Anda di halaman 1dari 12

GERIMIS LOGAM KARYA INDRO TRANGGONO

https://cerpenkompas.wordpress.com/2005/03/27/gerimis-logam/

Gerimis yang turun seperti jarum-jarum logam pada senja itu gagal mengirimkan harum
tanah dan hawa sejuk ke ruang sebuah paviliun di pinggang bukit itu. Jaket dan sweater
memang tetap melekat di badan, tapi panas di kepala sangat sukar ditahan. Entah sudah
berapa kali gelas-gelas dituang kopi panas. Entah sudah berapa puluh puntung rokok
menggunung dalam asbak. Ruang itu tetap saja dibungkus asap. Ribuan kata pun meluncur
dari belasan mulut. Kata-kata itu menjelma ular kalimat yang saling mendesak, saling
menindih, saling menghantam, dan saling memagut.

Saudara tahu, belasan warga desa kami mati gara-gara sumur dan sawahnya tercemar
limbah pabrik saudara! Apa pun alasannya, pabrik jeans itu harus ditutup jika saudara tidak
becus mengelola limbahnya. Jangan paksa kami meminum air wenternya!!” Jajak
menggebrak meja.

Laki-laki botak dan tambun yang disebut “saudara” itu kaget. Urat-urat di wajahnya
seperti mungkret. Tangannya cepat-cepat meraih gelas dan meminumnya.

“Pakai sopan santun, Bung!” hardik lelaki bertubuh gempal yang duduk di sebelah laki-
laki botak. “Bos kami tidak seburuk yang bung sangka!”

Hardikan itu tidak menyurutkan amarah Jajak. “Apa yang masih tersisa dari manusia
berhati batu macam bos kamu! Apa?!”

“Sekali lagi saya ingatkan. Bung jangan merasa diri sendiri paling benar. Soal produksi
jeans, bos kami sudah mengantongi izin,” gertak si Gempal.

“Tapi soal limbah?”

“Itu sudah include, Bung… include…!”

Orang-orang yang duduk di samping dan belakang Jajak saling memandang. Si Gempal
memainkan asap rokoknya menjadi bulatan-bulatan seperti donat. Donat-donat asap itu
menari-menari di depan wajah Jajak.

“Kami tak peduli itu sudah include atau kentut! Pokoknya, pabrik itu harus ditutup.”

“Jangan anarki, Bung! Di belakang kami, ribuan mulut buruh menganga!”

“Jangan mengatasnamakan nasib pekerja yang sesungguhnya kalian peras!”

“Mustahil kami menutup pabrik kami!” Si Gempal meraih bir, langsung


menenggaknya.

“Kami akan mengerahkan demonstrasi yang lebih besar lagi!” Jajak berdiri, diikuti
yang lain, lalu ramai-ramai meninggalkan ruangan itu. Lelaki botak dan Si Kekar tersenyum.
Sinis.
Di luar gerimis putih masih menaburkan jarum-jarum logam. Di dalam rongga masih
terasa pukulan berdentam-dentam.

Mobil ambulan menyimak tirai hujan, menyibak kerumunan orang-orang desa. Sirene
meraung-raung mempertajam garis-garis kepanikan yang tergurat di wajah warga desa. Dari
dalam mobil, Jajak dibantu tiga laki-laki mengusung tubuh membeku, membiru. Belum
sampai di halaman rumah, mayat laki-laki itu langsung dipeluk seorang perempuan paruh
baya dan tiga perempuan muda. Kata-kata mereka tenggelam dalam raung tangis. Jajak
beringsut dari kerumunan orang itu ketika posisinya digantikan seorang laki-laki. Ia
membatalkan niatnya untuk menenangkan perempuan paruh baya itu. Membiarkan
bendungan kesedihan jebol, jauh lebih baik daripada mengumbar kata-kata yang tidak perlu,
pikirnya. Ia berjalan menuju pojok rumah dan duduk di deretan kursi pelayat.

“Siapa yang akan menyusul Kang Marno. Cepat atau lambat limbah pabrik itu kan
menggulung riwayat kita. Kita telah dibunuh surat keputusan yang dikeluarkan pemerintah…
” ujar seorang laki-laki yang mendekati Jajak.

Jajak hanya memandang laki-laki itu. Lalu tersenyum kecil. Pahit. Ia mencoba
mengusir kepahitan itu dengan asap tembakau yang diisapnya kuat-kuat lalu diembuskannya.
Ia merasakan impitan di dadanya sedikit melonggar. Namun, ketika ia mengedarkan
pandangan, menyapu ruang sekitar hingga menanap jauh, dadanya mendadak kembali sesak.
Pabrik jeans itu masih mengepulkan asap, masih membanjiri sungai dengan limbah wenter
biru-menghitam. Aliran sungai keruh itu terasa berbalik menuju ke nadinya. Arusnya terasa
sangat kuat, hingga wenter biru-hitam itu memenuhi seluruh rongga dalam tubuhnya. Sesak
dadanya makin menghebat. Jantungnya terasa penuh air limbah. Juga rongga kepalanya,
hingga ia merasakan otaknya terapung-apung di atas genangan limbah biru-hitam.

“Dokter hanya bilang, kamu kecapekan. Besok kamu boleh pulang,” ujar Mutia, istri
Jajak sambil merapatkan selimut Jajak.

Jajak tak merasakan lagi panas tubuhnya. Kepalanya yang semula dirasakan berat kini
terasa ringan. Lambungnya juga tidak merasa mual. Selang infus juga telah dilepas dari
tangannya

“Setelah Kang Marno, siapa lagi yang dibunuh air wenter itu?” ujar Jajak lirih.

Mutia terdiam, namun perasaannya bergolak. Ia merasa tidak perlu mencukil serpihan
ingatan dari kepalanya. Ia tidak ingin suaminya kembali terguncang. Ia mencoba menekan
seluruh perasaannya untuk bercerita bahwa sesudah kematian Kang Marno, korban yang
jatuh jauh lebih banyak. Wajah-wajah korban itu kini terbayang di matanya: Khalil, Anwar,
Idrus, Afandi, Yati, Marjuki, Hanif, Nirmala, Rodat, Seruni, dan entah siapa lagi. Wajah-
wajah itu membiru, tapi di balik bola mata mereka tampak kobaran api. Mereka muncul silih
berganti di layar ingatan Mutia. Mereka seperti mengucapkan kata-kata dengan tangan
terkepal.

“Aku mendengar jeritan mereka…,” ujar Jajak tiba-tiba.


Mutia terenyak. Bagaimana mungkin suaminya membaca pikirannya? “Kamu
mendengarnya? Kamu melihatnya?”

Jajak tersenyum. Pahit. Matanya memandang langit-langit kamar rumah sakit. “Aku
melihat mereka di sana. Ya, mereka berjalan di balik gumpalan awan hitam sambil
memegang perut mereka yang meletus. Darah mereka biru-menghitam…. Dan, tangan itu, ya
tangan itu gemetar memegang usus mereka yang terburai….”

Mutia terguncang. Galau. Ia langsung meraba kening suami. Tapi ia tak merasakan
kening itu panas.

“Aku sehat Mutia… Sehat….”

“Sebaiknya besok kamu tidak jadi pulang….” Mutia menghapus matanya yang basah.

“Kenapa, Mutia… Kenapa?”

“Kamu belum sehat….”

“Kamu khawatir aku gila?” Jajak tersenyum. Jari-jarinya meremas jari-jari Mutia. Air
mata mengalir di parit-parit pipi Mutia.

Parit-parit itu terus mengalirkan wenter biru hitam ke sungai. Bangkai-bangkai ikan
mengambang di genangan sungai yang dikencingi pabrik itu. Gemericik air hitam itu menjadi
orkes sunyi bagi iring-iringan pelayat yang menuju makam di ujung desa. Kaki-kaki mereka
menghajar daun-daun kering yang berguguran di kompleks makam itu. Sebelum mayat
dimasukkan ke liang lahat, tampak seorang laki-laki paruh baya berpidato. Gayanya khas
pejabat Orde Baru.

“Selaku daripada lurah, saya harapken daripada sodara-sodara sekalian jangan salah
paham. Meninggalnya daripada Bapak Engkos ini bukan karena daripada limbah pabrik itu.
Bukan. Tapi, karena e..e… daripada penyakit perut… Ya…ya disentri….”

Orang-orang menatap lurah itu dengan mata nanar

“Perlu daripada sodara-sodara ketahui, soal limbah pabrik itu sudah kami bicaraken
guna mencari daripada penyelesaiannya. Kami mengharapken daripada sodara-sodara sedikit
sabar. Semoga, dalam lima anem hari nanti sudah ada kabar….”

Pak Lurah berpidato makin bergairah. Kata-katanya berbuncah-buncah. Tapi orang-


orang tetap saja resah. Satu per satu para pelayat meninggalkan kerumunan. Beberapa orang
tanpa dikomando memasukkan jenazah itu ke liang lahat. Pak Modin segera melantunkan
doa-doa panjang. Pacul-pacul menghajar tanah merah, menimbun liang lahat.

Iring-iringan pelayat bergerak menuju pabrik. Mereka menyatu dengan kaum


perempuan yang memancangkan amarah di ujung galah. Mereka berjalan berderap-derap.
Merangsek ke gerbang pabrik. Serombongan satpam mencoba menghadang mereka. Terjadi
dorong-mendorong. Rombongan satpam itu terpental. Para pengunjuk rasa terus merangsek
ke depan. Pintu gerbang itu menjadi sasaran pukulan massa. Galah, kayu, lonjoran besi
menghajar pintu logam itu. Berdentang-dentang. Menghajar gendang telinga.

Kerumunan pengunjuk rasa itu tersibak, memberi jalan puluhan orang yang
menghantamkan gelondongan kayu ke pintu gerbang. Seperti dam jebol, pintu gerbang itu
sia-sia menahan arus massa yang deras bergelombang. Satuan polisi mencoba menghadang
dengan tembakan ke udara. Tapi nyali para pengunjuk rasa itu tidak seinci pun surut. Mereka
terus bergerak. Terus merangsek. Para polisi menghalau mereka dengan pentungan. Kepala-
kepala para pengunjuk rasa bocor. Ada yang terkapar. Ada yang terinjak. Massa makin kalap.
Mereka balik menyerang polisi. Beberapa polisi berlumuran darah. Beberapa orang
pengunjuk rasa roboh terkena timah panas.

Gerimis menghamburkan jarum logam. Menikami bumi. Menikam kicau burung-


burung. Menikam cuaca yang murung.

Jajak membuka matanya. Ia merasa asing di ruangan itu. Asing juga menjumpai
beberapa laki-laki yang duduk mengepung dirinya. Hanya ada satu yang ia kenal. Laki-laki
berbadan gempal, yang seingatnya pernah ia jumpai dalam pertemuan antara warga dan
pemilik pabrik jeans beberapa bulan yang lalu.

“Sorry… kedatangan kami mengejutkan Bung.” Suara si Gempal dengan tawa berderai.
Membahana.

Jajak terdiam. Menganggap semua itu tak lebih dari lelucon basi.

“Untuk apa kalian harus menculik saya? Untuk apa kalian meneror istri saya, keluarga
saya?” Jajak meradang.

“Ahhh… itu kan tak lebih dari kejutan manis. Siapa tahu, Bung jadi terkesan. Semua itu
kan hanya bumbu agar kisah perjuangan Bung terasa lebih sedap dikenang….” ujar si
Gempal masih dengan tawa yang berderai.

Jajak menggebrak meja. Hingga tawa itu terhenti mendadak.

“Aku sangat bangga. Bung ini sangat heroik. Tapi sudahlah… Tak ada gunanya…
Kisah-kisah kepahlawanan itu sudah lama mengabu dalam asbak,” si Gempal mendekati
Jajak sambil menawarkan rokok. Jajak menolak.

“Siapa Anda? Dan Anda tak punya hak bicara seperti itu. Posisi kita berbeda!”

“Dulu aku juga seperti kamu, Bung. Bahkan lebih heroik! Kakiku yang pincang ini
telah kuserahkan untuk perjuangan. Kepalaku yang jadi langganan vertigo ini entah sudah
berapa kali disengat listrik dalam interogasi yang menyakitkan. Tapi yang aku dapatkan?
Apa? Hanya penderitaan. Hanya kemiskinan. Dan rakyat yang aku bela itu? Puah….”

“Kalau Anda capek miskin, jangan ajak orang lain jadi seperti Anda! Sia-sia Anda
meracuni saya!”
“Aku bukan sejenis pengecut yang menyimpan kejahatan untuk melumpuhkan
musuhnya. Apalagi, aku tak pernah menganggap Bung ini musuh. Tak pernah itu!”

Jajak mencoba menerka-nerka ke mana arah pembicaraan si Gempal itu.

“Aku hanya mengajak Bung untuk berpikir realistis!”

“Realistis atau kompromis?” sergah Jajak.

“Terserah kau lah… Tapi begini Bung. Sekarang suasana sudah berubah. Konstelasi
sudah berubah. Apa yang dulu kita anggap musuh, sekarang sudah tidak jelas. Jadi lucu kan,
kalau kita masih berpikir hitam-putih… Bung lihat sendiri. Banyak orang yang dulu jadi
legenda kini telah mencair jadi orang biasa. Kepala mereka yang semula berisi kalimat-
kalimat gagah kini berganti kartu kredit. Bung lihat sendiri, berapa puluh pejuang kini hanya
jadi kelangenan kekuasaan dan uang….”

Jajak memandang ke arah jendela. Gerimis masih menaburkan jarum-jarum logam.

“Aku hanya minta satu hal dari Bung. Hentikan demonstrasi itu sebelum makin banyak
korban jatuh… Okay?”

Jajak membuang muka. Kembali menatap gerimis jarum logam yang memahat kaca
jendela.

Si Gempal mendekati laki-laki botak. Mereka bicara dengan bahasa isyarat. Si Botak
mengeluarkan selembar kertas.

“Ini untuk Bung. Terserah Anda mau mengisi berapa. Mau enam digit, delapan digit,
sepuluh digit, dua belas, lima belas, dua puluh digit… Terserah. Yang penting tidak ada lagi
demonstrasi. Capek Bung… Capek….”

“Anda pikir kepalaku ini hanya berisi lumpur? Maaf, aku masih bisa hidup dengan
jalan yang tidak menjijikkan ini,” Jajak membuang cek.

“Bung pikir ini semacam prostitusi? Bukan Bung. Bukan. Ini deal profesional. Ini biasa
dalam perjuangan.”

“Atau Bung menghendaki tawaran lain. Pom bensin? Mall? Atau jadi staf ahli
perusahaan? Bisa… bisa… kalau cara itu lebih elegan. Nanti setelah kaya, Bung tinggal bikin
memoar perjuangan. Sedikit didramatisasi, tak masalah. Yang penting, legenda Bung ini tetap
terawat. Simpel kan?!

Jajak merasakan dadanya sesak. Jatungnya terasa diremas-remas. Wajahnya terasa


diguyur bergalon-galon ludah. Ia meronta. Menjerit sekeras-kerasnya. Ia mengamuk.
Menerjang orang- orang itu. Si Gempal menyarangkan pukulan tepat ke ulu hatinya. Jajak
jatuh berderak. Roboh. Yang lain menendang kepalanya. Yang lain menghajar kakinya
dengan lonjoran besi. Yang lain menginjak-injak dadanya, menendang-nendang kepalanya.
Darah muncrat dari mulutnya.
Gerimis jarum logam masih menikami bumi dan menjelma tirai raksasa yang ditembus
iring-iringan pelayat. Mereka menyemut menuju makam.

Dengan kruk, Jajak berjalan terseok- seok di atas jalanan yang becek. Sampai di
makam, Jajak duduk menerawang pohon randu alas sambil menatap daun-daun berguguran.
Di langit ia menatap puluhan orang dengan perut meletus berjalan di antara gumpalan awan
hitam. Tangan mereka gemetar memegang usus mereka yang terburai. Wajah-wajah mereka
yang semula membiru kini berubah merah terbakar. Mata mereka nanar memandang pabrik
jeans yang terus mengencingi sungai dengan limbah hitam.

Jogjakarta, Februari 2004


PEMBURU

Cerpen Agus Noor

PURNAMA mengapung di telaga, sesekali meleleh oleh arus gelombang. Kami


memandanginya dengan gamang. Angin bergegas pergi oleh kedatangan kami. Seperti juga
semua makhluk yang ketakutan mendengar gemuruh kaki kami. Hingga kami merasa benar-
benar sendiri, ditangkup sunyi daun-daun yang mandi cahaya. Kami beristirahat di pinggir
telaga itu, hanyut oleh pikiran kami. Meletakkan semua senjata yang selama ini kami jinjing
dan gendong. Sebagian dari kami langsung merebahkan tubuh atau bersandaran pada batang
pohon dan gundukan batu. Sebagian lagi menyempatkan diri membersihkan wajah terlebih
dahulu, melulurkan kesejukan pada lengan dan kaki yang bengkak.

Inilah perjalanan terjauh dan terlelah kami, sebelum sampai ke telaga ini. Inilah
pertama kali kami merasa begitu lelah, setelah bertahun-tahun memburu buruan kami yang
bergerak begitu cepat. Kami seperti mengejar kilat. Seluruh kekuatan dan pengalaman kami
sebagai pemburu telah kami keluarkan sampai tandas, tetapi kali ini, buruan kami tetap saja
melenggang bebas. Membuat kami begitu merasa terhina. Seakan sia-sia kebesaran kami
sebagai pemburu yang telah berabad-abad mengabdikan hidup dan peradaban kami hanya
untuk berburu. Kami adalah bangsa pemburu yang besar. Siapakah yang tak tahu akan hal
itu? Kami tak pernah gagal memburu sesuatu. Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami
bongkar tiap lekuk pegunungan. Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami
telah membentuk kami sebagai pemburu paling ulung.

Lagu-lagu kami adalah lagu-lagu perburuan. Legenda kami adalah penaklukan puluhan
binatang buruan. Kami tak pernah tergoda menjadi petani atau pedagang. Tak ada yang lebih
terhormat bagi kami, nenek moyang dan anak cucu kami, selain menjadi seorang pemburu
besar yang sanggup merobohkan gajah dengan satu gerakan. Cerita-cerita penaklukan,
mengantar tidur anak-anak kami. Menjadi hutan lebat yang tumbuh dalam kepala mereka.
Setiap dari kami dibesarkan dalam belukar. Kami sudah tahu bagaimana menyembelih
wildebeest, sejak kami masih dalam kandungan. Kami mengembara dari satu benua ke benua
lainnya, untuk memburu binatang-binatang, bukan sebagai cara kami bertahan menghadapi
hidup, tetapi lebih untuk kebanggaan dan kehormatan.

SAMPAI kemudian kami menyadari, betapa binatang-binatang di dunia ini perlahan-


lahan telah habis kami buru. Membuat kami cemas, melihat kehormatan kami akan goyah
suatu ketika. Apalah arti kami bila tak lagi hidup sebagai pemburu. Barangkali, binatang-
binatang itu juga sudah terlalu hafal dengan kami. Maka mereka buru-buru menjauh pergi,
begitu tercium bau kami. Tetapi mungkin juga memang binatang-binatang itu sudah habis
kami bunuhi. Gajah, badak, macan, rusa, ular, serigala dan segala macamnya. Sampai kelinci,
tupai dan tikus, telah lenyap kami tangkap. Maklumlah, dari tahun-ketahun, jumlah kami
memang makin membesar. Setiap bulan hampir seratus anak kami lahir, sementara orang-
orang tua kami bagai tak bisa mati. Mereka sudah renta, tapi tak gampang mati. Banyak
diantara kami yang sudah berusia 7890 tahun, tetapi masih sanggup berlari mengejar
entelope, kemudian menghantam kepala binatang itu dengan kepalan tangan, hingga pecah
berantakan. Dan itulah kehormatan.
Tapi sudah lama kami kesulitan menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti
kami katakan tadi, semua binatang telah habis kami buru, kami bunuh.

“Perburuan tak mungkin berhenti!”

“Kita akan cepat renta bila sehari tak memburu apa pun!”

“Takdir tak bisa dihentikan.”

“Lantas bagaimana?”

“Apa pun yang terjadi kita mesti memburu sesuatu!”

“Memburu apa?”

Itu membuat kami terdiam. Sampai kemudian ide brilian terlontar. Kami akan memburu
manusia, untuk menggantikan binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli
ratusan budak. Mereka kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri.
Mereka kami lepas ke tengah hutan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian
kami memburu mereka. Itu menjadikan kami begitu bahagia. Bahkan membuat kami lebih
merasa sempurna sebagai pemburu. Memburu budak-budak itu lebih mengasyikkan dari pada
memburu binatang. Mereka lebih menantang untuk kami taklukkan. Anak-anak kami pun
nampaknya lebih suka dengan perburuan macam itu. Lantas, perlahan-lahan, kebiasaan baru
tumbuh dalam kehidupan kami. Menjadi tradisi. Kami tak lagi memburu binatang, tapi
manusia. Kami membeli juga para penjahat yang telah divonis mati. Kepada mereka kami
tawarkan kebebasan, “Masuklah dalam hutan, lari. Selamatkan kehidupanmu. Jangan cemas,
meski kami akan memburu kalian, kalian masih punya kesempatan untuk memperpanjang
kehidupan. Meski pun kalian juga tak luput dari kematian. Tapi itu lebih baik bagi kalian,
dari pada mati di tiang gantungan: tak lagi punya pilihan. Mati dalam perburuan ini lebih
terhormat bagi kalian. Anggap semua ini hanya permainan. Semoga nasib baik bersama
kalian…”

Dan para pesakitan itu pun kami lepas dengan upacara kehormatan. Kami iringi dengan
lengkingan terompet dan juga dentuman meriam. Selamat jalan. Inilah hidup yang
sesungguhnya, yang membuat kalian akan merasa memiliki harga sebagai seorang pesakitan.
Adakah yang lebih menyenangkan, selalin melakukan perburuan semacam ini? Mereka kami
beri kehidupan sekaligus batas kematian. Setiap detik adalah pertarungan. Banyak juga
diantara kami yang mati dalam perkelahian. Para penjahat itu, memang makhluk yang tak
gampang menyerah. Liat dan sigap. Dan itu, sungguh, sararan perburuan yang
menggairahkan.

Rupanya, tak hanya kami yang suka dengan permainan semacam itu. Ketika kisah-
kisah kami menjalar ke banyak negara, banyak orang diluar suku kami, mendatangi kami,
untuk ikut menikmati perburuan itu. Mula-mula, banyak diantara kami yang menolak, karena
hal itu dianggap akan mengotori kemurnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa
menolak, ketika dari banyak yang datang ke pada kami itu adalah para jendral, orang-orang
besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha
besar. Para bangsawan, yang memang memiliki kebiasaan berburu seperti kami dan memiliki
lahan-lahan perburuan yang luas, mengijinkan tempat-tempat itu untuk kami kelola dan
kembangkan sebagai ladang perburuan yang lebih menantang dan menyenangkan. Bahkan
mereka menjanjikan kami lahan-lahan perburuan yang lebih luas. Para jendral menyediakan
kami senjata-senjata paling mutakhir. Para pengusaha mensubsidi kami modal bermilyar-
milyar. Para raja dan kepala negara mempersilahkan kami untuk memilih rakyat mereka
sebagai binatang buruan. Hingga kami tak lagi kekurangan buruan. Kami tak hanya punya
kesempatan memburu para penjahat yang telah divonis mati, tetapi kami bebas memilih siapa
pun yang paling menyenangkan kami buru. Malah sering para raja dan kepala negara itu
memberi kemudahan kami dengan memberi lisensi untuk menghabisi para tokoh oposisi yang
tak mereka sukai, para demosntrans untuk kami habisi. Juga kaum intelektual yang selama ini
mereka benci. Ah, begitu melimpah buruan kami.

Kami bangun juga istana-istana, tempat kami berpesta setelah seharian berburu. Kami
menjadi kaum pemburu yang kian kokoh dan terhormat. Kami perlahan-lahan meninggalkan
cara hidup kami di hutan, dengan setiap malam tidur di ranjang yang bersih dan nyaman.
Kami tak lagi hanya terbiasa dengan bunyi pedang, tetapi juga denting gelas dalam
kehangatan pesta.

“Ini darah seorang penyair untukmu, jangan sedih…” Gelas kami beradu, dan kami
tertawa bahagia. Begitulah memang mestinya nasib penyair yang tak menulis sayir puja-puji
bagi keagungan kami. Hidup pemburu agung!

KAMI pun menjadi kelompok pemburu yang besar, yang melintas bagai badai dan
gelombang, menggulung apa pun yang tak kami sukai, mengangkangi segala yang kami
maui, meski itu bukan hak kami. Kami melibas, menguasai, merampas dan menjarah diantara
kemeriahan pesta sembari terus menuliskan sejarah kami yang agung. Perburuan bukan lagi
perkara kebesaran dan kehormatan, tetapi juga, terkadang, keisengan. Kami, yang telah
menjadi sekelompok pemburu yang paling kuat, dengan dukungan dana yang melimpah,
pasokan senjata yang bagai anggur mengalir dalam gelas-gelas kami, menjadi tak tertandingi.
Kami berdiri di puncak menara peradaban, sendiri. Itu sering membuat kami terusik sunyi.
Apakah arti kekuatan bila tak ada tantangan yang sepadan? Tak ada lagi yang sanggup
melawan kami. Ketika kami menjarah perempuan dan membunuhi anak-anak, ketika kami
memburu ribuan orang Yahudi untuk kami kirim ke kamp konsentrasi, ketika kami
menembaki anak-anak Palestina, ketika kami memburu dan membantai orang-orang muslim
di Bosnia, ketika kami mengirim pasukan pemburu ke banyak negara untuk
meluluhlantakkan apa saja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan. Tak ada lagi yang
berani menggertak kami, hingga permainan menjadi tak lagi begitu punya arti. Kami terus
memburu, kami terus bergerak dari benua ke benua dari zaman ke zaman, melintasi
gelombang waktu, menumpuk tengkorak kepala para korban kami hingga menggunung
sampai menyentuh awan, tetapi kami selalu dirundung sunyi. Apalah arti semua itu bagi jiwa
pemburu kami? Semua itu bukan lagi gairah petualangan dan tantangan, tetapi penaklukan
yang membosankan. Karena kami sudah terlalu kuat, hingga pertarungan menjadi tak
sepadan. Kami seperti kehilangan buruan yang mengasyikan.
“Kita harus melakukan sesuatu. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi pucat dan lasi.
Jangan biarkan mereka menjadi lembek karena rasa sunyi ini.”

Lalu seseorang yang paling tua diantara kami, yang sudah berumur 100 juta tahun
lebih, menyarankan kami agar mengumpulkan para kiai. Suaranya sudah gemetar, seakan
maut sudah menyentuh bibir orang tua itu.

“Untuk apa mengumpulkan para kiai itu?”

“Aku sudah mencium ajalku. Dan aku ingin, sebelum maut menjemputku, aku ingin
menikmati perburuan yang paling menggairahkan.”

“Apa hubunganya dengan para kiai itu?”

“Kumpulkan mereka, dari seluruh dunia. Suruh mereka menyediakan malaikat untuk
kita buru!”

Kami terpukau oleh gagasan itu. Membuat darah kami menggelembungkan jiwa
pemburu kami. Gairah menjalar, membangkitkan imajinasi kami. Ya, malaikat, kenapa kami
tak memburu malaikat?

“Jibril! bagaimana kalau kita minta Jibril!”

Kami bersorai, anggur segera kami tuang dalam gelas, bersulang, menyambut hari
depan kami yang gilang gemilang. Panji perburuan berkibar. Kami segera menghimpun
topan. Kami segera mengeluarkan seluruh senjatakami. Dan tentu, kami segera
mengumpulkan para kiai. Mereka kami datangkan dari semua penjuru, kalau perlu dengan
paksa dan kekerasaan.

“Kami ingin Jibril,” kata kami kepada mereka. “Kami tak mau tahu, bagaimana cara
kalian mendatangkan Jibril bagi kami. Apakah kalian akan sholat sepanjang hari? Apakah
kalian akan berdoa dan mengaji? Apakah kalian akan menangkar atau menjebak Jibril dengan
sebuah perangkap? Kami tak mau tahu dengan itu semua. Sekarang, katakan kepada kami,
kapan kalian bisa menyediakan Jibril bagi kami?”

Kami tatap wajah para kiai itu, mencari kepastian dalam mata mereka.

“Baiklah,” tegas kami, “kalian kami beri waktu satu bulan. Bila selama itu kalian tak
bisa mendatangkan Jibril bagi kami, kami akan membikin perhitungan sendiri…”

Mereka, para kiai itu, kami giring ke sebuah istana kami yang paling megah. Tetapi
mereka menolak, dan meminta kami untuk membawa mereka ke sebuah kaki bukit dimana
ada sebuah masjid kecil di pinggir hutan. Kami turut kemauan mereka, meski sesungguhnya
heran. Apalagi ketika kami melihat sendiri masjid itu. Benar-benar masjid kecil yang tak
terawat. Seluruh bangunan itu terbuat dari pelepah kayu, telah lapuk. Luasnya tak lebih dari
lima kali lima tombak. Bagaimana tempat sekecil itu menampung jutaan kiai yang kami
himpun dari seluruh penjuru ini.
“Kalian jangan bercanda!” teriak kami.

“Kalianlah yang bercanda, dengan meminta kami mendatangkan Jibril.”

“Baiklah…”

Lantas kami membiarkan satu persatu para kiai itu masuk masjid kecil itu, membuat
kami begitu ternganga, ketika hampir separo dari jutaan kiai itu sudah masuk ke dalam
masjid, tetapi masjid itu tak juga penuh. Pintu itu terbuka untuk menerima siapa pun masuk
ke dalamnya. Barisan kiai masih antri di depan masjid itu, bekelok-kelok mengikuti gigir
bukit, seperti barisan semut yang begitu tertib menuju lubang sarang mereka. Jutaan kiai
masuk ke dalam masjid yang bagi kami hanya cukup untuk tidur dua puluh orang, itu pun
pasti sudah berhimpitan, bagaimana mungkin? Tapi, itulah yang kami saksikan. Sampai
kemudian semua kiai telah masuk dalam masjid itu. Dan kami mendengar gema dzikir dari
dalam sana, mengalun menidurkan rerumputan, sepanjang hari sepanjang malam. Gema itu
melambung, menyentuh langit. Kadang kami merasa ada yang menggemericik dalam hati
kami karena gema itu. Seperti batang-batang pohon yang bergoyang itu, seperti daun yang
melayang-layang itu, yang hanyut dibuai dzikir para kiai. Kami memagarbetis masjid itu, tak
membiarkan seekor tikus pun lolos dari amatan kami. Kami tak mau kecolongan. Kami tak
mau ditipu para kiai itu, jangan-jangan semua itu sihir belaka. Kami terus berjaga, takut
mereka akan keluar dan meloloskan diri ketika kami tertidur.

SATU bulan lewat, menguap begitu cepat, bersama angin dan embun. Membuat kami
cemas, sekaligus marah, ketika para kiai itu tak juga muncul dari dalam masjid. Segera kami
kirim seseorang untuk menemui mereka. Namun orang itu tak kembali. Membuat kami
tambah cemas menunggu, kemudian kembali mengirim utusan untuk menemui para kiai di
dalam masjid itu. Tetapi seperti yang pertama, orang kedua kami pun tak kembali. Kami
panggil namanya, tetapi tak kunjung keluar jua. Kami kirim utusan kembali, memperingatkan
para kiai bahwa waktu sudah habis buat mereka. Tapi seperti yang pertama dan kedua, utusan
kami ini pun tak muncul lagi meski kami sudah menanti lebih lima hari. Begitulah berkali-
kali, setiap orang yang kami kirim untuk menjumpai para kiai, tak pernah muncul kembali.
Sementara suara dzikir itu terus saja bergema, membuat udara bergetar dan perasaan kami
gemetar. Lantas kami tak bisa lagi sabar. Kami berteriak menyuruh para kiai itu keluar, tetapi
hanya gema dzikir membalas suara kami. Kami sudah cukup punya pengertian, bukan?

Jangan salahkan kami. Dan kami segera menyerbu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar
biasa, semua dari kami yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja.
Tiba-tiba tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada
dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemarahan kami menyalakan api di tangan,
berkobar dan segera kami lempar pada masjid itu. Kami bakar masjid itu, hingga kayu-kayu
bergemeretakan, dan api melahap cepat, membumbung.

Namun dzikir itu masih kami dengar, di pucuk api berkobar.


Pada saat itulah, seseorang di antara kami berteriak, membuat kami tengadah ke puncak
api. Dan, ya Allah, di sana, di puncak kobaran api, kami melihat selesat biru cahaya menatap
kami, dengan sayap terentang sampai ujung paling jauh dari semesta.

“Jibril!!”

“Jibril!!”

Seketika kami berteriak, antara takjub dan panik, gembira dan tak percaya, melihat
impian kami sudah di depan mata. Apakah ini keajaiban yang dikirim bagi kami?

“Buru!”

Teriakkan itu, mendadak menyadarkan kami, betapa memang inilah yang selama ini
kami tunggu-tunggu. Jibril, kini telah muncul di hadapan kami, kenapa kami malah bengong
begini? Maka, dengan sigap kami segera meraih senjata-senjata kami. Tombak, anak panah,
desing senapan mesin, roket dan basoka, dengan cepat berlesatan ke arah selesat cahaya biru
itu yang dengan cepat bergerak dengan sayap mengepak menebah cakrawala.

“Kejar!”

Kami pun melesat, mengejar Jibril. Bertahun-tahun kami memburu. Membiarkan kaki
kami koyak oleh duri, membiarkan rambut dan jenggot kami memanjang tak terawat. Kami
tak punya waktu untuk memikirkan itu semua. Jiwa pemburu kami bergelora oleh gairah
perburuan kali ini. Inilah perburuan paling menakjubkan bagi kami. Setelah berabad-abad
kami hidup sebagai pemburu, setelah bermacam pengalaman perburuan membuat kami jadi
pemburu sejati, inilah sesungguh-sungguhnya perburuan yang sejati. Tombak terus
berterbangan, roket terus berlesatan, jaring-jaring baja telah kami rentangkan, ranjau-ranjau
telah kami tanam, perangkap telah kami pasang, agar kami mampu meringkus Jibril.
Kemanapun Jibril melesat, kami pun melesat memburunya.

Sampai kami tiba di pinggir telaga ini, yang menyimpan bayangan bulan. Sebagian
besar dari kami kini benar-benar renta. Kami tak sempat istirahat. Kami tak pernah tidur di
satu tempat, hingga telah lama anak-anak kami tak lahir. Kami begitu sibuk memburu Jibril.
Banyak dari kami yang mati dalam perburuan ini, dan kami pun tak sempat menguburkannya.
Karena kami harus terus mengejar Jibril. Kami tak mau kehilangan jejak. Dan memang, kami
benar-benar tak pernah punya waktu istirahat. Ketika kami baru saja rebahan dan membasuh
kelelahan kami di telaga itu pun, mengharap kesegaran akan membuat tenaga kami kembali
muda, kami sudah harus kembali pergi ketika pada bayangan bulan, kami lihat jejak cahaya.

“Kesana!” seseorang dari kami berteriak, dan langsung melesat. Di seberang telaga
sana, kami melihat buruan abadi kami, mengepakkan sayap-sayap cahaya-Nya.

Maka kami pun kembali bangkit, meraih peralatan berburu kami dan segera
menghambur, melanjutkan pemburuan abadi kami…

Yogyakarta, 1995-1998

Anda mungkin juga menyukai