Anda di halaman 1dari 38

Kelainan morfologi leukosit pada infeksi

Tinjauan Pustaka
Divisi Hematologi

Ryan Bayusantika Ristandi


Nadjwa Zamalek Dalimoenthe

Kamis, 16 Oktober 2014

DEPARTEMEN/SMF PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2014
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR iii
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .5

2.1 Jenis dan fungsi leukosit..................................................................................5


2.1.1 Granulosit.......................................................................................................5
2.1.1.1 Basofil........................................................................................................5
2.1.1.2 Eosinofil......................................................................................................6
2.1.1.3 Neutrofil…………………………………………………………………..7
2.1.2 Agranulosit…...............................................................................................14
2.1.2.1 Limfosit ………………………………………………………………….14
2.1.2.2 Monosit......................................................................................................16
2.2 Kelainan morfologi leukosit pada infeksi ………………………….………..22
2.2.1 Infeksi Bakteri…………………………………………………….………..22
2.2.1 Infeksi virus ………….................................................................................22
2.2.3 Infeksi Parasit………………………………………………………………23
2.2.4 Infeksi Jamur……………………………………………………………….23
2.3 kelainan morfologi leukosit: patogenesis dan patofisiologinya serta arti
klinisnya................................................................................................................24
2.3.1 Granula toksik..............................................................................................24
2.3.2 Hipersegmentasi...........................................................................................26
2.3.3 Limfosit Atipik.............................................................................................28
2.3.4 Vakuolisasi sitoplasma.................................................................................29
2.3.5 Neutrofil piknotik.........................................................................................31
2.3.6 Dohle bodies.................................................................................................32

BAB III SIMPULAN ...34


SUMMARY .35
DAFTAR PUSTAKA 36

i
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kandungan granula neutrofil………………………...………………15

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Klasifikasi dan morfologi leukosit………………………………..….4

Gambar 2.2 Basofil………………………………………………...….................10

Gambar 2.3 Eosinofil……………………………..………………………...…....11

Gambar 2.4 Proses fagositosis…………………………………………………...12

Gambar 2.5 Respiratory burst……………………………………………………13

Gambar 2.6 Neutrofil……………………...…………...…………………...…....16

Gambar 2.7 Limfosit…………………………………...…………………...…....19

Gambar 2.8 Monosit…………………………………………...…………...…....21

Gambar 2.9 Granula toksik…………………………...………………..………...24

Gambar 2.10 Petunjuk tingkatan granula toksik………...……………..………...25

Gambar 2.11 Hipersegmentasi.…….………………....………..……………..….26

Gambar 2.12 Petunjuk tingkatan Hipersegmentasi…….……....……………..….27

Gambar 2.13 Limfosit atipik.….……..………………...…………………...…....28

Gambar 2.14 Vakuolisasi sitoplasma…………………………..…………...…....29

Gambar 2.15 Petunjuk tingkatan Vakuolisasi sitoplasma…………...……...…....30

Gambar 2.16 Neutrofil piknotik………………………..…..…………..………...31

Gambar 2.17 Dohle bodies…………………………...………..……………..….32

Gambar 2.18 Petunjuk tingkatan Dohle bodies………………..……………..….33

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Pada aktivitas keseharian evaluasi dari kelainan morfologi leukosit sangat

penting dilakukan untuk memastikan kelainan klinis yang terjadi pada pasien dan

merespon kelainan yang teridentifikasi pada alat. Sebagai seorang ahli Patologi

klinis, sangat diperlukan kemampuan untuk memahami morfologi normal leukosit

untuk mengidentifikasi kelainan morfologi leukosit .1

Leukosit terdiri dari sel neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit dan monosit. Sel-

sel tersebut memiliki perbedaan dalam komposisi sel, struktur, fungsi, faktor yang

mempengaruhi aktivitas sel dan respons terhadap perubahan yang terjadi pada

klinis pasien.1

Pada kasus infeksi sering ditemukan kelainan morfologi leukosit. Kelainan

yang paling sering terjadi adalah pada sel neutrofil dan limfosit. Pada sel harus

dinilai perubahan pada inti, sitoplasma, terdapatnya granula toksik, vakuolisasi,

hipersegmentasi , Dohle bodies dan kelainan lain. Perbedaan jumlah dan

morfologi leukosit dapat membantu menentukan etiologi infeksi, misalnya infeksi

diakibatkan oleh virus, bakteri, jamur dan infeksi lain seperti parasit. 1

Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai kelainan morfologi leukosit

pada infeksi.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jenis dan fungsi Leukosit

Perubahan yang sangat mungkin terjadi pada saat leukosit menghadapi suatu

infeksi adalah perubahan pada jumlah dan morfologi.2

Berdasarkan morfologi sel dan granula yang terdapat pada sitoplasmanya

leukosit dapat dibedakan menjadi granulosit (leukosit yang mempunyai granul

pada sitoplasmanya) dan agranulosit (leukosit yang tidak memiliki granula pada

sitoplasmanya). Leukosit yang termasuk granulosit adalah basofil, eosinofil dan

neutrofil, sedangkan leukosit yang termasuk ke dalam agranulosit adalah limfosit

dan monosit.3 Klasifikasi dan morfologi leukosit dapat terlihat seperti pada

gambar 2.1

Gambar 2.1 Klasifikasi dan morfologi leukosit


Keterangan: A2-7:Neutrofil, A8-13:Eosinofil, A14-18:
Basofil, B1-4:Monosit, C1-4:Limfosit
Dikutip dari: Anderson’s Atlas hematology4

5
Secara umum fungsi leukosit adalah sebagai respons pertahanan tubuh terhadap

infeksi.1 Leukosit juga dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya. Monosit dan

granulosit berfungsi untuk fagositosis dan limfosit adalah sel yang paling berperan

dalam imunitas. Secara khususnya, fungsi leukosit adalah menahan invasi oleh

mikroorganisme patogen melalui proses fagositosis yaitu mengidentifikasi dan

menghancurkan sel-sel kanker dalam tubuh dan juga berfungsi sebagai "sel

pembersih" dengan cara memfagositosis debris.5,6

2.1.1 Granulosit

Setengah atau lebih dari jumlah leukosit dalam darah tepi adalah granulosit.

Granula yang khas berwarna biru tua atau kemerahan, berbentuk bulat atau tidak

teratur mulai dapat terlihat pada sitoplasma promielosit, yaitu stadium lebih lanjut

dari mieloblast. Maturasi terjadi dalam sumsum tulang dan proses ini terjadi

perubahan bentuk inti maupun pembentukan granula. Sel-sel yang matang

kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi. Sel ini tidak lagi mampu bereproduksi

sendiri, beberapa saat setelah pelepasan sel tersebut dari sumsum tulang. Bila

terjadi rangsangan untuk meningkatkan jumlah granulosit dalam darah tepi,

kemungkinan sel muda akan muncul dalam darah tepi.7 Sel yang dominan pada

awal infeksi adalah neutrofil. 3

Agranulositosis adalah keadaan dengan jumlah leukosit sangat rendah dan

tidak adanya neutrofil. Penyebab terjadinya agranolositosis seringkali adalah

terapi dengan obat yang mengganggu pembentukan sel atau meningkatkan

6
penghancuran sel seperti kemoterapi mielosupresif (menekan sumsum tulang)

yang digunakan pada keganasan hematologi dan keganasan lainnya. Obat lain

seperti analgetik, antibiotika, dan antihistamin, mampu menyebabkan neutropenia

dan agranulositosis berat. Gejalanya adalah rasa malaise umum (rasa tidak enak,

kelemahan, pusing, dan sakit otot), demam dan takikardia. 5

2.1.1.1 Basofil

Basofil mempunyai sitoplasma sedikit sekali berwarna biru pucat-merah muda

pucat, inti sebagian besar hanya berlekuk pada beberapa tempat (bentuk daun

semanggi), selebihnya tersegmentasi tanpa bentuk. Pada pewarnaan Wright-

Giemsa dapat terlihat granula berwarna ungu tua (=basofil).8 Ukuran basofil

adalah 10-16 µm (ukuran hampir sama dengan neutrofil). 4 Pada keadaan fisiologis

jumlah basofil hanya 0-1%. Jumlah basofil meningkat pada kelainan

myeloproliferatif, reaksi hipersensitivitas, mastocytosis, xeroderma pigmentosa,

hypothyroidisme.9 Peningkatan jumlah basofil juga ditemukan pada infeksi oleh

virus (Smallpox, Chickenpox) atau kadang-kadang sesudah splenektomi dan

anemia hemolitik kronis.2 Inti biasanya satu, besar bentuk pilihan irreguler,

umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi granul yang lebih besar, dan

seringkali granul menutupi inti, sehingga tidak mudah untuk melihat inti basofil. 3

Granula spesifik bentuknya ireguler berwarna biru tua dan kasar tampak

memenuhi sitoplasma. Granula basofil mensekresi histamin yang berperan dalam

dalam proses alergi dan merupakan sel utama pada tempat peradangan ini yang

dinamakan hypersesitivitas kulit basofil. Basofil terutama bertanggung jawab

7
pada proses alergi dengan cara mengeluarkan histamin yang menyebabkan

peradangan. Morfologi basofil dapat terlihat seperti pada gambar 2.2

Gambar 2.2 Basofil


Dikutip dari: Anderson’s Atlas hematology4

2.1.1.2 Eosinofil

Sebagian besar eosinofil mempunyai inti ganda dan jembatan antara segmen

merupakan benang-benang halus. Kromatin seperti gumpalan tanah kasar.

Sitoplasma terisi seluruhnya oleh granula eosinofil yang diameternya berbeda-

beda. Warna dasar sitoplasma adalah biru muda, hanya dapat terlihat pada daerah

bebas granula.8 Butir-butir khromatinnya tidak begitu padat kalau dibandingkan

dengan inti neutrofil. Ukuran eosinofil adalah 10-16 µm.4

Pada keadaan fisiologis 1-8% dapat ditemukan pada darah perifer. Eosinofil

dapat meningkat pada penyakit alergi (Urticaria, Asthma bronchiale), infeksi

8
parasit (misal pada : Schistosomiasis, Trichinosis, Cacing tambang), sesudah

penyinaran dan keganasan.3

Eosinofil berkaitan erat dengan peristiwa alergi, karena sel-sel ini ditemukan

dalam jaringan yaang mengalami reaksi alergi. Eosinofil mempunyai kemampuan

melakukan fagositosis, lebih lambat tapi lebih selektif dibanding neutrofil.

Eosinofil memfagositosis kompleks antigen dan antibodi, ini merupakan fungsi

eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap kompleks antigen dan

antibodi. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan

darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses-proses

patologi. Morfologi eosinofil dapat terlihat seperti pada gambar 2.3

Gambar 2.3 Eosinofil


Dikutip dari: Anderson’s Atlas hematology4

2.1.1.3 Neutrofil

Neutrofil paling matur adalah neutrofil segmen. Neutrofil segmen mempunyai

diameter rata-rata berukuran 12 µm. Inti berwarna ungu tua kebiruan, jumlah

9
segmen 2-5segmen, dipisahkan oleh suatu filamen dan berbentuk susunan huruf

E,Z atau S. Neutrofil tidak mempunyai warna pada sitoplasmanya, dipenuhi

granula halus (0,2-0,3 µm) yang berwarna merah muda atau keunguan. Neutrofil

segmen berjumlah kira-kira 50-70% dari leukosit pada orang dewasa. Keadaan

shift to the left (pergeseran ke kiri) bila terjadinya peningkatan neutrofil imatur

pada hitung jenis bila dibandingkan dengan neutrofil segmen. 7 Neutrofil batang

akan meningkat pada darah perifer pada keadaan infeksi berat

(sepsis/bakteriemia), peradangan dan stres.9 Penurunan jumlah neutrofil dalam

darah tepi, penyebabnya adalah penyakit infeksi seperti Demam thypoid,

Hepatitis, Influenza, campak, malaria. Penyebab lain berkurangnya neutrofil

adalah bahan kimia dan fisika misal pada radiasi dan obat, hipersplenisme,

penyakit hati.5

Fungsi neutrofil adalah untuk menghancurkan mikroorganisme yang dikenal

dengan proses fagositosis (migrasi/ diapedesis, opsonisasi, ingestion, killing dan


7
digestion). Neutrofil akan dirangsang menjadi aktif bila terjadi infiltrasi bakteri

kedalam jaringan. Pada proses migrasi neutrofil akan bergerak dengan pola yang

tidak terarah di sepanjang endotel pembuluh darah, pergerakan ini disebut

locomotion.Pola ini akan berubah bila terjadi rangsangan berupa luka, peradangan

atau infeksi. Infiltrasi bakteri dan proses peradangan dalam tubuh, menyebabkan

tubuh mengirimkan tanda-tanda (signals) berupa chemoattractans yang

menstimulasi perubahan pola migrasi neutrofil menjadi menuju tempat infeksi.

Proses pengerahan migrasi melalui petunjuk chemoattractans dikenal sebagai

kemotaksis (chemotaxis). 10

10
Neutrofil menempel pada reseptor endotel dengan pola diapedesis, masuk

melalui celah sempit pada membrana basalis diantara endotel dan masuk ke

jaringan. Chemoattractans mempercepat migrasi neutrofil melalui suatu proses

yang dikenal sebagai chemokinesis. Neutrofil merupakan sel fagosit pertama yang

bermigrasi ke tempat infeksi. Pola migrasi neutrofil: locomotion, chemotaxis dan

chemokinesis memberikan kontribusi pada mobilisasi neutrofil yang efisien pada

tempat luka.10

Setelah bermigrasi neutrofil menandai bakteri untuk dapat mengenal dan

menmpel, proses ini disebut opsonisasi. Bakteri yang telah ditandai disebut

opsonin, yang siap ditelan oleh neutrofil. Opsonisasi terjadi karena ada ikatan

antara membran dengan immunoglobulin.10

Gambar 2.4 Proses fagositosis neutrofil


Dikutip dari Greer7

11
Penelanan (Ingestion) bakteri adalah proses selanjutnya setelah opsonisasi.

Neutrofil menangkap bakteri melalui pembentukan membran pseudopodi yang

meluas dan melapisi bakteri untuk membentuk suatu vakuola dalam sitoplasma

neutrofil yang dikenal sebagai fagosom. Granula sitoplasma bermigrasi dan

bersatu dengan membran fagosom membentuk fagolisosom, kemudian granula

sitoplasma megalami degranulasi, yaitu isi granula dikeluarkan kedalam

fagolisosom. Granula sitoplasma mengandung enzim-enzim yang digunakan

untuk proses killing (pembunuhan) dan digestion (pencernaan). 7,10

Penghancuran mikroorganisme terjadi melalui mekanisme oxygen dependent

(tergantung oxygen) dan non oxygen dependent (tidak tergantung oxygen).

Mekanisme non oxygen dependent membunuh bakteri yang ditelan, dengan

mekanisme perubahan PH, pelepasan enzim lisosom dan proteolitik ke dalam

fagolisosom. Enzim proteolitik mempunyai aktivitas bakterisidal yang dapat

menghancurkan dinding sel bakteri. Cara lain adalah proses pembunuhan dengan

cara oxygen dependent, yang menyebabkan dilepaskannya NADPH oksidase,

yang membantu dalam pembentukan spesies oksigen reaktif yaitu superoksida dan

hydrogen peroksida. Proses ini dikenal sebagai oxydatif burst atau Respiratory

burst. 10

12
Gambar.2.5 Proses repiratory burst
Dikutip dari: Greer7

Aktivitas antibakteri superoksida dan hidrogen peroksida akan bereaksi dengan

produk fagositosis lain seperti enzim MPO yang terdapat dalam granula primer

neutrofil untuk menghasilkan bahan yang sangat toksik seperti asam hipoklorit,

yang memberi gambaran granula toksik pada neutrofil.10

Dalam sitoplasma Neutrofil terdapat 2 jenis granul yang berbeda dalam

penampilannya dengan ukuran antara (0.3-0.8μm). Granul pada neutrofil tersebut

yaitu :

         Granula Azurofilik yang mengandung enzym lisosom dan peroksidase, yang

sudah mulai tampak sejak masih dalam sumsum tulang yang makin dewasa makin

berkurang jumlahnya. Ukurannya lebih besar dari pada jenis butir yang kedua dan

kebanyakan telah kehilangan kemampuan mengikat warna. Dengan pewarnaan

Romanovsky butiran ini tampak ungu kemerah-merahan.

         Granula spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal

(protein Kationik) yang dinamakan fagositin. Dinamakan butir spesifik karena

hanya terdapat pada sel neutrofil, dan ukuran lebih halus. Butiran ini baru tampak

13
dalam tahap mielosit, berwarna ungu merah muda dan pada sel dewasa akan

tampak lebih banyak daripada butir azurofil.11

Tabel 2. 1 Kandungan granula neutrofil

Kandungan Granula Granula Granula


azurofil(Primer) Spesifik(Sekunder) tersier
Microbial enzymes Lisosom Lisosom
Elastase
Capthesin G
Myeloperoxidase
Antibacterial Defensins Lactoferrin
proteins
Bactericidal
permeability increasing
protein (BPI)

Neutral serin Proteinases


proteinases
Metalloproteinases Collagenase Gelatinase
Acid hydrolases N-asetyl-glucuronidase
Cathepsin B
Cathepsin D
β-Glucuronidase
β-Glycerophosphatase
α-Mannosidase
Others Kinin generating Vit.B12 binding protein C3bireceptors
enzyme
C5a inactivating factors Cytochrome b Cytochrome b
Monocyte Alkaline
chemoattractant phospatase
Plasminogen FcRIII
receptors
Proteinkinase C inhibitor
Laminin receptors
Thrombospondin
receptors
FcRIII receptors
Histaminase
Heperanase
Complement activators
FMLP receptors
C3bi receptors
Dikutip dari: Deidre10

14
Granula primer (azurofilik) dibentuk selama tahapan promielosit. Granula

primer berisi enzim lisosom, myeloperoksidase (MPO), asam fosfatase dan

elastase. Granula sekunder dibentuk selama ahapan mielosit. Granula sekunder

berisi enzim lisosom, Nicotinamide Adenine dinucleotide Phosphatase(NADPH)

oksidase, laktoferin dan sitokrom. Pembentukan granula primer akan terhenti

bersamaan dengan pembentukan granula sekunder. Granula primer dan sekunder

terdapat dalam neutrofil matur. Granula sekunder dapat terlihat dengan mikroskop

cahaya. Granula tersier dapat diidentifikasi dengan mikroskop electron. Granula

tersier berisi enzim plasminogen activator, alkali fosfatase dan gelatinase.10

Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad

renik, memfagosit partikel kecil dengan aktif. Asam amino D oksidase dalam

granula azurofilik penting dalam pengenceran dinding sel bakteri yang

mengandung asam amino D. Selama proses fagositosis dibentuk peroksidase,

mieloperoksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan peroksida dan

halida bekerja pada molekul tirosin dinding sel bakteri dan menghancurkannya.5

Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat

menguntungkan, karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu

membersihkan debris pada jaringan nekrotik.5

Infeksi berat oleh bakteri biasanya akan meningkatkan jumlah neutrofil seperti

infeksi oleh bakkteri Gram positif (Staphylococci, Pneumococci dan

Streptococci), kebalikan neutropeia akan terjadi bila infeksi disebabkan oleh

Gram negatif seperti Salmonella dan Brucella.2

Morfologi neutrofil dapat terlihat seperti pada gambar 2.3

15
Gambar 2.6 Neutrofil
Dikutip dari: Anderson’s Atlas hematology4

2.1.2 Agranulosit

Agranulosit adalah kelompok leukosit tanpa granula yang terdiri dari limfosit

dan monosit.7

2.1.2.1 Limfosit

Limfosit berbentuk bulat, kadang-kadang oval dengan sitoplasma berwarna

biru, tidak mempunyai granul, bentuk inti bulat atau agak oval, kromatin

homogen, padat, nukleolus limfosit tidak terlihat, distribusi normal 20-40% dari

jumlah keseluruhan leukosit. Ukuran limfosit adalah 7-15 µm.4 Peningkatan

jumlah limfosit dalam darah, ditemukan pada Infeksi akut (Pertusis, hepatitis,

Mononucleusis infeksiosa), infeksi menahun pada bayi dan anak-anak, radang

kronis misal Kolitis Ulseratif, kelainan metabolik (Hipertiroidisme). Penurunan

jumlah limposit dapat diakibatkan terapi dengan obat Steroid dan infeksi bakteri

berat. Limfosit mempunyai kedudukan yang penting dalam sistem imunitas tubuh,

16
sehingga sel-sel tersebut tidak saja terdapat dalam darah, melainkan dalam

jaringan khusus yang dinamakan jaringan limfoid. Berbeda dengan sel-sel leukosit

yang lain, limfosit setelah dilepaskan dari sumsum tulang belum dapat berfungsi

secara penuh oleh karena masih harus mengalami diferensiasi lebih lanjut. Bila

sudah matang limfosit mampu berperan dalam respon immunologik maka sel-sel

tersebut dinamakan sebagai sel imunokompeten. Sel limfosit imunokompeten

dibedakan menjadi limfosit B dan limfosit T, walaupun dalam sediaan apus kita

tidak dapat membedakannya. Limfosit T sebelumnya mengalami diferensiasi di

dalam kelenjar thymus, sedangkan limfosit B dalam jaringan yang dinamakan

Bursa ekivalen yang diduga keras jaringan sumsum tulang sendiri. Kedua jenis

limfosit ini berbeda dalam fungsi imunologiknya.

Sel-sel limfosit T bertanggung jawab terhadap reaksi imun seluler dan

mempunyai reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen asing. Sel

limfosit B bertugas untuk memproduksi antibodi humoral, yaitu antibodi yang

beredar dalam peredaran darah dan mengikat secara khusus dengan antigen asing

yang menyebabkan antigen asing terlapisi antibodi, kompleks ini mempertinggi

fagositosis oleh sel pembunuh (killer cell atau sel K) dari organisme yang

menyerang. 5 Morfologi limfosit dapat terlihat seperti pada gambar 2.4

Gambar 2.7 Limfosit


Dikutip dari: Anderson’s Atlas hematology4

17
2.1.2.2 Monosit

Monosit adalah sel paling besar di darah perifer. Inti besar kadang

berbentuk bulat namun berlekuk, kadang seperti kacang merah. Kromatin longgar,

berbenang-benang kasar dengan pemadatan daerah tertentu. Sitoplasma basofil

muda atau biru abu-abu tua.7 Ukuran monosit adalah 14-21 µm (merupakan

ukuran terbesar untuk leukosit matur).4 Monosit normal ditemukan pada darah

tepi 1-5%. Monosit meningkat pada keadaan infeksi kronik seperti tuberkulosis,

fase penyembuhan kelainan neoplasma atau aplastik. 9, Infeksi Protozoa (Malaria

dan Dysentri amoeba kronik), Hodgkin’s disease, Artritis Rheumatoid.2

Sitoplasma monosit terdapat relatif lebih banyak tampak berwarna biru abu-abu.

Berbeda dengan limfosit, sitoplasma monosit mengandung butir-butir yang

mengandung zat peroksidase seperti yang diketemukan dalam neutrofil. Monosit

mampu mengadakan gerakan dengan jalan membentuk pseudopodia sehingga

dapat bermigrasi menembus kapiler untuk masuk ke dalam jaringan pengikat.

Dalam jaringan ikat monosit berubah menjadi sel makrofag atau sel-sel lain yang

diklasifikasikan sebagai sel fagositik. Pada jaringan monosit masih dapat

membelah diri. Selain berfungsi fagositosis makrofag dapat berperan

menyampaikan antigen kepada limfosit untuk bekerja sama dalam sistem

imunitas. 5 Morfologi monosit dapat terlihat seperti pada gambar 2.5

18
Gambar 2.8 Monosit
Dikutip dari: Anderson’s Atlas hematology4

2.2 Kelainan morfologi leukosit pada infeksi

Kelainan morfologi yang terjadi pada leukosit yang disebabkan oleh infeksi

bakteri, virus, parasit dan jamur akan berbeda-beda baik komponen sel yang
5
dipengaruhi maupun jumlah jenis sel leukositnya.

2.2.1 Infeksi Bakteri

Bakteri berasal dari kata latin Bacterium (jamak, bacteria), adalah kelompok

terbanyak dari mikroorganisme. Berukuran sangat kecil (0,5-5µm) dan uniseluler

dengan struktur sel yang relative sederhana tanpa nucleus atau inti sel dan organel

lain seperti mitochondria atau kloroplas. Bakteri memiliki dinding sel yang

mengandung peptidoglikans dan bergerak menggunakan flagella. Bakteri berada

dimana-mana seperti ditanah, air dan sebagai simbiosis dari organisme.12

Invasi bakteri bergantung kemampuannya dalam menghindari repon imun.

Bakteri menggunakan mekanisme yang dapat menyebabkan infeksi dan

19
mekanisme yang dapat menghindari kehancurannya akibat sistem imun.

Mekanisme bakteri dalam menghindari system imun dengan melakukan replikai

intraseluler. Bakteri juga hidup dalam kapsul protektif untuk mencegah lisis oleh

komplemen.13 Banyak bakteri yang menghasilkan protein permukaan yang dapat

mengurangi respon imun dan ada beberapa bakteri yang membentuk biofilm

untuk melindunginya dari system imun.14

Bakteri dapat hidup ekstraseluler dan intraseluler, bakteri ekstraseluler

bereplikasi diluar sel seperti di sirkulasi atau di jaringan ikat. Bakteri ekstraseluler

mudah dihancurkan oleh respon imun alamiah melalui fagositosis sel neutrofil.

Sel neutrofil adalah sel fagosit dominan dalam sirkulasi dan selalu tibadilokasi

paling cepat karena sangat sensitive terhadap sinyal kemotaktik yang dikeluarkan

bakteri. Bakteri intraseluler memiliki kemampuan mempertahankan diri melalui

mekanisme menghambat fusi lisosom pada vakuola yang berisi bakteri,

menghalangi proses respiratory burst dengan lipid mikrobakterial dan

menghindari perangkap fagosom dengan menggunakan lisin sehingga bakteri

tetap dapat hidup bebas dalam sitoplasma neutrofil dan terbebas dari

penghancuran.14

Pada infeksi bakteri akan terjadi peningkatan jumlah neutrofil yang signifikan,

diikuti oleh monosit/makrofag. Komponen sel yang terpengaruh pada keadaan

infeksi bakteri adalah segmen inti dan sitoplasma, dapat terjadi hipersegmentasi,

granula toksik dan vakuolisasi sitoplasma sel PMN.5

20
2.2.2 Infeksi virus

Pada infeksi virus akan terjadi peningkatan jumlah limfosit yang signifikan.

Komponen sel yang terpengaruh pada keadaan infeksi virus adalah ukuran sel

limfosit dan bentuk inti serta sitoplasma. Limfosit mengalami perubahan bentuk

menjadi limfosit atipik.5

Pada infeksi virus tertentu seperti infeksi virus pox mungkin saja terjadi

peningkatan jumlah basofil.2

2.2.3 Infeksi Parasit

Pada infeksi parasit seperti infeksi oleh cacing (cacing pita atau cacing

cambuk) akan terjadi peningkatan jumlah eosinofil yang signifikans, terkadang

terjadi peningkatan jumlah basofil. Komponen sel relatif tidak terpengaruh pada

keadaan infeksi parasit.2,5,15

2.2.4 Infeksi Jamur

Pada infeksi Jamur tidak terjadi peningkatan jumlah leukosit baik granulosit

maupun agranulosit. Komponen sel pun relatif tidak ada perubahan.5

2.3 Kelainan morfologi leukosit: patogenesis dan patofisiologi serta arti

klinisnya

Kelainan Morfologi Leukosit yang mungkin terjadi adalah kelainan pada

sitoplasma seperti granulasi toksik (pada infeksi bakteri akut, luka bakar,

intoksikasi), badan dohle (pada keracunan, luka bakar, infeksi berat), limfositik

plasma biru, vakuolisasi sitoplasma (pada keracunan, infeksi berat)

21
atau kelainan inti sel seperti hipersegmentasi (pada anemia megaloblastik, infeksi,

uremia) atau inti piknotik (pada sepsis, leukemia).5

2.3.1 Granula toksik

Granula toksik adalah suatu kelainan sitoplasma neutrofil berupa granula yang

lebih besar (hipergranula), kasar dibandingkan granula normal, berwarna lebih

gelap (biru hitam atau ungu). 5

Terjadinya granula toksik adalah saat mikroorganisme ditelan oleh neutrofil

akan terjadi penghancuran (Respiratory burst, penghancuran dengan enzim

lisosom dan pengeluaran nitric oxide). Pada respiratory burst terjadi peningkatan

konsumsi oksigen 100 kali lipat. Peningkatan oksigen yang besar ini akan

mengaktivasi enzim permukaan sel yang disebut NADPH-oksidase. Ketika

mikroorganisme terikat pada reseptor neutofil, proses oksidase akan ter aktifasi

kemudian molekul O2 secara spontan dan cepat berubah dibawah pengaruh enzim

superoxide dismutase, kemudian H2O2 dapat diubah menjadi bentuk lain melalui

aktivasi mieloperoksidase (yang dalam jumlah banyak ditemukan pada granula

primer). Aktivasi mieloperoksidase pada granula primer akan merubah gambaran

granula menjadi abnormal berupa granula toksik.7 Gambaran granula toksik dapat

terlihat seperti pada gambar 2.9

22
Gambar 2.9 Granula toksik
Dikutip dari: Anderson’s Atlas hematology4

Terdapat petunjuk mengenai tingkatan granula toksik yang dapat ditemui pada

pasien infeksi. Seperti yang terlihat pada gambar 2.10 berikut.

23
Gambar 2.10 Petunjuk tingkatan granula toksik

Dikutip dari: Gulati16

2.3.2 Hipersegmentasi

Kelainan inti seperti hipersegmentasi biasanya terjadi pada infeksi kronik atau

sepsis. Neutrofil disebut hipersegmentasi bila terdapat 25% segmen inti 4 atau 4%

segmen 5 atau cukup 1% semen inti 6 atau lebih.17 Selain neutrofil eosinofil pun

pada keaadaan toksik dapat menjadi hipersegmentasi (3-4segmen). Kelainan

hipersegmentasi ini disebabkan gangguan pematangan pada inti neutrofil atau

24
18
eosinofil saat terjadi infeksi. Hipersegmentasi Morfologi neutrofil yang

mengalami hipersegmentasi dapat terlihat seperti pada gambar 2.11

Gambar 2.11. Hipersegmentasi

Dikutip dari: Anderson’s Atlas hematology4

Terdapat petunjuk mengenai tingkatan granula toksik yang dapat ditemui pada

pasien infeksi. Seperti yang terlihat pada gambar 2.12 berikut.

25
Gambar 2.12 Petunjuk tingkatan hipersegmentasi
Dikutip dari: Gulati16

2.3.3 Limfosit Atipik

Limfosit atipik adalah limfosit dengan ukuran lebih besar dibanding normal ( >

15 µm). Sitoplasma pada limfosit atipik jauh lebih banyak dan mempunyai

granula azurofilik. Inti padat mengelompok dan tidak terlihat anak inti. Sel ini

merupakan limfosit T cytotoxic atau disebut juga “natural killer cell”. Limfosit ini

banyak ditemukan pada infeksi virus. Limfosit atipik adalah limfosit yang besar

26
dengan diameter lebih 20 mikron, sitoplasma lebih biru, inti besar dengan

sitoplasma berlebihan dengan bentuk teratur. Limfosit atipik dapat ditemukan


9
pada penyakit mononucleosis infeksiosa, infeksi virus dan reaksi imunologis
2
Morfologi limfosit atipik dapat terlihat seperti pada gambar 2.13

Gambar 2.13 Limfosit atipik

Dikutip dari: Atlas of pediatric peripheral blood smears9

2.3.4 Vakuolisasi sitoplasma

Keadaan pada sel polimorfonuklear (PMN) dengan adanya vakuolisasi yaitu

area kosong pada sitoplasma yang dapat diakibatkan oleh infeksi berat.

Vakuolisasi ini umumnya terdapat pada neutrofil toksik, hal ini karena

meningkatnya aktivitas lisozim dan vakuola-vakuola tersebut adalah sisa tempat

pencernaan material yang difagosit oleh sel neutrofil ataupun sel lain seperti

27
monosit.17 Morfologi vakuolisasi sitoplasma dapat terlihat seperti pada gambar

2.14

Gambar 2.14 Vakuolisasi sitoplasma PMN

Dikutip dari: Atlas of pediatric peripheral blood smears9

Terdapat petunjuk mengenai tingkatan vakuolisasi sitoplasma yang dapat ditemui

pada pasien infeksi. Seperti yang terlihat pada gambar 2.15 berikut.

28
Gambar 2.15 Petunjuk tingkatan vakuolisasi sitoplasma
Dikutip dari: Gulati16

2.3.5 Neutrofil piknotik

Neutrofil piknotik merupakan neutrofil neutrofil yang mati/berdegenerasi. Sel

ini memiliki Inti yang telah memadat dengan kromatin tanpa pola yang jelas.

Lobus inti terpisah, tidak ada filamen yang menghubungkan antar lobus . lobus

inti kecil, gelap dan padat. Neutrofil piknotik ini adalah indikator infeksi

29
berkepanjangan atau infeksi berat.5 Morfologi neutrofil piknotik dapat terlihat

seperti pada gambar 2.16

Gambar 2.16 Neutrofil piknotik

Dikutip dari: Atlas of pediatric peripheral blood smears9

2.3.6 Dohle bodies

Satu atau lebih kumparan berwarna biru pucat yang merupakan sisa-sisa

ribosom dan retikulosit yang rusak dalam bentuk oval atau bulat, berwarna biru

abu-abu dan biasanya dijumpai pada tepi sitoplasma neutrofil. Dohle bodies dapat

ditemukan pada infeksi, cedera karena suhu (luka bakar), keganasan, setelah

kemoterapi dan trauma.9 Dohle bodies sering disertai adanya granula toksik dan

vakuolisasi sitoplasma menandakan infeksi bakteri. Kelainan ini terjadi karena

adanya kerusakan fokal pada sitoplasma yang disebabkan denaturasi dari ribosom

atau retikulum endoplasma saat toksik atau infeksi.17 Gambaran Dohle bodies

dapat terlihat seperti pada gambar 2.17

30
Gambar 2.17 Dohle bodies
Dikutip dari: Anderson’s Atlas hematology4

Terdapat petunjuk mengenai tingkatan Dohle bodies yang dapat ditemui pada

pasien infeksi. Seperti yang terlihat pada gambar 2.18 berikut.

31
Gambar 2.18 Petunjuk tingkatan Dohle bodies
Dikutip dari: Gulati16

32
BAB III

SIMPULAN

Pada aktivitas keseharian evaluasi dari kelainan morfologi leukosit sangat

penting dilakukan untuk memastikan kelainan klinis yang terjadi pada pasien dan

juga dapat membantu arah terapi oleh klinisi. Kelainan morfologi leukosit berbeda

pada setiap penyebab infeksi (bakteri, virus, jamur, dan parasit).

Pada kasus infeksi sering ditemukan kelainan morfologi leukosit. Kelainan

yang paling sering terjadi adalah pada sel neutrofil dan limfosit. Perubahan terjadi

adalah pada jumlah dan komponen sel seperrti pada inti atau sitoplasma sel.

Kelainan dapat berupa granula toksik, vakuolisasi, hipersegmentasi , Dohle

bodies dan kelainan lain. Perbedaan jumlah dan morfologi leukosit dapat

membantu menentukan penyebab (etiologi) infeksi.

33
SUMMARY

In the daily activity, evaluation of morphological abnormalities of leucocytes

is essential to ensure clinical abnormalities that occur in patients and can also

help towards therapy by clinicians. Abnormalities of leucocyte morphology is

different for each cause of infection (bacteria, viruses, fungi, and parasites).

        In cases of infection are often found morphological abnormalities of

leukocytes. The disorder is most common in neutrophil and lymphocyte cells.

Change occurs is the amount and components of the cell nucleus or cytoplasm

seperrti the cell. Kelainan can be toxic granules, vacuolization,

hypersegmentation, Dohle bodies and other abnormalities. Differences in the

number and morphology of leukocytes can help determine cause of infection.

34
35

PUSTAKA ACUAN

1. M.Harmening D. Clinical hematology and fundamentals of hemostasis.


Edisi ke-5. Fratantoro C, editor Philadelphia: F.A Davis company;2009.
hlm. 93-94, 305-330.
36

2. Hall R. Medical laboratory Haematology. London: Butterworth &


co;1984. hlm. 461-289.
3. Freund M. Atlas hematologi. Munchen: Elsevier;2008.
4. Anderson S. Atlas of hematology. Edisi ke-2nd. Philadelphia: Lippincott
williams & Wilkins;2014.
5. Jandl JH. Blood text of hematology. Boston: Little, Brown and
Company;2000. hlm. 441-554.
6. Miale J. Laboratory medicine. Miami: Mosby;1982. hlm. 658-687.
7. Greer J. Wintrobe's Clinical hematology. Edisi ke-10th.1999. hlm. 1801-
1817.
8. Heckner F. Atlas hematologi. Edisi ke-9th. Jakarta: 1999.
9. Hays T. Atlas of pediatric peripheral blood smears. Colorado:
Abbott;2008. hlm. 24-30.
10. JM DDP, editor. White blood cell disorder. 4 ed. Philadelphia: F.A Davis
Company; 2002.
11. Struthers JK, Westran RP. Clinical Bacteriology. London: Manson;2003.
12. Greenwood. Bacterial pathogenecity. Churcill: Livingstone Elsevier;2007.
hlm. 154-161.
13. Male B. Immunity to bacteria and fungi. Edisi ke-7.Mosby;2006. hlm.
257-263.
14. Struthers W. Structure and function of bacteria.Manson publishing;2005.
hlm. 9-17.
15. Isbister. Clinical haematology. Sydney: Williams & Wilkins;1986. hlm.
200-244.
16. Gulati G. Blood cell morphology grading guide. Philadellphia: 2010. hlm.
48-68.
17. Robianto T. kelainan leukosit leukemia mieloma multipel. Bandung:
Patologi klinik FK Unpad;2004.
18. f.rodak B. Hematology clinical principles and aplications. Indiana:
Elsevier;2012.
37

Anda mungkin juga menyukai