Anda di halaman 1dari 13

KONSEP KEPERAWATAN KRITIS

ASPEK PSIKOSOSIAL DAN END OF LIFE DARI KEPERAWATAN KRITIS

DISUSUN OLEH :

1. NURMIATI 70300117002
2. KHAERATUNNAFISAH 70300117005
3. ISMAWATI 70300117006
4. GITA LESTARI AMIN 70300117015
5. NURUL FADHILAH IHZAN 70300117027
6. SLAMET RUDIYANTO 70300117030

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2020/2021
TINJAUAN PUSTAKA

A. Aspek psikososial
Psikososial istilah digunakan untuk menekankan hubungan yang erat antara aspek
psikologis dari pengalaman manusia dan pengalaman sosial yang lebih luas . efek
psikologis adalah mereka yang mempengaruhi berbagai tingkat fungsi termasuk kognitif
(persepsi dan memori sebagai dasar untuk pengalaman dan pembelajaran),
afektif (Emosi) , dan perilaku. Dampak sosial keprihatinan hubungan, keluarga
dan jaringan komunitas, tradisi budaya dan status ekonomi, termasuk tugas-tugas
kehidupan seperti sebagai sekolah atau bekerja. (ARC Resourch Pack. 2010)
Penggunaan psikososial jangka didasarkan pada gagasan bahwa kombinasi faktor
yang bertanggung jawab atas kesejahteraan psikososial orang, dan bahwa aspek-aspek
biologis, emosional, spiritual, budaya, sosial, mental dan material dari pengalaman tidak
bisa tentu akan dipisahkan satu sama lain. Istilah mengarahkan perhatian
terhadap totalitas pengalaman orang daripada berfokus secara eksklusif pada fisik
atau aspek psikologis kesehatan dan kesejahteraan, dan menekankan perlunya untuk
melihat ini masalah dalam konteks interpersonal yang lebih luas keluarga dan masyarakat
jaringan di mana mereka berada. (ARC Resourch Pack. 2010)
Kedua unsur ini saling berhubungan dalam konteks keadaan darurat yang
kompleks dimana penyediaan dukungan psikososial merupakan bagian dari bantuan
kemanusiaan dan upaya pemulihan awal. Salah satu fondasi kesejahteraan psikososial
adalah akses ke kebutuhan dasar (makanan, tempat tinggal, mata pencaharian, kesehatan,
pelayanan pendidikan) bersama-sama dengan rasa aman yang berasal dari hidup di
lingkungan yang aman dan mendukung. Itu manfaat dari intervensi dukungan psikososial
harus menghasilkan dampak positif pada kesejahteraan anak-anak, dan mengatasi
kebutuhan psikologis dasar kompetensi dan keterkaitan. . (ARC Resourch Pack. 2010)
Definisi psikososial kunci psikososial : Hubungan dinamis yang ada antara
psikologis dan sosial efek, masing-masing terus berinteraksi dengan dan mempengaruhi
yang lain. Psikososial perencanaan pemulihan : perencanaan pemulihan psikososial
difokuskan pada intervensi sosial dan psikologis yang akan membantu memulihkan
komunitas (Johal,2012)
Ketika merawat pasien kritis perawat dituntut untuk secara seimbang memenuhi
kebutuhan fisik dan emosional dirinya maupun pasien dan keluarganya. Untuk mencapai
keseimbangan ini perawat harus mempunyai pengetahuan tentang bagaimana
keperawatan kritis yang dialami mempengaruhi kesehatan psikososial pasien, keluarga
dan petugas kesehatan Dalam keperawatan, keadaan sehat dan sakit jiwa merupakan
suatu rentang yang dinamis dari kehidupan seseorang. Keadaaan penyakit kritis sangat
besar pengaruhnya terhadap kedinamisan dari rentang sehar sakit jiwa karena dalam
keadaan mengalami penyakit kritis, seseorang mengalami stress yang berat dimana
pasien mengalami kehilangan kesehatan, kehilangan kemandirian, kehilangan rasa
nyaman dan rasa sakit akibat penyakit yang dideritanya. Semua keadaan tersebut bisa
memperburuk status kesehatan mereka. Sebagai seorang perawat kritis, perawat harus
mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan pasien termasuk masalah psikososialnya.
Perawat tidak boleh hanya berfokus pada masalah fisik yang dialami pasien. Kegagalan
dalam mengatasi masalah psikososial pasien bisa berdampak pada semakin
memburuknya keadaan pasien karena pasien mungkin akan mengalami kecemasan yang
semakin berat dan menolak pengobatan.

a. ICU as a stressfull envirotmnet


Menurut Kep MenKes RI Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU), yang dimaksud
dengan ICU adalah sebagai berikut: suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri
atau sebuah instalasi di bawah direktur pelayanan yang mempunyai perlengkapan
dan staf yang khusus yang di tujukan untuk observasi, perawatan dan terapi
pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang
mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa Peralatan yang digukana di
ruangan ICU sangat komplek dan canggih. Secara garis besar alat - alat dalam
ruangan ICU terdiri dari dua kelompok yaitu alat-alat pemantau (monitor)
seperti: ECG, EEG, monitor tekanan intravaskuler dan intrakranial, komputer
cardiac output, oksimeter nadi, monitor faal paru, bedside dan monitor sentral,
analiser karbondioksida, fungsi serebral/monitor, monitor temperatur, analisa
kimia darah, analisa gas dan elektrolit, radiologi (X-ray viewers, portable X-ray
machine, Image intensifier), alat-alat respirasi (ventilator, humidifiers, terapi
oksigen, alat intubasi (airway control equipment), dan alat-alat pembantu
termasuk alat bantu nafas (ventilator, humidifiers, terapi oksigen, alat intubasi
(airway control equipment), resusitator otomatik), hemodialisa dan berbagai alat
lainnya termasuk defebrilator.
Ruang ICU sudah ada sejak tahun 1950 yang pada awalnya ruangan ini
dirancang untuk merawat pasien dengan kondisi yang tidak stabil. Akan tetapi
dengan meningkatnya kebutuhan akan peralatan dan ruangan yang dibutuhkan
oleh pasien – pasien yang dirawat di ruangan tersebut, maka ruangan ICU
menjadi semakin komplek yang menyebabkan ruangan ini penuh stress
(Jastremski, 2000) Peralatan yang begitu beragam dan kompleks ditambah
dengan ketergantungan pasien yang sangat tinggi terhadap perawat dan dokter,
dimana setiap perubahan yang terjadi pada pasien harus di analisa secara cermat
untuk mendapat tindakan yang tepat dan cepat, menyebabkan adanya
keterbatasan ruang gerak pelayanan termasuk kunjungan keluarga. Pembatasan
kunjungan keluarga ini juga sebenarnya dilematis. Disatu sisi kunjungan keluarga
sangat dibutuhkan oleh pasien sebagai dukungan emosional, disisi lain kunjungan
keluarga bisa mempengaruhi pekerjaan perawat dan dokter yang harus bekerja
secara serius menangani pasiennya. Hingga saat ini sudah banyak yang
membicarakan bahwa ruang ICU merupakan tempat atau ruangan yang penuh
stres (stressful place) tidak hanya bagi pasien yang dirawat tetapi juga bagi
keluarga dan perawat ICU berkaitan dengan berbagai macam prosedur yang
dilakukan di ruang ICU, peralatan yang ada di ruang ICU, keadaan penyakit,
suasana lingkungan di ICU dan kecemasan akan ancaman kematian (Jastremski,
2000).
Sebuah penelitian tentang persepsi pasien dan perawat tentang stressor di
ICU yang dilakukan oleh Cornock (1998) di Amerika serikat dengan
menggunakan sample 71 perawat dan 71 pasien dengan menggunakan the ICU
Environmental Stressor Scale menemukan bahwa baik perawat maupun pasien
mempersepsikan ruang ICU sebagai ruangan yang stressfull (penuh stres).
Beberapa faktor lingkungan ICU yang menjadi stressor menurut pasien adalah
adanya slang dihidung dan dimulut, tempat tidur yang tidak nyaman,
keterbatasan gerak karena banyaknya alat yang dipasang di tubuh mereka, sulit
tidur, tidak mampu berkomunikasi, mendengar pembicaraan orang (perawat dan
dokter), kurangnya kunjungan, lampu yang terang dan hidup terus menerus,
kebisingan yang tidak familiar dan tidak biasa didengarnya. Disamping hal – hal
diatas, perawat menambahkan beberapa stressor seperti alarm dari monitor,
mesin - mesin yang canggih dan asing, ada laki laki dan perempuan dalam satu
ruangan, dan tidak ada privacy. Cornock (1998) menyimpukan perlu dipikirkan
bagaimana mengatasi lingkungan ICU yang tidak bersahabat tersebut. Penelitian
lain oleh Simpson, Lee dan Cameron (1996) di Amerika dengan 102 pasien pasca
operasi jantung yang masuk ICU, tentang persepsinya terhadap faktor - faktor
yang menyebabakan mereka sulit tidur menemukan bahwa nyeri dan kesulitan
mendapatkan rasa nyaman sebagai faktor utama yang menyebabkan mereka tidak
bisa tidur. Faktor lain termasuk tidak bisa melakukan ritual sebelum tidur, suara
bising, lampu yang terang, alarm, ada orang yang bicara di malam hari, dan suara
intercom. Sebuah penelitian di Norwegia yang mereview beberapa penelitian
kualitatif tentang menemukan 3 tema besar antara lain: pasien yang dirawat di
ruang ICU mengalami stress yang berkaitan dengan tubuh mereka, dengan
ruangan ICU serta relationship dengan orang lain. Stres yang berkaitan dengan
tubuh antara lain reaksi stres tubuh, menurunnya kontrol terhadap diri sendiri,
reaksi emosi berkaitan dengan prosedur tindakan, dan loss of meaning
(kehilangan makna hidup). Stres yang berkaitang dengan ruangan antara lain
berkaitan dengan situasi dan kondisi yang terjadi di ruangan ICU dan yang
berkaitan dengan relationship yaitu perpisahan dengan orang yang penting dalam
hidupnya Penelitian lain oleh Dyson (1996) dan Dyson (1999) menemukan
bahwa pasien yang dirawat di ICU mengalami ICU psychosis dengan gejala
fatigue, distractibility, confusion (bingung), disorientasi, kesadaran berkabut,
inkoheren, cemas, halusinasi dan delusi. Keadaan ICU psychosis ini disebabkan
oleh ketidak mampuan perawat melakukan komunikasi yang efektif dengan
pasien dan kesulitan perawat dalam membangun hubungan yang therapeutik
dengan pasiennya, sehingga menyebabkan kecemasan bagi pasien, menigkatkan
ketakutannya sampai mengalami psikosa. Lingkungan yang asing merubah
persepsi lingkungan pasien. Kesalahan persepsi ini mencetuskan misinterpretasi
terhadap lingkungan yang menimbulkan kecemasan, paranoid dan bingung yang
merupakan ciri dari psikosa. Konsep interdisiplin juga berdampak pada pasien
dan ini juga bisa menjadi stressor tersendiri bagi pasien. Banyaknya tenaga
profesi yang keluar masuk dan melakukan pengkajian atau intervensi dan
seringnya mereka mendiskusikan tentang penyakit pasien bisa menyebabkan
stress bagi pasien yang sedang dirawat. Pasien mungkin akan merasa cemas,
semakin takut dan bahkan merasa putus asa terhadap penyakitnya
Hal lain yang merupakan stressor bagi pasien yang dirawat di ICU adalah
kurangnya kontak dengan keluarga mereka padahal mereka sangat membutuhkan
kehadiran keluarganya dalam keadaan mereka yang kritis seperti itu (Davis-
Martin,1994). Keluarga membutuhkan informasi tentang perkembangan pasien.
Pada umumnya ICU masih membatasi kunjungan keluarga

b. Caring pada pasien kritis


1) Perawat harus mengatasi dulu masalahnya sendiri
Sebelum mampu mengatasi stress pada pasien yang dirawat,
seorang perawat ICU harus mampu mengatasi stressnya sendiri. Perawat
yang bertugas di ruang ICU mempunyai stress yang lebih tinggi daripada
perawat yang bertugas di ruangan lain. Menurut hasil penelitian pakar
ICU dari Texas Amerika Serikat, Barr dan Bush (1998), ada 4 faktor yang
dapat mendukung perawat untuk mengatasi stressnya. Pertama adalah
dukungan dari teman, atasan dan keluarga. Seorang perawat ICU akan
merasa berarti kalau mendapatkan pujian dari temannya atau atasannya.
Pujian - pujian kecil setiap hari bisa menyemangati teman atau kolega.
Seperti misalnya “wah, kamu melakukannya dengan baik hari ini”. Atau
“tadi kamu berkomunikasi dengan baik dengan keluarga”. Dengan saling
mendukung tentunya sesama perawat ICU akan merasa tidak sungkan
untuk saling meminta dan menerima advice (Barr & Bush,1998). Kedua
adalah adanya perawat yang menjadi model. Seorang perawat senior tentu
bisa menjadi model bagi perawat lainnya. Seorang role model mempunyai
sikap yang baik terhadap pekerjaannya dan pasiennya. Mereka biasanya
mempunyai sikap kind, emphatic and thoughtful tentang pasien dan orang
lain disekitarnya. Ketika dia punya masalah dia tidak memperlihatkannya
kepada temanya dan juga pasiennya Ketiga adalah melihat perkembangan
pasien yang positif dan interaksi yang positif dengan pasien dan keluarga.
Seorang perawat mengatakan bahwa sebaiknya keluarga lebih sering
berkunjung sehingga kita lebih bisa memahami kebutuhan pasien.
Mengizinkan seorang istri untuk melakukan perawatan mulut bagi
suaminya merupakan suatu contoh bagaimana caranya melibatkan
keluarga dalam merawat pasien dan memberikan waktu mereka untuk
bersama yang membuat mereka merasa spesial. Mengizinkan keluarga
untuk menyentuh pasien dan bicara singkat dengan pasien. Menjelaskan
keadaan pasien, prosedur dan peraturan rumah sakit kepada keluarga.
Keempat adalah perawat ICU harus mendapatkan saleri yang pantas
sesuai dengan tanggung jawabnya. Jika penghasilannya kecil maka
performance mereka menjadi menurun.
2) Upaya untuk mengatasi masalah psikososial pasien kritis Setelah perawat
mampu mengatasi stressnya sendiri, baru dia bisa berupaya mengatasi
stress pasien dan keluarga. Berikut adalah beberapa tindakan yang bisa
dilakukan oleh perawat untuk menurunkan stress pada pasien di ruang
ICU.
c. Modifikasi lingkungan Pertama adalah merubah lingkungan ICU. Lingkungan
ICU sebaiknya senantiasa dimodifikasi supaya lebih fleksibel walaupun
menggunakan banyak sekali peralatan dengan teknologi canggih, serta
meningkatkan lingkungan yang lebih mendukung kepada proses recovery
(penyembuhan pasien) (Jastremski, 2000). Konsep pelayanan yang berfokus pada
pasien memungkinkan untuk mempromosikan the universal room. Ketersediaan
alat yang portable dan lebih kecil meningkatkan keinginan untuk mendekatkan
pelayanan pada pasien daripada pasien yg datang ke tempat pelayanan.
Kemungkinan untuk membuat work statiun kecil (decentralization of nursing
activities) untuk tiap pasien akan mengurangi stress bagi pasien (Jastremski,
2000). Peralatan yang super canggih seperti remote monitoring untuk semua
pasien melalui monitor pada semua tempat tidur pasien yang bisa dimonitor
lewat TV. Jadi perawat bisa memonitor pasien Bed 1 walau sedang berada dekat
pasien Bed 2 (Jastremski, 2000). Disamping menggunakan tekhnologi canggih
seperti diatas untuk efisiensi dan efektifitas pelayanan kepada pasien, lingkungan
yang menyembuhkan (healing environtment) juga perlu diciptakan. Fleksibilitas
dari lingkungan tempat tidur (bedside environtment) bisa dimaksimalkan ketika
semua lingkungan yang terkontrol disedikan di ruangan pasien. Thermostats,
light switches, sound systems, window blinds dan lain2 harus bisa dikontrol
secara terpisah untuk setiap pasien (Jastremski, 2000). Pengontrollen level suara
(noise) dan promoting normal sleep penting sebagai pengaturan fluid intake.
1) Terapi musik Disamping modifikasi lingkungan seperti diuraikan diatas,
cara lain untuk menurunkan stress pada pasien yang dirawat di ICU
adalah terapi musik. Tujuan therapy musik adalah menurunkan stress,
nyeri, kecemasan dan isolasi. Beberapa penelitian telah meneliti efek
musik pada physiology pasien yang sedang dirawat dan menemukan
bahwa terapi musik dapat menurunkan heart rate, komplikasi jantung dan
meningkatkan suhu ferifer pada pasien AMI. Juga ditemukan bahwa
terapi musik dapat menurunkan stress pasien (Jastremski, 2000; Harvey,
1998; White, 1999). Musik yang digunakan bisa berupa suara air, suara
hujan, suara angin atau suara alam (Jastremski,1998). Masing - masing
pasien diberikan headset untuk mendengarkannya. Pengurangan cahaya di
malam hari juga akan mengurangi stressor bagi pasien.
2) Melibatkan kelurga dan memfasilitasi keluarga dalam perawatan pasien
kritis Lingkunga ICU harus mampu mengakomodasi kebutuhan pasien
dan keluarganya (Jastremski, 2000). Pasien tentunya sangat
mengharapkan dukungan emosional dari keluarganya (Olsen, Dysvik &
Hansen, 2009) karenanya jam besuk harus lebih fleksibel. Selama ini jam
bezuk hanya 2 kali sehari. Hal ini perlu dimodifikasi terutama untuk
seseorang yang sangat berarti bagi pasien. Disamping itu keluarga perlu
diberikan ruangan tunggu yang nyaman dengan fasilitas kamar mandi, TV
dan internet connection
3) Komunikasi terapeutik Perawat dan tenaga kesehatan lainnya sering lupa
atau kurang perhatian terhadap masalah komunikasinya dengan pasien
dan keluarganya. Berdasarkan sistematic review yang dilakukan oleh
Lenore & Ogle (1999) terhadap penelitian tentang komunikasi perawat
pasien di ruang ICU di Australia menemukan bahwa komunikasi perawat
di ruang ICU masih sangat kurang meskipun mereka mempunyai
pengetahuan yang sangat tinggi tentang komunikasi terapeutik. Hal ini
juga dialami oleh teman dekat penulis ketika anaknya di rawat di ICU.
Dia merasa perawat ICU di rumah sakit K tersebut sangat ttdak
mempertimbangkan perasaan dia dan pasien ketika berkomunikasi.
Sangat tidak supportive dan cenderung apathy. Penelitian lain oleh
McCabe (2002) di Ireland dengan pendekatan phenomenology juga
menunjukkan hal yang sama. Akan tetapi, perawat bisa melakukan
komunikasi yang baik dan efektif dengan pasien ketika perawat
menggunakan pendekatan person-centered care.
4) Person-centred care adalah istilah yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan untuk menggambarkan pendekatan pilosofis untuk a particular
mode of care (model tertentu dalam keperawatan). Konsep utama dari
person-centred care adalah sebuah komitmen untuk menemukan
kebutuhan pelayanan keperawatan individu dalam konteks pengalaman
sakit, kepercayaan pribadi, budaya, situasi keluarga, gaya hidup dan
kemampuan untuk memahami apa yang sedang dirasakan oleh pasien.
Pendekatan ini membutuhkan perawat untuk pindah dari sekedar hanya
memenuhi kebutuhan kesehatan pasien kepada kemampuan untuk
memahami dan responsif terhadap the inner world of the individual –
their personal world of experiences and what this means to them
(Hasnain, et al., 2011; Clift, 2012).

B. End of life dari keperawatan kritis


End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan
kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo,2016). End of life care
adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orangyang berada di bulan atau tahun
terakhir kehidupan mereka (NHS Choice,2015). End of life akan membantu pasien
meninggal dengan bermartabat.Pasien yang berada dalam fase tersebut biasanya
menginginkan perawatanyang maksimal dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien
tersebut.
End of life merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif yang
diperuntukkan bagi pasien yang mendekati akhir kehidupan. End of life care bertujuan
untuk membantu orang hidup dengan sebaik- baiknya dan meninggal dengan bermartabat
(Curie, 2014). End of life care adalah salah satu kegiatan membantu memberikan
dukungan psikososial danspiritual (Putranto, 2015). Jadi dapat disimpulkan bahwa End of
life care merupakan salah satu tindakan keperawatan yang difokuskan pada orang yang
telah berada di akhir hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk membuat orang hidup
dengan sebaik-baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal dengan bermartabat.
C. Prinsip-prinsip End of Life
Menurut NSW Health Prinsip End Of Life antara lain :
1. Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian
Tujuan utama dari perawatan adalah menpertahankan kehidupan,namun ketika
hidup tidak dapat dipertahankan, tugas perawatan adalah untuk memberikan
kenyamanan dan martabat kepada pasien yang sekarat, dan untuk mendukung orang
lain dalam melakukannya.
2. Hak untuk mengetahui dan memilih
Semua orang yang menerima perawatan kesehatan memiliki hakuntuk diberitahu
tentang kondisi mereka dan pilihan pengobatan mereka.Mereka memiliki hak untuk
menerima atau menolak pengobatan dalam memperpanjang hidup.Pemberi perawatan
memiliki kewajiban etika dan hukum untuk mengakui dan menghormati pilihan-
pilihan sesuai dengan pedoman.
3. Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup
Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk memberikan pengobatan
yang terbaik untuk individu. Ini berarti bahwa tujuan utama perawatan untuk
mengakomodasi kenyamanan dan martabat, maka menahan atau menarik intervensi
untuk mempertahankan hidup mungkin diperbolehkan dalam kepentingan terbaik dari
pasien yang sekarat.
4. Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan
Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk bekerja sama untuk
membuat keputusan bagi pasien yang kurang bisadalam pengambilan keputusan,
dengan mempertimbangkan keinginan pasien.
5. Transparansi dan akuntabilitas
Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima perawatan,dan untuk
memastikan bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses pengambilan keputusan
dan hasilnya harus dijelaskan kepada para pasien dan akurat didokumentasikan
6. Perawatan non diskriminatif
Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatifdan harus
bergantung hanya pada faktor-faktor yang relevan dengankondisi medis, nilai-nilai dan
keinginan pasien.
7. Hak dan kewajiban tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan perawatan yang tidak
rasional, khususnya, pengobatan yang tidak bermanfaat bagi pasien.Pasien memiliki hak
untuk menerima perawatan yang sesuai, dan tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab
untuk memberikan pengobatan yang sesuai dengan norma-norma profesional dan standar
hokum
8. Perbaikan terus-menerus
Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam memperbaiki
intervensi yang diberikan pada standar perawatan end of life baik kepada pasien maupun
kepada keluarga
D. Kriteria the peacefull End of Life
Teori Peacefull End of Life ini berfokus pada beberapa kriteria utama dalam
perawatan end of life pasien yaitu :

a. Terbebas dari Nyeri

Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang utama diinginkan pasien dalam
pengalaman EOL (The Peaceful End Of Life). Nyeri merupakan ketidaknyamanan sensori
atau pengalaman emosi yang dihubungkan dengan aktual atau potensial kerusakan
jaringan. (Lenz, Suffe, Gift, Pugh, & Milligan, 1995; Pain terms, 1979) dalam ( Atnatika
W dkk, 2019)

b. Pengalaman Menyenangkan Nyaman atau perasaan menyenangkan didefinisikan


secarainclusive oleh Kolcaba (1991) sebagai kebebasan dari ketidaknyamanan, keadaan
tenteram dan damai.

2. Isu End of life


Dalam jurnal yang terkait dengan isu tantangan pendidikan : Permana Ryan Hara dan
Dian Adiningsih tahun. 2018. Gambaran Pelaksaan Pendidikan Kesehatan Pada Area
Praktik Keperawatan Di Wilayah Bandung Raya. Fakultas Keperawatan Universitas
Padjajaran
Ada berbagai tantangan pendidikan yang akan dihadapi oleh perawat kepe- rawatan kritis
di tahun-tahun mendatang. Termasuk dalam tantangan ini ada- lah tingkat pendidikan dari
perawat keperawatan kritis yang masih baru serta perawat pendidik yang bertambah tua,
meningkatnya kolegialitas di antara perawat keperawatan kritis dan mengamanatkan
kelanjutan pendidikan. Malapetaka bisa terjadi apabila perawat yang baru mendapat lisensi
prak- tik tanpa ampun "seperti dilempar ke kerumunan singa", tanpa adanya bim- bingan dan
pengalaman yang mencukupi. Apabila tidak dididik dan didukung, para perawat yang masih
baru akan dengan segera tenggelam dalam tanggungjawab dan tuntutan yang ditimpakan
pada mereka. Mereka akan menjadi kecil hati, kehilangan hak, dan terkadang marah pada
profesinya kemudian mening- galkan keperawatan. Demikianlah yang memperburuk
keperawatan zaman sekarang ini. Kebanyakan kepala perawat mengerti apabila
penghasilannya berkurang karena secara konstan harus mere-orientasikan perawat baru dan
mereka telah belajar untuk menyediakan lingkungan kerja yang terorganisir, sistematik, dan
lebih sehat yang mendukung proses pembelajaran perawat baru. Sangat direkomendasikan
apabila perawat baru menerima bimbingan yang adekuat dan bekerja di tempat perawatan
akut terlebih dulu selama be- berapa tahun guna mengembangkan keterampilan organisasi,
kepemimpinan, dan perawatan pasien sebelum beralih ke bidang keperawatan kritis Hal yang
sama juga berlaku bagi perawat pendidik, yang berusia rata-rata pertengahan 50 tahun dan
telah pensiun. Banyak perawat yang memperoleh surat mandat yang disyaratkan untuk bisa
mengajar dan harus menyeimbang- kan antara kecintaan mengajar dengan gaji yang sedikit,
tekanan karena harus menguasai tiga bidang (penelitian keperawatan kritis, pendidikan, dan
kepe- mimpinan), kurangnya penempatan klinik, dan banyaknya beban kerja. Pihak
universitas harus memahami dan menyediakan dana untuk perawat yang ter- tarik sebagai
perawat pendidik. Pendidik harus terus-menerus menyuarakan tantangan yang mereka hadapi
dan bekerjasama dengan pihak-pihak pengam- pu kekuasaan untuk merencanakan masa
depan. Karena perawat pendidik dipandang sebagai ahli di spesialisasi mereka dan seiring
masyarakat maupun siswa perawat mencari jawaban serta pe- mecahan masalah, para
perawat pendidik harus bisa menghadapi penghara- pan-pengharapan semacam itu. Seperti
bayi yang belajar merangkak, seperti itulah perawat yang masih baru. Kurikulum seharusnya
didesain untuk mengajarkan keterampilan kepera- watan di level dasar dan pemula,
kemudian secara bertahap semakin mening- kat seiring dengan tantangan dan tingkat
kesulitan dari pengalaman belajar tersebut. Saat ini, kebanyakan negara bagian di Amerika
Serikat mengamanatkan bahwa perawat profesional harus memperoleh 30 unit pendidikan
berkelanjutan (CEU) per tahun untuk tetap terlisensi di keperawatan. Amanat ini me-
rupakan langkah yang positif terhadap upaya untuk memelihara pembaharuan praktik,
keperawatan berbasis bukti ilmiah, dan kredibilitas dalam kepera watan. Beberapa kalangan
perawat menganggap ini sebagai suatu langkah maju; saat ini, yang dilakukan semua perawat
untuk memperbarui lisensi me reka adalah dengan mengirim cek. Pendidikan berkelanjutan
adalah salah satu cara kita untuk meningkatkan praktik keperawatan. Amanat keberlanjutan
pendidikan juga menimbulkan kekhawatiran di antara perawat yang mende- kati masa atau
berencana pensiun. Bagi mereka, mandat atas kredit pendidik an tambahan menciptakan
beban finansial tidak mendapat gaji dari institusi yang mempekerjakan oleh karena krisis
ekonomi yang saat ini sedang terjadi. Sebagai hasil dari mandat baru ini, beberapa kalangan
perawat memilih tidak lagi memperpanjang lisensi dan menjadi bagian nonaktif dalam dunia
kepera- watan. Setelah beberapa tahun dedikasi pelayanan, kehilangan beberapa pera- wat
senior, yang mungkin masih bisa bermanfaat bagi profesi sebagai mentor dan pimpinan,
memberikan kontribusi akan mundurnya keperawatan. Tantangan yang menghadang perawat
keperawatan kritis di masa depan tak bisa ditebak. Jika perawat mengupayakan tugasnya,
maka tugasnya akan selesai, sering kali dengan keanggunan, kemurahan hati, dan harapan
akan kepedulian dan harmoni. Dengan berbekal pendidikan, pengalaman, standar, organisasi,
sertifikasi, serta komunikasi yang efektif dan terampil akan mengantarkan perawat pada
keberhasilan. Kita terus bertahan di ranking teratas sebagai profesi yang paling dihargai,
menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Gallup, dan kita harus menjaga kepercayaan
masyarakat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Mardiyono. 2018. Perawatan End of Life Instalasi Gawat Darurat. Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta

Permana Ryan Hara dan Dian Adiningsih tahun. 2018. Gambaran Pelaksaan Pendidikan
Kesehatan Pada Area Praktik Keperawatan Di Wilayah Bandung Raya. Fakultas Keperawatan
Universitas Padjajaran

Suryani. 2012. Aspek Psikososial Dalam Merawat Pasien Kritis. Fakultas Ilmu Keperawatan
UNPAD

Dossey, B. M., Cathie E.G., Cornelia V. K. (2011). Critical care nursing: body-mind- spirit. (3rd
ed.). Philadelphia: J. B. Lippincott Company.

ARC Resource pack. 2010. Foundation module 7: psychosocial

Johal,sarb.2012, Foundations of Psychosocial Support in Emergency Management. New Zealand

Anda mungkin juga menyukai