Persiapan lahan yang baik berpengaruh besar terhadap produktivitas tanaman. Banyak
penelitian menunjukkan dengan melakukan persiapan lahan sebelum melakukan usaha
budi daya bisa meningkatkan hasil panen hingga 30%.
Tujuan dari persiapan lahan adalah untuk mengkondisikan lahan tempat budi daya
tanaman agar sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan tanaman sehingga tanaman
dapat tumbuh dengan baik.
Persiapan lahan meliputi beberapa kegiatan, mulai dari land clearing, pengolahan tanah,
penggaruan lahan serta pemberian pupuk dasar.
Land Clearing
Land clearing adalah pembersihan lahan yang akan dijadikan area pertanaman. Ada
banyak cara yang biasa dilakukan petani untuk melakukan land clearing. Mulai dari
manual, mekanis hingga penggunaan bahan kimia seperti herbisida.
Land clearing dengan manual dilakukan dengan tangan manusia langsung dengan
menggunakan alat sederhana seperti cangkul, parang, dll. Sedangkan land clearing yang
dilakukan dengan mekanis dilakukan dengan menggunakan berbagai macam mesin
pertanian seperti traktor.
Selain memperbaiki tanah, pembersihan juga bertujuan memperlancar arus air dan
menekan jumlah biji gulma yang terbawa masuk ke petak sawah.
Pengolahan tanah
Pengolahan tanah merupakan cara untuk memperbaiki kondisi fisik, kimia maupun
biologi tanah.
Hal ini mutlak dilakukan oleh petani sebelum melakukan penanaman bibit, karena
dengan pengolahan tanah yang baik dan benar maka proses penanaman akan lebih
mudah dan tentunya itu baik sekali untuk benih yang akan ditanam.
Tahapan pengolahan lahan
1. Pengolahan tanah primer dilakukan apabila lahan yang akan ditanami keras atau
berupa bongkahan serta terdapat gulma. Kedalaman pemotongan dan
pembalikan umumnya diatas 15 cm (>15 cm). Tanah dipotong kemudian
diangkat terus dibalik agar sisa-sisa tanaman yang ada dipermukaan tanah dapat
terbenam di dalam tanah. Pembalikan tanah biasa dilakukan dengan cangkul,
garu, waluku, atau traktor dengan berbagai jenis bajak. Seperti bajak singkal,
bajak piringan, bajak rotary, bajak chisel, bajak subsoil, dan bajak raksasa.
2. Pengolahan tanah sekunder (kedua) suatu cara pengolahan tanah dengan
kedalaman yang lebih dangkal (<15 cm) serta hasil olahannya sudah halus
dengan permukaan tanah yang relatif rata (siap untuk ditanami). Pengolahan
tanah kedua dilakukan lebih dangkal dan tidak diperlukan pembalikan tanah yang
efektif seperti pengolahan tanah pertama. Alat yang bisa digunakan untuk
melakukan pengolahan tanah kedua ini adalah garu, land roller (perata tanah),
dan alat lainnya.
Penggaruan lahan
Penggaruan lahan dapat dilakukan dengan menggunakan cangkul atau traktor dengan
tujuan untuk menghancurkan gumpalan-gumpalan tanah yang keras, sehingga struktur
dan tekstur tanah memungkinkan untuk ditanami.
Pemupukan lahan
Pemupukan lahan bertujuan untuk menambah unsur hara dalam tanah agar tanah
menjadi lebih subur dan dapat mencukupi kebutuhan tanaman akan unsur hara.
Dengan begini pertumbuhan tanaman lebih optimal. Pemupukan yang diberikan lebih
awal bisa merangsang perkembangan akar lebih dalam.
Pemupukan awal ini biasa disebut dengan pemupukan dasar. Jika tanah diketahui
bereaksi asam, maka petani diwajibkan untuk menaburkan kapur dolomit di lahan
pertanian untuk menaikkan pH tanah.
Pupuk yang biasa dijadikan sebagai pupuk dasar adalah pupuk kandang, urea, SP36, dll
sesuai dengan kebutuhan komoditas yang ingin ditanam.
Semua tahapan persiapan lahan pertanian ini, biasanya membutuhkan waktu 16-18 hari
tergantung pada lahan yang akan dikelola.
3. Jenis tanaman hijauan pakan ternak yang dijadikan sebagai penghasil bibit
tanaman hijauan pakan ternak yang utama adalah rumput Raja (King Grass)
rumput BD, dan rumput BH. Dari ketiga jenis rumput ini ditetapkan lokasi
kebun rumput yang sudah ada menjadi kebun bibit untuk menghasilkan bibit
rumput Raja berupa stek, bibit rumput BD berupa pols dan biji dan bibit
rumput BH berupa pols dan biji. Selain ketiga jenis rumput tersebut, dari
lokasi kebun koleksi juga dikumpulkan biji rumput benggala cv. Purple Guinea
dan cv. Riversdale. Selain produksi bibit rumput, dari lokasi padang
penggembalaan, kebun rumput, dan kebun koleksi juga dikumpulkan biji
leguminosa Stylo.
Luas tanaman rumput Raja yang disediakan sebagai sumber bibit seluas dua hektar.
Dari luas lahan tersebut perkiraan produksi bibit dalam bentuk stek adalah sebanyak
1.000.000 stek. Dasar perhitungan : tiap rumpun terdapat 10 batang, dari tiap batang
dapat diambil 5 stek. Dengan demikian jumlah bibit yang tersedia adalah 2 ha x
10.000 rumpun x 10 batang x 5 stek = 1.000.000 stek.
Tanaman rumput BD sebagai sumber bibit dalam bentuk pols dan biji.
Luas tanaman rumput BD yang disediakan sebagai sumber bibit seluas satu hektar.
Rumput BD diharapkan dapat memberikan hasil bibit dalam bentuk pols dan biji.
Dari luas lahan tersebut perkiraan produksi bibit dalam bentuk pols adalah sebanyak
1.500.000 plos. Perhitungan ketersediaan bibit BD dalam bentuk pols adalah dengan
menghitung jumlah pols yang dapat diperoleh dari luas 1 m2, dimana dari luas 1 m2
tanaman BD dapat diperoleh bibit BD sebanyak 150 pols. Dengan demikian jumlah
produksi bibit BD yang dapat diproduksi adalah 1 ha x 10.000 m2 x 150 pols =
1.500.000 pols
Tanaman rumput BH sebagai sumber bibit dalam bentuk pols dan biji.
Tanaman rumput Benggala sebagai sumber bibit dalam bentuk pols dan biji.
Tanaman rumput Benggala sebagai sumber bibit dalam bentuk pols dan biji.
Tanaman rumput Benggala sebagai sumber bibit dalam bentuk pols dan biji.
Tanaman leguminosa Stylo merupakan tanaman yang ada di kebun koleksi dan juga
tersebar di padang penggembalaan yang ada di BPTUHPT Siborongborong.
Tanaman ini akan dibudidayakan di masa yang akan datang untuk memproduksi biji
sebagai sumber bibit.
1. Stek, penanamannya dengan cara memasukkan ± % bagian dari panjang stek dengan
kemiringan ± 30° atau dapat juga ditanam seperti tanaman tebu, yaitu stek dimasukkan
kedalam tanah secara terlentang dengan jarak tanam :
a. Tanah subur : (50x50)cm, (60x60) cm
b. Tanah sedang : (75x75) cm
c. Tanah kurang subur : (1x1) m
2. Stolon, menanam dengan menimbuni bagian stolon yang berjarak 30-60 cm dari buku.
Jarak tanam bervariasi yaitu (90x60) cm, (90x90) cm dan (60x120) cm.
3. Pols (anakan), cara menanam seperti menanam padi, dengan kebutuhan setiap lubang 2
anakan. Jarak tanam bervariasi : (30x30) cm, (40x40) cm dan (50x30) cm.
5. Penyiangan merupakan suatu kegiatan mencabut gulma yang berada di antara
sela-sela tanaman pertanian dan sekaligus menggemburkan tanah. Gulma adalah
tumbuhan yang kehadirannya tidak diinginkan pada lahan pertanian karena
menurunkan hasil yang bisa dicapai oleh tanaman produksi.
Tujuan penyiangan
Penyiangan bertujuan untuk membersihkan tanaman yang sakit, mengurangi persaingan
penyerapan hara, mengurangi hambatan produksi anakan dan mengurangi persaingan
penetrasi sinar matahari.[1] Tanaman yang ditumbuhkan harus mendapatkan semua nutrisi
dan air yang diberikan oleh petani agar mampu menghasilkan secara optimal.[2]
Metode penyiangan
Penyiangan bisa dilakukan dengan berbagai cara.[3]
Secara manual dengan tangan
Dilakukan dengan menggunakan tangan yang mencabut rumput yang tumbuh di sela-sela
tanaman. Mencabut gulma dengan tangan cenderung pekerjaan yang melelahkan dan
umumnya dikerjakan dengan tenaga kerja yang banyak (buruh tani) atau di lahan yang
sempit, misal di pertanaman dalam pot.[4][2]
Secara kimiawi dengan herbisida
Herbisida yang dipilih secara selektif mampu membunuh gulma namun tidak menyakiti
tanaman produksi. Herbisida digunakan ketika mekanisasi tidak memungkinkan atau tidak
diinginkan.[5]
Secara mekanis dengan mesin
Berbagai mesin pertanian dapat digunakan untuk melakukan penyiangan[6] tanpa merusak
tanaman produksi jika tanaman ditanam pada alur yang tepat. Penyiangan secara mekanis
dapat membersihkan gulma dengan cepat, namun tidak seratus persen efektif karena akan ada
sedikit gulma yang masih tersisa.
Pupuk organik mencakup semua bahan yang dihasilkan dari makhluk hidup dan bisa
digunakan untuk menyuburkan tanaman, seperti kotoran hewan, kotoran
cacing, kompos, rumput laut, guano, dan bubuk tulang. Kotoran hewan merupakan limbah
yang sering kali menjadi masalah lingkungan, sehingga penggunaan kotoran hewan sebagai
pupuk dapat menguntungkan secara lingkungan dan pertanian. Tulang hewan
sisa penyembelihan hewan bisa dijadikan bubuk tulang yang kaya kandungan fosfat.
Manfaat pupuk organikSunting
Pupuk organik diketahui mampu meningkatkan keanekaragaman hayati pertanian dan
produktivitas tanah secara jangka panjang.[2][3] Pupuk organik juga dapat menjadi
sarana sekuestrasi karbon ke tanah.[4][5][6]
Nutrisi organik meningkatkan keanekaragaman hayati tanah dengan menyediakan bahan
organik dan nutrisi mikro bagi organisme penghuni tanah seperti jamur mikoriza yang
membantu tanaman menyerap nutrisi,[7] dan dapat mengurangi input pupuk.[8]
Kerugian pupuk organikSunting
Pupuk organik merupakan pupuk yang bersifat kompleks karena ketersediaan senyawa yang
ada pada pupuk tidak berupa unsur ataupun molekul sederhana yang dapat diserap oleh tanah
secara langsung. Kadar nutrisi yang tersedia sangat bervariasi dan tidak dalam bentuk yang
tersedia secara langsung bagi tanaman sehingga membutuhkan waktu lama untuk diserap
oleh tanaman.[9]
Beberapa limbah yang dikomposkan, jika tidak diolah secara tepat, dapat menjadi sarana
pertumbuhan patogen yang merugikan tanaman.[10]
Perbandingan dengan pupuk anorganikSunting
Kadar nutrisi, tingkat kelarutan, dan laju pelepasan nutrisi pupuk organik umumnya lebih
rendah dibandingkan pupuk anorganik.[11][12] Secara umum, keberadaan nutrisi pada pupuk
organik lebih terlarut ke antara molekul tanah, namun juga tidak lebih tersedia dalam wujud
yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh tanaman.
Berdasarkan studi dari Universitas California, semua pupuk organik diklasifikasikan sebagai
pupuk dengan laju pelepasan yang lambat (slow release fertliizer) sehingga tidak
menyebabkan memar (burn) pada tanaman meski kadar nitrogen pada pupuk organik
berlebih.[13] Gejala burn merupakan gejala umum yang ditemukan pada tanaman ketika
pemberian pupuk kimia dilakukan secara berlebihan.
Kualitas pupuk organik dari kompos dan sumber lainnya dapat bervariasi dari satu proses
produksi ke proses produksi berikutnya.[14] Tanpa pengujian secara sampling terlebih dahulu,
tingkat nutrisi yang akan diterima tanaman tidak bisa diketahui secara pasti.
Sumber pupuk organikSunting
HewanSunting
Urea dari kotoran hewan (dan juga manusia) dapat digunakan untuk menjadi sumber pupuk
organik.[15] Sebuah firma di Belanda telah mampu mengubah urin manusia
menjadi struvite yang dapat digunakan sebagai pupuk.[16]
Namun limbah perkotaan yang kemungkinan telah tercampur obat-
obatan, polusi, hormon buatan, logam berat, plastik, dan sebagainya tidak dapat digunakan
sebagai bahan baku pupuk untuk digunakan pada usaha pertanian organik.[17][18][19]
Penelitian yang dilaukan oleh Agricultural Research Service (ARS) mennjukan
bahwa kotoran ayam dapat menjadikan kondisi tanah lebih baik bagi pertumbuhan tanaman
dibandingkan dengan penggunaan pupuk anorganik. ARS melakukan studi tersebut kepada
perkebunan kapas dan menemukan bahwa kapas menghasilkan 12% lebih banyak
dibandingkan dengan penggunaan pupuk anorganik. ARS juga memperkirakan harga kotoran
ayam saat ini hanya $17 per ton, jauh lebih murah dibandingkan dengan jumlah manfaat yang
dapat disediakan pupuk anorganik pada kemampuan pengkondisian tanah yang setara yang
sebesar $78 per ton.[20]
Tepung tulang, tepung darah, tepung ikan, dan emulsi ikan juga dapat digunakan sebagai
pupuk.[21][22]
TumbuhanSunting
Tanaman penutup legum (misal alfalfa) sering kali ditumbuhkan di sela-sela tanaman
perkebunan untuk memperkaya tanah dengan nitrogen melalui proses pengikatan
nitrogen dari atmosfer[23] dan memperkaya kandungan fosfor melalui mobilisasi nutrisi.[24]
Salah satu studi yang dilakukan ARS menemukan bahwa alga dapat digunakan untuk
menangkap nitrogen dan fosfor yang dilepaskan lahan usaha tani ke lingkungan
melalui aliran air permukaan (surface runoff). Alga ini dapat digunakan untuk menyaring
limbah pertanian, yang lalu dapat dikembalikan lagi ke tanah sebagai pupuk. Laju pelepasan
nutrisinya setara dengan pupuk anorganik sehingga dapat digunakan pada pembibitan.[25]
Limbah industri kayu seperti serbuk gergaji dan kepingan kayu, juga dapat digunakan sebagai
pupuk.[26]
Pupuk anorganikSunting
Secara umum, tumbuhan hanya menyerap nutrisi yang diperlukan jika terdapat dalam bentuk
senyawa kimia yang mudah terlarut. Nutrisi dari pupuk organik hanya dilepaskan ke tanah
melalui pelapukan yang dapat memakan waktu lama. Pupuk anorganik memberikan nutrisi
yang langsung terlarut ke tanah dan siap diserap tumbuhan tanpa memerlukan proses
pelapukan.
Tiga senyawa utama dalam pupuk anorganik yaitu nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K).
Kandungan NPK dihitung dengan pemeringkatan NPK yang memberikan label keterangan
jumlah nutrisi pada suatu produk pupuk anorganik.
Secara umum, nutrisi NPK yang siap diserap oleh tanaman pada pupuk anorganik mencapai
64%, jauh lebih tinggi dibandingkan pupuk organik yang hanya menyediakan di bawah 1%
dari berat pupuk yang diberikan.[27] Inilah yang menyebabkan mengapa pupuk organik harus
diberikan dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan pupuk anorganik.
Pupuk nitrogen dibuat dengan menggunakan proses Haber yang ditemukan pada tahun 1915.
Proses ini menggunakan gas alam sebagai sumber hidrogen, dan gas nitrogen dari udara pada
temperatur dan tekanan yang tinggi dengan bantuan katalis menghasilkan amonia sebagai
produknya. AMonia dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk lainnya seperti amonium
nitrat dan urea. Pupuk ini dapat dilarutkan terlebih dahulu dengan air. Sebelum ditemukannya
proses Haber, mineral seperti natrium nitrat ditambang untuk dijadikan sumber pupuk
nitrogen anorganik. Mineral ini masih ditambang sampai sekarang.
Proses lainnya dalam pembuatan pupuk organik adalah proses Odda yang disebut juga
dengan proses nitrofosfat. Bebatuan fosfat dengan kadar fosfor hingga 20% dilarutkan
ke asam nitrat untuk menghasilkan asam fosfat dan kalsium nitrat. Bebatuan fosfat juga bisa
diproses menjadi mineral P2O5 dengan bantuan asam sulfat. Melalui tungku listrik, mineral
fosfat juga bisa direduksi menjadi fosfat murni, namun proses ini sangat mahal.
Kalium secara komersial dapat ditemukan di berbagai tempat mulai dari bebatuan di dalam
bumi hingga sedimen di dasar laut. Bebatuan yang mengandung kalium sering kali berada
dalam bentuk kalium klorida yang juga ditemukan bersamaan dengan mineral natrium
klorida. Bebatuan yang mengandung kalium ditambang dengan bantuan air panas sehingga
larut. Larutan ini diuapkan dengan bantuan sinar matahari. Senyawa amina digunakan untuk
memisahkan KCl dengan NaCl.[28]
Penggunaan pupuk organik secara komersial telah berkembang dan meningkat hingga 20 kali
lipat dibandingkan 50 tahun yang lalu dengan jumlah konsumsi saat ini mencapai 100 juta ton
nitrogen anorganik per tahun.[29] Tanpa pupuk anorganik, diperkirakan sepertiga bahan
pangan saat ini tidak dapat berproduksi.[30] Penggunaan pupuk fosfat juga meningkat dari 9
juta ton (1960) menjadi 40 juta ton (2000). Setiap hektare tanaman jagung membutuhkan
antara 30 hingga 50 kilogram pupuk fosfat, sedangkan kedelai membutuhkan 20–25 kg.
[31] Yara International merupakan produsen pupuk nitrogen anorganik terbesar di dunia.[32]
Pengguna utama pupuk nitrogen anorganik[33]
Penggunaan untuk
Total penggunaan bahan pangan
nitrogen dan produksi pakan
Negara ternak
(Metrik ton per
tahun) (Metrik ton per
tahun)
Amerika
9.1 4.7
Serikat
PenerapanSunting
Pupuk anorganik digunakan di semua jenis tanaman pertanian dengan jumlah pemberian
bergantung pada jenis tanaman dan tingkat kesuburan tanah saat ini. Misal tanaman pertanian
jenis legum (seperti kedelai) tidak membutuhkan pupk nitrogen anorganik sebanyak tanaman
lain karena mampu mengikat nitrogen.
Namun penerapan pupuk anorganik berlebih mampu menyebabkan peningkatan keasaman
tanah karena mineral yang tidak dimanfaatkan mampu bereaksi dengan air yang ada di tanah
membentuk senyawa asam. Untuk mencegah hal ini, status nutrisi dari tanaman dan tanah
perlu dinilai sebelum penerapan pupuk anorganik.
Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian. Dalam
dunia modern, saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada
zaman dahulu, jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai atau
sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mengalirkan air tersebut ke lahan pertanian.
Namun, irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah
kemudian menuangkan pada tanaman satu per satu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di
Indonesia biasa disebut menyiram.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat
dilakukan untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak Mesir Kuno.
Sejarah Irigasi di IndonesiaSunting
Pelajari selengkapnya
Saluran primer sistem irigasi Bendung Bila, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan
Pintu air yang berfungsi membagi saluran primer menjadi tiga buah saluran sekunder
Irigasi LokalSunting
Sistem ini air distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku gravitasi, di mana
lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun air yang disebar hanya terbatas sekali
atau secara lokal.
Semenjak manusia mengenal bercocok tanam, maka usaha untuk memperoleh hasil maksimal
telah dilakukan.. Berbagai cara dilakukan, namun hasilnya selalu belum memuaskan.Penyebab
berkurangnya hasil usaha tani karena faktor abiotis dan biotis. Faktor abiotis itu berupa gangguan
yang disebabkan oleh faktor fisik atau kimia, seperti keadaan tanah, iklim dan bencana alam.
Sedangkan faktor biotis adalah makhluk hidup yang menimbulkan kerusakan pada tanaman, seperti
manusia, hewan/binatang, serangga, jasad mikro ataupun submikro dan lain sebagainya. Setelah
diketahui kedua faktor tersebut sebagai pembatas ( penyebab produksi tanaman tidak maksimal ),
maka usaha untuk meningkatkan dan mengurangi kehilangan hasil mulai dilaksanakan.
Setelah perang dunia kedua, yakni pada tahun lima puluhan, terjadi penggunaan pestisida dan
pupuk kimia yaitu pemakaian bubur bordeux dan DDT yang berlebihan. Memang pada kenyataan
terjadi peningkatan hasil karena faktor biotis dapat dikendalikan. Sehingga pemakaian bahan ini
menjadi hal yang penting (utama) dalam dunia pertanian saat itu.Setelah berlangsung bertahun-
tahun akhirnya penggunaan bahan kimia tidak lagi memberikan solusi peningkatan hasil-hasil
pertanian. Hal ini disebabkan serangga / hama/ penyebab penyakit justru menjadi tahan ( resisten )
terhadap penggunaan bahan kimia tersebut. Tetapi setelah diketahui efek negatifnya, maka
penggunaan DDT dilarang. Pada tahun enam puluhan terjadi revolusi hijau (”Green revolution”) yang
lebih intensif dalam penggunaan varietas berpotensi hasil tinggi, anakan yang banyak, pengaturan
tata air, perlindungan tanaman dan pemupukan. Pada awalnya, usaha ini dapat memberikan hasil
pertanian yang memuaskan, namun beberapa tahun berikutnya terlihat gejala-gejala negatif
mempengaruhi pertanian itu sendiri, lingkungan dan kesehatan. Efek negatif tersebut berupa
timbulnya hama dan patogen yang tahan terhadap pestisida, munculnya hama baru, terjadinya
peningkatan populasi hama dan patogen sekunder, berkurangnya populasi serangga yang
bermanfaat, keracunan terhadap ternak dan manusia, residu bahan kimia dalam tanah dan
tanaman, dan kerusakan tanaman. Memperhatikan berbagai efek negatif yang terjadi dari
penggunaan bahan kimia tersebut, maka mulai diadakan penelitian-penelitian yang mengarah
kepada penggunaan jasad hidup untuk penanggulangan kerusakan di dunia pertanian, yang dikenal
dengan pengendalian biologi (”Biologic control”). Dalam metode ini dimanfaatkan serangga dan
mikro organisme yang bersifat predator, parasitoid, dan peracun. Usaha untuk meningkatkan hasil
pertanian terus berlanjut dengan memperhatikan aspek keamanan lingkungan, kesehatan manusia
dan ekonomi, maka muncul istilah ”integrated pest control”, integrated pest control dan selanjutnya
menjadi integrated pest management (IPM), yang dikenal dengan Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) juga ada istilah Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT).
Pengendalian hama dan penyakit serta gulma secara terpadu akan menjangkau beberapa aktivitas,
yaitu:
1.) Penggunakan varietas tahan dalam proses pelepasan beruntun (sequencetial),
asosiasi, dan kultur teknis untuk mencegah perkembangan hama dan penyakit;
jangka panjang, terhadap sistem produksi dan implikasinya terhadap lingkungan guna
6.) Penyimpanan dan penggunaan bahan kimia yang sesuai dan terigristasi untuk
7.) Pengamanan penyimpanan bahan kimia dan hanya digunakan oleh personel yang
(knowledgeable persons);
8.) Pengamanan peralatan yang digunakan untuk mengatasi bahan kimia dengan
meningkatkan keamanan dan pemeliharaan standar; dan
9.)Pemeliharaan catatan secara akurat dari insektisida yang dipakai.
Pengembangan PHT dalam pertanian berkelanjutan didasari oleh resisitensi hama terhadap
insektisida sebagai dampak dari penerapan pertanian modern yang terbukti telah menurunkan
kualitas sumberdaya alam. Di lain pihak, pengembangan pertanian berkelanjutan juga didasari oleh
munculnya gerakan pertanian organik.
Sebagai contoh pada budidaya padi : Pada musim hujan, hama dan penyakit yang biasa merusak
tanaman padi adalah tikus, wereng coklat, penggerek batang, lembing batu, penyakit tungro, blas,
dan hawar daun bakteri, dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Dalam keadaan
tertentu, hama dan penyakit yang berkembang dapat terjadi di luar kebiasaan tersebut.
Misalnya, pada musim kemarau yang basah, wereng coklat pada varietas rentan juga menjadi
masalah. Sedangkan pada musim kemarau, hama dan penyakit yang merusak tanaman padi
terutama adalah tikus, penggerek batang dan walang sangit.
Sebelum tanam atau periode bera, pada singgang (tunggul jerami padi) adakalanya terdapat larva
penggerek batang, virus tungro, dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan jamur.
Dalam jerami bisa juga terdapat skeloratia dari beberapa penyakit jamur. Tikus bisa juga terdapat
pada tanaman lain atau pada tanggul irigasi. Pada lahan yang cukup basah, keong mas juga dapat
ditemukan. Semua hama dan penyakit ini bisa berkembang pada pertanaman berikutnya. Sementara
itu, di pesemaian bisa ditemukan tikus, penggerek batang, wereng hijau, siput murbai, dan tanaman
terinfeksi tungro.
Pada stadia vegetatif ditemuai hama siput murbai, ganjur, hidrelia, tikus, penggerek batang, wereng
coklat, hama penggulung daun, ulat grayak, lembing batu, tungro, penyakit hawar daun bakteri, dan
blas daun. Sedangkan pada stadia generatif, ditemukan tikus, penggerek batang, wereng coklat,
hama penggulung daun, ulat grayak, walang sangit, lembing batu, tungro, penyakit hawar daun
bakteri, blas leher, dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Untuk pengendaliannya,
perlu dimplementasikan langkah-langkah Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu (PHT).
Penggunaan pestisida merupakan komponen pengendalian yang dilakukan sebagai alternatif pilihan
terakhir apabila teknis -teknis yang dilakukan sebelumnya tidak membuahkan hasil, dan
pertimbangan-pertimbangan tertentu apabila ;
(a) populasi hama telah meninggalkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu dalam
(b) komponen-komponen pengendalian lainnya tidak dapat berfungsi secara baik, dan
(c) keadaan populasi hama telah berada di atas Ambang Ekonomi
Ambang Ekonomi adalah kepadatan populasi hama yang memerlukan tindakan pengendalian untuk
mencegah peningkatan populasi hama berikutnya yang dapat mencapai Aras Luka Ekonomi, ALE
(Economic Injury Level). Sedangkan ALE didefinisikan sebagai padatan populasi terendah yang
mengakibatkan kerusakan ekonomi. Kerusakan ekonomi terjadi bila nilai kerusakan akibat hama
sama atau lebih besarnya dari biaya pengendalian yang dilakukan, sehingga tidak terjadi kerugian.
Dengan demikian AE merupakan dasar pengendalian hama untuk menggunakan pestisida kimia.
Penggunaan varietas tahan telah terbukti dapat mengurangi kehilangan hasil, namun penggunaan
varietas tahan yang memiliki gen ketahanan yang tunggal akan memacu timbulnya biotipe dan strain
atau ras-ras baru yangs akan lebih berbahaya. Untuk itu dianjurkan melakukan pergiliran varietas
atau melakukan penanaman varietas padi yang memiliki berbagai tingkat ketahanan. Tindakan ini
telah berhasil dalam menekan perkembangan penyakit blas dan tungro di Sulawesi Selatan. Karena
pencapuran menanam padi yang memiliki keragaman tingkat ketahanan ini merupakan tindakan
untuk meningkatkan diversifikasi lingkungan yang dapat menekan laju perkembangan populasi hama
atau patogen.
Pada tingkat ini adalah peran dari para peneliti pertanian. Bagaimana mereka dapat menciptakan
varietas tanaman yang tahan terhadap hama dan penyakit dan tentu saja dengan hasil yang lebih
baik dari varietas sebelumnya. Sedangkan peran petani adalah dengan menanam jenis / varietas
yang telah lolos uji dan terbukti menguntungkan bagi petani.
2. Pengendalian Hama dan Penyakit dengan dilakukan secara Fisik dan mekanik
Pengendalian hama atau penyakit dengan cara ini biasanya dilakukan pada usaha pertanian dalam
skala kecil atau dalam rumah kawat atau rumah kaca. Pengendalian hama atau penyakit dengan
fisik adalah penggunaan panas dan pengaliran udara. Sedangkan mekanik adalah usaha
pengendalian dengan cara mencari jasad perusak tanaman, kemudian memusnahkannya. Cara ini
dapat dilakukan dengan tangan atau menggunakan alat berupa perangkap.
Terkadang cara ini lebih efektif untuk menekan populasi hama dan tentu saja dengan
memperhatikan waktu dan tempat yang tepat. Misalnya untuk mengendalikan hama ulat
jengkal yang aktivitas hidupnya pada siang hari hal ini akan efektif tetapi akan terasa berbeda
apabila mengendalikan hama ulat grayak/ ulat tanah secara fisik pada siang hari karena ulat
grayak / ulat tanah tidak akan ditemukan pada siang hari, demikian juga untuk hama-hama
yang lain. Juga perhatikan siklus dari serangga hama maksudnya apabila anda ingin
mengendalikan hama ulat tetapi saat ini siklusnya untuk daerah tersebut sudah menjadi kupu-
kupu atau ngengat, maka jangan berharap anda bisa menemukan ulat yang anda maksud.
Untuk itu kenali dahulu karakteristik dan sifat dan siklus ddari serangga hama yang akan kita
kendalikan secara fisik.
3. Pengendalian Hama dan Penyakit dengan dilakukan dengan cara Bercocok tanam
Berbagai usaha dalam bercocok tanam dapat menekan perkembangan jasad pengganggu
tanaman, mulai dari pengolahan tanah, jarak tanam, waktu tanam, pengaturan pengairan,
pengaturan pola tanam, dan pemupukkan
Tanam serempak.
Di lahan irigasi dengan penanaman serempak, hama lebih menonjol dari pada penyakit. Berdasarkan
luas serangannya, hama yang dominan merusak tanaman padi adalah tikus, wereng coklat, dan
penggerek batang . Adakalanya keong mas, ganjur, lembing batu, ulat grayak, walang sangit, dan
penyakit hawar daun bakteri juga dapat berkembang secara sporadis di lokasi tertentu. Sedangkan
tanam tidak serempak dalam satu hamparan terjadi karena latar belakang teknis dan sosial. Pada
pola tanam tidak serempak, penyakit tungro selain hama tikus sering menyebabkan instabilitas hasil.
Namun demikian, resiko rendahnya hasil akibat serangan hama dan penyakit dapat dihindari dengan
pola tanam serempak.
Pada saat ini petani dalam bercocok tanam agak berbeda dari beberapa tahun yang lalu, kalau
dahulu para petani (petani budidaya padi ) melakukan penanaman serentak dalam satu daerah
tertentu selah olah ada yang memberi komando, sedangkan pada akhir-akhir ini petani cenderung
sendiri-sendiri dalam melakukan pola bercocok tanamnya. Menurut pengamatan penulis banyak
ditemukan tanaman padi yang berbeda jauh waktu penanamannya terbukti pada satu hamparan
persawahan yang bersebelahan, lahan satu sudah siap panen sedangkan lahan disebelahnya
tanaman padinya dalam proses bunting susu. Hal ini menyebabkan populasi hama atau penyakit di
daerah tersebut selalu ada / tidak terputus siklusnya. Jika hal ini terus berlanjut maka keberadaan
hama atau penyakit dihamparan tersebut akan selalu ada.
Pengolahan tanah.
Secara umum untuk melakukan penanaman padi, tanah diolah secara sempurna, sampai
pelumpuran, sehingga perakaran tanaman dapat tumbuh sempurna. Tetapi dibeberapa daerah,
petani mengolah tanah tidak sempurna sehingga timbul berbagai masalah. Dari beberapa laporan,
bahwa tanaman padi yang ditanam pada tanah yang tidak mendapat pengolahan sempurna terjadi
peningkatan intesitas penyakit mentek yang disebabkan oleh nematoda Radophollus oryzae.
Hama tanaman padi seperti kepinding tanah, wereng coklat dan penggerek batang akan meningkat
populasinya, jika tunggul tanaman padi tidak segera dibongkar dan tanah tidak diolah dengan
sempurna. Hasil penelitianmemperlihatkan bahwa perilaku hama penggerek batang padi punggung
putih pada saat panen berada diposisi 10 cm dari permukaan tanah. Karena itu, dianjurkan
pemanenan dengan sabit dan memotong batang padi kurang dari 10 cm dari permukaan tanah dan
tanah segera diolah atau digenangi air. Jarak tanam. Pengaturan jarak tanam sebagai salah satu
komponen pengendalian merupakan merobahan iklim mikro (iklim sekitar tanaman) sedemikian
rupa, sehingga tidak menguntungkan bagi perkembangan hama atau patogen (penyebab penyakit).
Hasil pengkajian BPTP Sumatera Barat terhadap penerapan sistem tanam legowo 4:1 pada padi
sawah dapat mengurangi serangan hama tikus.
Demikian juga terhadap intensitas penyakit blas, bercak daun coklat, busuk batang dan hawar daun
bakteri dan beberapa penyakit yang disebabkan jamur akan berkurang pada pertanaman padi
berjarak tanam longgar dan meningkat serangannya pada jarak tanam rapat, apalagi di musim
hujan. Karena jarak tanam yang rapat akan meningkatkan kelembaban udara di sekitar tanaman
yang akan menguntungkan bagi kehidupan jamur dan bakteri.
Waktu tanam.
Iklim berpengaruh terhadap kehidupan jasad pengganggu tanaman, untuk menghindari kerusakan
pada tanaman yang diakibatkan oleh jasad pengganggu tersebut perlu menentukan waktu tanam
yang tepat. Dari pengamatan pertanaman padi gogo di daerah transmigrasi Sitiung terlihat bahwa
infeksi blas meningkat pada pertanaman yang ditanam pada bulan Agustus dan September,
sedangkan penanaman di luar bulan-bulan tersebut infeksi blas terlihat rendah bahkan dapat
terhindar dari infeksi blas. Karena pada bulan-bulan tersebut terjadi musim hujan yang hampir
merata setiap hari dengan curah hujan rendah sampai sedang. Keadaan yang seperti ini telah
terbukti bahwa spora jamur penyebab blas (Pyricularia oryxae) banyak dilepaskan ke udara, dan
spora-spora ini akan menginfeksi tanaman padi sehingga menimbulkan kerusakan tanaman.
Dari hasil penelitian penyakit tungro di Sulawesi Selatan menyatakan bahwa varietas padi Cisadane
yang rentan terhadap wereng hijau dan penyakit tungro, ternyata terhindar dari serangan tungro
dan wereng hijau, jika ditanam pada akhir Desember atau awal Januari. Hal ini disebabkan populasi
wereng hijau yang infektif sangat rendah sampai akhir fase rentan varietas Cisadane.
Demikian juga terjadi pada tanaman kacang panjang / tanaman buncis. Populasi hama Apis / kutu
apis akan berkurang pada musim hujan dan akan meningkat pada musim kemarau. Hal serupa juga
terjadi pada hama kubis Plutella xytostella.
Penyakit bercak coklat sempit yang disebabkan oleh jamur Cercospora janseana pada musim
kemarau memperlihatkan gejala serangan yang meningkat . Untuk itu hindari menanam varietas
rentan pada musim kemarau.
Pengaturan pengairan.
Air merupakan kebutuhan utama pada tanaman padi pada fase pertumbuhan (Vegetatif), tetapi
kebutuhan air ini perlu pengaturan supaya tanaman terhindar dari kerusakan oleh jasad
pengganggu. Serangan keong mas akan meningkat pada tanaman padi yang berumur kurang dari
satu bulan di lapangan, jika digenangi dengan air. Untuk mencegah kerusakan oleh keong mas, maka
tanaman padi yang baru dipindahkan dari persemaian sampai bunting diairi secukupnya. Sedangkan
untuk menghindari serangan penggerek batang, kepinding tanah, wereng coklat dan tikus perlu
menggenangi lahan.
Menanaman tanaman padi terus menerus, apalagi dengan menanam tanaman yang memiliki tingkat
ketahanan sama dengan tanaman sebelumnya, akan memberi peluang untuk meningkatnya populasi
jasad perusak tanaman. Karena keadaan ini merupakan lingkungan yang sesuai dan tersedianya
sumber makanan sepanjang musim bagi hama atau patogen. Untuk itu perlu pengaturan pola tanam
berupa pergiliran tanaman padi dengan tanaman palawija atau sayur-sayuran. Pergiliran tanaman
dapat juga dilakukan dengan melakukan pergiliran tingkat ketahanan tanaman padi. Pola tanam
tumpang sari dalam areal penanaman padi dengan tanaman lain bukan padi dapat pula dilakukan
untuk meningkatkan keragaman ekologi. Keadaan ini memungkinkan untuk berkembangnya
predator dari hama tanaman padi pada tanaman bukan padi.
Pemupukan.
Untuk meningkatkan hasil, petani cenderung melakukan pemupukan yang berlebihan, tindakan ini
tidak saja merupakan pemborosan, tetapi juga memberi peluang tanaman padi terinfeksi patogen
atau dirusak hama. Pemupukan nitrogen yang berlebihan pada tanaman padi gogo dan padi sawah
mengakibatkan tanaman rentan terhadap infeksi penyakit blas dan bercak daun coklat
Meningkatnya populasi hama penggerek batang dan wereng coklat dilaporkan ada hubungannya
dengan tingginya dosis pupuk nitrogen yang diberikan. Untuk menentukan kebutuhan nitrogen
tanaman padi dianjurkan menggunakan bagan warna daun, sehingga pemberian pupuk sesuai
dengan kebutuhan tanaman. Sedangkan pemberian pupuk yang mengandung unsur silika (Si),
Kalium (K) dan Calsium (Ca) dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap berbagai hama dan
patogen
Predator serangga hama adalah mahluk hidup yang secara aktif memangsa serangga hama. Pada
umumnya ukuran predator lebih besar dari serangga hama. Parasitoid ( parasit serangga hama )
adalah mahluk hidup / agensia hidup dalam melakukan siklus hidupnya dengan memanfaatkan
serangga hama baik secara langsung maupun melalui telur serangga hama ( pasitoid telur ).
Parasitoid biasanya berukuran lebih kecil dari serangga hama walaupun tidak seratus persen.
Parasitoid akan masuk kedalam tubuh serangga hama dan berkembang biak didalam tubuh serangga
tersebut.
Penggunaan predator berupa laba-laba dan jamur Metarizium untuk pengendalian wereng coklat
telah dilaporkan tingkat keberhasilannya, tetapi keberhasilan tersebut masih dalam tingkat
penelitian di laboratorium atau dirumah kaca. Sedangkan dilapangan belum mencapai
keberhasilan yang optimal, karena berbagai faktor yang menghalangi perkembangan predator
dan parasitoid tersebut.
Misalnya parasitoid yang berupa mikro organisme sangat rentan terhadap perubahan faktor iklim.
Sehingga kehidupannya akan cepat terganggu jika terjadi perubahan suhu atau kelembaban udara.
Demikian juga serangga parasitoid yang menempatkan telurnya pada inangnya berupa hama
tanaman. Efektifitasnya akan terlihat jika populasi hama tanaman
2. Menanam tanaman dengan varietas yang tahan terhadap hama dan penyakit
3. Melakukan pola bercocok tanam yang menguntungkan bagi musuh alami misalnya dengan
tumpang sari, atau melakukan bera terhadap tanah garapan dan cara- cara yang lain. 4.
menggunakan pestisida.
5. Pilih Pestisida alami / Pestisida Nabati terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk
menggunakan pestisida kimia, karena pestisida alami / Pestisida nabati biasanya lebih ramah
yang selektif hanya membunuh serangga hamanya saja, dan dampak pestisida tersebut
7. Mengembangbiakkan musuh alami hama. Cara ini membutuhkan ketrampilan dan keahlian
khusus, karena berdasarkan pengalaman kami, musuh alami hama akan berkembang di alam
tetapi pada saat dibiakkan secara invitro maupun invivo dalam rumah kaca akan mengalami
kesulitan- kesulitan.
Kira kira hal hal tersebut diatas yang bisa dilakukan oleh petani dalam upaya mengendalihan hama
dan penyakit secara biologi. Dan apabila ada cara lain yang menurut anda lebih efektiv mohon kami
diberi tahu melalui email.
Tips-Tips menggunakan dan memilih Pestisida Kimia dalam mengendalikan Hama atau
penyakit : 1. Kenali dulu Gejala pada tanaman hal ini sangat penting untuk menentukan
penyebab kerusakan pada tanaman. Apakah kerusakan pada tanaman disebabkan oleh hama
atau gejala yang timbul adalah penyakit. Apabila serangga hama maka semprot dengan
Insektisida tetapi kalau gejala adalah penyakit maka perlu pengamatan lebih lanjut
penyebabnya. Apa karena jamur atau bakteri atau karena micro organisme; Apabila kerusakan
karena jamur maka gunakan Fungisida dan apabila kerusakan kerena bekteri maka gunakan
bakterisida demikian juga seterusnya
2. Dalam memilih pestisida tanyakan kepada pelayan toko mengenai tipe dari pestisida tersebut ?
apakah racun kontak- racun pernafasan -racun lambung atau racun yang bersifat sistemik.
Apabila populasi hama dapat dilihat secara fisik / keberadaan hama ada di tanaman maka pilih
pestisida yang bersifat racun kontak atau racun pernafasan karena racun ini akan segera membutuh
hama apabila bahan aktif pestisida bersangkutan terkena secara fisik pada bagian tubuh hama.
Tipe Pestisida racun kontak dan racun pernafasan akan efektif apabila bahan aktif terkena/
terhirup oleh serangga hama.
Apabila hama tanaman tidak tampak secara fisik/ sedang sembunyi / aktifnya pada malam hari dan
tidak memungkinkan bagi petani melakukan penyemprotan pada malam hari maka lihatlah gejala
yang tampak apakah bagian tanaman terlihat rusak secara fisik seperti adanya gigitan serangga hama
atau tidak. hal ini untuk mengetahui tipe alat mulut dari serangga hama perusak tanaman. Apabila
serangga hama memiliki tipe alat mulut menggit dan mengunyah maka pilih Pestisida dengan tipe
racun lambung. Dan apabila serangga hama memiliki alat mulut yang bertipe mencucuk dan
menghisap seperti golongan kutu- wereng- walang sangit- apis dll maka gunakanlah Pestisida dengan
tipe racun Sistemik. karena bahan aktif akan masuk kedalam jaringan tanaman sehingga apabila
serangga yang bersangkutan menghisap cairan tanaman maka bahan aktif akan juga terhidap oleh
serangga hama dan serangga hama bersangkutan akan mati karena bahan aktif tersebut.
PHT pengendalian tikus, dimulai dari saat pratanam sampai fase primordia.
3. Persiapan lahan dan bahan untuk pengendalian tikus dengan sistem perangkap bubu (SPB)
4. Meningkatkan koordinasi antar petani dan aparat terkait agar pengendalian tikus dapat
4 Apabila perkembangan hama dan penyakit telah melebihi ambang kendali perlu dilakukan
REFERENSI
1. Horsfall, J. G. And Ellis, B. C. 1977. Plant disease an advanced treatise. How disease is managed.
Vol I. Academic Press New York, San Francisco, London.
2. Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih, S., dan S. Abdulrachman. 2003. Petunjuk Teknis
Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu.
Departemen Pertanian;
3. Semangun H. 1990. Penyakit-penyakit tanaman pangan di Indonesia. Gadjah Mada