dari spektroskopi flouresence?
2. Bagaimana aplikasi spektroskopi flouresence?

3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana prinsip kerja dari
spektroskopi flouresence.
1. Bagaimana prinsip kerja dari spektroskopi flouresence?
2. Bagaimana aplikasi spektroskopi flouresence?
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1. Peralatan Floresence Spectroscopy

Gambar 2.1. Atomic Fluoresence Spectroscopy


Gambar 2.1 merupakan peralatan Atomic Fluoresence Spectroscopy. Prinsip
dasar setup peralatan untuk pengamatan sinyal fluoresensi diperlihatkan pada
Gambar 2.2.

Gambar 2.1. Prinsip Dasar Setup Peralatan

Pada gambar 2.2, sumber dalam daerah uv/vis menyinari sampel sehingga
sampel berfluoresensi. Adapun bagian-bagian prinsip dasar pengamatan fluoresensi
adalah Source merupakan sumber spectrum yang kontinyu misalnya dari jenis lampu
merkuri atau xenon. Monokromator (M1) untuk menyinari sampel dengan panjang
gelombang tertentu. Monokromator kedua (M2) yang pada iradiasi konstan dapat
dipakai menentukan panjang gelombang spectrum fluoresensi sampel.
Detektor berupa fotosel yang sangat peka misalnya fotomultiplier merah untuk
panjang gelombang lebih besar dari pada 500 nm. Detektor merupakan suatu bagian
spektrofotometer yang penting karena kualitas detector akan menentukan kualitas
spektrofotometer. Fungsi detector didalam spektrofotometer adalah menangkap
cahaya yang diteruskan dari sampel dan mengubah signal radiasi menjadi signal
elektronik. Pada detector diinginkan kepekaan radiasi yang tinggi terhadap radiasi
yang diterima, dengan tingkat kebisingan yang rendah, kemampuan respon kuantitatif
dan signal elektronik yang ditansfer oleh detector dapat diaplikasikan oleh penguat
(amplifier) ke recorder (rekaman / pembacaan). Amplifier atau penguat dan Visual
display untuk menggandakan radiasi dan meneruskan ke pembacaan. Amplifier
dibutuhkan saat signal elektronik yang dialirkan setelah melewati detector untuk
menguatkan karena penguat dengan resistensi masukan yang tinggi sehingga
rangkaian detector tidak tersadap habis yang menyebabkan keluaran yang cukup besar
untuk dapat dideteksi oleh suatu alat pengukur (meter). Sebagai gambaran dapat
dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Florecense spectroscopy setup tools

Umumnya wadah sampel disebut sel atau kuvet. Kuvet yang terbuat dari
kuarsa baik untuk spektroskopi ultra violet dan juga untuk spektroskopi sinar
tampak. Kuvet plastik dapat digunakan untuk spektroskopi sinar tampak. Panjang sel
untuk spektroskopi UV-Vis biasanya 1 cm, ada juga sel dengan panjang 0,1 cm.
Monokhromator adalah alat yang paling umum dipakai untuk menghasilkan berkas
radiasi dengan satu panjang gelombang. Monokhromator untuk radiasi ultra violet,
sinar tampak dan infra merah adalah serupa yaitu mempunyai celah (slit), lensa,
cermin, dan prisma atau grating (Susila,2013).

Gambar 2.3. Proses terjadinya flouresensi


Terdapat dua macam monokhromator yaitu monokhromator prisma Bunsen
dan monokhromator grating Czerney-Turner. Dikenal dua macam detektor yaitu
detektor foton dan detektor panas. Detektor foton termasuk
(1) sel photovoltaic,
(2) phototube,
(3) photomultiplier tube,
(4) detektor semi konduktor, dan
(5) detektor diode silikon.

2.2. Prinsip Kerja Flourescence spectroscopy

Flourescence spectroscopy merupakan suatu metode spectroscopy yang


didasarkan pada penyerapan energi oleh suatu molekul yang terlebih dahulu dieksitasi
oleh cahaya berenergi tinggi yang mengakibatkan keadaan molekul tereksitasi.
Molekul kehilangan sisa energi vibrasi dengan cepat melalui tabrakan dan jatuh pada
salah satu dari berbagai tingkat vibrasi pada keadaan elektromagnetik dasar sambil
memancarkan cahaya dalam bentuk fluorescence. Hal ini disebabkan energi telah
diabsorbsi dan mencapai salah satu tingkat vibrasi tertinggi pada keadaan tereksitasi.
Cahaya yang dipancarkan memiliki frekuensi dan energi yang berbeda dengan cahaya
yang diserap. Struktur tingkat vibrasi yang berbeda, termasuk intensitas relatifnya,
dapat ditentukan melalui analisis frekuensi cahaya yang berbeda dipancarkan pada
flourescence spectroscopy(Bass 2000).

De Champrode et al. (2007) menyatakan bahwa pengujian dengan fluorescence


sebagai metode yang murah, selektif, sensitif, dan akurat. Menurut Royer (1995),
terdapat empat persyaratan dasar yang harus dipenuhi dalam flourescence
spectroscopyyaitu:

1. Prinsip Frank-Condon: inti tidak berubah selama transisi elektronik, dan juga
eksitasi terjadi sampai tingkat keadaan elektronik tereksitasi secara vibrasi.

2. Emisi terjadi dari tingkat vibrasi terendah pada keadaan singlet tereksitasi
terendah karena relaksasi dari tingkat vibrasi tereksitasi lebih cepat
dibandingkan emisi.

3. The Stokes shift: emisi selalu merupakan energi yang lebih rendah daripada
absorbsi karena relaksasi inti pada keadaan tereksitasi.

4. The mirror image rule: emisi spektrum merupakan bayangan cermin dari pita
absorbsi energi terendah.

Molekul memiliki berbagai keadaan yang menunjukkan beberapa tingkat


energi. Flourescence spectroscopy pada dasarnya berhubungan dengan keadaan
elektronik dan vibrasi. Secara umum, spesies yang diuji memiliki keadaan elektronik
dasar (suatu keadaan berenergi rendah) dan keadaan elektronik tereksitasi pada tingkat
energi lebih tinggi. Setiap keadaan elektronik tersebut terdapat berbagai keadaan
vibrasi (Anonim 2016).

Menurut Bass (2000), bahwa kebanyakan molekul menempati tingkat vibrasi


terendah dari keadaan dasar elektronik pada suhu kamar, dan pada absorbsi cahaya
molekul-molekul tersebut diangkat untuk mencapai keadaan tereksitasi. Eksitasi dapat
mengakibatkan molekul mencapai berbagai sub-tingkat vibrasi yang berhubungan
dengan setiap keadaan elektronik. Oleh karena energi yang diabsorbsi memiliki kuanta
tersendiri, maka proses tersebut menghasilkan rangkaian pita absorbsi yang berbeda.
Pada proses flourescence spectroscopy, suatu molekul terlebih dahulu dieksitasi oleh
adanya absorbsi cahaya dari suatu sinar dari keadaan elektronik dasar ke salah satu dari
berbagai keadaan vibrasi pada keadaan elektronik tereksitasi. Molekul kehilangan sisa
energi vibrasi dengan cepat melalui tabrakan dan jatuh pada salah satu dari berbagai
tingkat vibrasi pada keadaan elektronik dasar sambil memancarkan cahaya dalam
bentuk fluorescence. Hal ini disebabkan energi telah diabsorbsi dan mencapai salah
satu tingkat vibrasi tertinggi pada keadaan tereksitasi. Cahaya yang dipancarkan
memiliki frekuensi dan energi yang berbeda dengan cahaya yang diserap. Struktur
tingkat vibrasi yang berbeda, termasuk intensitas relatifnya, dapat ditentukan melalui
analisis frekuensi cahaya yang berbeda dipancarkan pada flourescence spectroscopy
(Bass, 2000).

Keadaan atom yang tereksitasi akan kembali keadaan semula dengan


melepaskan energi yang berupa cahaya (de-eksitasi). Fluoresensi merupakan proses
perpindahan tingkat energi dari keadaan atom tereksitasi (S1 atau S2) menuju ke
keadaan stabil (ground states). Proses fluoresensi berlangsung kurang lebih 1 nano
detik sedangkan proses fosforesensi berlangung lebih lama, sekitar 1 sampai dengan
1000 mili detik (Rhys-Williams, 2011).

Gambar 2.5. Diagram Jablonski

Gambar 2.5 adalah gambar diagram Jablonski yang menunjukan terjadinya


proses fluoresensi dan fosforesensi. Ketika suatu atom atau molekul mengabsorbsi
energi cahaya sebesar hνA5maka elektron-elektron pada kondisi dasar (ground sate)
S0 akan berpindah ke tingkat energi yang lebih tinggi ke tinggat S1 atau S2.
Atom akan mengalami konversi internal atau relaksasi pada kondisi S1 dalam
waktu yang sangat singkat sekitar 10-1 ns, kemudian atom tersebut akan melepaskan
sejumlah energi sebesar hνf yang berupa cahaya karenanya energi atom semakin lama
semakin berkurang dan akan kembali menuju ke tingkat energi dasar S0 untuk
mencapai keadaan suhu yang setimbang (thermally equilibrium). Emisi fluoresensi
dalam bentuk spektrum yang lebar terjadi akibat perpindahan tingkat energi S1
menuju ke sub-tingkat energi S0 yang berbeda- beda yang menunjukan tingkat
keadaan energi dasar vibrasi atom 0, 1, dan 2 berdasarkan prinsip Frank-Condon
(Hankiewiez, 2012).
Apabila intersystem crossing terjadi sebelum transisi dari S1 ke S0 yaitu saat
di S1 terjadi konversi spin ke triplet state yang pertama (T1), maka transisi dari T1 ke
S0 akan mengakibatkan fosforesensi dengan energi emisi cahaya sebesar hνP dalam
selang waktu kurang lebih 1μs sampai dengan 1s. Proses ini menghasilkan energi
emisi cahaya yang relatif lebih rendah dengan panjang gelombang yang lebih panjang
dibandingkan dengan fluoresensi (Skoog, Holler, Crouch, 2012).
Beberapa kondisi fisis yang mempengaruhi fluoresensi pada molekul antara
lain polaritas, ion-ion, potensial listrik, suhu, tekanan, derajat keasaman (pH), jenis
ikatan hidrogen, viskositas dan quencher (penghambat de-eksitasi). Kondisi-kondisi
fisis tersebut mempengaruhi proses absorbsi energi cahaya eksitasi.
Hal ini berpengaruh pada proses de-eksitasi molekul sehingga menghasilkan
karakteristik intensitas dan spektrum emisi fluoresensi yang berbeda-beda .
flouresensi lazim seribu kali lebih peka daripada spektrofotometri, meskipun nilai-
nilai yang sebenarnya bergantung pada senyawa-senyawa yang dilibatkan dan
instrumen mana yang tersedia. Fakta bahwa fluoresensi ditandai dengan dua
parameter panjang gelombang yang signifikan meningkatkan spesifikasi dari metode
ini, dibandingkan dengan teknik spektroskopi hanya didasarkan pada penyerapan.
Suatu sifat yang menonjol dari analisis flouresensi adalah tingginya kepekaan
dibandingkan dengan tehnik lainnya (Retno, 2013).

Metode yang dirancang pada spektroskopi florescence adalah sebuah sistem


untuk dapat menangkap sinyal fluoresensi dari bahan yang akan diidentifikasikasi.
Sinyal fluoresensi terjadi akibat transisi molekul energi level S1 dasar ke energi level
S0 dengan berbagai alternatif seperti energi vibrasi 3,2,1 dan 0. Dengan menggunakan

persamaan Plank maka panjang gelombang maksimum ) adalah transisi dari


m
energy level S1 tingkat dasar ke energi level S0 tingkat dasar. Sinyal fluoresensi ini
pada dasarnya adalah sinyal transien yaitu singkat dan lemah, sehingga perlu
penangan khusus untuk meningkatkan perbandingan signal-to.noise ratio (S/N ratio).
Ada dua jenis instrumen umum: filter fluorometer yang menggunakan filter
untuk mengisolasi cahaya insiden dan cahaya neon, serta spektrofluorometer yang
menggunakan monokromator kisi difraksi untuk mengisolasi cahaya datang dan
cahaya neon. Kedua jenis instrument tersebut menggunakan skema berikut: cahaya
dari sumber eksitasi melewati filter atau monokromator, dan menyerang sampel.
Proporsi cahaya datang diserap oleh sampel, dan beberapa molekul dalam sampel
berfluoresensi. Lampu neon dipancarkan ke segala arah. Sebagian dari lampu
fluoresens ini melewati filter kedua atau monokromator dan mencapai detektor, yang
biasanya ditempatkan pada 90° ke sinar lampu yang terjadi untuk meminimalkan
risiko cahaya yang dipancarkan atau cahaya pantulan yang mencapai detektor.

Gambar 2.4. Design komponen flourimeter yang sederhana


Berbagai sumber cahaya dapat digunakan sebagai sumber eksitasi, termasuk
laser, LED, dan lampu; busur xenon dan lampu uap merkuri pada khususnya. Laser
hanya memancarkan cahaya radiasi tinggi pada interval panjang gelombang yang
sangat sempit, biasanya di bawah 0,01 nm, yang membuat monokromator eksitasi atau
filter tidak perlu. Kerugian dari metode ini adalah bahwa panjang gelombang laser
tidak dapat diubah banyak. Lampu uap merkuri adalah lampu garis, yang berarti
memancarkan cahaya di dekat panjang gelombang puncak. Sebaliknya, busur xenon
memiliki spektrum emisi kontinu dengan intensitas yang hampir konstan pada kisaran
300-800 nm dan radiasi yang cukup untuk pengukuran hingga tepat di atas 200 nm.
Filter dan/atau monokromator dapat digunakan dalam fluorimeter.
Monokromator mentransmisikan cahaya dari panjang gelombang yang dapat
disesuaikan dengan toleransi yang dapat disesuaikan. Jenis monokromator yang paling
umum menggunakan kisi difraksi, yaitu, cahaya terkolimasi menerangi kisi dan keluar
dengan sudut yang berbeda tergantung pada panjang gelombang. Monokromator
kemudian dapat disesuaikan untuk memilih panjang gelombang yang akan dikirim.
Untuk memungkinkan pengukuran anisotropi, penambahan dua filter polarisasi
diperlukan: Satu setelah monokromator atau filter eksitasi, dan satu sebelum
monokromator atau filter emisi.
Fluoresensi paling sering diukur pada sudut 90 ° relatif terhadap cahaya
eksitasi. Geometri ini digunakan dengan menempatkan sensor pada garis cahaya
eksitasi pada sudut 180° untuk menghindari gangguan cahaya eksitasi yang
ditransmisikan. Tidak ada monokromator yang sempurna dan akan memancarkan
beberapa cahaya menyimpang, yaitu cahaya dengan panjang gelombang lain berbeda
dari target. Monokromator ideal hanya akan mentransmisikan cahaya dalam kisaran
yang ditentukan dan memiliki transmisi independen panjang gelombang tinggi. Saat
mengukur pada sudut 90 °, hanya cahaya yang tersebar oleh sampel yang
menyebabkan cahaya menyimpang. Ini menghasilkan rasio signal-to-noise yang lebih
baik, dan menurunkan batas deteksi sekitar faktor 10.000, bila dibandingkan dengan
geometri 180 °. Selain itu, fluoresensi juga dapat diukur dari depan, yang sering
dilakukan untuk sampel keruh atau buram.
Detektor dapat berupa saluran tunggal atau multisaluran. Detektor saluran
tunggal hanya dapat mendeteksi intensitas satu panjang gelombang pada suatu waktu,
sedangkan multichanneled mendeteksi intensitas semua panjang gelombang secara
bersamaan, membuat monokromator emisi atau filter tidak diperlukan. Berbagai jenis
detektor memiliki kelebihan dan kekurangan.
Fluorimeter yang paling serbaguna dengan monokromator ganda dan sumber
cahaya eksitasi terus menerus dapat merekam spektrum eksitasi dan spektrum
fluoresensi. Ketika mengukur spektrum fluoresensi, panjang gelombang cahaya
eksitasi dijaga konstan, lebih disukai pada panjang gelombang penyerapan tinggi, dan
monokromator emisi memindai spektrum. Untuk mengukur spektrum eksitasi,
panjang gelombang yang melewati filter emisi atau monokromator dijaga konstan dan
monokromator eksitasi memindai. Spektrum eksitasi umumnya identik dengan
spektrum absorpsi karena intensitas fluoresensi sebanding dengan absorpsi.

Detektor panas biasa dipakai untuk mengukur radiasi infra merah,


termasuk thermocouple dan bolometer. Signal listrik dari detektor biasanya
diperkuat lalu direkam sebagai spektrum yang berbentuk puncak-puncak. Plot
antara panjang gelombang dan absorbans akan dihasilkan spectrum
(Fatma,2013).

Gambar 2.6. Spectrum fluoresensi

Pada Gambar 2.6. ditunjukkan spectrum sinyal pengeksitasi dan spectrum


sinyal fluoresensi secara simultan menunjukkan spektrum fluoresensi yaitu eksitasi
filter, dikromtik mirror dan emisi.
1. Eksitasi filter
Foton dengan energi hƲEX ditembakkan dari sumber energi eksternal seperti
lampu pijar atau laser yang kemudian diserap oleh fluorophore sehingga elektronnya
tereksitasi ke tingkat energi eksitasi (S1’).
2. Dikromatik mirror
Molekul yang telah tereksitasi secara cepat rileks ke level energi vibrasi yang
paling rendah dari S1’ yaitu S1 akibat disisipasi energi. Proses ini disebut konversi
internal, secara umum terjadi selama kurang dari 10-12s. Emisi fluoresensi merupakan
akibat dari keseimbangan termal tingkat eksitasi, yaitu pada level energi vibrasi yang
paling rendah . Tetapi tidak semua molekul yang tereksitasi kembali ke groundstate
dengan memancarkan fluoresensi, seperti collisional quenching yang tidak memiliki
tahap konversi internal. Untuk elektron yang tereksitasi ke S2’ dan seterusnya,
elektron juga akan segera dengan cepat rileks ke keadaan S1’, dan emisi tetap terjadi
pada keadaan energi vibrasi terendah S1.

3. Emisi
Ketika fluorophore kembali ke groundstate (S0), ia akan memancarkan foton
berenergi hƲEM yaitu sesuai dengan berbedaan energi antara S1 dan S0. Karena
adanya pengurangan energi pada tahap 2 maka foton yang diemisikan hƲEM
memiliki energi yang lebih kecil dan panjang gelombang yang lebih besar daripada
foton yang diserap hƲEX , sehingga spektrum emisi fluoresensi tidak tergantung
panjang gelombang eksitasi. Perbedaan energi eksitasi dan emisi (hƲEX - hƲEM )
disebut pergeseran stoke. Intensitas emisi fluoresensi sebanding dengan amplitudo
spektrum eksitasi, tetapi panjang gelombang emisi tidak bergantung pada panjang
gelombang eksitasi

2.2. Parameter Fluoresensi


Intensitas fluoresensi adalah jumlah foton yang diemisikan per unit waktu (s)
per unit volume larutan (l) dalam mol atau ekivalensinya dalam Einstein, icdimana 1
Einstein = 1 foton mol. Intensitas fluoresensi dalam unit volume larutan (medium)
yang tereksitasi terjadi dalam selang waktu transisi (lifetime). Intensitas fluoresensi
tersebut merupakan hasil emisi de-eksitasi sehingga lifetime pada S1 akan

berpengaruh terhadap besarnya intensitas fluoresensi dari S1 ke S0 ) , ks adalah


konstanta kecepatan non radiasi T1 → S0 (transisi dari T1 ke S0) yang terjadi setelah
s
proses internal crossing system S1 → T1, k adalah konstanta kecepatan proses
internal conversion (bersifat non radiatif) dari T1 → S0 yang terjadi setelah transisi S2

→ S1, dan kT adalah konstanta kecepatan radiatif transisi T1 → S0 yang terjadi


setelah proses internal crossing system T1 → S0.
Eksitasi hingga ke tingkat energi S1 terjadi apabila sejumlah molekul A
menyerap energi cahaya, dan ketika kembali ke tingkat energi S0 molekul tersebut
akan mengemisikan radisi atau melepaskan energi non radiasi (fonon atau energi
panas) dengan laju eksitasi sebagai berikut:

Hukum lambert-beer atau Hukum Beer, berbunyi: “jumlah radiasi cahaya


tampak (ultraviolet, inframerah dan sebagainya) yang diserap atau ditransmisikan oleh
suatu larutan merupakan suatu fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal larutan”.

2.3. Aplikasi Spektroskopi Florosence

1. Industri : menentukan konsentrasi optimal bahan pewarna pakaian. Menentukan


konsentrasi zat aditif pada makanan dalam tinjauan keamanan konsumsi pangan.
Menentukan pigmen pada fitoplankton (Haryanto,2008)
2. Riset : menganalisis senyawa organik dalam bidang penelitian biokimia, medis, dan
kimia untuk. Dalam kimia analitik, detektor fluoresensi digunakan dengan HPLC.
Atomic Fluoresence Spectroscopy (AFS) adalah salah satu jenis spektroskopi
elektromagnetik yang menganalisis fluorescence dari atom sampel. Panjang
gelombang akan memberitahu kita tentang komposisi atomnya.
3. Kesehatan : membedakan tumor kulit ganas dan jinak.
4. Lingkungan : Teknik Atomic Fluoresence Spectroscopy (AFS) berguna dalam jenis
analisis lain / pengukuran senyawa yang ada di udara atau air, atau media lain, seperti
CVAFS yang digunakan untuk deteksi logam berat, seperti merkuri.

BAB IV

KESIMPULAN

Energi radiasi yang diserap oleh partikel atom akan dipancarkan kembali ke
segala arah sebagai radiasi fluoresensi dengan panjang gelombang yang sesuai dengan
karakteristik. Sumber radiasi ditempatkan tegak lurus terhadap nyala api sehingga
hanya radiasi fluoresensi yang dideteksi oleh detektor setelah melalui monokromator.
Intensitas radiasi fluoresensi ini berbanding lurus dengan konsentrasi unsur.

DAFTAR PUSTAKA

Didalamnya meliputi penggunaan sorotan sinar, biasanya sinar ultraviolet, yang mengeksitasi
elektron dalam atom dan menyebabkannya memancarkan sinar. Fluoresensi spektroskopi atau
metode spektrofluorometri, merupakan jenis spektroskopi elektromagnetik yang menganalisis
fluoresensi dari sampel seperti definisi diatas. Ini melibatkan menggunakan berkas cahaya, biasanya
sinar ultraviolet, bahwa eksitasi elektron pada molekul senyawa tertentu dan menyebabkan mereka
memancarkan cahaya dari energi yang lebih rendah biasanya, tetapi tidak harus cahaya tampak.
Molekul memiliki berbagai bentuk disebut sebagai tingkat energi. Fluoresensi spektroskopi terutama
yang bersangkutan dengan elektronik dan bentuk getaran. Secara umum, spesies yang diperiksa
akan memiliki bentuk energi rendah. Energi yang tersimpan di dalam atom dapat dilepaskan dengan
berbagai cara. Ketika energi dilepaskan sebagai cahaya, maka dikenal sebagai fluorescent (cahaya
yang berpendar). Atomic fluorescent spectroscopy ini mengukur cahaya yang teremisi ini.
Fluorescent umumnya diukur pada sudut dari sumber eksitasi untuk meminimalisasi berkumpulnya
cahaya yang tersebar dari sumber eksitasi dan biasanya menggunakan rotasi pada prisma
PellinBroca pada meja kemudi yang juga dapat memisahkan cahaya menjadi spektrum-spektrumnya
untuk anilisi yang lebih jelas.

Untuk penyerapan yang sedikit (konsentrasi yang sedikit pula), intensitas dari cahaya
yang terserap sebanding dengan konsentrasi atom. Umumnya atomic fluorescent lebih
sensitif (dapat mendeteksi konsentrasi yang rendah) daripada atomic absorption. Prinsip-
prinsip umum dapat diilustrasikan dengan diagram Jablonski (Veberg, 2006). Menurut
diagram Jablonski, energi emisi lebih rendah dibandingkan dengan eksitasi. Ini berarti bahwa
emisi fluoresensi yang lebih tinggi terjadi pada panjang gelombang dari penyerapan
(eksitasi). Perbedaan antara eksitasi dan panjang gelombang emisi dikenal sebagai pergeseran
Stoke. Analisa dari larutan atau solidmembutuhkan atom sampel yang menguap atau
teratomisasi pada temperature yang relativerendah dalam pipa panas, flame atau
graphitefurnace. Sebuah lampu HCL atau Lasermenghasilkan eksitasi untuk membawa atom
ke energi yang lebih tinggi. Atomic fluorescent akanterdispersi dan dideteksi oleh
monokromator dan photomultiplier tube yang mirip dengan alat AAS. Cahaya dari sumber
eksitasi melewati filter atau monokromator, dan pemogokan sampel. Sebagian cahaya insiden
diserap oleh sampel, dan beberapa molekul dalam sampel berpendar. Lampu neon yang
dipancarkan ke segala arah. Beberapa lampu neon ini melewati filter kedua atau
monokromator dan mencapai detektor, yang biasanya diletakkan pada suhu 90°. Untuk
insiden sinar untuk meminimalkan risiko memantulkan cahaya yang ditransmisikan atau
kejadian mencapai detektor.

Anda mungkin juga menyukai