Anda di halaman 1dari 22

Suku Bangsa dan Identitas Sosial

Hubungan Antar Suku Bangsa

Kelompok 3:

Afifah Putri Novandari - 1806214576


Ajeng Berliana Pitaloka - 1806134644
Aldi Pahala Rizky - 1806134650
Alya Namira - 1806214525
Aulia Rahma - 1806134695
Madeline Evadne Nikijuluw - 1806214172
Suci Alifia Chasanah - 1806214645

Antropologi Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


UNIVERSITAS INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1
Tambahin yang Eriksen ya

Selain pandangan Eriksen, juga terdapat pandangan Brubaker yang lebih banyak
membahas mengenai term atau istilah identitas. Anggapan Brubaker berangkat dari anggapan
bahwa ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah menyerah pada kata “identitas”, yang
didalamnya mencakup unsur intelektual dan politik. Menurut Brubaker, pemaknaan identitas
yang selama ini dikenal terlalu ambigu, dan terbebani oleh konotasi reunifikasi identitas.
Pandangan-pandangan konstruktivis seolah-olah melunakkan dan menetapkan bahwa
identitas itu dibangun, berubah-ubah, dan dan tanpa sadar membuat kita membicarakan
identitas tanpa memeriksa dinamika serta klaim esensialis dari politik identitas kontemporer.
Brubaker menekankan bahwa saat kita melihat identitas tidak harus dilihat sebagai kategori
analitis untuk mengkonseptualisasikan identitas sebagai sesuatu yang dikonstruksi, dimiliki,
dicari, dibangun, dan dinegosiasikan saja, sehingga membebani kita dengan kosakata yang
tumpul, datar, dan tidak terdiferensiasi. Oleh karena itu, Brubaker memfokuskan
penulisannya ini identitas sebagai kategori analitis (​analytical category), ​untuk menghasilkan
identitas yang relatif tidak ambigu.

BAB II
PEMBAHASAN

T.H. Eriksen (2010), Ethnic Identification and Ideology


2.1. Pendahuluan
Jika pada pembahasan sebelumnya telah mempertimbangkan pemikiran mengenai
etnis dari sudut pandang behavioris yang menganggap bahwa proses inklusi dan eksklusi
sosial serta bentuk penggabungan etnis memiliki kaitan dengan interaksi dan integrasi sosial,
pada bab ini akan lebih membahas mengenai bagaimana identifikasi etnis dianggap sebagai
hal yang fundamental bagi individu, serta bagaimana keterikatan dan kesetiaan pada
kelompok etnis diciptakan dan dipertahankan. Sebelum itu, kita perlu memahami bagaimana
individu dalam memandang dan mengklasifikasikan lingkungan mereka dan bagaimana masa
lalu digunakan untuk memahami masa kini. Hal ini dikarenakan antropologi melihat proses
yang terjadi di antara masyarakat dan identitas secara konvensional dianggap ada di dalam
setiap individu padahal jika kita melihat konteks antropologi sosial, identitas mengacu pada
identitas sosial bukan yang ada di dalam individu. Eriksen dalam tulisannya mengatakan
bahwa akan lebih bijaksana ketika kita melihat hubungan sosial dan organisasi sosial, jika
kita ingin memahami identitas etnis, kita tidak dapat berasumsi bahwa kategori etnis
berdasarkan ‘fungsi’ tertentu, yang berarti untuk memahami identitas etnis kita harus
memahami apa itu klasifikasi etnis dan kepemilikan kategoris.

2.1.1. Order in the Social Universe


Banyak antropolog yang berpendapat bahwa masyarakat melakukan pengklasifikasian
yang menciptakan keteraturan pada tingkat simbolis dan sosial dengan membedakan antara
jenis atau fenomena kelas.
2.1.2. Anomalies
2.1.3. Entrepreneurs
2.1.4. Analog and Digital; We and Us

2.1.5 The Emergence of Ethnic Identities


Eriksen menjelaskan bahwa
2.1.6. The Creation of an Ancestral Identity

2.1.7. History and Ideology


2.1.8.Genetics, Kinship, and Ethnicity
2.1.9 ​Social Factors in Identity Processes
Pada kelas Hubungan Antar Suku Bangsa 15 Oktober 2020, mas Semiarto Aji
Purwanto menjelaskan bagaimana masyarakat di Papua meredefinisi identitas mereka sendiri
sebagai orang Papua terkait pemberian dana ‘otsus’ (otonomi khusus) setelah
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua (Kompas.com, 2020). Identifikasi terhadap identitas sebagai orang Papua
digunakan agar bantuan dapat sampai pada ‘tujuan’. Identitas orang Papua asli ditentukan
oleh keaslian ayah sebagai orang Papua karena identifikasi warna kulit sulit dibedakan
dengan orang-orang di Indonesia Timur lainnya. Indikasi dari kisah tersebut adalah ​‘utility’
sebagai faktor utama seseorang, maupun kelompok, dalam menyematkan ‘​ethnic identity​’
pada diri mereka sendiri. Namun, Eriksen mengingatkan bahwa utilitas merupakan ‘​cultural
creations’​ sehingga makna dari utilitas itu sendiri menjadi abu-abu (1994: 89).
Dua kasus spesifik yang menunjukkan bahwa utilitas tidak berlaku adalah ‘​Roma
(Gypsy) identity​’ dan ‘​Mauritian Creole​’. Orang Roma, sebagai etnis minoritas terbesar di
Eropa Timur, mengalami stereotip dari orang-orang Eropa sebagai orang kriminal sejak
migrasi mereka dari India sejak enam ratus tahun yang lalu (Silverman, 1995). Meskipun
begitu, orang Roma tetap memelihara identitas mereka untuk menunjukkan tampilan yang
berbeda dari ‘​mainstream society​’ (Okely dalam Eriksen, 1994: 89). Selain orang Roma,
orang Kreol juga mempertahankan identitas mereka walau tidak menguntungkan. Orang
Kreol menjadikan ‘​individual freedom​’ sebagai ‘​cultural trait​’ sehingga kehidupan organisasi
politik forman mereka semakin sulit karena memperjuangkan kehidupan sebagai orang yang
bebas. Berangkat dari kedua kasus tersebut, Eriksen menyarankan agar tidak perlu
memikirkan identitas sebagai bagian dari persaingan antar kelompok, melainkan melihat
identitas sebagai ‘​cultural fact”​ . (1994: 89).

2.1.10 ​Is European Identity Conceivable?


Pada umumnya, identitas disematkan kepada individu atas asal suku, agama, sampai
pada keberadaan individu sebagai warga negara. Namun, Eriksen mengangkat isu identitas
kepada level yang lebih luas, seperti identitas para warga Uni Eropa. Negara-negara anggota
dalam organisasi tersebut saling memperkuat integrasi dalam implementasi
kebijakan-kebijakan Uni Eropa. Indikasi penguatan integrasi terdiri dari beberapa bukti.
“​The common currency (euro) in January 2002 .... new member states from
Central and Eastern Europe in the first decade of the 20th century … the
Schengen Act (travel freely without a passport) … the pan-European
Champions’League in football …”​ (Eriksen, 1994: 90).

Walaupun begitu, ‘t​he shared European Heritage​’ dari rekayasa sosiokultural tidak dapat
membentuk ‘​the shared European Identity’​ begitu saja, bahkan sulit terjadi (Duroselle dalam
Eriksen, 1994: 91; Smith dalam Eriksen, 1994: 92). Pada awalnya, Eriksen melihat partai
‘​Green and Social Democrats’​ menampakkan indikasi bahwa identitas Eropa akan lahir
karena partai ‘​Green and Social Democrats​’ dari suatu negara Eropa bersatu dengan partai
‘​Green and Social Democrats’​ dari negara Eropa lainnya. Namun, berangkat dari kegagalan
meratifikasi ‘​the European Constitution’​ pada 2005, pada akhirnya, Eriksen merefleksikan
tiga aspek kemustahilan pembentukan ‘​the shared European Identity​’.
Aspek pertama adalah perebutan wilayah yang miskin oleh para elit politik dan
ekonomi. Artinya, integrasi yang ingin dicapai hanya berdasarkan pada ‘​perceptions of
utility’​ . ‘​Ideology production​’ menjadi aspek kedua karena tidak semua negara di Eropa
mengalami, serta memaknai, sejarah yang sama. Contoh yang diberikan Eriksen adalah
perbedaan sejarah Yunani dengan Turki, padahal sejarah Yunani diinterpretasikan sama
dengan sejarah Irlandia. Aspek kedua memunculkan indikasi lain bahwa interpretasi sejarah
dapat berbeda-beda. Produksi ideologi tidak hanya berasal dari sejarah, tetapi juga dapat
dibentuk dalam proses, seperti “​the new repertoire of Euro-symbols”​ (Shore dalam Erksen,
1994: 91-92). Akan tetapi, uang kertas Euro hanya menampilkan imajinasi lanskap (bangunan
Eropa), seperti “​Platonic ideal types​” yang menganggap ‘​mind​’ sebagai yang utama
dibandingkan material fisik (Nath, 2014: 22). Kemudian, aspek ketiga adalah sifat kurang
segmenter dari identitas negara-negara di Eropa. Artinya, indikasi keberadaan ketergantungan
pada sesama anggota Uni Eropa tidak tampak, tidak seperti kelompok suku Nuer dalam
penelitian Evans-Pritchard (Eriksen, 1994: 92). Pada akhirnya, tiga aspek tersebut
menggambarkan bagaimana penduduk di Eropa memilih menjadi ‘​citizens of a European
country’,​ bukan ‘​European citizens’​ .

2.1.11 ​ What do Identities do?


Kontestasi politik menjadi isu yang selalu menguak pada berbagai pembahasan
Pemilu (Pemilihan umum), mulai dari jabatan eksekutif, seperti presiden dan wakil presiden,
‘wakil rakyat’ (legislatif), sampai pada kepala desa. Pasalnya, perebutan posisi kekuasaan
identik dengan bagaimana suatu kelompok menjatuhkan kelompok lainnya. Berbagai cara
dilakukan oleh para kontestan untuk memenangkan perebutan posisi, seperti sosialisasi
program yang membawa kemajuan bagi daerah yang akan dipimpin, bahkan sampai pada
‘​black campaign​’. Kampanye hitam mengindikasikan penggunaan identitas oleh suatu
kelompok partai. Salah satu kasus adalah perkataan Ustadz Abdul Somad yang dipakai oleh
beberapa partai di Indonesia untuk
mempengaruhi ​interest​, atau
kecenderungan, masyarakat terhadap suatu partai politik. Berikut penjelasannya. Pada
akhirnya, isu-isu tersebut membawa dampak negatif bagi masyarakat yang hanya dianggap
sebagai ‘alat’ yang dapat dipermainkan oleh para pemangku kekuasaan.
Kasus di atas merupakan contoh dari apa yang dapat dilakukan oleh identitas. “​All
identities are identifications, all identifications are dialogical”​ (Baumann dalam Eriksen,
1994: 93). Seorang Youtuber lulusan jurusan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Raditya
Dika, pernah berkata, “Politik itu dinamis. Seseorang dapat berubah haluan kapan saja. Ada
yang menurut kita baik, ternyata dapat berubah dengan sangat cepat. Oleh karena itu, ​gue ga
pernah mau menunjukkan kecondongan politik ​gue

Gambar 1.1 Rasisme Para Elite

karena takut menggiring para ​subscriber gue pada pihak yang salah,” dalam salah satu
videonya. Dari pernyataan tersebut, muncul indikasi bahwa identitas dapat dipergunakan
untuk menyesuaikan kondisi pada situasi tertentu, yang, pada akhirnya, identitas dapat dilihat
sebagai sesuatu yang ​‘fluid’ k​ arena tidak jelas batasannya (Eriksen, 1994: 93). Herzfeld
menambahkan, “​Nor do they delve into the ‘cultural intimacy’ experienced by members of a
group’​ (dalam Eriksen, 1994: 93).

Brubaker (2004) ”Beyond Identity”

2.2. Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan Brubaker banyak menyatakan pendapatnya mengenai
terminologi identitas. Argumennya berangkat dari anggapan bahwa ilmu-ilmu sosial dan
humaniora telah menyerah pada kata “identitas”, yang didalamnya mencakup unsur
intelektual dan politik, artinya istilah identitas yang selama ini kita kenal ambigu, terbebani
oleh konotasi reifikasi “identitas”. Pandangan-pandangan konstruktivis mengenai identitas
seolah-olah berupaya melunakkan istilah tersebut, agar terbebas dari pandangan yang
esensialist, dengan menyatakan dan menetapkan bahwa identitas itu dibangun, berubah-ubah,
dan membuat kita tanpa alasan membicarakan identitas dan tidak memeriksa dinamika serta
klaim esensialis dari politik identitas kontemporer. Konstruktivisme yang melunakkan ini
memungkinkan identitas diduga dapat berkembang, tetapi saat sedang berkembang, istilah
tersebut kehilangan pembelian analisisnya. (Brubaker, 2004: 28)
Pada akhirnya, Brubaker menyatakan bahwa, identitas adalah istilah kunci dalam
idiom vernakular kontemporer politik, dan analisis sosial. Tidak mengharuskan menggunakan
“identitas” sebagai kategori analisis untuk mengkonseptualisasikan identitas sebagai sesuatu
yang dikonstruksi, dalam artian dimiliki, dicari, dibangun, atau dinegosiasikan seperti
pembahasan mengenai etnisitas sebagai identitas pandangan Barth dan Eriksen. Brubaker
menekankan pada pentingnya melihat pemaknaan istilah identitas jangan dilihat dari sisi
konstruktivisme saja yang mampu berubah, dibangun, dimiliki, dicari, dibangun, dan
dinegosiasikan saja, melainkan melihat pandangan yang Brubaker sebut ​“hard” dan klaim
esensialis dari politik identitas kontemporer untuk memenuhi semua tuntutan analisis sosial.
(Brubaker, 2004: 28-29)

2.2.1. ​The “Identity” Crisis in the Social Sciences


Pengenalan istilah identitas ke dalam analisis sosial dan difusi awalnya dalam ilmu
sosial dan publik yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1960. Lintasan yang paling penting
dan paling terkenal melibatkan apropriasi dan mempopulerkan karya Erik Erikson. Istilah
identitas sangat bergema pada saat itu, mampu melintasi batas-batas disipliner dan nasional
yang digunakan dalam bidang jurnalistik, leksikon akademis, dan meresap dalam praktik
bidang sosial dan politik. Keprihatinan identitas, khususnya di Amerika Serikat tercermin
dalam melihat masalah masyarakat massa (​mass society) dan pemberontakan di akhir tahun
1960-an, diikuti lahirnya pemberontakan ​Black power d​ an gerakan etnis lainnya, sebagai
contoh yang disebut Eriksen dengan budaya komunal (​communal culture) ​karena telah
dialihkan ke tingkat kelompok. Pertumbuhan klaim identitas di Amerika Serikat difasilitasi
oleh kelemahan kelembagaan komparatif politik kiri di Amerika Serikat dan oleh kelemahan
idiom berbasis kelas analisis sosial dan politik. Disini kita dapat melihat kelemahan politik
kelas di Amerika Serikat membantu menjelaskan banyaknya klaim identitas, seperti contoh
Calhoun yang melihat kelas yang dipahami sebagai identitas. (Brubaker, 2004: 29)
Pada pertengahan 1970-an, W.J.M. Mackenzie menggolongkan identitas sebagai
sebuah kata yang dikeluarkan dari akalnya sebagai penggunaan yang berlebihan, sedangkan
Robert Coles menilai gagasan identitas dan krisis identitas telah menjadi suatu klise yang
murni. Kemudian di 1980-1n, dengan munculnya ras, kelas, dan jenis kelamin sebagai trinitas
yang suci (​holy trinity),​ dari kritik sastra dan studi budaya humaniora ikut andil dalam
membahas identitas yang kabur ini. Di tahun 1990-an pembicaraan identitas (​identity talk​)
baik di dalam maupun di luar dunia akademisi terus berkembang. Terlepas dari kepedulian
yang meluas membahas mengenai “identitas” dalam kajian gender, seksualitas, ras, agama,
etnis, nasionalisme, imigrasi, gerakan sosial baru, budaya, dan politik identitas, semakin
berkembang dan menjadi bahan pembicaraan, bahkan mereka yang pekerjaannya tidak
pernah menjadi perhatian utama dengan topik-topik ini merasa berkewajiban untuk memberi
jawaban atas pertanyaan mengenai identitas. (Brubaker, 2004: 30-31)

2.2.2. ​Categories of Practice and Categories of Analysis


Dalam ilmu sosial terdapat banyak istilah, penafsiran, dan sejarah mengenai “ras”,
“bangsa”, “etnis”, “kewarganegaraan”, “demokrasi”, “kelas”, “komunitas”, dan “tradisi”
yang sekaligus menjadi kategori praktik sosial-politik dan kategori analisis sosial politik.
Kategori praktik (​category of practice),​ mengikuti pandangan Bourdieu adalah sesuatu yang
mirip dengan apa yang orang lain sebut sebagai kategori pribumi, rakyat, atau awam. Pada
kategori ini pengalaman sosial sehari-hari dikembangkan dan digunakan oleh manusia, yang
dibedakan dari ​experience-distant categories oleh analisis sosial. disini juga menyiratkan
perbedaan yang tajam antara “asli”, “rakyat”, “awam” (native, or folk, or lay) yang disisi lain
konsep seperti “ras”, “etnisitas”, atau “bangsa” ditandai hubungan dan pengaruh timbal balik
antara praktik dan penggunaan analitis (Brubaker, 2004: 31).
Identitas juga merupakan kategori praktik dan kategori analisis. Sebagai kategori
praktik, biasanya digunakan oleh orang awam mengenai pengaturan sehari-hari untuk
memahami diri mereka sendiri, aktivitas mereka, mengenai apa yang mereka bagikan dan
bagaimana mereka dapat berbeda dengan orang lain. Biasanya digunakan pengusaha politik
untuk membujuk massa agar memahami diri mereka, kepentingan mereka, dan kesulitan
mereka dengan cara tertentu untuk meyakinkan bahwa mereka “identik” satu sama lin dan
pada saat yang sama berbeda dari orang lain, dan untuk mengatur dan membenarkan tindakan
kolektif. Dengan cara ini, istilah identitas diimplikasikan baik dalam kehidupan sehari-hari
maupun dalam politik identitas (​identity politics)​ dalam segala bentuk (Brubaker, 2004: 32).
Pembicaraan mengenai identitas dan politik identitas sehari-hari adalah fenomena
yang nyata dan penting. Tetapi arti penting terbaru atau kontemporer dari identitas sebagai
kategori praktik tidak membutuhkan penggunaannya sebagai kategori analisis. Misalnya
analogi “bangsa” sebagai kategori praktik sosial dan politik yang banyak digunakan, sebagai
klaim untuk menentukan nasib sendiri telah menjadi pusat politik selama 150 tahun. Tetapi
seseorang tidak harus menggunakan “bangsa” sebagai kategori analitis yang menunjuk suatu
entitas di dunia untuk memahami dan menganalisis permohonan dan klaim, seseorang tidak
harus mengambil kategori yang melekat pada praktik nasionalisme yang mengacu pada teori
nasionalis. Namun perlu ditekankan bahwa kategori praktik, tidak dapat mendiskualifikasi
kategori analisis, karena jika itu terjadi maka kosakata analisis sosial menjadi jauh lebih
miskin dan lebih artifisial daripada yang sebenarnya. Disini dapat dilihat bahwa yang menjadi
masalah bukanlah istilah yang digunakan, melainkan bagaimana istilah itu digunakan. Seperti
pandangan Wacquant (1997:222) mengenai “ras” yang masalahnya terletak pada
penggabungan pemahaman sosial dan sosiologis atau pemahaman rakyat dan analitis.
Masalahnya adalah “bangsa, “ras”, “identitas”, digunakan secara analitis kurang lebih seperti
digunakan dalam praktik, dengan cara yang menyiratkan atau menegaskan bahwa “bangsa”,
“ras”, “identitas”, ada sebagai entitas yang substansial dan dan orang pasti memilikinya
(Brubaker, 2004: 31-32).
Brubaker memandang keberatannya bahwa pandangan ini mengabaikan upaya baru
untuk menghindari reifikasi identitas dengan memberi teori bahwa identitas itu sultipel,
terfragmentasi, dan cair. Tanpa melihat pandangan esensialisme, nyatanya esensialisme telah
dikritik dengan keras, dan sekarang gerakan konstruktivis sekarang menyertai sebagian besar
diskusi tentang identitas. Kedua pandangan yang esensialis dan konstruktivis ini di
pandangan Brubaker bukan sebagai masalah kecerobohan intelektual, melainkan ini
mencerminkan orientasi ganda dari banyak identitas akademis. Ini mencerminkan ketegangan
antara konstruktivis yang diperlukan oleh kebenaran akademis dan pesan fondasionalis atau
esensialis yang mungkin diperlukan untuk identitas agar paraktiknya lebih efektif. Namun di
akhir Brubaker juga mempertegas bahwa belum atau tidak ada solusi yang dapat ditemukan
dalam konstruktivisme yang lebih konsisten, karena tidak jelas mengenai apa yang selama ini
dicirikan sebagai “banyak, terfragmentasi, dan cair” harus dikonseptualisasikan sebagai
“identitas” (Brubaker, 2004: 32 - 33).

2.2.3. ​The Uses of “Identity”


Brubaker membagi kegunaan identitas menjadi lima bagian. Pertama, Identitas
seringkali bertentangan dengan “kepentingan” dalam upaya menyoroti dan
mengkonseptualisasikan mode non-instrumental dari tindakan sosial dan politik. Tindakan
individu atau kolektif dapat diatur oleh pemahaman diri partikularistik daripada kepentingan
pribadi yang universal (somers:1994). Ini melibatkan tiga perbedaan dalam cara
mengkonseptualisasikan dan menjelaskan tindakan. 1) diantara pemahaman diri ​(self
understanding) dan kepentingan diri (​self interest – yang dipahami secara sempit), 2) antara
partikularitas dan universalitas, 3) lokasi sosial antara dua arah. Banyak untaian teori identitas
(​Identitarian theorizing)​ melihat tindakan sosial dan politik dibentuk secara kuat dari posisi
di ruang sosial, dalam hal ini mereka setuju dengan untaian universalis, teori instrumentalis
(​instrumentalist theorizing)​ . Akan tetapi, “lokasi sosial” sedikit berbeda dari dua kasus
tersebut. Dari sisi ​Identitarian theorizing​, posisi dalam ruang multidimensi didefinisikan dari
atribut kategori partikular seperti ras, etnisitas, gender, dan orientasi seksual, sedangkan dari
sisi ​instrumentalist theorizing,​ posisi dalam struktur sosial dipahami secara universal seperti
posisi dalam pasar, struktur pekerjaan, atau mode produksi (Brubaker, 2004: 33-34).
Kedua, Brubaker menilai identitas sebagai fenomena kolektif yang spesifik, dimana
identitas menunjukkan kesamaan fundamental dan konsekuensial diantara anggota suatu
kelompok atau kategori. Dapat dipahami secara objektif, maupun subjektif. Kalau dipahami
secara objektif artinya identitas sebagai kesamaan dalam diri sendiri, sedangkan dipahami
secara subjektif artinya identitas sebagai kesamaan yang dialami, dirasakan, kesamaan.
Kesamaan diharapkan dapat memanifestasikan diri dalam suatu solidaritas dalam suatu posisi
atau kesadaran bersama, atau disebut dengan tindakan kolektif. Ketiga, Brubaker menilai
identitas dipahami sebagai aspek inti dari diri baik individu maupun kelompok atau sebagai
kondisi fundamental dari makhluk sosial, identitas digunakan untuk menetapkan atau
menunjuk sesuatu yang diduga bersifat dalam, dasar, menetap, dan mendasar. Dibedakan dari
aspek atau atribut diri yang lebih sempurna, tidak disengaja, sekilas, atau kontingen, dan
dipahami sebagai sesuatu yang harus dihargai, dipupuk, disengaja, didukung, dikenali, dan
dilestarikan (Brubaker, 2004: 34).
Keempat, Brubaker memahami identitas sebagai produk dari tindakan sosial atau
politik. Identitas digunakan untuk menyoroti perkembangan prosesual dan interaktif dari
jenis pemahaman diri kolektif, solidaritas, atau pengelompokkan yang memungkinkan
tindakan kolektif. Identitas dipahami sebagai produk kontingen dari tindakan sosial atau
politik dan sebagai dasar atau dasar tindakan lebih lanjut. Kelima, Brubaker memahami
identitas sebagai produk yang cepat berlalu. Identitas digunakan untuk menyoroti sifat diri
kontemporer yang tidak stabil, berfluktuasi, dan terfragmentasi. Penggunaan identitas yang
seperti ini kerap kali ditemukan dalam literatur post-strukturalisme dan post-modernisme
(Brubaker, 2004: 34 - 35).
Disini terlihat jelas bahwa identitas dibuat untuk melakukan banyak pekerjaan, untuk
menyoroti mode tindakan non-instrumental; untuk fokus pada pemahaman diri daripada
kepentingan diri sendiri; untuk menunjuk kesamaan antar orang atau kesamaan dari waktu ke
waktu; untuk menangkap dugaan inti, aspek dasar dari diri; untuk menyangkal bahwa ada
aspek inti dan mendasar; untuk menyoroti perkembangan prosesual dan interaktif dari
solidaritas dan pemahaman diri kolektif; dan untuk menekankan kualitas terfragmentasi dari
pengalaman kontemporer. Penggunaan ini tidak hanya heterogen, tetapi menunjukkan arah
yang sangat berbeda. Penggunaan yang pertama cukup general untuk dapat disesuaikan
dengan semua, penggunaan kedua dan ketiga sama-sama menyoroti fundamental, serta
keempat dan kelima menolak gagasan dari fundamental dan ​abiding sameness (​ tetap pada
kesamaan). Identitas mengalami banyak perdebatan karena sifatnya yang sulit dipahami,
menanggung bebas teoritis yang multivalen, bahkan kontradiktif. Namun tetap saja identitas
sangat diperlukan. Diskusi mengenai identitas Brubaker ini tidak berusaha untuk
membuangnya, tetapi untuk menyelamatkan istilah identitas dengan merumuskannya
kembali, sehingga membuatnya kebal dari suatu keberatan, terutama dari perubahan
esensialisme (Brubaker, 2004: 35-36).

2.2.4. “Strong” and “Weak” Understandings of ‘Identity”


Pernyataan mengenai istilah identitas yang “terlalu banyak” (​too much​) atau “terlalu
sedikit” (​too little)​ dielaborasikan lebih lanjut oleh Brubaker dalam kacamata yang tidak
hanya melihat identitas sebagai suatu hal heterogenitas saja, tetapi juga menyoroti sebuah
pernyataan antitesis yang kuat antara adanya kesamaan (​sameness)​ ​atau disebut juga sebagai
konsepsi identitas yang ​strong/hard (kuat) dengan gagasan yang menolak dasar kesamaan itu
sendiri alias konsepsi identitas ​weak​/​soft (l​ emah) (Brubaker, 2004:37).
Konsepsi identitas yang kuat ​(strong understanding of ‘identity’)​ pada dasarnya
menekankan sebuah kesamaan dari waktu ke waktu atau lintas orang. Konsep tersebut
dianggap menjadi sebuah makna identitas yang biasanya berkaitan dengan identitas politik
dengan posisi sebagai bentuk kategori analisis. Namun hal tersebut menghasilkan beberapa
asumsi problematik seperti berikut ini (Brubaker, 2004:37):
1. Identitas dianggap sebagai sesuatu yang dimiliki orang, atau harus dimiliki, dan
merupakan sesuatu yang dicari.
2. Identitas adalah sesuatu yang dimiliki oleh semua kelompok (setidaknya kelompok
dari jenis tertentu, atau sesuatu yang harus dimiliki).
3. Identitas adalah sesuatu yang orang atau sebuah grup bisa miliki tanpa sadar. Identitas
dilihat sebagai sesuatu yang ditemukan (​discovered)​ dan bisa salah (​mistaken​).
4. Gagasan mengenai identitas kolektif menunjukkan batasan kelompok (​group
boundedness)​ dan homogenitas.
Konsepsi identitas yang kuat terus menginformasikan untaian penting literatur tentang
jenis kelamin, ras, etnis, dan nasionalisme. Pada sisi lain, konsepsi identitas yang lemah
(​weak understanding of ‘identity’) s​ ecara sadar memutuskan makna identitas yang dipahami
secara umum berdasarkan landasan konsepsi identitas yang kuat sebelumnya. Konsepsi
identitas yang lemah juga digunakan dalam diskusi mengenai kajian identitas itu sendiri
dalam bahasan kerangka teoritis. Namun, bentuk teoritis baru ini, yang juga menjadi
​ emiliki tiga masalah seperti berikut ini
“common sense” atau sesuatu yang dianggap umum m
(Brubaker, 2004:37-38):
1. Konstruktivisme klise (​cliche constructivism)​ .
Konsepsi identitas yang lemah identik dengan kualifikasi identitas yang dilihat
sebagai sesuatu yang banyak (​multiple​), tidak stabil (​unstable)​ , selalu dalam arus
fluks (​in flux​), bersifat kontingen (​contingent)​ , terpecah-pecah (​fragmented​), suatu hal
yang di konstruksi (​constructed​), dapat dinegosiasi (​negotiated)​ , dan sebagainya.
Konstruktivisme ini seringkali dijadikan sebagai “patokan” pemikiran secara
otomatis.

2. Tidak jelas mengapa konsepsi identitas yang lemah dianggap sebagai konsepsi
identitas itu sendiri (​conceptions of identity​). Maksudnya, ada anggapan mengenai
makna identitas yang digunakan, dengan menganggap identitas terkait dengan sebuah
persamaan diri (​self-sameness)​ yang terus berdiri dalam kurun waktu tertentu,
sementara suatu hal lainnya berubah dan digunakan. Hal tersebut menuai pertanyaan
apa guna dari penggunaan istilah tersebut kalau dari awal sebenarnya makna identitas
tersebut ditolak.
3. Konsep identitas yang lemah bisa terlalu lemah untuk digunakan dalam kerangka
​ eninggalkan jejak istilah
kerja teoritis. Identitas yang lemah ini (​soft-identitarians) m
yang elastis sebagai tidak mampu menunjukkan kerangka analisis yang serius.

Dalam bagian ini, sebagai hasil elaborasi dari pernyataan di atas, Brubaker (2004:38)
berargumen bahwa apa yang menarik dan penting dalam karya ini seringkali tidak bergantung
pada penggunaan identitas sebagai kategori analitis. Hal tersebut ditunjukkan dengan tiga
contoh berikut (Brubaker, 2004:38-41):

1. Kasus dalam Margaret Sommers (1994)


Sommers mengkritisi diskusi para cendekiawan yang menganggap identitas
sebagai sebuah kategori persamaan (​categorical commonality​), bukan sebuah
keterikatan relasional variabel historis (Brubaker, 2004:38-39) Sommer mengusulkan
gagasan dari "​reconfigure the study of identity formation through the concept of
narrative"​ menjadi "i​ncorporate into the core conception of identity the categorically
destabilizing dimensions of time, space, and rationality​.​” m
​ elalui pemaparan kasus
pentingnya sebuah narasi (​narrative)​ dalam analisis kehidupan sosial dan berargumen
berargumen untuk menempatkan narasi sosial dalam pengaturan relasional yang
spesifik secara historis.

Fokus utama yang dikaji adalah perihal dimensi ontologi narasi, narasi sebagai
aktor sosial dan dunia sosial sebagai tempat aksi. Akan tetapi, kalimat yang tidak jelas
dari gagasan Sommer adalah mengapa dan dalam rangka identitas yang dibentuk
melalui narasi dan dibentuk dalam pengaturan relasional tertentu. Dalam kehidupan
sosial yang memang sebagai sesuatu yang diceritakan, tidak jelas mengapa dalam
cerita tersebut malah berhubungan dengan identitas. Memang, di dalam kehidupan
sosial tersebut orang-orang bercerita tentang dirinya dan tentang orang lain, tetapi
dalam arti apa (​in what sense)​ narasi ini memberi lokasi identitas sebagai aktor sosial.
Muncul juga pertanyaan apa yang membuat gagasan identitas ditambahkan dalam
argumen tentang narasi tersebut. Analisis Sommer pada akhirnya dilakukan dengan
konsep narasi, ditambah dengan pengaturan relasional, sedangkan pekerjaan yang
dilakukan oleh konsep identitas justru menjadi lebih tidak jelas (Brubaker 2004:39).

2. Kasus dalam Charles Tilly (1996)

Charles Tilly (1996) dalam Citizenship, Identity, and Social History yang
dimuat dalam buku ini mengkaraterisasi identitas sebagai konsep yang kabur namun
diperlukan (Brubaker, 2004:39). Tilly juga mendefinisikan identitas sebagai
pengalaman seorang aktor tentang suatu kategori, ikatan, peran, jaringan, kelompok
atau organisasi, ditambah dengan representasi publik dari pengalaman itu;
representasi publik seringkali berbentuk cerita bersama, naratif. Namun, apa yang
didapat secara analitis dengan memberi label pengalaman dan representasi publik dari
segala ikatan, peran, dan jaringan sebagai identitas? Tilly mencontohkan ras, gender,
kelas, pekerjaan, namun tidak jelas apa pengaruh analitiknya. Pada kasus ini Tilly
menghadapi kesulitan yang dihadapi sebagian besar ilmuwan sosial yang menulis
tentang identitas saat ini yaitu merancang konsep yang “soft” dan cukup fleksibel
untuk memenuhi persyaratan teori sosial relasional dan konstruktivis, namun cukup
kuat untuk membeli fenomena yang menyerukan, penjelasan beberapa di antaranya
cukup sulit.

3. Kasus dalam Craig Calhoun (1991)

Calhoun menggunakan gerakan mahasiswa di Tiongkok dalam kasus


Tiananmen Square pada tahun 1989 untuk mengkaji konsep identitas, gerakan
kolektif, dan kepentingan (​interest)​. Dalam kajian analitik ini konsep penting yang
ditonjolkan adalah bukan identitas semata, melainkan ​honor atau sebuah kehormatan
(Brubaker, 2004:40-41). Namun argumen fundamentalnya dalam makalah ini,
tampaknya, bukanlah tentang identitas secara umum, tetapi tentang cara di mana rasa
hormat yang kuat dapat, dalam keadaan yang luar biasa, mengarahkan orang untuk
melakukan tindakan yang luar biasa.

2.2.5 .​In Other Words


Brubaker (2004:41) menjelaskan beberapa kata lain yang dapat menggantikan istilah
identitas tanpa menjadi sebuah makna yang kontradiksi terlihat dalam tiga kata berikut ini:
1. Identifikasi dan kategorisasi (​identification and categorization)​
Sebagai sebuah proses, identifikasi tidak memiliki konotasi yang menegaskan
identitas. Hal tersebut memfokuskan kita untuk menspesifikasi agen yang melakukan
identifikasi. Identifikasi diri sendiri maupun orang lain terdapat dalam kehidupan
sosial, sedangkan identitas tidak. Identifikasi ditemukan dalam berbagai konteks
terutama dalam masa modern dengan segala jenis interaksi yang ada di dalamnya.
Bagaimana sesuatu mengidentifikasi dirinya tergantung dari konteks yang berlaku
yang secara fundamental merupakan hal yang kontekstual dan situasional (Brubaker,
2004:41). Kata kunci dalam mode identifikasi adalah ​relational (relasional) dan
kategoris (​categorical)​ . Seseorang dapat mengkategorisasikan dirinya dalam jaringan
relasional (kekerabatan, pertemanan, dan sebagainya) dan berdasarkan atribut
kategoris seperti ras, gender, kewarganegaraan, dan sebagainya. Berdasarkan argumen
Calhoun (1997) dan Brubaker (2004:41), identifikasi kategoris ini memegang peranan
penting dalam dunia modern.
Identifikasi diri sendiri (self-identification) membutuhkan proses dialektis
dengan identifikasi eksternal sehingga tidak mengalami konvergensi. Tetapi ada jenis
kunci lain dari identifikasi eksternal yang tidak memiliki pasangan (counterpart)
dalam domain identifikasi diri: sistem kategorisasi yang diformalkan, dikodifikasi,
dan diobjektifikasi yang dikembangkan oleh lembaga yang kuat dan berwibawa.
Negara menjadi agen penting dalam identifikasi dan kategorisasi. Negara memonopoli
dan melegitimasi bentuk simbolik. Hal tersebut mencakup kekuasaan untuk memberi
nama, mengidentifikasi, kategorisasi, bagi negara "apa yang menjadi apa" serta "siapa
adalah siapa.”
Identifikasi dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan administrasi sesuai
dengan apa yang negara atur. Negara mengkotak-kotakan sebuah klasifikasi warganya
terkait dengan gender, agama, pekerjaan, dan sebagainya. Bagi kaum Foucault secara
khusus, cara-cara identifikasi dan klasifikasi yang individualisasi dan agregat ini
merupakan inti dari apa yang mendefinisikan "pemerintahan dalam negara modern"
(​governmentality)​ (Brubaker, 2004:42).
Negara menjadi ​identifier yang kuat karena dapat memaksa kategorisasi
tersebut ke dalam aktor non negara. Tilly (1998) menunjukkan bahwa kategorisasi
menjadi penting dalam ​organizational work.​ Negara tidak semerta-merta memonopoli
produksi dan difusi dari identifikasi dan kategori, dan yang memproduksi bisa di
kontestasi. Kajian dalam gerakan sosial adalah bukti bagaimana sebuah gerakan
mengajukan identifikasi alternatif lainnya. Menunjukkan bagaimana mengidentifikasi
secara emosional dan kognitif satu sama lain. gerakan sosial menekankan proses
dalam solidaritas kolektif dan perkembangan self-understanding. (Brubaker, 2004:43).
Identifikasi membutuhkan objek agen yang melakukan mengidentifikasi, tapi
identifikasi tidak butuh yang mengidentifikasi secara spesifik. Identifikasi dapat
dibawa secara anonim melalui diskursus atau narasi publik. Makna identifikasi yang
dilihat dari segi psikodinamik yang berasal dari Freud. Hal ini mencakup
pengidentifikasian diri sendiri secara emosional dengan orang lain, kategori, atau
kolektivitas. Identifikasi dianggap sebagai proses yang kompleks sedangkan identitas
merupakan sebuah kondisi (Brubaker, 2004:44).

2. Pemahaman diri sendiri dan lokasi sosial (​self-understanding and social location​)

Self-understanding adalah term disposisional yang juga disebut sebagai


situated subjectivity: yakni perasaan seseorang tentang siapa seseorang, tentang lokasi
sosial seseorang, dan tentang bagaimana (mengingat dua hal pertama) seseorang siap
untuk bertindak. Disebut juga sebagai ​sens pratique oleh Bourdieu (1990) atau
pengertian praktis yang dimiliki seseorang tentang dirinya dan dunia sosialnya. “​self”​
atau diri dalam “​self understanding”​ atau pemahaman diri tidak menyiratkan
pemahaman modern atau barat yang khas tentang "diri" sebagai batas homogen,
entitas kesatuan.

Pentingnya melihat pemahaman diri dan keberadaan sosial dalam


hubungannya satu sama lain, dan menekankan bahwa baik diri yang dibatasi maupun
kelompok yang dibatasi secara budaya spesifik daripada bentuk-bentuk universal.
Pemahaman diri tidak memiliki konotasi identitas yang reifikasi. pemahaman diri
mungkin bervariasi tetapi stabil. Pemahaman diri tidak memiliki hubungan semantik
istimewa dengan kesamaan atau perbedaan. Pemahaman diri tidak dapat melakukan
semua pekerjaan yang dilakukan oleh identitas. tiga batasan self-understanding terkait
dengan identitas adalah sebagai berikut:

1. Merupakan istilah yang subjektif, istilah auto referential.


2. Pemahaman diri tampaknya mengutamakan kesadaran kognitif.
dinamika emosional lebih baik ditangkap dengan istilah "identifikasi"
dalam arti psikodinamik.
3. Pemahaman diri tidak menangkap objektivitas yang diklaim oleh
pemahaman string tentang identitas.

3. Kesamaan, keterhubungan, kelompok​ (commonality, connectedness, groupness)

Kesamaan menunjukkan berbagi beberapa atribut umum, keterhubungan ikatan


relasional yang menghubungkan orang. Baik kesamaan maupun keterhubungan saja tidak
menimbulkan kelompok (rasa memiliki pada kelompok solidaritas yang khas, berbatas. Tilly
menyatakan bahwa ​groupness adalah produk gabungan dari ​catness (​ kategori kesamaan) dan
netness (keterkaitan relasional) yang bersifat sugestif (Brubaker, 2004:47). Ada dua
perbaikan dari pernyataan tersebut yaitu:

a. Kategori kesamaan dan keterhubungan relasional membutuhkan elemen ketiga yaitu


perasaan memiliki bersama.
b. Keterhubungan relasional (​netness​) tidak selalu diperlukan untuk "​groupness​".
Perasaan kelompok yang sangat terbatas mungkin terletak pada kesamaan kategoris
dan perasaan memiliki bersama dengan sedikit atau tanpa keterhubungan relasional.
Contohnya kebangsaan yang menunjukkan adanya batasan yang kuat karena gambaran yang
sangat kuat dan kesamaan yang sangat terasa. Inti dalam menyarankan rangkaian istilah
terakhir ini lebih pada mengembangkan dan idiom analitis yang peka terhadap berbagai
bentuk dan derajat kesamaan dan keterhubungan, dan pada cara yang sangat beragam di mana
para aktor mengaitkan makna dan signifikansi dengan mereka. Ini akan memungkinkan kita
untuk membedakan contoh-contoh pengikatan yang kuat, pengelompokan yang dirasakan
dengan kuat dari bentuk afinitas dan afiliasi yang lebih longgar terstruktur dan dengan lemah
membatasi (Brubaker, 2004: 47-48).

2.2.6.. The Cases: “Identity” and Its Alternatives in Context


2.2.6.1 A Case from Africanist Anthropology “The” Nuer
"​Tribal identities​" primordial bagi para pemikir "identitarian" studi Afrika dianggap
sebagai kesengsaraan Afrika. Argumen utama dalam kajian Afrika adalah bahwa kelompok
suku bangsa atau ethnic groups bukan suatu hal dari primordial, melainkan produk sejarah.
Para sarjana menekankan bentuk batasan (​boundary formation​) dan apa yang membangun
sebuah grup (​the constitution of groups​). Istilah identitas masih digunakan dalam mengkaji
masyarakat Afrika, terlepas dari konsep lainnya yang lebih melekat (misalnya ​tribe, race​, dan
ethnicity​) tapi tidak dijelaskan lebih lanjut kenapa sesuatu yang dianggap sebagai multiple
adalah sebuah identitas (Brubaker, 2004:48-49).

E. E. Evans-Pritchard's (1940) - The Nuer

Penelitian Evans-Pritchard di Afrika TImur pada tahun 1930 an mendeskripsikan


masyarakat Nuer sebagai bentuk mode identifikasi secara relasional, ​self-understanding,​ dan
lokasi sosial, suatu hal yang membangun dunia sosial dalam degree dan kualitas koneksi
antar orang. Lokasi sosial dicontohkan dengan lineage atau garis keturunan yang mencakup
patrilineal. Dalam contoh diagram, semuanya saling terkait tapi dalam arah dan tingkatan
yang berbeda (Brubaker, 2004:49).
Gagasan yang muncul ketika melihat garis keturunan tersebut pertama menganggap
kelompok dalam lingkaran A, dengan identitas A, berbeda dengan kelompok dalam lingkaran
B dengan identitas B. Namun, apabila ditarik garis lebih jauh, sebenarnya mereka saling
terkait, karena memiliki nenek moyang yang sama (Brubaker, 2004:49).

Apabila seseorang dalam kelompok A konflik dengan kelompok B, maka orang


tersebut akan mendorong commonality dalam kelompok A (​A-ness)​ untuk melawan
kelompok B. Apabila ditarik garis lebih panjang lagi, para keturunan sebelumnya bisa
meredam konflik. Praktik tersebut menunjukkan adanya bentuk relasional (​relational​) dalam
lokasi sosial (social location) (Brubaker, 2004:49-50).

Garis keturunan patrilineal membangun identitas yang berbeda dengan garis


keturunan lainnya. Namun inti dari Evans-Pritchard adalah bahwa segmentasi menandakan
keseluruhan peraturan sosial (​order sosial​) dan garis keturunan tersebut berhubungan satu
sama lain. Garis keturunan yang membangun sebuah pernikahan di masyarakat Nuer sebagai
sebuah identitas berbeda dari Dinka atau kelompok lain yang ada dalam satu wilayah. Relasi
genealogis menawarkan kemungkinan untuk suatu perluasan sehingga mengaburkan batasan.

Relasi pernikahan dapat diperluas di luar Nuer. Bahkan masyarakat asing seperti
pendatang bisa masuk ke dalam garis keturunan tersebut. Kondisinya, dalam masyarakat
Northeastern Africa banyak yang bermigrasi dan perdagangan (Brubaker, 2004:50)
Permasalahan dari ​relational connectedness ini dalam ​social construction of identity adalah
penggabungan dan pemisahannya berbalut dalam satu nama yang sama, sehingga semakin
sulit melihat proses, sebab, dan konsekuensi dari pola koneksi tersebut (Brubaker, 2004:51).
Adanya perubahan dalam koneksi genealogis bukan suatu hal yang unik bagi
masyarakat tribal yang berskala kecil. Struktur jaringan kekerabatan juga dapat menjadi
organisasi politik. Para raja Afrika mendapatkan otoritas mereka dari relasi patrimonial
dengan garis keturunan yang berbeda, menciptakan sebuah dukungan dari garis keturunan di
luar afiliasinya tetapi menggunakan garis keturunan principles untuk mengkonsolidasi
kekuasaan mereka, memulai pernikahan, dan memperluas garis keturunan kerajaan (royal).

Hampir di semua masyarakat, konsep kekerabatan dilihat sebagai sumber simbolik


dan ideologis, akan tetapi norma, ​self-understandings dan persepsi terhadap afinitas tidak
semerta-merta memproduksi "kelompok" atau group kekerabatan. Dalam kolonialisasi, para
koloni mengelompokkan masyarakat berdasarkan teritori. Hal tersebut menunjukkan bahwa
identifikasi bisa menjadi powerful, tetapi efeknya tergantung daru relasi sesungguhnya dan
sistem simbolik yang berlaku di masyarakat.

Sharon Hutchinson's (1995) menganalisis kembali tribe dari Pritchard dan beragumen
ke dalam situasi kontemporer conflict-ridden situation. Tujuan dia adalah "​to call into
question the very idea of 'the Nuer' as a unified ethnic identity"​ . Dia menunjukkan
ketidakjelasan dari ​boundaries of people now called Nuer: culture and history do not follow
such lines.​ Dia juga menyarankan bahwa segmentasi Evans-Pritchard cenderung fokus ke
dominasi laki-laki, kurang dari sisi perempuan. Dalam analisis tersebut, tidak hanya sulit
melihat Nuerness sebagai identitas namun menjadi penting untuk mengkaji bagaimana orang
sama-sama mencoba memperluas dan mengkonsolidasi hubungan (Brubaker, 2004:51)

Di dalam masyarakat modern Afrika, beberapa konflik mengambil alih dalam ranah
kolektivitas yang biasanya seragam secara linguistik dan kebudayaan (contoh Rwanda,
Somalia) dan dalam konteks kehilangan ekonomi dan jaringan sosial didasarkan pada relasi
patron-klien daripada afiliasi etnis (Angola, Sierra Leone), dan juga perbedaaan kebudayaan
menjadi senjata politik (Kwa Xulu).

2.2.6.2.​ East European Nationalism


` Konsep identitas seringkali menimbulkan permasalahan, mengenai bagaimana
penggunaannya yang tidak bisa diterapkan secara universal pada setiap masyarakat. Salah
satu kasusnya adalah pada nasionalisme di Eropa Timur, yang mana dikarakterisasikan secara
kuat dengan identitas kelompok tertentu (Brubaker, 2004: 52). Rezim Soviet membentuk
teritori menjadi 50 ‘tanah air’ nasional yang dimiliki oleh kelompok-kelompok etnonasional
tertentu. Adanya pembagian teritori ini nantinya akan menentukan ‘kebangsaan’ dari setiap
warga negara, yang mana akan didapat melalui garis keturunan sejak lahir dan akan
menentukan akses ke pendidikan serta pekerjaan tertentu di masa depan. Sistem ini
mengkonstruksi identitas nasional yang dibentuk oleh institusi sistem Soviet tersebut, yang
mana membentuk pandangan baru dalam melihat tempat dan orang sebagai bagian dari
nasional. Namun sebenarnya, cukup berisiko untuk menggabungkan sistem identifikasi dan
kategorisasi, kemudian mengasumsikannya sebagai identitas. Pengelompokan secara
kategoris yang dilakukan di Eropa Timur ini, menurut Brubaker, tidak bisa benar-benar
berfungsi menjelaskan indikator “kelompok” yang nyata, begitu juga dalam melihat
“identitas” yang kuat (Brubaker,2004: 53).
Pengkategorian identitas masyarakat secara formal dengan melihat klasifikasi sistem
etnonasional di Eropa Timur ini memang memudahkan dalam representasi sosial dan
urusan-urusan politik, namun kategori ini belum tentu bisa benar-benar mendefinisikan
bagaimana seseorang bertindak, membentuk persepsi, atau bahkan memaknai kehidupan
sehari-harinya. Dalam hal ini, kata ‘identitas’ menjadi penghalang, karena justru membuat
batasan-batasan tertentu menjadi tidak jelas, seperti menggabungkan nilai politik dengan
kehidupan sehari-hari manusia. Kecenderungan untuk mengobjektifikasi ‘identitas’ ini justru
membentuk kesulitan baru, yang membuat sulit bagi kita untuk melihat ‘​groupness​’ dan
boundedness’​ dalam kelompok sosial atau suku bangsa tertentu (Brubaker, 2004: 55).

2.2.6.3. ​Identity and the Enduring Dilemmas of “Race” in the United States
Pengertian dari term identitas di Amerika Serikat sering dilihat sebagai ungkapan
yang bisa menggambarkan tentang pengalaman, loyalitas, hingga klaim seputar praktik
politik dan sosial sehari-hari. Tidak hanya itu, identitas sudah menjadi ungkapan yang
membantu dalam menganalisis ilmu sosial sejak dahulu. Salah satu awalan dari maraknya
penggunaan term ini di Amerika Serikat adalah salah satu sejarah yang berkenaan dengan
pengalaman pengklasifikasian ‘ras’ bagi orang Afrika-Amerika (Brubaker, 2004: 55).
Penggunaan kata ‘ras’ pada masa itu selalu dikaitkan dengan pengkategorisasian dan
identifikasi diri, yang juga mencakup tentang etnisitas, gender, dan orientasi seksual.
Pandangan terhadap penggunaan term ‘identitas’ dan ‘ras’ ini di masa awal
perkembangannya pun dikonotasikan secara negatif, karena walaupun bersifat universal, tapi
kenyataannya justru masih belum menyeluruh, terutama terhadap orang Afrika-Amerika.
Term ‘ras’ menjadi hal yang dikonstruksi secara sosial, dan menunjukkan bagaimana awal
mula perkembangan politik di Amerika.
Berkenaan dengan hal ini, Edmund Morgan (1975, dalam Brukaber, 2004: 56)
mengatakan bahwa pada awal abad ke-18 di Virginia, para pelayan kulit putih dan budak
kulit hitam saling bergantung sama lain dan terikat, sehingga tidak ada perbedaan jelas di
antara keduanya. Namun, setelah masuknya
2.2.7. Conclusion: Particularly and the Politics of “Identity”

2.3. Contoh Kasus

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Eriksen, T. H. (1994). ​Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspective​. Pluto


press.
Idris, Muhammad. (19 Agustus 2020). ​Mengenal Dana Otsus Papua​. Diambil pada
20 Oktober 2020 dari: money.kompas.com
Nathaniel, Felix. (3 Desember 2019). ​Politik Identitas Tetap Buas, Masyarakat
Bawah kena Imbas​. Diambil pada 17 Oktober 2020 dari: tirto.id
Nath, Shanjendu. (2014). ​Is Plato a Perfect Idealist​?. Journal of Humanities and
Social Science.
Silverman, Carol. (Juni 1995). Persecution and Politicization: Roma (Gypsies) of
Eastern Europe. Diambil pada 20 Oktober 2020 dari: culturalsurvival.org

Anda mungkin juga menyukai