Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Banyak senyawa kimia yang mempunyai sifat fotoluminisensi yakni senyawa kimia
tersebut dapat dieksitasikan oleh cahaya dan kemudian memancarkan kembali sinar
panjang gelombangnya sama ataiu berbeda dengan panjang gelombang semula (panjang
gelombang eksitasi).
Ada 2 peristiwa fotoluminisensi, yaitu fluoresensi dan fosforisensi. Pada fluoresensi
pemancaran kembali sinar oleh molekul yang telah menerap energi sinar terjadi dalam
waktu yang sangat singkat setelah penyerapan (10-8 detik). Jika penyinaran kemudian
dihentikan, pemancaran kembali oleh molekul tersebut juga berhenti. Fluoresensi berasal
dari transisi antara tingkat-tingkat energy elektronik singlet dalam suatu molekul.
Pada fosforesensi akan terjadi pemancaran kembali sinar oleh molekul yang telah
menyerap energi sinar dalam waktu yang relative lebih lama (10-4 detik). Jika penyinaran
kemudian dihentikan, pemancaran kembali masih dapat berlangsung. Fosforesensi
berasal dari transisi antara tingkat-tingkat energi elektronik triplet ke singlet dalam suatu
molekul (biasanya didahului oleh lintasan antar sistem).
Spektroskopi Fluoresensi merupakan suatu metode yang didasarkan pada
penyerapan energi oleh suatu materi sama seperti metode spektroskopi lainnya. Bedanya
terletak pada energi yang dibebaskannya setelah terjadi peristiwa eksitasi. Dengan
Spektroskopi Fluoresensi, energi yang dipancarkan lebih kecil dari energi untuk eksitasi,
karena sebagian energi yang digunakan misalnya untuk getaran (vibrasi), Akibat panjang
gelombang untuk eksitasi berbeda dengan panjang gelombang untuk pancaran (emisi)
dan perubahan panjang gelombang.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja instrumentasi dari spektrofluorometer?
2. Apa saja molekul yang dapat menunjukkan fluoresensi?
3. Factor apa saja yang mengganggu intensitas fluoresensi?
4. Bagaimana penerapan spektrofluorometer dalam analisis farmasi?
1.3 TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui instrumentasi dari spektrofluorometer.
2. Untuk mengetahui molekul-molekul yang dapat menunjukkan fluoresensi.
3. Untuk mengetahui factor-faktor yang mengganggu intensitas fluoresensi.
4. Untuk mengetahui penerapan spektrofluorometer dalam analisis farmasi.
1.4 MANFAAT
Manfaat pembuatan makalah ini yaitu agar mahasiswa dapat memahami
spekrofluorometer dan penerapannya dalam analisis farmasi, serta dapat memenuhi tugas
mata kuliah Analisis Farmasi I.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 INSTRUMENTASI SPEKTROSKOPI FLUORESESNSI (SPEKTROFLUOROMETER)
2.1.1 Sumber Radiasi
Intensitas fluoresensi berbanding langsung (proporsional) dengan intensitas
sumber sinar. Dengan demikian, sumber-sumber sinar yang intens lebih dipilih.
Panjang gelombang eksitasi adalah panjang gelombang di daerah Uv-Visibel.
Beberapa sumber sinar yang digunakan dalam spektroskopi Uv-Vis juga digunakan
dalam fluoresensi. Bahan-bahan optic yang digunakan tentunya juga sama. Misalnya
kuarsa untuk pengukuran eksitasi di daerah UV dan boosilikat untuk daerah tampak.
Lampu merkuri atau lampu xenon merupakan beberapa contoh lampu yang
sering digunakan. Kuarsa diisi dengan gas xenon dan adanya aliran listrik melalui
gas menyebabkan adanya sinar eksitasi dan emisi. Sinar ini mengemisikansuatu
sumber sinar secara kontinu pada panjang gelombang 200 nm sampai daerah IR.
Lampu merkuri dibawah tekanan yang tinggi juga dapat digunakan untuk
memberikan sumber sinar kontinu, akan tetapi lampu Hg tekanan rendah yang
mengemisikan spectrum garis juga sering digunakan dengan fluorometer yang
menggunakan filter.
Karena intensitasnya yang tinggi, sumber sinar laser merupakan sumber sinar
yang ideal untuk fluoresensi. Sinar laser akan menampakkan kisaran panjang
gelombang emisi yang lebar sehingga laser saat ini yang paling banyak digunakan.
Lampu laser memiliki batas deteksi yang rendah sehingga sesuai untuk analisis
senyawa-senyawa dalam jumlah sekelumit.
2.1.2 Alat Pemilih Panjang Gelombang
Dua monokromator digunakan pada spektrofluorometer, yakni monokromator
primer (monokromator eksitasi) dan monokromator sekunder (monokromator
fluoresensi). Pada umumnya monokromator yang digunakan adalah monokromator
kisi difraksi, walaupun monokromator filter juga dapat digunakan untuk analisis-
analisis yang lebih khusus. Monokromator eksitasi akan memilih pita panjang
gelombang yang sempit dan dapat diserap oleh sampel. Selanjutnya, sampel
mengemisikan sinar yang masuk ke segala arah.
Monokromator kedua diletakkan pada posisi 90o terhadap berkas sinar.
Monokromator kedua diatur sedemikian rupa sehingga mapu melewatkan panjang
gelombang fluoresensi ke detector. Orientasi 90o ini diperlukan untuk menghindari
pencarian detektor terhadap intensitas sinar yang mengenainya dengan begitu,
monokromator mampu menghilangkan background yang disebabkan oleh sumber
sinar. Tidak seperti spektrofotometri serapan, pengukuran bukan dilakukan terhadap
2 sinyal berbeda, melainkan, pengukuran dilakukan terhadap perbedaan antara sinyal
utama dengan sinyal yang tidak ada background-nya. Hal ini merupakan salah satu
alas an mengapa fluoresensi mempunyai sensitivitas dan linieritas yang tinggi.
Kebanyakan instrument fluoresensi adalah berkas tunggal. Hal ini menunjukkan
bahwa perubahan-perubahan dalam intensitas sumber sinar akan menghasilkan
perubahan pada intensitas fluoesensinya. Untuk mengompensasi perubahan-
perubahan dalam sumber sinar, beberapa instrument memecahnya ke bagian output
sumber sinar, menguatkannya dan mengirimkannya ke detector kedua. Sinyal-sinyal
dari dua detector digunakan untuk melakukan koreksi drift atau fluktuasi dalam
sumber sinar.
Geometri 90o merupakan orientasi yang paling umum untuk mengukur
fluoresensi dan bekerja dengan sangat baik untuk larutan-larutan sampel yang tidak
menyerap dengan sangat kuat. Sudut-sudut lainnya digunakan untuk beberapa
penggunaan yang spesifik. Untuk larutan-larutan yang menyerap dengan intensitas
fluoresensi yang sangat kuat atau untuk sampel-sampel padatan seperti dalam
lempeng kromatografi lapis tipis, maka fluoresensi diukur dari bagian muka sampel
yang sama yang dikenai sumber sinar.
2.1.3 Detektor
Detektor yang paling umum digunakan adalah detector pengganda foton
(photomultifier tube). Detektor tersebut mampu mendeteksi intensitas sinar radiasi
yang kecil. Detektor berfungsi untuk menangkap cahaya yang diteruskan dari sampel
dan mengubah sinyal radiasi menjadi sinyal elektronik.

Gambar 1.1 Komponen-komponen spektrofluorometer


2.2 MOLEKUL-MOLEKUL YANG MAMPU BERFLUORESENSI

Sistem ikatan rangkap terkonjugasi memiliki struktur yang planar dan kaku sehingga
akan mampu menyerap secara kuat di daerah 200-800nm pada radiasi elektromagnetik.
Senyawa-senyawa yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi ini merupakan senyawa yang
mampu berfluoresensi.
Modifikasi terhadap struktur mampu menurunkan atau meningkatkan intensitas
fluoresensi tergantung pada sifat dan letak gugus subtituen. Sebagai contoh, gugus-gugus
yang memberikan elektron (electron donating groups) seperti gugus hidroksil, amino, atau
metoksi yang terikat secara langsung pada sistem ikatan dapat memfasilitasi terjadinya
fluoresensi. Gugus-gugus yang menarik elektron (electron withdwrawing groups) seperti
nitro, bromo, iodo, siano, atau karboksil cenderung mengurangi intensitas fluoresensi.
Dalam kasus senyawa fenol, ionisasinya menjadi ion fenolat biasanya mendorong
fluoresensi, sementara itu perubahan amin aromatis menjadi kation amonium aromatis
menghambat proses fluoresensi.
Penambahan banyaknya ikatan rangkap terkonjugasi dalam suatu sistem menyebabkan
peningkatan fluoresensi utamanya jika dalam struktur aromatis heterosiklis, yakni suatu
struktur aromatis yang mengandung N,S, O. Intensitas fluoresensu senyawa heterosiklis yang
mengandung gugus –NH seringkali meningkat pada pH asam yang mana gugus nitrogen
seringkali mengalami protonas.
Jika suatu senyawa tidak berfluoresensi secara intrinsik, maka senyawa tersebut harus
diubah menjadi senyawa yang berfluoresensi untuk dapat dianalisis. Salah satu pendekatannya
digunakan metode induksi kimia seperti radiasi dengan sinar UV , hidrolisis, dan dengan
dehidrasi dengan asam kuat. Metode lainnya adalah pengkoplingan atau penggabungan reaksi
antara molekul obat dengan reagen fluorometrik yang sesuai membentuk spesies
berfluoresensi yang disebut dengan fluorofor. Reaksi yang meningkatkan intensitas
fluoresensi dapat eningkatkan perpanjangan sistem elektron п atau kekakuan (rigiditas)
molekul yang berarti juga meningkatkan planaritas struktur.Prosedur-prosedur untuk
menghasilkan fluorofor dapat memberikan peningkatan sensitifitas dan spesifisitas metode
penguujia dan menggeser panjang gelombang eksitasi dan emisi ke panjang gelombang yang
lebih panjang sehingga gangguan-gangguan dari senyawa lain menjadi minimal atau hilang
sama sekali.
Contoh obat yang tidak berfluoresensi yang dapat diukur secara fluorometri setelah
dirubah menjadi fluorofor adalah difinilhidantoin dan metildopa. Fluorofor dibentuk secara
langsung setelah oksidasi dengan kalium permanganat dalam suasan basa. Sampel plasma
yang mengandung obat difenilhidantoin dipanaskan pada lempeng panas pada suhu 2000C
selama 10 menit untuk membentuk senyawa berfluoresensi. Metildopa dapat diubah menjadi
fluorofor dengan cara oksidasi dan penataan ulang (rearangement). Oksidasi diilakukan
dengan kalium ferisianida pada pH 6,5 selama 5 menit pada suhu kamar. Penataan dapat
dilakukan dengan peambahan larutan alkali dari asam askorbat pada campuran reaksi dan
selanjutnya larutan dibiarkan pada suhu kamar selama 40 menit. Fluorofor yang terbentuk
merupakan dihidroksiindol tersubsitusi yang dapat diukur intensitas fluoresensinya masing-
masing pada panjang gelombang eksitasi 400nm dan panjang gelombang emisi 510.

Contoh obat yang diukur secara fluoresensi yang diinduksi secara kimia

Senyawa Metode

Klorokuin Induksi fitokimia

Heroin Dipanaskan dengan asam kuat

Imipramin Direaksikan dengan formaldehid dan


asetilaseton

Isoniazid Direaksikan dengan salisialdehid lalu diikuti


dengan reduksi

Klordiazepoksid Pembentukan laktam

Oksitetrasiklin Kompleksasi denga Mg2+ dan EDTA

Reserpin Oksidasi

Metode-metode yang melibatkkan pembentukan fluorofor yang mengandung ion-ion


anorganik juga menarik terutama untuk analisis sekelumit ion tertentu. Prosedurnya ada dua
kategori, kategori pertama melibatkan pembentukan kelat berfluoresensi antara ion dengan
senyawa organik dilanjutkan dengan pengukuran emisinya. Metode ini bermanfaat untuk ion-
ion logam non transisi yang kurang kompetitif dengan proses fluoresensi dalam keadaan
tereksitasi. Kategori kedua pada umumnya digunakan untuk analisis anion. Penurunan
intensitas fluoresensi diamati sebagai peningkatan kualitas anion yang ditambahkan, efek ini
disebabkan oleh pengaruh pemadaman ion-ion anorganik pada emisi fluoresensi senyawa
organik.
2.2 FAKTOR-FAKTOR YANG MENGGANGGU INTENSITAS FLUORESENSI
Variabel-variabel yang mempengaruhi fluoresensi dan fosforesensi yaitu :
1. Hasil kuantum (efisiensi kuantum, quantum yield)
Merupakan bilangan yang menyatakan perbandingan antara jumlah molekul yang
berfluoresensi terhadap jumlah total molekul yang tereksitasi. Besarnya quantum (ɸ)
adalah : 0 ≤ ɸ ≤ 1. Nilai ɸ diharapkan adlah mendekati 1, yang berarti efisiensi
fluoresensi sangat tinggi.
2. Pengaruh kekakuan struktur
Fluoresensi dapat terjadi dengan baik jika molekul-molekul memiliki struktur yang
kaku (rigid). Contoh fluoren yang memiliki efisiensi kuantum (ɸ) yang besar
(mendekati 1) karena adanya gugus metilen, dibandingkan dengan binefil yang
memiliki efisiensi kuantum yang lebih kecil (sekitar 0,2).
3. Pengaruh suhu
Bila suhu makin tinggi maka efisiensi kuantum fluoresensi makin berkurang. Hal ini
disebabkan pada suhu yang lebih tinggi, tabrakan-tabrakan antar molekul atau
tabrakan molekul dengan pelarut menjadi lebih sering, yang mana pada peristiwa
tabrakan, kelebihan energy molekul yang tereksitasi dilepaskan ke molekup
pelarut.jadi semakin tinggi suhu maka terjadinya konversi ke luar besar, akibatnya
efisiensi kuantum berkurang.
4. Pengaruh pelarut
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengaruh pelarut pada fluoresensi,
yaitu:
a. Jika pelarut makin polar maka intensitas fluoresensi makin besar.
b. Jika pelarut mengandung logam berat (Br, I atau senyawa lain), maka
interaksi antara gerakan spin dengan gerakan orbital elektron-elektron ikatan
lebih banyak terjadi dan hal tersebut dapat memperbesar laju lintasan antara
sistem atau mempermudah pembentukan triplet sehinga kebolehjadian
fluorosensi lebih kecil, sedangkan kebolehjadian fosforesensi menjadi lebih
besar
5. Pengaruh ph
pH berpengaruh pada letak keseimbangan antar bentuk terionisasi dan bentuk tak
terionisasi. Sifat fluorosensi dari kedua bentuk itu berbeda. Sebagai contoh, fenol
dalam suasana asam akan berada dalam bentuk molekul utuh dengan panjang
gelombang antara 285-365 nm dan nilai ε = 18 M-1 cm-1 , sementara jika dalam
suasana basa maka fenol akan terionisasi membentuk ion fenolat yang mempunyai
panjang gelombang antara 310-400 nm dan ε = 10 M-1 cm-1 .
6. Pengaruh oksigen terlarut
Adanya oksigen akan memperkecil intensitas fluoresensi. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya oksidasi senyawa karena pengaruh cahaya (fotochemically induced
oxidation). Pengurangan intensitas fluorosensi disebut pemadaman sendiri atau
quenching. Molekul oksigen bersifat paramagnetik, dan molekul yang bersifat seperti
ini dapat mempengaruhi dan mempermudah lintasan antara sistem sehingga
memperkecil kemungkinan fluorosensi, sebaliknya memperbesar kebolehjadian
fosforesensi.
7. Pemadaman sendiri dan penyerapan sendiri
Pemadaman sendiri di sebabakan oleh tabrakan-tabrakan antar molekul zat itu
sendiri. Tabrakan-tabrakan itu menyebabkan energi yang tadinya akan dilepaskan
sebagai sinar fluorosensi ditransfer ke molekul lain, akibatnya intensitas berkurang.
Salah satu proses pemadaman sendiri dapat ditulis sebagai berikut:
Molekul analit tereksitas + pemadaman menjadi molekul analit berkeadaan
dasar + pemadam+ energi
Supaya suatu molekul berfluoresensi, maka molekul tersebut harus menyerap radiasi.
Jika konsenrasi senyawa yang menyerap radiasi tersebut sangat tinggi, maka sinar
yang mengenai sampel akan diabsorbsi oleh lapisan pertama larutan dan hanya
sedikit radiasi yang diserap oleh bagian lain sampel pada jarak yang lebih jauh.oleh
karena itu, fluoresensi sampel yang berkonsentrasi tinggi ini tidak seragam dan
tidakakan proporsional dengan konsentrasi senyawa. Karena kejadian seperti ini
tidak diinginkan untuk tujuan analisis kuantitatif, maka konsentrasi larutan yang
berfluoresensi harus dijaga dalam konsentrasi rendah ntuk mencegah terjadinya
penyerapan radiasi yang tidak seragam ini.

2.4 PENERAPAN SPEKTROFLUOROMETER DALAM ANALISIS FARMASI

Metode fluoresensi digunakan secara luas untuk analisis obat baik dalam bentuk
sediaan atau dalam sampel hayati. Hal ini terbukti dalam banyaknya senyawa obat yang
ditetapkan dengan metode ini.

Determinasi diklofenak secara spektrofluorometri dalam sediaan tablet dan salep


telah dijelaskan oleh Damini dkk. (1999). Teknik ini melibatkan eksitasi obat dalam
larutan asam (HCN 0,01 N) pada panjang gelombang 287 nm, dan pengukuran intensitas
fluoresensi pada panjang gelombang emisi 362 nm. Kisaran liniernya adalah 0,2-5,0
mg/L dan tidak ada gangguan dari bahan tambahan yang ada atau obat-obat lain yang
terdapat dalam sediaan yang teramati.

Analisis diklofenak dalam sampel dengan spektrofluorometer, sejumlah serbuk yang


setara dengan 20 mg natrium diklofenak ditimbang secara seksama dan dimasukkan ke
dalam labu takar 50 mL. setelah itu campuran dilarutkan dengan akuades, disonikasi
selama 20 menit dan disaring. Selanjutnya, sebanyak 5,0 mL filtrate diletakkan ke labu
takar 50 mL yang lain dan diencerkan sampai batas tanda. Akhirnya, sejumlah HCL 0,01
N digunakan untuk mengencerkan sampel hingga diperoleh kisaran konsentrasi sampel
berada dalam kisaran konsentrasi kurva baku. Larutan dibaca dalam spektrofluorometer
dengan kondisi sebagaimana di atas.

Natrium diklofenak larut dalam akuades dan menunjukkan emisi fluoresensi pada
panjang gelombang 362 nm, ketika dieksitasikan pada panjang gelombang 278 nm.
Karakteristik spektra hampir tidak tergantung pada pH larutan. Meskipun demikian,
perubahan intensitas fluoresensi sebagai fungsi pH yang signifikan dapat teramati. Plot
intensitas fluoresensi sebagai fungsi pH berbentuk sigmoid dengan titik infleksi dekat pH
kurang lebih tiga, sebagaimana diharapkan dari kesetimbangan antara bentuk diklofenak
terprotonasi dan diklofenak tidak terprotonasi.
Spektrofluorometri untuk mengukur kadar Kinin Sulfat. Disiapkan larutan standard
kinin yaitu 0.1, 0.15, 0.2, 0.25, 0.3 ppm dengan pengenceran dari larutan stok dengan 0,1
N H2SO4. Larutan kinin sulfat 1 µg/ml dimasukkan kedalam kuvet, kemudian
ditempatkan kedalam ruang pengukuran pada spektrofluorometer. Besar intensitas
fluororesensi maksimum untuk monokromator eksitasi dari literatur dimasukkan pada alat
spektrofluorometer. Besar intensitas fluororesensi maksimum monokromator emisi dari
literatur dimasukkan pada alat spektrofluorometer. Dilakukan pengukuran intensitas
fluororesensi (pada monokromator eksitasi) untuk blanko (asam sulfat 0,1 N). Dilakukan
pengukuran intensitas fluororesensi (pada monokromato reksitasi) untuk masing-masing
larutan yang diencerkan. Dilakukan pengukuran intensitas fluororesensi (pada
monokromator eksitasi) untuk sampel.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Komponen-komponen spektrofluorometer hampir sama dengan spektrofotometer,
yaitu terdiri dari sumber radiasi, monokromator, wadah sampel, dan detector. Hanya
saja, dalam spektrofluorometer terdapat dua macam monokromator yaitu
monokromator primer (eksitasi) dan monokromotor sekunder (emisi).
2. XXX
3. XXX
4. XXX

3.2 SARAN

Anda mungkin juga menyukai