Anda di halaman 1dari 73

SPEKTROFLUOROMETRI

Pendahuluan
All other forms of light emission
Luminescence :
1. Chemoluminescence
2. Radioluminescence
3. Photoluminescence:
a. Fluorescence
b. Phosporescence

Fotoluminesensi
Merupakan peristiwa dimana suatu
senyawa obat atau senyawa kimia
dapat dieksitasikan oleh radiasi
elektromagnetik
dan
kemudian
memancarkan kembali sinar yang
panjang gelombangnya sama atau
berbeda dengan panjang gelombang
semula (panjang gelombang eksitasi)

Yang termasuk fotoluminesensi:


1. Fluoresensi
Pemancaran kembali sinar oleh molekul obat
yang telah menyerap energi sinar terjadi
dalam waktu yang sangat singkat setelah
penyerapan (10-8 detik).
Fluoresensi merupakan proses perpindahan
tingkat energi dari keadaan atom tereksitasi
(S1 atau S2) menuju ke keadaan stabil
(ground states)

2. Fosforesensi

Terjadinya pemancaran kembali


sinar oleh molekul yang telah
menyerap energi sinar dalam
waktu yang relatif lebih lama
(10-4
detik).
Jika penyinaran
dihentikan, pemancaran kembali
masih dapat berlangsung.

Fosforisensi berasal dari transisi


antara
tingkat-tingkat
energi
elektronik triplet ke singlet dalam
suatu molekul (biasanya didahului
oleh lintasan antar sistem)

Tingkat energi molekuler terkait dengan


peristiwa Fluoresensi dan Fosforesensi

Keadaan elektron dalam keadaan dasar,


tereksitasi singlet dan tereksitasi triplet

Excited Electronic States:


Each electron has unique set of quantum numbers
(Pauli Exclusion Principle)
n principal (1s, 3p... )
l angular momentum (l=0=s, l=1=p... )
s spin
m magnetic
Any two electrons in same orbital (n, l, m) must have
different spins
s = + or -

Molekul yang berada dalam keadaan


ground state atau dalam keadaan
dasar mempunyai elektron yang
berpasangan dimana elektron ini
menempati
orbital
yang
sama
dengan
spin
elektron
yang
berlawanan arah. Keadaan elektron
ini disebut dengan elektron singlet
(So).

Dengan adanya penyerapan energi


akan
dapat
menyebabkan
dipromosikannya satu elektron ke
tingkat energi yang lebih tinggi.
Terjadinya hal ini biasanya dengan
spin yang masih berlawanan arah.
Elektron yang dipromosikan ini
berada dalam keadaan tereksitasi
singlet (S1).

Keadaan atom yang tereksitasi akan


kembali keadaan semula dengan
melepaskan energi yang berupa
cahaya (de-eksitasi) dengan beberapa
cara yaitu:
1. Fluoresensi resonansi merupakan
proses yang singkat dimana energi
dapat diemisikan kembali pada
panjang gelombang yang sama
dengan panjang gelombang yang
digunakan untuk absorbsi.

2. Fluoresensi terjadi bila keadaan


tereksitasi dapat mengalami konversi
atau perubahan internal (kedalam)
dengan hilangnya energi vibrasional
untuk mencapai keadaan singlet
dengan energi yang lebih rendah
(S2). Kejadian ini selanjutnya dapat
mengemisikan energi pada panjang
gelombang yang lebih panjang untuk
kembali ke keadaan dasar (So).

3. Fosforesensi terjadi bila relaksasi


vibrasional dapat diikuti dengan
perlintasan antar sistem ke keadaan
tereksitasi triplet (T1) yang mana
spin-spin elektron tidak berpasangan.
Hal ini menyebabkan radiasi pada
panjang gelombang yang lebih
panjang. Proses terjadinya
fosforesensi jauh lebih lambat untuk
kembali ke keadaan dasar

Hubungan antara Intensitas


fluoresensi dan konsentrasi
Intensitas fluoresensi dapat dijelaskan dari hukum
Lambert-Beer :
Absortivitas dan Absortivitas Molar
Absorbansi berbanding langsung dengan tebal
larutan dan konsentrasi larutan (hukum Beer), yaitu :
A=abc
dimana:
A = absorbansi
a = konstanta disebut absortivitas
b = tebal larutan
c = konsentrasi larutan

Jika konsentrasi c dinyatakan dalam


mol/liter (Molar) dan tebal larutan
dalam cm maka absortivitas disebut
absortivitas molar (), sehingga

A=bc

Rumus ini dapat dijelaskan sebagai


berikut : Radiasi dengan intensitas Io
yang dilewatkan bahan setebal b
berisi sejumlah n partikel (atom, ion
atau molekul) akan mengakibatkan
intensitas berkurang menjadi It

Io > It
I - dI
X
Io

It

Y
db
b

Berkurangnya intensitas radiasi tergantung dari luas penampang (S)


yang menyerap partikel, dimana luas penampang ini sebanding
dengan jumlah partikel (n). Sehingga:

dI dS

I
S

S n

sehingga

dS dn

Bila diintegralkan
It

It
Ln
Io

dI
k .dn

I
S
Io
0

k .n

S

as penampang S dapat dinyatakan dalam volume V dan


tebalan b :

V
cm 2
b

It
Ln
Io

sehingga :

k .n.b
V

atau

Io
Ln
It

k .n.b
V

menunjukkan banyaknya partikel/cm3, jadi besaran ini dapat


nversi ke dalam konsentrasi dalam mol/l, yaitu :

n partikel
1000 cm 3 / l
c
x
23
6.02 x10 partikel / mol
V cm 3
1000n
mol / l
c
23
6.02 x10 V

atau

23
6
.
02
x
10
C
n
V
1000

Sehingga:
Io
Ln
It

Jadi

23

6.02 x10 .c.k .b


1000

Io
Log
It

.b.c

atau

atau

Io
Log
It

6.02 x10 23.c.k .b



2.303x1000

A .b.c

Intensitas fluoresensi (F) sebanding dengan


banyaknya sinar yang diserap oleh molekul
analit.
F = (Io It)
Io-It merupakan banyaknya sinar yang diserap
merupakan efisiensi kuantum atau hasil
kali kuantum ( fraksi atau bagian molekulmolekul tereksitasi yang berelaksasi ke
keadaan dasar melalui fluoresensi. spesifik
seperti absorptivitas.

semakin tinggi maka semakin


tinggi intensitas fluoresensi yang
teramati dari suatu molekul. Molekul
yang tidak berfluoresensi
mempunyai = 0, sehingga
intensitas fluoresensi setara dengan :
F = Io (1-e-abc)

Dari persamaan diatas dapat dilihat bahwa


intensitas fluoresensi terkait dengan:
1. konsentrasi analit
2. efisiensi kuantum
3. intensitas sumber sinar radiasi yang
mengenai molekul sampel
4. absorptivitas analit
merupakan sifat suatu molekul (spesifik)
sebagaimana nilai absorptivitas ()

Absorptivitas suatu senyawa


berkaitan dengan intensitas
fluoresensinya. Molekul seperti
hidrokarbon jenuh yang tidak
menyerap sinar uv-vis tidak akan
berfluoresensi dan sebaliknya
senyawa yang berfluoresensi akan
menyerap sinar uv-vis. Hal ini
disebabkan karena peristiwa
fluoresensi selalu didahului oleh

Variabel-variabel yang mempengaruhi


fluoresensi dan fosforesensi :
1. Hasil kuantum (efisiensi
kuantum/quantum yield)
Efisiensi kuantum merupakan
bilangan yang menyatakan
perbandingan antara jumlah
molekul yang berfluoresensi
terhadap jumlah total molekul yang
tereksitasi.
Besarnya efisiensi kuantum ()
adalah 01

Nilai yang diharapkan adalah mendekati 1,


yang berarti efisiensi fluoresensi sangat tinggi.
Peristiwa fluoresensi lebih banyak terjadi pada
senyawa-senyawa yang tingkat energi elektron
tereksitasi * daripada senyawa-senyawa
dengan tingkat elektron tereksitasi n *
Efisiensi kuantum * lebih besar daripada n
*, hal ini disebabkan oleh :

a. Absorptivitas molar
Absorptivitas molar * lebih besar
100-1000 kali dari pada n*
Absorptivitas molar merupakan
ukuran kebolehjadian adanya
transisi, baik dari tingkat energi
yang rendah ke tingkat energi yang
lebih tinggi atau sebaliknya. Dengan
demikian kebolehjadian transisi
* lebih besar dibandingkan
transisi n*

b. Umur hidup (life time)


Umur hidup (life time) keadaan
tereksitasi * lebih pendek (109
detik) daripada n* (10-7detik),
karenanya tetapan laju fluoresensi
transisi * lebih besar daripada
n* sehingga efisiensi kuantum
menjadi lebih tinggi

c. Tetapan laju lintasan antar sistem


Tetapan laju lintasan antar sistem transisi
* lebih kecil daripada n*. Hal ini
disebabkan energi antara singlet-singlet
pada transisi * jauh lebih besar daripada
n* sehingga untuk membalikkan arah spin
juga diperlukan energi yang besar pada
n*, dengan demikian nilai konstanta
lintasan antar sistem transisi * menjadi
kecil, akibatnya nilai menjadi lebih besar
(efisiensi kuantumnya tinggi)

2. Pengaruh kekakuan struktur


Fluoresensi dapat terjadi dengan baik jika
molekul-molekul memiliki struktur yang kaku
(rigid)
Contoh: fluoren dan bifenil berbeda pada
adanya gugus metilen yang menghubungkan
dua gugus fenil (pada fluoren) sehingga
fluoren memiliki efisiensi kuantum yang
besar mendekati 1 dibandingkan dengan
bifenil dengan efisiensi kuantum yang lebih
kecil (sekitar 0,2).

3. Pengaruh suhu
Efisiensi kuantum semakin berkurang jika
suhu tinggi hal ini disebabkan karena pada
suhu lebih tinggi tabrakan antar molekul atau
tabrakan dengan molekul pelarut menjadi
lebih sering dimana pada peristiwa tabrakan
molekul kelebihan energi molekul yang
tereksitasi dilepaskan ke molekul pelarut.
Sehingga semakin tingga suhu maka
terjadinya konversi ke luar akan besar
mengakibatkan efisiensi fluoresensi
berkurang.

4. Pengaruh pelarut
Ada dua hal yang perlu diperhatikan
terhadap pengaruh pelarut pada
fluoresensi:
a. Intensitas fluoresensi makin besar jika
pelarut makin polar. Semakin polar
pelarut akan menurunkan energi proses
transisi * sehingga energi transisi ini
lebih kecil dibandingkan energi transisi
n* akibatnya intensitas fluoresensi
semakin besar.

b. Jika pelarut mengandung atomatom yang berat (Br, I, dll) contoh :


CBr4, C2H5I, maka interaksi antara
gerakan spin dengan gerakan orbital
elektron-elektron ikatan lebih banyak
terjadi sehingga akan memperbesar
laju lintasan antar sistem atau
mempermudah pembentukan triplet
dan kebolehjadian fluoresensi lebih
kecil serta kebolehjadian fosforesensi

5. Pengaruh pH
pH berpengaruh pada letak keseimbangan antara
bentuk terionisasi dan bentuk tak terionisasi.
Sifat fluoresensi dari kedua bentuk itu berbeda.
Contoh:
a. Fenol dalam suasana asam akan berada dalam
bentuk molekul utuh dengan antara 285-365
nm, =18 M-1cm-1. Dalam suasana basa fenol
akan terionisasi membentuk ion fenolat dengan
antara 310-400 nm, =10 M-1cm-1

b. Anilin yang bersifat basa lemah


dalam larutan basa berada dalam
bentuk molekul utuh dan dalam
larutan asam mengalami protonasi
sehingga tidak memiliki ausokrom.

6. Pengaruh oksigen terlarut


Intensitas fluoresensi akan diperkecil jika ada
gas oksigen. Ini terjadi karena adanya proses
oksidasi yang timbul yang disebabkan oleh
pengaruh cahaya (fotochemically induced
oxidation). Pengurangan intensitas fluoresensi
disebut pemadaman sendiri (quenching).
Molekul oksigen bersifat paramagnetik yang
dapat mempengaruhi dan mempermudah
lintasan antar sistem sehingga kecil
kemungkinan fluoresensi dan besar
kebolehjadian fosforesensi.

7. Pemadaman sendiri (self


quenching) dan penyerapan sendiri
Pemadaman sendiri disebabkan oleh
tabrakan-tabrakan antar molekul zat itu
sendiri. Tabrakan menyebabkan energi
yang tadinya akan dilepaskan sebagai
sinar fluoresensi ditransfer ke molekul
lain, akibatnya intensitas berkurang. Ini
berarti bahwa adanya pemadaman akan
menginduksi de-eksitasi dari suatu
moleku analit yang tereksitasi sehingga
tidak ada sinar yang diemisikan.

Contoh: Oksigen sebagai pemadam


senyawa poliaromatis hidrokarbon
aromatis. Untuk itu sebelum analisis
oksigen harus dihilangkan.
Penyerapan sendiri terjadi jika
panjang gelombang fluoresensi
tumpang tindih dengan puncak
serapan senyawa yang
bersangkutan. Akibatnya intensitas
fluoresensi berkurang pada waktu

Contoh molekul-molekul yang mampu


berfluoresensi
1. Adrenalin dan noradrenalin (berfluoresensi
20 kali dibandingkan adrenalin)
2. Kinin
3. Etinilestradiol
4. Adanya gugus-gugus hidroksil, amino dan
metoksi yang terikat secara langsung pada
sistem ikatan memfasilitasi fluoresensi
karena gugus ini sebagai donatur elektron
(electron donating groups)

Senyawa-senyawa yang berfluoresensi


1. Senyawa berfluoresensi
intrinsik/natif
Senyawa yang secara alami mampu
berfluoresensi. Contoh: Asam
salisilat dalam pelarut air pada pH
10, Piridoksin HCl dalam pelarut
etanol
2. Senyawa yang berfluoresensi
setelah direaksikan dengan reagen
tertentu. Contoh: metildopa dan

Senyawa yang berfluoresensi setelah direaksikan


dengan reagen tertentu bisa dengan cara:

1. Metode induksi kimia dengan cara: radiasi


menggunakan sinar UV, hidrolisis dan
dengan dehidrasi menggunakan asam
kuat. Contoh: klorokuin, reserpin.
2. Metode pengkoplingan atau penggabungan
reaksi antara molekul obat dengan reagen
fluorometrik yang sesuai membentuk
spesies berfluoresensi (fluorofor). Contoh:
reaksi asam amino dengan dansil klorida

Kerugian metoda pembentukan


fluorofor dengan pengkoplingan:
1. Spesifisitasnya masih kalah bagus jika
dibandingkan dengan metoda induksi kimia
2. Adanya floresensi dasar (background) yang
tinggi yang disebabkan oleh reagen yang
tidak ikut bereaksi
3. Beberapa tahap pemisahan terhadap
kelebihan reagen biasanya diperlukan
sebelum dilakukan pengukuran
4. Ketersediaan reagen untuk gugus
fungsional tertentu biasanya terbatas

Hubungan struktur molekul dengan


fosforesensi
Fosforesensi disukai terjadi pada :
1. Eksitasi elektron yang tidak
berpasangan (non bonding electrone,
n)
2. Adanya substitusi pada struktur
molekul dengan halogen, logam berat,
dan gugus-gugus nitro (terutama yang
dekat dengan elektron yang tereksitasi)
akan meningkatkan fosforesensi.

Gugus fungsi tersebut dapat


mendorong transisi elektron dari
keadaan tereksitasi singlet
kekeadaan tereksitasi triplet (syarat
terjadi fosforesensi)

Spektrofluoromet
er

Komponen-Komponen
Spektrofluorometer

Spektrofotometer

Dari gambar dapat dilihat bahwa


komponen spektrofluorometer
hampir sama dengan komponen
spektrofotometer. Ada perbedaan
antara keduanya yakni
Spektrofluorometer memiliki dua
monokromator dimana salah satu
digunakan untuk panjang gelombang
eksitasi dan yang lainnya digunakan
untuk panjang gelombang emisi.

Perbedaan spektrofluorimetri dengan


spektrofotometri
1. Kepekaan analisis pada
spektrofluorimetri dapat dipertinggi
dengan menaikkan intensitas
sumber cahaya
2. Analisis spektrofluorimetri lebih
selektifdan lebih sensitif

Keuntungan dari analisis fluoresensi


Kepekaan yang baik karena :
1. Intensitas dapat diperbesar dengan
menggunakan sumber eksitasi yang
tepat
2. Detektor yang digunakan seperti
tabung pergandaan foto sangat
peka
3. Pengukuran energi emisi lebih tepat
daripada energi terabsorbsi
4. Dapat mengukur sampai kadar 10-4-

Measuring equipment
All fluorescence instruments contain
five basic
items:
1) Source of light
2) Excitation filter
3) Sample holder
4) Emission filter
5) Detector

Source of light
Two types of light sources:
1) wide spectrum (tungsten halogen
lamp)
2) series of discrete lines (mercury
lamp)

Excitation- and emission filter


1.The simplest filter fluorimeters use
fixed filters to isolate both the
excited and emitted wavelengths.
2.More
sophisticated
fluorescence
spectro
meteres
use
monochromators to select both the
excitation and emission wavelengths.
3.Hence both emission and excitation
spectra can be recorded.

Detectors
1.All
commercial
fluorescence
instruments
use
photomultiplier
tubes as detectors and a wide variety
of types are available.
2.The material from which the
photocathode is made determines
the
spectral
range
of
the
photomultiplier and generally two
tubes are required to cover the
complete UV-visible range.

Sample and sample holder

1.The majority of fluorescence assays


are carried out in solution.
2.The final measurement being made
upon the
sample contained in a
cuvette

Information obatained from


measurements
1.Concetration (at low concentrations
the
fluorescence
intensity
is
proportional to the concentration of
the fluorophore)
2.Emission and excitation spectra
3.pH (some fluorphores are sensitive
to pH variations)

Preparasi sediaan obat multikomponen


untuk analisis kuantitatif dengan
spektrofluorometri

1. Sampel tablet yang akan dianalisis


harus
representatif
untuk
menghindari resiko adanya hasil
analisis yang keluar dari spesifikasi
yang ditentukan. Contoh : Menurut
Farmakope, untuk analisis tablet
parasetamol
dibutuhkan
sampel
sebanyak 20 tablet parasetamol 500
mg

2. Sediaan cair : dapat dilakukan


pengukuran secara langsung, atau
diencerkan atau dipekatkan terlebih
dahulu dengan pelarut organik
3. Sediaan steril (injeksi) : dapat
dilakukan pengukuran secara
langsung

4. Sediaan semi padat Isolasi obat dalam


salep harus ditunjukkan pada dasar
salepnya :
a. Salep lemak bulu domba alkohol,
biasanya dilarutkan dalamkloroform atau
eter
b. Salep hidrofil, dilarutkan dalam
kloroform atau eter
c. Salep lanolin, dilarutkan dalam
kloroform atau eter
d. Salep Polietilen glikol, dilarutkan dalam

Pada prinsipnya, semua pengukuran


dengan menggunakan instrumen
spektroskopi, maka syarat pertama
adalah harus larut dalam larutan
pembawa yang digunakan
Meskipun sediaan itu merupakan sediaan
obat multikomponen, maka dengan
instrumen spektroskopi maupun
kromatografi dapat membedakan masingmasing komponen tersebut, berdasarkan
nilai panjang gelombang maupun nilai
Rfyang berbeda-beda antar komponen

Analisa Kuantitatif
Pada larutan dengan konsentrasi
tinggi,sebagian besar cahaya diserap
lapisan larutan yang paling dulu
kontak dengan radiasi eksitasi,
sehingga fluoresensi hanya terjadi
pada bagian yang menyerap cahaya
tersebut. Dengan demikian, pada
analisis kuantitatif harus digunakan
larutan yang encer (serapan tidak
lebih dari 0,02) supaya dapat

F = 2,3Ioabc atau F = kc
Keterangan:
F = fluoresensi
k = konstanta = 2,3Ioabc
Io = intensitas sumber cahaya
= efisiensi fluoresensi
a = daya serap
b = tebal larutan
c = konsentrasi

Tahapan analisis
1.Mula-mula dibuat kurva kalibrasi (grafik
hubungan fluoresensi dengan konsentrasi).
2. Mengukur intensitas fluoresensi dari zat
yang diperiksa, lalu membaca konsentrasi
dari kurva kalibrasi tersebut. Selama
pengukuran, kondisi percobaan harus dijaga
supaya tetap konstan. Pengotoran dapat
menurunkan efisiensidari fluoresensi
sehingga mengurangi sensifitas (quenching).

3. Analisa campuran dilakukan dengan


memilih radiasi eksitasi
padapanjang gelombang yang
berbeda dimana masing-masing
komponen campuran tersebut. Bila
tidak mungkin, pengukuran dilakukan
padapanjang gelombang yang
berbeda dimana masing-masing
komponen campuran tersebut
berfluoresensi

Hal-hal yang diperhatikan dalam


analisa kuantitatif:
1. Konsentrasi
Perlu larutan yang 10-100 kali lebih
encer daripada analisa
spektrofotometri.
2. Radiasi eksitasi
Memerlukan cahaya monokromatik.
Untuk eksitasi cahaya
monokromatik sangat esensial,
karena intensitas berubah-ubah
sesuai dengan panjang gelombang.

3. Metoda iluminasi
a.right angle method : mengukur
fluoresensi yang tegak lurus radiasi
eksitasi. Cara ini lebih umum dipakai
karena alat yang dibuat untuk cara
ini lebih ekonomis dan memberikan
nilai blangko yang lebih kecil untuk
cahaya terhamburdan fluoresensi
dari dinding kuvet.

b. frontal-method : mengukur
fluoresensi pada sudut beberapa
derajat dari arah radiasi eksitasi.
Cara ini dipakai untuk larutan yang
kurang transparan (opaque), larutan
pekat atau zat padat, kromatrografi
kertas atau KLT

4. pH. pH mempengaruhi
keseimbangan bentuk molekul dan
ionik
5. Oksigen terlarut. Adanya oksigen
terlarut dalam larutan cuplikan
menyebabkan intensitas fluoresensi
berkurang sebab Oksigen terlarut
oleh pengaruh cahaya dapat
mengoksidasi senyawa yang
diperiksa

6. Fotodekomposisi. Diperlukan sumber


cahaya dengan intensitas tinggi sehingga
penguraian zat yang diperiksa lebih besar.
7. Suhu dan kekentalan. Perubahan suhu
dan kekentalan menyebabkan perubahan
frekuensi banturan molekul-molekul.
8. Kekakuan struktur(structural rigidity)
Struktur yang rigid (kaku) mempunyai
intensitas yang tinggi

Contoh spektrum
spektrofluorometri

Spektrofluorometri untuk mengukur


kadar Kinin Sulfat
1. Disiapkan larutan standard kinin yaitu 0.1,
0.15, 0.2, 0.25, 0.3 ppm dengan pengenceran
dari larutan stok dengan 0,1 N H2SO4
2. Larutan kinin sulfat 1 g/ml dimasukkan
kedalam kuvet, kemudian ditempatkan
kedalam ruang pengukuran pada
spektrofluorometer.
3. Besar intensitas fluororesensi maksimum
untuk monokromator eksitasi dari literatur
dimasukkan pada alatspektrofluorometer.

4. Besar intensitas fluororesensi


maksimum monokromator emisi dari
literatur dimasukkan pada alat
spektrofluorometer.
5. Dilakukan pengukuran intensitas
fluororesensi (pada monokromator
eksitasi) untuk blanko (asam sulfat
0,1 N).
6. Dilakukan pengukuran intensitas
fluororesensi (pada monokromato
reksitasi) untuk masing-masing
larutan yang diencerkan.
7. Dilakukan pengukuran intensitas

SEKIAN
Semoga Bermanfaat
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai