Anda di halaman 1dari 16

TUGAS HUKUM LEMBAGA PEMBIAYAAN

DISUSUN OLEH:

NAMA : TILANA YUSI HASNA

NPM : 17100087

KELAS/SEMESTER : 02/VI

FAKULTAS HUKUM PRODI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA

2020
A. SEWA GUNA USAHA
1. Pengertian Sewa Guna Usaha
Sewa Guna Usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun
sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee
(perusahaan atau perseorangan yang menggunakan barang modal) selama jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
2. Macam Sewa Guna Usaha
Dibedakan dua macam sewa guna usaha (leasing), yaitu:
a. sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease); dan
b. sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).
Dalam sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan sewa guna usaha (lessor)
adalah pihak yang membiayai penyediaan barang modal. Penyewa guna usaha (lessee)
biasanya memilih barang modal yang dibutuhkan dan atas nama perusahaan sewa guna
usaha, pemilik barang tersebut, melakukan pemesanan, pemeriksaan, serta
pemeliharaan barang modal yang menjadi objek transaksi sewa guna usaha. Selama
masa sewa guna usaha, penyewa guna usaha melakukan pembayaran sewa guna usaha
secara berkala dimana jumlah seluruhnya ditambah dengan pembayaran nilai sisa
(residual value), kalau ada, akan mencakup pengembalian harga perolehan barang
modal yang dibiayai serta bunganya, yang merupakan pendapatan perusahaan sewa
guna usaha.
Suatu kegiatan sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi mempunyai kriteria
sebagai berikut:
a. jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha (lease term)
ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan
barang modal dan keuntungan lessor;
b. masa sewa guna usaha sekurang-kurangnya:
1) 2 tahun untuk barang modal golongan I;
2) 3 tahun untuk barang modal golongan II dan III;
3) 7 tahun untuk golongan bangunan; dan
c. perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi leasee.
Dalam sewa guna usaha tanpa hak opsi, perusahaan sewa guna usaha membeli
barang modal selanjutnya disewa guna usahakan kepada penyewa guna usaha. Berbeda
dengan finance lease, jumlah seluruh pembayaran sewa guna usaha berkala dalam
operating lease tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
barang modal tersebut berikut bunganya. Perbedaan ini disebabkan karena perusahaan
sewa guna usaha mengharapkan keuntungan justru dari penjualan barang modal yang
disewa guna usahakan, atau melalui beberapa kontrak sewa guna usaha lainnya.
Kegiatan sewa guna usaha dapat digolongkan menjadi sewa guna usaha tanpa hak
opsi apabila:
a. jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama tidak
dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa guna usahakan
ditambah dengan keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor; dan
b. perjanjian sewa guna usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
Dalam praktiknya, financial leasing dibagi ke dalam bentuk sebagai berikut:
a. direct finance lease atau true lease, dimana pihak lessor membeli barang modal
atas permintaan lessee dan sekaligus menyewagunakan barang tersebut kepada
lessee. Lessee dapat menentukan spesifikasi barang yang diinginkan termasuk
penentuan harga supplier-nya.
b. sales dan lease back, dimana pihak lessee menjual barang modalnya kepada lessor
untuk dilakukan kontrak sewa guna usaha atas barang tersebut, metode ini biasanya
digunakan untuk menambah modal kerja pihak lessee.
3. Penggolongan Perusahaan Sewa Guna Usaha
a. Independent Leasing Company
Perusahaan leasing jenis ini mewakili sebagian besar dari industri leasing dimana
perusahaan ini berdiri sendiri atau independen dari pemasok yang mungkin dapat
memenuhi kebutuhan barang modal nasabahnya. Selain itu, perusahaan dapat
membelinya dari berbagai pemasok atau produsen yang kemudian disewa kepada
pemakai. Lembaga keuangan yang terlibat dalam usaha leasing adalah bank,
perusahaan asuransi, dan lembaga keuangan lainnya yang disebut sebagai lessor
indpenden.
b. Captive Lessor
Sering juga disebut two party lessor, yaitu dua pihak yang bekerja sama dalam
perusahaan leasing. Dua pihak tersebut adalah:
1) pihak pertama terdiri atas perusahaan induk dan anak perusahaan leasing
(subsidiary); dan
2) pihak kedua adalah lessee atau pemakai barang.
Captive lessor ini akan tercipta apabila pemasok atau produsen mendirikan
perusahaan leasing sendiri untuk membiayai produk-produknya. Hal ini dapat
teradi apabila pihak pemasok menyediakan pembiayaan leasing sendiri, maka akan
dapat meningkatkan kemampuan penjualan melebihi tingkat penjualan dengan
menggunakan pembiayaan tradisional.
c. Lease Broker
Berfungsi mempertemukan calon lessee dengan pihak lessor yang membutuhkan
suatu barang modal dengan cara leasing tetapi lease broker ini tidak memiliki
barang atau peralatan untuk menangani transaksi leasing untuk atas namanya.
Namun perusahaan ini memberikan satu atau lebih jasa-jasa dalam usaha leasing
yang tergantung pada apa yang dibutuhkan dalam suatu transaksi leasing.
Lease agreement adalah perjanjian yang dibuat antara lessor dengan lessee. Isi
kontrak yang dibuat secara umum antara lain memuat:
a. nama dan alamat lessee,
b. jenis barang modal yang diinginkan,
c. jumlah atau nilai barang yang di-leasing-kan,
d. syarat-syarat pembayaran,
e. syarat-syarat kepemilikan atau syarat lainnya,
f. biaya-biaya yang dikenakan,
g. sanksi-sanksi apabila lessee ingkar janji, dan lain-lain.
4. Persyaratan dan Ciri-ciri Sewa Guna Usaha
Beberapa persyaratan dan ciri-ciri leasing adalah:
a. Objek leasing, meliputi segala macam barang modal mulai dari pesawat terbang
hingga mesin dan komputer untuk keperluan kantor.
b. Pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing, penyewa (lessee) adalah
perusahan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan
dari perusahaan leasing (lessor). Hanya perusahaan yang telah mendapat izin dari
Kementerian Keuangan yang boleh menjadi lessor.
c. Pembayaran berkala dalam jangka waktu tertentu, pembayaran leasing dilakukan
secara berkala seperti setiap bulan, setiap kuartal, atau setiap semester.
d. Nilai sisa atau residual value, pada perjanjian leasing ditentukan suatu nilai sisa.
Hal ini tidak dikenal dalam perjanjian sewa-menyewa.
e. Hak opsi bagi lessee untuk membeli aktiva, pada akhir masa leasing, penyewa atau
lessee mempunyai hak untuk menentukan apakah dia ingin membeli barang
tersebut sebesar nilai sisa atau mengembalikan barang tersebut kepada pihak yang
menyewakan (lessor).
5. Manfaat Sewa Guna Usaha
Dilihat dari sudut pandang lessee, keuntungan pengguna jasa leasing adalah:
a. leasing sebagai sumber dana;
b. fleksibel, dalam hal pemakaian peralatan yang sangat peka terhadap perubahan
teknologi, seperti komputer, menyewa dengan cara leasing adalah lebih baik
daripada membeli; dan
c. menahan pengaruh inflasi, leasing melindungi lessee dari risiko penurunan nilai
uang yang disebabkan oleh inflasi. Besarnya angsuran yang dibayar oleh lessee
tetap sama, baik sebelum maupun setelah terjadinya inflasi.
Sedangkan dilihat dari sudut pandang lessor, keuntungan leasing adalah:
a. tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan lembaga keuangan (bank) merupakan
keuntungan lessor;
b. lessor mempunyai hak secara hukum untuk menjual barang lease dan biasanya hal
tersebut lebih mudah dan lebih cepat dilakukan dibandingkan dengan penjualan
lelang; dan
c. lessor mempunyai posisi yang lebih baik dibandingkan kreditor jika usaha lessee
mengalami kemacetan. Seandainya lessee tidak mampu memenuhi kewajiban
dalam kontrak leasing-nya, lessor berhak untuk menarik kembali miliknya, karena
secara hukum lessor masih dinyatakan sebagai pemilik barang tersebut.
6. Kelebihan Sewa Guna Usaha sebagai Sumber Pembiayaan
Leasing sebagai alternatif sumber pembiayaan memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan sumber-sumber pembiayaan lainnya, antara lain sebagai berikut:
a. Pembiayaan penuh, transaksi leasing sering dilakukan tanpa perlu uang muka dan
pembiayaannya dapat diberikan sampai 100% (full pay out). Hal ini akan
membantu cash flow terutama bagi perusahaan (lessee) yang baru berdiri atau
beroperasi dan perusahaan yang mulai berkembang.
b. Lebih fleksibel, dipandang dari segi perjanjiannya, leasing lebih luwes karena
leasing lebih mudah menyesuaikan keadaan keuangan lessee dibandingkan dengan
perbankan. Pembayaran angsuran secara berkala dapat disesuaikan dengan
pendapatan yang dihasilkan objek yang di-lease. Artinya pembayaran sewa baru
dilakukan setelah barang modal yang di-lease tersebut sudah mulai produktif.
Selain itu perusahaan leasing dapat melakukan pengaturan pembayaran yang
menggelembung (balloon payment) pada awal atau akhir masa lease, pembayaran
musiman (khusus apabila lessee bergerak dalam bidang pertanian, perkebunan, atau
peternakan) bahkan mungkin pula suatu tenggang waktu pembayaran yang sesuai
dengan keadaan keuangan lessee.
c. Sumber pembiayaan alternatif, leasing merupakan sumber pembiayaan lain bagi
perusahaan tanpa mengganggu fasilitas kredit (credit line) yang telah dimiliki. Dari
segi jaminan leasing tidak terlalu menuntut adanya jaminan tambahan yang lebih
banyak dibandingkan apabila lessee memperoleh pinjaman dari pihak lainnya.
Karena hak kepemilikan sah atas objek lease serta pengaturan pembayaran lease
sesuai dengan pendapatan yang dihasilkan oleh objek lease sehingga merupakan
jaminan bagi leasing itu sendiri. Dengan demikian harta yang telah dijaminkan
untuk kredit tetap dapat menjamin kredit yang sudah ada.
d. Off balance sheet, tidak adanya ketentuan keharusan mencantumkan transaksi
leasing dalam neraca memberi daya tarik tersendiri kepada lessee karena tanpa
mencantumkan sebagai aktiva berarti prosedur pembelian barang tidak perlu
dipenuhi secara terperinci karena mungkin masih dalam batas kewenangan direksi
(sering kali kewenangan pembelian barang modal baru sah apabila disetujui Dewan
Komisaris atau bahkan Rapat Pemegang Saham). Dengan demikian keputusan
secara cepat dan tepat dapat lebih mudah dilakukan oleh direksi. Di pihak lain,
tanpa mencantumkan sebagai aktiva berarti tidak ada keharusan mencantumkannya
sebagai kewajiban. Hal ini mempunyai dampak positif terhadap kondisi rasio
keuangan perusahaan lessee karena transaksi leasing tersebut tidak akan terlihat
dalam neraca lessee sebagai komponen utang. Kondisi ini disebut off balance sheet
financing.
e. Arus dana, keluwesan pengaturan pembayaran sewa sangatlah penting dalam
perencanaan arus dana karena pengaturan ini akan mempunyai dampak yang berarti
terhadap pendapatan lessee. Di samping itu, persyaratan pembayaran di muka yang
relatif lebih kecil akan sangat berpengaruh pada arus dana terlebih apabila ada
pertimbangan kelambatan menghasilkan laba dalam investasi.
f. Proteksi inflasi, leasing dapat merupakan pelindung terhadap inflasi meskipun
dalam beberapa keadaan sering dikatakan hal ini kurang relevan. Dalam tahun-
tahun berikutnya setelah kontrak leasing dilakukan, khususnya apabila leasing
berdasarkan tarif suku bunga tetap, maka lessee akan membayar dengan jumlah
tetap atas sisa kewajibannya yang berasal dari pelunasan pembelian yang dilakukan
di masa lalu.
g. Perlindungan akibat kemajuan teknologi, dengan memanfaatkan leasing, lessee
dapat terhindar dari kerugian akibat barang yang disewa tersebut mengalami
ketinggalan model dan teknologi disebabkan oleh pesatnya perkembangan
teknologi. Dalam suatu kontrak leasing objek leasing sering dimasukkan sebagai
perjanjian bahwa barang yang sedang disewa tersebut dapat ditukarkan dengan
barang yang serupa yang lebih canggih apabila di kemudian hari terdapat
penemuan-penemuan baru yang lebih unggul daripada produk barang yang sama.
h. Sumber pelunasan kewajiban, pembatasan pembelanjaan dalam perjanjian kredit
dapat diatasi melalui leasing karena pada umumnya pelunasan atau pembayaran
angsuran hampir selalu diperkirakan berasal dari modal kerja yang dihasilkan oleh
adanya barang yang di-lease. Sehingga kekhawatiran para kreditor terhadap
gangguan penggunaan modal kerja yang akan mempengaruhi pelunasan kredit
yang telah diberikan dapat diatasi.
i. Kapitalisasi biaya, adanya biaya-biaya tambahan selain harga perolehan seperti
biaya penyerahan, instalasi, pemeriksaan, konsultan, percobaan dan sebagainya
dapat dipertimbangkan sebagai biaya modal yang dapat dibiayai dalam leasing dan
dapat disusutkan berdasarkan lamanya leasing.
j. Risiko keusangan, dalam keadaan yang serba tidak menentu, operating lease yang
berjangka waktu relatif singkat dapat mengatasi kekhawatiran lessee terhadap
risiko keusangan (obsolescence) sehingga lessee tidak perlu mempertimbangkan
risiko pada tahap dini yang mungkin terjadi.
k. Kemudahan penyusutan anggaran, adanya pembayaran sewa secara berkala yang
jumlahnya relatif tetap akan merupakan kemudahan dalam penyusunan anggaran
tahunan lessee.
l. Pembiayaan proyek skala besar, adanya keengganan untuk memikul risiko investasi
dalam pembiayaan proyek yang seringkali menjadi masalah di antara pemberi dana,
masalah tersebut biasanya dapat diatasi melalui perusahaan leasing sepanjang
tersedianya suatu jaminan penuh yang dapat diterima dan/atau serta kemudahan
untuk menguasai barang yang dibiayai apabila terjadi suatu kelalaian.
m. Meningkatkan debt capacity, perolehan barang modal melalui leasing tidak
otomatis manaikkan debt equity ratio yang mempengaruhi bank ability dari lessee
yang bersangkutan.

B. ANJAK PIUTANG
1. Pengertian Anjak Piutang
Pengertian anjak piutang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor
448/KMK.017/2000 adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau
pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari
transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
Selanjutnya dipertegas dengan ketentuan Surat Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 172/KMK.06/2002 yang menyatakan bahwa kegiatan anjak piutang dilakukan
dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan; serta pengurusan, piutang atau tagihan
jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
2. Istilah-istilah dalam Anjak Piutang
Berikut ini istilah-istilah umum yang sering digunakan dalam transaksi anjak piutang
yang dilakukan di Indonesia, yaitu:
a. Factor, badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
pembelian dan/atau pengalihan, serta pengurusan piutang atau tagihan jangka
pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
b. Client, perusahaan yang menjual dan/atau mengalihkan piutang atau tagihannya
yang timbul dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
c. Piutang, kewajiban pembayaran customer kepada client atas barang yang telah
dibeli dan/atau jasa yang telah diberikan oleh client kepada customer.
3. Macam Jasa Anjak Piutang
Anjak piutang mempunyai dua macam jasa yang dapat ditawarkan kepada masyarakat:
a. Jasa pembiayaan (financing service), perusahaan anjak piutang melakukan
pembayaran di muka (prefinancing) kepada kreditur yang besarnya tergantung dari
kesepakatan kedua belah pihak. Kontrak dalam perjanjian dapat dibuat berdasarkan
without recourse atau dengan with recourse.
b. Jasa non pembiayaan (non financing service), kegiatan yang dilakukan meliputi
pemberian jasa pengelolaan administrasi kredit. Biasaya kegiatan jasa ini meliputi
analisis kelayakan suatu kredit, melakukan administrasi kredit, pengawasan
terhadap kredit termasuk pengendaliannya, dan perlindungan terhadap risiko suatu
kredit.
4. Pihak-pihak dalam Anjak Piutang
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan transaksi anjak piutang adalah:
a. Kreditur atau klien yang menyerahkan tagihannya kepada pihak anjak piutang
untuk ditagih atau dikelola atau diambil alih dengan cara dikelola atau dibeli sesuai
perjanjian dan kesepakatan yang telah dibuat.
b. Perusahaan anjak piutang, yaitu perusahaan yang akan mengambil alih atau
mengelola piutang atau penjualan kredit debiturnya.
c. Debitur, yaitu nasabah yang mempunyai masalah (hutang) kepada kreditur.
5. Kegiatan Anjak Piutang
Berkaitan dengan definisi anjak piutang, dalam kegiatan anjak piutang yang dilakukan
di Indonesia terdapat beberapa hal penting yang perlu digaris bawahi, yakni:
a. Transaksi anjak piutang dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu anjak piutang
dengan pembiayaan (financing activity) dalam bentuk pembelian dan/atau
pengalihan piutang dan anjak piutang non pembiayaan (non-financing activity)
dalam bentuk pengurusan piutang atau tagihan.
b. Transaksi anjak piutang dapat dilakukan untuk transaksi perdagangan domestik
(anjak piutang domestik) dan transaksi perdagangan antarnegara atau ekspor/impor
(anjak piutang internasional).
c. Objek pembiayaan anjak piutang adalah piutang atau tagihan jangka pendek suatu
perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
d. Pembiayaan anjak piutang hanya dapat dilakukan kepada perusahaan, bukan
kepada individual atau orang-perorangan.
Kegiatan anjak piutang pada prinisipnya merupakan pemberian kredit kepada
supplier dengan cara membeli piutang atau tagihannya kepada nasabahnya atau
customer-nya. Namun yang sesungguhnya terjadi adalah pemberian kredit itu diberikan
oleh supplier kepada pembeli, hanya saja proses penagihannya dilimpahkan kepada
factor yang sebelumnya telah menandatangani perjanjian anjak piutang.
6. Manfaat Anjak Piutang
Client yang telah mendapatkan dan/atau telah menerima fasilitas anjak piutang
financing dari transaksi domestik dari factor akan memperoleh manfaat dan
keuntungan dari transaksi yang telah dilakukannya, seperti client mempunyai akses
langsung atas penjualan/pendapatan yang dilakukan dalam bulan berjalan, karena client
tidak perlu menunggu waktu sampai pembayaran dari customer jatuh tempo yang
biasanya memakan waktu sesuai dengan perjanjian kredit, seperti 30, 60, 120 hari.
Sehingga likuiditas perusahaan selalu terjamin karena instant cash yang diperoleh
dapat digunakan untuk memperoleh peluang demi menekan biaya produksi dalam
bentuk price discount, quality discount, dan biaya-biaya lain yang berkaitan dengan
persediaan.
C. KARTU KREDIT
1. Pengertian Kartu Kredit
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, mengartikan kartu kredit
sebagai alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK) yang dapat digunakan
untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi,
termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana
kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau
penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu
yang disepakati, baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun dengan
pembayaran secara angsuran.
2. Pihak-pihak dalam Kartu Kredit
Dalam bisnis kartu kredit ada beberapa pihak yang terkait dalam lingkup kerjanya. Para
pihak yang terlibat dalam hubungan dengan kartu kredit adalah:
a. Pihak penerbit (card issuer), pihak penerbit kartu kredit ini terdiri dari:
1) bank,
2) lembaga keuangan yang khusus bergerak di bidang penerbitan kartu kredit,
3) lembaga keuangan, yang disamping bergerak di dalam penerbitan kartu kredit,
bergerak juga di bidang kegiatan-kegiatan lembaga keuangan lainnya.
b. Pihak pemegang kartu kredit (card holder), atau card member diartikan sebagai
pemegang kartu yang namanya tercetak di kartu dan berhak menggunakan kartu
pada merchant atau pedagang. Card holder adalah orang yang memegang kartu
kredit secara sah. Kartu kredit tidak dapat dipindah tangankan dan harus
ditandatangani oleh pemegang kartu kredit tersebut.
c. Pihak penjual barang/jasa (merchant), istilah tersebut diberikan kepada tempat-
tempat dimana kartu kredit dapat digunakan, seperti hotel, restoran, tempat hiburan,
dan lain-lain. Merchant adalah pihak-pihak yang menerima pembayaran kartu
kredit dari pemegangnya. Tempat-tempat yang menerima kartu kredit sebagai alat
memberikan tanda atau menempelkan lago dari kartu kredit yang diterima. Tidak
semua tempat dapat menjadi merchant dari kartu kredit. Seperti halnya card holder,
terhadap setiap merchant pun ditentukan pula batas atau yang biasanya disebut
floor limit. Floor limit adalah batas jumlah harga pembelian yang dapat dilayani
langsung tanpa meminta persetujuan dari pihak bank.
d. Pihak perantara (acquirer), terdiri dari perantara penagihan (antara penjual dan
penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit). Pihak
perantara penagihan (antara penjual dan penerbit
3. Jenis-jenis Kartu Kredit
Dalam membagi jenis-jenis kartu kredit, ada beberapa kriteria yang dapat menjadi
acuan, yaitu:
a. Lokasi penggunaan
Apabila lokasi penggunaan kartu kredit yang digunakan sebagai kriteria, maka
kartu kredit dapat dibagi ke dalam dua kategori sebagai berikut:
1) Kartu kredit internasional, dimaksudkan sebagai kartu kredit yang
penggunaannya dapat dilakukan dimana saja, tanpa terikat dengan batas
antarnegara. Walaupun kartu kredit tersebut diterbitkan di Indonesia,
pemegangnya yang kebetulan sedang berada di Eropa misalnya, dapat saja
membeli barang/jasa yang ada di Eropa tersebut memakai kartu kredit yang
bersangkutan. Contohnya Visa Card, Master Card, American Express, dan
sebagainya.
2) Kartu kredit lokal, hanya dapat digunakan di wilayah tertentu di suatu negara
tertentu saja. Kartu kredit yang demikian tidak mempunyai jaringan operasi
internasional. Contohnya Lippo Card, BCA Card, CIMB Niaga Card, Bukopin
Card, dan sebagainya. Namun demikian hampir semua kartu kredit yang
dikeluarkan oleh bank-bank di Indonesia dapat dipergunakan di manca negara.
b. Sistem pembayaran
Apabila sistem pembayaran yang dipergunakan sebagai kriteria, maka kartu kredit
(dalam arti luas) dapat dibedakan ke dalam dua kategori sebagai berikut:
1) Kartu kredit (dalam arti sempit), sering disebut juga credit card, pembayaran
dilakukan oleh pemegangnya dapat dilakukan secara cicilan. Walaupun tidak
menutup kemungkinan tentunya jika ingin dibayar lunas sekaligus. Apabila
pembayaran dilakukan secara cicilan, maka akan dikenakan bunga sesuai
dengan lamanya pembayaran. Jadi tidak ubahnya seperti mencicil kredit bank
biasa.
2) Kartu pembayaran lunas, atau sering juga disebut dengan charge card.
Penggunaannya tidak jauh berbeda dengan kartu kredit (dalam arti sempit),
dimana kartu pembayaran lunas ini juga dapat dipergunakan sebagai alat bayar
jika hendak membeli suatu barang/jasa tertentu degan prosedur yang sama
dengan kaartu kredit (dalam aarti sempit), antara lain dengan menandatangani
slip yang disodorkan oleh penjual barang/jasa. Bedanya dengan kartu kredit
(dalam arti sempit) hanya pada cara pebayaran lunas, sesuai dengan namanya,
maka pihak pemegang kartu tersebut akan melakukan pembayaran seluruh
transaksi yang dibuatnya pada saat ditagih oleh penerbitnya, jadi tidak dibayar
secara cicilan. Sehingga dengan menggunakan kartu pembayaran lunas, yang
terjadi sebenarnya hanyalah penundaan pembayaran, yakni tidak dilakukan
pada saat pembelian barang/jasa kepada pihak penjual, tetapi pada saat ditagih
oleh penerbit kartu tersebut sehingga pihak pemegang dalam melakukan
pembelian barang/jasa tidak perlu membawa-bawa cash kemana-mana untuk
berbelanja.
Selain jenis-jenis kartu kredit tersebut di atas, kartu kredit juga dapat dibedakan
sebagai berikut:
a. Berdasarkan sudut pandang penerbitan, kartu kredit dapat dibedakan menjadi kartu
kredit yang diterbitkan oleh bank dan lembaga keuangan lain yang bukan bank.
Kartu kredit yang diterbitkan oleh bank misalnya Visa Card dan Master Card,
sedangkan kartu kedit yang diterbitkan oleh lembaga keuangan selain bank mislnya
Dinners Club dan American Expresss.
b. Berdasarkan sudut pandang tujuan, kartu kredit dapat dibedakan menjadi kartu
kredit umum dan kartu kredit khusus. Kartu kredit umum adalah kartu kredit yang
dapat digunakan untuk bertransaksi dimana saja misalnya kartu kredit Visa dan
Master Card, sedangkan kartu kredit khusus adalah kartu kredit yang hanya dapat
digunakan di tempat bermain golf atau kartu belanja Carrefour yang hanya dapat
digunakan untuk berbelanja di swalayan Carrefour.
c. Berdasarkan sudut pandang fasilitas (jumlah limit kredit, kartu kredit dibedakan
atas kartu kredit Classic dan Gold. Kartu kredit classic memiliki limit kredit antara
Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) sampai Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah),
sedangkan kartu kredit gold memiliki limit kredit antara Rp 10.000.000,- (sepuluh
juta rupiah) sampai Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah). Dasar pembedaan ini
adalah jumlah pendapatan pemegang kartu kredit yang bersangkutan.
d. Berdasarkan sudut pandang pemegang kartu kredit, kartu kredit dibedakan atas
kartu kredit utama seperti Personal (Primary) Card dan Company Card, serta kartu
kredit pelengkap seperti Supplementary Card.
4. Unsur-unsur Kartu Kredit
Pada umumnya kartu kredit memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Nama penerbit;
b. Nomor kartu kredit;
c. Tahun sejak menjadi pemegang kartu;
d. Masa mulai berlakunya kartu;
e. Masa habis berlakunya kartu;
f. Nama pemegang kartu kredit; dan
g. Tanda tangan pemegang kartu.
5. Kartu Kredit
Bagi konsumen umum, kartu kredit bisa memberikan beberapa manfaat. Manfaat
paling nyata adalah transaksi belanja menjadi lebih aman. Dengan kartu kredit, kita
tidak perlu membawa uang tunai dalam jumlah besar di dalam dompet, sehingga risiko
kehilangan uang menjadi berkurang.
Belanja menggunakan kartu kredit juga banyak membantu pengguna yang suka
mencatat pengeluaran rumah tangga. Setiap akhir bulan akan ada laporan pembelian
barang yang dikirim bank penerbit. Dengan cara ini bisa mengontrol anggaran belanja
bulanan rumah tangga. Kartu kredit juga akan sangat memudahkan perjalanan kerja
atau perjalanan wisata ke luar negeri jika ada situasi mendesak. Saat membutuhkan
sejumlah uang, cukup menggesek kartu kredit tanpa perlu repot-repot menukar uang
rupiah dengan mata uang negara tujuan yang prosesnya lebih sulit dan mahal. Kartu
kredit juga lebih banyak diterima sebagai alat pembayaran di banyak negara di seluruh
dunia.
Kartu kredit juga bisa bermanfaat sebagai dana darurat. Transaksi memakai kartu
kredit memungkinkan untuk “menunda” pembayaran hingga saat jatuh tempo. Kartu
kredit tidak mengenakan bunga selama belum jatuh tempo. Kartu kredit bisa jadi
jaminan pembayaran biaya rumah sakit. Bagi pebisnis, kartu kredit bisa mendatangkan
manfaat melalui fasilitas dana tunai. Dana tunai merupakan pinjaman dalam bentuk
tunai (cash) tanpa agunan dengan menggunakan sisa limit kartu kredit yang dimiliki,
dan pembayarannya dapat dilakukan dengan sistem cicilan.
DAFTAR PUSTAKA

Sawir, Agnes. 2014. Kebijakan Pendanaan dan Restrukturisasi Perusahaan. Jakarta:


PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hrp, Ardhansyah Putra, dkk. 2020. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Surabaya:
CV. Jakad Media Publishing.

Rachmat, Budi. 2003. Anjak Piutang Solusi Cash Flow Problem. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.

Purnomo, Serfianto Dibyo, dkk. 2012. Untung dengan Kartu Kredit, Kartu ATM-Debit,
dan Uang Elektronik. Jakarta: Visi Media Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai