“FLUOROMETRI”
OLEH:
2021
KATA PENGANTAR
Puji beserta syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan
makalah dengan judul” FLUOROMETRI” ini tepat pada waktunya.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
penulis dalam penyusunan makalah ini secara umumnya dan kepada Dosen Pembimbing Kimia
Farmasi Analisis II. Penulis menyadari dalam peyusunan makalah ini banyak terdapat
kekurangan karena penulis masih dalam tahap pembelajaran. Namun, penulis tetap berharap agar
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran dari penulisan makalah
ini sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan pada makalah penulis
berikutnya. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………i
Daftar Isi……………………………………………………………………………………….ii
Bab I Pendahuluan
Bab II Pembahasan
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………14
3.2 Saran……………………………………………………………………………..14
Daftar Pustaka
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Fluorometri?
2. Bagaimana teori fluoresensi dan fosforesensi
3. Bagaimana proses deaktivasi?
4. Apa variabel-variabel yang mempengaruhi Fluoresensi dan fosforesensi?
5. Bagaimana analisis kuantitatif fluoresensi!
6. Bagaimana molekul-molekul mampu berfluoresensi!
7. Bagaimana cara pengubahan senyawa menjadi fluoresen!
8. Bagaimana hubungan struktur molekul dengan fosforesensi!
9. Apa saja penggunaan fluoresensi dan fosforesensi dalam bidang farmasi?
10. Apa itu system instrumentasi
2.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Fluoresensi adalah proses pemancaran radiasi cahaya oleh suatu materi setelah tereksitasi
oleh berkas cahaya berenergi tinggi. Emisi cahaya terjadi karena proses absorbsi cahaya oleh
atom yang mengakibatkan keadaan atom tereksitasi. Keadaan atom yang tereksitasi akan kembali
keadaan semula dengan melepaskan energi yang berupa cahaya (de-eksitasi). Fluoresensi
merupakan proses perpindahan tingkat energi dari keadaan atom tereksitasi (S1 atau S2) menuju
ke keadaan stabil (ground states). Proses fluoresensi berlangsung kurang lebih 1 nano detik
sedangkan proses fosforesensi berlangung lebih lama, sekitar 1 sampai dengan 1000 mili detik.
Fosforesensi adalah proses pemancaran kembali sinar oleh molekul yang telah menyerap
energy sinar dalam waktu yang relative lebih lama (10-4 detik) . jika penyinaran
kemudian dihentikan , pemancaran kembali masih dapat berlansung. Fosforesesi berasal
dari transisi antara tingkat –tingkat energy elektronik triplet ke singklet dalam suatu
3
molekul. Fosforesens dapat menyimpan energi lebih lama, sehingga akan memancarkan
cahaya (berpendar) lebih lama dari pada fluorosens. Pada fluorosens, setelah energi yang
digunakan untuk mengeksitasi elektron dihilangkan (biasanya berupa sinar UV) maka zat
fluorosens tidak akan dapat menyala dalam gelap. Dengan kata lain zat berfluoresensi
hanya dapat terlihat menyala apabila dikenai dengan sinar ultraviolet di dalam gelap, dan
tidak dapat berpendar ketika sinar ultravioletnya dimatikan. Sedang berbanding terbalik
dengan fosforesensi, dimanadalam fosforesensi dapat terlihat menyala apabila dikenai
dengan sinar ultraviolet di dalam gelapdan tetap akan menyala ketika sinar UV
dihilangkan. Hal ini berkaitan dengan cepat dan lambatnya elektron kembali ke orbital
energi tingkat dasar, semakin cepat elektron kembali ke orbital maka semakin cepat pula
hilang berpendarnya.
Proses deaktivasi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : tanpa pemancaran sinar dan dengan
pemancaran sinar. Deaktivasi yang tanpa melalaui pemancaran sinar dapat berupa :
Hal ini terjadi akibat kelebihan energi vibrasi yang dimiliki akan segera dilepaskan
sebagai akibat tabrakan-tabrakan antara molekul-molekul tersebut dengan molekul-
molekul pelarut.
4
pengaruh pelarut, pengaruh pH, pengarh oksigen terlarut, pemadaman sendiri (self
quenching) dan penyerapan sendiri.
5
mempermudah pembentukan triplet sehinga kebolehjadian fluorosensi lebih kecil,
sedangkan kebolehjadian fosforesensi menjadi lebih besar
5. Pengaruh ph
pH berpengaruh pada letak keseimbangan antar bentuk terionisasi dan bentuk tak
terionisasi. Sifat fluorosensi dari kedua bentuk itu berbeda. Sebagai contoh, fenol
dalam suasana asam akan berada dalam bentuk molekul utuh dengan panjang
gelombang antara 285-365 nm dan nilai ε = 18 M-1 cm-1 , sementara jika dalam
suasana basa maka fenol akan terionisasi membentuk ion fenolat yang
mempunyai panjang gelombang antara 310-400 nm dan ε = 10 M-1 cm-1 .
6. Pengaruh oksigen terlarut
Adanya oksigen akan memperkecil intensitas fluoresensi. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya oksidasi senyawa karena pengaruh cahaya (fotochemically induced
oxidation). Pengurangan intensitas fluorosensi disebut pemadaman sendiri atau
quenching. Molekul oksigen bersifat paramagnetik, dan molekul yang bersifat seperti
ini dapat mempengaruhi dan mempermudah lintasan antara sistem sehingga
memperkecil kemungkinan fluorosensi, sebaliknya memperbesar kebolehjadian
fosforesensi.
7. Pemadaman sendiri dan penyerapan sendiri Pemadaman sendiri di sebabakan oleh
tabrakan-tabrakan antar molekul zat itu sendiri. Tabrakan-tabrakan itu menyebabkan
energi yang tadinya akan dilepaskan sebagai sinar fluorosensi ditransfer ke molekul
lain, akibatnya intensitas berkurang. Salah satu proses pemadaman sendiri dapat
ditulis sebagai berikut:
Molekul analit tereksitas + pemadaman menjadi molekul analit berkeadaan dasar +
pemadam+ energy
Supaya suatu molekul berfluoresensi, maka molekul tersebut harus menyerap radiasi.
Jika konsenrasi senyawa yang menyerap radiasi tersebut sangat tinggi, maka sinar yang
mengenai sampel akan diabsorbsi oleh lapisan pertama larutan dan hanya sedikit radiasi
yang diserap oleh bagian lain sampel pada jarak yang lebih jauh.oleh karena itu,
fluoresensi sampel yang berkonsentrasi tinggi ini tidak seragam dan tidakakan
proporsional dengan konsentrasi senyawa. Karena kejadian seperti ini tidak diinginkan
untuk tujuan analisis kuantitatif, maka konsentrasi larutan yang berfluoresensi harus
6
dijaga dalam konsentrasi rendah ntuk mencegah terjadinya penyerapan radiasi yang tidak
seragam ini.
7
2.5 Analisis Kuantitatif dengan Fluoresensi
Pada larutan dengan konsentrasi tinggi, sebagian besar cahaya diserap lapisan larutan
yang paling dulu kontak dengan radiasi eksitasi, sehingga fluoresensi hanya terjadi pada
bagian yang menyerap cahaya tersebut. Dengan demikian, pada analisis kuantitatif harus
didunakan larutan yang encer (serapan tidak lebih dari 0,02) supaya dapat memenuhi
persamaan fluoresensi:
F = 2,3IoQabc atau F = kc
Keterangan:
F = fluoresensi
k = konstan = 2,3Ioabc
Q = efisiensi fluoresensi
a = daya serap
b = tebal larutan
c = konsentrasi
Supaya suatu molekul berfluoresensi, maka molekul tersebut harus menyerap radiasi. Jika
konsentrasi senyawa yanng menyerap radiasi tersebut sangat tinggi, maka sinar yang mengenai
sampel akan diabsorbsi oleh lapisan pertama larutan dan hanya sedikit radiasi yang diserap oleh
oleh bagian lain sampel pada jarak yang lebih jauh. Karena hal ini tidak diinginkan, maka sampel
harus dibuat dalam konsentrasi rendah untuk mencegah terjadinya penyerapan radiasi yang tidak
seragam ini.
Prosedur analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan membuat kurva baku. Kurva baku
yang menyatakan hubungan antara intensitas fluoresensi dengan konsentrasi baku tertentu
disiapkan dengan larutan baku murni yang sudah diketahui konsentrasinya. Besarnya konsentrasi
dalam sampel dapat dihitung dengan memasukkan intensitas fluoresensi sampel ke dalam kurva
baku. Selain itu, prosedur analisis juga dapat dilakukan dengan membandingkan secara langsung
antara intensitas fluoresensi baku dengan intensitas fluorsensi sampel. Yang perlu diperhatikan
8
adalah bahwa kondisi analisis untuk baku dan sampel harus sama. Beberapa senyawa asing dapat
menurunkan nilai efektif karenanya juga menurunkan sensitifitas senyawa-senyawa yang ϕ
berfluoresensi. Penekanan / pengurangan intensitas fluoresensi ini disebut dengan pemadaman
(quencing).
Jika suatu senyawa tidak berfluoresensi secara intrinsik, maka senyawa tersebut harus
diubah menjadi senyawa yang berfluoresensi untuk dapat dianalisis. Salah satu cara yang dapat
digunakan untuk merubah senyawa menjadi berfluoresen adalah dengan metode induksi kimia
seperti radiasi dengan UV, hidrolisis, dan dengan dehidrasi menggunkan asam kuat. Metode lain
adalah dengan prosedur pengkoplingan atau penggabungan reaksi antara molekul obat dengan
reagen fluorometrik yang sesuai membentuk spesies berfluoresensi yang disebut dengan
fluorofor. Ada 3 keuntungan analisis fluorometri dan fosforimetri dibandingkan dengan
spektrofotometri absorbsi, yaitu : fluorometri lebih peka, fluorometri lebih selektif, dan pada
fluorometri gangguan spektral dapat dikurangi dengan cara merubah panjang gelombang eksitasi
atau emisi.
9
2.6 Molekul-molekul yang mampu Berfluoresensi
Supaya suatu molekul berfluoresensi, maka molekul tersebut harus menyerap radiasi. Jika
konsenrasi senyawa yang menyerap radiasi tersebut sangat tinggi, maka sinar yang mengenai
sampel akan diabsorbsi oleh lapisan pertama larutan dan hanya sedikit radiasi yang diserap oleh
bagian lain sampel pada jarak yang lebih jauh.oleh karena itu, fluoresensi sampel yang
berkonsentrasi tinggi ini tidak seragam dan tidakakan proporsional dengan konsentrasi senyawa.
Karena kejadian seperti ini tidak diinginkan untuk tujuan analisis kuantitatif, maka konsentrasi
larutan yang berfluoresensi harus dijaga dalam konsentrasi rendah ntuk mencegah terjadinya
penyerapan radiasi yang tidak seragam ini.
Sistem ikatan rangkap terkonjugasi memiliki struktur yang planar dan kaku sehingga
akan mampu menyerap secara kuat di daerah 200-800 nm pada radiasi elektromagnetik.
Senyawa-senyawa yang mempunyai ikan rangkap terkonjugasi ini merupakan calon senyawa
yang mampu berfluoresensi. Modifikasi struktur terhadap senyawa-senyawa ini dapat
menurunkan atau meningkatkan intensitas fluoresensi, tergantung pada sifat dan letak gugus
substituen.
10
Jika suatu senyawa tidak berfluoresensi secara intrinsik maka senyawa tersebut harus
diubah menjadi senyawa yang berfluoresen untuk dapat dianalisis. Salah satu pendekatan yang
telah sukses digunakan untuk merubah senyawa menjadi berfluoresen adalah dengan metode
induksi kimia seperti radiasi dengan UV, hidrolisis, dan dengan dehidrasi menggunakan asam
kuat. Metode lain adalah dengan prosedur pengkoplingan atau penggabungan reaksi antara
molekul obat dengan reagen fluorometrik yang sesuai membentuk spesies berfluoresensi yang
disebut dengan fluorofor. Reaksi yang meningkatkan intensitas fluoresensi juga meningkatkan
perpanjangan sistem elektron π atau kekakuan (rigiditas) molekul yang berarti juga
meningkatkan planaritas struktur. Prosedur-prosedur yang menghasilkan fluorofor juga dapat
memberikan peningkatan sensitifitas dan spesifisitas metode pengujian dengan menggeser
panjang gelombang eksitasi dan emisi ke panjang gelombang yang lebih panjang sehingga
gangguan-gangguan dari senyawa lain menjadi minimal atau hilang sama sekali.
Contoh obat yang tidak berfluoresensi yang dapat diukur secara fluorometri setelah
diubah menjadi fluorofor adalah difenilhidantoin dan metildopa. Fluorofor dibentuk secara
langsung setelah dioksidasi dengan kalium permanganat dalam suasana basa. Sampel plasma
yang mengandung obat difenilhidantoin dipanaskan pada lempeng panas padam suhu 2000C
selama 10 menit untuk membentuk senyawa berfluoresen benzofenon. Sample plasma yang telah
diperlakukan selanjutnya diekstraksi dengan heptan untuk memindahkan benzofenon, lalu
diekstraksi kembali dengan asam sulfat untuk selanjutnya diukur secara fluorometri pada
panjang gelombang eksitasi dan emisi masing-masing sebesar 355 nm dan 485 nm. Metildopa
dapat diubah menjadi fluorofor dengan cara oksidasi dan penataan ulang. Oksidasi dilakukan
dengan kalium ferisianida pada pH 6,5 selama 5 menit pada suhu kamar. Penataan ulang
dilakukan dengan penambahan larutan alkali dari asam ascorbat pada campuran reaksi dan
selanjutnya larutan dibiarkan pada suhu kamar selama 40 menit. Fluorofor yang terbentuk
merupakan dihidroksiindol tersubstitusi yang dapat diukur intensitas fluorosensinya masing-
masing pada panjang gelombang eksitasi 400 nm dan panjang gelombang emisi 510 nm.
Contoh lain obat-obat yang dapat diukur dengan cara mengubahnya menjadi fluorofor
dengan jalan diinduksi secara kimia sebagai berikut:
11
Senyawa Metode
Klorokuin Induksi fotokimia
Heroin Dipanaskan dengan asam kuat
Imipramin Direaksikan dengan formaldehid
dan asetil aseton
Isoniazid Direaksikan dengan salisil aldehid
lalu diikuti dengan reduksi
Klordiazepoksid Pembentukan laktam
Oksitetrasiklin Kompleksasi dengan Mg2+ dan
EDTA
Reserpin
Oksidasi
Metode kedua yang digunakan untuk menguah obat yang tdak berfluoresensi atau
metabolitnya menjadi senyawa yang berfluoresensi (fluorofor) adalah metode pengkoplingan
atau penggabungan gugus fungsional molekul organik tertentu dengan reagen fluoresen. diantara
reagen-reagen yang sangat popular yang tersedia di pasaran adalah fluoresamin, o-ftalaldehid,
dansil klorida dan NBD klorida. Kerugian metode pembentukan fluorofor dengan pengoplingan
adalah:
1. Spesifitasnya masih kalah bagus jika dibandingkan dengan metode induksi kimia,
2. Adanya fluoresensi dasar (background) yang tinggi yang disebabkan oleh reagen
yang tidak ikut bereaksi
3. Beberapa tahap pemisahan terhadap kelebihan reagen biasanya di perlukan sebelum
dilakukan pengukuran
4. Ketersedian reagen untuk gugus fungsional tertentu biasanya terbatas.
12
ditambahkan. Efek ini disebabkan oleh pengaruh pemadaman (quenching) ion-ion organik pada
emisi fluoresensi senyawa organik.
Metode fluorosensi dan fosforisensi digunakan secara luas untuk analisis obat baik alam
bentuk sediaan atau dalam sampel hayati. Hal ini terbukti dari banyaknya senyawa obat yang
ditetapkan dengan metode ini.
Tehnik ini mempunyai berbagai aplikasi dalam ilmu kesehatan, cabang forensik dan ilmu
lingkungan, selain pada analisis anorganik dan organik. Obat-obat seperti quinin, misalnya dapat
dianalisis sampai sejumlah nanogram. LSD yaitu asam lysergik dietil amida dapat dianalisis dari
sampel darah atau urin secara fluorometer. Panjang gelombang eksitasinya dan pendar fluornya
masing-masing 335 dan 435 nm. Metabolit tidak menggangu pengukuran. Demikian juga polusi
udara dari bahan-bahan karsinogen berupa berupa hidrocarbon aromatik bercincin aromatik
ganda seperti 3-4 benzopirena yang berasal dari pembakaran tidak sempurna bahan bakar
13
minyak, kendaraan serta pada peristiwa merokok dapat dianalisis secara fluorometer. Analisis
dilakukan pada panjang gelombang 545-548 nm dalam medium asam sulfat dengan panjang
gelombang eksitasi 520 nm dan panjang gelombang pendar-fluor pada 545 nm. Hasil yang
reprodusibel diperoleh pada -190OC. Satu batang rokok mengandung 10 mg benzopirena dan
dapat ditentukan dengan akurasi sampai konsentrasi sekitar nanogram.
Demikian juga analisis anorganik logam seperti Al, Be, Ca, Cd, Cu, Ga, Ge, Hg, Mg, Nb, Sb,
Se, Sn, Ta, Th, W, Zn dan Zr, dapat dilakukan secara fluorometer. Reagen-reagen seperti 8-
hidroksi kuinolin; 2,2’-dihidroksi azobenzen, dibenzoil metana, flavonol, bezoin, dan alizarin
dapat digunakan sebaai ligan pengompleks.
Banyak terdapat sumber radiasi. Lampu merkuri relatif stabil dan memancarkan
energi terutama pada panjang gelombang diskret. Lampu tungsten memberikan energi
kontinyu di daerah tampak. Lampu pancar xenon bertekanan tinggi seringkali digunakan
pada spektrofluorometer karena alat tersebut merupakan sebuah sumber dengan intensitas
tinggi yang menghasilkan energi kontinyu dengan intensitas tinggi dari ultraviolet sampai
inframerah. Pada filter fluorometer ( fluorimeter ) digunakan lampu uap raksa sebagai
sumber cahaya dan energi eksitasi diseleksi dengan filter. Pada spektrofluorimeter biasanya
14
digunakan lampu Xenon ( 150 W ) yang memancarkan spectrum kontinu dengan panjang
gelombang 200-800nm. Energi eksitasi diseleksi dengan monokromator eksitasi ( grating ).
Sel spesimen yang digunakan dalam pengukuran fluoresensi dapat berupa tabung
bulat atau sel empat persegi panjang (kuvet), sama seperti yang digunakan pada
spektrofotometri resapan, terkecuali keempat sisi vertikalnya dipoles. Ukuran spesimen uji
yang sesuai adalah 2 ml sampai 3 ml, tetapi beberapa instrumen dapat disesuaikan dengan
sel-sel kecil yang memuat 100 μl hingga 300 μl atau dengan pipa kapiler yang hanya
memerlukan jumlah spesimen yang kecil. Spektrofotometer harus dioperasikan sesuai dengan
petunjuk pabrik pembuat. Bila panjang gelombang untuk eksitasi di atas 320nm dapat
digunakan kuvet dari gelas, akan tetapi untuk eksitasi pada panjang gelombang yang lebih
pendek digunakan kuvet dari silika. Kuvet tidak boleh berfluoresensi dan tidak boleh tergores
karena dapat menghamburkan.
3. Detektor
4. Sepasang filter atau monokromator untuk menyeleksi panjang gelombang eksitasi dan
emisi.
Fluorometer
15
Filter pertama hanya meneruskan cahaya ultraviolet dari sumber cahaya yaitu radiasi
dengan panjang gelombang yang cocok untuk eksitasi specimen uji. Filter kedua
meloloskan hanya panjang gelombang yang sesuai dengan fluoresensi maksimum dari zat
yang diperiksa Persoalan yang dihadapi pada pemilihan filter yaitu panjang gelombang
yang lebih panjang yang diteruskan oleh filter pertama juga lolos pada daerah panjang
gelombang yang lebih pendek dari filter kedua, sehingga menghasilkan blangko yang
tinggi. Disamping itu sukar untuk mendapatkan filter dengan panjang gelombang yang
cocok dengan radiasi eksitasi karakteristik untuk sample. dan menahan setiap cahaya
eksitasi yang terhambur. Jenis filter kedua ini biasanya yang menahan panjang gelombang
pendek.
Spektrofluorimeter
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Fluororesensi berasal dari transisi antara tingkat-tingkat energi elektronik singlet
dalam suatu molekul. Sedangkan Fosforesensi berasal dari transisi antara tingkat-
tingkat energi elektronik triplet ke singlet dalam suatu molekul (biasanya didahului
oleh lintasan antar sistem).
2. jika suatu senyawa tidak berfluoresensi secara intrinsik maka senyawa tersebut harus
diubah menjadi senyawa yang berfluoresen untuk dapat dianalisis yaitu denngan cara
induksi kimia dan metode pengkoplingan.
3. Fosforisensi lebih disukai terjadi pada eksipasi elektron yang tidak berpasangan. Dan
juga, adanya substitusi pada struktur molekul dengan halogen, logam berat, dan
gugus-gugus nitro (terutama yang dekat dengan elektron yang tereksitasi) akan
meningkatkan fosforisensi
4. Metode fluorosensi dan fosforisensi digunakan secara luas untuk analisis obat baik
alam bentuk sediaan atau dalam sampel hayati.
5. Peralata pada fluorosensi dan fosforisensi dapat digolongkan menjadi dua kelompok
yaitu fluorometer penyaringan dan spektrofluorometer.
3.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap pada para pembaca
untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis. Semoga makalah
ini berguna bagi penulis khususnya juga para pembaca.
17
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia edisi IV, 1061, 1062, 1069, Departemen Kesehatan
Indonesia, Jakarta
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia edisi III, 775,776, Departemen Kesehatan Indonesia,
Jakarta
Gandjar, I.B. & Abdul R., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Fatimah, I. 2003 Analisis Fenol Dalam Sampel Air Menggunakan Spektrofotometri Derivatif.
Logika, Vol. 9(10). Jakarta.
Hendayana, S. Kadarohman, A. Sumarna, A. dan Supriatna, A. 1994 . Kimia Analitik Instrumen,
edisi ke-1. IKIP Press. Semarang.
18