PENDAHULUAN
Sistem ikatan rangkap terkonjugasi memiliki struktur yang planar dan kaku sehingga
akan mampu menyerap secara kuat di daerah 200-800nm pada radiasi elektromagnetik.
Senyawa-senyawa yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi ini merupakan senyawa yang
mampu berfluoresensi.
Modifikasi terhadap struktur mampu menurunkan atau meningkatkan intensitas
fluoresensi tergantung pada sifat dan letak gugus subtituen. Sebagai contoh, gugus-gugus
yang memberikan elektron (electron donating groups) seperti gugus hidroksil, amino, atau
metoksi yang terikat secara langsung pada sistem ikatan dapat memfasilitasi terjadinya
fluoresensi. Gugus-gugus yang menarik elektron (electron withdwrawing groups) seperti
nitro, bromo, iodo, siano, atau karboksil cenderung mengurangi intensitas fluoresensi.
Dalam kasus senyawa fenol, ionisasinya menjadi ion fenolat biasanya mendorong
fluoresensi, sementara itu perubahan amin aromatis menjadi kation amonium aromatis
menghambat proses fluoresensi.
Penambahan banyaknya ikatan rangkap terkonjugasi dalam suatu sistem menyebabkan
peningkatan fluoresensi utamanya jika dalam struktur aromatis heterosiklis, yakni suatu
struktur aromatis yang mengandung N,S, O. Intensitas fluoresensu senyawa heterosiklis yang
mengandung gugus –NH seringkali meningkat pada pH asam yang mana gugus nitrogen
seringkali mengalami protonas.
Jika suatu senyawa tidak berfluoresensi secara intrinsik, maka senyawa tersebut harus
diubah menjadi senyawa yang berfluoresensi untuk dapat dianalisis. Salah satu pendekatannya
digunakan metode induksi kimia seperti radiasi dengan sinar UV , hidrolisis, dan dengan
dehidrasi dengan asam kuat. Metode lainnya adalah pengkoplingan atau penggabungan reaksi
antara molekul obat dengan reagen fluorometrik yang sesuai membentuk spesies
berfluoresensi yang disebut dengan fluorofor. Reaksi yang meningkatkan intensitas
fluoresensi dapat eningkatkan perpanjangan sistem elektron п atau kekakuan (rigiditas)
molekul yang berarti juga meningkatkan planaritas struktur.Prosedur-prosedur untuk
menghasilkan fluorofor dapat memberikan peningkatan sensitifitas dan spesifisitas metode
penguujia dan menggeser panjang gelombang eksitasi dan emisi ke panjang gelombang yang
lebih panjang sehingga gangguan-gangguan dari senyawa lain menjadi minimal atau hilang
sama sekali.
Contoh obat yang tidak berfluoresensi yang dapat diukur secara fluorometri setelah
dirubah menjadi fluorofor adalah difinilhidantoin dan metildopa. Fluorofor dibentuk secara
langsung setelah oksidasi dengan kalium permanganat dalam suasan basa. Sampel plasma
yang mengandung obat difenilhidantoin dipanaskan pada lempeng panas pada suhu 2000C
selama 10 menit untuk membentuk senyawa berfluoresensi. Metildopa dapat diubah menjadi
fluorofor dengan cara oksidasi dan penataan ulang (rearangement). Oksidasi diilakukan
dengan kalium ferisianida pada pH 6,5 selama 5 menit pada suhu kamar. Penataan dapat
dilakukan dengan peambahan larutan alkali dari asam askorbat pada campuran reaksi dan
selanjutnya larutan dibiarkan pada suhu kamar selama 40 menit. Fluorofor yang terbentuk
merupakan dihidroksiindol tersubsitusi yang dapat diukur intensitas fluoresensinya masing-
masing pada panjang gelombang eksitasi 400nm dan panjang gelombang emisi 510.
Contoh obat yang diukur secara fluoresensi yang diinduksi secara kimia
Senyawa Metode
Reserpin Oksidasi
Metode fluoresensi digunakan secara luas untuk analisis obat baik dalam bentuk
sediaan atau dalam sampel hayati. Hal ini terbukti dalam banyaknya senyawa obat yang
ditetapkan dengan metode ini.
Natrium diklofenak larut dalam akuades dan menunjukkan emisi fluoresensi pada
panjang gelombang 362 nm, ketika dieksitasikan pada panjang gelombang 278 nm.
Karakteristik spektra hampir tidak tergantung pada pH larutan. Meskipun demikian,
perubahan intensitas fluoresensi sebagai fungsi pH yang signifikan dapat teramati. Plot
intensitas fluoresensi sebagai fungsi pH berbentuk sigmoid dengan titik infleksi dekat pH
kurang lebih tiga, sebagaimana diharapkan dari kesetimbangan antara bentuk diklofenak
terprotonasi dan diklofenak tidak terprotonasi.
Spektrofluorometri untuk mengukur kadar Kinin Sulfat. Disiapkan larutan standard
kinin yaitu 0.1, 0.15, 0.2, 0.25, 0.3 ppm dengan pengenceran dari larutan stok dengan 0,1
N H2SO4. Larutan kinin sulfat 1 µg/ml dimasukkan kedalam kuvet, kemudian
ditempatkan kedalam ruang pengukuran pada spektrofluorometer. Besar intensitas
fluororesensi maksimum untuk monokromator eksitasi dari literatur dimasukkan pada alat
spektrofluorometer. Besar intensitas fluororesensi maksimum monokromator emisi dari
literatur dimasukkan pada alat spektrofluorometer. Dilakukan pengukuran intensitas
fluororesensi (pada monokromator eksitasi) untuk blanko (asam sulfat 0,1 N). Dilakukan
pengukuran intensitas fluororesensi (pada monokromato reksitasi) untuk masing-masing
larutan yang diencerkan. Dilakukan pengukuran intensitas fluororesensi (pada
monokromator eksitasi) untuk sampel.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Komponen-komponen spektrofluorometer hampir sama dengan spektrofotometer,
yaitu terdiri dari sumber radiasi, monokromator, wadah sampel, dan detector. Hanya
saja, dalam spektrofluorometer terdapat dua macam monokromator yaitu
monokromator primer (eksitasi) dan monokromotor sekunder (emisi).
2. XXX
3. XXX
4. XXX
3.2 SARAN