Anda di halaman 1dari 9

Nama : Aisyah 1848201110007

Noor Mahfuzah Feberiana 1848201110097


Nor Izzatil Hasanah 1848201110100
Ricky Hariyadi 1848201110124
Kelas : A
Kelompok : 5
SPEKTROFLUOROMETRI

1. Definisi

Fluoresensi adalah proses pemancaran radiasi cahaya oleh suatu materi setelah
tereksitasi oleh berkas cahaya berenergi tinggi. Emisi cahaya terjadi karena proses
absorbsi cahaya oleh atom yang mengakibatkan keadaan atom tereksitasi (Retno,
2013).

Spektofluorometri adalah jenis spektroskopi elektromagnetik yang


menganalisis fluoresensi dari sampel. Ini melibatkan menggunakan berkas cahaya,
biasanya sinar ultraviolet, bahwa eksitasi elektron pada molekul senyawa tertentu
dan menyebabkan mereka memancarkan cahaya dari energi yang lebih rendah,
biasanya, tetapi tidak harus cahaya tampak.

Spektrofotometri fluororesensi merupakan suatu metode yang menggunakan


pengukuran intensitas cahaya fluororesensi dengan membandingkan intensitas
cahaya fluororesensi yang dipancarkan oleh zat uji dan oleh suatu baku pembanding
tertentu. Spektrofluorometer adalah instrument yang memanfaatkan sifat fluoresen
dari beberapa senyawa yang berfluororesensi untuk memberikan informasi
mengenai konsentrasi dan lingkungan kimia dalam sampel. Panjang gelombang
eksitasi tertentu dipilih untuk mendapatkan panjang gelombang emisi. Setelah dapat
satu panjang gelombang emisi yang baik maka emisi dapat teramati dengan baik
pada panjang gelombang tersebut. Sehingga dapat didapatkan intensitas panjang
gelombang eksitasu versus emisi yang dapat disebut dengan spectrum emisi
(Lakowicz, 2006)

2. Prinsip

Fluoresensi adalah proses pemancaran radiasi cahaya oleh suatu materi


setelah tereksitasi oleh berkas cahaya berenergi tinggi. Emisi cahaya terjadi karena
proses absorbsi cahaya oleh atom yang mengakibatkan keadaan atom tereksitasi.
Keadaan atom yang tereksitasi akan kembali keadaan semula dengan melepaskan
energi yang berupa cahaya (de-eksitasi). Fluoresensi merupakan proses perpindahan
tingkat energi dari keadaan atom tereksitasi (S1 atau S2) menuju ke keadaan stabil
(ground states). Proses fluoresensi berlangsung kurang lebih 1 nano detik sedangkan
proses fosforesensi berlangung lebih lama, sekitar 1 sampai dengan 1000 mili detik.
Gambar 2.1 adalah gambar diagram Jablonski yang menunjukan terjadinya proses
fluoresensi dan fosforesensi. Ketika suatu atom atau molekul mengabsorbsi energi
cahaya sebesar hνA maka elektron-elektron pada kondisi dasar (ground sate) S0
akan berpindah ke tingkat energi yang lebih tinggi ke tinggat S1 atau S2. Waktu
yang dibutuhkan untuk proses tersebut kurang dari 1piko detik.

Atom akan mengalami konversi internal atau relaksasi pada kondisi S1


dalam waktu yang sangat singkat sekitar 10-1ns, kemudian atom tersebut akan
melepaskan sejumlah energi sebesar hνf yang berupa cahaya. Karenanya energi
atom semakin lama semakin berkurang dan akan kembali menuju ke tingkat energi
dasar S0 untuk mencapai keadaan suhu yang setimbang (thermally equilibrium).
Emisi fluoresensi dalam bentuk spektrum yang lebar terjadi akibat perpindahan
tingkat energi S1 menuju ke sub-tingkat energi S0 yang berbeda-beda yang
menunjukan tingkat keadaan energi dasar vibrasi atom 0, 1, dan 2 berdasarkan
prinsip Frank-Condon [14].

Apabila intersystem crossing terjadi sebelum transisi dari S1 ke S0 yaitu saat


di S1 terjadi konversi spin ke triplet state yang pertama (T1), maka transisi dari T1
ke S0 akan mengakibatkan fosforesensi dengan energi emisi cahaya sebesar hνP
dalam selang waktu kurang lebih 1μs sampai dengan 1s. Proses ini menghasilkan
energi emisi cahaya yang relatif lebih rendah dengan panjang gelombang yang lebih
panjang dibandingkan dengan fluoresensi (Gambar 2.2.ab).

Beberapa kondisi fisis yang mempengaruhi fluoresensi pada molekul antara


lain polaritas, ion-ion, potensial listrik, suhu, tekanan, derajat keasaman (pH), jenis
ikatan hidrogen, viskositas dan quencher (penghambat de-eksitasi). Kondisi-kondisi
fisis tersebut mempengaruhi proses absorbsi energi cahaya eksitasi. Hal ini
berpengaruh pada proses de-eksitasi molekul sehingga menghasilkan karakteristik
intensitas dan spektrum emisi fluoresensi yang berbeda-beda [14-15].

3. Bagian-Bagian Alat
Pengukuran intensitas fluoresensi dapat dilakukan dengan suatu fluorometer
filter sederhana. Instrument yang dipergunakan bermacam-macam mulai dari yang
paling sederhana (filter fluorometer) sampai ke yang sangat kompleks yaitu
spektrofotometer. Komponen-komponen utama dari masing-masing instrument ini
yaitu :

1. Sumber energi eksitasi Banyak terdapat sumber radiasi. Lampu merkuri relatif
stabil dan memancarkan energi terutama pada panjang gelombang diskret.
Lampu tungsten memberikan energi kontinyu di daerah tampak. Lampu pancar
xenon bertekanan tinggi seringkali digunakan pada spektrofluorometer karena
alat tersebut merupakan sebuah sumber dengan intensitas tinggi yang
menghasilkan energi kontinyu dengan intensitas tinggi dari ultraviolet sampai
inframerah. Pada filter fluorometer ( fluorimeter ) digunakan lampu uap raksa
sebagai sumber cahaya dan energi eksitasi diseleksi dengan filter. Pada
spektrofluorimeter biasanya digunakan lampu Xenon ( 150 W ) yang
memancarkan spectrum kontinu dengan panjang gelombang 200-800nm. Energi
eksitasi diseleksi dengan monokromator eksitasi ( grating ).
2. Kuvet untuk sample Sel spesimen yang digunakan dalam pengukuran
fluoresensi dapat berupa tabung bulat atau sel empat persegi panjang (kuvet),
sama seperti yang digunakan pada spektrofotometri resapan, terkecuali keempat
sisi vertikalnya dipoles. Ukuran spesimen uji yang sesuai adalah 2 ml sampai 3
ml, tetapi beberapa instrumen dapat disesuaikan dengan sel-sel kecil yang
memuat 100 μl hingga 300 μl atau dengan pipa kapiler yang hanya memerlukan
jumlah spesimen yang kecil. Spektrofotometer harus dioperasikan sesuai dengan
petunjuk pabrik pembuat. Bila panjang gelombang untuk eksitasi di atas 320nm
dapat digunakan kuvet dari gelas, akan tetapi untuk eksitasi pada panjang
gelombang yang lebih pendek digunakan kuvet dari silika. Kuvet tidak boleh
berfluoresensi dan tidak boleh tergores karena dapat menghamburkan.
3. Detektor Pada umumnya fluorometer menggunakan tabung-tabung
fotomultiplier sebagai detektor, banyak tipe dari jenis tersebut yang tersedia dan
masing-masing mempunyai ciri khusus yang berkenaan dengan daerah spektral
dengan kepekaan maksimum, menguntungkan dan derau secara elektrik. Arus
foto diperbesar dan dibaca pada sebuah meter atau perekam. Seperti pada
spektrofotometri, detektor yang biasa digunakan adalah ‘fotomultiplier tube’
atau ‘thermocouple’. Pada umumnya, detektor ditempatkan di atas sebuah poros
yang membuat sudut 900 dengan berkas eksitasi. Geometri sudut siku ini
memungkinkan radiasi eksitasi menembus spesimen uji tanpa mengkontaminasi
sinyal luaran yang diterima oleh detektor fluoresensi. Akan tetapi tidak dapat
dihindarkan detektor menerima sejumlah radiasi eksitasi sebagai akibat sifat
menghamburkan yang ada pada larutan itu sendiri atau jika adanya debu atau
padatan lainnya. Untuk menghindari hamburan ini maka digunakan instrument
yang bernama filter.
4. Sepasang filter atau monokromator untuk menyeleksi panjang gelombang
eksitasi dan emisi.
a. Fluorometer Filter pertama hanya meneruskan cahaya ultraviolet dari
sumber cahaya yaitu radiasi dengan panjang gelombang yang cocok untuk
eksitasi specimen uji. Filter kedua meloloskan hanya panjang gelombang
yang sesuai dengan fluoresensi maksimum dari zat yang diperiksa dan
menahan setiap cahaya eksitasi yang terhambur. Jenis filter kedua ini
biasanya yang menahan panjang gelombang pendek. Persoalan yang
dihadapi pada pemilihan filter yaitu panjang gelombang yang lebih panjang
yang diteruskan oleh filter pertama juga lolos pada daerah panjang
gelombang yang lebih pendek dari filter kedua, sehingga menghasilkan
blangko yang tinggi. Disamping itu sukar untuk mendapatkan filter dengan
panjang gelombang yang cocok dengan radiasi eksitasi karakteristik untuk
sample.
b. Spektrofluorimeter Ini menggunakan sepasang monokromator (grating)
untuk menyeleksi radiasi eksitasi dan emisi yang lebih akurat (memberikan
kepekaan yang tinggi) sehingga kesulitan-kesulitan tersebut diatas dapat
diatasi. Monokromator pertama mendispersikan cahaya dari sumber cahaya
sehingga menghasilkan radiasi eksitasi yang monokromatis. Sample yang
tereksitasi kemudian berfluoresensi sehingga merupakan sumber cahaya bagi
monokromator kedua. Dengan alat ini dapat dibuat spekrum eksitasi
maupun emisi.
4. Kerja Alat
Pada fluorometri larutan zat disinari dengan sinar yang panjang
gelombangnya di sekitar panjang gelombang penyerapan maksimum yang berasal
dari lampu raksa atau lampu pijar yang telah disekat dengan filter. Intensitas
fluoresensi diukur atau dibandingkan dengan intensitas larutan baku. Sinar
fluoresensi dibebaskan dari sinar hamburan dengan melewatkan sinar melalui filter
atau monokromator. Cara pengukuran pada daranya sama dengan cara
spektrofotometri. Karena zat organik yang berfluoresensi mungkin terurai secara
fotokimia, penyinaran harus dilakukan sesingkat mungkin. Oleh karena daerah
dimana intensitas fluoresensi sebanding dengan kadar umumnya sangat
(c−d)
sempit, maka perbandingan tidak boleh kurang dari 0,40 dan tidak boleh
(a−b)
lebih dari 2,50.
Keterangan :
a = pembacaan intensitas fluoresensi larutan baku
b = pembacaan intensitas fluoresensi larutan blangko untuk zat baku
c = pembacaan intensitas fluoresensi larutan uji
d = pembacaan intensitas fluoresensi larutan blangko untuk zat uji
Sebagai zat baku dapat digunakan zat yang sama dengan zat dalam keadaan
murni atau zat murni lain yang mempunyai pita penyerapan dan fluoresensi yang
sama dengan zat uji. Misalnya larutan quinin dalam asam sulfat sering digunakan
sebagai zat baku untuk fluoresensi biru dan larutan natrium fluoroseinat untuk zat
yang berfluoresensi hijau.
5. Panjang Gelombang

Spektrofluorometer adalah instrumen yang memanfaatkan sifat fluoresen


dari beberapa senyawa yang berfluoresensi untuk memberikan informasi mengenai
konsentrasi dan lingkungan kimia dalam sampel. Panjang gelombang eksitasi
tertentu dipilih untuk mendapatkan panjang gelombang emisi.Setelah dapat satu
panjang gelombang emisi yang baik maka emisi dapat teramati dengan baik pada
panjang gelombang tersebut.Sehingga dapat didapatkan intensitas panjang
gelombang eksitasi versus emisi yang dapat disebut dengan spektrum emisi.
Pada spektrofluorometer, spektrum eksitasi dan spektrum emisidapat
direkam keduanya karena memiliki dua detektor. Spektrum emisi adalah distribusi
panjang gelombang dari suatu emisi yang diukur pada 6 panjang gelombang eksitasi
konstan tunggal. Sebaliknya, sebuah spektrum eksitasi adalah ketergantungan
intensitas emisi, diukur pada panjang gelombang emisi tunggal, setelah dipindai
panjang gelombang darieksitasi. Spektrum semacam itu dapat disajikan pada skala
panjang gelombang atau skala wavenumber. Cahaya energi yang diberikan dapat
digambarkan dalam istilah panjang gelombangnya (λ), frekuensi (ν), atau
wavenumber.
Cahaya yang diemisikan oleh larutan berfluoresensi mempunyai intensitas
maksimum pada panjang gelombang yang biasanya 20 nm hingga 30 nm lebih
panjang dari panjang gelombang radiasi eksitasi (gelombang pita penyerapan sinar
yang membangkitkannya).

a. Diagram Analisis Spektrofluorometer

Diagram Jablonski

Molekul diberikan energi sehingga molekul menghasilkan interaksi. Elektron yang


berada pada keadaan groundstate berada pada kondisi energi yang rendah, lalu
energi mengalami eksitasi. Eksitasi pertama energi berada pada singlet.
Setelah eksitasi pertama, maka energi mengalami vibrasi relaksasi dan setelah
itu kembali ke posisi vibrasi paling rendah dari kondisi tereksitasi. Sehingga
energi berada pada posisi level paling bawah dan melepaskan energi panas.
Kemudian elektron berpindah ke bawah sambil mengemisiskan fluoresensi
sehingga membentuk pola spektrum absorbsi dengan spektrum fluoresensi
seperti bayangan cermin yang memiliki pola yang sama, namun pada panjang
gelombang tidak sama. Panjang gelombang akan bergeser ke arah yang lebih
tinggi akibat dari vibrasi relaksasi yang membuat energi ada yang terlepas.
Karena adanya energi yang terlepas, maka panjang gelombang bergeser ke
arah yang lebih besar. Pada saat ini energi memiliki kesempatan untuk
membalikkan spinnya dan membuat posisi Intersystem Crossing (ICS) dan
kemudian melepaskan cahaya dalam bentuk fosforisensi. Pada
spektrofluoremeter, proses yang 8 terjadi di dalamnya bersifat sejalan.
Sehingga terdapat quantum yield fluoresensi yang merupakan ukuran
keefektifan senyawa yang diuji untuk menghasilkan fluoresensi.

6. Contoh Sediaan Farmasi Yang Menggunakan Analisis Spektrofluorometri


1. Analisis Ibuprofen Sirup Secara Spektrofluorometri

Berbagai metode dilaporkan dapat digunakan untuk menetapkan kadar


ibuprofen di dalam sampel sediaan farmasi dan cairan biologis, meliputi High
performance liquid chromatography (HPLC), Gas chromatography mass
spectrum (GC-MS), elektroforesis kapiler, spektrofotometri, dan
spektrofluorometri (Issa, et.al, 2010).
Ibuprofen [RS-2-(4-isobutilfenil) asam propionat] adalah obat antiinflamasi
non steroid yang digunakan khususnya untuk mengatasi gejala arthritis,
dismenorea primer, demam, dan sebagai analagesik, terutama jika terdapat unsur
inflamasi. Efek samping ibuprofen adalah pendarahan dan ulcer pada saluran
pencernaan (Mitic, et.al, 2008).
Struktur Ibuprofen : 

Ibuprofen berbentuk serbuk, hablur putih, hingga hampir putih, berbau khas
lemah. Zat ini praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol,
dalam metanol, dalam aseton, dalam kloroform, dan sukar larut dalam etil asetat
(Depkes RI, 1994).
Prinsip dasar spektrofluorometri adalah sinar monokromatis penyebab
promosi elektron pada senyawa organik atau atom, yang kemudian elektron
mengalami kehilangan sebagian energi kinetiknya, dan selanjutnya elektron
kembali ke tingkat dasar dengan mengemisikan sinar dengan panjang gelombang
yang lebih besar. Sinar monokromatis penyebab promosi elektron dinamakan
sinar eksitasi. Sinar yang diemisikan oleh elektron dari senyawa disebut sinar
emisi (Rohman dan Gandjar, 2007).
Komponen-kompenen spektrofluorometer :
Keuntungan dari analisis secara spektrofluorometri :
a. Fluorometri lebih peka
b. Flurometri lebih selektif
2. Penentuan Kadar Paracetamol

Parasetamol mempunyai nama kimia N-(-4-hidroksifenil) etanamida dan N-


asetil-para aminofenol dengan rumus kimia C8H9NO2 (Gambar 2.1) serta
memiliki bobot molekul 151,2. Adapun pemerian dari parasetamol ini adalah
berupa hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau dan tidak berasa.
Kelarutan dari parasetamol adalah larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian
etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P, dan
dalam 9 bagian propilenglikol P (FI IV, 1995).

3.

Gambar 2.1 Struktur Kimia Parasetamol (FI III, 1995)

Penentuan paracetamol dengan spektrofluorometri harus melalui proses


derivatisasi terlebih dahulu karena paracetamol bukanlah zat yang dapat
berfluoresensi secara langsung. Maka dari itu perlu panambahan gugus yang
menghasilkan fluorof agar dapat terbaca oleh spektofluorometer. Analisis
paracetamol dengan metode spektrofluorometri telah dilakukan Amman pada tahun
1980, penelitian ini melakukan derivatisasi padacetamol dengan mereaksikannya
menggunakan Ce (IV) sebagai pengoksidasi selanjutnya diukur intensitas
fluoresensi yang dihasilkan dari Ce (IV) (Amman et al., 1980).

Metode spektrofluorometri diduga mampu mengindentifikasi paracetamol


dalam sediaan tablet dengan bantuan penambahan larutan kerja sodium
hipoklorit(NaOCI)
DAFTAR PUSTAKA

Rohman, A., dan Gandjar, I.G. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Depkes RI. 1994. Farmakope Indonesia Edisi Ke-Empat. Jakarta : Kemenkes RI.
Damiani, P.C., Bearzotti, M., Cabezon, M.A. 2000. Spectrofluorometric determination of
Ibuprofen in Pharmaceutical formulations. J. Pharm. Biomed.Anal 25 : 679-683.
Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia edisi III, 775,776, Departemen Kesehatan

Indonesia : Jakarta

Santoso, S, 2011. Tinjauan Pustaka Tinjauan Pustaka. Convention Center Di Kota

Tegal, 6.

Ika Fajar Rakhmawati. 2018. Validasi Metode Analisis. Fakultas Farmasi : UMP

Mulja. 1995. Analisis Instrumental, 90. Airlangga Univercity Press : Surabaya

Anda mungkin juga menyukai