Anda di halaman 1dari 19

SPEKTROS

KOPI
FLUORESEKELOMPOK 3:
SITI AISYAH ALI

NSI
(H031181005)
HAJRIANA
(H031181009)
SITTI SYARA RAMADANI
•Fluoresensi
Pengertian dari adalah
cahaya setelah penyerapan
emisi

Spektroskopi sinar ultraviolet (UV) atau


cahaya tampak oleh molekul
Fluoresensi fluoresensi atau substruktur
disebut fluorophore.
•Fluorophore menyerap energi
dalam bentuk cahaya pada
panjang gelombang spesifik
dan membebaskan energi
dalam bentuk cahaya yang
dipancarkan pada panjang
gelombang yang lebih tinggi.
Monokromator
Sumber Sampel
atau filter

Monokromator
atau filter

Detektor Penguat Pembacaan

Komponen-komponen yang penting dari suatu instrumen untuk


pengukuran fluoresensi ditunjukkan dalam bagan di atas.
Atomic Fluoresence Spectroscopy (AFS) adalah salah
satu jenis spektroskopis elektromagnetik yang menganalisis
fluoresence dari atom sampel. Di dalamnya meliputi penggunaan
sorotan sinar, biasanya sinar ultraviolet yang mengeksitasi elektron
dalam atom dan menyebabkannya memancarkan sinar. Alat untuk
mengukur fluoresence disebut fluorometers atau fluorimeter.
Flouresensi spektroskopis atau metode spektrofluorometri
merupakan jenis spektroskopis elektromagnetik yang menganalisis
fluoresensi dari sampel yang melibatkan penggunaan berkas cahaya,
biasanya sinar ultraviolet bahwa eksitasi elektron pada molekul
senyawa tertentu dapat menyebabkan memancarkan cahaya dari
energi yang lebih rendah tetapi tidak harus cahaya tampak.
• Molekul memiliki berbagai bentuk disebut sebagai tingkat energi.
Energi yang tersimpan di dalam atom dapat dilepaskan dengan
berbagai cara. Ketika energi dilepaskan sebagai cahaya, maka dikenal
sebagai fluorescent (cahaya yang berpendar) dimana atom fluorescent
ini mengukur cahaya yang teremisi. Fluorescent umumnya diukur pada
sudut dari sumber eksitasi untuk meminimalisasi berkumpulnya
cahaya yang tersebar dari sumber eksitasi
• Analisa dari larutan atau solid membutuhkan atom sampel yang
menguap atau teratomisasi pada temperatur yang relatif rendah
dalam pipa panas, flame atau graphitefurnace. Sebuah lampu HCL atau
laser menghasilkan eksitasi untuk membawa atom ke energy yang
lebih tinggi. Atomic fluorescent akan terdispersi dan dideteksi oleh
monokromator dan photomultiplier tube yang mirip dengan alat AAS
Cahaya dari sumber eksitasi melewati filter atau monokromator dan pemogokan
sampel. Sebagian cahaya insiden diserap oleh sampel dan beberapa molekul
dalam sampel berpendar. Lampu neon yang dipancarkan ke segala arah.
Beberapa lampu neon tersebut melewati filter kedua atau monokromator dan
mencapai detektor yang biasanya diletakkan pada suhu 90 °C
Fluoresensi adalah proses pemancaran radiasi cahaya oleh suatu materi
setelah tereksitasi oleh berkas cahaya berenergi tinggi. Emisi cahaya terjadi
karena proses absorbsi cahaya oleh atom yang mengakibatkan keadaan
atom tereksitasi. Keadaan atom yang tereksitasi akan kembali keadaan
semula dengan melepaskan energi yang berupa cahaya (de-eksitasi).
Fluoresensi merupakan proses perpindahan tingkat energi dari keadaan
atom tereksitasi (S1 dan S2) menuju ke keadaan stabil (ground states).
Proses fluoresensi berlangsung kurang lebih 1 nano detik, sedangkan proses
fosforesensi berlangsung lebih lama, sekitar 1 sampai 1000 mili detik.
Diagram Jablonski menunjukkan terjadinya proses fluoresensi dan fosforesensi.
Menurut diagram Jablonski, energi emisi lebih rendah dibandingkan dengan eksitasi.
Hal ini berarti emisi fluoresensi yang lebih tinggi terjadi pada panjang gelombang dari
penyerapan (eksitasi). Ketika suatu atom atau molekul mengabsorbsi energi cahaya
sebesar hvA, maka elektron-elektron pada kondisi dasar (ground states) S0 akan
berpindah ke tingkat energi yang lebih tinggi ke tingkat S1 dan S2.
• Atom akan mengalami konversi internal atau relaksasi pada kondisi S1 dalam waktu yang
singkat sekitar 10-1 ns, kemudian atom tersebut akan melepaskan sejumlah energi sebesar
hvf yang berupa cahaya karenanya energi atom semakin lama semakin berkurang dan akan
kembali menuju ke tingkat energi dasar S0 untuk mencapai keadaan suhu yang setimbang
(thermally equilibrum)
• Emisi fluoresensi dalam bentuk spekrum yang lebar terjadi akibat perpindahan tingkat energi
S1 menuju ke sub-tingkat energi S0 yang berbeda-beda yang menunjukkan tingkat keadaan
energi dasar vibrasi atom 0,1 dan 2 berdasarkan prinsip Frank-Condon. Apabila intersystem
crossing terjadi sebelum transisi dari S1 ke S0 yaitu saat di S1 terjadi konversi spin ke triplet
state yang pertama (T1), maka transisi dari T1 ke S0 akan mengakibatkan fosforesensi dengan
energi emisi cahaya sebesar hvP dalam selang waktu kurang lebih 1 s sampai dengan 1 s.
Proses ini menghasilkan energi emisi cahaya yang relatif lebih rendah dengan panjang
gelombangnya lebih panjang dibandingkan dengan fluoresensi
Pada kurva di samping, sesaat setelah sampel menyerap
cahaya maka sampel akan memancarkan sinyal
fluoresensi. Dari kurva fluoresensi yang diperlihatkan,
dapat diketahui intensitas maksimum (puncak)
pada panjang gelombang tertentu. Dengan
diperolehnya/diketahuinya spektrum fluoresensi dari
suatu bahan maka dapat diketahui karakteristik bahan
tersebut dan proses selanjutnya adalah identifikasi. Sinyal
fluoresensi ini adalah sinyal transien yaitu singkat dan
lemah. Oleh karena itu, untuk mendeteksi sinyal
fluoresensi diperlukan penanganan khusus. Secara garis
besar peraltan terdiri dari sebuah sumber UV/Visible, sel
sampel, sistem sensor, peralatan optik, rangkaian
elektronik (penguat sinyal, pencuplik, integrator dan
lainnya) dan sistem mikroprosesor (mikrokomputer)
sebagai pengolah data. Selain perangkat keras maka
dirancang perangkat lunak program pengendali
Spektrum sinyal pengeksitasi dan spektrum sinyal fluoresensi secara simultan
menunjukkan spektrum fluoresensi yaitu:
1. Eksitasi filter
Foton dengan energi hEX ditembakkan dari sumber energi eksternal seperti
lampu pijar atau laser yang kemudian diserap oleh fluorophore sehingga
elektronnya tereksitasi ke tingkat energi eksitasi (S1’).
2. Dikromatik mirror
Molekul yang telah tereksitasi secara cepat rileks ke level energi vibrasi yang
paling rendah dari S1’ yaitu S1 akibat disisipasi energi. Proses ini disebut konversi
internal, secara umum terjadi selama kurang dari 10 -12 s. Emisi fluoresensi
merupakan akibat dari keseimbangan termal tingkat eksitasi yaitu pada level
energi vibrasi yang paling rendah. Tetapi tidak semua molekul yang tereksitasi
kembali ke groundstate dengan memancarkan fluoresensi, seperti collisional
quenching yang tidak memilki tahap konversi internal. Untuk elektron yang
tereksitasi ke S2’ dan seterusnya, elektron juga akan segera dengan cepat rileks ke
keadaan S1’ dan emisi tetap terjadi pada keadaan energi vibrasi terendah S1.
3. Emisi
Ketika fluorophore kembali ke groundstate (S0) akan dipancarkan foton
berenergi hEX, sehingga spektrum emisi fluoresensi tidak tergantung panjang
gelombang eksitasi. Perbedaan energi eksitasi dan emisi (hEX- hEM) disebut
pergeseran stoke. Intensitas emisi fluoresensi sebanding dengan amplitudo
spektrum eksitasi, tetapi panjang gelombang emisi tidak bergantung pada panjang
gelombang eksitasi.
Variabel-variabel yang mempengaruhi fluoresensi yaitu:
1. Hasil kuantum (efisiensi kuantum)
Merupakan bilangan yang menyatakan perbandingan antara jumlah molekul yang
berfluoresensi terhadap jumlah total molekul yang tereksitasi. Besarnya quantum
() adalah 01. Nilai  diharapkan adalah mendekati 1, yang berarti efisiensi
fluoresensi sangat tinggi.
2. Pengaruh kekakuan struktur
Fluoresensi dapat terjadi dengan baik jika molekul-molekul memiliki struktur yang
kaku (rigit). Contoh fluoren yang memiliki efisiensi kuantum () yang besar
(mendekati 1) karena adanya gugus metilen, dibandingkan dengan binefil yang
memiliki efisiensi kuantum yang lebih kecil (sekitar 0,2).
3. Pengaruh suhu
Bila suhu makin tinggi maka efisiensi kuantum fluoresensi makin berkurang. Hal ini
disebabkan pada suhu yang lebih tinggi. Tabrakan-tabrakan antar molekul atau
tabrakan molekul dengan pelarut menjadi lebih sering, yang mana pada peristiwa
tabrakan, kelebihan energi molekul yang tereksitasi dilepaskan ke molekul pelarut.
Jadi semakin tinggi suhu maka terjadinya konversi ke luar besar, akibatnya efisiensi
kuantum berkurang.
4. Pengaruh pelarut
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengaruh pelarut pada fluoresensi yaitu:
a. Jika pelarut makin polar maka intensitas fluoresensi makin besar
b. Jika pelarut mengandung logam berat (Br, I atau senyawa lain), maka interaksi antara
gerakan spin dengan gerakan orbital elektron-elektron ikatan lebih banyak terjadi dan hal
tersebut dapat memperbesar laju lintasan antara sistem atau mempermudah pembentukan
triplet sehingga kebolehjadian fluoresensi lebih kecil.
5. Pengaruh Ph
pH berpengaruh pada letak keseimbangan antar bentuk terionisasi dan bentuk tak terionisasi.
Sifat fluoresensi dari kedua bentuk itu berbeda. Sebagai contoh, fenol dalam suasana asam
akan berada dalam bentuk molekul utuh dengan panjang gelombang antara 285-365 nm dan
nilai  = 18 M/cm, sementara jika dalam suasana basa maka fenol akan terionisasi membentuk
ion fenolat yang mempunyai panjang gelombang antara 310-400 nm dan  = 10 M/cm.
6. Pengaruh oksigen terlarut
Adanya oksigen akan memperkecil intensitas fluoresensi. Hal ini disebabkan oleh terjadinya
oksidasi senyawa karena pengaruh cahaya (fotochemical induced oxidation). Molekul oksigen
bersifat paramagnetik yang dapat mempengaruhi dan mempermudah lintasan antara sistem
sehingga memperkecil kemungkinan fluoresensi.
Aplikasi Spektroskopi Fluoresensi
Penggunaan metode ini salah satunya telah dilakukan untuk
membedakan antara madu lebah alami dengan madu yang diberi
pemanis dengan melihat spektrum fluoresensi pada sampel yang
disinari oleh LED (Light Emitting Diode). Pada penelitian tersebut,
spektrum fluoresensi pada sampel madu diukur dengan
menggunakan spektrometer serat optik. Penggunaan metode
spektroskopi fluoresensi juga telah dilakukan dengan
menggunakan teknik fluoresensi yang diinduksi laser atau LIF
(Laser Induced Fluorescence) untuk memperoleh sidik jari
(fingerprint) madu murni dengan madu yang telah diberi campuran
berdasarkan hubungan intensitas fluoresensi dengan panjang
gelombang fluoresensi dominan yang direkam oleh spektrometer
Pengukuran Spektrum Fluoresensi

Gambar di atas memperlihatkan skema pengukuran spektrum fluoresensi


pada sampel madu. Pengukuran dilakukan pada ruang gelap untuk
meminimalisir cahaya dari luar. Kuvet yang berisi sampel diletakkan dalam
kotak akrilik yang telah dilapisi lakban hitam dan diberi dua buah tabung yang
posisinya saling tegak lurus. Masing-masing lubang digunakan untuk
melewatkan cahaya laser dan detektor yang terhubung dengan spektrometer.
Filter ND OD 3 digunakan untuk mengurangi intensitas cahaya dari laser. Laser
yang digunakan mempunyai daya sebesar 27,04 mW
• Hasil pengukuran akan menunjukkan grafik hubungan intensitas fluoresensi
terhadap panjang gelombang fluoresensi dominan. Hasil tersebut akan
ditampilkan pada laptop yang telah dilengkapi dengan program spectrasuite.
Gambar sampel madu selanjutnya direkam menggunakan kamera CMOS
(Complimentary Metal Oxide Semiconductor) untuk memperlihatkan warna
fluoresensi madu setelah dieksitasi laser
• Apabila suatu cahaya laser yang melewati larutan dengan ketebalan b cm
dengan konsentrasi zat penyerap sinar c, maka intensitas cahaya laser tersebut
akan mengalami suatu pengurangan. Jika cahaya laser yang akan massuk
dilambangkan dengan I0 maka sebagai akibat dari interaksi antara cahaya laser
dengan molekul-molekul penyerap pada sampel larutan tersebut merupakan
berkurangnya intensitas cahaya laser dari I 0 ke I. Tabel tersebut
memperlihatkan warna sampel madu sebelum dan sesudah dieksitasi laser.
Semakin gelap warna madu, maka semakin rendah intensitas cahaya laser yang
akan diteruskan melewati sampel. Semakin gelap warna pada madu artinya
semakin banyak molekul penyerap dalam sampel yang dilewati oleh cahaya
laser. Semakin rendah intensitas cahaya laser yang tereksitasi
Panjang gelombangfluoresensi dominan pada setiap
sampel madu, dimana setiap sampel mamiliki nilai
panjang gelombang yang berbeda. Panjang
gelombang fluoresensi dominan memiliki hubungan
berbanding lurus terhadap warna madu. Semakin
gelap warna madu, maka panjang gelombang
fluoresensinya akan semakin besar. Madu yang
berwarna gelap cenderung mengandung mineral
lebih banyak dibanding madu yang berwarna terang.
Warna madu yang lebih gelap umumnya disebabkan
oleh kandungan fenolat yang tinggi. Selain itu,
perbedaan warna madu juga dipengaruhi oleh
nektar yang menjadi sumber madu, lama
penyimpanan dan proses pengolahan dan
pemanasan.
Semakin gelap warna madu, maka semakin banyak pula molekul penyerap
(pengabsorbsi) yang akan menyerap energi laser berupa cahaya. Panjang
gelombang fluoresensi berbanding lurus terhadap energi foton. Sehingga cahaya
datang dengan panjang gelombang 405 nm difluoresensikan pada panjang
gelombang lebih panjang. Secara umum, dapat dilihat pada tabel bahwa puncak
sampel madu (intensitas fluoresensi) akan semakin rendah seiring dengan
tingginya konsentrasi zat terlarut dalam madu
DAFTAR PUSTAKA
Bisman, P., dan Angin, 2018, Teknik Identifkasi Cepat Fraksinasi Hasil Pemisahan
Kromatografi Menggunakan Protektor Fluoresensi, Jurnal Penelitian Mipa, 2(1).
 
Day, R. A. and A. L. Underwood, 2002, Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi Keenam, Jakarta,
Penerbit Erlangga.
 
Ekayani, F., dan Minarni, Z., 2015,Analisa Pengaruh Kadar Air terhadap Fluoresensi
Klorofil Daun Bayam menggunakan Metode Pencitraan Fluoresensi (Fluorescence
Imaging), JOM FMIPA, 2(2): 1-8.
 
Minarni dan Himmatul, A., 2019, Analisa Panjang Gelombang Fluoresensi Dominan pada
Madu yang di Eksitasi Laser menggunakan Metode Spektroskopi Fluoresensi, SNFUR-4:
Pekanbaru.
 
Suarsa, W., 2015, Introduction to Spectroscopy, Sauders College: Philladhelpia.
 

Anda mungkin juga menyukai