Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

PENILAIAN FORMASI

DISUSUN OLEH :

NAMA : FEBRIAN DAYANA YURENS

NIM : 1701014

KELOMPOK : 1 (Satu)

ASPRAK : LOURENSIUS HOTMARTUA NAINGGOLAN

JURUSAN S1 TEKNIK PERMINYAKAN

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI

BALIKPAPAN

2019/2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN RESMI

PENILAIAN FORMASI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Praktikum Penilaian Formasi

Tahun Akademik 2019/2020

Program Studi S1 Teknik Perminyakan

Sekolah Tinggi Teknologi Minyak dan Gas Bumi Balikpapan

Disusun Oleh,

Nama : Febrian Dayana Yurens

NIM : 1701014

Kelompok : 1 (Satu)

Dengan Hasil Penilaian :

Balikpapan, 17 November 2019

Disetujui oleh :

Dosen Pembimbing Praktikum Asisten Praktikum

(Kukuh Jalu Waskita, S.T., M.Sc.) (Lourensius Hotmartua Nainggolan)

NIDN : 1117128503 NIM : 1601068


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
Laporan Resmi Praktikum Penilaian Formasi, sebagai persyaratan untuk
memenuhi kurikulum Tahun Akademik 2019 / 2020 dalam menyelesaikan Mata
Kuliah Penilaian Formasi di Jurusan S1 Teknik Perminyakan, STT Migas
Balikpapan.
Begitu banyak rasa terimakasih yang ingin saya sampaikan kepada semua
pihak yang telah berperan dan membantu saya dalam penyelesaian laporan ini,
terutama kepada:
1. Pak Kukuh Jalu Waskita, S.T., M.Sc selaku dosen penanggung jawab
praktikum Penilaian Formasi.
2. Bang Lourensius Hotmartua Nainggolan selaku Asisten Praktikum
Penilaian Formasi Kelompok 1 yang telah meluangkan banyak waktunya
dan memberikan banyak masukkan/kritik yang membangun.
3. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan doa serta dukungan.
4. Teman-teman serta semua pihak yang telah membantu sehingga Laporan
Praktikum Penilaian Formasi ini dapat terselesaikan.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
Laporan Praktikum ini, sehingga penyusunan mengharapkan saran dan kritik yang
konstruktif kreatif dan inovatif dari para pembaca demi kesempurnaan di dalam
berbagai aspek dari laporan ini. Penyusun berharap semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi semua rekan-rekan yang membacanya, khususnya mahasiswa
Teknik Perminyakan dalam menambah wawaasan dan ilmu pengetahuan.

Balikpapan, 17 November 2019

Penyusun
LEMBAR PERSEMBAHAN

Segala puji syukur saya panjatkan pada Allah SWT atas selesainya
Laporan Praktikum Penilaian Formasi ini dengan baik. Laporan ini ditulis
berdasarkan hasil kegiatan dari Praktikum Penilaian Formasi yang telah penulis
lakukan. Laporan ini penulis persembahkan kepada :

1. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan doa dan restunya.
2. Asisten Praktikum yang telah memberi saya pelajaran yang berharga hingga
penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Penilaian Formasi dengan
baik.
3. Teman-teman yang selalu memberikan semangat, motivasi dan dukungannya.

Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan yang
membaca dan dapat menjadi sumber informasi dan dapat menambah pengetahuan.

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iii
LEMBAR PERSEMBAHAN...................................................................... iv
DAFTAR ISI................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... vii
DAFTAR TABEL........................................................................................ viii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................. 2
1.3 Tujuan Praktikum.............................................................. 2

BAB II DASAR TEORI......................................................................... 3


2.1 Penilaian Formasi.............................................................. 3
2.2 Coring................................................................................ 3
2.3 Mud Logging..................................................................... 4
2.4 Well Logging..................................................................... 5
2.4.1 Log Radioaktif.......................................................... 7
2.4.2 Log Listrik................................................................ 8
2.4.3 Log Mekanik............................................................ 11
2.4.4 Log Akustik.............................................................. 12

BAB III GEOLOGI REGIONAL.......................................................... 14


3.1. Geologi Regional Cekungan Jawa Barat Utara................. 14
3.2. Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara............................. 15
3.3. Petroleum System Cekungan Jawa Barat Utara................ 17

BAB IV PEMBAHASAN........................................................................ 20
4.1 Tugas Mandiri................................................................... 20
4.1.1 Excercise 1................................................................ 20
4.1.2 Excercise 2................................................................ 27
4.1.3 Excercise 3................................................................ 32
4.2 Tugas Kelompok (Final Case)........................................... 33
4.2.1 Penentuan Zona Reservoir Prospek.......................... 33
4.2.2 Perhitungan Porositas dan Sw Berdasarkan Data..... 37
4.2.3 Penentuan Penempatan Casing................................. 39
4.2.4 Penentuan Zona Perforasi......................................... 39

BAB V KESIMPULAN......................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sidewall Coring dan Konvensional Coring .................................. 4


Gambar 2.2 Prinsip Kerja Alat Laterolog ........................................................ 9
Gambar 2.3 Profil Sumur Bor Terinvasi Lumpur.............................................. 10
Gambar 2.4 Tipikal Respon Caliper Untuk Berbagai Litologi.......................... 12
Gambar 2.5 Sonic Log....................................................................................... 13
Gambar 3.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Barat Utara ............................ 14
Gambar 3.2 Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara......................................... 17
Gambar 3.3 Petroleum System Cekungan Jawa Barat Utara ............................ 17
Gambar 4.1 Formasi Jatibarang 3100-3180 m Menunjukkan Oil Show........... 20
Gambar 4.2 Formasi Jatibarang Kedalaman 3180-3260 m............................... 23
Gambar 4.3 Formasi Jatibarang 3260-3340 m.................................................. 25
Gambar 4.4 Formasi Jatibarang 3340-3420 m.................................................. 25
Gambar 4.5 Formasi Jatibarang 3420-3540 m.................................................. 26
Gambar 4.6 Letak Kedalaman 1300 m.............................................................. 29
Gambar 4.7 Letak Kedalaman 2324 m.............................................................. 30
Gambar 4.8 Letak Kedalaman 2780 m.............................................................. 31
Gambar 4.9 Kedalaman 2305-2480 m Dari Data Log Triple Combo............... 35
Gambar 4.10 Kedalaman 2300-2480 m Dari Data Mud Log.............................. 36
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Parameter Perhitungan Saturasi Archie.............................................. 32


Tabel 4.2 Interval yang Terindikasi Adalah Reservoir....................................... 34
Tabel 4.3 Hasil Data RCAL ............................................................................... 37
Tabel 4.4 Hasil Data Pressure Point.................................................................... 40
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu faktor untuk menentukan kualitas sumur adalah dengan


melakukan penilaian formasi batuan. Penilaian formasi batuan adalah suatu proses
analisis ciri-ciri dan sifat batuan di bawah permukaan tanah dengan menggunakan
hasil pengukuran lubang sumur (logging). Penilaian formasi dapat dilakukan
dengan interpretasi pintas (quick look) atau dengan menggunakan software.
Interpretasi pintas (quick look) adalah membuat suatu evaluasi log pada zona
bersih (clean formation) dengan cepat di lapangan tanpa menggunakan koreksi
dampak lingkungan lubang bor. Pemeriksaan berkas batuan bor yang kembali ke
permukaan dapat memberi petunjuk tentang litologi secara umum dari formasi
yang ditembus oleh bit dan mungkin juga mampu memperkirakan banyaknya
hidrokarbon di lapangan formasi. Kurva log memberikan informasi yang cukup
tentang sifat fisik batuan dan fluida.

Tujuan dari penilaian formasi adalah untuk menentukan cadangan


hidrokarbon pada cekungan-cekungan yang berprospek hidrokarbonnya.
Parameter-parameter yang dapat dilakukan:

- Porositas batuan reservoir adalah besarnya volume pori batuan relatif terhadap
volume total batuan atau perbandingan dari volume yang kosong atau pori
dengan volume bulk dari batuan dikalikan dengan 100%.
- Permeabilitas merupakan ukuran kemampuan media berpori untuk
mengalirkan fluida formasi yang merupakan pengukuran tingkatan dimana
fluida akan mengalir melalui batuan media berpori di bawah gradien tekanan
tertentu.
- Jenis batuan.
- Jenis hidrokarbon.
- Kejenuhan air dan kemampuan bergeraknya hidrokarbon.
- Kemiringan formasi dan strukturnya.
- Lingkungan sedimentasi.
- Waktu tempuh atau travelling time gelombang pada formasi.
Terdapat banyak cekungan di Indonesia yang memiliki kriteria dan ciri
tersendiri dimana cekungan-cekungan ini mampu memproduksikan minyak bumi
karena dalam cekungan tersebut memiliki komponen-komponen petroleum system
yang baik. Jenis perlapisan, lingkungan pengendapan, dan stratigrafi lapisan dapat
mempengaruhi jenis fluida hingga lokasi aktual dari minyak dan gas bumi.
Salah satu cekungan yang sudah berproduksi dan dikelola adalah cekungan
Jawa Barat Utara, dimana laporan praktikum ini mencoba melakukan analisa
dengan data log yang ada dan dengan berbagai data tambahan lainnya untuk
menentukan letak reservoir dan jenis litologi dari zona prospek yang
kemungkinan menjadi reservoir dan berbagai analisa lainnya yang dapat memberi
gambaran tentang tugas seorang petrofisis dalam menganalisa lapisan dalam suatu
sumur pada suatu cekungan.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari penulisan laporan ini antara lain :
1. Apa saja log yang digunakan dalam dunia perminyakan dan prinsip
kerjanya?
2. Bagaimana cara mengetahui zona prospek reservoir?
3. Bagaimana cara mengetahui zona perforasi yang tepat pada interpretasi
log?
4. Bagaimana cara mengetahui penempatan casing yang tepat?

1.3 Tujuan Praktikum


Tujuan dari penulisan laporan ini antara lain :
1. Untuk mengetahui masing-masing data log.
2. Untuk mengetahui zona prospek reservoir.
3. Untuk mengetahui zona perforasi yang tepat pada interpretasi log.
4. Untuk mengetahui penempatan casing yang tepat.
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Penilaian Formasi


Penilaian formasi dilakukan untuk mengetahui seberapa prospek zona yang
diukur yang dapat dilakukan dengan interpretasi pintas (quick look) atau dengan
menggunakan software. Penilaian formasi adalah pengumpulan data suatu formasi
bertujuan untuk mengidentifikasi reservoir, memperkirakan cadangan hidrokarbon
dan perolehan hidrokarbon. Penilaian formasi terdiri dari well logging, mud
logging, serta coring.
Logging adalah metode atau teknik untuk mengkarakterisasi formasi di
bawah permukaan dengan pengukuran parameter – parameter fisis batuan
dalam lubang bor, sedangkan log adalah hasil rekaman dalam fungsi kedalaman
terhadap proses logging (Serra, 1984).
Tujuan dilakukannya logging adalah untuk mengetahui karakter fisik batuan
di dalam lubang sumur secara in-situ sehingga dapat mengetahui kondisi bawah
permukaan seperti litologi, porositas, saturasi air, permeabilitas, dan kandungan
serpih yang ada dalam formasi. Data – data ini yang kemudian dapat diaplikasikan
untuk tujuan – tujuan tertentu seperti karakterisasi reservoir, struktur, dan
perhitungan volumetrik hidrokarbon.

2.2 Coring
Salah satu proses perolehan data yang paling akurat adalah dengan
melakukan coring, yaitu proses mengambil suatu sampel batuan dari suatu sumur
kemudian dianalisa di lab. Proses analisa core merupakan suatu proses yang
sangat penting karena data yang diperoleh sangat berkaitan dengan data log,
tujuan utama dilakukannya coring adalah sebagai validasi untuk data yang
diperoleh dari log. Rekomendasi tahapan core analysis terdapat pada American
Petroleum Institute (API) (SchÖn, 2015).
Terdapat dua jenis metode coring yang biasa dilakukan yaitu:
 Konvensional (full diameter)
 Sidewall (pada interval tertentu dengan plug kecil)

Gambar 2.1. Kiri: sidewall coring, kanan: konvensional coring.


(Source: Crain, 2009 dan Rich Oiltools)

Dalam analisa core dikenal istilah Routine Core Analysis (RCAL) dan
Special Core Analaysis (SCAL). Dalam RCAL, parameter yang dinilai antara lain:
 Porositas
 Pembeabilitas
 Densitas butir
 Kandungan fluida
Sedangkan dalam SCAL parameter yang dinilai antara lain:
 Tekanan kapiler
 Permeabilitas relative
 Wetabilitas
 Properti elektrik
 Kompresibilitas
 Analisa mineral clay

2.3 Mud Logging


Mud logging merupakan kegiatan mensirkulasikan lumpur dan perpindahan
cutting selama kegiatan pemboran. Mud log adalah alat untuk petrofisik dan
geologis di dalam mengambil keputusan dan evaluasi. Mud logging unit akan
menghasilkan mud log yang akan dikirim ke kantor pusat perusahaan minyak.
Menurut Darling (2005), mud log tersebut meliputi:
1. Pembacaan gas yang diperoleh dari detektor gas atau gas kromatograf.
2. Pengecekan terhadap ketidakhadiran gas beracun.
3. Laporan analisis cutting yang telah dideskripsi secara lengkap.
4. Rate of Penetration (ROP).
5. Indikasi keberadaan hidrokarbon yang terdapat dalam sampel.
Mud log merupakan alat yang berguna untuk hal-hal berikut ini:
1. Identifikasi tipe formasi dan litologi yang dibor.
2. Identifikasi zona yang porous dan permeabel.
3. Picking of coring, casing, atau batas kedalaman pengeboran akhir.
4. Memastikan keberadaan hidrokarbon sampai pada tahap membedakan jenis
hidrokarbon tersebut apakah minyak atau gas.
5. Korelasi batuan reservoir, lingkungan pengendapan.

2.4 Well Logging

Well logging adalah kegiatan perekaman karakteristik batuan di reservoir.


Well logging pertama kali digunakan adalah oleh Conrad dan Marcel
Schlumberger yang merupakan pendiri perusahaan Schlumberger pada tahun
1926. Saat itu, mereka mengaplikasikan sonde geolistrik yang biasa dipakai dalam
mencari prospek bijih mineral untuk aplikasi bawah permukaan dalam dunia
migas. Mereka menggunakan perekaman tersebut untuk mengetahui resistvitas
formasi yang ada di bawah permukaan. Sehingga log yang pertama kali digunakan
dalam sejarah industri adalah log resistivitas.

Sejak tahun 1926 hingga sekarang, teknologi well logging telah mengalami
banyak perkembangan dan inovasi terbaru untuk mengakomodasi kebutuhan
industri minyak dan gas dalam mencari dan mengetahui prospek minyak bumi di
dalam suatu reservoir.  Mulai dari tool konvensional seperti GR log, SP log,
density log, dan lain-lain, hingga ke tool unconventional seperti NMR, dipmeter,
bahkan teknik pengambilan datanya sekarang pun sudah berkembang lagi menjadi
LWD (Logging While Drilling) dimana antara perekaman log dan pengeboran
dilakukan bersamaan, sehingga diharapkan kondisi ini dapat mencerminkan
kondisi paling “sebenarnya” dari formasi.

Dalam proses pengambilan data menggunakan logging tool dikenal dua


metode yang digunakan yaitu wireline logging dan logging while drilling (LWD).
Dimana wireline menggunakan prinsip menurunkan alat logging dari atas ke
dalam sumur kemudian melakukan perekaman setelah alat berada pada kedalaman
yang diinginkan kemudian ditarik ke atas, hal ini guna menjaga tegangan wireline
agar mendapat pembacaan yang baik, sedangkan prinsip LWD adalah melakukan
logging bersamaan dengan proses pemboran dimana peralatan log dipasang pada
bagian pipa pemboran dekat dengan bit yang kemudian data yang diperoleh akan
ditransmisikan melalui lumpur pemboran. Dikarenakan prosesnya yang
bersamaan dengan proses pemboran maka metode logging ini dilakukan dari atas
ke bawah. Komponen wireline logging terdiri dari probes, kabel, sensor
kedalaman, dan unit kontrol permukaan. Sedangkan komponen LWD merupakan
bagian dari drill string. Data log yang sering digunakan adalah log triple combo
yaitu gamma ray, resistivity dan neutron density (SchÖn, 2015).

1. Logging While Drilling (LWD)


a. Kelebihan :
 Real time.
 Hemat waktu = hemat biaya.
 Dapat melintasi lintasan yang sulit.
b. Kekurangan :
 Kecepatan transmisi data (ROP) berkisar 0.5-12 bit/s lebih lambat dari
wireline logging.
 Hanya bekerja selama 40-90 jam.

2. Wireline Logging
a. Kelebihan :
 Kecepatan transmisi data 3 mb/s.
b. Kekurangan :
 Tidak bisa digunakan pada sumur horizontal.

2.4.1 Log Radioaktif


Log radioaktif adalah jenis log yang dihasilkan dari perekaman yang
menggunakan elemen-elemen radioaktif yaitu gamma ray, densitas, dan
neutron. Keuntungan dari log radioaktif ini dibandingkan dengan log listrik
adalah tidak banyak dipengaruhi oleh keadaan lubang bor dan jenis lumpur.
a. Gamma Ray Log
Gamma Ray Log (GR) mengukur tingkat keradioaktifan alami
dari suatu batuan dalam formasi dan dapat digunakan untuk
mengidentifikasi litologi dan melakukan korelasi. Nilai pembacaan
gamma ray akan tinggi bila banyak mendapati senyawa seperti
Thorium (Th), Potasium (K) dan Uranium (U) dalam batuan.
Selain melakukan korelasi dan penentuan litologi, gamma ray
log juga dapat digunakan untuk menghitung volume shale yang
terdapat pada suatu lapisan (Vshale) dengan persamaan,
GR log−GR min
Vshale=
GR max−GR min
Dimana,
Vshale : Volume shale (v/v)
GR log : Pembacaan gamma ray log
GR min : Pembacaan gamma ray minimum
GR max : Pembacaan gamma ray maksimum

b. Density Log
Density log mengukur berat jenis dari suatu lapisan, berat jenis
yang diukur merupakan berat jenis keseluruhan dari batuan beserta
dengan fluidanya, densitas seluruh batuan atau densitas bulk
dituliskan dengan RHOB atau Rho Bulk. Density log dapat digunakan
untuk menentukan porositas dengan persamaan,
Dimana,
ØD : Porositas dari pengukuran densitas
ρma : Densitas matrix
ρb : Densitas bulk (bacaan log)
ρfl : Densitas fluida density log

c. Neutron Log
Neutron log mengukur tingkat Hydrogen Index (HI) batuan.
Prinsip kerja dari log ini yaitu menembakan neutron yang akan
terserap bila terkena hidrogen, bila pada bacaan transmitter nilai yang
didapati sedikit maka neutron yang ditembakan banyak mengenai
atom hidrogen yang mengindikasikan kemungkinan adanya
kandungan hidrokarbon dalam batuan tersebut. Pembacaan porositas
neutron dari yang tertinggi yaitu air, minyak, dan gas. Pembacaan gas
lebih rendah dibanding dengan minyak padahal memiliki kandungan
hidrogen yang lebih sedikit, hal ini dikarenakan sifat gas yang
memenuhi semua pori sehingga neutron yang ditembakkan seakan-
akan selalu mengenai atom hidrogen sehingga pembacaannya menjadi
kecil, hal ini disebut dengan gas effect.
Gabungan antara neutron log dan density log biasa digunakan
untuk menentukan apakah suatu batuan merupakan batuan berpori
atau tidak, kombinasi ini yang sering digunakan guna menentukan
porositas. Batuan yang berpori akan membentuk persilangan antara
kurva density log dan neutron log yang disebut cross over.

2.4.2 Log Listrik


Log listrik adalah metode perekaman paling tua yang dipakai dalam
industri perminyakan. Kegunaan log listrik adalah untuk interpretasi litologi
dan dapat juga digunakan untuk mendeteksi zona yang mengandung minyak
atau tidak. Log ini juga dapat digunakan sebagai dasar dalam korelasi
bawah permukaan.
a. Resistivity Log
Resistivitas atau tahanan jenis suatu batuan adalah suatu
kemampuan batuan untuk menghambat jalannya arus listrik yang
mengalir melalui batuan tersebut (Thomer, 1984).
Log resistivitas digunakan untuk menentukan zona hidrokarbon
dan zona air, mengindikasikan zona permeabel dengan mendeteminasi
porositas resistivitas, karena batuan dan matriks tidak konduktif, maka
kemampuan batuan untuk menghantarkan arus listrik tergantung pada
fluida dan pori.
Alat-alat yang digunakan untuk mencari nilai resistivity terdiri
dari dua kelompok yaitu :
1. Lateral Log
Prinsip kerja lateral log yaitu mengirimkan arus bolak balik
langsung ke formasi dengan frekuensi yang berbeda, memakai
WBM.

Gambar 2.2 Prinsip Kerja Alat Laterolog (Harsono, 1997)


 Laterolog Log Shallow (LLS) : jangkauan kedalaman
dangkal.
 Laterolog Log Medium (LLM) : jangkauan kedalaman
menengah.
 Laterolog Log Deep (LLD) : jangkauan kedalaman dalam.

2. Induksi Log
Prinsip kerja dari induksi yaitu dengan menginduksikan arus listrik
ke formasi. Memakai OBM dan WBM .

Gambar 2.3 Profil Sumur Bor Terinvasi Lumpur (Schlumberger)

b. Spontaneous Potential Log


SP log (Self-Potential atau Spontaneous Potential) merupakan
rekaman perbedaan potensial listrik antara elektroda di permukaan
yang tetap dengan elektroda yang bergerak di dalam lubang bor. SP
log dapat digunakan untuk menghitung resistivitas air formasi dan
menentukan permeabilitas. Selain itu, SP log juga dapat digunakan
untuk menentukan volume shale, fasies dan untuk korelasi (Rider,
2000).
Beberapa tipe respon dari SP log yang menunjukkan variasi dari
energi potensial alami. Rw = resistivity water formation, Rmf =
resistivity mud filtrate (Rider, 2000).

2.4.3 Log Mekanik


Log mekanik adalah log yang bekerja secara mekanis untuk
pengukuran variasi diameter lubang bor. Peralatan log mekanik ini
dilengkapi dengan pegas yang dapat mengembang secara fleksibel. Ujung
paling bawah pegas tersebut dihubungkan dengan rod. Posisi rod ini
tergantung pada kompresi dari ukuran lubang bor.
a. Caliper Log
Caliper log adalah alat logging sumur yang memberikan
informasi lanjutan mengenai pengukuran dari ukuran dan bentuk
lubang bor dan dapat digunakan untuk eksplorasi hidrokarbon saat
pemboran sumur berlagsung. Hasil perekaman dari pengukuran kurva
caliper sangat penting sebagai indikator adanya swelling di rongga
atau di lapisan shale yang akan mempengaruhi hasil pengukuran alat
logging sumur lainnya.
Jika pada skala 0 – 8.5 maka casing lubang bor dinyatakan baik
akan tetapi jika > 8.5 maka casing lubang bor dinyatakan ada
kerusakan (wash out). Fungsi log caliper :
 Mengidentifikasi zona porous dan permeable
 Mengidentifikasi ukuran mud cake
 Mengidentifikasi zona consolidated
 Mengukur volume lubang bor untuk estimasi volume semen
 Membantu menentukan litologi
Gambar 2.4 Tipikal Respon Caliper Untuk Berbagai Litologi (Rider,
2002)

2.4.4 Log Akustik


Log akustik adalah log yang menggunakan gelombang suara dalam
perekaman datanya. Log akustik menggambarkan waktu kecepatan suara
yang dikirimkan ke dalam formasi sehingga menghasilkan pantulan suara
yang diterima oleh receiver.
a. Sonic Log
Sonic log merupakan log yang digunakan untuk mendapatkan
harga porositas batuan dengan prinsip kerja mengukur waktu tempuh
gelombang bunyi pada suatu jarak tertentu didalam lapisan batuan.
Satuan dari log sonic adalah mikro second per feet, yang merupakan
hasil dari kecepatan gelombang bunyi yang mencapai receiver.
Tujuan dari penggunaan sonic log adalah untuk mengetahui
kerapatan dan porositas batuan. Pada batuan yang porous,
kerapatannya lebih kecil sehingga kurva sonic log akan mempunyai
harga yang besar seperti pada serpih organik atau lignit dan
sebaliknya. Sonic log dapat berfungsi sebagai pengikat antara data
seismik.
Sistem kerja dari sonic log ialah dengan mengukur kecepatan
suara (sonic) dalam formasi, dimana transmitter memancarkan suatu
pulsa dengan frekuensi tertentu. Pulsa tersebut menghasilkan beberapa
gelombang, gelombang tersebut terbagi dalam beberapa jenis
tergantung dari daerah rambatnya, sehingga dari detektor gelombang
merambat ke formasi dan kembali lagi ke detektor. Kemudian
dipancarkan lagi pulsa kedua dengan prinsip kerja yang sama dengan
pulsa pertama, kemudian dicatat selisih waktu dari kedua pulsa
tersebut.

Gambar 2.5 Sonic Log (American Association of Petroleum


Geologists, 2002)
BAB III
GEOLOGI REGIONAL

3.1. Geologi Regional Jawa Barat Utara


Cekungan Jawa Barat Utara terletak di barat laut Pulau Jawa dan meluas
sampai lepas pantai utara Jawa. Meliputi daerah seluas kurang lebih 40.000 km2,
dimana 25.000 km2 diantaranya terletak di daerah lepas pantai. Cekungan Jawa
Barat Utara secara umum dibatasi oleh cekungan Bogor di sebelah selatannya, di
bagian barat laut dibatasi oleh platform seribu, di bagian utara dibatasi oleh
Cekungan Arjuna serta bagian timur laut dibatasi oleh busur Karimunjawa.

Gambar 3.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Barat Utara (Martodjojo, op. cit.
Nopyansyah, 2007)

Cekungan ini juga dipengaruhi oleh sistem block faulting yang berarah
utara-selatan. Sistem patahan ini membagi Cekungan Jawa Barat Utara menjadi
graben atau beberapa Sub-cekungan dari barat ke timur, yaitu Sub-cekungan
Ciputat, Sub-cekungan Pasir Putih, dan Sub-cekungan Jatibarang. Formasi yang
terdapat pada formasi ini antara lain Formasi Cisubuh, Formasi Parigi, Formasi
Cibulakan, Formasi Baturaja, Formasi Talang Akar, dan Formasi Jatibarang.
Tinggian Pamanukan dan Tinggian Kendanghaur memisahkan Sub-cekungan
Pasir Putih dengan Sub-cekungan Jatibarang.
Urutan stratigrafi regional dari yang paling tua sampai yang paling muda
adalah batuan dasar, Formasi Jatibarang, Formasi Cibulakan Bawah (Talang Akar,
Baturaja), Formasi Cibulakan Atas (Massive, Main Pre-Parigi), Formasi Parigi
dan Formasi Cisubuh.

3.2. Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara


1. Batuan Dasar
Batuan dasar cekungan ini adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang
berumur Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur
Pra-tersier. Lingkungan pengendapannya merupakan suatu permukaan dengan
sisa vegetasi tropis yang lapuk.
2. Formasi Jatibarang
Pada bagian bawah formasi ini tersusun oleh tuff bersisipan lava, sedangkan
bagian atas tersusun oleh batu pasir. Formasi ini diendapkan pada fasies
kontinental-fluvial. Minyak dan gas di beberapa tempat pada rekahan-rekahan
tuff. Formasi ini terletak secara tidak selaras di atas batuan dasar.
3. Formasi Talang Akar
Pada awalnya formasi ini memiliki fasies fluvio–deltaic sampai fasies marine.
Litologi formasi ini diawali oleh perselingan sedimen batu pasir dengan serpih
non-marine dan diakhiri oleh perselingan batu gamping, serpih dan batu pasir
dalam fasies marine. Pada formasi ini juga dijumpai lapisan batu bara yang
kemungkinan terbentuk pada lingkungan delta. Batu bara dan serpih tersebut
merupakan batuan induk untuk hidrokarbon.
4. Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar. Litologi
penyusun Formasi Baturaja terdiri dari batu gamping masif yang semakin keatas
semakin berpori. Perkembangan batu gamping terumbu umumnya dijumpai pada
daerah tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai daerah dalaman. Lingkungan
pembentukan formasi ini adalah pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar
matahari cukup.
5. Formasi Cibulakan Atas
Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batu pasir dan batu
gamping. Formasi ini dibedakan menjadi dua yaitu Cibulakan Atas dan Bawah,
dimana anggota Cibulakan Bawah merupakan endapan transisi (paralik),
sedangkan anggota Cibulakan Atas merupakan endapan neritic. Anggota
Cibulakan Bawah dibedakan menjadi dua yaitu formasi yang sesuai dengan
korelasi Cekungan Sumatera Selatan yaitu Formasi Talang Akar dan Baturaja.
6. Formasi Parigi
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan Atas, litologi
penyusunnya sebagian besar adalah batu gamping abu-abu terang, berfosil,
berpori dengan sedikit dolomit. Kandungan koral dan alga cukup banyak
dijumpai. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal-neritik tengah.
Formasi Parigi berkembang sebagai batu gamping terumbu, namun di beberapa
bagian ketebalannya menipis dan berselingan dengan napal.
7. Formasi Cisubuh
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Litologi
penyusunnya adalah batu lempung berselingan dengan batu pasir dan serpih
gampingan. Umur formasi ini adalah dari Kala Miosen Akhir sampai Pliosen –
Pleistosen. Formasi diendapkan pada lingkungan laut dangkal yang semakin ke
atas menjadi lingkungan litoral – paralik (Arpandi & Patmosukismo, 1975).
Gambar 3.2 Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Ron A. Noble dkk., 1997)

3.3. Petroleum System Cekungan Jawa Barat Utara


Model petroleum system pada Cekungan Jawa Barat Utara ditunjukkan pada
Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Petroleum System Cekungan Jawa Barat Utara (Budiyani dkk.,
1991)
1. Batuan Induk (Source Rock)
Pada Cekungan Jawa Barat Utara terdapat tiga tipe utama batuan induk,
yaitu lacustrine shale (oil prone), fluvio deltaic coals, fluvio deltaic shales
(oil dan gas prone) dan marine claystone (bacterial gas). Studi geokimia
dari minyak mentah yang ditemukan di pulau jawa dan lapangan lepas
pantai Arjuna menunjukkan bahwa fluvio deltaic dan shale dari Formasi
Talang Akar bagian atas berperan dalam pembentukan batuan induk yang
utama.
2. Batuan Reservoir (Reservoir Rock)
Semua formasi dari Jatibarang sampai Parigi merupakan interval dengan
sifat fisik reservoir yang baik sehingga banyak lapangan mempunyai daerah
dengan cadangan yang berlipat. Cadangan terbesar adalah yang
mengandung batupasir pada main atau massive dan Formasi Talang Akar.
Selain itu, minyak telah diproduksi dari rekahan volkanoklastik dari Formasi
Jatibarang. Pada daerah dimana batu gamping berada yaitu Formasi
Baturaja mempunyai porositas yang baik, akumulasi endapan yang agak
besar mungkin dapat dihasilkan.
3. Trap
Tipe jebakan di semua sistem petroleum Cekungan Jawa Barat Utara
sangat mirip. Hal ini disebabkan evolusi tektonik dari semua cekungan
sedimen sepanjang batas selatan dari Kraton Sunda, tipe struktur geologi
dan mekanisme jebakan yang hampir sama. Bentuk utama struktur geologi
adalah dome anticlinal yang lebar dan jebakan dari blok sesar yang miring.
4. Migration Route
Pada Cekungan Jawa Barat Utara, saluran utama untuk migrasi lateral
lebih banyak berupa celah batupasir yang mempunyai arah utara-selatan dari
Formasi Talang Akar. Sesar menjadi saluran utama untuk migrasi vertikal
dengan transportasi yang cepat dari cairan yang bersamaan waktu dengan
periodik tektonik aktif dan pergerakan sesar.
5. Seal Rock
Pada Cekungan Jawa Bara Utara, hampir setiap formasi memiliki lapisan
penutup yang efektif. Namun, formasi yang bertindak sebagai lapisan
penutup utama adalah Formasi Cisubuh karena formasi ini memiliki litologi
yang impermeabel yang cocok sebagai penghalang bagi hidrokarbon untuk
bermigrasi lebih lanjut.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Tugas Mandiri


Berikut akan dibahas mengenai tugas mandiri selama praktikum penilaian
formasi.
4.1.1 Excercise 1
Pada excercise 1 dilakukan interpretasi mud log pada kedalaman 3100
hingga 3550 m MD yaitu pada formasi Jatibarang. Selain itu, dilakukan pula
perhitungan dari potensi hidrokarbonnya agar mengetahui jenis hidrokarbon
yang dikandung formasi tersebut.
 Kedalaman 3100 - 3180 m

Gambar 4.1 Formasi Jatibarang 3100 – 3180 m menunjukkan oil


show

Pada kedalaman 3100 – 3180 m MD, Rate of Penetration (ROP)


pada awalnya dimulai dengan angka yang tinggi dan Weight on Bit (WOB)
yang standar saat sedang menggerus sisipan shale yang berasal dari formasi
di atas formasi Jatibarang, namun setelah bertemu lapisan tuff pada
Jatibarang, ROP menurun drastis dan WOB menurun perlahan. Seiring
waktu, WOB kembali meningkat perlahan dengan ROP yang masih
tergolong rendah dibanding sebelumnya, menandakan lapisan tuff yang
sedang ditembus cenderung keras. Saat WOB secara perlahan meningkat,
ROP juga mengikuti. Namun hal ini tidak konstan terjadi, karena pada
kedalaman sekitar 3138 m, WOB meningkat konstan dengan ROP menurun.
Tuff pada formasi ini memiliki kelimpahan 87% pada interval 3100 – 3180
m dan bersifat occassionaly brittle, soft, ukuran butir pasir (0.0625 – 2 mm)
dan memiliki mineral mafik. Pada kedalaman 3100 – 3150 m, terdapat oil
show berupa traces dengan gas kromatograf yang cukup meningkat drastis
mulai dari kedalaman 3115 – 3150 m.

Memasuki kedalaman 3166 m, terdapat lapisan batuan


konglomerat dan menyebabkan ROP meningkat drastis dan WOB juga
meningkat perlahan, menunjukkan efek perubahan kekerasan dari lapisan
batuan tuff yang berada di atas lapisan konglomerat. Hal ini dapat terjadi
karena formasi Jatibarang terendapkan saat sesar normal masih aktif dan
lokasi cekungan berada di jalur gunung api. Kejadian tersebut menyebabkan
adanya lapisan batuan beku tuff yang terendap di atas lapisan konglomerat.
Konglomerat yang ditemui memiliki warna abu gelap, ukuran butir kerakal
(4 – 64 mm), consolidated, dan kandungan mineral kuarsa. Pada interval ini,
juga ditemukan oil show berupa poor dan gas kromatograf yang mulai
menurun dibanding sebelumnya.

Untuk mengetahui jenis hidrokarbon yang terdapat pada interval


ini, maka dibutuhkan pendekatan secara matematika karena terdapat oil
show dan gas kromatograf yang tinggi, sebagai berikut.

Diketahui: C1 = 200,000 ppm iC4 = 10,000 ppm


C2 = 90,000 ppm nC4 = 9,000 ppm

C3 = 50,000 ppm iC5 = 9,000 ppm

a) Hydrocarbon Wetness Rasio (WH)

< 0.5 Very Dry Gas


10.5 – 17.5 Gas

17.5 – 40 Oil

> 40 Residual Oil


(C 2+C3+C4+C5)
WH = x 100
(C1+C2+C3+C4+C5)

(90,000+50,000+10,000+9,000)
= x 100
(200,000+90,000+50,000+19,000+9,000)

= 43.206 (Residual Oil)

b) Balance Ratio (BH)

> 100 Dry Gas jika WH = Gas


BH > WH Indikasi gas jika dalam fase minyak

BH < WH Indikasi minyak

WH > 40 Indikasi minyak residual

(C1+C2) (200,000+90,000)
BH = =
( C 3+ iC 4+ nC 4+C 5) (50,000+10,000+9,000+9,000)

= 3.718 (Indikasi minyak/residual)

b) Character Ratio (CH)

CH < 0.5 Interpretasi gas dari WH dan BH rasio benar

CH > 0.5 Interpretasi minyak dari WH dan BH rasio benar

(iC4+nC4+C5) (10,000+9,000+9,000)
CH = =
(C3) (50,000)

= 0.56 (Interpretasi minyak dari WH dan BH rasio benar)

Setelah dilakukan perhitungan, dapat diperoleh hasil dari jenis


hidrokarbon yang terdapat pada interval 3100 – 3180 m adalah minyak.

 Kedalaman 3180 - 3260 m


Gambar 4.2 Formasi Jatibarang Kedalaman 3180 – 3260 m

Pada kedalaman 3180 – 3184 m MD, nilai ROP cukup tinggi dengan
WOB stabil, terdapat lapisan batuan konglomerat di mana sifat fisiknya
berdasarkan log berwarna abu gelap, ukuran butirnya kerakal (4 – 64 m),
consolidated, fragmen terdiri dari batuan beku dan metamorf, limestone,
shale dengan kandungan mineral kuarsa, sortasi buruk, no visible porosity,
no oil stain, dan poor oil show. Konglomerat pada kedalaman ini
diintepretasikan sebagai hasil regresi di mana terakumulasi endapan material
dari daerah fluvial yang bermuara ke laut.
Memasuki kedalaman 3184 – 3189 m MD, ROP menurun dengan
WOB stabil setelah memasuki lapisan batuan yang berbeda, yaitu tuff
berwarna abu terang dan cokelat keabuan dengan kekerasan soft brittle.
Cekungan ini berada dekat dengan pusat vulkanisme sehingga dapat
diinterpretasikan bahwa pada saat formasi Jatibarang diendapkan, posisi
cekungan berada pada jalur gunung api sehingga bisa menjadi penyebab
mengapa banyaknya ditemui batuan tuff. Tuff yang ditemui berukuran butir
lanau (0.004 – 0.06 mm). Pada kedalaman 3189 m, ROP mulai stabil dan
kembali menurun pada kedalaman 3203 m saat menggerus lapisan yang
sama. Pada kedalaman 3226 m, ROP meningkat drastis, karena terdapat
sisipan konglomerat pada lapisan tuff. Kemudian, ROP menurun bertahap
hingga kedalaman 3243 m karena terdapat lapisan tuff dengan sisipan shale
dan gamping. Shale yang ditemui bersifat dominan abu tua, kekerasan
moderately hard, occassionally very hard, dan terdapat material karbonat,
kadang berlanau. Sedangkan untuk batu gamping, tidak ada informasi detail
mengenai sifat fisiknya. Lapisan tipis batu gamping diindikasi adanya
provenance yang berasosiasi dengan tubuh gunung api, pada saat yang sama
juga diendapkan batuan pada lingkungan fluvio-deltaic sampai laut dangkal.
Kemudian, pada 3245 – 3248 m, ROP kembali meningkat karena adanya
sisipan konglomerat di lapisan tuff, dan WOB stabil. Batuan vulkanik pada
formasi Jatibarang diendapkan pada Oligosen Awal yang merupakan produk
aktivitas gunung api yang berasosiasi dengan endapan-endapan syn rift,
yaitu endapan fluvial (non-marine). Ketidakteraturan dari penurunan
masing-masing graben menyebabkan variasi ketebalan sedimen pengisinya.
Pada saat tersebut, cekungan seolah-olah terlokalisir menjadi daerah fresh
water atau shallow water environment di mana sedimen mengalami
reworked dan redeposited. Konglomerat dan tuff pada lapisan yang sama
mengindikasikan proses erosi yang sangat aktif terjadi, khususnya pada
ketinggian-ketinggian lokal. Transgresi awal terjadi pada Miosen Awal dan
dilanjutkan dengan pengendapan formasi Talang Akar.
Memasuki 3248 – 3260 m MD, ROP menurun drastis karena lapisan
yang mulai didominasi lapisan shale dan lapisan tuff-nya sedikit demi
sedikit tidak dijumpai lagi. WOB ikut menurun walau secara perlahan.
Shale pada interval ini berwarna abu-abu hingga abu gelap, kekerasannya
brittle, terdapat material karbonat, dan sedikit kalsium karbonat maupun
lanau. Lapisan shale pada interval ini diintepretasikan sebagai hasil
maximum flooding surface atau transgresi maksimum.
Secara umum, gas kromatograf pada 3180 – 3260 m tidak memiliki
kenaikan signifikan dan tidak dijumpai oil show maupun gas show, sehingga
perhitungan untuk menentukan jenis hidrokarbon tidak dilakukan pada
interval ini.

 Kedalaman 3260 - 3340 m


Gambar 4.3 Formasi Jatibarang 3260 – 3340 m

Pada interval ini, ROP dan WOB stabil dan lapisan yang ditemui
hanya shale, yang merupakan akibat dari rekahnya atau pergeseran lempeng
batuan vulkanik. Secara umum, gas kromatograf pada interval ini stabil dan
tidak ada kenaikan yang signifikan, dan tidak ada oil show dan gas show,
sehingga tidak diperlukan perhitungan penentuan jenis hidrokarbon.

 Kedalaman 3340 - 3420 m

Gambar 4.4 Formasi Jatibarang 3340 – 3420 m

Pada interval ini, ROP dan WOB stabil dengan litologi shale yang
memiliki sifat terkadang keras, brittle, dan memiliki material karbonat.
Namun, memasuki kedalaman 3362 m, WOB mulai meningkat karena
memasuki lapisan tuff dengan sifat umumnya brittle, berukuran butir lanau,
dan memiliki material karbonat. Setelah melewati lapisan tuff, ROP dan
WOB kembali stabil, walau pada interval 3388 m, memasuki lapisan tuff
dan diikuti lapisan gamping pada 3413 m. Batu gamping yang ditemui
bersifat putih susu dan cokelat terang, no visible porosity, dan memiliki
material karbonat. Litologi pada interval ini merupakan akibat proses
transgresi, khususnya batuan gamping yang kemudian tuff terendapkan
akibat aktivitias pusat vulkanisme, dan terakhir, shale terjadi juga akibat
transgresi yang bersamaan dengan terendapnya batuan piroklastik atau tuff,
yang kemudian sisipan shale akibat dari maximum flooding surface.
Umumnya, gas kromatograf tidak memiliki perubahan yang signifikan,
kecuali gas jenis N-Butane yang mulai menghilang di kedalaman sekitar
3415 m, sehingga tidak dilakukan perhitungan.

 Kedalaman 3420 - 3540 m

Gambar 4.5 Formasi Jatibarang 3420 – 3540 m

Pada kedalaman 3420 – 3480 m, ROP stabil, begitu juga dengan


WOB. Namun, spesifiknya pada 3478 m, ROP meningkat secara drastis.
Litologi yang terdapat pada interval ini adalah batu gamping, ROP yang
meningkat secara drastis menandakan indikasi perbedaan sifat fisik batu
gamping dari lapisan sebelumnya, menjadi lebih lunak. Setelah mencapai
3480 m, ROP kembali menurun drastis dan stabil seperti semula.

Memasuki kedalaman 3490 m, ROP kembali meningkat perlahan


hingga akhirnya meningkat drastis pada 3502 m, karena lapisan batuan
sudah berganti menjadi konglomerat sepenuhnya. Konglomerat yang
menyebabkan peningkatan drastis ROP bersifat brittle, unconsolidated, soft,
dan memiliki material vulkanik. Pada 3510 m, ROP dan WOB kembali
menurun secara drastis karena perubahan sifat fisik konglomerat yang
ditembus, menjadi keras, kaku, consolidated, dan memiliki material
vulkanik.

Pada interval ini, tidak ditemukan oil show maupun gas show serta
gas kromatograf yang kecil dan tidak berubah secara signifikan, sehingga
tidak dilakukan perhitungan untuk menentukan jenis hidrokarbon yang
terkandung.

4.1.2 Excercise 2
Di dalam excercise kedua ini membahas tentang Vshale, porositas densit
as, serta porositas neutron.
Untuk perhitungan Vshale digunakan rumus:

GR lo g - GR min
V shale =
GR max - GR min

Langkah pertama untuk menentukan Vshale adalah menentukan interval


pada kedalaman tertentu, setelah itu menentukan nilai GR max yaitu nilai
bacaan tertinggi pada log gamma ray dan GR min yaitu bacaan terkecil pada
log gamma ray, kemudian menentukan GR log yaitu nilai bacaan perkiraan
yang terdapat diantara GR max dan GR min, kemudian gunakan rumus
perhitungan Vshale di atas untuk menentukan nilai Vshale nya.
Untuk perhitungan Ø densitas digunakan rumus:

ρ matriks- ρ bulk
∅ Density =
ρ matriks- ρ fluida
Langkah pertama yang dilakukan dalam penentuan porositas densitas
adalah menentukan interval pada kedalaman tertentu, kemudian mencari
nilai densitas dari matriks pada litologi di interval tersebut. Sementara itu,
nilai densitas fluida yang diasumsikan adalah densitas dari lumpur
pemboran kita yang bersifat oil base mud dengan densitas 0,85 gr/cc.
Perhitungan porositas neutron dilakukan dengan mengalikan nilai
porositas neutron yang dibaca pada kurva NPHI dengan 100%.
1. Formasi Cibulakan
Perhitungan pertama dilakukan pada formasi Cibulakan, di
mana litologi batuannya adalah shale. Perhitungan Vshale dilakukan 2
kali yaitu pada Cibulakan 1 dan Cibulakan 2.

 Cibulakan 1:
GR log = 75
GR min = 55
GR max = 95
GR log - GR min
V shale =
GR max- GRmin
( 75-55 ) gr/cc 20
V shale = = = 0,5 v/v
( 95-55 ) gr/cc 40

 Cibulakan 2:
GR log = 120
GR min = 80
GR max = 150
GR log – GR min
V shale =
GR max - GR min
( 120-80 ) gr/cc 40
V shale = = = 0,57 v/v
( 150-80 ) gr/cc 70

Untuk perhitungan nilai porositas, dilakukan pada kedalaman 1300 m.


Gambar 4.6 Letak Kedalaman 1300 m

Di mana:
ρ matriks = 2,65 gr/cc
ρ bulk = 2,41 gr/cc
ρ fluida = 0,85 gr/cc

 Porositas Densitas
ρ matriks - ρ bulk ( 2,65 - 2,41 ) gr / cc
ØD = = = 0,13 x 100%
ρ matriks – ρ fluida ( 2,65 – 0,85 ) gr / cc

= 13%
 Porositas Neutron
ØN = 0,38 x 100% = 38%

2. Formasi Baturaja
Perhitungan kedua dilakukan pada Formasi Baturaja. Untuk
perhitungan porositas tepatnya dilakukan pada kedalaman 2324 m MD
yang litologinya adalah batu gamping.
Gambar 4.7 Letak Kedalaman 2324 m

Dimana:
GR log = 65
GR min = 50
GR max = 90
ρ matriks = 2,75 gr/cc
ρ bulk = 2,45 gr/cc
ρ fluida = 0,85 gr/cc

 Volume Shale
GR log - GR min
V shale =
GR max – GR min
( 65-50 ) gr/cc 15
= = = 0,37 v/v
( 90-50 ) gr/cc 40
 Porositas Densitas
ρ matriks - ρ bulk ( 2,75 - 2,45 ) gr/cc
ØD = = = 0,15 x 100% =
ρ matriks – ρ fluid ( 2,75 – 0,85 ) gr/cc
15%
 Porositas Neutron
ØN = 0,30 x 100% = 30%
3. Formasi Talang Akar
Perhitungan ketiga dilakukan pada Formasi Talang Akar. Untuk
perhitungan porositas tepatnya dilakukan pada kedalaman 2780 m MD
yang litologi batuannya adalah batu pasir.

Gambar 4.8 Letak Kedalaman 2780 m


Dimana:
GR log = 85
GR min = 65
GR max = 110
ρ matriks = 2,65 gr/cc
ρ bulk = 2,30 gr/cc
ρ fluida = 0,85 gr/cc

 Volume Shale
GR log - GR min
V shale =
GR max – GR min
( 85-65 ) gr/cc 20
= = = 0,44 v/v
( 110-65) gr/cc 45
 Porositas Densitas
ρ matriks - ρ bulk ( 2,65 - 2,30 ) gr/cc
ØD = = = 0,19 x 100% =
ρ matriks – ρ fluid ( 2,65 – 0,85 ) gr/cc
19%
 Porositas Neutron
ØN = 0,28 x 100% = 28%

4. Formasi Jatibarang
Perhitungan selanjutnya dilakukan pada Formasi Jatibarang,
dimana tidak dilakukan perhitungan porositas densitas dan porositas
neutron karena tidak terdapat cross over pada log.
Di mana:
GR log = 105
GR min = 75
GR max = 140
GR log – GR min
V shale =
GR max – GR min
( 105-75 ) gr/cc 30
= = = 0,46 v/v
( 140-75 ) gr/cc 65

4.1.3 Excercise 3
Pada tugas ketiga, kita dapat menentukan porosity dan water
saturation (SW).
Tabel 4.1 Parameter Perhitungan Saturasi Archie

Sandstone
Carbonate
Ø > 16% Ø < 16%
A 1.0 0.62 0.81
M 2.0 2.15 2.0
N 2.0 2.0 2.0

a) Kedalaman 2370 – 2375 m


Diketahui : Rw = 9.1 Karbonat a =1
Rt = 4.2 m=2
Porositas = 7% n =2
a 1
 F= m = 2 = 0.0204
ϕ 7
Rw 9.1

 Sw = F x
Rt √
= 0.0204 x
4.2
= 0.21

b) Kedalaman 2400 - 2500 m


Diketahui : Rw = 18 Karbonat a =1
Rt = 6.3 m=2
Porositas = 7% n =2
a 1
 F= m = 2 = 0.0204
ϕ 7
Rw 18

 Sw = F x
Rt √
= 0.0204 x
6.3
= 0.241

4.2 Tugas Kelompok (Final Case)


Pada final case, kami diberikan beberapa data untuk membantu dalam
pengerjaan case, yaitu data mud log, data log triple combo, data pressure point,
dan data RCAL. Untuk case ini, kami diminta untuk menentukan zona prospek
dari data final, menghitung nilai porositas dan saturasi air dari data, penentuan
zona perforasi, serta penempatan casing.

4.2.1 Penentuan Zona Reservoir Prospek


Berdasarkan pengamatan dari kelompok kami, kami menentukan
reservoir pada Formasi Baturaja, tepatnya pada kedalaman 2305 – 2480 m.
Hal ini kami tentukan berdasarkan hasil analisa dari masing-masing data
yang diberikan, serta analisa dari litologi pada kedalaman tersebut.
Berdasarkan geologi regionalnya, Formasi Baturaja terendapkan secara
selaras di atas Formasi Talang Akar. Litologi penyusun Formasi Baturaja
terdiri dari baik yang berupa paparan maupun yang berkembang sebagai
reef build up (menandai fase post rift) yang secara regional menutupi
seluruh sedimen klastik pada Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat
Utara. Pada bagian bawah tersusun oleh batu gamping masif yang semakin
ke atas semakin berpori. Perkembangan batu gamping terumbu umumnya
dijumpai pada daerah tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai daerah
dalaman. Selain itu juga ditemukan dolomit, interkalasi serpih glaukonit,
napal, chert, batu bara. Formasi ini terbentuk pada kala Miosen Awal-
Miosen Tengah (terutama dari asosiasi foraminifera). Lingkungan
pembentukan Formasi ini adalah pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih,
sinar matahari cukup (terutama dari melimpahnya Foraminifera
spiroclypens Sp). Ketebalan Formasi ini berkisar pada (50-300) m.
Dari interval Formasi Baturaja tidak semua menjadi reservoir, ada
interval kedalaman tertentu yang akan menjadi zona reservoir yang
produktif dan prospek. Berdasarkan data log triple combo (Gamma ray,
Resistivity, Neutron–Density) kami mendapatkan 7 interval yang terindikasi
menjadi reservoir yaitu:

Tabel 4.2 Interval yang Terindikasi Sebagai Reservoir Berdasarkan


Log Triple Combo
No. Interval Kedalaman
1 2220 – 2235 m
2 2305 – 2480 m
3 2510 – 2525 m
4 2565 – 2600 m
5 3176 – 3193 m
6 3428 – 3447 m
7 3460 – 3475 m
Gambar 4.9 Interval Reservoir Kedalaman 2220 – 2235 m

Perhitungan pada kedalaman 2220 – 2235 m adalah sebagai berikut.


GR log – GR min 80 – 70
V shale = = = 0,25
GR max – GR min 110 – 70

ρ matriks - ρ bulk ( 2,71 – 2,55 ) gr/cc


ØD = = = 0,083 x 100% =
ρ matriks – ρ fluid ( 2,71 – 0,8 ) gr/cc
8,3%
a 1
F= m = = 0,0145
ϕ 8,32
Rw 8

Sw = F x
Rt √
= 0,0145 x = 0.24083
2
Gambar 4.10 Interval Reservoir Kedalaman 2305 – 2480 m
Perhitungan pada kedalaman 2305 – 2480 m adalah sebagai berikut.
GR log – GR min 65 – 45
V shale = = = 0,267
GR max – GR min 120 – 45

ρ matriks - ρ bulk ( 2,71 – 2,30 ) gr/cc


ØD = = = 0,21 x 100% =
ρ matriks – ρ fluid ( 2,71 – 0,8 ) gr/cc
21,46%
a 1
F= m = = 0,002171
ϕ 21,462
Rw 240

Sw = F x
Rt √
= 0,002171 x
4
= 0.3609

Gambar 4.11 Interval Reservoir Kedalaman 2510 – 2525 m

Perhitungan pada kedalaman 2510 – 2525 m adalah sebagai berikut.


GR log – GR min 50 – 45
V shale = = = 0,25
GR max – GR min 65 – 45
ρ matriks - ρ bulk ( 2,71 – 2,65 ) gr/cc
ØD = = = 0,031 x 100% =
ρ matriks – ρ fluid ( 2,71 – 0,8 ) gr/cc
3,1%
a 1
F= m = = 0,104
ϕ 3,12
Rw 23

Sw = F x
Rt √
= 0,104 x
4
= 0.7733

Gambar 4.12 Interval Reservoir Kedalaman 2565 – 2600 m

Perhitungan pada kedalaman 2565 – 2600 m adalah sebagai berikut.


GR log – GR min 65 – 42
V shale = = = 0,261
GR max – GR min 130 – 42

ρ matriks - ρ bulk ( 2,71 – 2,55 ) gr/cc


ØD = = = 0,0837 x 100% =
ρ matriks – ρ fluid ( 2,71 – 0,8 ) gr/cc
8,37%
a 1
F= m = = 0,014
ϕ 8,37 2
Rw 59
Sw =
√ Fx
Rt √
= 0,014 x
2
= 0.6426
Gambar 4.13 Interval Reservoir Kedalaman 3176 – 3193 m

Perhitungan pada kedalaman 3176 – 3193 m adalah sebagai berikut.


GR log – GR min 65 – 35
V shale = = = 0,56
GR max – GR min 89 – 35

ρ matriks - ρ bulk ( 2,57 – 2,7 ) gr/cc


ØD = = = 0,073 x 100% =
ρ matriks – ρ fluid ( 2,57 – 0,8 ) gr/cc
7,3%
Kami tidak melakukan perhitungan saturasi Archie lebih lanjut karena
jenis batuannya berupa konglomerat.

Gambar 4.14 Interval Reservoir Kedalaman 3428 – 3447 m

Perhitungan pada kedalaman 3428 – 3447 m adalah sebagai berikut.


GR log – GR min 50 – 35
V shale = = = 0,625
GR max – GR min 59 – 35

ρ matriks - ρ bulk ( 2,71 – 2,7 ) gr/cc


ØD = = = 0,00523 x 100% =
ρ matriks – ρ fluid ( 2,71 – 0,8 ) gr/cc
0,523%
a 1
F= m = = 3,656
ϕ 0,5232
Rw 50

Sw = F x
Rt √
= 3,656 x
8
=x

Gambar 4.15 Interval Reservoir Kedalaman 3460 – 3475 m

Perhitungan pada kedalaman 3460 – 3475 m adalah sebagai berikut.


GR log – GR min 45 – 30
V shale = = = 0,384
GR max – GR min 69 – 30

ρ matriks - ρ bulk ( 2,71 – 2,6 ) gr/cc


ØD = = = 0,0576 x 100% =
ρ matriks – ρ fluid ( 2,71 – 0,8 ) gr/cc
5,76%
a 1
F= m = = 0,03
ϕ 5,762
Rw 200
Sw =
√ Fx
Rt √
= 0,03 x
10
= 0.7746
Setelah menentukan 7 zona yang diindikasi menjadi sebuah reservoir
berdasarkan data log triple combo (Gamma ray, Resistivity, Neutron–
Density) maka dapat dilihat bahwa zona yang memiliki porositas paling
besar yaitu pada interval kedalaman 2305 – 2480 m (Gambar 4.10) dengan
porositas sebesar 21,46% ditandai pula dengan adanya crossover yang
cukup besar, dimana crossover tersebut menandakan adanya porositas dari
batuan tersebut. Hal tersebut lebih diperkuat dengan adanya hidrokarbon
yang dibaca dari log resistivitasnya. Nilai resistivitas pada zona tersebut
tinggi, menandakan bahwa kandungan fluida di dalamnya adalah oil dan
gas.

Kemudian kami melakukan korelasi kembali dengan data mud log


dan data RCAL (Routine Core Analysis). Informasi yang didapat dari data
mud log pada kedalaman 2300 – 2350 m menunjukkan adanya oil show
dan juga nilai gas kromatograf yang trendnya mulai meningkat di sekitar
kedalaman tersebut. Selain itu, pada data mud log juga terlihat bahwa pada
kedalaman tersebut telah dilakukan beberapa kali side wall coring dengan
tujuan untuk mengetahui sifat fisik dari batuan yang datanya dikumpulkan
menjadi data RCAL. Pada data mud log, kita juga mendapatkan informasi
spesifik mengenai litologi batu gamping yang mengisi lapisan tersebut,
dimana batu gampingnya memiliki porositas jenis vug sebesar 10 – 20 %.
Kemudian dengan memanfaatkan data dari gas kromatograf, ditentukan
asumsi dari fluida yang dikadung reservoir prospek, sebagai berikut.

Diketahui: C1 = 100,000 ppm iC4 = 10,000 ppm


C2 = 80,000 ppm nC4 = 9,900 ppm

C3 = 40,000 ppm iC5 = 4,000 ppm

a) Hydrocarbon Wetness Rasio (WH)

< 0.5 Very Dry Gas


10.5 – 17.5 Gas
17.5 – 40 Oil
> 40 Residual Oil

(C 2+C3+C4+C5)
WH = x 100
(C1+C2+C3+C4+C5)

(80,000+40,000+10,000+4 ,000)
= x 100
(100,000+80,000+40,000+19,900+4 ,000)

= 54,94 (Residual Oil)

b) Balance Ratio (BH)

> 100 Dry Gas jika WH = Gas


BH > WH Indikasi gas jika dalam fase minyak

BH < WH Indikasi minyak

WH > 40 Indikasi minyak residual

(C1+C2) (100,000+8 0,000)


BH = =
( C 3+ iC 4+ nC 4+C 5) (40,000+10,000+9,900+4 ,000)

= 2,817 (Indikasi minyak/residual)

b) Character Ratio (CH)

CH < 0.5 Interpretasi gas dari WH dan BH rasio benar

CH > 0.5 Interpretasi minyak dari WH dan BH rasio benar

(iC4+nC4+C5) (10,000+9,900+4 ,000)


CH = =
(C3) (4 0,000)

= 0.597 (Interpretasi minyak dari WH dan BH rasio benar)

Setelah dilakukan perhitungan, dapat diperoleh hasil dari jenis


hidrokarbon yang terdapat pada interval 2305 – 2480 m adalah minyak.
Gambar 4.16 Kedalaman 2300 – 2480 m dari Data Mud Log dengan
Zona Prospek Pada Kedalaman 2320 – 2325 m

Berdasarkan data RCAL pada Tabel 4.3 dan data pressure point pada
Tabel 4.4 dapat dilihat zona prospek ada pada interval 2320 – 2325 m,
karena memiliki nilai porositas dan permeabilitas yang cukup baik.
Tabel 4.3 Hasil Data RCAL

4.2.2 Perhitungan Porositas dan Sw Berdasarkan Data


Berdasarkan data pressure point di Excel, batuan pada kedalaman
2320 m memiliki nilai permeabilitas dan porositas yang besar yaitu sebesar
16,3 mD dan porositas 22,5% serta memiliki saturasi air yang cukup kecil
yaitu hanya 49,6% dimana diindikasi lebih dominan hidrokarbon dengan
densitas butirannya bernilai 2,71 gr/cc. Pada kedalaman 2324 m,
permeabilitasnya sebesar 8,31 mD dan porositas 19% serta saturasi air 50%.
Dapat diinterpretasikan bahwa berdasarkan data logging, data RCAL dan
data pressure point, zona prospek dari Cekungan Jawa Barat Utara terletak
pada Formasi Baturaja dengan interval kedalaman 2320 – 2325 m.
Pada data pressure point di Excel, fluida yang terdapat pada
kedalaman tersebut yaitu oil, kemudian jenis batuan nya hasil dari data
RCAL yaitu limestone dengan warna grey-yellow. Kemudian menentukan
presentasi air pada batuan tersebut (water saturation), tetapi pertama-tama
harus menentukan porositasnya.

(2.71 - 2.28 ) gr/cc


Porositas = (2.71−0.8 )gr/cc = 0.215 = 22.5%
F = a / (Øm)

Nilai a dan m nya memakai 1.0 dan 2.0 karena jenis batuannya adalah batu
gamping, maka:

F = 1 / (22.52)
F = 0.00197

Sehingga kita dapat menghitung water saturation,

FxRw
Sw = √
n
RT
0.00197 x0 .4
Sw = √
2
0.8
Sw = 0.03138
Sw = 3.138%

Nilai Sw berdasarkan perhitungan kecil dan tidak sesuai dengan data RCAL
pada Excel.
4.2.3 Penentuan Zona Perforasi
Menentukan zona perforasi dari interval zona produktif tidaklah
mudah, harus memperhatikan beberapa parameter seperti water oil contact
(WOC), gas oil contact (GOC) serta jenis formasi dan kedalaman agar tidak
terjadi permasalahan produksi setelah dilakukan perforasi seperti tekanan
yang over dan terjadinya coning, baik water coning atau gas coning yang
terlalu cepat. Untuk melakukan perforasi harus dianalisa data mengenai
letak dari batas kontak saturasi fluida pada reservoir, salah satunya adalah
water oil contact dan gas oil contact berdasarkan interpretasi qualitative dan
quantitative dari data mud log, data logging, data RCAL, serta pressure
point didapatkan zona prospek di Formasi Baturaja pada interval kedalaman
2320 – 2325 m. Berdasarkan data pressure point pada Tabel 4.4, dapat
dilihat bahwa pada kedalaman 2310 m didapatkan jenis fluida yang
terkandung adalah gas, sedangkan pada kedalaman 2320 m jenis fluida yang
didapatkan adalah minyak, disini dapat dilihat bahwa GOC terletak antara
2310 – 2320 m, Sedangkan pada kedalaman 2324 m fluida yang terkandung
adalah minyak, namun pada kedalaman 2327 m fluida yang ditemukan
adalah air, hal ini menunjukan WOC terletak pada interval 2324 – 2327 m.
Berdasarkan letak dari WOC dan GOC dapat dintentukan interval perforasi
yang tepat adalah diantara WOC dan GOC dan dalam hal ini reservoir yang
prospek terletak pada interval 2320-2325 m, begitu pula perforasi zonanya
yaitu tidak boleh terlalu dekat dengan WOC maupun GOC, jadi
memutuskan untuk menentukan zona perforasi pada interval 2321 – 2323 m
atau sepanjang 3 m dari zona reservoir prospek, dengan berbagai
pertimbangan berdasarkan data yang telah diberikan.
Tabel 4.4 Hasil Data Pressure Point

4.2.4 Penentuan Penempatan Casing


Penempatan casing merupakan hal penting. Casing berfungsi sebagai
melindungi sumur selama pemboran ataupun produksi, menutup zona yang
bertekanan abnormal. Pada pemasangan casing kita harus memperhatikan
yaitu bahwa casing harus dapat bertahan pada beban burst yang ditimbulkan
dari tekanan hidrostatik lumpur pemboran. Mampu menahan beban
collapse. Jenis jenis casing yaitu conductor casing, surface casing,
intermediate casing dan production casing.
Casing placement pada study case ini kami mengkorelasikan dengan
data pressure point dan data mud log.
1. Conductor casing dipasang pada kedalaman 40 m dengan ukuran 30” .
2. Surface casing dipasang hingga kedalaman 350 m dengan ukuran 20”.
3. Intermediate casing dipasang hingga kedalaman 1200 m dengan ukuran
13,3”.
4. Production casing dipasang hingga kedalaman 2610 m dengan ukuran 9

5
”.
8
BAB V
KESIMPULAN

Hasil dari final case study didapatkan bahwa indikasi zona prospek
reservoir terdapat pada Formasi Baturaja, tepatnya pada kedalaman 2305 – 2480
m di mana litologinya berupa batuan gamping masif yang semakin ke atas
semakin berpori. Kemudian ditentukan dari data RCAL bahwa zona prospek
terdapat pada interval 2320 – 2325 m dengan porositas dan permeabilitas yang
cukup baik, sehingga pada 2321 – 2323 m ditetapkan sebagai zona perforasi,
setelah dipertimbangkan letak dari GOC maupun WOC.
DAFTAR PUSTAKA

Budiyani,S., Priambodo, D.,Haksana,B.w.,Sugianto,P., .1991. Konsep Eksplorasi


Untuk Formasi Parigi di Cekungan Jawa Barat Utara. Makalah IAGI. Vol
20th, Indonesia. Hal 45-67.
Harsono, Adi. 1997. “Evaluasi Formasi dan Aplikasi Log”. Schlumberger Oilfield
Services. Jakarta.
Martodjojo, S., 2003, Evaluasi Cekungan Bogor, Penerbit ITB, Indonesia.
Nopyansyah, T., 2007, Studi Penyebaran Reservoar Berdasarkan Data Log,
Rider, Malcolm. 2002. “The Geological Interpretation of Well Logs, 2nd
Edition, revised 2002”. Scotland: Whittles Publishing.

Anda mungkin juga menyukai