Anda di halaman 1dari 15

Prinsip KLT adalah adsorbsi dan partisi dimana adsorbsi adalah penyerapan pada pemukaan,

sedangkan partisi adalah penyebaran atau kemampuan suatu zat yang ada dalam larutan untuk
berpisah kedalam pelarut yang digunakan. Kecepatan gerak senyawa-senyawa ke atas pada
lempengan tergantung pada (Soebagil,2002):

Soebagio., 2002, Kimia Analitik, Universitas Negeri Makassar Fakultas MIPA, Makassar.

c. Pereaksi Semprot H2SO4 10%

Prinsip penampakan noda pereaksi semprot H2SO4 10% adalah berdasarkan kemampuan asam
sulfat yang bersifat reduktor dalam merusak gugus kromofor dari zat aktif simplisia sehingga panjang
gelombangnya akan bergeser ke arah yang lebih panjang (UV menjadi VIS) sehingga noda menjadi
tampak oleh mata.

lasan digunakan larutan H2SO4 ialah karena sifatnya yang asam sehingga dapat digunakan untuk
menampakkan noda yang tidak tampak, H2SO4 memiliki sifat mengoksidasi sehingga jika noda yang
tidak tampak pada lampu UV maka akan tampak pada penyemprotan H2SO4, ini terjadi karena
struktur dari komponen kimianya dipecah (gugus kromofornya dirusak) sehingga ikatan berubah
serta menyebabkan panjang gelombangnya berubah. Kerugian menggunakan penyemprotan
H2SO4 yakni dapat merusak senyawa kimia atau gugus kromofor pada sampel.

Gugus Kromofor
Menurut Adam Wiryawan, kromofor adalah suatu gugus fungsi, tidak terhubung dengan
gugus lain, yang menampakkan spektrum absorpsi karakteristik pada daerah sinar UV-sinar
tampak (>200 nm). Ada 3 jenis kromofor sederhana, yaitu :
 Ikatan ganda antara 2 atom yang tidak memiliki pasangan elektron bebas.
Contoh : C=C
 Ikatan ganda antara 2 atom yang memiliki pasangan elektron bebas
Contoh : C=O
 Cincin Benzena
Jika beberapa kromofor berhubungan maka absorpsi menjadi lebih kuat dan berpindah ke
panjang gelombang yang lebih panjang.
Contoh kromofor tunggal, antara lain : asetilen, aldehid, azo, karbonil, sulfoksida, benzena,
etilen, dan lain-lain.
Dalam suatu molekul dapat dikandung beberapa kromofor. Jika kromofor dipisahkan
satu sama lain paling sedikit oleh 2 atom karbon jenuh, maka tidak ada kemungkinan adanya
konjugasi antara gugus kromofor.

Kromofor merupakan senyawa organik yang memiliki ikatan rangkap yang terkonjugasi.
Suatu ikatan rangkap yang terisolasi seperti dalam etilen mengabsorpsi pada 165 nm, yaitu di
luar daerah ukur yang lazim dari spektroskopi elektron. Dua ikatan rangkap terkonjugasi
memberikan suatu kromofor seperti dalam butadien akan mengabsorpsi pada 217 nm.
Panjang gelombang maksimum absorpsi dan koefisien ekstingsi molar akan bertambah
dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap terkonjugasi lainnya. Juga pada vitamin A-
alkohol (retinol) dan β-karoten merupakan polien dengan 1 kromofor yang terdiri dari 5 atau
11 ikatan rangkap terkonjugasi.
Gugus AuksoKrom
Gugus auksokrom mengandung pasangan elektron bebas yang disebabkan oleh
terjadinya mesomeri kromofor. Yang termasuk dalam gugus auksokrom ini adalah substituen
seperti –OH, -NH2, -NHR dan –NR2. Gugus ini akan memperlebar sistem kromofor dan
menggeser maksimum absorpsi kearah panjang gelombang yang lebih panjang. Gugus
auksokrom tidak menyerap pada panjang gelombang 200-800 nm, namun mempengaruhi
spektrum kromofor dimana auksokrom tersebut terikat.

,215: https://goo.gl/efW8Ef

Pada spektrofotometri UV-Vis ada beberapa istilah yang digunakan terkait dengan molekul, yaitu
kromofor, auksokrom, efek batokromik atau pergeseran merah, efek hipokromik atau pergeseran
biru, hipsokromik, dan hipokromik. Kromofor adalah molekul atau bagian molekul yang
mengabsorbsi sinar dengan kuat di daerah UV-Vis, misalnya heksana, aseton, asetilen, benzena,
karbonil, karbondioksida, karbonmonooksida, gas nitrogen. Auksokrom adalah gugus fungsi yang
mengandung pasangan elektron bebas berikatan kovalen tunggal, yang terikat pada kromofor yang
mengintensifkan absorbsi sinar UV-Vis pada kromofor tersebut, baik panjang gelombang maupun
intensitasnya, misalnya gugus hidroksi, amina, halida, alkoksi.
Beberapa istilah penting :
 Kromofor; merupakan gugus tak jenuh (pada ikatan
kovalen) yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
absorbsi elektronik (misalnya C=C, C=O, dan NO
2
).
 Auksokrom; merupakan gugus jenuh dengan adanya
elektron bebas (tidak terikat), dimana jika gugus ini
bergabung dengan kromofor, akan mempengaruhi panjang
gelombang dan intensitas absorban.
 Pergeseran Batokromik; merupakan pergeseran absorban
ke daerah panjang gelombang yang lebih panjang karena
adanya substitusi atau efek pelarut.
 Pergeseran Hipsokromik; merupakan pergeseran absorban
ke daerah panjang gelombang yang lebih pendek karena
adanya substitusi atau efek pelarut.
 Efek Hiperkromik; merupakan peningkatan intensitas
absorban.
 Efek Hipokromik; merupakan penurunan intensitas
absorban.
Penggunaan UV untuk analisis senyawa organik (penentuan struktur senyawa
organik) terdapat beberapa istilah yang biasa digunakan yaitu:

1) Kromofor. Kromofor berasal dari bahasa latin yang artinya “chromophorus”


yang berarti pembawa warna. Pada mulanya pengertian kromofor digunakan untuk
sistem yang menyebabkan terjadinya warna pada suatu senyawa. Kemudian
diperluas menjadi suatu gugus fungsi yang mengabsorbsi radiasi elektromagnetik,
termasuk yang tidak memberikan warna. Jadi kromofor adalah gugus fungsi yang
menyerap atau mengabsorbsi radiasi elektromagnetik di daerah panjang gelombang
ultraviolet dan daerah cahaya tampak. Contoh kromofor: C=O, C=C, N=N dan
NO2.
2) Auksokrom (Auxochrom = auxiliary chromophores), yakni gugus yang
berpengaruh (namun sedikit) terhadap absorpsi UV, tetapi berdampak cukup
signifikan pada absorbansinya (lmaks dan e ). Contoh gugus auksokrom adalah : –
OH, –OR, dan –NHR. Secara umum gugus-gugus auksokrom dicirikan oleh
adanya pasangan elektron bebas yang terdapat pada gugus yang bersangkutan.

3) Geseran batokromat atau geseran batokromik (Bathochromic shift) atau


geseran merah, yakni geseran atau perubahan lmaks ke arah yang lebih
besar. Penyebab terjadinya peristiwa ini adalah adanya perubahan struktur,
misalnya adanya auksokrom atau adanya pergantian pelarut.
4) Geseran hipsokromat (Hypsochromic shift) atau pergeseran hipokromik atau
pergeseran biru, yakni geseran atau perubahan lmaks ke arah yang lebih kecil.
Munculnya gejala ini juga sering disebabkan oleh adanya penghilangan auksokrom
atau oleh adanya pergantian pelarut.

1. Sebutkan contoh gugus kromofor dan auksokrom !


 Gugus kromofor : sikloalkana, benzene, asetilen, etilen
 Gugus auksokrom : nitrat, halogen, oksigen, hidroksil, metoksil
(mega,yunita,virga)

Pada praktikum kali ini ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan L.) dielusi pada cairan pengelusi
toluen:etil asetat perbandingan (1:3)sebagai eluen polar dan toluen:etil asetat dengan perbandingan
(1:1)sebagai eluen non polar dengan penambahan asam formiat pada masing-masing eluen. Tujuan
penambahan asam formiat untuk memisahkansenyawa-senyawa yang terikat kuat satu sama lain
sehingga dapatmenghindari penampakan noda yang berekor. Selain itu digunakanpenampakan sinar
UV 254 nm sehingga noda dapat memberikanfluoresensi pada sinar tampak, dimana umumnya
mengandung guguskromofer. Kemudian setelah noda tampak lalu dilanjutkan penyemprotan H2SO4
10% dimana merupakan noda yang mengandung gugus ausokrom.

Keuntungan menggunakan UV ialah karena sinar UV tidak merusak senyawa yang dideteksi, sehingga
hasil kromatografi dapat kembali digunakan.
Sedangkan untuk cara kimia, yaitu dengan mereaksikan bercak menggunakan asam sulfat pekat
melalui cara penyemprotan lalu dipanaskan dengan tujuan untuk mengoksidasi solut-solut organik
yang tampak sebagai bercak hitam kecoklatan. Adanya warna hitam kecoklatan itu menunjukkan
adanya senyawa organik pada sampel. Asam sulfat bersifar membakar. Hal ini dimaksudkan untuk
mendeteksi senyawa karbon. Hal ini dibuktikan dengan munculnya warna coklat kehitaman. H2SO4
memutuskan ikatan rangkap, sehingga yang terlihat adalah karbonnya.

Pada percobaan ini, adsorbens yang digunakan adalah aseton-HCl. Hal inilah yang menjadi salah satu
penyebab sampai tidak munculnya warna noda pada KLT dalam percobaan ini. Sedangkan faktor
penyebab lainnya disebut dengan faktor yang mempengaruhi nilai Rf pada KLT seperti kualitas
adsorben, ketebalan lapisan, kejenuhan ruang kromatografi, tehnik pengembangan (elusi), suhu, dan
kualitas pelarut. Fase gerak adalah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua
pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal.
Pada percobaan kali ini digunakan campuran aseton-HCl. Digunakan HCl karena HCl dapat mengikat
zat sampel dan membawanya menuju garis akhir plat dengan bantuan aseton yang merupakan zat
organic yang mudah menguap.

Berdasarkan kepolaran pelarut, pelarut dibagi ke dalam tiga kategori yaitu:


1. Pelarut Protik Polar
Protik menunjukkan atom hidrogen yang menyerang atom elektronegatif yang
dalam hal ini adalah oksigen. Dengan kata lain pelarut protik polar adalah senyawa
yang memiliki rumus umum ROH. Contoh dari pelarut protik polar ini adalah air
H2O, metanol (CH3OH), dan asam asetat (CH3COOH).
2. Pelarut Aprotik Polar
Aprotik menunjukkan molekul yang tidak mengandung ikatan O-H. Pelarut dalam
kategori ini, semuanya memiliki ikatan yang memiliki ikatan dipol besar. Biasanya
ikatannya merupakan ikatan ganda antara karbon dengan oksigen atau nitorgen.
Contoh dari pelarut yang termasuk kategori ini adalah aseton [(CH3)2C=O] dan etil
asetat (CH3CO2CH2CH3).
3. Pelarut Non-polar
Pelarut nonpolar merupakan senyawa yang memilki konstanta dielektrik yang
rendah dan tidak larut dalam air. Contoh pelarut dari kategori ini adalah benzena
(C6H6), karbon tetraklorida (CCl4) dan dietil eter (CH3CH2OCH2CH3).
Tabel sifat-sifat pelarut umum
Titik Konstanta Massa
Pelarut Rumus kimia didih Dielektrik jenis

Pelarut Non-Polar

CH3-CH2-CH2- 0.655
Heksana CH2-CH2-CH3 69 °C 2.0 g/ml
0.879
Benzena C6H6 80 °C 2.3 g/ml

0.867
Toluena C6H5-CH3 111 °C 2.4 g/ml

CH3CH2-O-CH2- 0.713
Dietil eter CH3 35 °C 4.3 g/ml

1.498
Kloroform CHCl3 61 °C 4.8 g/ml

CH3-C(=O)-O- 0.894
Etil asetat CH2-CH3 77 °C 6.0 g/ml

Pelarut Polar Protik

/-CH2-CH2-O-CH2- 1.033
1,4-Dioksana CH2-O-\ 101 °C 2.3 g/ml

/-CH2-CH2-O-CH2- 0.886
Tetrahidrofuran(THF) CH2-\ 66 °C 7.5 g/ml

1.326
Diklorometana(DCM) CH2Cl2 40 °C 9.1 g/ml

0.786
Asetona CH3-C(=O)-CH3 56 °C 21 g/ml

0.786
Asetonitril (MeCN) CH3-C≡N 82 °C 37 g/ml

0.944
Dimetilformamida(DMF) H-C(=O)N(CH3)2 153 °C 38 g/ml

Dimetil 1.092
sulfoksida(DMSO) CH3-S(=O)-CH3 189 °C 47 g/ml

Pelarut Polar Protik


1.049
Asam asetat CH3-C(=O)OH 118 °C 6.2 g/ml

CH3-CH2-CH2- 0.810
n-Butanol CH2-OH 118 °C 18 g/ml

CH3-CH(-OH)- 0.785
Isopropanol (IPA) CH3 82 °C 18 g/ml

0.803
n-Propanol CH3-CH2-CH2-OH 97 °C 20 g/ml

0.789
Etanol CH3-CH2-OH 79 °C 30 g/ml

0.791
Metanol CH3-OH 65 °C 33 g/ml

1.21
Asam format H-C(=O)OH 100 °C 58 g/ml

1.000
Air H-O-H 100 °C 80 g/ml

Selain memilih fase diam (TLC plate), memilih eluen pengembang kromatografi
lapis tipis (KLT) juga merupakan faktor yang berpengaruh besar, karena hanya
beberapa kasus solvent pengembang yang hanya terdiri dari satu komponen saja.
Pada umumnya campuran larutan pengembang KLT (solvent system) bisa sampai
enam komponen dengan perbandingan tertentu.
Campuran larutan/eluen pengembang KLT ini berfungsi untuk :

1. melarutkan campuran bahan


2. mengangkut bahan untuk dipisahkan pada lapisan fase diam (sorben)
3. memberikan nilai hRf senyawa yang terpisah
4. memberikan selektivitas yang memadai untuk campuran bahan untuk
dipisahkan.
Adapun syarat eluen KLT (mobile phase) antara lain :

 kemurnian yang memadai


 stabilitas yang memadai
 viskositas rendah
 partisi/pemisahan linier
 tekanan uap sedang
 daya toksik yang serendah mungkin

Dalam pelaksanaannya, yang paling sulit dilakukan adalah bagaimana memilih


solvent system/fase gerak yang cocok agar komponen senyawa terpisah baik. Cara
memilih fase gerak KLT bisa dilakukan sendiri dengan orientasi dari beberapa
komponen pelarut dan perbandingan. Namun demikian untuk mendapat hasil yang
memuaskan juga butuh waktu lama. Optimasi fase gerak KLT ini bisa juga sesuai
mengambil dari literatur. Apabila dari literatur belum cocok pemisahan
senyawanya, bisa dirubah rasio/perbandingan solvennya. Namun terkadang juga
dari literature masih menuliskan sistem pelarut pengembang yang sangat beracun
atau karsinogenik, misalnya benzene. Jika menggunakan komponen pengembang
seperti ini perlu diperhatikan alat safety bagi pengguna.
Seri buku eluotropic memperkenalkan pengganti benzena yang bisa diganti toluene
yang sesuai dengan kekuatan elusi dan koefisien kecepatannya.

Tips praktis memilih eluen pengembang KLT adalah mencari dari literatur. Apabila
tidak ditemukan fase gerak yang cocok, bisa mencoba mulai dari solvent tunggal
yang mempunyai kekuatan elusi menengah. Biasanya sebagai fase diam dicoba dulu
menggunakan silica gel 60, sebelum dilanjutkan pengujian lain atau perubahan.
Saran saya, jangan terlalu yakin eluen dari referensi sebelum anda mencobanya
sendiri.
Berikut ini adalah data relatif kemampuan kecepatan pengembangan pelarut
(Eluotropic series) :

No. Solvent mm2/detik


1. n-Heptane 11,4
2. n-Hexane 14,6
3. n-Pentane 13,9
4. Cyclohexane 6,7
5. Toluene 11,0
6. Chloroform 11,6
7. Dichloromethane 13,2
8. Diisopropyl ether 13,2
9. tert-Butanol 1,1
10. Diethyl ether 15,3
11. Acetonitrile 15,4
12. Isobutanol 1,6
13. Isobutyl methyl ketone 9,1
14. 2-Propanol 2,5
15. Ethyl acetate 12,1
16. 1-Propanol 2,9
17. Ethylmethyl ketone 13,9
18. Acetone 16,2
19. Ethanol 4,2
20. 1,4-Dioxan 6,5
21. Tetrahydrofuran 12,6
22. Methanol 7,1
23. Pyridine 8,0

Dalam kromatografi, eluent adalah fase gerak yang berperan penting pada proses
elusi bagi larutan umpan ( feed ) untuk melewati fase diam ( adsorbent ). Interaksi antara
adsorbent dengan eluent sangat menentukan terjadinya pemisahan komponen.Eluent dapat
digolongkan menurut ukuran kekuatan teradsorpsinya pelarut atau campuran pelarut tersebut pada
adsorben dan dalam hal ini yang banyak digunakan adalah jenis adsorben alumina atau sebuah
lapis tipis silika. Penggolongan ini dikenal sebagai dereteluotropik pelarut. Suatu pelarut yang
bersifat larutan relatif polar, dapat mengusir pelarutyang relatif tak polar dari ikatannya dengan
alumina (gel silika).Kecepatan gerak senyawa-senyawa ke atas pada lempengan tergantung pada:
Bagaimana kelarutan senyawa dalam pelarut , Hal ini bergantung pada bagaimana besaratraksi
antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut.

gaimana kelarutan senyawa dalam pelarut, hal ini bergantung pada bagaimana besar atraksi antara
molekul-molekul senyawa dengan pelarut. Bagaimana senyawa melekat pada fase diam, misalnya
gel silika. Hal ini tergantung pada bagaimana besar atraksi antara senyawa dengan gel silika.
Kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis yang dilapisi dengan adsorben seperti silika gel,
aluminium oksida (alumina) maupun selulosa. Adsorben tersebut berperan sebagai fasa diam Fasa
gerak yang digunakan dalam KLT sering disebut dengan eluen. Pemilihan eluen didasarkan pada
polaritas senyawa dan biasanya merupakan campuran beberapa cairan yang berbeda polaritas,
sehingga didapatkan perbandingan tertentu. Eluen KLT dipilih dengan cara trial and error. Kepolaran
eluen sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh (Gandjar,2007).

Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman., 2007,Kimia Farmasi Analisis, pustaka pelajar, yogyakarta
Selain fasa diam, dalam KLT juga diperlukan fasa gerak/eluent yang berperan penting pada proses
elusi bagi larutan umpan (feed) untuk melewati fasa diam (adsorbent). Interaksi
antara adsorbent dengan eluent sangat menentukan terjadinya pemisahan komponen. Oleh sebab
itu pemisahan komponen secara kromatografi dipengaruhi oleh laju alir eluent dan jumlah
umpan. Eluent dapat digolongkan menurut ukuran kekuatan teradsorpsinya pelarut atau campuran
pelarut tersebut pada adsorben dan dalam hal ini yang banyak digunakan adalah jenis adsorben
alumina atau sebuah lapis tipis silika. Suatu pelarut yang bersifat larutan relatif polar, dapat
mengusir pelarut yang tak polar dari ikatannya dengan alumina (gel silika). Semakin dekat kepolaran
antara senyawa dengan eluen maka senyawa akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. Hal ini
berdasarkan prinsip “like dissolved like” (Watson, 2010).

Watson, DG. 2010. Analisis Farmasi. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Adapun mekanisme dan prinsip penampakan noda pada pegujian


Kromatigrafi yaitu :
a. Pada UV 254 nm
Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan
tampak berwarna gelap.Penampakan noda pada lampu UV 254 nm adalah
karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator fluoresensi
yang terdapat pada lempeng. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan
emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang
tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi
kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi.

Penampakan noda pada UV 254 nm


b. Pada UV 366 nm
Pada UV 366 nm noda akan berflouresensi dan lempeng akan
berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah karena
adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat
oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi cahaya yang
tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut
ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi
yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan
energi. Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 terlihat terang
karena silika gel yang digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366
nm.

c. Pereaksi Semprot H2SO4 10%


Prinsip penampakan noda pereaksi semprot H2SO4 10% adalah
berdasarkan kemampuan asam sulfat yang bersifat reduktor dalam merusak
gugus kromofor dari zat aktif simplisia sehingga panjang gelombangnya akan
bergeser ke arah yang lebih panjang (UV menjadi VIS) sehingga noda
menjadi tampak oleh mata.
Pemilihan sinar UV yang digunakan yaitu UV 254 nm dan UV 366 nm,

karena kedua UV ini telah mampu mewakili kedua jenis UV dekat. Dimana UV

panjang diwakili oleh UV 366 nm dan UV pendek diwakili oleh 254 nm.

Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan

tampak berwarna gelap.Penampakan noda pada lampu UV 254 nm adalah karena

adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator fluoresensi yang terdapat

pada lempeng. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang

dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat

energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan

semula sambil melepaskan energi

Pada UV 366 nm noda akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna

gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya

interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang

ada pada noda tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya

yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari

tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke

keadaan semula sambil melepaskan energi. Sehingga noda yang tampak pada

lampu UV 366 terlihat terang karena silika gel yang digunakan tidak berfluororesensi

pada sinar UV 366 nm

Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm disebabkan karena

adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh

ausokrom yang terdapat pada noda tersebut. Gugus kromofor adalah gugus atom

yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan

rangkap tak jenuh (terkonyugasi). Sedangkan gugus terkonyugasi adalah struktur

molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh lebih dari satu yang berada berselang-
seling dengan ikatan tunggal. Flouresensi warna yang tampak tersebut merupakan

emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang

tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi tinggi. Perbedaan energi emisi

yang dipancarkan pada saat kembali ke energi dasar inilah yang menyebabkan

perbedaan flouresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda. Penampakan noda

setelah lempeng disemprot dengan H2SO4 10% disebabkan karena H2SO4 ini

bersifat reduktor yang dapat memutuskan ikatan rangkap sehingga panjang

gelombangnya bertambah dan warna noda dapat dilihat pada cahaya tampak.

Mekanisme penampakan noda ini dapat disebabkan juga karena gugus OH

yang dimiliki H2SO4 sehingga berfungsi sebagai ausokrom, dimana ausokrom ini

dapat menyebabkan pergeseran batokromik yaitu pergeseran ke arah panjang

gelombang yang lebih panjang sedangkan pergeseran hipsokromik ke arah panjang

gelombang yang lebih pendek (ke arah UV hampa). Konsentrasi H2SO4 yang

digunakan adalah 10% karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka dapat

merusak lempeng namun jika konsentrasinya terlalu rendah maka kemampuan

pemutusan ikatannya tidak maksimal. Proses pemanasan pada pemanas listrik

dimaksudkan untuk membantu proses pemutusan ikatan pada H2SO4. Sinar UV

yang digunakan adalah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm karena

berdasarkan literatur, bahwa banyak senyawa organik yang dapat berflouresensi jika

disinari UV 254 nm. Pada lampu UV 254 nm noda yang tampak berwarna gelap

(ungu) karena yang berflouresensi adalah lempengnya yang mengandung indikator

sedangkan sampelnya tidak. Pada lampu UV 366 nm warna noda yang tampak

adalah terang atau tampak jelas karena lempengnya tidak berflouresensi tetapi

sampelnya.
Gugus ausokrom adalah gugus yang dapat meningkatkan intensitas pita

absorbsi kromofor jika kerikatan dengan gugus kromofor akibat pemutusan ikatan

rangkap, menyebabkan pergeseran panjang gelombang ke daerah ultra violet dekat

(190-380).

Gugus kromofor adalah gugusan atom yang dapat menyerap radiasi

elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak jenuh (terkonyugasi).

Gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh

bila dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan tunggal.

Digunakan UV 254 karena UV 254 ini dianggap mewakili pendek (190-280)

dan digunakan UV 366 karena UV 366 ini dianggap mewakili panjang (280-380).
Prinsip penampakan noda
Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan
tampak berwarna gelap.Penampakan noda pada lampu UV 254 nm adalah karena
adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator fluoresensi yang terdapat
pada lempeng. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang
dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat
energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan
semula sambil melepaskan energi. Pada UV 366 nmPada UV 366 nm noda akan
berflouresensi dan lempeng akan berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu
UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus
kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi
cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen
tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi
yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi.
Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 terlihat terang karena silika gel
yang digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366 nm. Beberapa Sistem
Pemisahan dengan KLT dari Bahan Alam (Gibbons, 2006).

Gibbons, S., 2006, An Intoduction to Planar Chromatography,


Humana Press, Totowa New Jersey.

Anda mungkin juga menyukai