Dalam sebuah sejarah,Cahirli Anwar menyebut dirinya “aku ini binatang jalang, dari
kumpulannya terbuang”. Lalu Chairli juga menulis optimisis: “aku mau hidup seribu
tahun lagi”. Namun, pada tahun terahir menjelang kematiannya, dia sadar, hidup yang
diinginkannya serba mustahil. “ hidup hanya menunda kekalahan sebelum pada ahirnya
kita menyerah.”
Enam puluh tujuh tahun sudah Chairil meninggalkan kita. Iya meninggal pada 1949
diusia relative muda:27 tahun. Ia menderita penuh parahdoks. Tapi dari kemiskinan
penyakir kurus berwaja tirus dengan mata merah ini lahir sajak sajak yang
memperkarya bahasa Indonesia. Chairil menjadi sebua ikon.
Kutipan artikel Chairli Anwar berjudul “hoppla” yang dimuat dalam majalah
pembangunan desemebr 1945 tersebut membuktikan bahwa takala Negara baru
berumur empat bulan itu Chairli pun sadar energi yang bisa membangkitkan energi ini
adalah energy bahasa Indonesia. Astul sani, sahabat chairil yang bersama rivai apin
menerbitkan kumpulan puisi Tiga Menguak takdir, mengatakan memang Chairtil Anwar
mempunyai rasa bahasa yang luar biasa untuk member makna pada kosakata bahasa
Indonesia dalam penulisan puisi, dia sangat professional. Teknik penulisan sajaknya
unggul betul. Dia melepaskan bahasa dari aturan baku tata bahasa. Arsul Sani menulis,
bagi Chairli bahasa Indonesia adalah alat untuk mengutarakan sesuatu.
Belum lagi kita membicarakan betapa penerimaan sajak chairil begitu membekas
sampai ketingkat akar rumput. Sebut saja sajak “aku”, “diponegoro”, dan “kerrawang-
bekasi”. Yang penuh vitalitas dan boleh di bilang sampai sekarang dalam perayaan hari
kemerdekaan RI banyak dibacakan di kampung-kampung. Lirik-liriknya pun banyak
dihafal orang.secara esetika sajak-sajak Chairil merupakan perawalan terhadap esetika
pujangga baru. Menurut professor Sapardi damono, hamper semua sajak 1945-1950
tergolong sajak gelap atau susah dipahami. Itu karena banyak penyair Indonesia
menggunakan bahasa Indonesia yang masih tak begitu mereka kuasai, sedangkan
Chairli memiliki kemampuan bahasa Indonesia yang luar biasa.
Dalam catatan H.B Jassin, sepanjang hidupnya, chairil telah membuat 94 tulisan.
Terdiri dari atas 70 sajak asli, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4
prosa terjemahan.
Chairil Anwar adalah sosok yang tak mau menyerah. Dia berani hidup menderita demi
sebua pencairan. Dia selaluh meninggalkan meja kerjanya, pindah kepekerjaan lain.
Meskipun begitu,hasilnya sama.
Menurut Nasjah Djamin dalam buku hari-hari akhir si penyair, kebiasaan Chairli adalah
menentang map kemana-mana. Dan isi map itu, selain kertas-kertas berisi sajak-
sajaknya dan sajak-sajak orang lain (dia beberapa kali bekerja sebagai redakrur),
ternyata potongan-potongan halaman buku nyang dirobeknya entah dari mana.mungkin
dari perpustakaan, toko buku, atau milik kawan. Kata Nasjah Djamin. Chairli bergaul
disegala lini tempat nongkrongnya di mana-mana. Chairli misalnya begaul erat dengan
para pelukis di Jakarta, chairli sering berkumpul dengan Affandi dan Sudjojono. Ia
menyayangkan banyak sastrawan yang tak mau kenal dengan seni lukis.
Pada tahun 28 april 1949, sang “binatang jalang” menyerah. Iya pergi meninggalkan
bermacam kesan. Orang ingat tubuhnya kurus, matanya merah, tapi senantiasa riang
dan gelisa. Ia urakan, liar, petualang kumuh, tapi sesorang intelektual yang memiliki
passion bagi kemerdekaan .
Kedua orang tua Chairil Anwar berasal dari kalangan kelas atas, ayahnya, Toeloes bin
manan, seorang controleur, pegawai tinggi di era colonial belanda,. Ibunya Saleha, putri
bangsawan kota gadang, Sumatra barat yang punya pertalian saudara dengan ayah
sutan Sjahir-perdanamenteri pertama Indonesia. Kedua orang tua Chairil bercerai dan
ayahnya menikah dengan perempuan lain.
Pada tahun 1942, chairil Anwar pindah ke Jakarta mengikuti ibunya, Saleha, karena
berpisah dengan ayahnya Toeloes, yang menika lagi. Di Jakarta dia miskin bahkan
terlantar. Dia menggelandang dari tempat satu ke tempat lain. Untuk bertahan hidup, ia
sering mencuri kecil-kecilan. Namun, “di kampong besar” ini pula Chairil ditempa
bertambah banyak. Wawasan semakin luas
Pada tahun 1949,Toeloes bin Manan, ayah Chairil Anwar, tewas di bunuh tentara
belanda. Mayatnya dibuang ke sungai
Pada tahun 1949, Chairil Anwar sakit parah. Darah mengalir dari mulut dan duburnya
.dibawa ke Rumah Sakit Centrale Burgerlijke(CBZ). Tujuh hari terbaring di Rumah
Sakit, Chairil meninggal dunia pukul 02.30 siang , kamis, 28 april 1949,pada usia 27
tahun. Meninggalkan anaknya yang masih belia.
O
L
E
H
VALENTINUS ARYO GARUS (C1914201050)
MAKASSAR