Anda di halaman 1dari 74

1

IRIDESCENT

Malam itu aku tidak bisa tidur. Jam sudah menunjukkan pukul 11
malam dan harusnya aku sudah tertidur 2 jam yang lalu. Dari
sebelah kamarku terdengar suara gaduh dan erangan dari
kakakku yang sedang berhubungan seks dengan pacarnya.
Mentang-mentang Ibu dan Ayah sedang tidak di rumah dia
seenaknya membawa pacarnya kemari dan berhubungan seks di
sini. Seperti tidak mampu menyewa hotel saja.

Aku mengubah posisi tidurku, menutupi telingaku dengan bantal.


Tapi itu semua tidak bisa meredam semua suara menijikan itu.
Aku pun memutuskan untuk pergi ke lantai bawah untuk
mengambil segelas susu. Setibanya di bawah aku pun membuka
kulkas dan mengambil sebotol susu dan kemudian meminumnya.

Huek! Akun memuntahkan susu itu. Susunya basi.

“Baiklah, ku rasa kita kehabisan susu.” Gumamku.

Aku memakai jaketku dan berencana untuk pergi ke luar untuk


membeli susu. Tidak jauh kok, hanya beberapa meter dari
rumahku.

“Kau belum tidur, Elora?”

Aku terkejut saat seseorang menyebut namaku. Aku menoleh,


ternyata itu Jimmy yang sedang duduk di teras rumahnya.
2

“Kau sendiri?” balasku.

“Aku akan pergi keluar sebentar lagi,” Jimmy mengisap rokok


yang terselip di sela-sela jarinya. “Kau mau ke mana?”

“Aku mau ke supermarket.”

“Boleh aku ikut? Tidak baik jika perempuan keluar sendirian di


malam hari.”

“Terserah kau saja.”

Jimmy melompat turun dari kursinya dan berjalan di belakangku.


Ia adalah temaku sejak kecil dan kami dulu biasanya bermain
bersama. Tapi sekarang sudah tidak karena ia tumbuh menjadi
seorang laki-laki yang menyebalkan.

“Kakakmu sepertinya tahu cara memuaskan wanita, ya?”

Oh, tidak! Apakah Jimmy mendegharnya juga?

“Apa maksudmu?” tanyaku, pura-pura tidak mengerti.

“Tidak mungkin jika kau tidak mendengarnya. Ku rasa kau tidak


bisa tidur karena itu ya? Hahaha…” Jimmy tertawa mengejek.
Hidungnya memerah karena udara dingin.

“Tidak usah sok tahu, Jim.”

“Atau kau diam-diam sedang terangsang karena mendengarnya?


Hahahaha…” lanjutnya.

Plak! Aku menampar Jimmy dalam bayanganku. Yang benar saja?


3

“Kau sebaiknya tidak usah ikut tadi! Membuatku jengkel saja.”


Ujarku.

“Maaf, maaf. Aku hanya bercanda, El. Jangan marah.”

Aku mendengus kesal. Kami sudah sampai di supermarket dan


aku pun berjalan masuk, mengambil dua botol susu kemudian
membayarnya di kasir sementara itu Jimmy menungguku di luar.

Setelah selesai aku pun menghampiri Jimmy yang sedang


memainkan ponselnya.

“El, ayo kita ke pesta!” ujar Jimmy tiba-tiba.

Aku mengernyitkan dahi. “Pesta? Pesta apa?”

“Matthew membuat pesta di rumahnya dan aku diundang.teman-


teman bandku yang lainnya sudah berada di sana.”

“Yang diundang kan kau, lalu kenapa aku harus ikut? Lagi pula
aku hanya keluar untuk membeli susu, bukannya ke pesta.”

“Datang karena tidak diundang juga tidak apa-apa. Matt suka


bertemu dengan orang baru.”

Aku sebenarnya tahu tentang pesta itu karena beberapa gadis


popular di kelasku membicarakannya kemarin. Mereka tidak
mengundangku karena mungkin aku tidak termasuk dalam
kriteria mereka. Mereka kan anak-anak yang menarik secara fisik
dan tentunya popular.

“Ayolah, Elora, satu kali ini saja!”

Jimmy terus membujukku agar aku ikut dengannya ke pesta itu.


4

“Aku tidak ingin berdandan dan berganti pakaian lagi. Itu


melelahkan.” Aku berusaha membuat alasan supaya ia tidak jadi
mengajakku.

“Kau tidak perlu melakukan itu. Tidak ada dresscode dalam


pestanya Matt. Semua orang bebas memakai apapun yang mereka
inginkan.”

“Bagaimana jika mereka menertawakann aku?”

“Aku akan meninju wajah mereka satu persatu jika mereka


mengejekmu.”

Akhirnya aku pun setuju dengan ajakan Jimmy. Sesampainya di


rumah Jimmy mengambil kunci mobilnya dan kami pun pergi ke
pesta itu. Aku sebenarnya tidak siap jika harus bertemu dengan
para gadis-gadis itu karena jujur saja aku merasa minder dengan
diriku yang tidak terlalu cantik ini.

“Kau jangan gugup. Mereka semuanya baik kok.” Ujar Jimmy. Ia


sepertinya bisa membaca pikiranku.

“Aku tidak gugup.” Elakku.

Jimmy menyodorkan rokoknya. “Ini ambil satu. Rokok bisa


membuatmu percaya diri.”

Aku tertawa. “Bagimana mungkin sebatang rokok bisa membuat


percaya diri?”

“Itu akan membuatmu merasa rileks. Coba saja,”


5

Aku pun mengambil sebatang rokok itu dan membakarnya,


mengisapnya dalam-dalam dan kemudian tenggorokkanku
rasanya tercekat. Rasanya sakit sekali dan aku mulai terbatuk-
batuk.

“Sial, Jim. Rokok apa ini?” ujarku.

“Itu rokok yang pamanku bawa dari Indonesia. Rasanya memang


kuat sekali kan?” balas Jimmy tanpa rasa bersalah sedikitpun.

“Setidaknya beri aku air minum!”

“Oh, iya, maaf-maaf. Hahahaha…” menjengkelkan sekali


mendengar suara tawa mengejeknya itu.

Beberapa saat kemudian kami pun sampai di rumah Matthew. Aku


dan Jimmy turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu masuk.
Jimmy mengetuk pintu dan keluarlah Matthew dan Valary
pacarnya.

“Akhirnya kau datang juga, Rev. Ku kira kau tidak akan ke sini.”
Matthew tersenyum dan terlihat lesung pipi di kedua pipinya.
“Masuklah, kami sedang bermain beer-pong.”

Kami berdua pun masuk. Aku berpura-pura menikmati pesta itu


padahal sebenarnya aku tidak betah berada di sini. Jimmy
memberikanku segelas bir dan kami berdua duduk di sofa.

“Katakan, apakah aku pernah melihatmu sebelumnya?”

Anak laki-laki itu duduk di sebelahku dengan sebuah cerutu di


mulutnya. Aku mengenalnya, dia adalah Brian Haner tapi lebih
sering dipanggil Synyster Gates.
6

“Kita kan sekelas, dasar bodoh!” balasku.

“Oh ya? Bagaimana bisa aku tak pernah melihatmu?” ujar Syn
sambil tertawa.

“Karena jika di sekolah Elora mengaktifkan mode invinsible. Dia


tidak terlihat. Hahahahaha…” sambung Jimmy.

“Itu tidak lucu, Jimmy.”

“Aku hanya bercanda, El. Jangan marah.” Jimmy tersenyum.


Senyumnya membuatku muak. “Ini Synyster, dia lead-gitaris di
bandku.”

“Aku sudah tahu. Kalian punya band yang namanya Revenged


Seventimes itu kan?” jawabku.

“Salah! Avenged Sevenfold!” Syn tak mau kalah.

“Oh, maaf. Kan hanya berbeda sedikit tidak merugikan kalian.”


Ujarku cuek sambil meminum bir di gelas.

“Laki-laki berambut mohawk itu bernama Johnny, dia bassist


kami. Dan yang sedang menari-nari di atas meja itu Zacky, dia
gitaris rhythm. Kalau Matt kau sudah tahu kan dia siapa.” Jimmy
menjelaskan.

“Ya, ya, aku tahu.” Balasku.

Perhatianku teralihkan kepada laki-laki yang bernama Zacky itu.


Ia terlihat konyol saat sedang menari seperti orang gila di atas
meja, sepertinya ia mabuk dan orang-orang di sekitarnya terlihat
tidak mempedulikannya. Ia terus saja menari tanpa tahu bahwa
7

meja yang dinaikinya sudah reyot dan tiba-tiba… BRUK!!! Zacky


terjatuh dari meja. Jimmy dan Brian yang duduk di sebelahku
tertawa keras sedangkan orang-orang pun menghampiri Zacky,
bertanya apakah ia baik-baik saja. Tapi Zacky yang bodoh itu
dengan cueknya bangkit dari jatuhnya dan bersikap seolah tidak
terjadi apa-apa.

Ia datang menghampiri kami sambil tersenyum konyol.

“Yo, kau baik-baik saja, kawan? Sudah ku bilang jangan di meja


yang itu.” Ujar Syn.

Zacky terkekeh. “Ku rasa otakku bergeser sedikit.”

“Memangnya kau punya otak?” balas Jimmy.

Zacky memandangku dari ujung kepala sampai ujung kakiku. Aku


merasa sangat risih karenanya.

“Kenapa? Apa ada yang salah?” ujarku.

“Tidak. Tidak apa-apa. Ku rasa kau sangat imut.” Zacky


mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

“A-apa?” aku tidak percaya ada seseorang yang memujiku malam


itu.

“Ayo kita berdansa!”

Tiba-tiba Zacky menarik tanganku dan membawaku ke ruang


tengah tempat di mana orang-orang berkumpul dan berjoget ria.
Matthew menaikkan volume musik dan Zacky pun mengajakku
berjoget sesuka hatinya. Dari kejauhan aku bisa melihat Jimmy
8

sedang berdiri di mulut pintu. Mengawasiku. Tapi aku tidak


mempedulikannya dan asyik saja berjoget dengan Zacky.

Semuanya berjalan baik hingga Zacky menunjukkan wajah aneh


dan tiba-tiba… HUEKKK!

Zacky jatuh pingsan setelah muntah di depanku, sedangkan aku


sangat syok karena muntahannya mengenai hampir seluruh
pakaianku.

“WHAT THE FUCK!” teriakku.

Aku merasa jijik dengan aroma muntah yang tercium kuat di


hidungku, membuatku ingin muntah juga. Perutku rasanya
bergejolak.

“Where’s the fucking bathroom?” ujarku dengan suara bergetar.

“Di sebelah sana,”

Aku segera berlari ke kamar mandi dan muntah sejadi-jadinya di


kloset toilet. Itu adalah hal yang paling menjijikan yang terjadi
pada malam itu. Saat aku sedang mencuci wajahku di westafel aku
mendengar seseorang mengetuk pintu. Aku membukanya dan
melihat Valary berdiri sambil membawakanku pakaian ganti.

Aku pun mengganti pakianku tapi entah kenapa rasanya aku


masih bisa mencium aroma menjijikan itu. Tapi untungnya Matt
memperbolehkanku memakai parfumnya jadi aroma itu bisa
sedikit tersamarkan.

***
9

Pagi itu aku masih berbaring di tempat tidur saat aku samar-
samar mendengar suara Elliot menggedor pintu kamarku dengan
brutal.

“Elora bangun! Kau akan terlambat pergi ke sekolah!” teriaknya.

“Ya, ya, sebentar!” jawabku.

Aku dan Jimmy pulang dari pesta jam 3 dini hari dan sekarang
mataku sangat berat untuk dibuka. Aku memaksakan diriku untuk
bangkit dari tempat tidur dan berpakaian. Saat tiba di lantai
bawah aku melihat Elliot yang sedang memberi makan anjing
kami, Morbid.

“Dari mana kau semalam?” tanya Elliot.

“Pesta.” Jawabku selagi aku menuang sereal ke mangkuk.

“Kenapa kau tidak bilang padaku?” Elliot menghampiriku, duduk


di sebelahku.

“Bagaimana mungkin aku bilang padamu? Kau kan sedang asyik


bercinta dengan pacarmu!”

“Setidaknya kau bisa mengirimiku pesan atau semacamnya!”

“Lupakan saja Elliot. Itu tidak penting.”

Aku menghabiskan sarapanku dengan cepat lalu meraih tasku di


meja. Aku tidak ingin berlama-lama mengobrol dengannya.

“Ibu dan Ayah akan bercerai.”


10

Ucapan Elliot membuatku menghentikan gerakanku sebentar, lalu


menoleh ke arahnya.

“Kau pasti bercanda, mereka kan sedang berlibur ke Canada.”


Ujarku.

“Mereka berbohong pada kita, El. Tapi aku tahu yang sebenarnya.
Aku menemukan ini di laci kamar mereka.” Elliot menunjukkanku
selembar kertas.

Apa ini? Surat permohonan cerai? Ini tidak mungkin!

“Mungkin mereka sedang mengerjai kita? Kita tidak pernah tahu.”


Aku berusaha mengelak.

Elliot menggeleng. “Mereka sedang mengurus perceraian mereka.


Aku tahu itu.”

Aku hanya terdiam sambil memandangi kertas itu. Aku tidak ingin
orang tuaku bercerai. Anak di belahan bumi manapun pasti tidak
ingin orang tuanya bercerai.

“Jika mereka cerai nanti, kau akan ikut siapa?” tanya Elliot dengan
mata berkaca-kaca.

“Aku tidak mau ikut siapa-siapa!”

Aku melangkah pergi keluar rumah meninggalkan Elliot sendiri.


Mataku mulai bercucuran air mata. Aku tidak tahu kenapa ini bisa
terjadi karena aku sama sekali tidak pernah melihat mereka
berdua bertengkar, tapi kenapa tiba-tiba memutuskan untuk
bercerai? Ah, aku tidak mengerti dunia orang dewasa.
11

Sepulang sekolah aku singgah ke sebuah kafe untuk menenangkan


diri. Hari ini Ibu dan Ayah akan pulang, itu sebabnya aku tidak
ingin pulang ke rumah dan melihat mereka karena itu hanya akan
membuat hatiku sakit.

Suara musik mengalun lembut memenuhi ruang di kafe itu, aku


bersandar di kursi dan memandang ke luar jendela. Memikirkan
apa yang akan terjadi setelah mereka bercerai. Apakah aku akan
jadi anak terlantar? Atau aku kabur saja ke rumah nenek di Las
Vegas? Aku tidak tahu.

Beberapa saat kemudian pintu kafe terbuka dan masuklah Jimmy


dan anggota band-nya. Mereka bersenda gurau dan membuat
suara yang berisik sehingga pengunjung kafe yang lainnya melihat
ke arah mereka. Ah, kenapa aku harus bertemu mereka lagi di sini.

“Elora! Kau di sini!”

Jimmy menghampiriku. Ia menarik kursi di sebelahku dan duduk


di situ.

“Kau kelihatannya sedang sedih.” Ia menopang dagu dengan


tangan kirinya dan menatap ke arahku. “Aku memperhatikanmu
seharian ini dan kau tampaknya tidak bersemangat.”

“Apakah karena Zacky yang muntah di pakaianmu semalam?” Syn


dan yang lainnya menyusul dan mereka semua duduk satu meja
denganku.

“Ew, lupakan. Itu sangat menjijikan.” Jawabku.


12

“Maaf El. Tadi malam aku benar-benar mabuk.” Zacky tersipu.


“Sebagai permintaan maaf aku akan belikan kau minum,
bagaimana?”

Aku menggeleng. “Tidak usah.”

“Kau tahu kawan, saat aku bangun tadi pagi di rumah Matt aku
mendapati penisku bau sekali. Tidak tahu tadi malam aku bercinta
dengan siapa.” Kata Johnny.

Kami semua memasang tampang jijik.

“Ew, apakah kau sudah mencucinya dengan bersih? Hati-hati kau


terkena penyakit kelamin.” Syn mewanti-wanti.

“Tentu saja. Aku langsung mencucinya dengan sabun 10x.”

“Oh, pantas saja sabun mandiku habis.” Celetuk Matt.

Semuanya tertawa. Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar


bahasan mereka yang absurd.

“Setelah ini kami mau ke rumahku untuk latihan band. Kau ingin
ikut?” ajak Matthew.

“Tidak. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri.”

“Apa yang terjadi, El? Ceritakan pada kami.” Ujar Jimmy.

Aku memandangi wajah mereka satu per satu. Mereka seperti


sedang menunggu jawabanku.

“Orang tuaku akan bercerai.” Tuturku.


13

Mereka semua ber-“ooh” ria.

“Jangan khawatir, El. Aku pernah berada di posisimu.” Ujar Syn. Ia


menepuk-nepuk pundakku.

“Lalu apa yang kau lakukan? Kau lebih memilih ikut siapa?”
tanyaku.

“Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya mengikuti alurnya saja.”


Balasnya.

“Tapi aku tidak percaya, karena keluargamu sepertinya baik-baik


saja.” Ujar Jimmy.

Ya, di mata orang-orang keluargaku memang terlihat baik-baik


saja seperti keluarga biasa pada umumnya. Aku juga tidak tahu
kenapa tiba-tiba ini terjadi.

“Tentu saja setiap keluarga berbeda-beda, Jim. Orang tuaku setiap


hari bertengkar tapi tidak bercerai.” Kata Johnny.

“Mungkin belum.” Timpal Matt.

“Harusnya kau doakan hal itu tidak terjadi, dasar bodoh!” ucap
Johnny tidak terima.

Matthew terkekeh. “Bercanda. Saranku, kau tidak usah terlalu


memikirkannya karena nanti kau akan pusing sendiri. Kita masih
remaja, bersenang-senanglah! Tidak ada waktu untuk memikirkan
hal yang membuatmu sedih.”

“Matt benar. Semuanya hanya sementara, begitu pula dengan


kesedihanmu. So, have fun!” kata Zacky.
14

Aku tersenyum. “Terima kasih sudah menghiburku. Ku kira kalian


tidak akan peduli.”

“Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu? Kami ini adalah


sekumpulan pria tampan yang berhati lembut.”

Dugaanku selama ini salah terhadap mereka. Ku kira mereka


hanya mau berteman dengan anak-anak populer saja karena
sebelum bertemu dengan mereka di pesta kemarin mereka tidak
pernah berbicara denganku sebelumnya kecuali Jimmy dan
Matthew.

“Baiklah sekarang sudah jam 5 sore. Ayo kita ke rumahku,


sepertinya Valary sudah menunggu.” Ajak Matt.

“Kau ikut, Elora?” tanya Jimmy.

Aku mengangguk. Aku melihat layar ponselku dan menyadari ada


22 panggilan tidak terjawab dari Ayah. Tapi aku tidak peduli dan
langsung mematikan ponselku.

Di rumah Matt aku bertemu Valary dan aku pun mengembalikan


pakaiannya yang semalam ku pinjam. Aku baru tahu bahwa Valary
mempunyai saudara kembar bernama Michelle dan mereka
berdua terlihat sangat mirip sampai-sampai aku kesulitan
membedakan mereka berdua.

“Saat aku pertama melihatmu, ku kira kau gadis yang sombong


karena tidak pernah berbicara dengan siapapun.” Ujar Valary.

“Sewaktu di SMP aku pernah di-bully sehingga aku jadi selektif


dalam berteman. Tidak mau mengakrabkan diri pada sembarang
orang.” Jawabku.
15

Valary tersenyum. “Aku mengerti maksudmu. Ku harap kita bisa


berteman baik!”

Sepanjang sore itu kami habiskan dengan menonton film bersama


di rumah Matt dan para laki-laki sedang latihan band di garasi.
Orang tua Matt hanya datang seminggu sekali sehingga Matt
bebas mengundang siapapun ke rumahnya.

Aku tiba di rumah pukul 7 malam. Terlihat mobil orang tuaku


terparkir di depan rumah. Saat melewati ruang dapur aku melihat
Ibu, Ayah, dan Elliot sedang duduk di meja makan. Mereka
sepertinya menungguku.

“Sayang, kau dari mana?” tanya Ibu.

“Bukan urusan Ibu.”

Aku melangkahkan kakiku ke arah tangga.

“Duduklah di sini sebentar, ada yang ingin kami bicarakan.” Ujar


Ayah.

Aku tidak menghiraukan panggilan mereka dan terus saja menaiki


tangga.

“Elora!”

Aku tersentak kaget saat ayah membentakku. Ayah sebelumnya


tidak pernah membentakku seperti ini.

“Ayah bilang duduk di sini sebentar.” Ayah mengulangi


ucapannya.
16

Aku mendengus kesal kemudian berbalik arah dan ikut duduk


dengan mereka. Ku hempaskan tasku ke atas meja sehingga
membuat mereka terkejut sedikit. Aku sudah tahu apa yang akan
mereka bicarakan.

“Kau ini kenapa, El? Kenapa kau marah-marah?” tanya Ibu.

“Harusnya aku yang bertanya kepada kalian tentang apa yang


terjadi. Kenapa kalian ingin bercerai?” balasku ketus.

Elliot mengangguk setuju.

Ayah menghela nafas panjang. “Ternyata kau sudah tahu, ya? Itu
benar, kami berdua akan cerai. Tapi jangan khawatir, kami akan
terus ada untuk kalian kapan saja. Kami tetap menyayangi kalian.”
Ujar Ayah.

“Kalau kalian menyayangi kami, kertas ini tidak akan pernah ada.”
Elliot mengeluarkan selembar kertas yang ia tunjukkan padaku
tadi pagi.

Ibu terlihat kaget saat melihat Elliot menyimpan kertas itu


sedangkan Ayah hanya tersenyum tipis.

“Kau tahu itu tidak sopan untuk sembarangan masuk ke kamar


kami tanpa izin, kan Elliot?” Ayah mengambil kertas itu dan
melipatnya.

“Tapi kenapa? Apa sebabnya?” tanyaku.

“Kami sudah tidak cocok lagi, dan juga Ibumu berpikir ia telah
menemukan pria lain yang lebih baik dari Ayah. Jadi, Ayah
memilih pergi.”
17

Ibu selingkuh? Bagaimana bisa?

“Itu tidak benar! Dia hanya teman kerjaku! Dan juga kenapa kau
mengatakan hal ini di hadapan anak-anak? Bukankah kita sudah
bicarakan ini sebelumnya?” Ibu membela diri.

“Teman kerja? Tapi kenapa kau berduaan dengannya di kamar


saat aku bekerja dan anak-anak sedang pergi sekolah? Bisa kau
jelaskan itu?”

Itu adalah pertama kalinya aku melihat orang tuaku bertengkar


seperti itu. Mereka saling berteriak dan menyalahkan satu sama
lain. Elliot mengacak rambutnya dengan kesal dan aku sudah
muak dengan apa yang ku lihat sekarang.

“Hentikan!” teriakku. “Kalau kalian mau bercerai, bercerailah!


Kami tidak peduli!”

Akus berdiri dari kursi dan pergi ke lantai atas disusul Elliot di
belakangku. Aku mendengar ibu menangis sesenggukan dan Ayah
membanting pintu rumah, entah mau pergi ke mana dia. Aku
benar-benar tidak peduli. Semuanya kacau.

Di kamar, aku membenamkan wajahku di bantal dan berteriak


sekencang-kencangnya hingga tenggorokanku terasa perih. Aku
menangis dan menangis hingga akhirnya kelelahan dan tertidur.

***

“Aku menginap di rumah pacarku malam ini dan akan pulang


besok. Beri tahu aku jika terjadi sesuatu di rumah.”
18

Aku membaca pesan teks dari Elliot. Rupanya ia sudah pergi sejak
kemarin setelah Ibu dan Ayah bertengkar. Sebenarnya aku tidak
peduli dia akan pergi ke mana, aku hanya butuh ketenangan. Aku
sudah tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi. Jika itu yang akan
terjadi, maka terjadilah.

Hari ini aku berdua saja dengan Ayah di rumah karena Ibu sedang
pergi entah ke mana. Sama sekali bukan urusanku.

“Makanlah, nak. Tadi Ayah sudah buat sarapan.” Ujar Ayah saat ia
sedang membereskan meja kerjanya.

“Aku tidak lapar.” Jawabku.

“Ayah tahu kau pasti belum bisa menerima kenyataan yang terjadi
sekarang. Tapi cepat atau lambat kau akan mengerti, sayang.”
Ayah mengusap lembut kepalaku.

“Ayah, bisakah kita tidak membicarakannya lagi? Aku sudah


muak.”

“Baiklah kalau begitu. Ini kan akhir pekan, kenapa kau tidak pergi
keluar dengan teman-temanmu?”

“Ku rasa tidak ada rencana untuk akhir pekan ini.”

Aku duduk di sofa dan menyalakan TV, mencari sesuatu yang


bagus untuk ditonton.

“Ayah akan pergi untuk mengurus berkas perceraian. Jika kau


akan pergi ke luar pastikan semua listrik dan kompor dalam
keadaan mati.”
19

Ayah merapikan dasinya di depan cermin.

“Ya.” Jawabku singkat.

Baiklah, ku rasa tinggal aku sendiri yang berada di rumah. Bagus


sekali. Itu artinya aku bebas melakukan apapun yang ku mau. Aku
mengeluarkan rokok dari saku celanaku dan menyalakannya. FYI,
aku sudah merokok sejak umur 15 karena Jimmy yang
mengajariku. Dia mungkin berpengaruh buruk dalam hidupku
tapi itu tidak apa-apa.

“Elora!!”

Terdengar seseorang mengetuk pintu rumahku. Well, ku rasa itu


Jimmy. Memangnya siapa lagi?

“Elora, ayo kita ke pantai!”

Jimmy memakai celana pantai, baju singlet, dan kacamata hitam.


Ia terlihat sudah siap pergi ke pantai.

“Sekarang?”

“Tidak, satu abad lagi. Tentu saja sekarang, bodoh!”

Jimmy menyuruhku untuk segera bersiap-siap. Ia menungguku di


dalam mobil dan aku pun segera berganti pakaian. Rumah kami
memang dekat dengan pantai, jaraknya hanya beberapa kilometer
dari sini. Dulu aku dan keluargaku sering sekali ke pantai, hampir
setiap minggu. Tapi sekarang itu sudah tinggal kenangan yang
akan selalu ku ingat.
20

Jimmy berteriak dari dalam mobil menyuruhku untuk cepat, ia


bilang Syn dan yang lainnya sudah tiba di sana.

“Mereka juga ikut? Ku pikir hanya kita berdua.” Ujarku seraya aku
masuk ke dalam mobilnya.

“Well, sebenarnya aku berharap hanya kau dan aku. Bayangkan,


kita akan di pantai sampai sore dan menyaksikan matahari
tenggelam, bukankah sungguh romantis?” Jimmy tersenyum
sumrigah.

“Kau terlalu banyak menonton film, Jim.”

Sesampainya di pantai kami bertemu Matt dan yang lainnya yang


sudah tiba lebih dulu. Syn melompat keluar dari mobil Zacky
sambil membawa papan selancarnya. Ku dengar dari Jimmy, Syn
memang mahir berselancar. Dan Zacky membawa sebuah kamera
yang tergantung di lehernya, sedari tadi ia sibuk memfoto apapun
yang dilihatnya menarik.

Tiba-tiba Jimmy merangkulku dan ia memanggil Zacky.

“Zacky, ayo foto aku dengan Elora!” serunya.

“Baiklah, 1,2,3!”

Zacky mengambil beberapa foto kami.

“Wow, two bestfriends in the beach. The may kiss!” olok Matt
seraya ia berjalan melewatiku dan Jimmy.

“Yes we will!” sahut Jimmy, ia memandangku dari dekat.

“No. We won’t.” Balasku.


21

Kemudian aku menyadari bahwa Valary tidak ikut, Matt bilang Val
tidak bisa ikut karena ada acara keluarga di rumahnya. Aku
sedikit kecewa mendengarnya namun setelah itu Jimmy
mengajakku untuk membeli minuman di kafe di pinggir pantai.

“Kau mau minum apa? Aku traktir.”

“Wah, terima kasih, Jim! Aku mau Caramel Macchiato saja.”

Jimmy baik sekali karena ia mau meneraktirku. Jarang sekali ia


bersikap manis seperti ini.

“Tunggu, kenapa kau tiba-tiba baik padaku? Jangan-jangan ada


yang kau inginkan dariku?” aku menatapnya curiga.

Jimmy menjitak pelan kepalaku. “Tentu saja tidak, bodoh! Aku


hanya ingin menghiburmu karena aku tahu kau sedang sedih.”

Bagiamana ia bisa tahu? Apakah ia mendengarnya juga? Atau ia


dengan sengaja menguping? Ah, menyebalkan.

“Apa kau mendengarnya semalam?” tanyaku.

“Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk menguping, tapi tadi


malam aku ingin ke rumahmu tapi tidak jadi karena aku
mendengar Ibu dan Ayahmu bertengkar. Dari situ aku tahu bahwa
kau sedang tidak baik-baik saja.” Tuturnya.

Memalukan. Mereka bertengkar sampai-sampai tetangga juga ikut


mendengarnya.

“Aku ikut sedih mengetahui apa yang terjadi padamu, El.”


22

“Aku sudah tidak mau membahasnya, Jim. Anggap saja hal itu
tidak pernah terjadi. Lupakan saja.”

Aku menyedot minumanku lalu berjalan mendahului Jimmy. Aku


benar-benar serius saat aku bilang aku tidak ingin membahasnya
lagi, aku tidak ingin membuat diriku sendiri menjadi sedih, itulah
sebabnya.

Matthew dan Johnny menggelar tikar, lalu mereka berdua


telungkup di atasnya setelah mengoleskan krim matahari.

“Gadis-gadis akan gila padaku saat aku mendapatkan kulit cokelat


sempurna!” ujar Johnny.

Matthew yang berada di sebelahnya mengangguk setuju. Tak jauh


dari mereka, terdapat Zacky yang sedang memoto siput-siput dan
binatang laut lainnya di pasir sedangkan Syn sedang asyik
berselancar di atas gulungan ombak.

“Elora, coba lihat!” Zacky memanggilku. “Aku dapat udang!”

Aku mendekat ke arahnya, melihatnya memegang udang


berukuran sedang yang di temukannya di dalam pasir.

“Carilah yang banyak untuk makan malam kita nanti.” Jawabku.

“Sayangnya aku alergi udang.” Ujar Zacky, ia mengembalikan


udang itu ke dalam pasir. “Kembalilah ke sarangmu, kawan
kecilku.”

“Ah, sayang sekali. Padahal udang itu sangat enak.” Balasku.


23

Tak jauh dari tempatku duduk terlihat Jimmy yang sedang


bermain bola voli bersama beberapa remaja lainnya—kukira ia
masih berada di kafe. Jimmy memberiku kode dengan mata,
mengajakku untuk ikut bermain. Aku menggeleng. Aku hanya
ingin duduk di sini, bisa menikmati deburan ombak dan
pemandangan pantai yang indah ini.

Semuanya sedang asyik dengan urusannya masing-masing.


Synyster sudah lelah berselancar dan ia pun berhenti dan duduk
di tikar bersamaku. Ia mengambil sebotol air mineral di dalam
tasnya dan meminumnya hingga habis.

“Jangan terlalu banyak melamun, itu tidak baik.” Ujar Syn sambil
memasukkan botol itu ke dalam tasnya.

“Aku tidak melamun.” Jawabku. “Aku hanya ingat dulu aku dan
keluargaku sering berkunjung ke sini.”

“Oh ya? Pasti menyenangkan.”

“Memang. Tapi hal itu tidak akan terjadi lagi.”

“Sebagai gantinya kita akan pergi ke sini setiap minggu,


bagaimana?”

“Entahlah, Syn. Ku rasa itu tidak akan sama seperti dulu.


Pikiranku sekarang hanya dipenuhi oleh pikiran-pikiran buruk.”

“Pikiran seperti apa itu?” tanyanya.

Aku terdiam. Aku sejujurnya tidak ingin mengatakan bahwa aku


takut orang tuaku nanti akan menikah lagi dengan orang yang
baru, lalu mereka punya anak lagi dan melupakan aku. Elliot
24

bahkan tidak peduli padaku. Ku rasa suatu saat aku akan pergi
dari rumah dan hidup sendirian di suatu tempat. Jauh dari
manapun.

“El?” Syn menyadarkanku dari lamunan.

“Biarkan pikiran buruk itu tetap ada di kepalaku. Aku tidak ingin
mengatakannya.”

“Baiklah. Apapun pikiran burukmu itu, itu tidak akan terjadi. Itu
semua hanya ada di kepalamu saja.”

Aku mengangguk. “Ku harap begitu.”

Tiba-tiba aku melihat wajah Syn terlihat kaget, ia melotot ke


arahku dan berteriak,

“El, awas!”

Aku merasakan sesuatu yang keras menghantam bagian belakang


kepalaku. Sakit sekali. Itu membuat pandanganku menjadi buram
dan aku samar-samar melihat Jimmy menghampiriku, meminta
maaf. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

***

Itu semua terjadi begitu saja. Aku kemudian terbangun dan


melihat wajah Jimmy berada sangat dekat dengan wajahku, bibir
kami bersentuhan. Ia menciumku.

Aku berteriak, lantas mendorongnya.

“Apa yang kau lakukan?!”


25

“I-ini bukan seperti yang kau pikirkan, El. Aku memberimu nafas
buatan!” Jimmy menjelaskan.

“Apakah itu ciuman pertamamu?” tanya Zacky yang kemudian ku


cubit lengannya.

Wajahku memerah.

Aku malu.

Beberapa orang yang tadi mengerumuniku pun berlalu pergi saat


melihat aku sudah sadar. Kepalaku rasanya sedikit pusing dan
perih. Jimmy kemudian datang memberikanku sebotol air dan
menyuruhku meminumnya.

Aku memalingkan wajah saat ia melihat ke mataku. Entah


mengapa aku merasa malu padanya padahal ia hanya
memberikanku nafas buatan.

“Kau marah padaku?” tanya Jimmy. Ia terus berusaha menatap


mataku.

“Tidak! Sekarang menjauhlah!”

“Baiklah, sepertinya kau marah.”

“Kau seharusnya berterima kasih padanya, El.” Celetuk Syn.

Kemudian ponselku berdering, sebuah telepon masuk dari Ayah,


ia menyuruhku pulang. Aku benci sekali jika disuruh pulang saat
aku sedang bersama teman-temanku.

“Kau mau pulang? Baiklah, akan ku antar.”


26

Jimmy memakai bajunya—sedari tadi ia bertelanjang dada, dan


kemudian ia menjulurkan tangannya, membantuku berdiri.

“Kenapa cepat sekali, El? Aku bahkan belum mengajarimu


berselancar.” Ujar Syn.

“Entahlah. Ayahku menyebalkan sekali.” Jawabku.

“Aku juga tidak suka saat orang tuaku bersikap seperti itu.
Mungkin minggu depan kita akan ke pantai lagi dan kau akan jadi
modelku, El.” Ujar Zacky yang sedang membersihkan lensa
kameranya.

“Terserah kau saja, Zack. Kepalaku rasanya pusing.”

Aku dan Jimmy masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan kami


berdua hanya diam dalam kecanggungan hingga akhirnya Jimmy
membuka pembicaraan, ia minta maaf lagi.

“Lupakan saja, Jim. Semuanya sudah terjadi.”

“Bukan, maksudku bukan tentang bolanya, aku minta maaf jika


kau berpikir aku menciummu. Aku hanya tidak ingin kau
memandangku sebagai laki-laki mesum.”

Aku diam. Dadaku berdesir saat aku mengingat betapa lembutnya


bibir Jimmy saat menyentuh bibirku tadi. Aku tidak pernah
mencium ataupun dicium laki-laki lain selain ayahku sebelumnya.

Eh, tunggu, kenapa aku jadi begini? Dia hanya memberimu nafas
buatan, Elora!
27

“Kenapa wajahmu memerah?” Jimmy menoleh, lagi-lagi ia


berusaha menatap mataku.

“Tidak usah banyak tanya! Kemudikan saja mobilmu itu!” balasku


ketus.

Jimmy menggaruk kepalanya. “Kenapa kau marah-marah begini?


Aku tidak mengerti. Oh, apa jangan-jangan kau menyukai nafas
buatanku ya?” Jimmy tersenyum mengejek.

“Jim, aku bersumpah akan menamparmu jika kau mengatakannya


lagi!” Ancamku.

“Baiklah, aku akan diam.” Balasnya. Namun senyuman itu masih


saja tak lepas dari wajahnya.

Sesampainya di rumah Ayah sudah menungguku di depan


mobilnya, sambil melipat tangan di depan dada. Ia menunjukkan
wajah masam saat melihatku keluar dari mobil Jimmy.

“Bagus sekali, El. Kau berani pakai bikini sekarang, dan pergi
bersama teman priamu?” sindirnya.

“Kami hanya pergi ke pantai! Lagi pula aku pergi bersama Jimmy,
tetangga kita!”

Kepala Jimmy menyembul keluar dari jendela mobilnya, menyapa


Ayahku, tapi ayahku memalingkan wajahnya.

“Cepat ganti pakaianmu sekarang. Kita akan pergi berbelanja


bahan makanan. Ibumu itu sudah tidak peduli lagi tentang
keadaan di rumah.” Ayah membuka pintu mobil dan masuk ke
dalamnya.
28

Jimmy melambaikan tangannya padaku lalu ia berlalu pergi. Aku


masuk ke dalam rumah dan menaiki tangga dengan kesal.
Memangnya kenapa kalau aku memakai bikini? Umurku sudah 16
tahun dan aku bebas memakai apapun yang aku mau. Aku tidak
suka diatur-atur seperti itu.

Aku membanting pintu kamarku dengan keras sehingga figura


foto yang terpajang di dinding terjatuh. Itu adalah foto
keluargaku. Sudah tidak penting lagi. Bahkan sebaiknya itu
dibuang saja.

Tak terasa air mataku mengalir keluar, aku meninju tembok


dengan frustrasi. Aku tidak bisa hidup seperti ini.

Ayah membunyikan klakson mobilnya, menyuruhku untuk cepat.


Aku pun memakai hoodie dan celana panjang kemudian turun ke
bawah.

“Jangan pernah coba-coba memakai bikini di depan Ayah lagi atau


kau akan tahu akibatnya.” Ayah menatapku serius.

“Apa yang salah dengan itu? Aku kan pergi ke pantai, tidak
mungkin aku memakai piyama ke pantai, Ayah!” Balasku dengan
suara bergetar.

“Kau tidak tahu apa yang ada di pikiran laki-laki saat melihat
perempuan berpakaian seperti itu!”

Aku dan Ayah berdebat di mobil. Ia menyalahkanku karena aku


memakai bikini ke pantai. Menurutnya itu tidak pantas karena
dapat mengundang niat jahat laki-laki, tapi menurutku itu
29

pemikiran yang bodoh. Ayah bahkan melarangku berteman


dengan Jimmy, dan tentu saja aku tidak terima.

“Memangnya kenapa jika aku berteman dengan Jimmy? Dia baik


dan selalu ada untukku, sedangkan Ayah jarang ada untukku dan
hanya bisa marah-marah saja!”

“Kau berani membantah Ayah sekarang? Dari mana kau dapatkan


sifat memberontak seperti itu? Ah, pasti dari Ibumu.”

Apa? Sekarang ia bahkan menyamakanku dengan Ibu? Aku tidak


tahan lagi. Aku menangis dan menyuruhnya menghentikan mobil.

“Turunkan aku sekarang atau aku akan berteriak!”

“Jangan kekanak-kanakan! Ayah tidak akan menghentikan


mobilnya.”

Aku berteriak, kemudian Ayah dengan terpaksa menghentikan


mobilnya dan aku pun langsung turun dari situ.

“Pergilah! Kau sama saja seperti Ibumu!”

Aku menutup pintu mobil dengan keras, Ayah langsung berlalu


pergi meninggalkanku. Pipiku banjir oleh air mata.

Aku tidak menyangka bahwa Ayah akan benar-benar pergi


meninggalkanku. Aku hanya memakai bikini dan berteman
dengan Jimmy, di mana letak salahnya? Mulai hari ini, detik ini,
aku membenci Ayahku.

***
30

Aku pulang ke rumah dengan basah kuyup karena hujan turun


saat aku tengah berjalan menuju pulang. Di ruang keluarga
terlihat Elliot yang sedang duduk sambil menonton TV. Ia yang
melihatku basah kuyup, lantas mengambilkanku handuk.

“Kau dari mana? Kenapa tidak pakai payung?” tanyanya.


Wajahnya terlihat cemas.

Aku tak menjawab pertanyaannya dan berlalu pergi. Aku harus


segera mandi dan menghangatkan tubuhku, jika tidak aku akan
sakit. Daya tahan tubuhku memang lemah, belum lagi aku punya
riwayat penyakit tifus yang bisa kambuh ketika aku kelelahan.

Selesai mandi dan berganti pakaian aku memutuskan untuk


beristirahat. Aku menutupi tubuhku dengan selimut tebal karena
udaranya dingin sekali. Aku berusaha untuk tidur, walau
pikiranku masih dipenuhi oleh perdebatanku dengan Ayah tadi.
Aku sakit hati saat ia bilang aku sama seperti Ibu, memangnya hal
yang ku lakukan seburuk itu kah?

Pintu kamarku di ketuk, Elliot masuk ke dalam sambil


membawakanku minuman hangat. Aku memejamkan mataku,
berpura-pura tidur walau mataku mengintip sedikit. Ia duduk di
pinggir ranjangku, mengusap kepalaku dengan lembut.

“Perceraian orang tua kita mungkin sangat berat bagimu, tapi


percayalah kita bisa melalui semua ini. Apapun yang terjadi, kau
tetap adik kecilku yang ku sayang.” Ia bergumam.

Aku diam saja, tetap pada posisiku. Elliot kemudian pergi setelah
ia mencium keningku. Aku merasa heran, tidak biasanya ia seperti
ini. Kami dulu memang dekat, tapi hubungan kami merenggang
31

saat ia mulai berpacaran dengan gadis yang satu sekolah


dengannya.

Hujan sudah mereda, menyisakan hawa dingin yang menusuk.


Aku bangun dan bersandar di bantal kemudian meminum cokelat
panas yang dibawakan Elliot tadi. Aku membuka kotak rokokku
dan melihat rokokku tersisa 4 batang, well, ku rasa aku akan
membeli lagi nanti. Aku menyalakannya satu dan kemudian
merokok sambil menatap ke luar jendela kamarku.

Tiba-tiba aku melihat sebuah kepala muncul dari luar jendela. Aku
terkejut setengah mati, Jimmy memanjat ke jendela kamarku
dengan keadaan setengah basah.

“Apa yang kau lakukan di situ?” aku beranjak dari kasur dan
membukakan jendela. Jimmy melompat masuk.

“Kenapa harus lewat jendela? Kau kan bisa lewat pintu depan!”

Aku memberinya handuk kecil, ia lalu mengusap wajahnya yang


basah oleh air hujan.

“Maaf telah membuatmu dimarahi oleh ayahmu, El.”

Jimmy duduk di kursi, menatap ke arahku yang sedang duduk di


ranjang.

Aku tertawa, “Jadi kau datang ke sini, memanjat jendelaku hanya


untuk itu?”

“Karena aku merasa bersalah telah mengajakmu ke pantai, El.


Kepalamu terkena bola, dan kau di marahi Ayahmu.” Jawabnya.
32

“Lalu kenapa harus memanjat jendela?”

“Aku takut jika nanti Ayahmu melihatku, ia akan marah.”

“Dia sedang tidak di rumah, tenang saja.”

Jimmy merogoh saku celananya dan memberikan sesuatu padaku.

“Aku bawakan kau cangkang kerang.”

Ia menyodorkan sebuah cangkang kerang berukuran besar dan


coraknya yang unik.

“Wow, terima kasih, Jim.”

Aku mengambil cangkang kerang itu dan meletakkannya di lemari


koleksiku. Jimmy pindah duduk di sebelahku.

“Aku akan latihan band di rumah Matt sore ini, kau ikut?”

“Tidak. Ku rasa aku hanya ingin di rumah saja.”

“Ayahmu menghukummu?”

Aku menggeleng. “Tidak.”

Jimmy tersenyum. “ Syukurlah. Ku kira kau akan dihukum.”

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki berjalan mendekati


kamarku. Terdengar suara ketukan pintu dan suara Ayah yang
memanggilku dari luar kamar.

Aku dan Jimmy langsung panik, aku menyuruh Jimmy sembunyi di


bawah ranjang dan setelah itu aku berpura-pura membaca buku.
33

Pintu terbuka dan Ayah masuk ke dalam.

“Hei Elora,” Ayah berjalan menghampiriku dan duduk di kasur.


“Ayah sungguh minta maaf tentang apa yang sudah terjadi tadi.
Seharusnya Ayah tidak membiarkanmu hujan-hujanan seperti
itu.”

Aku hanya diam. Tak menganggap keberadaannya di sampingku.

“Dengar El, Ayah tahu kau juga marah karena Ayah melarangmu
memakai bikini itu, dan juga tentang Jimmy. Tapi itu semua demi
kebaikanmu.”

Aku mengangkat kepalaku dan mulai bicara

“Apakah Ayah sudah selesai bicaranya? Aku mau tidur siang.”

Ekspresi wajah Ayah berubah, ia terlihat marah padaku.

“Begitukah caramu berbicara kepada Ayahmu?”

“Lebih baik Ayah keluar dari kamarku. Aku ingin sendirian.”

“Baik! Tidak ada makan malam untukmu malam ini!”

“Tidak papa! Aku juga sudah kenyang dengan semua omong


kosong Ayah!”

Ayah membanting pintu kamarku. Aku menggeram. Terdengar


suara Ayah yang memakiku di luar sana, mengatakan bahwa aku
anak yang tidak bersyukur.

Jimmy keluar dari tempat persembunyiannya, bertanya apakah


aku baik-baik saja.
34

“Aku tidak apa-apa. Sudah biasa terjadi.”

Jimmy menghela nafas pendek. Ia kembali duduk di sebelahku.

“Tadi aku mendengar Ayahmu berbicara tentangku. Itu apa


maksudnya?” Jimmy menatapku.

Aku pun akhirnya menceritakan bahwa Ayah tidak suka aku


berteman dengannya. Kukira Jimmy akan sedih atau marah, tapi ia
hanya tertawa mendengarnya.

“Sudah ku bilang, aku ini teman yang buruk, El. Aku hanya akan
berpengaruh buruk di dalam hidupmu. Bahkan Ayahmu tahu itu.”

“Tapi aku suka berteman denganmu! Kau...” aku menunduk sedih.


“Hanya kau satu-satunya teman yang ku punya.”

Jimmy mengernyitkan dahi. “Bagaimana dengan Matthew, Zacky,


Syn—“

“Mereka tidak dekat denganku.” Aku memotong kata-kata Jimmy.

Sejak kecil aku selalu kesulitan untuk memiliki teman. Aku tidak
berani menyapa mereka duluan kecuali mereka menyapaku.
Jimmy memang teman masa kecilku karena kebetulan rumah
kami bersebelahan, lalu bertahun-tahun kami tidak pernah
bermain bersama lagi hingga sekarang akhirnya kami bisa dekat
kembali. Aku ingin dia menjadi temanku selamanya. Atau mungkin
lebih dari teman.

Jimmy mengusap kepalaku kemudian ia mengangkat daguku.


35

“Jangan bersedih, El. Kita akan tetap berteman, oke? Aku tidak
akan menjauhimu walaupun Ayahmu berkata demikian.” Jimmy
tersenyum.

“Terima kasih, Jim.”

“Tidak masalah.” Jimmy meluruskan kakinya. “Apakah kau tahu


bahwa bulan depan sekolah kita mengadakan daddy-daughter
dancing?”

Daddy-daughter dancing? Kurasa aku pernah melakukannya tahun


lalu bersama ayah. Well, mungkin tahun ini aku tidak akan
melakukannya.

“Oh ya? Kedengarannya keren.” Timpalku.

“Kau tidak ikut? Tahun lalu aku melihatmu berdansa bersama


Ayahmu, kau terlihat cantik sekali!”

Aku memutar bola mataku. “Tidak. Aku tidak akan ikut. Kau tahu
kan hubunganku dengan Ayahku sedang tidak baik-baik saja?”

“Mungkin dengan cara itu kalian bisa berbaikan.”

Aku menggeleng. Aku masih marah dengan Ayah dan aku tidak
ingin membahas ini. Mungkin akan ku pikirkan lagi mengenai
dansa itu.

“Aku akan pergi ke rumah Matt sekarang. Kau yakin tidak ingin
ikut?” tanya Jimmy.

“Tidak.” Jawabku pendek.


36

“Kami baru saja menulis album baru yang terdiri dari 13 lagu. Kau
harus mendengarkannya, El.”

“Benarkah? Itu keren. Ku harap band kalian akan terkenal suatu


saat nanti.”

Jimmy mengangguk, tersenyum. Lalu ia berpamitan padaku lantas


melompat keluar dari jendela kamarku.

Aku kembali berbaring di kasurku, memakaikan airpods ke


masing-masing telingaku kemudian menyalakan musik keras-
keras. Berusaha untuk melupakan masalahku hari ini. Aku
penasaran di mana Ibu sekarang, apakah benar Ibu berselingkuh?
Atau dia sekarang sedang bersama dengan selingkuhannya? Jika
nanti Ayah dan Ibu sudah resmi bercerai apakah Ibu akan
menikah lagi? Ah, pikiranku seakan tidak mau diam. Aku lelah
sekali memikirkan semua ini.

***

“Elora! Elora! Bangun!”

Aku baru saja mencapai bagian terbaik dari mimpiku ketika Elliot
membangunkanku. Elliot berdiri di depanku, di tangan kirinya ia
memakai sarung tangan bisbol dan tangan kanannya memengang
tongkatnya.

“Ayo kita main bisbol!” ajaknya.

Aku mengerang dan mengubur diriku ke dalam selimut.

“Lain kali saja, Elliot.” Jawabku.


37

Mataku benar-benar sangat berat untuk dibuka. Lagi pula ini hari
Minggu dan aku hanya ingin bermalas-malasan seharian.

“Ayolah El, bukankah sudah lama kita tidak bermain bisbol? Derek
dan Gordon sudah menunggu kita di lapangan.” Elliot terus
bersikeras mengajakku.

“Aku tidak mau. Aku hanya ingin tidur.”

“Benarkah? Baiklah kalau begitu. Padahal aku ingin meneraktirmu


di Starbucks.”

Starbucks? Wah, sekarang ini jadi pilihan yang sulit. Aku sangat
suka Starbucks. Aku keluar dari selimutku dan memanggil Elliot
yang hendak berjalan keluar dari kamarku.

“Baiklah! Aku akan ikut!”

Elliot mengangkat bahu, tertawa. “Sudah ku duga kau takkan


pernah menolak Starbucks.”

Aku beranjak dari kasur dan kemudian berjalan ke kamar mandi,


mencuci wajahku di wastafel. Jendela di kamar mandiku
terhubung ke halaman belakang dan aku bisa melihat Ayah
sedang mengobrol dengan Ayahnya Jimmy. Entah apa yang
sedang mereka bicarakan tapi sepertinya sangat seru. Mereka
berdua terlihat akrab, lantas mengapa aku tidak diperbolehkan
berteman dengan Jimmy?

Aku meraih jaket dan topi bisbolku yang tergantung di belakang


pintu, lantas menyusul Elliot yang sudah menungguku.
38

Lapangan tempat aku dan Elliot bermain letaknya tidak jauh dari
rumah, hanya berjalan kaki sebentar dan sampailah kami di sana.

“Hai Elora! Lama sekali kami tidak melihatmu di sini.”

Pria gondrong itu menyapaku, namanya Gordon dan ia berumur


sekitar 30 tahunan. Ia telah menghabiskan separuh dari hidupnya
untuk bermain bisbol, jika kau mampir ke rumahnya kau akan
melihat dinding rumahnya di penuhi oleh piagam dan mendali
atas kemenangannya di berbagai turnamen bisbol.

“Ya, aku sangat sibuk dengan tugas sekolah, itulah sebabnya.”


Jawabku. “Iya kan, Elliot?”

Aku menoleh dan mendapati Elliot sudah menghilang entah


kemana.

“Well, apakah sebaiknya kita mulai sekarang?” ujar Gordon.

Aku mengangguk. Di lapangan aku melihat Derek—sepupu


Gordon yang seumuran denganku sedang bermain dengan
temannya. Aku berdiri di pinggir lapangan dan melakukan
pemanasan seadanya.

Setelah empat ronde permainan aku merasa lapar sekali. Sedari


kemarin sore aku tidak makan apapun karena aku terlalu asyik
tidur dan juga marah pada Ayah. Aku duduk sebentar di pinggir
lapangan sambil memperbaiki ikatan rambutku, tak lama
kemudian Elliot menghampiriku dan aku langsung menagih
janjinya.

“Aku lapar. Ayo kita sarapan di Starbucks.” Ujarku.


39

“Kalian mau ke Starbucks? Aku ikut!” celetuk Derek.

“Baiklah, ayo! Gordon, kau ikut?” tanya Elliot.

“Maaf aku tidak bisa ikut. Aku harus mengantar istriku ke salon.”
Jawab Gordon.

“Wah, sayang sekali. Baiklah, semoga harimu menyenangkan!”

“Kalian juga. Selamat bersenang-senang!”

Kami bertiga berjalan kaki menuju Starbucks yang letaknya persis


di sebelah kanan lapangan bisbol. Aku sangat menyukai tempat
tinggalku saat ini karena semuanya serba dekat. Supermarket,
coffee shop, lapangan bisbol, dan taman semuanya dekat jadi aku
tidak perlu jauh-jauh untuk pergi ke manapun.

Dari kejauhan aku melihat Jimmy sedang mengendarai sepedanya


sambil membawa barang belanjaan. Sepertinya ia baru saja dari
supermarket. Jimmy melihat ke arahku dan tersenyum,
mengedipkan sebelah matanya.

“Dia pacarmu, ya?” tanya Elliot.

“Tidak, kami hanya berteman.” Jawabku. “Aku heran kenapa Ayah


melarangku berteman dengannya.”

“Kau ingin tahu kenapa? Itu karena Ayah pernah melihat Jimmy
menjatuhkan sekantung kokain dari saku jaketnya, dari situ Ayah
berpikir Jimmy bukanlah anak yang baik.” Elliot menjelaskan.

Aku terheran-heran. Jimmy memakai kokain? Aku tidak pernah


tahu tentang itu.
40

“Anak itu dulu pernah bermain bersama kita kan? Tapi


permainannya benar-benar buruk.” Sambung Derek.

Well, ku rasa aku harus tanyakan langsung hal ini kepada Jimmy
nanti.

Kami sudah sampai di Starbucks dan kemudian memesan


beberapa menu. Semua berjalan seperti biasa, aku merasa lebih
dekat pada Elliot seperti dulu. Sebenarnya aku sangat merindukan
saat-saat ini, tapi dulunya ku pikir ia tidak begitu peduli
tentangku.

Setelah menghabiskan sarapannya Derek pamit pergi karena ia


harus membawa anjingnya ke pet shop untuk dimandikan. Jadi
kini hanya aku berdua dengan Elliot dan aku merasa agak
canggung sebenarnya.

“Setelah ini kita akan kemana lagi?” ujar Elliot.

“Entahlah. Bagaimana menurutmu?” aku balik bertanya.

“Kau ingat waktu dulu saat kita masih kecil kita selalu
menginginkan berkemah di tengah hutan, tapi Ibu dan Ayah tidak
mengizinkan kita.” Elliot tertawa.

“Ya, aku ingat. Sebagai gantinya mereka membelikan kita tenda


mainan untuk berkemah di halaman belakang.” Balasku.

Aku ingat itu. Aku dan Elliot berkemah di halaman belakang dan
Ayah pergi mengecek kami dua jam sekali untuk memastikan
kami baik-baik saja.
41

“Aku baru sadar ternyata kita punya masa kecil yang indah.” Elliot
tersenyum, ia sepertinya sedang mengingat-ingat kenangan masa
kecil kami.

“Benar. Rasanya aku tidak ingin menjadi dewasa.”

“Maafkan aku karena selama ini aku tidak memedulikanmu, El.


Aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri sehingga aku lupa
bahwa aku punya adik yang dulunya sangat dekat denganku.”

Aku senang Elliot menyadarinya. Selama ini aku selalu kesepian di


rumah. Aku selalu menghindarinya karena ia yang duluan
menjauhiku. Dulu ia selalu marah jika aku ingin mengajaknya
keluar, atau mengabaikanku jika aku ingin mengobrol dengannya.
Oleh karena itu aku juga berusaha untuk tidak mau berbicara
dengannya lagi.

“Aku tidak ingin membuatmu merasa sendiri, aku ingin


menghabiskan waktu bersamamu selagi aku bisa karena minggu
depan aku akan pindah ke New York untuk kuliah di sana. Kau
tahu kan, sedari kecil aku ingin sekali kuliah di New York.”

“M-minggu depan? Kenapa kau tidak bilang?”

“Aku baru saja mengatakannya padamu.”

Aku terdiam sejenak. Jika Elliot pindah ke New York itu artinya
nanti aku hanya tinggal berdua dengan ayah. Pasti aku akan
merasa kesepian.

“Kau jangan sedih, aku berjanji akan mengajakmu ke sana suatu


saat nanti. Atau kita bisa menetap di sana kalau kau mau. Sayang
42

sekali orang tua kita akan bercerai, padahal aku ingin sekali
membawa mereka untuk tinggal di sana.”

“Aku tidak peduli lagi pada mereka.”

“Ku dengar tadi pagi, mereka berdua sudah resmi bercerai. Ibu
akan datang ke rumah besok untuk mengemasi barang-
barangnya, ia akan tinggal bersama dengan selingkuhannya.”

Aku terdiam, berusaha untuk tidak menangis. Ayolah Elora, kau


tahu hal ini pasti akan terjadi kan?

“Kau baik-baik saja?” Elliot merangkul pundakku.

Bagaimana aku bisa baik-baik saja? Walaupun aku tahu hal ini
akan terjadi tapi entah kenapa hatiku rasanya sakit sekali.

“Kita pasti bisa melalui ini semua. Jangan khawatir, El. Kau tidak
sendirian, setidaknya kau punya aku dan Ayah yang selalu
menyayangimu.”

Aku mulai menangis dan Elliot langsung memelukku,


menenangkanku. Aku benci hal ini harus terjadi di hidupku.
Keluarga kami tak utuh lagi, sosok Ibu yang selama ini ku kagumi
telah memilih untuk tidak menghabiskan hidupnya bersama Ayah.
Dan juga bersama kami.

***

Sejak pertengkaranku dengan Ayah waktu itu aku jadi jarang


bertegur sapa dengannya. Aku tahu sebenarnya ia ingin
mengajakku mengobrol tapi aku selalu menghindarinya. Bahkan
saat kami sarapan atau makan malam pun aku selalu
43

menghabiskan makananku di kamar, tidak bergabung dengan


Ayah dan Elliot di meja makan.

Sore ini aku baru saja pulang sekolah bersama Jimmy. Kami
sedang dalam perjalanan pulang saat aku ingat ada sesuatu yang
ingin ku tanyakan padanya.

“Jimmy, ada sesuatu yang ingin ku tanyakan padamu.”

“Apa itu?”

“Apa benar selama ini kau menggunakan kokain?”

Jimmy menghentikan langkahnya, lantas menoleh ke arahku. Ia


terdiam menatapku.

“Dari mana kau tahu?” tanyanya.

“Jawab aku. Apakah itu benar?” aku memasang wajah serius.

Jimmy merogoh saku celananya, mengeluarkan plastik kecil berisi


serbuk putih di dalamnya.

“Maksudmu ini?” Jimmy menunjukkan benda itu.

“Ya ampun Jimmy, jadi itu benar?!”

Aku terkejut mengetahui ternyata Jimmy benar-benar pengguna


kokain.

Tiba-tiba Jimmy tertawa terbahak-bahak. Aku tidak tahu apa


maksudnya. Mungkin otaknya sudah rusak karena terlalu banyak
menggunakan kokain.
44

“Kau sangat bodoh jika kau percaya, El. Kau tahu apa ini? Ini
hanyalah gula yang telah dihaluskan.”

Jimmy membuka plastik itu, memasukkan telunjuknya ke dalam


dan menjilat serbuk putih yang menempel di jarinya.

“Kau mau coba? Rasanya manis.”

Aku menatapnya. Kenapa ia sangat bodoh? Apa gunanya


memasukkan gula halus ke dalam plastik kecil seperti itu?

“Cobalah!”

Dengan ragu aku pun mencobanya. Dan benar, rasanya manis.

“Lantas untuk apa kau melakukan ini? Ayahku melarangku


berteman denganmu karena ia mengira kau memakai kokain!”

“Tentu saja agar aku terlihat keren, El.” Jimmy kembali


menyimpan plastik itu ke saku celananya. “Dan bagaimana
Ayahmu bisa tahu tentang ini?”

Aku pun menjelaskan padanya bagaimana Ayah melihatnya


menjatuhkan benda itu. Jimmy pun kemudian memutuskan untuk
bertemu dengan Ayahku untuk menjelaskan yang sebenarnya.

Ayah sedang memberi makan anjing ketika Jimmy


menghampirinya. Mereka berdua mengobrol di teras dan aku
masuk ke dalam kamarku, melihat mereka berdua mengobrol dari
balik jendela.

Ku lihat Jimmy menunjukkan serbuk putih itu pada Ayah,


menyuruh Ayah mencobanya. Ayah lantas mencoba itu dan
45

kemudian mereka berdua tertawa bersama. Phew, syukurlah.


Mungkin itu artinya Ayah tidak akan melarangku untuk berteman
dengannya lagi.

Kemudian aku turun ke bawah dan menghampiri Elliot yang


sedang bermain PS5 di ruang keluarga.

“Hei El, kau sudah pulang rupanya.” Ujar Elliot tanpa mengalihkan
pandangannya dari layar TV.

Aku duduk di sebelahnya. “Ya. Aku senang sekali ternyata Jimmy


bukan pengguna kokain dan ia telah menjelaskan sebenarnya
kepada Ayah.”

“Oh ya? Jadi benda apa yang dilihat Ayah waktu itu?”

“Gula yang dihaluskan!” ujarku. “Dia bodoh sekali kan?”

Elliot tertawa. “Beberapa anak di sekolahku juga melakukan itu


agar terlihat keren. Aku bahkan tidak tahu apa yang keren dari
itu.”

“Wow, kau punya PS5?!”

Jimmy muncul bersama Ayah yang sedang menggendong Morbid.

“Ingin bermain bersamaku?” ajak Elliot.

“Tentu saja! Aku selalu ingin bermain PS5 tapi orang tuaku tidak
punya uang untuk membelinya.”

“Tinggallah untuk makan malam, Jim. Aku akan memasak pork


chop untuk kita.” Kata Ayah. Wajahnya tidak terlihat masam lagi
saat melihat Jimmy.
46

“Wah, terima kasih banyak, Mr. Crimson!”

“Elora, maukah kau membantu Ayah memasak?”

Ayah menoleh ke arahku. Aku terdiam sebentar tapi akhirnya


mengangguk. Mungkin tidak ada salahnya jika aku membantunya
kali ini.

Aku tak terlalu banyak bicara saat bersama Ayah di dapur. Aku
membantunya menyiapkan bahan makanan dan Ayah yang akan
memasak semuanya. Masakan Ayah memang selalu enak—dulu ia
pernah bekerja sebagai koki di hotel bintang lima tapi kemudian
berhenti dan sekarang ia bekerja sebagai manager di hotel
tersebut.

Dulu biasanya Ayah selalu membantu Ibu memasak, dan selalu


ada perdebatan kecil jika Ayah mengkritik masakan Ibu. Tapi
perdebatan itu tidak serius dan pada akhirnya Ayah selalu akan
memuji masakan Ibu walau rasanya tidak enak.

“Aw!”

Aku terlalu asyik melamun sampai-sampai jariku tak sengaja


teriris pisau saat sedang memotong sayuran.

“Ya ampun, kau baik-baik saja sayang?”

Ayah menghampiriku, meraih tanganku yang mulai meneteskan


darah segar.

“Jangan khawatir, itu hanya goresan kecil. Tunggu sebentar ya,”


47

Ayah mengambil sebuah plester luka di dalam kotak obat, lantas


ia memakaikannya ke jariku.

“Kau akan baik-baik saja.”

Ayah tersenyum, mengusap kepalaku.

“Terima kasih karena kau sudah mau membantu Ayah memasak


hari ini. Ku harap kau akan memaafkan Ayah atas apa yang terjadi
beberapa minggu kemarin. Ayah telah hilang kendali. Sakit sekali
rasanya melihat Ibumu memilih pergi bersama pria lain.”

Mata Ayah berkaca-kaca. Ku pikir karena aku sedang mengiris


bawang, tapi ternyata ia benar-benar merasa sedih.

“Dia telah melupakan semua hal-hal indah yang pernah kita lalui
bersama. Janji suci kita, semuanya lenyap begitu saja.”

Ayah menarik nafas dalam-dalam, berusaha untuk tidak


menangis.

Aku jadi merasa kasihan pada Ayah. Aku juga merasa tidak
sepantasnya aku bersikap buruk padanya. Selama ini aku hanya
memikirkan egoku sendiri saja, tanpa peduli apa yang orang lain
rasakan.

“Aku juga minta maaf karena sikapku kemarin.” Ujarku.

“Tidak apa-apa, nak. Aku sangat bersyukur aku masih bisa tinggal
bersama dua orang anakku yang sangat ku sayangi.”

Ayah menyeka air mata yang mengalir di sudut matanya.

“Maaf, akhir-akhir ini Ayah sedikit emosional.” Ujarnya.


48

“Tidak apa-apa, Ayah. Aku mengerti perasaanmu.”

“Bisakah Ayah mendapatkan sedikit pelukan?” Ayah membuka


tangannya lebar-lebar, bersedia menerima pelukan.

“Tentu!” jawabku.

Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku memeluk Ayah, tapi kali
ini aku merasa sangat nyaman sekali.

“Wah, ada yang sudah berbaikan.”

Elliot menghampiri kami. Mungkin perutnya sudah keroncongan


karena mencium wangi masakan yang enak.

Ayah tersenyum, melepas celemeknya. “Makan malam sudah siap.


Panggil Jimmy untuk makan bersama.

“Aye-aye, captain!” seru Elliot.

Beberapa saat kemudian Jimmy datang dan kami berempat pun


menikmati lezatnya pork chop buatan Ayah. Jimmy memuji
masakan Ayah dan ia makan lahap sekali. Ini adalah pertama
kalinya ia ikut makan malam dengan keluarga kami.

“Terima kasih banyak kepada Mr. Crimson karena sudah


mengajakku makan malam di sini. Hidangan utamanya benar-
benar... Ugh... Aku bahkan tidak bisa menggunakan kata-kata
untuk mendeskripsikan lezatnya. Atau mungkin aku sudah terlalu
bosan memakan burger dan kacang polong untuk makan malam.”

“Terima kasih atas pujiannya. Ayah senang bisa memasak untuk


kalian semua.” Ayah tersenyum bangga.
49

***

“Syn!”

Aku memanggil Syn yang sedang bermain basket sendirian di


lapangan. Lapangan itu terlihat kosong, suara bola basket yang
didribble oleh Syn menggema ke seluruh ruangan. Sekarang
adalah waktunya pulang sekolah dan rencananya kami akan pergi
ke rumah Matt.

“Hei nona, di mana yang lainnya?” Syn menoleh, wajahnya basah


oleh keringat.

Aku menangkat bahu. “Entahlah. Ku kira mereka bersamamu.”

Tiba-tiba seorang gadis berambut cokelat berlari menghampiri


kami. Dia adalah Courtney, dulu kami pernah sekelompok di kelas
biologi.

“Guys! Jimmy dan Cameron berkelahi di koridor sekolah! Ku


mohon bantu aku melerai mereka, orang-orang di sana hanya
menjadikannya bahan tontonan.”

Courtney terlihat sangat panik. Cameron adalah saudara


kembarnya yang terkenal suka membuat onar. Aku dan Syn pun
langsung pergi ke koridor, terlihat di sana ramai sekali orang yang
mengerubungi mereka.

Jimmy terlihat sangat marah, ia membanting Cameron ke lantai


beton itu dan memukuli wajahnya. Cam memohon ampun kepada
Jimmy tapi Jimmy tidak menghiraukannya.
50

“Ini yang pantas kau dapatkan setelah kau menghina keluargaku!”


Jimmy mendengus.

Syn maju dan mencoba memisahkan mereka berdua.

“Sudah hentikan, Jim. Kau bisa membunuhnya.”

“Aku tidak peduli! Dia boleh menghinaku sepuasnya, tapi jika ia


menghina keluargaku, di saat itulah aku marah!”

Cameron terbaring di lantai, darah keluar dari hidungnya. Syn


membantunya berdiri dan membawanya ke ruang kesehatan
sekolah.

Orang-orang pun bubar. Pertunjukan sudah berakhir. Jimmy tidak


terluka sedikit pun setelah perkelahian tadi. Ia memandangku
sebentar lalu berlalu pergi.

“Jim!” panggilku.

Ia tidak menghiraukanku dan terus saja berjalan menuju taman


sekolah. Aku mengikutinya dari belakang, tertinggal jauh karena
langkahnya yang panjang-panjang.

Jimmy duduk di kursi taman. Aku yang tergopoh-gopoh setelah


mengikuti langkahnya pun ikut duduk di sebelahnya.

“Kau baik-baik saja, Jim?”

Aku tahu itu pertanyaan bodoh, tapi aku ingin tahu apa yang
terjadi padanya sehingga ia semarah itu.

“Elora, ku mohon tinggalkan aku sendiri. Aku sedang tidak ingin


berbicara dengan siapapun sekarang.”
51

Aku mengangguk pelan. “B-baiklah.”

Aku beranjak dari kursi, meninggalkan Jimmy sendirian di taman.


Apa sebaiknya aku pulang saja? Semuanya tiba-tiba terasa tidak
menarik.

Syn mengirimiku pesan singkat, bertanya aku ada di mana, aku


pun memberitahunya bahwa aku akan pulang saja. Syn membaca
pesanku, sesaat kemudian ia meneleponku.

“Apa?” tanyaku.

“Kenapa kau ingin pulang? Bagaimana dengan rencana kita?” balas


Syn.

Aku berpikir sejenak. Memangnya kenapa tiba-tiba aku tidak


bersemangat? Apakah karena Jimmy tidak mau bicara padaku?

“Baiklah, aku ikut.”

“Nah, begitu baru temanku. Kau tunggu di situ. Aku, Zack, dan
Johnny akan menyusulmu.”

Aku kembali ke taman, menunggu Syn dan yang lainnya datang.


Jimmy sudah tidak terlihat lagi di sana, entah ia pergi ke mana.

***

Satu hari sebelum keberangkatan Elliot ke New York. Ia terlihat


sibuk mengemasi pakaiannya ke dalam koper, aku ikut
membantunya menyiapkan barang-barangnya. Elliot terlihat
bersemangat sekali. Aku paham, karena sejak kecil ia selalu
52

bercita-cita ingin kuliah di New York dan sekarang mimpinya itu


menjadi kenyataan.

Semuanya sudah hampir siap. Aku duduk di balkon, beristirahat


sejenak sambil melihat ke arah rumah Jimmy—siapa tahu dia ada
di rumah karena setelah perkelahiannya kemarin aku tidak
bertemu dengannya lagi.

“Cuaca hari ini panas sekali.”

Elliot menghampiriku sambil menyodorkan segelas limun.

“Ya.” Jawabku.

“Kau tahu, berat rasanya untuk meninggalkan Los Angeles, tapi


aku harus mengejar mimpiku untuk kuliah di New York University
dan menjadi lulusan terbaiknya. Apakah kau akan bangga jika aku
berhasil menggapai cita-citaku itu?”

“Aku selalu bangga padamu, Elliot. Aku melihat kegigihanmu


untuk meraih apa yang kau impikan, semua yang kau lakukan,
prestasimu di sekolah, itu semua membuatku bangga.”

Elliot tersenyum. Aku tak pernah melihat ia sebahagia ini.


Sebenarnya aku tidak ingin ia pergi karena tentu saja aku akan
merasa kesepian di rumah tanpanya.

“Tadi malam aku menelepon ibu, berkata bahwa aku akan


berangkat besok. Ku dengar ibu menangis terharu di telepon, ia
minta maaf karena tidak bisa mengantarkanku ke bandara nanti,
lalu ku bilang itu tidak apa-apa. Setidaknya mendengar suaranya
saja sudah bisa mengobati rasa rinduku.”
53

“Aku tidak pernah menelepon ibu lagi semenjak ia bercerai


dengan ayah. Dia sepertinya juga tidak memikirkanku.”

Aku sebenarnya merindukan ibu, tapi aku berusaha membuang


rasa rindu itu jauh-jauh karena aku tahu ia sudah tidak peduli lagi
padaku.

“Kau salah, El. Ibu memikirkanmu. Aku mengerti kenapa beliau


tidak mengunjungi kita lagi. Ibu pastinya sangat malu jika
bertemu kita berdua dan ayah.”

“Kalau beliau tahu itu memalukan, seharusnya ibu takkan


melakukan perselingkuhan itu.”

Elliot mengangkat bahu. “Itu semua di luar kendali kita. Aku sudah
memaafkan ibu, entah bagaimana denganmu. Tapi aku yakin
suatu saat kau akan berdamai dengan itu semua.”

Elliot tersenyum lagi. Dia benar, hal tersulit adalah berdamai


dengan diri sendiri. Dulu aku sangat membenci diriku, aku sering
membanding-bandingkan diriku dengan anak gadis lain seusiaku.
Mereka cantik, tubuh yang berisi, pintar, dan menjadi pusat
perhatian orang-orang, sedangkan aku kebalikannya.

Aku pernah dibully karena penampilanku. Secara fisik aku terlihat


kurus dan lemah, membuat orang lain berpikir aku adalah sasaran
empuk untuk dibully. Itu adalah tahun-tahun terburuk dalam
hidupku. Tapi sekarang aku sudah tidak peduli lagi tentang
pikiran orang lain terhadapku. Entah itu disebut berdamai atau
tidak, tapi ku rasa aku belum menerima diriku seutuhnya.

“ELORA!”
54

Lamunanku seketika buyar saat mendengar suara Jimmy


memanggilku dari bawah sana.

“Nah, itu pacarmu sudah datang.” Ujar Elliot.

“Dia bukan pacarku.” Aku mendelik.

Aku berjalan turun dari lantai atas dan pergi menghampiri Jimmy.
Ia terlihat sangat berbeda dari yang kemarin. Sekarang ia benar-
benar seperti Jimmy yang aku kenal.

“Kau mau pergi ke toko es krim? Aku punya dua kupon es krim
gratis!” Jimmy menunjukkan dua lembar kupon di tangannya.

“Tentu saja, ayo!”

Di toko es krim kami berdua memesan es krim yang paling enak.


Kami berdua tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini dan akan
menggunakannya sebaik mungkin.

Jimmy memesan es krim rasa pistachio almond sedangkan aku


yang rasa mint chocolate chip.

“Mm... Aku suka es krim.” Jimmy menyendokkan es krim ke


mulutnya.

“Aku juga.” Jawabku. “Terima kasih atas es krimnya, Jim.”

“Ah, itu bukan apa-apa. Katie yang memberikanku kupon itu.”

Aku mengangguk. Katie adalah kakak perempuan Jimmy.

“Maaf kemarin aku sedikit kasar padamu, El. Bajingan itu


membuatku mendapatkan penahanan sepulan sekolah selama tiga
55

hari.” Ujar Jimmy. “Tapi tak apa. Yang terpenting aku sudah
memberinya pelajaran.”

“Apa yang membuatmu menghajarnya sampai seperti itu?”

“Ceritanya panjang.” Jimmy menghela nafas pendek. “Ayahku dan


ayah Cam dulu berada di satu perusahaan mobil yang sama. Posisi
ayahku sebagai managernya, dan ayah Cam sebagai asisten
ayahku. Tahun demu tahun berlalu, ayah Cam mulai menunjukkan
sifat tidak suka kepada ayahku, sepertinya ia iri atas keberhasilan
yang diraih ayahku. Sampai suatu saat ayahku terpaksa mundur
dari jabatannya karena dituduh melakukan penggelapan uang
perusahaan. Ayahku dipecat secara tidak hormat, dan kemudian
ayahku mengetahui bahwa dalang di balik itu semua adalah ayah
Cam a.k.a Mr. Vinyard.”

“Setelah kejadian itu, ekonomi keluargaku benar-benar


memburuk. Ayahku kesulitan mencari pekerjaan karena citranya
sudah buruk. Kenapa ayahku tidak melawan? Karena tidak ada
gunanya. Sebagian besar keluarga Cam adalah anggota kepolisian,
dan ayah Cam bisa saja menyuap mereka untuk menjebloskan
ayahku ke penjara. Kemudian dengan uang tabungan yang tersisa,
ayahku memutuskan membuka sebuah usaha bengkel kecil-
kecilan demi menghidupi keluarga kami.”

“Dan kemarin saat aku sedang asyik menyantap roti isi di kantin
sekolah, Cam tiba-tiba duduk di sebuah kursi kosong di depanku,
mengejekku anak miskin karena aku hanya bisa makan roti isi
untuk makan siang. Ia bahkan berkata semua makanan yang
keluargaku makan itu adalah makanan kotor karena dibeli oleh
uang hasil korupsi. Sakit sekali hatiku mendengarnya. Jadi saat
56

sepulang sekolah langsung saja ku hajar dia habis-habisan. Tanpa


ampun. Ia bahkan tidak sempat membalas pukulanku karena aku
menyerangnya bertubi-tubi.”

Jimmy tersenyum puas. Terlihat di wajahnya sebuah senyum


kemenangan.

“Ku dengar dari Syn hidungnya patah. Aku yakin sekali setelah ini
ia tidak akan berani mengganggumu lagi.” Ujarku.

“Siapa yang tahu. Dia kan anak yang manja, bisa saja ia mengadu
pada ayahnya. Tapi aku sudah siap untuk segala resikonya. Aku
tidak peduli.”

“Aku turut prihatin dengan ala yang terjadi kepada keluargamu,


Jim. Aku bahkan tidak menyangka ada orang sejahat ayah Cam.”

“Tidak apa-apa, El. Itu baru sebagian kecil dunia yang kejam ini.”

Aku menatap es krimku yang mulai mencair. Semua yang


diceritakan Jimmy tadi membuatku semakin yakin untuk tidak
mudah percaya kepada sembarang orang. Bahkan orang yang
sudah dikenal lama pun bisa mengkhianati.

“Kau mau coba es krimku? Ini enak sekali.” Jimmy


menyodorkanku sesendok es krimnya.

Aku sendiri kurang menyukai rasa es krim itu. Rasanya tidak


manis, melainkan didominasi oleh rasa kacang pistachio asli.

“Bagaimana rasanya?” tanya Jimmy.


57

“Sepertinya lidahku kurang bisa menerima rasa es krim


pistachio.” Jawabku.

Aku memakan es krimku sesendok penuh demi menutupi rasa es


krim Jimmy yang aneh itu.

“Cobalah punyaku, yang ini rasanya lebih enak.” Ujarku.

“Oh ya?”

Tiba-tiba saja tubuh Jimmy maju ke arahku, tangannya yang besar


itu memegang daguku, kemudian bibirnya yang berwarna merah
muda itu mendarat mulus di bibirku.

Waktu terasa berhenti. Aku terpaku. Jantungku rasanya seperti


mau meledak. Bibir lembutnya itu terasa hangat saat menyentuh
bibirku.

“Kau benar. Rasanya manis.” Ujar Jimmy.

Ia sudah kembali ke posisinya semula tapi sekarang aku hanya


bisa terdiam. Tubuhku rasanya gemetar.

“El, kau baik-baik saja?” Jimmy menatapku.

Aku tahu pasti sekarang wajahku memerah dan ia malah


menatapku seperti itu. Tidak, aku tidak bisa menatapnya. Aku
terlalu gugup.

“A-aku ingin pergi ke toilet!”

Aku segera beranjak dari kursiku dan berjalan menuju toilet. Aku
bahkan tidak tahu toiletnya di sebelah mana.
58

“El, toiletnya di sebelah sana.” Jimmy menunjuk tulisan ‘Toilet’


yang berada di sebelah kasir.

Sudah ku duga aku berjalan ke arah yang salah. Ya ampun, kenapa


aku jadi seperti ini? Benar-benar memalukan.

Aku memandangi bayangan wajahku di depan cermin toilet.


Menyedihkan. Bisa-bisanya Jimmy bodoh itu menciumku tiba-tiba.
Kenapa juga aku jadi salah tingkah begini?

Aku jadi teringat saat Jimmy memberiku nafas buatan waktu itu.
Rasanya sama persis, bedanya sekarang aku benar-benar melihat
ia menciumku begitu saja saat aku bahkan tidak siap. Jika seorang
laki-laki menciummu, maka itu artinya dia menykaimu kan? Jadi
Jimmy menyukaiku? Atau lebih dari itu? Oh, jangan terlalu
percaya diri, Elora. Mungkin saja Jimmy cuma iseng. Dia kan
memang anak yang suka bercanda. Jangan-jangan setelah ini ia
akan menertawaiku habis-habisan karena sudah bertingkah
bodoh seperti tadi.

Sekarang yang harus ku lakukan adalah bersikap seperti tidak


terjadi apa-apa.

“Sudah selesai?”

Jimmy tersenyum melihatku sudah kembali. Ayolah El, ini cuma


Jimmy, kau tidak perlu gugup.

“Apakah sebaiknya kita pulang?” Jimmy menatapku lagi. Aku tidak


mampu menatap matanya dan aku tidak tahu harus berpaling ke
arah mana atau apa yang harus ku lakukan sekarang.

“Ya, ayo kita pulang.” Jawabku.


59

Suasana menjadi canggung setelah itu. Tapi entah kenapa


senyumnya itu tidak lepas dari wajahnya, membuatku sedikit
jengkel dibuatnya, dan aku pun memutuskan untuk bertanya
padanya.

“Kenapa kau lakukan itu padaku?” tanyaku.

“Lakukan apa?” ia berpura-pura bodoh.

“Kenapa kau menciumku?”

“Hei lihat, ada anak kucing tersesat!”

Jimmy tidak menjawab pertanyaanku tadi dan ia berlari


menghampiri seekor anak kucing yang sedang duduk di depan
sebuah toko. Ia menggendong anak kucing berwarna oranye itu
dan berkata akan membawanya pulang.

“Kasihan dia, pasti dia kehilangan induknya. Bagaimana kalau kita


rawat dia?” ujar Jimmy sambil mengelus-elus kepala kucing itu.
“Sepertinya dia jinak.”

“Kau yakin mau merawat kucing itu?”

Jimmy mengangguk. “Merawat kucing kan tidak sulit. Maukah kau


membantuku memandikannya? Dia kotor sekali.”

“Ya, tapi jangan di bawa ke rumahku karena nanti bisa-bisa dia


berkelahi dengan anjingku.”

***

Jimmy benar-benar orang yang aneh. Bagaimaba bisa dia tiba-tiba


memutuskan untuk merawat seekor kucing? Dia bahkan tidak
60

punya pengalaman memelihara binatang sebelumnya. Apakah itu


semua hanya untuk mengalihkan pertanyaanku padanya tadi?

Kucing itu telah selesai dimandikan. Kini ia menyuruhku


memegangi kucing itu karena ia akan mengeringkannya dengan
hair dryer.

“Lihat, kalau dia bersih seperti ini kelihatannya sangat


menggemaskan.”

“Terserah kau saja, Jim.”

Tiba-tiba pintu kamar Jimmy terbuka dan masuklah Nyonya


Sullivan yang membawakan kue serta dua gelas susu.

“Bu, kenapa tidak mengetuk pintunya dulu?” Ujar Jimmy.

“Ku rasa ibu sudah mengetuknya.” Nyonya Sullivan tersenyum


ramah. “Senang sekali melihat Elora datang berkunjung. Ini,
makanlah. Ibu sendiri yang membuatnya.”

“Wah, terima kasih, Nyonya Sullivan.” Jawabku.

“Buatlah dirimu nyaman di sini. Jika Jimmy berbuat ulah, pukul


saja kepalanya.” Guraunya.

“Ibu!” Jimmy tak terima.

Aku tertawa kecil. Beberapa saat kemudian Nyonya Sullivan pergi


keluar kamar, aku dan Jimmy pun kembali berduaan saja di
kamarnya bersama kucing kecil ini.

Aku berjalan ke arah balkon kamarnya yang menghadap ke


halaman rumahnya—bersebelahan dengan balkon rumahku.
61

Paparan cahaya matahari sore terasa hangat menyentuh kulitku.


Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore dan sepertinya sebentar
lagi ayah akan segera pulang dari kantornya.

“Langitnya indah, ya?”

Jimmy berdiri di sebelahku sambil menggendong kucing itu.

“Ya, langit sore memang indah.”

“Aku merasa sangat beruntung bisa berdiri di sini bersamamu,


menikmati pemandangan langit yang menakjubkan.” Jimmy
membiarkan kucing itu melompat dari tangannya.

Aku rasa ini waktu yang tepat untuk bertanya padanya. “Kenapa
tadi kau menciumku?”

Lagi-lagi ia tersenyum. Lama-lama aku jadi kesal melihat


senyumnya itu.

“Jujur saja aku tadi takut kau menamparku. Tapi ternyata


responmu sangat lucu. Wajahmu memerah, tidak mau menatap
mataku, sampai-sampai kau lupa jalan menuju toilet.” Ia tertawa.
“Aku sudah lama menyukaimu, El. Sudah lama pula aku menunggu
saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku ini.”

Aku diam. Tak bisa berkata-kata. Jadi selama ini aku punya
pengagum rahasia?

“Aku ingat sekali, sepuluh tahun lalu, seorang gadis kecil beserta
seluruh keluarganya pindah ke sebelah rumahku. Itu adalah kau,
gadis berambut pirang yang panjang, dengan sebuah jepit kupu-
62

kupu menghiasi rambutmu. Cantik sekali. Kau malu-malu saat aku


mengajakmu bermain dengan anak-anak lainnya—“

“Tunggu, bagaimana kau bisa ingat semua detil itu?” potongku.

“Tentu saja aku ingat. Dari situ aku mulai menyukaimu.”

Jimmy merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah jepit kupu-


kupu yang sudah usang.

“Aku bahkan masih menyimpan ini—dulu kau menjatuhkannya


saat bermain lompat kodok di halaman rumahku.”

Aku tertawa. “Kau mengingatnya seakan itu baru terjadi kemarin.


Aku bahkan tidak ingat aku punya benda seperti itu.”

“Ini selalu mengingatkanku padamu. Bahkan ketika kita sudah


jarang bermain bersama lagi. Tapi aku senang sekarang kita sudah
kembali dekat lagi.”

Aku tidak pernah mengalami ini sebelumnya. Maksudku, aku tidak


pernah menyangka ada laki-laki yang menyukaiku apalagi orang
itu adalah Jimmy, teman masa kecilku.

“Jadi bagaimana? Maukah kau menjadi pacarku?”

Aku tertawa lagi. Rasanya sedikit aneh mendengar Jimmy


mengatakan itu.

“Kenapa kau tertawa?”

“Maaf Jim, aku tidak bisa.”


63

Sekarang raut wajah Jimmy terlihat sedih. Ia tertunduk


memandangi lantai.

“Baiklah, aku mengerti.” Ucapnya.

“Bercanda! Hahaha... Begitu saja kau sudah ingin menangis.”


Ejekku. “Maksudku, aku tidak bisa menolakmu.”

“Oh, ya ampun El. Kau hampir saja menghancurkan hatiku.”

Kami berdua tertawa. Jimmy memelukku, sangat nyaman dan


hangat. Aku merasakan sesuatu yang tidak pernah ku rasakan
sebelumnya. Aku merasa tentram dan aman di pelukannya. Aku
merasa memiliki seluruh dunia ini. Inikah rasanya jatuh cinta?
Aku tidak mengerti.

“Elora Joy Crimson, izinkan aku mencintaimu dengan sepenuh


hatiku.” Bisiknya pelan.

“Apakah kalian sudah selesai berpelukannya?”

Aku dan Jimmy terkejut, lantas melepaskan pelukan kami. Kami


menoleh ke arah balkon rumahku, ternyata di sana ada Ayah yang
baru pulang sedang memperhatikan kami. Sekarang ini benar-
benar memalukan.

“Halo, Tuan Crimson.” Sapa Jimmy.

Ayah tersenyum memandangi kami berdua.

“Sepertinya ada yang baru saja resmi menjadi sepasang kekasih.”

Aku dan Jimmy tersipu malu.


64

“Aku mohon akan restumu, Tuan Crimson. Aku janji aku akan
membuktikan bahwa aku pantas menjadi pacar Elora.”

“Oh, ya? Well, kita akan lihat nanti. Bagaimana kalau kita makan
malam bersama? Ayah akan memasak steak wagyu A5.”

Aku dan Jimmy saling bertatapan dan kemudian mengangguk


setuju. Tentu saja kami mau. Memangnya siapa yang mampu
menolak lezatnya steak wagyu A5. Ayah masuk ke dalam untuk
mempersiapkan bahan masakannya.

“Sudah lama sekali aku tidak makan steak wagyu. Terakhir kali
aku memakannya ketika aku masih kecil.” Ujar Jimmy. “Kau tahu
Elora, hari ini adalah hari paling membahagiakan di dalam
hidupku. Aku adalah laki-laki paling beruntung karena mencintai
gadis sempurna sepertimu.”

Jimmy menangkupkan tangannya di kedua pipiku, menciumku.


Kali ini aku membalas ciumannya. Manis dan hangat. Matahari
terbenam di sore itu menjadi saksi cinta kita berdua. Benar-benar
seperti novel klasik yang dapat kau temukan di manapun.
Bedanya, kini aku mengalami sendiri kisah cinta itu.

***

Esok harinya aku bagun pagi-pagi sekali untuk mengantarkan


Elliot ke bandara. Koper dan ranselnya sudah siap, kami semua
pun masuk ke dalam mobil yang disopiri oleh Ayah. Perjalanan
dari Los Angeles ke New York hampir memakan waktu enam jam,
itu artinya Elliot mungkin akan sampai di sana nanti siang. Jimmy
memaksa ingin ikut mengantar Elliot dan berkata ia harus ikut
serta mengantarkan calon kakak iparnya itu.
65

“Aku? Calon kakak iparmu?” tanya Elliot.

“Ya, aku dan adikmu sudah resmi berpacaran. Iya kan, El?” Jimmy
merangkulku. “Kami berdua serasi, kan?”

“Bagus kalau begitu. Ku harap kau menjaga Elora dengan baik


selama aku kuliah di New York. Dia bilang dia takut merasa
kesepian di rumah.” Ujar Elliot.

“Itu tidak akan terjadi. Aku yang akan menemaninya jika ia


merasa kesepian.”

“Oh iya, mengenai PS5-ku itu, kau boleh memilikinya. Ku rasa aku
akan fokus belajar di dunia perkuliahan nanti jadi aku tidak akan
butuh itu.”

“Yang benar? Untukku? Astaga terima kasih banyak, Elliot!” Jimmy


tiba-tiba memeluk Elliot erat-erat. “Oh, bagaimana caranya aku
berterima kasih?”

“Dengan berhenti memelukku.” Balas Elliot.

“Kalian berdua benar-benar konyol.” Timpalku.

“Kita sudah hampir sampai, anak-anak.”

Mobil Ayah mulai memasuki gerbang bandara American Aairlines.


Oh, kini waktu perpisahanku dengan Elliot semakin dekat.
Rasanya aku ingin sekali memeluknya tapi entah kenapa rasanya
aku malu melakukannya. Sedari tadi yang dilakukannya hanyalah
bersenda gurau dengan Jimmy.
66

Kami semua turun dari mobil. Pesawat Elliot akan segera


mengudara lima belas menit lagi. Mataku berkaca-kaca, aku tidak
rela membiarkan Elliot pergi ke New York.

“Baiklah, sebentar lagi aku akan pergi. Ayah, terima kasih sudah
mendidikku selama 18 tahun ini, aku janji akan membuatmu
bangga dengan menjadi lulusan terbaik di sana. Dan Elora, kau
jangan mencemaskanku. Aku akan baik-baik saja di sana. Jaga
dirimu baik-baik, aku janji akan mengabarimu setiap hari. Aku
juga akan mengunjungi kalian saat liburan musim panas nanti.
Aku sayang kalian semua.”

Mata Elliot berkaca-kaca. Ku lihat Ayah juga menyeka air matanya.


Aku tidak sanggup menahan air mataku lebih lama lagi. Aku
langsung berlari ke arahnya dan memeluknya erat.

“Oh, adikku, jangan menangis.”

Elliot tersenyum. Ia mengelap air mataku dengan tangannya.

“Jaga dirimu baik-baik di sana, Elliot. Aku... Aku sayang padamu.”


Aku terisak di pelukannya.

“Aku juga sayang padamu. Sangat sayang.”

Sesaat setelah kami berpamitan terdengar suara pengumuman


boarding sebelum pesawat lepas landas. Pengumuman itu
ditujukan kepada penumpang yang belum masuk ke dalam
pesawat untuk segera masuk.

“Sekarang sudah waktunya. Aku pamit pergi ya,”


67

Elliot memeluk Ayah dan kemudian mencium keningku. Aku


melambaikan tanganku untuk yang terakhir kalinya pada Elliot. Ia
terlihat sangat bahagia karena sebentar lagi ia akan sampai di
kota yang diimpikannya sejak dulu.

Kami menunggu sampai pesawat yang ditumpangi Elliot benar-


benar sudah mengudara. Setelah itu kami masuk ke dalam mobil,
Jimmy baru ingat bahwa ia belum membeli makanan kucing dan
kami meminta Ayah untuk berhenti di sebuah toko hewan.

“Ayah pulang saja duluan, aku dan Jimmy akan pergi ke kafe
menyusul teman-teman kami lainnya.” Ujarku.

“Baiklah nak, sampai nanti ya.”

Matthew dan yang lainnya sudah menunggu kami di kafe yang


pernah kami kunjungi dulu. Sepertinya mereka ingin membahas
tentang band mereka yang akan tampil di Warped Tour bulan
depan nanti. Jimmy telah selesai membeli makanan kucing, lalu
kami berdua berjalan kaki beberapa meter dan tibalah kami di
kafe itu.

Di sudut ruangan kafe terlihat mereka berempat sedang duduk


dengan minumannya masing-masing. Mereka bahkan sudah
membelikan aku dan Jimmy juga.

“Yo, jagoan kita sudah datang. The Reverend!” seru Johnny.

“Kau benar-benar menghajar keparat itu habis-habisan. Harusnya


kemarin kau ajak aku juga.” Ujar Matt.
68

“Dia bukan lawan yang setara untukmu, Jim. Ingat, waktu kelas 8
kita pernah berkelahi seperti itu juga tapi aku masih bisa
membalasmu.” Timpal Syn.

“Sudahlah kawan, aku sudah tidak mau membahas itu lagi.


Ngomong-ngomong, kopi apa ini? Rasanya enak sekali.” Jimmy
menyesap kopinya.

Aku mengambil segelas kopi di depanku dan mulai meminumnya.


Ini kan kopi yang biasa ku pesan, namanya Caramel Macchiato.

“Caramel Macchiato.” Ujarku. “Siapa yang memesankan ini?


Seleranya bagus.”

“Aku yang memesankannya.” Balas Zacky. “Aku tahu semua orang


pasti suka itu.”

“Tunggu, di mana Val? Sudah lama aku tidak bertemu dengannya.”


Tanyaku.

“Val sedang sakit. Tadi malam aku menemaninya berobat ke


dokter. Ku rasa dia sudah lebih baik sekarang.” Jawab Matt.

Suara petir tiba-tiba mengejutkan kami. Langit di luar terlihat


abu-abu, seperti akan menumpahkan air hujan yang sangat deras.
Firasatku rasanya tidak enak. Ya Tuhan, semoga pesawat yang
ditumpangi Elliot baik-baik saja.

“Wow, sepertinya akan badai hari ini.” Ujar Syn.

“Ku mohon jangan!” sahutku. “Elliot sedang dalam penerbangan


menuju New York.”
69

“Siapa Elliot?” tanya Zacky.

“Dia kakakku. Dia pergi ke New York untuk kuliah di sana. Oh, ku
harap dia baik-baik saja.” Ujarku cemas.

Aku membuka ponselku dan mencoba mengontak Elliot, tapi


tentu saja sia-sia karena ponselnya tidak aktif.

“Dia akan baik-baik saja, sayang.” Jimmy meraih tanganku dan


mengelusnya lembut.

“Sayang? Jadi kalian berdua sudah pacaran?” Syn menoleh ke


arahku.

“Ya, seperti yang kau lihat.” Balas Jimmy.

“Apa? Ini aneh. Ku kira kalian memang sudah berpacaran dari


dulu.” Celetuk Johnny.

Aku tidak terlalu menanggapi obrolan mereka. Aku sibuk


memikirkan Elliot. Entah kenapa aku merasa sesuatu yang buruk
akan terjadi. Hujan sudah mulai turun deras sekali. Bencana alam
apa yang mungkin terjadi? Banjir? Pohon tumbang? Tanah
longsor? Itu semua terjadi di daratan dan bukannya di udara.
Seharusnya aku tidak perlu cemas tapi sesuatu di dalam diriku
memberitahu ada hal yang tidak beres.

“Hahahahaha...”

Suara tawa Jimmy dan yang lainnya membuat tersadar dari


lamunan. Mereka mengobrol seru sekali. Aku sama sekali tidak
tertarik bergabung dan rasanya aku ingin pulang saja, tapi melihat
70

hujan di luar sana rasanya tidak mungkin bagiku untuk pulang


sekarang.

Aku menyandarkan kepalaku ke meja, melihat ke arah jendela


yang basah oleh air hujan. Udara terasa dingin dan aku tidak
membawa jaketku.

***

Siang harinya aku terbangun dan mendapati diriku sudah berada


di rumah, berbaring di sofa dengan Jimmy di sampingku.
Seingatku aku tadi tertidur di meja kafe tapi tiba-tiba saja aku
sudah di rumah sekarang. Jimmy bilang ia tadi membangunkanku
dan kami pulang dengan mobil Zacky, tapi rasanya aku tidak ingat
itu sama sekali.

“Kau tadi setengah sadar, mungkin itu sebabnya kau tidak ingat.”
Ujar Jimmy. Wajahnya terlihat tegang, aku tidak tahu kenapa.

Aku menatap sekeliling. Sepertinya aku melupakan sesuatu tapi


aku tidak yakin itu apa. Jimmy di sebelahku hanya diam sambil
terus melihat berita di TV—tidak biasanya dia suka menonton
berita. Tunggu, aku teringat sesuatu.

“Elliot! Apakah dia sudah sampai?” tanyaku.

Tiba-tiba terdengar sebuah ketukan di pintu rumahku. Ku pikir itu


ayah yang datang, tapi kan jika itu ayah tidak mungkin ia
mengetuk dulu. Aku bangkit dari sofa dan pergi membukakan
pintu.

“I-ibu?”
71

Itu adalah pertama kalinya aku bertemu Ibu setelah berminggu-


minggu lamanya. Mata ibu terlihat sembab dan kemudian ia
langsung memelukku. Ibu menangis, entah karena ia rindu padaku
atau karena sesuatu yang lain.

“Ibu, ada apa?”

Ibu melepaskan pelukannya dan menatapku.

“Jadi kau belum tahu, nak?”

Aku menggeleng. Kemudian aku menoleh ke arah Jimmy yang


menatapku, lalu menoleh ke Ibu lagi.

“Pesawat yang ditumpangi Elliot jatuh di danau Michigan. Semua


penumpangnya tenggelam. Cuaca yang buruk membuat
pesawatnya hilang kendali.” Ujar Ibu.

Sungguh aku berharap Ibu hanya berdusta, tapi melihat raut


wajahnya dan juga Jimmy rasanya tidak mungkin. Mungkin itulah
sebabnya Jimmy menonton berita karena ingin menyimak berita
tentang jatuhnya pesawat itu. Lututku lemas, aku tidak mampu
berdiri. Aku jatuh terduduk, tangisku pecah.

“Elora!”

Jimmy menghampiriku, membantuku berdiri namun aku tidak


bisa, tubuhku rasanya lemas. Ibu berlari ke dapur kemudian
memberikanku segelas air. Aku menepis gelas itu hingga pecah
berhamburan di lantai.

“Aku tidak mau minum!” isakku.


72

Jimmy menuntunku ke sofa, menenangkanku. Tidak, aku tidak


bisa tenang. Saudaraku tenggelam di dasar danau sana dan mana
mungkin aku bisa tenang mengetahuinya.

“Maaf aku tidak memberitahumu lebih dulu, El. Aku tidak


sanggup.” Tutur Jimmy. Wajahnya juga basah oleh air mata.

Ibu memelukku dan membiarkan aku terisak di dalam


pelukannya. Kemudian di TV terilihat si pembaca berita
menjelaskan bahwa tim pencari sedang menyusuri danau
Michigan untuk menemukan korban pesawat itu. Mereka bahkan
menampilkan daftar nama penumpang yang hilang dan nama
Elliot ada di daftar itu. Tangisku makin menjadi.

Rasanya sesak, seperti ada sesuatu yang memenuhi rongga


dadaku. Elliot meninggal? Aku tidak percaya. Aku tidak mau
menerima kenyataan ini. Kenyataan yang sangat pahit sampai aku
tidak mampu menghadapinya.

Seandainya aku tahu tadi pagi itu adalah saat terakhir aku
melihatnya, aku tidak akan pernah membiarkannya pergi.

***

Aku berharap ini semua hanya mimpi. Mimpi buruk mengerikan


yang membuat siapa saja tidak ingin mengalaminya. Aku takut,
aku takut jika ini benar-benar nyata. Bagaimana aku bisa hidup
tanpa orang yang aku sayangi? Berjalan pun rasanya aku tidak
menapak lantai. Aku merasa tidak mengenali diriku sendiri di
depan cermin. Terlalu banyak menangis membuat mataku
bengkak. Rambutku berantakan seperti sabut kelapa, dan tubuhku
sepertinya semakin kurus saja.
73

Sudah dua hari aku mengurung diri di kamar. Kalau bukan karena
jenazah Elliot sudah di temukan aku tidak akan mau keluar untuk
menemui orang-orang. Aku sudah bosan mendengar ucapan bela
sungkawa, itu semua tidak membuatku merasa lebih baik. Pagi-
pagi sekali rumahku sudah penuh oleh keluargaku yang datang
dari berbagai tempat. Rumahku dihiasi oleh karangan bunga duka
cita. Pandangan mataku tertuju pada sebuah peti mati berwarna
putih di ruang tengah.

Ayah melarangku untuk melihat jasad Elliot, ia bilang aku tidak


akan sanggup melihatnya. Aku pernah mendengar mayat
seseorang yang mati tenggelam itu sangat mengerikan. Beberapa
yang sudah melihatnya mungkin akan trauma. Tapi ini kakakku,
aku ingin melihatnya untuk yang terakhir kalinya.

“Petinya sudah dipaku.”

Seseorang di belakangku menyeletuk. Aku menoleh, sosok Jimmy


berdiri di sana, berpakaian serba hitam. Di tangannya ia
membawa seikat bunga mawar putih.

“Aku sudah melihatnya, jadi ku rasa kau tidak perlu.” Jimmy


meletakkan bunga itu di atas peti.

Aku menatapnya. Wajahnya tampak lelah. Sepertinya belakangan


ini ia turut membantu mengurus acara pemakaman Elliot.

“Bagaimana kabarmu?” ia tersenyum, menyelipkan rambutku ke


belakang telinga. Aku memang tidak bertemu dengannya selama
dua hari ini.

“Buruk.” Jawabku singkat.


74

Dari kejauhan aku melihat ayah berjalan mendekatiku. Ia


memakai setelan jas yang sama dengan Jimmy. Ayah tersenyum
sendu, berusaha terlihat baik-baik saja di hadapanku.
Bagaimanapun, sorot matanya itu tidak bisa berbohong.

Aku memeluknya, tak kuasa lagi menahan air mataku. Ia mengelus


kepalaku dengan telapak tangannya yang hangat, memberiku
sebuah kalimat penyemangat. Aku tahu hati Ayah pasti lebih
terluka melihat putranya meninggal, terlebih saat melihat
jasadnya. Tapi ia memilih untuk tidak menunjukkan betapa
hancurnya ia di hadapanku.

Ayah berkata akan menungguku di mobil karena kami akan pergi


ke pemakaman. Jimmy menggandeng tanganku dan kami sama-
sama pergi ke luar.

“Ayahmu memang pria yang kuat. Dia tidak mau terlihat lemah di
hadapan putrinya.” Ujar Jimmy.

“Dia sama sekali tidak menangis.” Balasku.

“Dia sudah melakukannya.” Jimmy

Anda mungkin juga menyukai