Anda di halaman 1dari 73

Bagian 1 : Dichterliebe

"Jadi bagaimana Prim, sudah ambil keputusan?"

Suara Om Johan yang agak cempreng tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Pagiku kali ini terasa
lebih suram karena ada beberapa hal yang menggangguku sejak semalam. Selain karena
managerku itu memaksa menginap setelah mendapati karburator mobilnya rusak parah, sebuah
tawaran mengejutkan yang dibicarakan Om Johan saat makan malam juga cukup membuatku
bertanya-tanya tentang dosa apa yang ku lakukan di kehidupanku sebelumnya. Belum lagi
pertanyaan rutinku sebelum tidur, sebenarnya apakah aku ini reinkarnasi dari seorang alien?

Kalau bukan karena tepukan ringan di bahuku, aku mungkin sudah kembali masuk ke dalam
dunia lamunanku yang indah. Om Johan memang tidak membiarkanku menikmati pagi dengan
santai.

Aku menghirup susu panasku sekali lagi dan berakhir dengan menghela napas berkali-kali. Jari
telunjukku berputar di atas bibir cangkir. "Memangnya akan ada yang minat ya? Om, ini seri
Romansa dan sialnya ini tawaran pertama yang ku dapatkan. Tidak ada yang lebih buruk dari ini
apa?"

Om Johan seperti bisa menebak apa saja yang ada dalam pikiranku. "Memangnya kau mau
peran seperti apa, Prim? Ini tawaran bagus, kau bahkan tidak harus melalui casting dan hanya
perlu terlihat kurus setiap saat."

"Apa segini masih dihitung gemuk?" aku menunjukkan pipi tirusku.

"Karakter yang kau mainkan nanti lebih mirip Slender-man."

"Kau menyebut nama Slenderman seperti superhero saja, Om. Ironman? Wonder woman?"

Om Johan tertawa kecil sebelum akhirnya menepuk kepalaku ringan. "Coba dulu, seri Romansa
bukan tayang di primetime, jadi kalau tidak berhasil, kau tidak perlu terlalu khawatir."

Aku memutar bola mataku. Jawaban Om Johan terlalu aneh dan kontradiktif. Jadi aku harus
berdoa agar seri pertamaku gagal, begitu? Lagipula kenapa aku menyebut ini seri pertamaku?
Seolah aku akan melakukannya saja.
"Malah makin runyam, Om."

"Prim, meskipun kau tidak melakukan apapun seumur hidupmu dan hanya main Harvest Moon,
kau tidak akan jatuh miskin. Kau punya cukup uang untuk membeli sebuah pulau seisinya plus
sebuah supermarket jika ada serangan zombie dan tinggal di sana sampai mati di usia seratus
tahun. Lalu kenapa kau memilih masuk ke dunia modeling seperti sekarang?"

"Karena..." kalimatku menggantung. Aku memilah jawaban yang sekiranya tepat dan tidak

memungkinkan Om Johan untuk membalik keadaan. "...aku ingin?" Lihat, siapa yang

baru saja membuka jalan Om Johan untuk semakin menjadi-jadi.

Om Johan mengambil gelas susuku yang sudah kosong dan meletakkannya di wastafel. Ia tak
langsung menjawab tetapi justru malah menyodorkan sepotong roti dengan selai stroberi di
atasnya.

"Lalu kenapa tidak mencoba untuk "ingin" mengambil kesempatan ini?" Om Johan memberi
penekanan pada kata ingin. "Mereka tidak akan mendatangimu dua kali." Om Johan tersenyum
lagi. Aku kesal setiap kali melihatnya tersenyum seperti itu karena terlihat seperti mantra yang
akan membuatku setuju dengan segala usulannya.

Aku menghela napasku. Sepertinya aku tidak memiliki pilihan lain. Mungkin mengambil peran
aneh ini tidak akan membunuhku, kan? Lagipula dengan serius menjadi aktor akan membuatku
semakin jauh dari meja korporat menggantikan Papa nanti. Sejujurnya itulah yang ku cari.

Aku menggigit roti yang sejak tadi ku biarkan. "Oke aku ambil pekerjaan ini."

Om Johan tersenyum puas. Aku tahu, manager sialan itu memang merencanakan serangan
mental ini sejak awal. Membuatku mau tidak mau memilih untuk menerima tawaran sebagai
Lead di sebuah seri Romansa yang belakangan menjamur di Indonesia. Orang-orang di sini
kenapa, sih?

Buddha, maafkan aku yang harus berpura-pura menyukai laki-laki meskipun aku tidak masalah
dengan percintaan semacam ini. Entah laki-laki seperti apa nanti yang akan berpasangan
denganku, aku tidak peduli. Aku harap dia orang yang baik. Itu saja sudah cukup, kok.
"Aku mau mandi, mobilku akan ku urus nanti. Kita ke kantor Agensi siang ini ya, Prim. Oh iya,
pasanganmu akan datang juga nanti. Siapa namanya ya aku lupa..."

Apa tadi? Pasangan? Jangan gunakan kata itu, seperti betulan saja. Aku ingin protes, tapi
karena sudah sangat malas beradu argumen, ku biarkan saja Om Johan berbuat sesukanya.

"Siapa?"

"Oh ya! Brian. Kalau tidak salah namanya Brian."

Hooooo~

Mendengar namanya saja aku bisa membayangkan dia adalah orang yang baik, penyayang dan
penuh energi positif.

Setelah Om Johan pergi dengan kepuasannya, aku kembali berkutat dengan lamunanku. Pagi
ini apa
lagi yang menarik selain melamun dan meratapi nasib. Aku meratapi nasib karena untuk
menghindari kerja kantoran harus jadi artis dulu. Apa bedanya dua pekerjaan itu? Keduanya
sama-sama penuh tekanan. Tapi mungkin jadi artis tidak akan terlalu buruk. Aku akan mulai dari
Romansa bodoh ini.

"Ho~, dia lagi."

Aku yang duduk menghadap jendela ini kembali menangkap orang itu. Dia aneh, pikirku. Setiap
pagi, hampir bersamaan dengan sesi minum susu hangatku, dia akan duduk di balkon
apartemennya. Apartemenku berada di seberangnya, omong-omong. Jadi aku bisa dengan
mudah menemukannya di sana bersama sebuah gitar yang sama hampir setiap hari. Dia hampir
selalu memakai singlet berwarna putih dan celana boxer.

Aku tidak bisa mendengar petikan gitarnya, tapi dari yang ku lihat sepertinya dia cukup jago.

Saat melihatnya mulai memetik gitar-lalu entah apa yang mendorongku melakukan ini. Seluruh
syaraf di tubuhku memaksaku untuk beranjak dan bergegas mengambil biola yang ku simpan di
atas meja kecil dekat dapurku. Ini lebih aneh lagi, pikirku.

Pagi ini aku mendapati diriku melakukan konser solo dengan biola kesayanganku yang sudah
entah berapa bulan tidak ku sentuh. Kulihat orang itu masih memainkan gitarnya setiap sesekali
aku meliriknya. Ya, aku tahu orang itu juga tidak akan mendengar alunan biolaku sama seperti
aku tidak bisa mendengar petikan gitarnya. Jadi asumsikan bahwa aku sedang melakukan
konser gratis untuk menaikkan moodku dan menghibur Om Johan yang baru saja kehilangan
karburator mahal yang ia beli bulan lalu.

Hei, hei..
Aku tidak perlu sampai memainkan Dichterliebe juga, kan.

Aku punya kebiasaan yang bisa dibilang aneh. Ketika aku mulai menikmati permainan biolaku,
aku akan memejamkan mata sampai lagu yang ku mainkan selesai-aku sejago itu jadi aku tidak
butuh partitur lagi. Seandainya aku sedang ditonton ribuan orang, aku tidak akan menyadari jika
mereka melarikan diri di tengah-tengah permainanku. Lagipula siapa yang peduli? Aku bermain
untuk diriku sendiri.

Aku sudah sampai pada setengah dari Dichterliebe-ku, dan sekali lagi syaraf-syaraf di tubuhku
seperti memaksaku untuk membuka mataku. Hal yang sangat jarang ku lakukan selama ini.
Mungkin tak apa jika kali ini aku membuat pengecualian. Dunia ini butuh pengecualian.

Sepersekian detik setelah aku membuka mata, dalam samar-samar teralis jendela dapurku, aku
menemukan sesuatu yang membuat darahku seolah membeku.
Mata kami bertemu. Biola yang tadi ku gamit di atara dagu dan pundak ku biarkan tergantung
begitu saja di tangan kananku. Dawai yang ku pegang dengan tangan kiriku pun bernasib sama.
Aku terdiam. Mata kami benar-benar bertemu. Beberapa detik ini aku merasa dunia berhenti.
Bahkan kicau burung yang biasa bertengger di pohon beringin dekat apartemenpun tak
terdengar lagi.

Dia masih dengan singlet warna putih dan gitar yang biasa. Memandangiku seolah aku ini alien
atau apa. Aku yang tertangkap basah numpang konserpun kini mulai mempertanyakan sesuatu.
Tentang tatapan matanya itu, aku merasa seperti sedang...

...ditelanjangi.
Bagian 2 : Bertemu Gantara!
"Kau harus mendapatkan Guiness World Record untuk urusan mandi dan siap-siap terlama di
bumi."

Aku masih sibuk dengan kerah bajuku dan Om Johan sudah datang dengan omelannya. Tidak
bisakah aku hidup dalam damai? Selain kelakuan Om Johan sejak pagi yang membuatku sakit
kepala, pengamen balkon-mari kita sebut saja dia dengan nama itu, karena aku tidak tahu
namanya yang sebenarnya dan siapa pula yang peduli-yang menatapku seperti aku ini alien
yang sedang menggambar crop circle juga masih saja membuatku bergidik ngeri. Bagaimana
bisa ada orang dengan tatapan mata setajam itu dan bahkan dalam jarak belasan meter aku
masih bisa merasakan sedang ditusuk-tusuk pedang. Pakai mata.

"Om, jangan cari gara-gara denganku. Aku sedang dalam mood yang abu-abu." Om

Johan tertawa. Aku tidak.

"Setelah tanda tangan kontrak, akan ada perkenalan pemain. Please behave, Prim."

"Apa aku terlihat akan mengacau Om? Jangan karena aku ambil peran ini setengah hati lalu aku
akan cari perkara."

"Ya, kenapa tidak telpon papamu dan minta dia beli saham Agensi? Paling juga seperti beli
kacang rebus di dekat kuil."
Oh, Om Johan. Seandainya kau bukan managerku sekaligus sahabat papaku, sudah ku jejalkan
sepatu ini di mulutmu yang pedas itu. Coba sekarang lihat, sifat menyebalkan yang ku miliki
hasilParts 9 Font size 18 belajar dari siapa.

Aku tidak tertarik untuk membalas lelucon sarkastik Om Johan. Makin dibalas dia akan makin
kurang ajar. Lagipula, sepatuku ini lebih butuh perhatianku.

"Setelah itu ada apa lagi?"

"First reading, setelah makan malam. Pengambilan adegan dimulai minggu depan." Om Johan
masih sibuk dengan barang-barang di dalam tasnya. Sementara aku? Sibuk dengan sepatuku
yang talinya panjang sebelah.

"Why so in rush? It looks like we are being chased by Godzilla." Gumamku.

"Win, please behave. Bersikaplah layaknya pria yang baik dan manis."

Ku kira Om Johan tidak akan mendengar gumamanku. "Ya, aku akan melakukan semuanya
sesuai arahanmu, Om. Ingat, semua ini karena aku ingin saja. Aku tidak akan mengerahkan
banyak tenaga untuk seri bodoh ini." Akhirnya tali sepatuku panjangnya seimbang. Aku lega.

Aku mendengar langkah kaki Om Johan mendekat lalu sebuah usapan lembut di kepalaku
membuatku bertanya dalam hati, dia kerasukan apa lagi?

"Aku mengenalmu dari bayi, Prim. Aku bersyukur kau memilihku menjadi managermu. Aku
berhutang banyak pada keluargamu. Sudah jadi tugasku juga untuk mendidikmu sementara
orang tuamu mencukupi kebutuhanmu. Aku senang kau selalu mendengarkanku meskipun
sambil mengomel dulu."

Aku terdiam, Om Johan tidak sedang main-main denganku kelihatannya.

"Aku hanya....tidak yakin aku akan melakukan ini dengan baik, Om." Aku mendengar helaan
napas lega dari Om Johan. Sepertinya dia memang sudah tahu bahwa aku ragu akan
kemampuanku.
Terlebih ini adalah seri pertamaku dan sialnya, Romansa.

"Jika seorang Prim sudah bilang kalau dia ingin, bukannya dia tidak pernah main-main?"
Aku tertegun. Ku pandangi punggung Om Johan yang menjauh menuju pintu. Aku yang masih
duduk di kursi keciku. Tali sepatuku yang sudah rapi. Dan isi kepalaku yang serasa berantakan.

Benarkah seorang Prim seperti itu? Aku tidak pernah merasa pernah melakukan sesuatu dengan
serius.

Benarkah, Prim?
Parts 9 Font size 18
....

Aku membiarkan Om Johan menyetir meskipun agak ugal-ugalan dan kurang bertanggung
jawab. Beberapa kali aku menyebut nama Budha ketika Om Johan nyaris menyerempet mobil
lain. Selain menyebalkan, Om Johan juga tidak peduli pada keselamatanku rupanya.

Sepanjang perjalananpun aku merasa aku lebih banyak diam. Setelah berdamai dengan segala
asumsi tentang peranku kali ini, aku memutuskan untuk menerima tawaran bermain di seri ini
tanpa banyak protes lagi. Tidak ada salahnya, pikirku. Mungkin dengan memulai dari sini, aku
akan menemukan apa yang aku cari-dan yang lebih mengerikan lagi adalah, aku tidak tahu apa
yang sedang aku cari.

Sesuatu kembali mengganggu kepalaku. Isi kepala yang tadinya mulai berkumpul dan
berbentuk, kini seperti mengalami glitch. Jangan tanya gangguan itu berasal dari mana. Kalau
bukan karena sepasang mata yang ku tangkap sedang menatapku bermain biola tadi pagi,
mungkin isi kepalaku sudah berwujud sekarang.

Sudah sekian lama sejak seorang Prim tidak menyentuh biolanya, sekalinya mencoba, agaknya
aku mulai menyesal. Ada baiknya tadi pagi aku jadi penonton saja seperti biasa. Seperti pagipagi
sebelumnya selama beberapa waktu ini. Salahkan syaraf-syaraf tubuhku yang mulai berkhinat.
Sering berdebat dengan Om Johan membuat sistem kerja tubuh ini tidak sinkron.

"Win? Kau baik-baik saja?" suara Om Johan membuatku tersadar bahwa kini aku sudah berada
di basement gedung Agensi. Bahwa selangkah lagi aku akan menemukan diriku terjebak di
sebuah drama remaja-dan Romansa. Aku harus selalu menambahkan istilah itu untuk
mengingatkan bahwa ini adalah sebuah kesialan.

"Aku baik-baik saja Om."


"Kau yakin? Kau terlihat agak pucat."

"Aku memang pucat dari lahir, jangan meledekku Om."

"Aku serius, Prim."

Aku menghela napas berat kemudian menginjakkan kakiku di lantai gedung itu untuk pertama
kali.

"Let's do this."

.....

Mari menganggap bahwa aku menandatangani kontrak ini demi keselamatan nyawa Om Johan.
Bahwa jika detik ini aku melarikan diri, Om Johan akan diledakkan isi kepalanya. Meskipun
faktanyaParts 9 Font size 18 orang itu justru cengengesan saat aku-dengan tangan agak
gemetar-memutuskan untuk membubuhkan tanda tanganku dan menggantungkan nasibku di
managemen ini untuk beberapa waktu ke depan.

Ruangan kecil ini nyaris penuh. Ada beberapa orang dengan nametag kepegawaian dan
beberapa lagi dengan wajah cukup menarik sangat artisaRomansae-aku anggap mereka adalah
calon pemeran dalam seri ini. Sementara aku yang selalu mengekor Om Johan kemanapun
bokongnya bergesar, merasa bahwa orang-orang seperti mencuri-curi pandang ke arahku
sesekali.

Apa? Baru lihat alien ya? Baru lihat Slenderman?

Aku ingin pulang saja.

"Halo, benar kau yang akan memerankan Martina?"

Martina? Martina siapa? Aku siapa? Aku dimana? Wahai manusia, ketahuilah sebenarnya aku
adalah alien yang turun ke bumi untuk membasmi kalian semua.

Seseorang mendatangiku. Perawakannya tidak terlalu tinggi cenderung ideal. Telinganya


dipasangi anting kecil kanan kiri dan wajahnya yang mungil membingkai sepasang mata sipitnya.
Peranakan cina murni, pikirku. Untungnya, hidungnya tidak semancung hidungku.
Meskipun aku tidak tahu siapa itu Martina dan terlebih siapa pula orang ini. Aku mengangguk
saja, biar disangka aktor professional.

"Oh hai, iya aku akan merankan Martina. Mohon bantuannya, Om." Aku tersenyum. Om Johan
keluarkan aku dari sini, please.

"Kau sangat cocok dengan karakter Martina. Tinggi, kurus dan putih. Aku akan memerankan
kakaknya Martina."

Maaf, apakah ini termasuk sexual harassment? Aku merasa dilecehkan.

Aku tidak mungkin membuat onar. Aku sudah berjanji pada Om Johan untuk jadi anak baik hari
ini. Oleh karena itu aku memutuskan untuk tersenyum. Senyum itu baik untuk memperbaiki
suasana, tapi sayangnya suasana hatiku tidak kunjung membaik sepertinya.

"Ah, benarkah? Aku akan bekerja keras untuk project ini, Om."

"Tentu, mari bekerja keras." Matanya hampir terpejam saat dia tersenyum, aku yakin dia tidak
akan tahu kalau seadainya aku memutuskan untuk lari saat itu.

Seseorang memasuki ruangan dan membuat seluruh penghuninya spontan duduk di kursi
masing-masing. Aku hanya mengikuti saja seperti babi bodoh.Parts 9 Font size 18

"Halo, aku Weerajit. Panggil saja P'Wee. Aku yang akan menjadi director seri ini. Semoga kita
bisa bekerja dengan baik." Orang itu tersenyum dan diikuti tepukan tangan seluruh penghuni
ruangan.

Kenapa kalian bertepuk tangan? Apanya yang harus ditepuk tangankan? Tidakkah kalian ingin
tertawa saat mendengar namanya yang lucu? Dan apa-apaan kumisnya itu?

"Sebelum first reading, ada baiknya kita perkenalan dulu. Kita butuh chemistry untuk project ini
dan aku harap kalian dapat saling mengenal satu sama lain." P'Wee sepertinya sedang mencari
keberadaanku.

Ho-ho~
Aku berada di kejauhan. Aku sedang berkamuflase. Kau tidak akan menemukanku semudah itu
Om.

"Dimulai dari pemeran Martina. Silahkan, Prim." Aku ingin pulang.

Aku bangkit dari tempat dudukku dan merasa bahwa senyum yang ku lemparkan ke semua
orang terlihat aneh. "Halo, namaku Primrose, panggil saja Prim. Aku akan memerankan Martina.
Ini adalah seri pertamaku, aku harap senior semua bersedia membantuku untuk
memerankan....Martina dengan baik." Dapat dari mana aku kata-kata semanis itu? Apa aku
terlahir dengan dua kepribadian? Hidupku selalu memberiku kejutan yang aneh.

Aku mendengar beberapa orang berbisik. Sepertinya mereka meragukan kemampuanku. Om


Johan yang mengetahui itu seketika menyentuh ujung jariku. Cara itu sangat jitu untuk
menenangkanku jika mulai mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan. Menyentuh ujung
jariku akan membuatku merasa tidak sendirian saat ada masalah. Aku tahu ini seri pertamaku,
tapi bukan berarti aku akan bermain dengan buruk.

Perkenalan itu dilanjutkan ke beberapa pemeran lain. Pemeran utama satunya tidak tahu ada
dimana. Mungkin dia meninggal di perjalanan ke sini. Atau mungkin dia juga alien sama
sepertiku. Namanya siapa tadi? Brian?

Semua orang sudah selesai melakukan perkenalan dan sepertinya mulai sibuk dengan script
masing-masing. Aku memilih mengikuti arahan Om Johan dengan berpura-pura membaca script
di hadapanku dengan hati-hati agar tidak ketahuan bahwa aku sedang melamun. P'Wee
sepertinya tidak keberatan kalau seseorang bernama Brian ini terlambat. Apakah orang ini
spesial? Orang dalam? Yang ku lihat, sepertinya P'Wee adalah tipikal orang yang akan
meneriaki siapa saja yang terlambat. Parts 9 Font size 18

Ayolah Brian, jangan merusak pencitraanku tentangmu.

Aku larut dalam script yang ku pegang. Secara garis besar aku tidak mengerti mengapa
Gantara-pasangan Martina-yang sangat ingin mendapatkan Martina tapi justru berpura-pura jadi
pacar bohongannya. Paradoks yang aneh. Jika mulai bosan dengan script, aku akan memeriksa
ponselku sekedar memastikan bahwa benda itu masih menyala.
Suara pintu yang tergesa-gesa dibuka terdengar. Aku masih dengan ponselku ketika aku
mendengar suara berat dan napas yang terdengar sepenggal-penggal memecah keheningan
ruangan itu. Ini pasti Brian dan kurasa benar dia hampir mati sepertinya.

"Maaf aku terlambat. Elevator dari basement macet dan aku terjebak di dalamnya-" oh, Brian
kasihan sekali. Aku tidak ingin melihat wajahmu yang menyedihkan jadi aku akan tetap fokus
pada ponselku.

"-namaku Brian. Aku akan memerankan Gantara. Aku harap aku dapat memberikan hasil yang
memuaskan. Mohon bantuan kalian semua." Suara itu terdengar lebih ringan. Tandanya dia
sudah bisa mengatur tempo pernapasannya. Brian yang panik sudah tenang di alam sana.

"Brian, yang duduk di ujung sana adalah Prim. Dia akan memerankan Martina. Bekerjasamalah
dengan baik."

Jiwaku merasa terpanggil karena seseorang sepertinya-sepertinya P'Wee-dengan sengaja ingin


memperkenalkan kami berdua. Demi kebahagiaan bersama, aku memutuskan untuk
mengalihkan fokusku dan mencari siapakah gerangan seorang Brian yang akan menjadi lawan
mainku nanti.

Satu hal yang aku sesali hingga helaan napasku baru saja, aku membiarkan mataku
menemukannya. Mata itu tak asing, tapi juga tak akrab. Sebilah pedang menembusku entah dari
mana.

Aku menemukannya lagi. Lebih dekat dari yang sebelumnya.

Mata yang sama saat di tepian jendela dapurku. Mata milik seseorang yang menelanjangiku di
balkon tempat tinggalnya pagi tadi.

Tubuhku membeku lagi bersama heningnya ruangan itu. Semua orang mengawasi kami. Semua
orang melihatku membeku di hadapan sesorang bernama Brian itu. Tatapannya membuatku
9 Font size 18

merasa menemukan sesuatu. Sesuatu yang tak ku ketahui. Jika kalian bisa melihatnya, kalian
akan melihat isi kepalaku sudah berceceran di lantai.Parts 9 Font size 18

Aku bukan orang yang bisa dengan santai menghadapi situasi aneh seperti ini. Aneh karena di
antara jutaan manusia di Indonesia dan ratusan ribu orang di Jakarta, aku menemukannya lagi.

Ruangan itu masih sunyi hingga suara ponselku yang meluncur jatuh dari tanganku memecah
keheningan. Om Johan spontan menoleh ke arahku dan mendapatiku pucat pasi dengan
ekspresi wajah yang mungkin sulit dijelaskan. Aku bisa merasakannya menyentuh ujung jariku.
Aku kembali dalam kenyataan. Tetapi mata itu memiliki sesuatu yang lebih kuat. Sekali lagi aku
ditelanjangi.

Om Johan, aku ingin pulang. Aku bertemu alien sungguhan.

Part 3 Alien Invasion, Code Name Brian


Jangan kira penderitaanku berhenti sampai di sana saja. Setelah mempertontonkan
kebodohanku secara masif, aku masih harus berurusan dengan orang ini. Tidak hanya hari ini,
tapi mungkin dalam beberapa bulan ke depan. Buddha, bisakah aku moksa sekarang dan
bereinkarnasi menjadi pohon jambu saja?

Brian duduk di hadapanku. Aku bisa melihat jejak keringat di pangkal rambutnya yang
menandakan bahwa ia memang tergesa-gesa menuju ruangan ini. Ia mengenakan celana jeans
dan kemeja berwarna hitam—nyaris sama sepertiku, sial memang.

Sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dengannya. Orang ini berbahaya, pikirku. Alien
kelas tinggi sepertiku saja bisa dibuat berceceran isi kepalanya. Aku harus berhati-hati.

Kalian mungkin berpikir aku benar-benar seorang alien. Tenang, ini hanya personifikasi tentang
diriku sendiri. Tubuhku yang tinggi menjulang nyaris 190 cm, kulitku yang pucat karena entah
alasan apa, dan cenderung kurus kelihatannya. Daripada disebut slenderman, aku lebih senang
disebut alien. Terdengar ekstraterestrial dan nyentrik. Siapa tahu suatu saat aku bisa
memerankan tokoh penjahat di komik Marvel. Bukan penjahat dengan dagu bergari-garis dan
kulit berwarna ungu mirip terong. Aku menyukai karakter penjahat itu, tapi aku tidak suka
kenampakan fisiknya. Penjahat tidak harus jelek, penjahat boleh tampan—

"Kau kidal?"
Parts —sepertiku.

Apakah tadi aku baru saja mendengar Brian berbicara padaku? Atau aku berhalusinasi—lagi?

"Hah? Apa?" Maaf Brian, isi kepalaku belum berbentuk. Aku masih mengumpulkan jati diriku.

Aku berpura-pura sibuk dengan script-ku meskipun sejujurnya aku masih menghindari kontak
mata dengannya.

"Kau kidal? Aku melihatmu bermain biola tadi pagi dengan biola di tangan kanan."

Bisakah kau tidak mengingatkanku tentang kejadian itu? Atau kau sengaja melakukannya untuk
memastikan kita adalah orang yang sama yang saling bertatap-tatapan tidak jelas tadi pagi?

"A..ah sejak kapan aku bermain biola? Dimana kau melihatku bermain biola? Apa kita pernah
bertemu sebelumnya, Brian?" Demi Buddha, apa aku terlihat seperti badut sekarang? Ya aku
sejuta persen seperti badut. Dimanakah Om Johan ketika aku membutuhkannya? Kenapa dia
selalu menghilang di saat-saat seperti ini?

Lewat ekor mataku aku bisa melihat Brian memiringkan kepalanya. Seolah tidak yakin akan
jawabanku—akupun tidak yakin apakah aku masih waras di sini, Brian.

"Kau yang tadi pagi bermain biola. Jelas-jelas aku melihatmu. Kau juga melihatku, kan?"

Matilah aku. Brian, aku bukan orang yang sama dengan diriku tadi pagi. Aku saja tidak yakin aku
masih sama dengan diriku satu menit yang lalu. Lagipula kenapa sih aku ini?

Aku memberanikan diriku menatapnya. Aku anggap ini perang. Yang lebih lama bertahan dialah
yang menang. Senyuman canggungku menjadi pembuka kalimat-kalimatku selanjutnya. Hari ini
harus terselesaikan dengan baik, terutama urusan dengan Brian ini.
9 Font size 18

"Aku tidak begitu ingat, tapi ku rasa aku bisa bermain biola sedikit." Aku kembali tersenyum
canggung. "Aku tidak bermaksud lancang. Kita hanya kebetulan bermain di waktu yang
bersamaan."

Bagus Prim, langkah pertamamu berjalan mulus. Kau selangkah lebih dekat dengan
kemenanganmu.

"Aku tidak keberatan jika kau bermain di waktu yang sama denganku. Lagipula, aku tidak bisa
mendengarnya dengan jelas."

Tentu saja, idiot. Apartemen kita terlalu jauh untuk dijangkau biolaku.
"Apartemen kita cukup jauh, jadi ku rasa kau akan kesulitan mendengarkan. Aku juga tidak bisa
mendengar gitarmu. Itu bukan suatu masalah." Aku tersenyum kecil. Apakah kecanggungan
iniParts 9 Font size 18 sudah runtuh? Apakah aku menang?

Brian tidak menjawab. Dia lebih dulu bergelut dengan kertas-kertasnya begitupun aku yang
mencoba terlihat seperti aktor professional. Sejujurnya, Brian memiliki penampilan menarik,
wajah yang tampan dan unik. Wajahnya seperti perpaduan antara Indonesia dan Western.
Matanya yang lebar itu memang sangat berbahaya, terutama bagi keutuhan isi kepalaku. Dia
memang tampan, bibirnya lucu, hidungnya mancung, kulitnya agak kecokelatan— Sial,
bicara apa aku ini.

"Kita bisa akhiri sesi hari ini. Persiapkan diri kalian karena pengambilan adegan pertama
dilakukan minggu depan. Terima kasih atas kehadiran kalian semua." P'Wee memberikan tepuk
tangan singkat dan segera pergi. Orang itu sepertinya selalu terburu-buru.

Aku segera merapikan kertas-kertas dan beberapa script yang tebalnya nyaris mengalahkan
kitab-kitab Buddha di rumah kakekku. Om Johan sudah menungguku di luar ruangan jadi tidak
ada alasan bagiku untuk berlama-lama di ruangan ini.

Basa-basi, aku menepuk pundak Brian. "Aku pergi dulu, sampai bertemu minggu depan, Brian."

Aku hampir berlalu dari hadapannya jika saja sebuah genggaman tangan yang terasa erat tidak
lebih dulu menghentikanku. Ku rasa aku tahu siapa pemilik tangan ini.

"Win, bisakah aku mendengarmu memainkan Dichterliebe lagi lain kali?"


Aku tidak tahu apa yang membuatku menolehkan kepalaku. Meskipun aku melakukannya
dengan patah-patah, akhirnya aku mendapati diriku menatap matanya lagi. Kali ini aku
menemukan sesuatu yang lain. Mata yang tadinya menelanjangiku kini terasa berbeda. Brian
seperti sedang menyelimutiku dengan tatapannya. Hangat hingga aku kesulitan bernapas.

Terlalu hangat. Bisakah kau berhenti menyelimutiku? Aku mulai merasa isi kepalaku berantakan
lagi.

Aku tersenyum, entah karena apa.

"Tentu."

Hari ini berakhir dengan aku yang kembali terdiam di dalam mobil dan Om Johan yang tetap
sembrono seperti biasa. Di kepalaku terus bermunculan pertanyaan-pertanyaan aneh. Aku akan
mulai menggigiti ujung kukuku setiap kali memikirkan sesuatu dengan keras. Sekarang jika ku
teruskan, aku bisa menghabiskan sekalian jari-jariku sendiri.
Siapa Brian?
Parts
Sejak kapan dia di sana?

Sejak kapan aku selalu memperhatikannya di balkon itu setiap pagi?

Om Johan, sepertinya aku menemukan satu lagi alien. Alien ini mendengarku memainkan
Dichterliebe tadi pagi.

.....

"Puta!"

"Salah bahasa, Prim."

"Whatever."

"Pagi-pagi sudah mengumpat. Semalam kau mimpi ditampar Buddha?"

"Aku mimpi dicium Tootsie, dan sekarang mimpinya belum mau hilang dari kepalaku."
9 Font size 18

"Susumu di atas meja, minum selagi masih hangat. Aku mau kembali ke rumah. Sekalian ambil
mobil di bengkel."

"Sudah pesan taksi? Mau ku antar?"

"Dicium Tootsie membuatmu jadi baik hati. Lain kali semoga kau menikah dengannya." "Om

Johan!!"

Tidurku sudah tidak nyenyak, ditambah dengan mimpi sial yang tidak mau hilang dari kepalaku.
Pagiku terasa lebih buruk dari hari-hari biasanya.

Aku memutuskan untuk menuju dapur. Susu yang dibuatkan Om Johan tidak boleh sampai
dingin karena hanya dia yang mampu membuat susu dengan komposisi paling luar biasa enak di
dunia ini. Aku tidak suka susu cair instan, aku lebih suka susu bubuk yang diseduh dengan air
hangat.
Persetan dengan nutrisi aku hanya peduli pada lidahku.

Aku melirik jendela sekilas sembari masih menyesap susuku. Ku rasa aku bermimpi bahwa
orang yang ada di balkon setiap pagi itu adalah orang yang sama yang akan menjadi lawan
mainku nanti—di seri Romansa.

Aku lega karena sepertinya itu memang hanya mimpi hingga seseorang muncul dengan singlet
putih dan celana boxer duduk di kursi kecil balkonnya. Pergi dari sana wahai siapapun dirimu,
Font size 18

jangan hancurkan kelegaan berhargaku pagi ini.


Parts 9
Spontan aku menarik diriku dan mencoba sebisa mungkin tidak terlihat. Aku adalah orang yang
hebat dalam berkamuflase, loh.

Aku melirik jendelaku lagi, orang itu tidak ada di sana. Syukurlah, aku bisa bernapas lega
menikmati susu pagiku bersama kicauan burung tanpa isi kepala yang tidak beraturan. Aku
menyebut pikiran dengan isi kepala karena—maafkan aku wahai manusia, kita adalah spesies
yang berbeda. Aku harus membuat pengecualian untuk diriku sendiri.

Cangkir di tanganku hampir kosong ketika aku mendengar bel pintu apartemenku berbunyi. Ku
pikir Om Johan tidak perlu membunyikan bel hanya sekedar untuk masuk ke apartemenku dan
menggangguku setiap saat. Aku tidak memesan makanan. Aku tidak memesan barang apapun
secara online.

Sekali lagi syarafku berkhianat. Aku memutuskan untuk membuka pintu dan menemukan
sesuatu yang tidak pernah ku duga akan berdiri di sana. Dia sendirian. Dengan celana boxer
dan jaket berwana hijau gelap yang dikancing setengah, aku yakin di dalamnya adalah singlet
yang sama. Tangan kanannya memegang gitar dan tangan kirinya membawa sebungkus kecil
bola babi. Aku termenung sejenak dan mencerna keberadaan entitas di hadapanku ini. Hingga
sebuah suara yang baru-baru ini tidak mau pergi dari telingaku terdengar lagi.

"Win, kau baik-baik saja?"

Tidak, aku tidak baik-baik saja. Tidak bisakah kau lihat aku membeku di sini? Jika aku bergerak
kakiku akan patah jadi dua. Bisakah kau pergi? Dan kenapa pula kau bisa berada di depan
apartemenku dengan pakaian sebegitu santainya? Kau sadar tidak kalau kau ini artis?
Bagaimana jika ada fans yang melihatmu berkeliaran dengan pakaian seperti itu? Kau sadar
tidak kalau kau itu tampan? Bagaimana jika kau diculik? Apa aku akan jadi saksi dan berurusan
dengan polisi juga?

Om Johan tolong aku. Alien ini ada di depan rumahku dan membawakanku bola babi.

....

Dear NASA, I found an Alien just entered my apartment.


9 Font size 18

Tidak terhitung berapa kali aku menghela napas. Di hadapanku sedang duduk seorang bernama
Brian yang masih dengan celana boxernya dan sebungkus bola babi yang dia makan sendiri.

Aku kira itu buatku.

"Bagaimana bisa kau menemukan apartemenku?"


"Aku menghitungnya."
Parts
Genius!

"Lalu bukan berarti kau bisa datang begitu saja tanpa memberitahuku. Kita memang bertetangga
dan berada di project yang sama. Bukan berarti kita langsung dekat." Brian masih dengan bola
babinya. Aku mau satu.

"Aku harus terbiasa denganmu. Aku ingin seri ini berhasil dan sukses."

Matilah kau Brian, aku ingin seri ini tenggelam di Palung Mariana.

"Kita bisa melatihnya di tempat shooting. Itu mudah." Jawabku.

"Kau yakin? Ku dengar ini pertama kalinya kau berakting. Tadinya kau model, kan."

Hohoho maafkan aku Brian, tapi selama dua puluh satu tahun hidupku, aku sudah berakting
menjadi manusia.

Jika bukan Brian, mungkin aku lebih bisa mentolerir. Kehadiran orang ini entah mengapa sangat
membuatku terganggu. Terganggu dalam artian yang aneh. Pagi ini saja hanya beberapa menit
setelah aku membiarkannya memasuki ruang tamuku, aku bisa merasakan tatapannya yang
mengganggu itu. Aku menemukannya menatapku dengan tatapan tajam yang sama saat
pertama kali aku melihatnya kemarin. Lalu seketika berubah menjadi tatapan hangat yang sama
seolah menyelimutiku.

Seperti AC yang dimatikan lalu dinyalakan, begitu seterusnya. Tidak menyenangkan. Kau hanya
bisa menikmati busuknya demam yang disebabkan olehnya.
Kenapa pula aku membiarkan orang ini masuk padahal kami baru bertemu kemarin—dan aku
yang panik nyaris ngompol di celana waktu itu.

"Aku bisa belajar lewat menonton drama." Akhirnya aku memberanikan diri menjawab seadanya.
Cepatlah pulang, Brian. Aku mulai demam, sebentar lagi aku akan terkena serangan jantung dan
gagal ginjal. Keberadaanmu sangat lethal.

"Aku tidak melihatmu di jendela. Ku pikir terjadi sesuatu denganmu."

Aku bukan sejenis burung yang suka nongkrong di jendela ya! Aku hanya alien yang selalu
komplain akan segala hal. Termasuk keberadaanmu di dunia ini yang menjadi gangguan
untukku. Kembalilah kau ke planet asalmu!

"Aku tidak selalu ada di sana. Aku bisa dimana saja sesukaku. Ini kan rumahku."
"Tapi menyenangkan melihatmu bermain biola di sana. Bermainlah sekali lagi, aku ingin
mendengarnya." Parts 9 Font size 18

Halo tuan Brian, lancang sekali anda. Kau datang dengan boxer dan gitar yang kau biarkan
tergeletak di dekat pintu. Kau membawa bola babi dan memakannya sendirian lalu menyuruhku
bermain biola untukmu? Kau sinting ya? Dibayarpun aku tidak mau. Dasar menyebalkan.

"Pulang sana, aku sedang tidak ingin bermain biola."

Aku dapat melihat gurat kecewaan di wajahnya. Tapi peduli apa aku, aku hanya ingin alien
invasion ini segera berakhir.

"Aku jarang mendengar orang bermain biola sebagus dirimu, Prim. Aku suka suara biola.
Meskipun samar-samar, aku tahu kau pemain yang hebat."

Sinting, pikirku. Lalu kenapa kau malah bermain gitar dan bukannya biola? Aku lama-lama bisa
gila kalau dia di sini lebih lama lagi.

Lalu sepintas ide muncul di benakku. Mungkin ini ide bagus.

"Oke aku akan memainkannya, tapi setelah itu kau harus pulang. Aku ingin istirahat seharian.
Deal?"

Brian tersenyum, kini aku mulai menerima alasan mengapa ia dinamai demikian. Terkadang ia
terlalu menyilaukan mataku. Aku tidak suka.
9 Font size 18

"Deal."

Aku bergegas mengambil biolaku dan mulai bermain di hadapannya. Aku yang masih dengan
piyama dan sandal bulu kesayanganku. Tatapan mata itu menggangguku lagi. Tatapan mata
yang berubah-ubah sesuka hatinya itu membuatku memutuskan memejamkan mataku. Aku
memilih dichterliebe lagi sesuai permintaannya. Dan tanpa ku sadari, aku memainkannya
sampai selesai.

"Kau bisa pulang sekarang." Tegasku setelah merapikan biolaku dan mengembalikannya ke
tempat semula.

Brian masih duduk di sana dan merapikan bungkus bola babinya. Aku tidak kebagian sama
sekali.

Dia pergi tanpa berkata apa-apa. Meskipun aku merasa bersalah karena terkesan mengusirnya,
tapi ini harus ku lakukan karena aku tidak ingin berlama-lama dengannya. Sangat tidak baik
untuk kesehatan mental dan fisikku. Tubuh manusia ini sangat rentan rupanya.
Sebelum menutup pintu, aku masih bisa mendengarnya menggumam sesuatu.
Parts 9 Font size 18
"Ini menyenangkan. Aku biasa melihatmu menontonku setiap pagi. Sekarang aku tahu rasanya
seperti apa." Brian berlalu bersama gitarnya sembari melambaikan tangannya.

Excuse me? Apa aku baru saja mendengarnya berkata bahwa ia tahu selama ini aku suka
melihatnya bermain gitar di balkon itu? Apa aku sudah menjadi semacam pengintip? Hancur
sudah citraku.

Hari ini berlalu begitu saja setelah aku memutuskan untuk mengusir Brian secara halus. Aku
hanya menghabiskan waktuku di atas tempat tidur sekedar bermain game ataupun
mendengarkan musik. Hingga malam, aku tak melakukan apa-apa. Bermalas-malasan seharian
memang keahlianku. Tidak ada yang bisa mengalahkanku dalam hal ini.

Pagiku masih sama. Aku berkutat dengan takaran susu yang pas agar pagiku berakhir dengan
sempurna. Aku juga tidak melihat Brian di balkon itu lagi. Rasanya lega. Mungkin orang itu
sedang sibuk dengan dunia keartisannya yang notabene lebih senior daripada aku.

Asal tahu saja, aku menghabiskan beberapa jam untuk mencari tahu siapa dia sebenarnya. Dan
betapa kagetnya aku karena menemukan bahwa dia adalah salah satu pria yang cukup digilai di
Indonesia belakangan ini. Maaf, alien sepertiku tidak perlu menonton tv. Aku hanya perlu
bermeditasi dengan kasur dan bantalku seharian untuk mencapai kedamaian surgawi.

Pagiku nyaris sempurna jika saja tidak ada suara bel pintu berbunyi. Dengan sedikit malas aku
memutuskan untuk melangkah. Aku ingat bahwa aku baru saja memesan beberapa menu
sarapan sekaligus untuk makan siang. Dan entah mengapa aku merasa mereka cepat sekali
datangnya—

"Win, mau bola babi?"

—fuck.

Dear NASA, The alien still coming to my place. It looks like he is going to take over my nest.

.....
Part 4 On TimeParts 9 Font size 18

Belakangan aku tahu bahwa

Brian tinggal sendirian sama sepertiku. Dia baru saja pindah ke Jakarta beberapa minggu yang
lalu. Sama persis ketika aku mulai menemukan seseorang duduk di balkon dengan singlet dan
boxer seadanya sedang bermain gitar. Dan yang terakhir, orang ini kesepian. Dia tidak memiliki
satupun teman-sama sepertiku. Ku rasa Om Johan lebih mirip babysitter daripada sekedar
teman.
Wait, I'm not a baby.

Hanya sisa beberapa hari sebelum proses shooting dimulai dan Brian sudah berkali-kali datang
ke tempatku. Aku mulai bisa menerima keberadaan mahluk ini meskipun masih sering terganggu
dengan tatapan matanya. Bahkan aku sudah tidak perlu menggunakan bahasa formal seperti
sebelum-sebelumnya. Dia tidak perlu mendapatkan keformalanku, lagipula.

Aku masih tidak mengerti mengapa ia menatapku sedemikan rupa hingga aku merasa sedang
dihujam pedang tajam lalu sesaat kemudian dia menyelimutiku dengan hangat.

Jangan salah paham, aku hanya tidak nyaman. Ini pertama kali dalam hidupku diganggu oleh
laki-laki aneh maniak bola babi. Wajahnya yang lebih mirip ras Leonardo D'Caprio itu pun sangat
mengganggu. Wajah ras Jet Lee-ku ini serasa kalah saing. Aku tidak suka.

Dalam beberapa kali kedatangannya, aku mendapati diriku ikut larut dalam obrolan-obrolan
ringan dengannya. Terkadang Brian akan memainkan gitarnya dengan santai. Terkadang aku
akan menunjukkan-atau lebih tepatnya pamer-kemampuan biolaku. Apalagi yang bisa dilakukan
Prim selain pamer dan tiduran di kasur sehari semalam?

Seperti pagi ini, Brian masih menggigiti bola babinya dan aku yang sibuk dengan pikiranku. Ku
pikir dia adalah orang yang sangat tenang dalam menghadapi hidupnya. Meskipun sepertinya, di
balik tatapan matanya itu aku merasa ada sesuatu yang lain. Yang membawanya sampai sejauh
ini. Sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat.
Seorang Prim mulai ingin tahu. Untuk orang yang sama-sama kesepian, mungkin aku bisa
mencoba untuk sedikit lebih dekat.

"Brian."

"Hm?"

"Kau di-casting."
Parts 9 Font size 18
"Tentu saja. Kau tidak?" aku menggeleng. "Beruntung sekali. Kau tahu, aku harus berdiri
berjamjam untuk peran ini dan rasanya kakiku hampir patah jadi dua."

Aku melemparkan bantal sofaku ke arahnya. "Don't get me wrong. Aku juga terkejut kenapa aku
diberi peran ini. Aku hanya model, you know. Tapi Om Johan bilang mereka hanya
menemukanku sebagai pemeran yang cocok untuk Martina. Hidupku tidak pernah sesial ini."

"Siapa Om Johan?"

"My manager, you crappy head." Lagipula kenapa dia lebih tertarik tentang Om Johan?

"Aku tidak peduli kau di-casting atau tidak. Yang penting seri ini harus sukses. Aku bertaruh
karirku di seri ini, Prim."

Matilah kau lagi, Brian.

"Tidak punya pacar?"

"Tidak. Tidak mau repot."

"Liar."

"I'm not. Aku akan memacari Martina. Mana ada waktu buat pacar sungguhan."

Aku tertawa. Sebegitu kerasnya dia berusaha. Sedangkan aku berharap seri ini gagal saja. Jadi
sebenarnya apa aku ini? Mengapa aku melakukan ini sedangkan aku tidak menginginkannya?
Aku bisa mengatakan tidak, lalu kenapa aku datang dan menandatangani kontrak itu? Apa
mauku? Apa yang ku cari dari semua ini?
"Brian."

"Hm?"

"Apa kau pernah merasa mencari sesuatu tapi tidak tahu apa yang kau cari? Seolah kau hanya
berputar di sana tanpa tahu harus berbuat apa. Seolah kau tidak akan pernah menemukan
apapun. Kau pernah merasakan itu?"

Ruang tamuku hening. Hanya helaan napasku yang tak begitu beraturan dan Brian yang
menatapku dengan tatapan tajamnya. Aku membalas tatapannya tanpa ragu kali ini. Entah
iRomansais apa yang baru saja merasukiku, tapi aku merasa aku harus memberanikan diriku
menatapnya. Dia orang yang akan aku temui setiap hari selama beberapa bulan ke depan.
Setidaknya untuk urusan tatap-menatap ini aku harus menang.
Aku tak mendengar satu katapun keluar dari bibir Brian. Hingga ia bangkit dan berjalan ke
arahku, aku masih tak mengerti. Tubuh tegap itu berhenti tepat di hadapanku. Perlahan iaParts
9 Font size 18 menunduk, begitu dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya
menerpa leherku.

Aku membeku. Ini pertama kali aku mencium wangi parfum dan aroma tubuhnya yang
bercampur jadi satu.

Kenapa aku diam saja padahal aku bisa menghindar?

Aku meliriknya sekilas. Tangannya meraih gitar yang tergeletak persis di sebelahku. Hingga
telingaku mendengarnya berbisik. Suaranya agak berat, namun sensual sekali. Jika suaranya
berwujud kue, aku sudah melahapnya dengan rakus sejak pertama dengar.

"Kau yakin kau sedang mencari sesuatu? Atau sebenarnya kau sedang tersesat? Yang mana
menurutmu yang benar?"

Dadaku berdegup kencang. Tubuh manusia ini tak mampu bertahan dalam kondisi ini. Wajah
Brian terlalu dekat, aku bahkan bisa melihat bulu halus di kulit wajahnya.

Hingga ku liha senyuman terukir di bibir Brian, aku masih terpaku. Tubuh itu berlalu bersama
pandanganku yang mulau mengabur. Darahku membeku. Jantungku seperti mau melompat
keluar. Isi kepalaku berantakan.
"Bye, Prim."

Pintu itu tertutup. Aku tersadar beberapa detik kemudian. Tubuhku melorot di sofa. Aku mencoba
mengatur degup jantung dan deru napasku. Tak lupa membereskan isi kepalaku yang sudah
kemana-mana.

Apa yang terjadi?

Dear NASA, I don't know what happened but I think you need to take action now. This alien is
strange. I was infected. Some viruses had been injected to my brain and now all I can ask
isplease brainwash me.

.....

Brian tidak lagi datang setelah pagi itu. Aku berada di antara perasaan lega dan was-was. Aku
lega karena matanya yang mengganggu itu tidak lagi ku lihat selama beberapa hari ini.
Sedangkan aku was-was jika aku melakukan kesalahan yang berimbas buruk pada seri ini-dan
pasti pada karirnya.

Tunggu dulu, jangan salah paham. Aku hanya tidak ingin kebencianku merugikan orang lain.
Lazimnya, aku membiarkan rasa tidak sukaku kepada orang lain sebagai energi. Selain
ramahParts 9 Font size 18 lingkungan, hal itu juga membuatku memiliki alasan untuk
melakukan sesuatu yang berguna.

Melampaui orang itu, misalnya.

Aku lahir dan besar di keluarga-ya bisa dibilang kaya. Ketika teman-teman sekelasku berangkat
naik kendaraan umum, aku diantar sopir dan mobil yang mengkilat. Ketika mereka berebut
makan bola babi di pinggir jalan, aku terkunci di mobilku sendiri dan makan pizza sampai bosan.
Itulah mengapa liurku nyaris membanjiri apartmenku setiap kali melihat Brian makan bola
babinya.

Dan si brengsek itu tidak pernah mau berbagi. Padahal setiap kali datang, ia selalu beralasan
ingin memberiku bola babi.

Om Johan adalah sahabat papaku sekaligus orang yang paling dipercaya untuk mengurusku
dari kecil. Jadi jika aku punya tempramen yang sedikit kurang ajar, jangan salahkan papaku.
Salahkan Om Johan saja. Maafkan aku Om, tapi memang begitu faktanya.

Satu hal yang ku sadari, aku tidak pernah perlu berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu.
Aku bahkan tidak perlu casting untuk peran bodoh ini. Semakin aku mengerucutkan
pertanyaanpertanyaanku, semakin aku dekat dengan sebuah titik. Apa sebenarnya yang ku
inginkan?
Pernahkan aku mencari atau mengejar sesuatu hingga aku merasa aku akan setengah mati?

Atau benar apa yang kata Brian, aku yang tersesat.

Hidupku tidak pernah sebegitu banyak pertanyaan seperti belakangan ini. Biasanya aku
membiarkan hari-hari berlalu begitu saja. Setiap pertanyaan yang muncul di kepalaku akan
menguap seiring waktu. Kemunculan Brian ku anggap sebagai salah satu pemicu segala macam
pertanyaanku.

Dia begitu jauh berbeda. Jika dilihat dari latar belakang keluarga, ku anggap Brian bukan dari
kalangan yang menyedihkan. Jadi mari kita lewati topik bodoh itu.

Brian melakukan segalanya atas kemauannya sendiri. Menjadi artis, bermain gitar, pindah ke
Jakarta dan sialnya aku menjadi tetangganya-selain itu mungkin dia kaya dan masih tetap bisa
makan bola babi.

Ketika aku tahu bahwa ia melewati proses casting, aku berkesimpulan bahwa ia benar-benar
berada pada jalan yang ia sukai. Pencapaian yang ia dapatkan bukan berasal dari pemberian,
tetapi murni hasil usahanya. Pencariannya sendiri tanpa banyak melibatkan bantuan orang lain.
Aku mulai menerima alasan kenapa P'Wee tidak marah ketika ia terlambat.

Sedangkan aku? Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang ku cari. Menggelikan. Aku ingin
menangis saja sekerasnya. Aku tidak punya jati diri. Aku tidak tahu harus memulai dari
mana.Parts 9 Font size 18
Menjadi model hanya pelarianku agar tidak perlu mengurus perusahaan. Jadi aku tetap bisa
berkeliaran dengan bebas di Indonesia dan berkompromi sebanyak-banyaknya dengan Om
Johan.
Bahkan sebutan alien tak lagi pantas ku gunakan. Aku hanya orb yang melayang-layang di
udara. Tidak bisa menghilang, juga tidak bisa merasuki orang lain. Yang ku lakukan hanya
menonton.

Win hanyalah penonton yang bisa pergi kapan saja sesukanya. Tapi sayangnya, kapanpun ia
akan pergi, tidak ada yang peduli.

Sore itu aku menangis sejadinya di kursi dapurku.

Jika bukan karena suara bel pintu yang berbunyi tanpa mau berhenti, aku mungkin
menghabiskan sisa malamku di kursi ini. Aku tidak ingin beranjak. Mataku berat dan sembab
karena menangis berjam-jam tadi. Diriku yang menyebalkan ini kutemukan kembali menangis
setelah sekian lama.

Tetapi suara bel itu tidak mau mengerti. Aku mengumpat namun tetap membiarkan kakiku
melangkah mendekati pintu dan yang ku lihat di hadapanku adalah seseorang yang paling tidak
ingin ku lihat belakangan ini-

-Brian datang dengan kemeja dan celana jeansnya. Aku melihat keringat menuruni pelipisnya di
antara samar lampu ruang tamuku yang tidak menyala penuh.

"Brian aku sedang tidak-"

Kalimatku tak sempat ku selesaikan. Sepersekian detik aku hanya merasakan tubuhku ditarik.
Sepasang lengan kekar melingkari punggungku. Aku terdiam. Brian tidak mengatakan sepatah
katapun. Yang ku rasakan hanya degupan jantungnya, deru napas kami berdua dan isi kepalaku
yang berhamburan.

Apakah dua laki-laki berpelukan itu wajar?

Ah, aku lupa, selalu ada pengecualian untuk diriku sendiri.

Pertahananku runtuh. Malam itu aku meraung-raung di pelukan Brian. Dalam dekapannya yang
hangat, aku hanya merasakan bahwa dia adalah orang yang tepat waktu. Tepat waktu karena
aku tidak perlu menghabiskan malamku di kursi dapur. Tepat waktu karena begitu melihatku dari
balkonnya, dia tahu ada yang tidak beres. Aku tidak suka orang yang tepat waktu, mereka
membuatku terburu-buru.

Dear NASA, I'm melting, his body is warm.


Parts 9 Font size 18

Part 5 Exception
"Kau baik-baik saja?"

Aku mengangguk singkat setelah menerima secangkir susu hangat buatan Brian. Aku
menyesapnya perlahan sembari mengamati pria yang kini duduk di hadapanku. Tubuhku dibalut
selimut tebal dan wajahku sudah bersih dari bekas tangisan.

Bulan bersinar temaram. Di hadapanku, ada lukisan hidup yang diguyur sinar jingga rembulan.

Aku menghela napas setelah meletakkan cangkirku di atas meja. Brian masih menatapku sayu,
dan aku yang tidak ingin ia melihatku bersemu.

"Stressed out." Jawabku singkat.

Brian, aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa menangis seharian. Kemunculan
pertanyaanpertanyaan aneh ini sudah cukup membuatku pusing. Jangan kau tambahi lagi.

"Kau bisa memanggilku jika butuh teman."

Aku terkekeh. Kehadirannya sudah sangat mengganggu, mana mungkin aku memanggilnya.
Lagipula, tanpa ku panggil pun dia sudah datang, kan?

"Siapa juga yang mau berteman denganmu."


"Hei..." aku menahan napasku saat ku dapati tangan Brian terulur mendekati wajahku dan ibu
jarinya mengusap sudut bibirku. "Berantakan..."

Oh tidak, jantungku seperti akan melompat keluar.

Aku yakin kalian juga akan gugup jika tiba-tiba ada orang yang mengusap bibir kalian kan?
Apalagi orang itu adalah alien kelas tinggi yang belakangan mulai mngobrak-abrik keutuhan isi
kepalaku.

"Bisa tidak sih, sehari saja kau tidak menggangguku?" aku merengut. Ku singkirkan tangannya.

Brian tertawa singkat. Melihat tawanya, aku bisa memutuskan bahwa siapapun yang nanti
menjadi kekasihnya amatlah beruntung.Parts 9Font size 18

Aku baru mengenalnya beberapa waktu ini. hari-hari dimana aku melihatnya bermain gitar di
balkon tidak masuk dalam hitunganku karena aku bahkan tidak tahu namanya dan bagaimana
menyebalkannya dia. Meskipun begitu, aku sudah mulai bisa menebak bahwa Brian adalah
orang yang cukup bisa diandalkan. Bagaimana ia menemukanku malam ini membuktikan
kepekaan orang ini.

Selain itu, tidak ada yang bisa kubanggakan darinya.

"Kenapa tidak tinggal dengan keluargamu saja, Prim?" Brian mencuri cangkir susuku sekaligus
isinya. Hei itu punyaku, tahu!

Aku mengalihkan pandanganku pada luar jendela. Salah satu alasan aku sering berada di kursi
dapur ini adalah karena aku bisa melihat pemandangan luar dengan lebih leluasa. Aku bahkan
bisa melihat bintang-bintang dari sini tanpa repot-repot ke atas atap apartemen. Sepadan
dengan harga super mahal hanya untuk mendapatkan hunian strategis ini.

"Tidak, aku tidak mau. Hanya ada aku dan Om Johan di Jakarta. Om Johan yang
bertanggung jawab atas aku selama aku di sini." "Lalu orang tuamu?"

"London. Mengurus bisnis."


"Apa aku sedang berurusan dengan kalangan Golden Spoon?" Brian

terkekeh, aku melemparnya dengan tisu bekas ingusku.

"Aku bisa melakukan apa saja di sini. Aku tidak suka bisnis. Aku ingin tetap tinggal di Indonesia.
Jadi aku memutuskan untuk menjadi artis saja. Jadi papa tidak ada alasan untuk memaksaku
meneruskan bisnisnya. Lagipula, ada dua kakakku yang sudah lebih berpengalaman."

Aku menarik cangkirku. Aku harus menghabiskan susuku sebelum Brian melakukannya lebih
dulu.

"Bukannya justru lebih enak jika kau hanya tinggal meneruskan bisnis?"

"Passion, Brian. Aku tidak punya passion di bidang apapun. Sesuatu yang bisa membuatku tetap
tinggal di sini adalah dengan menjadi artis."

Apa itu passion? Ah aku tahu apa yang bisa ku lakukan dengan sangat ahli. Selain tiduran dan
bermain biola, aku sangat jago mengutuk Brian. Jika ada pekerjaan itu, aku pasti sudah
jadiParts 9 Font size 18 direkturnya sekarang.

"Kau sangat ahli bermain biola. Otodidak?"

"Les, mamaku sangat terobsesi dengan biola. Aku satu-satunya anaknya yang cukup kurang
kerjaan dan mau disuruh les."

Brian bangkit dan mengambil cangkirku lalu meletakkannya di wastafel. Mataku mengikuti setiap
gerak-geriknya. Hingga ia kembali duduk di hadapanku bersama segelas air putih, aku mulai
bertanya-tanya. Apakah Brian berencana mengambil alih pekerjaan Om Johan?

"Minum dulu."

"Thanks." Aku menarik gelas berisi air putih itu dan segera minum dengan rakus. Segelas penuh
ku tenggak habis. Menangis membuatku kehilangan banyak cairan. "Bagaimana denganmu?"
"Apanya?"

"Ayolah, ceritakan sesuatu."


"Tentangku?"

"Tentu saja."

"Hidupku tidak menarik, Prim."

"Memang. Tapi bukannya dalam hidup selalu ada cerita, ya?"

Brian tersenyum sebelum ku dengar helaan napas beratnya. Ku rasa ia akan menceritakan
sesuatu yang lebih rumit daripada obsesinya seputar bola babi dan petualangan masa kecil
bersama teman-temannya.

"Kau adalah orang yang sangat beruntung, Prim." Kalimat pembukanya membuatku mengambil
kesimpulan bahwa kisah yang ia ceritakan akan mengharu biru, sepertinya. "Kau punya ayah,
ibu, saudara bahkan seseorang yang sangat setia mengurusmu."

"Memangnya kau lahir dari buah semangka ya?"

Senyuman kecil tersungging di bibir Brian. Bibir tipisnya itu sangat lucu jika tersenyum, jujur saja.
"Seumur hidupku, aku hanya bertemu dengan ayahku sebanyak dua kali. Rasanya aku hampir
lupa bahwa aku pernah memiliki seorang ayah. Ibuku membesarkanku sendirian sambilParts 9
Font size 18 mengurus sekolah musiknya di Chiangmai. Awalnya ku pikir ayahku adalah
seseorang yang bekerja di luar negeri dan sangat sibuk. Jadi saat aku sekolah dasar, aku selalu
membual pada teman-temanku bahwa ayahku adalah orang hebat. Tapi setelah aku dewasa,
aku baru tahu bahwa orang yang ku kagumi adalah pengecut yang sesungguhnya. Lalu semua
orang mulai menertawakanku."

"Maksudmu?"

"Aku mengira bahwa ayahku sangat mencintai ibuku. Tapi ternyata, dia tidak pernah menjadi
satu-satunya wanita dalam hidupnya."

Aku menatap Brian. Wajahnya berubah sendu. "Selingkuh?"

"Lebih parah. Ayahku adalah turis yang menikahi wanita di setiap negara yang disinggahinya.
Entah apa namanya. Ayahku hidup berpindah-pindah. Kau bisa tebak dimana ayahku
sekarang?"

Aku menggidikkan bahuku. Yang jelas ayahmu tidak sedang bersamaku, Brian. "Tidak tahu."

"Vladivostok, Rusia. Bersama wanita lain. Yang entah ke berapa."

"What the fuck."

Aku bukan orang yang suka menyela cerita orang lain. Sejujurnya, aku bahkan bisa
mendengarkan cerita Brian sampai besok pagi tanpa merasa bosan. Tapi yang satu ini
membuatku ingin mengutuk. Siapapun ayah Brian, dia benar-benar brengsek.

Brian menghela napas lagi. Ia menatapku dengan tatapan yang sulit ku mengerti.

"Saat aku tahu ibuku bukan satu-satunya wanita yang dicintai ayahku, aku bersumpah tidak akan
pernah ada wanita lain dalam hidupku, kecuali ibuku sendiri. Semua yang ku lakukan hanya
demi ibuku saja. Semua usaha kerasku ini." What the fuck?
Mata kami bertemu. Aku seperti bisa merasakan amarah dan kesedihan yang bercampur
menjadi satu. Tanpa ku sadari, aku bangkit dari kursiku.

Katakanlah aku gila atau sejenisnya. Aku yang kini berdiri di hadapan Brian yang sedang duduk
manis di atas kursi dapurku pun tak mengerti mengapa aku bangkit dan berhenti di sini. Aku tidak
melihat matanya yang biasa menelanjangiku, aku hanya melihat mata penuh luka dari laki-laki
sebayaku ini. Mata dari seorang yang merindukan sebuah pelukan.

Aku selangkah mendekatinya lagi dan ku raih lengannya.


Parts 9 Font size 18
Malam itu, aku menarik Brian dalam rengkuhanku.

Aku bisa merasakan degupan jantungnya. Sama sepertiku, tidak beraturan. Helaan napasnya
terdengar berat. Hingga ku rasakan dekapan Brian yang lebih kuat, aku masih terbuai dengan
aroma dan hangat tubuhnya.

Ada apa denganku?

"Brian..."

"Hm?"

"Kenapa masih memelukku?"

"Kau wangi."

Beruntung Brian tidak melihat wajahku yang merah ini. Apa-apaan dia dengan jawabannya itu?

Aku berdecih, sebuah pertanyaan sederhana tiba-tiba muncul dalam benakku. Sebuah
pertanyaan yang menyambut sumpahnya tadi.

"Brian."

"Hm?"

"Jika kau tidak ingin ada wanita lain selain ibumu, apa kau tidak akan menikah?"

Apakah ini hanya perasaanku atau benar bajingan ini sedang menempelkan bibirnya di leherku?
Aku ingin kabur, seseorang tolong aku!
Aku bisa merasakan Brian seolah sedang tersenyum.

"Aku akan menikah dan ibuku akan tetap jadi satu-satunya wanita dalam hidupku."

Aku terdiam. Kalimat itu membuat isi kepalaku berhamburan entah kemana.

Apakah alien ini berencana menikahi seseorang yang bukan wanita?

Dia pasti sudah gila.

.....

Brian baru kembali ke apartmennya jam 3 pagi setelah memastikanku damai di atas tempat
tidur. Aku tidak mengerti kenapa dia melakukan ini. Tapi biarlah, lagipula aku merasa jauh
lebihParts 9 Font size 18
baik sekarang karena Brian membuatkan susu hangat—lagi—yang ajaibnya rasanya sama
hebatnya dengan buatan Om Johan.

Pengambilan adegan dilakukan lusa. Mundur satu hari karena tempat yang digunakan masih
dalam proses renovasi. Aku sedikit lega karena aku tidak harus datang ke lokasi dalam keadaan
mata sembab dan tidak harus terkena omelan Om Johan. Kemana dia? Kenapa tidak sekalipun
menghubungiku? Aku memang offschedule seminggu ini, tapi bukan berarti aku sedang berada
di negeri antah berantah. Satu kali telpon tidak akan membuatnya impoten.

....

Tidak melakukan apa-apa selama dua hari memang bukan hal yang mengejutkan buatku. Ini
salah satu keahlian yang ku miliki. Waktuku ku habiskan untuk memikirkan hal bodoh yang ku
lakukan kemarin.

Menangis seharian seperti orang kesepian dan tidak punya pegangan hidup—faktanya memang
iya. Lalu tertidur di dapur. Dan berakhir menangis di pelukan orang. Aku bukan tipikal orang yang
betah menangis seharian. Tapi rasanya, tangisanku kemarin membuatku lega. Kurasa itu
setimpal, dan aku tidak merugi.
Akupun bisa berdamai dengan segala pikiran buruk tentang diriku. Lalu menerima keberadaan
Brian yang semakin sering mondari mandir di apartmenku. Aku bahkan lebih sering melihatnya
daripada melihat wajahku sendiri di cermin. Ini gila. "Brian."

Aku memanggilnya sesaat sebelum ia akan keluar dari tempatku.

"Apa?"

"Kenapa sering kesini? Kau tidak kerja?"

"Aku kesini kalau pekerjaanku sudah selesai."

"Aku bukan bayi."

"Bayi besar sepertimu akan merengek kalau kesepian."

"Crappy head."

"Aku merasa kau tidak perlu membebani dirimu sendiri dengan pikiran jelek. Kau sudah jelek."
"Fuck off."
Parts 9 Font size 18
"Kau yang mengajakku bicara. Padahal aku sudah mau pulang." "Brian."

"What? Do you wanna fight?"

"It sounds good."

"I mean it."

"Brian." Aku berhenti sejenak dan memandanginya yang sedang memakai sepatu. "Aku akan
membuat seri ini sukses."

"Kau harus."

"Kalau kau betulan jadi gay jangan salahkan aku."

"Memangnya kau akan melakukan apa?"

"Segalanya. Mari kita anggap bahwa aku akan melemparkanmu tinggi sekali."
Brian telah selesai dengan sepatunya. Ia berbalik menatapku dan tersenyum, teduh sekali.

"Kenapa tidak mencoba melompat bersama-sama?"

......

Episode pertama sudah tayang!

Secara mengejutkan, ratingnya tidak terlalu bagus seperti harapan para kru.

Aku merasa bersalah. Brian tidak terlihat baik-baik saja.

"Buddha, aku tarik doaku yang dulu. Buatlah seri ini sukses. Aku tidak akan banyak protes lagi."

Did Buddha ever listen to an alien?

.....

"Aku akan bekerja lebih keras lagi."

Brian membungkukkan badannya di hadapan P'Wee pagi itu. Dia seperti sedang melakukan
saikirei saja. Aku tidak mengerti mengapa ia melakukannya dan pandangan P'Wee pun nyaris
sama sepertiku. Tidak apa-apa Brian, ini baru episode pertama. Jangan khawatir.
Lihat, aku bertingkah seperti aktor professional sekarang.
Parts 9 Font size 18
"Kau bisa bekerja lebih keras di episode selanjutnya. Akan ada banyak adegan dengan Prim.
Kalian harus membangun chemistry dengan baik." P'Wee menepuk pundak Brian. Brian hampir
sama denganku. Dia tinggi namun memiliki otot yang lebih menonjol daripada tubuh
slendermanku ini.

Aku yang memandangi mereka dari kursi kecil yang dibawakan kru hanya bisa
menganggukangguk. Aktor betulan harus begitu ternyata.

"Kau sedang apa tadi dengan P'Wee?" aku menunggu giliranku melakukan rias wajah.

"Meminta maaf."

"Kau buat salah?"

"Aku merasa episode awal kurang banyak peminat."

Excuse me?

Episode awal lebih banyak memuat wajahku daripada wajahnya. Apa secara tidak langsung dia
bilang bahwa kegagalan ini karenaku? Ku rasa aku siap memukul wajahnya sekarang jika saja
otakku tidak lebih dulu menghentikanku.

"Kau ingin bilang ini gara-gara aku? So mean." Aku merengut kesal.

Brian mengambil bola babi yang ku pegang dan mengunyahnya dengan rakus. Mati saja lah
kau. Aku benci kau. "Karena aku kurang mengajarimu. Yang kau lakukan setelah first
reading hanya minum susu, nongkrong di dapurmu dan menangis. Such a baby." Bisakah
sehari saja dia tidak menggangguku?

Aku memutar bola mataku dan akan merebut bola babiku kembali tapi Brian lebih dulu
mengelak. "Hei, itu punyaku."

"Nope. Yang ada di tanganku, akan jadi punyaku."


"Says who?"

"The owner." Ia menggidikkan bahunya.

Brian pergi begitu saja. Membawa bola babi yang aku beli sendiri tadi. Pakai uangku. Susah
payah berdesak-desakan dengan anak-anak sekolah dasar. Bagaimana bisa aku dekat
dengannya kalau setiap bertemu dia membuatku kesal?

"Om Johan, aku tidak akan bertanya dua kali tapi dari mana saja kau beberapa hari ini?"
Parts 9 Font size 18
Aku mutuskan untuk mendekati Om Johan yang sedang duduk-duduk santai di dekat cafetaria.
Wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah—dan sepertinya akan tetap begitu meskipun aku
bercerita bahwa aku menangis seharian dan seseorang bernama Brian mulai konstan
mondarmandir di rumahku. Jangan tanya bagaimana dia menemukan nomor apartemenku.
Pakai operasi hitung aljabar.

Om Johan memberikanku segelas Americano, masih penuh, untung bukan bekas. "Ke Phuket.
Ada urusan, kan aku sudah memberitahu lewat Line. Kau juga sudah membacanya."

"Tapi aku tidak menyangka kau akan pergi selama ratusan tahun." Aku menyesap Americano-ku
dengan rakus. Berdebat dengan Brian dan sekarang melakukan ronde ke dua dengan Om
Johan sangat menguras tenaga tubuh manusiaku. "Aku hampir lupa bagaimana bentuk
wajahmu, Om."

"Hoi, anak-anak muda semakin kurang ajar."

Aku tertawa dan disambut tawa ringan Om Johan. Untungnya, orang itu memiliki hati sekuat baja
yang mampu menahan lidah pedasku. "Sudah tahu kalau ratingnya kurang bagus?"

"So what? You want this kind of thing." Aku tidak mendengar nada menyalahkan dari orang ini.
Aku lebih merasa bahwa ia ingin menyadarkanku atas keputusanku sendiri.

Memori akan Brian tiba-tiba melintas di pikiranku. Glitch.

"Apa aku akan mendapat banyak haters?"

"Tidak. Orang-orang menyukai wajahmu. Wajahmu tipikal Chinese yang lucu. Mereka tidak
punya waktu untuk mencari-cari mana yang salah. Yang akan menegurmu adalah para kru.
Rating rendah? Sudah ku katakan seri ini tidak tayang di primetime." Aku suka kehebatan Om
Johan dalam hal seperti ini.

Aku menghela napas kecewa sekaligus lega. Tidak ada yang lebih membingungkan dari kedua
hal itu. Prim selalu memiliki pengecualian atas segala hal. Apa kali ini aku juga akan membuat
pengecualian?

Aku menyesap lagi minumanku hingga tersisa setengah. Lima menit lagi aku akan mulai
mengambil adegan dengan Brian. Hatiku harus tenang dan isi kepalaku harus berkumpul
secepatnya.

Lagi, bayangan laki-laki aneh itu melintas. Brian dengan kisah-kisah inspiratifnya, luka-luka yang
ia alami dalam hidupnya dan fakta bahwa ia bekerja keras untuk seri ini, membuatku lagi-lagi
menghela napas berat. Orang bilang jika terlalu sering menghela napas berat akan tertimpa sial,
sedangkan aku sudah sial bahkan sebelum melakukannya.Parts 9 Font size 18

"Om, mari membuat pengecualian. Aku akan bersungguh-sungguh sekarang."

"Win?" Om Johan menoleh ke arahku dengan cepat. Seolah mempertanyakan kalimatku tadi.

"Ada seseorang yang lebih dulu bekerja keras untuk ini. I'm not an asshole. Aku akan
membuatnya terlempar jauh ke langit."

Om Johan, aku menemukannya lagi. Aku melihatnya terlalu sibuk dengan kertas-kertasnya.
Biasanya dia akan menatapku, tapi kali kini aku menemukan diriku lebih dulu menatapnya.

Part 6 Fingertips
"Kau belum pulang?"

Demi Buddha, mengapa orang ini suka sekali muncul dan mengagetkanku? Aku hampir saja
menyemburkan air yang sedang ku minum. Aku sedang beristirahat di ruang dance Agensi dan
tiba-tiba Brian datang. Tahu dari mana dia kalau aku di sini? Tak bisakah dia sekali saja tidak
muncul? Tidakkah orang ini tahu bahwa kemunculannya melemahkan tubuh manusiaku?

Aku tidak seketika menjawab. Air mineralku belum habis, jadi aku tidak merasa punya kewajiban
untuk segera meladeninya. Hari-hariku semakin berat saja karena harus meladeni dua orang
yang sama menyebalkannya. Tahu siapa saja kan?

Aku memilih ruangan ini sebagai tempat istirahat selain karena sepi, aku juga bisa duduk dengan
santai karena lantainya yang dijamin bersih.

"Belum dijemput Om Johan." Jawabku singkat setelah menyelesaikan sebotol penuh air mineral
tanpa jeda.

"Memangnya Om Johan kemana?"

"Tidak tahu, katanya masih ada urusan. Aku disuruh menunggu."

"Mau pulang bersama?"


"Nope, aku menunggu Om Johan saja. Pulang sana."
Parts 9 Font size 18
Brian duduk di hadapanku. Ruangan itu hening. Aku masih memainkan tutup air mineralku dan
Brian yang tiba-tiba beranjak lalu ku dapati dia menyeret set keyboard. Asal tahu saja, selain
ruangan dance, tempat ini terhubung dengan studio musik mini yang nyatanya berisi instrumen
musik nyaris lengkap. Aku tidak akan terkejut jika nanti Agensi menggelar konser orchestra di
sini.
Aku bahkan bisa melihat biola yang jelek juga.

Ada perasaan aneh tiap kali aku hanya berdua dengan Brian. Semakin aku memikirkannya,
semakin aku tidak mau mengakuinya. Perasaan aneh apa ini? Mengapa aku sangat senang jika
hanya ada aku dan dia di tempat yang sama? Dia menyebalkan.

"Kok melamun?"

Aku terhenyak. Sejenak ku pandangi tubuh tegap Brian dan wajah Leonardo d'Caprio nya. "Kau
mau apa?"

"Memainkan lagu, untukmu."

"Memangnya kau bisa main piano?"

"Hanya satu instrumen yan tidak ku kuasai." Brian terlihat sibuk dengan keyboardnya. Ia
menyamankan tinggi penyangga agar sesuai dengan tinggi kursi yang ia duduki. Satu hal yang
agaknya ku kagumi dari si brengsek ini, dia tidak pernah melewatkan satupun kalimatku.
Sekalipun dia terlihat tidak mendengarkannya.

"Apa?"

"Biola."

Untuk yang satu ini aku bangga karena aku lebih unggul dari dia. Jika ada perlombaan bermain
biola, aku akan menyeret Brian dan membuatnya jadi pesaingku. Satu-satunya cara untuk
membuat dia terlihat bodoh.

"Itu mudah."
"Ya, untungnya kau bisa bermain." Ia menatapku, tanpa berkedip. Darahku berdesir. Tatapan itu
lagi. Si sialan ini sedang berusaha menghipnotisku."Jadi aku tidak perlu khawatir." "Hah?"

Om Johan cepatlah datang. Aku tidak ingin berurusan dengan orang ini lebih lama lagi. Dia
sangat berbahaya. Jantungku rasanya mau meledak tahu.

Aku mengalihkan perhatianku pada ponselku. Detak jarum jam terdengar bersamaan helaan
napasku. Hampir tengah malam dan aku masih di sini bersama Brian. Si aneh yang
semakinParts 9 Font size 18 dekat saja denganku. Terlalu dekat melebihi bayanganku sendiri.

Tak ada yang terjadi sampai ku dengar satu nada pertama—yang ternyata adalah Dichterliebe.
Aku yang tadinya sibuk dengan ponselku, spontan menoleh ke arahnya. Ku lihat Brian
memejamkan matanya sama sepertiku ketika bermain biola. Wajahnya begitu teduh, tidak
seperti yang biasa ku lihat. Atau mungkin dia selalu begitu dan aku tidak pernah menyadarinya.

Jari-jarinya menari lincah di atas tuts yang kusam.

Beberapa detik setelah aku tertegun, ku dapati diriku berjalan ke arah kumpulan alat musik yang
ada di sudut ruangan. Aku mengambil biola yang memang benar jelek sekali kualitasnya.

Brian masih di sana. Bersama matanya yang terpejam, jari-jari yang berlarian di atas tuts dan
aku yang mulai memainkan peranku. Biolaku beralun lembut bersama perasaan ringan yang
entah datang dari mana. Ku biarkan kali ini diriku menikmati waktu bersamanya. Tanpa
perdebatan, tanpa adu argument. Aku dan Brian seolah berkomunikasi lewat nada-nada.

Ku lihat ia tersenyum, saat aku memutuskan membuka mataku. Ku dapati Brian masih terpejam.
Aku tidak pernah menyangka dia sehebat itu.

"Ouch—fuck!" Sial. Biola jelek ini benar-benar menunjukkan kejelekannya. Satu senarnya putus
dan aku merasa jariku tergores.

Bersamaan dengan aku yang mengaduh kesakitan, karena senar itu menggores jariku—untung
bukan wajahku—Brian menghentikan permainannya. Ia memandangiku dengan tatapan yang
sulit ku jelaskan. Lalu pergi begitu saja tanpa sepatah katapun.

What the fuck.


Kau harusnya menolongku, maniak bola babi!

Aku mendengar langkah kaki mendekat setelah beberapa waktu aku sendirian. Semoga Om
Johan yang sekarang ada di belakangku karena si brengsek Brian melarikan diri. Dia dan
Gantara sama saja, sama pengecutnya. "Kemarikan jarimu..."

Aku membalikkan badanku dan mendapati Brian sudah berdiri dengan sesuatu di tangannya.
Sekotak plester luka yang ku rasa itu untukku.

"Aku kira kau kabur tadi." Mengapa aku mengerucutkan bibirku? Mengapa aku lega karena ia
kembali? Parts 9 Font size 18

Brian merendahkan tubuhnya dan duduk di hadapanku. Dengan hati-hati, ia memasangkan


plester di jari telunjukku. Mata tajam itu masih mengawasiku meskipun aku sudah mencoba
membuang muka. Apa aku tadi sempat berharap dia tidak meninggalkanku? Aku pasti sudah
gila.

"Kau pikir aku orang macam apa yang akan meninggalkanmu saat terluka?" Brian
menggelengkan kepalanya. "Kau ini pesimistik sekali." Kau heran ya? Sama, aku juga.

"Ya bisa saja kan."

Brian begitu dekat. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya menerpa jari-jariku. Aku
bisa menghirup wangi parfum bercampur dengan keringatnya. Aku bisa melihat tengkuknya yang
bersih dan jenjang karena kini ia begitu membungkuk seolah akan menusukkan jari-jariku di bola
matanya.

Orang ini tidak banyak bicara, tapi ia tahu apa yang harus dilakukan. Aku sering mendapati Brian
datang dengan wajah yang terlihat lelah. Ia selalu datang lebih awal dan pulang paling akhir. Dia
masih mengambil kelas akting bersamaku padahal ku dengar ia sudah lama menjadi actor. Jadi
aku akan memaafkan perilaku busuknya yang selalu cari gara-gara tiap bertemu denganku.

Oh, aku baru sadar, aku telah memutuskan untuk membantu orang ini. Aku akan
melambungkannya ke langit. Tapi apa yang akan ku lakukan untuk membantunya? Tidak tahu.

"Nanti sesampainya di apartemen, bersihkan lagi lukamu. Na?"


Aku mengangguk saja. Brian tersenyum dan tangannya terangkat mengacak rambutku. Hei!

"Brian.."

"Hm?"

"Hari-hari yang berat ya? Ratingnya belum terlalu baik."

Brian tertegun. Aku mendapatinya menatapku dalam-dalam.

Aku tak mendapatkan sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku justru mendapatinya beranjak
meninggalkanku lagi yang terduduk dengan sejuta pertanyaan. Apakah aku melakukan
kesalahan? Apakah aku menyulut api?

Sebelum aku menyerah dengan obrolan ini dan memilih melarikan diri, Brian sudah datang lagi.
Kali ini bersama beberapa kantung plastik. Aku bisa menebak salah satunya berisi bola
babi.Parts 9 Font size 18
Beberapa saat kemudian ia duduk di hadapanku lagi dan mengeluarkan berbagai macam
makanan dari dalam kantung plastik itu. Brian memberikan gestur padaku untuk mendekat dan
menyodorkan bola babi. Tahu dari mana dia kalau aku lapar? Persetan dengan obrolan tadi, aku
putuskan segera menyambar bola babi yang ia sodorkan.

"Jika seri ini tidak berhasil sampai episode terakhir, apakah menurutmu karirku akan hancur?"

Aku hampir tersedak. Oh sial, yang ku lakukan fatal ternyata. Aku tidak hanya menyulut api, aku
meledakkan seisi ruangan ini.

"Bukan begitu, aku melihatmu berusaha lebih keras dari yang lain. Apa yang kau lakukan selama
ini?"

"Berlatih akting dan menghapal script. Kau belum jawab pertanyaanku."

Aku menelan bola babi keduaku. Lalu menenggak minuman soda yang baru saja dibukakan oleh
Brian. Orang ini perhatian sekali rupanya.

"Ku rasa tidak."

"Kenapa?"
"Karena aku yang berada di belakangmu. Aku jenius, tahu." Aku menyodorkan dua butir bola
babi yang ku pegang pada Brian. Ia menyambutnya dengan sekali lahap. Pipinya
menggembung, lucu sekali. "Aku tidak pernah gagal saat aku bersungguh-sunguh. Kau akan
lihat bagaimana aku akan membuat seri ini jadi big hit."

"Kau yakin?"

"Serahkan saja semuanya padaku."

"Aku bertaruh padamu, Prim."

Suara Brian terdengar seperti gumaman. Suaranya berat. Kepalanya tertunduk dalam. Aku tak
mengerti mengapa aku memutuskan untuk mengangkat kedua tanganku lalu menyentuh
wajahnya dan mengusap pipi si bodoh ini. Rambutnya yang dibiarkan menutupi wajahnya ku
singkap perlahan.

"Semua akan baik-baik saja, ku ijinkan kau bertaruh padaku." Bisikku.

Kami berdua saling berpandangan. Aku melihatnya tersenyum dan tanpa ku sadari, aku juga
dibuat tersenyum olehnya. Jantungku berdegup kencang lagi. Isi kepalaku berhamburan diParts
9 Font size 18 udara.

"Aku bisa betulan jatuh cinta padamu jika kau terus seperti ini." Ia tertawa pelan.

Aku juga, Brian.

Aku tertawa hambar. Tubuhku beringsut mundur.

"Brian..." Aku merapikan bungkus makanan di hadapanku. Brian masih duduk di hadapanku dan
memandangiku dengan tatapan konyol seperti biasanya.

"Hm?"

"Kau tahu kan kalau dichterliebe adalah puisi dari seseorang yang sedang jatuh cinta?" Brian

mengagguk. Aku melirik pintu dan ku lihat Om Johan sudah berdiri di sana.

"Iya, Kenapa?"
Aku menghela napasku. Ku tatap matanya. Ku beri ia senyuman paling tulus yang ku miliki.
Sebelum akhirnya aku beranjak mendekatinya. Aku tidak tahu apa yang membuatku melakukan
ini. Ku dekati telinganya. Wangi parfum dan keringat yang bercampur itu membuaiku lagi. Aku
menyukai aroma tubuhnya. Aku rasa aku harus berhati-hati. "Let's not fall in love."

....

Ada satu hal yang agaknya ku sesali belakangan ini. Pemilihan kata bersungguh-sungguh
membawa pengaruh besar pada penampilanku pada episode-episode selanjutnya. Setiap kali
P'Wee berteriak untuk memulai adegan, isi kepalaku akan menyatu. Semua gambaran dialog
yang ku hapal sebelumnya mengalir tanpa perlu ku ingat-ingat lebih jauh. Terkadang aku suka
lupa kalau aku punya IQ di atas rata-rata.

Aku juga sering melakukan improvisasi—dan untungnya tidak menjijikkan.

Kesungguhanku membuat Brian terlihat bertanya-tanya. Kemana perginya Prim yang selalu
protes dengan segala hal? Prim yang protes dengan letak lampu, meja rias, makan siang dan
kumis P'Wee. Aku sering menemukannya memandangiku lama sekali. Aku jadi takut kalau suatu
hari kepalaku akan berlubang karena ditembus olehnya.
Episode ke dua dan seterusnya berjalan di luar ekspektasi. Semua seperti mimpi dan anehnya,
dalam mimpi ini pun aku masih bisa merasakan kakiku diinjak seseorang.Parts 9 Font size
18

"Brian, fuck off. Kau menginjak kakiku." Ini bukan mimpi teman-teman. Kakiku betulan diinjak
oleh Brian. Sial sakit sekali.

"Sorry."

Bintang jatuh seperti menimpa seri ini. Entah karena mantra apa, mendadak semua orang
membicarakannya, terutama kami berdua. Banyak yang bilang kami sangat cocok dan memiliki
chemistry yang kuat. Wajah kami yang tampan—oh tentu saja, apalagi aku—membuat semua
orang rela menunggu dan menonton premiere-nya bahkan tanpa subtitle. Mendadak pula, seri—
Romansa pertamaku—ini menjadi urutan pertama light drama di Indonesia. Aku berada di
ambang antara senang atau merasa dikutuk oleh Buddha.

Semua orang memuji kami, terlebih para kru. Mereka melihat perkembangan aktingku yang jauh
lebih baik dari episode sebelumnya. Kalau bukan karena seseorang yang sedang berusaha
keras, aku juga tidak akan sekeras ini mengimbanginya. Kalau bukan karena orang itu yang
sering menggangguku setiap saat mengerahkan segala kemampuannya, aku tidak akan mau
mengeluarkan banyak tenaga. Prim tidak suka banyak berusaha. Kalau bukan karena Brian—
Tapi dia berusaha sangat keras, aku juga harus melakukan sesuatu.

—apa aku baru saja menjelaskan bahwa aku melakukan semua ini untuknya?

Aku pasti sudah gila.

"Kau senang sekarang? Aku bisa melihatmu tersenyum sampai bibirmu hampir robek."

Brian mengangguk. Anggukannya sangat keras sampai aku takut kepalanya akan lepas jika
diteruskan. "Kau sangat berbakat, Prim. Semua ini berkat kerja kerasmu."

"What a nice words."

"Aku bersungguh-sungguh."

Aku terdiam sejenak. Masih ku lihat senyuman Brian. Duduknya masih sama seperti sejak
pertama kami berbicara. Meskipun dia terlihat sibuk dengan script-nya, tidak sekalipun ia
melewatkan apa yang aku katakan padanya. Aku kagum dengan kemampuan konsentrasi orang
ini. Sedangkan aku yang payah. Aku butuh beberapa menit bahkan untuk sekedar
mengumpulkan kembali isi kepalaku.

"Aku belajar banyak hal. Dari semua kru, dari P'Wee. Darimu..."

"What a nice words."


Parts 9 Font size 18
"Shut up."

Brian terkikik pelan. Tangannya membolak-balik script yang akan kami habiskan hari ini.
Sesekali aku bisa mendengarnya menggumam sesuatu. Sepertinya sedang menghapal dialog.

"Aku penasaran, dari mana datangnya kemampuanmu ini? Kau berubah dalam beberapa hari.
Kau yakin tidak mengalami sakit jiwa? Otakmu baik-baik saja kan?"

See? Bisa tidak dia diam dan berhenti mengatakan hal bodoh. Wajahnya yang mirip ras
Leonardo D'Caprio itu terlihat semakin bodoh setiap kali meledekku. Kenapa sih aku terjebak di
antara orang-orang yang aneh semacam ini? Selain alien, apakah benar di kehidupanku
sebelumnya aku adalah villain terkuat di alam semesta dan berkulit terong ungu?

"Aku bisa jadi mengerikan kalau sudah serius tahu. Makanya jangan main-main denganku."

"That's cute."

"Romansaoody crappy head."

"Tapi serius, Prim. Kau berkembang sangat pesat belakangan ini. Kau bahkan jarang salah
dialog."

Aku pun tidak mengerti, Brian. Semua itu mengalir begitu saja di kepalaku. Aku hanya tahu jika
aku mulai serius akan sesuatu, aku tidak akan membiarkan hal lain mengusikku sampai aku
selesai. Aku beruntung karena itu salah satu dari sedikit hal baik tentangku yang bisa ku
banggakan.

"Karena..." kalimatku menggantung. Aku tidak suka situasi ini. Ini sama seperti ketika Om
Johan menanyakan motivasiku terjun ke dunia aneh ini lalu berurusan dengan orang yang
lebih aneh lagi. Aku harus memilah jawaban yang cocok, tepat dan akurat. "...aku ingin?"
Damn it.

"Ingin?"

Aku harus membuat alasan yang masuk akal mengapa aku memilih jawaban bodoh itu lagi. "You
know, aku tidak pernah terlalu keras atau terlalu malas dalam melakukan sesuatu. Aku
melakukannya sekadarnya saja. Tidak kurang, tidak lebih. Tidak banyak, tidak sedikit. Tapi aku
selalu membuat pengecualian ketika aku menginginkannya. Jika aku ingin bersungguh-sungguh,
aku akan mengerahkan seratus persen kemampuanku. Hanya jika aku ingin..."

Kalimatku menggantung lagi. Kini aku kembali bertanya pada diriku sendiri, apa yang ku
inginkan? Sudahkah aku menemukan apa yang ku cari? Sudahkah aku menemukan jalanku?
Parts 9 Font size 18

Tubuhku membeku tetapi aku masih mampu merasakan bulir keringat menuruni pelipisku. Aku
tidak suka kondisi ini. Aku butuh Om Johan, tapi dimana dia? Aku merasa sendirian lagi
sekarang.
Seseorang tolong bangunkan aku atau aku akan pingsan.

"Win? Kau baik-baik saja?"

Sebuah sentuhan kecil di ujung jariku menyadarkanku. Tidak ada Om Johan di sini, hanya ada
aku dan Brian. Dia menyentuh ujung jariku dan menarikku ke dalam dunia nyata. Lagi.

"Aku....baik."

Tidak aku sedang tidak baik, dadaku sesak. Aku ingin muntah. Aku ingin menangis.

"Minumlah.."

Aku menyambar botol air mineral yang dipegang Brian. Sebotol kutenggak habis tanpa ampun.

"Thanks."

"Kau mulai lagi seperti saat aku menemukanmu menangis. Apa ini semacam trauma psikis?"

"I have weak heart and panic disorder."


"Since when?"

"Jantungku lemah sejak kecil. Aku mulai mendapat serangan panic pertamaku saat sekolah
dasar, aku hampir mati saat itu."

"Did I make you feel unwell?"

"Nope, I almost lost my consciousness everyday. I'm getting used to it. Don't worry about me."

"I'm sorry."

"Don't say that, moron. I'm not gonna die."

"Maaf membuatmu berpikir keras. Aku tahu otakmu tidak sanggup mencernanya."

"Fuck off. Can you just be nice to me for one fucking day? I'd rather die."

Brian menyentuh ujung jariku lagi. Mata kami bertemu. Atau mataku menemukan matanya lagi—
lebih tepatnya.

"Apa ini membuatmu merasa lebih baik?"


Parts 9 Font size 18
"I don't know. Setiap kali aku merasa akan kehilangan kesadaranku, aku berharap ada orang
yang menyentuh ujung jariku dan aku akan merasa aku tidak sendiri. So I can faint in peace. But
unfortunately, I never faint. It just pulls back my awareness."

"Then I will do it anytime you feel unwell."

"Who the fuck need you?"

Brian tersenyum. "Boleh tanya lagi?"

"Apa?"

"Mengapa kau memutuskan untuk mengerahkan semua kemampuanmu?"

Aku terdiam lagi. Lagi dan lagi. Orang ini sangat mengganggu. Dia seperti sedang menggali
sesuatu dalam diriku. Sedangkan aku? Aku hanya pasrah dengan segala kelakuannya.
Bodohnya aku.

"Karena..." don't do that again stupid Prim. "..ada seseorang yang sedang berusaha keras. Aku
tidak suka membuat orang itu berusaha sendirian." Nice.

Brian tidak merespon apa-apa. Tatapannya masih sama menelanjangiku seperti biasa—dan aku
mulai terbiasa dengan itu, sungguh. Hanya saja, kali ini aku berani membaca sorot matanya
lebih dalam. Aku tahu, dia sedang bahagia.

"I'm touched." Bisiknya.

"I told you. Aku akan membuatmu terlempar tinggi ke langit. Then I will be watching you from
here."

Mata kami bertemu lagi. Brian tersenyum tipis dan aku yang merasa jantungku berdegup
kencang kali ini.

Brian berbisik lagi, kali ini mungkin hanya aku yang bisa mendengarnya.

"Aku ingin ke atas sana denganmu."

Aku mengikuti jari telunjuknya. Ia menunjuk langit, seperti kataku bahwa aku akan
melemparkannya jauh ke langit.

Apa salahnya jika aku memilih tinggal di bumi dan memandanginya? Lagipula alien sepertiku
hanya penonton, 'kan?

Siang itu aku bertanya pada diriku sendiri. Mengapa aku harus berusaha sebegitu keras hanya
untuk orang yang setiap pagi ku lihat bermain gitar di balkonnya dan tidak pernah
membagikuParts 9 Font size 18 bola babinya?

Win has found something that he wants to understand. Something that is stormy but soothing at
the same time. But, he lost himself evermore.

Om Johan, alien ini benar-benar telah membolongi tengkorakku.


Part 7 WHAT THE FUCK?!
Belakangan semua orang semakin sering membicarakan kami berdua. Hidupku tak pernah sama
lagi. Semuanya berubah. Aku jadi semakin terburu-buru karena jadwal yang padat melebihi
macetnya kota Jakarta. Perubahan ini terlalu signifikan. Aku mulai berpikir menjadi artis lebih
melelahkan daripada menggantikan papa.

Banyak sekali jadwal yang harus ku hadiri. Mulai dari shooting, pemotretan majalah, interview
eksklusif dan sialnya semua selalu ku lakukan bersama Brian. Jika bukan karena aku sudah
menandatangani kontrak dan memutuskan menyelamatkan hidup Om Johan, aku sudah lari
sejauh mungkin. Aku akan membeli pulau seisinya dan sebuah supermarket. Zombie belum ada
apaapanya, alien bernama Brian ini lebih mengerikan.

Pagi hariku semakin suram karena nyaris setiap hari Brian akan mendatangiku. Sekedar bermain
gitar atau makan bola babi sampai bosan. Serius, aku mulai bosan makan bola babi setiap pagi
dan tidak gemuk-gemuk juga.

Untungnya, orang aneh itu tidak banyak tingkah. Dia tidak pernah menyentuh apapun di rumahku
kecuali ku suruh atau dia minta izin terlebih dulu. Aku memuji tata kramanya. Selain itu, aku
hanya ingin mengutuknya saja. Keberadaannya sangat tidak bagus untuk jantungku. Selain
karena matanya yang mengganggu, entah sejak kapan aku mulai merasa sering mengalami
debar-debar tidak jelas. Ini sangat tidak baik untuk tubuh manusia yang lemah sepertiku.

Brian selalu berkata bahwa kapanpun aku bisa mengunjungi apartemennya. Ia bahkan
memberikan passwordnya padaku. Aku tidak mengerti, siapa pula yang sudi bertamu ke
rumahnya. Dia datang ke sini setiap pagi saja sudah sangat mengganggu, ditambah aku sengaja
mendatanginya? Aku pasti sudah gila.
Lalu kenapa sekarang aku berdiri di depan pintu apartmennya? Apa pula ini biola di tanganku?
Parts 9 Font size 18
Jangan salah paham, aku hanya khawatir dia mati karena sejak kemarin setelah P'Wee
memutuskan break satu minggu, alien ini tidak datang lagi. Kenapa selalu datang setiap kali ada
jadwal dan hilang ketika libur?
Aku mencoba mengetuk pintunya beberapa kali tapi tak kunjung mendapat jawaban. Kurasa
Brian benar-benar mati di dalam. Jadi persetan, aku memutuskan menekan tombol-tombol di
sana. Aku tidak bermaksud menerobos. Sekali lagi aku khawatir dia mati di dalam sana.

Aku tidak membawa sarung biolaku. Aku hanya membawanya di tanganku. Ku pikir akan
menyenangkan jika aku bisa bermain di suasana ruangan yang baru.

Pintu itu terbuka dan semuanya gelap. Aku meraba dinding mencari saklar lampu. Kemana
perginya orang ini sampai lampu tidak dinyalakan?

Aku terkejut saat menemukan bahwa apartemen Brian begitu bersih dan rapi. Tidak seperti
kepribadian orangnya yang cenderung menyebalkan. Aku mencoba mencari dimana keberadaan
orang itu dan langkahku berakhir pada sebuah pintu yang tidak tertutup sepenuhnya. Di dalam
sana terdengar suara televisi yang masih menyala. Jadi aku berasumsi bahwa Brian di sana,
tertidur saat menonton tv mungkin.

Tanganku mendorong pintu itu perlahan. Sesuatu membekukan langkahku. Aku tertegun. Mataku
menemukannya lagi. Kali ini orang itu tidak dalam celana boxer dan singlet putihnya. Orang itu
meringkuk di lantai dan tangannya berlumuran darah. Aku melihat kaca di dinding itu retak. Dan
ada darah di sana.

Aku tidak bisa mengumpulkan isi kepalaku. Aku mual. Aku ingin membalik badanku dan berlari
sejauhnya. Pemandangan di hadapanku terlalu mengerikan untuk ku lihat saat ini. Apakah dia
mati? Dia tidak bergerak bahkan ketika aku membuka pintu ini.

Aku harus mengalihkan konsentrasiku atau aku akan pingsan sekarang.

Tanganku menegang. Sesuatu terdengar putus. Aku merasakan nyeri hebat di jari-jari tanganku.
Aku tidak peduli lagi. Di hadapanku seseorang sedang meringkuk. Seseorang yang selama ini
terlihat kuat—sedang runtuh.

Aku masih membeku ketika aku melihat Brian mengangkat wajahnya dan mendapatiku berdiri
kaku di depan pintu kamarnya.

"Win?"
Aku masih bisa melihat Brian beringsut mendekatiku. Aku masih bisa merasakan hangat
tangannya menyentuh tangaku yang memegang biola. Aku bisa merasakan ia menarikku.
AkuParts 9Font size 18 tidak mendapatkan sentuhan di ujung jariku, aku mendapatkan diriku
kembali dalam pelukannya.
Brian berhasil mengembalikanku lagi.

Kali ini aku akan diam, aku yang akan mendengarkannya.

Dalam parau tangisannya, Brian bercerita tentang banyak hal. Begitu banyak hingga aku merasa
kepalaku akan meledak karenanya.

Dia memulai semua ini sendirian. Dan sampai sekarangpun aku masih merasa bahwa ia selalu
sendirian.

Tidak seperti aku yang akan mulai kehilangan kesadaran jika merasa tertekan, Brian justru
berada dalam kondisi kontradiktifnya. Ia akan berada dalam kesadaran penuh. Mungkin seperti
Lucy yang akan mengerahkan seratus persen kapasitas otaknya, atau mungkin seperti Thor
yang akan mengeluarkan petir dari tubuhnya. Hal yang sama dari kami berdua adalah, bahwa
kami akan sama-sama berakhir terluka. Entah aku dalam ruangan sempit rumah sakit, atau Brian
dengan luka-luka di tubuhnya yang ia ciptakan sendiri.

I feel bad for him.

Menangislah sepuasmu, Brian.

In beautiful May, when the buds sprang, love sprang up in my heart. In beautiful May, when the
birds all song. I told you my desire and longing (Heine, 1)

Many flowers spring up from my tears, and a nightingale choir from my sighs. If you love me, I'll
pick them all for you, and the nightingale will sing at your Primdow (Heine, 2)

....

"What happened?"
Daripada mengobati lukanya, orang ini justru lebih tertarik untuk membalut jariku. Baru ku sadari
bahwa keempat jariku tergores senar biolaku yang putus tadi. Putus karena mencoba
mengalihkan pikiranku hingga aku menariknya terlalu kuat.

Brian seolah tidak memperdulikan luka-luka di punggung tangannya. Tangannya sibuk


memasang plester di jariku. Sementara aku masih dalam kebingungan yang tak ku mengerti.

Brian menghabiskan hampir satu jam menangis di pelukanku. Hal yang baru pertama kali ku lihat
karena kebanyakan yang ku lihat adalah sisi busuk orang ini. Malam ini, aku menemukannya
terjatuh sangat dalam. Dan aku merasa aku harus membantunya bangkit.

Parts 9 Font size 18


"Kau yakin kau baik-baik saja? Jantungmu bagaimana?"

"Answer me first. You spent almost one hour acting like a crybaby. Now stop worrying about me.
I'm not that weak."

Aku mendengar Brian menghela napas berat.

"You are strong enough to break those strings and also hurt your own fingers, impressive."

"I'm done. I'm going home now."

Aku hampir beranjak dari kursiku jika saja tangan besar Brian tidak lebih dulu menahanku.
Orang ini menyebalkan.

"Stay here, help me with my wounds."

"And now you are acting like a baby again."

"I'm your baby now."

"Shut up."

Aku kesal padanya. Tapi bodohnya, aku masih saja meraih kotak itu dan mengambil alkohol
untuk membersihkan lukanya. Aku benci diriku yang peduli pada orang lain.

"Kau tepat waktu." Brian membuka suara lagi. Kali ini suaranya terdengar berat dan tenang.
Suara yang terdengar seperti kue.
"Aku bukan tipe orang yang datang tepat waktu. Jangan salah paham."

"Thanks."

"For?"

"For helping me."

"You owe me everything."

"Indeed."

Aku terhenti sejenak. Kupandangi wajah Brian yang terlihat kusam dan jelek serta matanya yang
sembab. Ku pikir dia sudah menangis lama sebelum aku datang. Ku pikir ini bukan kali pertama
ia melakukan ini karena aku melihat luka yang hampir sama saat pertama kali aku berani
meneliti tangannya. Parts 9 Font size 18

Aku benci setiap kali mata kami bertemu. Seolah ia tidak mengijinkanku berpaling. Sialnya, aku
menurut saja seperti babi bodoh.

"What kind of stupid asshole are you? If you are stressed just go to some pub and release your
stress there. Or just fuck some girls. Don't torture your own body. Many people want a healthy
body like yours."

"I consider it as a compliment."

"Whatever."

Aku kembali berkutat dengan luka Brian. Orang ini benar-benar tidak peduli pada nyawanya
sendiri rupanya. Dia sangat cocok jika disandingkan dengan Om Johan. Selain menyebalkan
mereka juga sama sembrononya.

"Kau punya lidah yang sangat tajam. Berbeda jauh dengan penampilan fisikmu."

"Don't try to change the subject. Answer me, what happened?"

"I need to release my stress."


"Just fuck girls then. Don't smash your own mirror. I know you are ugly so you hate your own
face."

"I don't like girls."

Aku terdiam. Dadaku berdegup kencang lagi. Tenanglah Prim, orang bodoh ini sedang berawan
kapalanya. Dia hanya sedang bicara seenaknya.

"Then fuck a man."

"So let me fuck you."

"Fuck off! Dipshit."

Aku nyaris beranjak lagi jika saja Brian tidak kembali menahanku. Sialan, dia membuatku takut.
Dia membuat jantungku seakan nyaris melompat keluar. Aku ingin pulang. Aku ingin tidur. Aku
ingin mengubur tubuhku di bawah selimut.

Brian menyentuh ujung jariku. "I'm kidding. Don't take it too serious."
Font size 18

"You better watch your mouth."


Parts 9
Dia terkikik pelan, serangannya tadi berhasil membuatku kebingungan.

"Mau bir? Vodka? Which one is good?"

"Prefer vodka."

Brian mengangguk. Setelah merawat luka masing-masing, kami memutuskan untuk duduk di
balkon. Oh, pemandangan dari sini memang cukup bagus. Aku bisa melihat jendela dapurku dan
kursi yang biasa ku duduki. Wajar jika hari itu Brian menyadari keberadaanku di sana.

Brian menuangkan vodka-nya untukku dan dalam sekali teguk aku hampir menghabiskan
segelas penuh.

"Jantungmu tidak apa-apa?"'

"Brian, aku tidak akan mati hanya karena minum vodka, ya.."

"Aku kan tidak tahu."

"Now you know."

"Win.."

"Hm?" Aku mencoba mengumpulkan isi kepalaku karena aku rasa aku mulai mabuk sekarang.
Botol itu sudah hampir kosong. Malam ini aku benar-benar membiarkan diriku mabuk rupanya.

"Tidak, bukan apa-apa."

Aku masih sesekali menenggak minumanku. Angin malam kali ini terasa lebih dingin. Tapi aku
justru menikmatinya.

"Jangan menyakiti dirimu sendiri. Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang berharap
memiliki tubuh sehat sepertimu. Bukan tubuh lemah seperti ini. Jadi aku merasa tersinggung jika
ada yang menyakiti dirinya sendiri."
Entah apa yang mendorongku untuk berbicara seperti itu. Tapi rasanya aku memang sangat
kesal dengan kelakuan Brian yang bodoh ini. Otaknya terbuat dari apa sih? Bola babi?

"Sorry, won't do that again."

Aku menyodorkan jari kelingkingku. "Promise?"

Sebuah senyuman hangat menyambutku. Jari kelingking kami bertaut. "Promise."


Lagi, aku menemukannya lagi. Mata yang hangat itu menyelimutiku lagi. Aku merasa dunia
terhenti bersama setiap helaan napasku yang mulai tak beraturan. Tatapan mata Brian
seolahParts 9 Font size 18 sedang menjelaskan sesuatu. Sesuatu yang ku cari selama ini
seolah ada pada setiap sel kerucut matanya.

Aku ingin lari, tapi kakiku beku lagi. Mata itu selalu berhasil menjatuhkanku dalam sekali serang.

"Brian." Aku resah. Tanpa ku sadari, aku mulai mengigiti ujung kukuku.

"Hm?"

"Aku rasa aku sudah menemukannya." Aku yang awalnya mengigiti ujung kukuku, kini beralih
mengigiti bibirku sendiri.

"Apa yang kau temukan?"

Aku tak sedetik pun mengalihkan mataku darinya, begitupun Brian. Kami saling mengawasi satu
sama lain. Kami saling berbicara dalam bahasa yang hanya kami mengerti berdua.

"Kau."

Aku masih mengigiti bibirku setelahnya. Isi kepalaku sudah tidak ada lagi, kosong melompong.
Menggigiti ujung kuku sudah tidak mampu untuk membuatku tetap fokus. Cara Brian menatapku
sungguh membuatku kehilangan akal.

Brian menyentuh wajahku kemudian mengusap bibirku dengan ibu jarinya.

"Don't do that. Focus on me." Ia berbisik begitu lembut, suaranya selembut kue spons buatan
mamaku.

"I can't."
Font size 18

Balkon itu masih sama heningnya. Aku bisa merasakan helaan napasnya menerpa wajahku
lembut. Sangat lembut hingga mungkin bisa membuatku terjatuh tidur saat ini juga. Waktu seolah
melambat seiring tiap helaan napasku. Hingga aku merasa seolah waktu terhenti.

Aku merasakan bibirnya menyentuh bibirku perlahan. Apa ini? Darahku berdesir. Tangannya
meremas lembut tanganku. Aku terpejam, kepalaku terasa ringan. Aku bisa melayang sekarang.

Brian mengecup bibirku beberapa kali. Ia hanya mengecupku dengan ringan seolah aku adalah
gelas yang mudah pecah jika ia terlalu keras melakukannya. Benar Brian, aku bisa pecah
sewaktu-waktu.

Wajahku memanas. Aku yakin sekarang aku sudah terlihat seperti kepiting rebus sungguhan.
Brian menjauhkan wajahnya kemudian mengusap wajahku perlahan.
Parts 9
"I found you first."

Brian tidak mengijinkanku melakukan apapun. Ia lebih dulu mengunciku pada sebuah ciuman
yang lebih dari tadi. Bibirnya mengecupi bibirku lalu menyesapnya sesekali hingga aku kesulitan
bernapas.

Sesuatu seperti menghantam kepalaku. Aku tersadar. Sober. Saat aku membuka mataku, aku
masih melihat Brian begitu dekat. Keterkejutanku spontan membuatku mendorongnya. Apa ini?
Apakah aku baru saja berciuman dengannya?

Brian menatapku bingung. Apalagi aku yang merasa baru saja tertimpa beton.

Tenggorokanku terasa kering. Aku menjauhkan tubuhku dan satu hal yang ada di pikiranku kali
ini adalah aku ingin lari. Aku ingin menghilang.

Brian masih menatapku bingung dan mencoba menahanku ketika aku memutuskan untuk
bangkit dan melarikan diri semampuku.

Aku pikir aku akan mati.

"What I've done?" Aku baru berhasil mengatur napasku ketika kini aku sadar aku sudah berada
di dalam apartmenku.
Aku segera meraih kotak obat dan menenggak beberapa pil. Persetan dengan isi perutku yang
kebanyakan adalah vodka. Aku hanya ingin jantungku berhenti bergejolak atau aku akan
tumbang saat ini juga. Aku meraba dadaku mencoba menenangkan degupan jantung yang
sangat tidak beraturan lalu aku beringsut duduk di sofaku.

Bayangan wajah Brian yang begitu dekat menciptakan glitch di kepalaku. Aku beralih meraba
bibirku.

"What the fuck."

Part 8 LOST AND FOUND


Pagiku—tidak begitu baik. Aku menemukan diriku masih tergeletak di sofa. Obat-obatan yang ku
Parts 9 Font size 18
minum semalam memberikan efek yang sangat kuat pada tubuhku. Aku bahkan merasa seperti
sedang tidak punya kaki sekarang.

Dadaku sudah kembali normal. Tidak ada degup berlebihan seperti semalam, jadi aku
memutuskan untuk tidak menelpon Om Johan. Aku tidak mau membuatnya khawatir dan
berakhir dengan seluruh keluargaku memenuhi apartemen kecilku ini.

Asal tahu saja, dalam keadaan genting seperti ini, keluargaku akan menjadi bagian yang paling
merepotkan melebihi diriku sendiri. Karena mereka akan secara konstan memenuhi kamarku
dengan segala macam benda. Dokter terutama. Aku tidak mau. Aku merasa aku cukup sehat
dan tidak perlu melakukan check-up terlalu sering. Faktanya, serangan demi serangan datang
bertubi-tubi belakangan ini.

Jantungku tidak sekuat orang pada umumnya, jadi aku harus berhati-hati. Dan semalam itu
adalah serangan yang cukup telak— Tunggu.

—semalam?
Font size 18

Aku hampir saja mendapat serangan keduaku. Glitch di kepalaku menciptakan gambaran apa
saja yang terjadi semalam. Antara aku dan Brian. Sesuatu yang membuatku sampai seperti ini.

Aku tidak benar-benar berciuman dengannya kan? Kami berdua hanya mabuk dan melakukan
hal bodoh tanpa disadari.

Hahaha.

Aku menertawakan diriku sendiri.

Aku beranjak dari sofa setelah merasa kakiku sudah kembali. Rasa lelah tidak mengijinkanku
untuk sekedar membuat susu seperti pagi-pagiku pada umumnya. Aku hanya ingin membetulkan
kondisi tubuhku atau aku akan berakhir di rumah sakit setelah ini. Rumah sakit adalah yang
paling ku hindari selain—Brian.

Kenapa pula wajahnya muncul lagi di kepalaku? Sial. Sial. Sial.

Aku menyalahkan diriku sendiri ketika memutuskan untuk membuka pintu setelah ku dengar
suara bel. Brian telah berdiri di sana, dengan wajah kusut dan mata menghitam tanda tidak tidur
semalaman. Dengan baju yang sama dan masih ada beberapa jejak darah di bajunya. Aku tidak
terlalu bodoh untuk menyimpulkan bahwa orang ini ada di sini sejak tadi malam.

"Sejak kapan ada di sini?" aku bertanya untuk memastikan asumsiku.


Parts 9
"Last night."

Benar, kan?

Aku menghela napasku mencoba menenangkan degup jantungku karena bayangan tadi malam
muncul lagi. Aku tidak mau glitch ini menguasaiku lagi.

"You can go home now." Aku sedang tidak dalam mood untuk bertemu dengannya apalagi
bertengkar. Aku hanya ingin hari ini berlalu dengan tenang karena apa yang terjadi semalam
sudah membuatku dalam kondisi kritis.

"No. Kau sakit? Kau terlihat pucat."


"I'm fine. Don't mind me. I just need some rest. Just go home, I don't want to see you. I'm
stressed out."

"So, I will take care of you."

Aku terlalu malas untuk meladeninya. Aku hanya ingin masuk kamarku. Tidur sehari semalam
dan tidak keluar kecuali ada kebakaran.

"Whatever."

"Win.."

Brian mencekal tanganku. Agaknya ia mencoba menghentikanku yang mencoba melarikan diri—
lagi.

"Apa lagi?"

"Sudah makan?"

"I'm not hungry."

"Don't avoid me."

"I'm not avoiding you."

"Yes you are."

"Fuck. Stop it."


Aku melepaskan tangannya dan berjalan menuju dapur. Berdebat dengannya beberapa menit
saja sudah membuatku kehilangan kesabaran. Ku kira dia akan pulang, tapi ternyata justru
siParts 9 Font size 18 bodoh ini mengikutiku sampai dapur.

"About last night...."

No, Brian. Jangan mulai dengan topik itu. Kau harusnya bisa membaca bahwa aku sedang tidak
dalam mood yang bagus. Topik itu seperti menyiram bensin pada apiku. Kau bisa membuatku
meledak sekarang.

Aku harus menyelesaikan ini sebelum aku menjadi psikopat dan Brian berakhir dengan kepala
bolong oleh pisau dapurku.

"We were just fooling around. We both were drunk. Aku tidak merasa kau harus memperpanjang
masalah ini, Brian."

Aku melewatinya. Ku putuskan untuk mengabaikannya hari ini. Toh dia akan pulang dengan
sendirinya nanti.

"I don't think so."

Langkahku terhenti. Gumaman Brian cukup membuatku membalikkan badan. Aku


menyandarkan tubuhku pada meja dapur. Kali ini aku putuskan untuk meladeninya. Meskipun
dengan lima menit meladeninya mungkin akan memperpendek umurku lima puluh tahun.

"Maksudnya? You're not serious about that, right? I mean, I think you were joking while doing it.
Come on, you scared me." Aku mencoba mencairkan suasana dengan tertawa kecil.

Ku harap hari ini akan berjalan mulus. Nyatanya, hidup selalu memberiku kejutan meskipun aku
hanya menjadi sebatas penonton.

Atau Prim bukan lagi penonton? Dia harus merasakan kerasnya ombak.

Aku mendengar helaan napas berat milik Brian. Aku yakin ada sesuatu, entah apa. Napasku
tercekat saat ku lihat tangannya meninju mejaku hingga berbunyi keras sekali. Aku terkejut. Ku
lirik tangannya dan ada darah di sana.

Si bodoh itu melakukannya lagi.


"Kau pikir ini lucu? Do you think it's funny? Do you think your actions are funny? Say it! Say if it's
funny then I'll punch your face right now." Aku tak menjawab. Mataku menatap tajam matanya
yang kini terlihat sangat marah. Aku melihat Brian mendekatiku. Wajahnya begitu dekat hingga
aku bisa merasakan hidungnya menyentuh hidungku. "You make my head hurts just by thinking
about you. Do you think it's easy to fake? Say it. Just say that you like me right now.Parts 9
Font size 18 "

Aku tak mendengar suara yang tinggi. Aku hanya mendengar suara rendah dan berat yang
kusukai itu. kali ini suaranya seperti brownies cokelat yang berat dan padat. Bagaimana bisa dia
melakukannya di saat seperti ini? Jika aku sedang marah, suaraku akan menjadi sopran. Mirip
anak-anak gadis berebut baju diskonan.

Aku mendorong tubuhnya menjauh. "Tidak, bukan begini, Brian. Aku tidak bisa. Kita tidak bisa."

"SAY IT!"

Suara Brian meninggi, ia baru saja menyambung seluruh isi kepalaku menjadi satu. Aku terkejut
mendengar suara Brian kali ini. Dia hampir berteriak. Sungguh, baru kali ini aku mendengarnya
seperti itu. Teriakannya membuatku tersadar. Aku marah. Aku ingin memukul wajahnya sekarang
juga. Aku sangat marah. Jadi ku putuskan untuk meninju wajahnya saja.

Pukulanku membuat tubuhnya terhuyung. Aku melihat ada sedikit darah di sudut bibirnya. Aku
tidak menyangka akan memukulnya sekuat tadi.

"Ya. Ya, Brian. Kau pikir semua ini mudah bagiku? Kau baru saja membuatku hampir mati
semalam. Kau pikir aku pulang dalam keadaan baik-baik saja? Melihatmu setiap hari
membuatku sakit kepala. Just looking at you right now my chest hurts so much. If I say I like you,
what do you want? This will not work. Even though right now, I feel like I really like you. Fuck
you! You make me act like a fucking idiot."

Aku memukulinya sembari meracau. Hingga Brian tersungkur di lantai aku tidak sekalipun
melepaskannya. Bahkan kini aku sudah duduk di atas perutnya dan masih memukuli wajahnya.

Setelah serangan balasan yang ku berikan atau apalah itu tadi, aku bisa mendengar hembusan
napas berat Brian lagi. Ia tidak membalas pukulanku dan hanya mengusap wajahnya dengan
kasar. Ku rasa jika ia melakukannya lebih kuat lagi wajahnya akan terkelupas.
Aku merasa tubuhku gemetar. Dadaku berdegup kencang lagi. Ini tidak baik. Sangat tidak baik.
Apapun yang ku katakan pada Brian pun sama tidak baiknya.

Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Aku lupa bahwa kami adalah artis yang harus menjaga
penampilan dan aku baru saja merusak wajah lawan mainku. Aku terdiam. Napasku
terengahengah. Tanganku menengadah dan mendapati tetesan air mataku mulai jatuh. Ku lihat
Brian masih memandangiku. Hingga sepasang lengannya merangkulku dan menjatuhkanku di
dadanya.

"Win..."
Parts 9 Font size 18
Ruanganku hening, hanya detak jarum jam dan suara helaan napas kami berdua yang mampu
ku dengar.

Aku memutuskan untuk bangun dan menjauh. Aku menatap nanar Brian, dan sesekali aku
melirik tangannya yang berdarah lagi.

Brian seolah masih menungguku. Aku merasa aku tidak terlalu perlu menjawab panggilannya.
Semua yang ku katakan tadi sudah terlalu banyak. Aku tidak perlu berkata-kata apapun lagi.
Terlebih untuk situasi sekarang, aku hanya ingin keheningan ini berlangsung selama mungkin.

Aku membiarkan Brian mendekatiku lagi. Kali ini aku sudah terlalu lelah untuk berdebat. Apapun
yang ku katakan tadi sudah mewakili semuanya. Brian harusnya tak perlu bertanya lagi. Kecuali
memang otaknya terbuat dari bola babi.

Ia memandangiku lama sekali. Baru ketika aku hampir membuka mulutku, tangan kirinya
buruburu menutup kedua mataku. Mau apa lagi dia?

"Brian, what are y—"

"Shut up."

Aku belum sempat protes saat ku rasakan bibirnya menyentuh bibirku lagi. Kali ini, kami berdua
berada dalam kesadaran penuh. Aku tidak mampu mengelak lagi.

Brian tak segera melepas ciumannya. Ia justru berusaha membuatku menyerah dan membuka
mulutku. Tidak, bukan begini caranya tuan alien.
Aku menyingkirkan tangannya tepat setelah Brian melepas ciumannya. Napasku memburu. Aku
hampir kehilangan kesadaranku jika saja aku tidak buru-buru mendorongnya tadi. Jika dia
menyukaiku, dia harusnya tidak mencoba membunuhku sekarang. Dengan ciumannya.

"What the fuck." Rutukku padanya. Brian tidak menjawab apapun. Dia tidak melepaskan
sedetikpun matanya dariku. Tengkorakku sudah pasti berlubang sekarang.

Dia betulan tidak mengucapkan sepatah katapun bahkan ketika aku mulai mengutuknya. Yang ia
lakukan hanya berusaha mengangkat tubuhku dan mendudukkanku di atas meja. Maunya apa?
"Let me kiss you again."

"What?! No..no—"
Ia menempelkan bibirnya lagi. Dengan posisi ini jelas aku tidak akan bisa melarikan diri karena
yang dia lakukan sejak tadi adalah mencoba untuk mengunciku. Parts 9 What a jerkFont
size .18

Kepalaku sudah tidak berbentuk sepertinya. Karena kini yang ku lakukan adalah membiarkan
Brian menopang punggungku dengan tangannya. Ciuman ini begitu kuat hingga aku mungkin
bisa pingsan karenanya. Tanganku yang tadinya mencoba mengusirkan kini justru berada di
lehernya. Persetan. Aku menyerah, kali ini ku biarkan Brian menelusupkan lidahnya. Aku bisa
merasakan getir darahnya di sela-sela ciuman kami. Ku biarkan ia melakukan sesukanya. Aku
terlalu lelah untuk melawan.

Baru setelah aku merasa benar-benar akan tumbang dan tanganku mulai memukulinya, ia mau
melepasku. Si sialan ini benar-benar ingin membunuhku rupanya.

"Enough..." aku masih terengah-engah dan Brian terlihat sibuk mengusap bibirku lalu bibirnya.

"You drive me crazy.."

"I have weak heart, you almost killed me." Protesku.

"I'm sorry.." Brian mengusap wajahku lagi. Kali ini terasa hangat. Aku juga melihat mata yang
hangat itu hadir. Tidak seperti beberapa waktu lalu saat ia sedang berusaha menghancurkan
mejaku.

"Ini memalukan." Protesku lagi.

"Stop complaining."

Aku merengut. Siapa yang memulai semua ini wahai alien?

"Ini sangat memalukan."

"Don't tell anyone."

"Do you think I already accept this situation?"

"What?"

"We just having kiss, but it didn't mean that you can do whatever you want."
"I kissed you three times. What the fuck? Kau harusnya bertanggung jawab untuk hal ini."

"What the fuck is wrong with you?"

"I like you since the first time I saw you watching me playing guitar."

"You scared me, Brian. Fuck off."


Parts 9 Font size 18
"Kepalaku hampir meledak saat tahu kau yang akan memerankan Martina. Ku pikir semua ini
adalah cara alam untuk mempertemukan kita berdua. Kau yang terlalu bodoh untuk menyadari
semuanya."

"Now you are being asshole again."

Brian mengusap wajahku lagi. Ingin ku singkirkan tangannya karena setiap sentuhan yang ia
berikan membuatku gemetar sekaligus hangat di saat yang bersamaan. Aku sangat tidak
menyukai situasi ini. Aku ingin melompat dari jendelaku saja dan mati seketika.

"Please don't reject me. You don't have to like me that much. Just open your heart for me."

Aku terdiam sejanak. Deru napas Brian masih bisa ku dengar. Hari ini gila. Sangat gila bahkan
aku tidak percaya bahwa kini aku sedang duduk di hadapannya. Dengan peluh membasahi
pakaianku. Dan seseorang yang ku kutuk hampir setiap hari baru saja menciumku dengan
ganasnya.

Apakah perasaan ini akan berhasil? Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Ataupun perasaanku
dan perasaannya. Ini tentang segala hal yang ada di sekeliling kami, termasuk karirnya.

Aku tahu aku terlalu dalam memikirkan ini padahal Brian saja tidak menggunakan otaknya sama
sekali dan buta akan situasi saat ini. Bagaimana jika setelah ini semua berubah? Bagaimana jika
ini mempengaruhi karirnya?

Aku tahu kami berada dalam seri—Romansa—yang hal seperti ini justru menjadi fokus
utamanya. Tidak tahukah si idiot ini bahwa tidak semua orang bisa menerima dan sebagian
orang masih konservatif? Tidak tahukah dia bahwa kehidupan nyata tidak sama dengan drama?
Aku yang sudah menjadi penonton selama dua puluh satu tahun tahu betul bedanya. Otaknya
benar-benar terbuat dari bola babi rupanya.

Lama aku terdiam. Aku mulai menimbang banyak hal. Pertanyaan-pertanyaan semakin deras
bermunculan di kepalaku. Salah satu pertanyaan yang menggaung paling keras adalah apakah
Brian akan tetap terlempar ke langit jika memilih bersamaku? Aku tidak perlu menjadi artis
terkenal untuk bertahan hidup, you know. Aku hanya kebetulan memilih Brian untuk menjadi
seseorang yang akan ku lambungkan lebih tinggi. Apa aku akan tetap berada di jalan yang telah
ku pilih? Atau aku—

Isi kepalaku berhamburan lagi. Tubuhku kaku lagi. Serangan ini datang dan aku tidak melakukan
persiapan apa-apa. Sekelilingku hening. Bahkan aku tidak bisa merasakan keberadaan Brian.

Aku bisa merasakan seluruh tubuhku gemetar. Serangan ini sangat kuat hingga aku rasa aku
akan tumbang segera.Parts 9 Font size 18

Sesuatu menyentuh ujung jariku.

Satu...

Dua...

Tiga...

Empat...

Lima...

Aku menghitung dalam hati. Jika setelah lima detik dan aku tidak menemukan kesadaranku, aku
akan berakhir di rumah sakit. Seseorang tolong bantu aku.

Kali ini aku tidak hanya mendapatkan sentuhan di ujung jariku. Aku yang hampir kehilangan
kesadaranku mendapatkan genggaman tangan yang kuat. Sesuatu menarikku. Aku terjatuh di
pelukan Brian lagi.

Perlahan kesadaranku mulai kembali. Saat aku membuka mataku, aku sudah berada di dalam
kamar. Selimut tebal sudah menutupi hampir seluruh tubuhku—dan ada Brian yang duduk di
sampingku menggenggam tanganku erat sekali.
Belakangan aku lebih sering mendapatkan serangan ini. Entah aku harus menyalahkan diriku
sendiri yang melemah atau kehadiran seseorang yang begitu kuat efeknya. Aku tidak bermaksud
menyalahkan Brian. Jadi ku putuskan bahwa, aku lah yang melemah.

"Brian?"

"Jangan bangun. Kau nyaris pingsan tadi.."

"I'm okay now."

"Stay there, please..."

Suara Brian yang seenak kue itu membuatku mundur teratur.

Kami berdua diam lagi. Brian masih menggenggam tanganku erat. Akupun tidak ada tenaga
untuk memaksanya melepaskanku.

Entah sejak kapan aku mulai merasakan air mata menuruni pipiku. Aku menemukan diriku
menangis lagi. "Maafkan aku. Serangan itu datang tiba-tiba.."Parts 9 Font size 18

"It's okay. Jangan pikirkan itu. Kau akan baik-baik saja."

"Aku berpikir jika mungkin hubungan ini tidak akan berhasil. Perasaanmu, perasaanku tidak akan
berhasil. Aku takut akan banyak hal. Aku takut karirmu dan janjiku tidak akan terwujud." "Kata
siapa?"

"Ini tidak benar, Brian."

"Kita belum mencobanya. Kau membuatku gila dan sekarang kau ingin aku melepaskanmu
begitu saja setelah kau mengoceh tadi? Kau pikir aku idiot?" "Brian..."

"Kita hanya perlu merahasiakannya dengan baik kan? Aku rasa aku bisa."

"Aku tidak yakin.."


"Sejujurnya akupun tidak yakin. Tapi aku tidak ingin menyimpan pertanyaan ini seumur hidupku.
Semua akan baik-baik saja. Jangan pikirkan yang lain. Untuk sekarang pikirkan kesehatanmu
dulu."

Aku tak sanggup mendebatnya lagi. Percuma, seperti buang garam ke laut. Aku baru
mengenalnya beberapa waktu ini dan sudah bisa menebak bahwa orang ini sangat keras kepala.
Aku tidak mau berdebat lebih lama dengan orang yang keras kepala.

Aku mengangguk. Ku biarkan tangannya mengusap kepalaku. Mungkin tidak ada salahnya
mencoba. Aku hanya perlu diam dan merahasiakan ini semampuku. Aku ingin tahu seperti apa
rasanya—jatuh cinta.

"If things get worst, you know what to do."

"Understood."

"Your hand, is that okay?" aku mencari tangan Brian yang satunya. Karena aku yakin, benda itu
sudah hampir ringsek setelah digunakan untuk memukul mejaku.

"It's fine. I'm used to this kind of wound."

"You promise me you wouldn't do this kind of fucking stupid thing again."
"Sorry.."
Parts 9
"Jangan lakukan itu lagi. Aku benci orang yang menyakiti dirinya sendiri..."

"So cute, Damn it. I want to hug you now."

"Fuck off."

.....

Win found something that he has been looking for.

A love.

.....

Wattpad.com Downloader

Anda mungkin juga menyukai