Kelompok 3:
Antropologi Sosial
1.1
Tambahin yang Eriksen ya
Selain pandangan Eriksen, juga terdapat pandangan Brubaker yang lebih banyak
membahas mengenai term atau istilah identitas. Anggapan Brubaker berangkat dari anggapan
bahwa ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah menyerah pada kata “identitas”, yang
didalamnya mencakup unsur intelektual dan politik. Menurut Brubaker, pemaknaan identitas
yang selama ini dikenal terlalu ambigu, dan terbebani oleh konotasi reunifikasi identitas.
Pandangan-pandangan konstruktivis seolah-olah melunakkan dan menetapkan bahwa
identitas itu dibangun, berubah-ubah, dan dan tanpa sadar membuat kita membicarakan
identitas tanpa memeriksa dinamika serta klaim esensialis dari politik identitas kontemporer.
Brubaker menekankan bahwa saat kita melihat identitas tidak harus dilihat sebagai kategori
analitis untuk mengkonseptualisasikan identitas sebagai sesuatu yang dikonstruksi, dimiliki,
dicari, dibangun, dan dinegosiasikan saja, sehingga membebani kita dengan kosakata yang
tumpul, datar, dan tidak terdiferensiasi. Oleh karena itu, Brubaker memfokuskan
penulisannya ini identitas sebagai kategori analitis (analytical category), untuk menghasilkan
identitas yang relatif tidak ambigu.
BAB II
PEMBAHASAN
Walaupun begitu, ‘the shared European Heritage’ dari rekayasa sosiokultural tidak dapat
membentuk ‘the shared European Identity’ begitu saja, bahkan sulit terjadi (Duroselle dalam
Eriksen, 1994: 91; Smith dalam Eriksen, 1994: 92). Pada awalnya, Eriksen melihat partai
‘Green and Social Democrats’ menampakkan indikasi bahwa identitas Eropa akan lahir
karena partai ‘Green and Social Democrats’ dari suatu negara Eropa bersatu dengan partai
‘Green and Social Democrats’ dari negara Eropa lainnya. Namun, berangkat dari kegagalan
meratifikasi ‘the European Constitution’ pada 2005, pada akhirnya, Eriksen merefleksikan
tiga aspek kemustahilan pembentukan ‘the shared European Identity’.
Aspek pertama adalah perebutan wilayah yang miskin oleh para elit politik dan
ekonomi. Artinya, integrasi yang ingin dicapai hanya berdasarkan pada ‘perceptions of
utility’ . ‘Ideology production’ menjadi aspek kedua karena tidak semua negara di Eropa
mengalami, serta memaknai, sejarah yang sama. Contoh yang diberikan Eriksen adalah
perbedaan sejarah Yunani dengan Turki, padahal sejarah Yunani diinterpretasikan sama
dengan sejarah Irlandia. Aspek kedua memunculkan indikasi lain bahwa interpretasi sejarah
dapat berbeda-beda. Produksi ideologi tidak hanya berasal dari sejarah, tetapi juga dapat
dibentuk dalam proses, seperti “the new repertoire of Euro-symbols” (Shore dalam Erksen,
1994: 91-92). Akan tetapi, uang kertas Euro hanya menampilkan imajinasi lanskap (bangunan
Eropa), seperti “Platonic ideal types” yang menganggap ‘mind’ sebagai yang utama
dibandingkan material fisik (Nath, 2014: 22). Kemudian, aspek ketiga adalah sifat kurang
segmenter dari identitas negara-negara di Eropa. Artinya, indikasi keberadaan ketergantungan
pada sesama anggota Uni Eropa tidak tampak, tidak seperti kelompok suku Nuer dalam
penelitian Evans-Pritchard (Eriksen, 1994: 92). Pada akhirnya, tiga aspek tersebut
menggambarkan bagaimana penduduk di Eropa memilih menjadi ‘citizens of a European
country’, bukan ‘European citizens’ .
karena takut menggiring para subscriber gue pada pihak yang salah,” dalam salah satu
videonya. Dari pernyataan tersebut, muncul indikasi bahwa identitas dapat dipergunakan
untuk menyesuaikan kondisi pada situasi tertentu, yang, pada akhirnya, identitas dapat dilihat
sebagai sesuatu yang ‘fluid’ k arena tidak jelas batasannya (Eriksen, 1994: 93). Herzfeld
menambahkan, “Nor do they delve into the ‘cultural intimacy’ experienced by members of a
group’ (dalam Eriksen, 1994: 93).
2.2. Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan Brubaker banyak menyatakan pendapatnya mengenai
terminologi identitas. Argumennya berangkat dari anggapan bahwa ilmu-ilmu sosial dan
humaniora telah menyerah pada kata “identitas”, yang didalamnya mencakup unsur
intelektual dan politik, artinya istilah identitas yang selama ini kita kenal ambigu, terbebani
oleh konotasi reifikasi “identitas”. Pandangan-pandangan konstruktivis mengenai identitas
seolah-olah berupaya melunakkan istilah tersebut, agar terbebas dari pandangan yang
esensialist, dengan menyatakan dan menetapkan bahwa identitas itu dibangun, berubah-ubah,
dan membuat kita tanpa alasan membicarakan identitas dan tidak memeriksa dinamika serta
klaim esensialis dari politik identitas kontemporer. Konstruktivisme yang melunakkan ini
memungkinkan identitas diduga dapat berkembang, tetapi saat sedang berkembang, istilah
tersebut kehilangan pembelian analisisnya. (Brubaker, 2004: 28)
Pada akhirnya, Brubaker menyatakan bahwa, identitas adalah istilah kunci dalam
idiom vernakular kontemporer politik, dan analisis sosial. Tidak mengharuskan menggunakan
“identitas” sebagai kategori analisis untuk mengkonseptualisasikan identitas sebagai sesuatu
yang dikonstruksi, dalam artian dimiliki, dicari, dibangun, atau dinegosiasikan seperti
pembahasan mengenai etnisitas sebagai identitas pandangan Barth dan Eriksen. Brubaker
menekankan pada pentingnya melihat pemaknaan istilah identitas jangan dilihat dari sisi
konstruktivisme saja yang mampu berubah, dibangun, dimiliki, dicari, dibangun, dan
dinegosiasikan saja, melainkan melihat pandangan yang Brubaker sebut “hard” dan klaim
esensialis dari politik identitas kontemporer untuk memenuhi semua tuntutan analisis sosial.
(Brubaker, 2004: 28-29)
2. Tidak jelas mengapa konsepsi identitas yang lemah dianggap sebagai konsepsi
identitas itu sendiri (conceptions of identity). Maksudnya, ada anggapan mengenai
makna identitas yang digunakan, dengan menganggap identitas terkait dengan sebuah
persamaan diri (self-sameness) yang terus berdiri dalam kurun waktu tertentu,
sementara suatu hal lainnya berubah dan digunakan. Hal tersebut menuai pertanyaan
apa guna dari penggunaan istilah tersebut kalau dari awal sebenarnya makna identitas
tersebut ditolak.
3. Konsep identitas yang lemah bisa terlalu lemah untuk digunakan dalam kerangka
eninggalkan jejak istilah
kerja teoritis. Identitas yang lemah ini (soft-identitarians) m
yang elastis sebagai tidak mampu menunjukkan kerangka analisis yang serius.
Dalam bagian ini, sebagai hasil elaborasi dari pernyataan di atas, Brubaker (2004:38)
berargumen bahwa apa yang menarik dan penting dalam karya ini seringkali tidak bergantung
pada penggunaan identitas sebagai kategori analitis. Hal tersebut ditunjukkan dengan tiga
contoh berikut (Brubaker, 2004:38-41):
Fokus utama yang dikaji adalah perihal dimensi ontologi narasi, narasi sebagai
aktor sosial dan dunia sosial sebagai tempat aksi. Akan tetapi, kalimat yang tidak jelas
dari gagasan Sommer adalah mengapa dan dalam rangka identitas yang dibentuk
melalui narasi dan dibentuk dalam pengaturan relasional tertentu. Dalam kehidupan
sosial yang memang sebagai sesuatu yang diceritakan, tidak jelas mengapa dalam
cerita tersebut malah berhubungan dengan identitas. Memang, di dalam kehidupan
sosial tersebut orang-orang bercerita tentang dirinya dan tentang orang lain, tetapi
dalam arti apa (in what sense) narasi ini memberi lokasi identitas sebagai aktor sosial.
Muncul juga pertanyaan apa yang membuat gagasan identitas ditambahkan dalam
argumen tentang narasi tersebut. Analisis Sommer pada akhirnya dilakukan dengan
konsep narasi, ditambah dengan pengaturan relasional, sedangkan pekerjaan yang
dilakukan oleh konsep identitas justru menjadi lebih tidak jelas (Brubaker 2004:39).
Charles Tilly (1996) dalam Citizenship, Identity, and Social History yang
dimuat dalam buku ini mengkaraterisasi identitas sebagai konsep yang kabur namun
diperlukan (Brubaker, 2004:39). Tilly juga mendefinisikan identitas sebagai
pengalaman seorang aktor tentang suatu kategori, ikatan, peran, jaringan, kelompok
atau organisasi, ditambah dengan representasi publik dari pengalaman itu;
representasi publik seringkali berbentuk cerita bersama, naratif. Namun, apa yang
didapat secara analitis dengan memberi label pengalaman dan representasi publik dari
segala ikatan, peran, dan jaringan sebagai identitas? Tilly mencontohkan ras, gender,
kelas, pekerjaan, namun tidak jelas apa pengaruh analitiknya. Pada kasus ini Tilly
menghadapi kesulitan yang dihadapi sebagian besar ilmuwan sosial yang menulis
tentang identitas saat ini yaitu merancang konsep yang “soft” dan cukup fleksibel
untuk memenuhi persyaratan teori sosial relasional dan konstruktivis, namun cukup
kuat untuk membeli fenomena yang menyerukan, penjelasan beberapa di antaranya
cukup sulit.
2. Pemahaman diri sendiri dan lokasi sosial (self-understanding and social location)
Relasi pernikahan dapat diperluas di luar Nuer. Bahkan masyarakat asing seperti
pendatang bisa masuk ke dalam garis keturunan tersebut. Kondisinya, dalam masyarakat
Northeastern Africa banyak yang bermigrasi dan perdagangan (Brubaker, 2004:50)
Permasalahan dari relational connectedness ini dalam social construction of identity adalah
penggabungan dan pemisahannya berbalut dalam satu nama yang sama, sehingga semakin
sulit melihat proses, sebab, dan konsekuensi dari pola koneksi tersebut (Brubaker, 2004:51).
Adanya perubahan dalam koneksi genealogis bukan suatu hal yang unik bagi
masyarakat tribal yang berskala kecil. Struktur jaringan kekerabatan juga dapat menjadi
organisasi politik. Para raja Afrika mendapatkan otoritas mereka dari relasi patrimonial
dengan garis keturunan yang berbeda, menciptakan sebuah dukungan dari garis keturunan di
luar afiliasinya tetapi menggunakan garis keturunan principles untuk mengkonsolidasi
kekuasaan mereka, memulai pernikahan, dan memperluas garis keturunan kerajaan (royal).
Sharon Hutchinson's (1995) menganalisis kembali tribe dari Pritchard dan beragumen
ke dalam situasi kontemporer conflict-ridden situation. Tujuan dia adalah "to call into
question the very idea of 'the Nuer' as a unified ethnic identity" . Dia menunjukkan
ketidakjelasan dari boundaries of people now called Nuer: culture and history do not follow
such lines. Dia juga menyarankan bahwa segmentasi Evans-Pritchard cenderung fokus ke
dominasi laki-laki, kurang dari sisi perempuan. Dalam analisis tersebut, tidak hanya sulit
melihat Nuerness sebagai identitas namun menjadi penting untuk mengkaji bagaimana orang
sama-sama mencoba memperluas dan mengkonsolidasi hubungan (Brubaker, 2004:51)
Di dalam masyarakat modern Afrika, beberapa konflik mengambil alih dalam ranah
kolektivitas yang biasanya seragam secara linguistik dan kebudayaan (contoh Rwanda,
Somalia) dan dalam konteks kehilangan ekonomi dan jaringan sosial didasarkan pada relasi
patron-klien daripada afiliasi etnis (Angola, Sierra Leone), dan juga perbedaaan kebudayaan
menjadi senjata politik (Kwa Xulu).
2.2.6.3. Identity and the Enduring Dilemmas of “Race” in the United States
Pengertian dari term identitas di Amerika Serikat sering dilihat sebagai ungkapan
yang bisa menggambarkan tentang pengalaman, loyalitas, hingga klaim seputar praktik
politik dan sosial sehari-hari. Tidak hanya itu, identitas sudah menjadi ungkapan yang
membantu dalam menganalisis ilmu sosial sejak dahulu. Salah satu awalan dari maraknya
penggunaan term ini di Amerika Serikat adalah salah satu sejarah yang berkenaan dengan
pengalaman pengklasifikasian ‘ras’ bagi orang Afrika-Amerika (Brubaker, 2004: 55).
Penggunaan kata ‘ras’ pada masa itu selalu dikaitkan dengan pengkategorisasian dan
identifikasi diri, yang juga mencakup tentang etnisitas, gender, dan orientasi seksual.
Pandangan terhadap penggunaan term ‘identitas’ dan ‘ras’ ini di masa awal
perkembangannya pun dikonotasikan secara negatif, karena walaupun bersifat universal, tapi
kenyataannya justru masih belum menyeluruh, terutama terhadap orang Afrika-Amerika.
Term ‘ras’ menjadi hal yang dikonstruksi secara sosial, dan menunjukkan bagaimana awal
mula perkembangan politik di Amerika.
Berkenaan dengan hal ini, Edmund Morgan (1975, dalam Brukaber, 2004: 56)
mengatakan bahwa pada awal abad ke-18 di Virginia, para pelayan kulit putih dan budak
kulit hitam saling bergantung sama lain dan terikat, sehingga tidak ada perbedaan jelas di
antara keduanya. Namun, setelah masuknya
2.2.7. Conclusion: Particularly and the Politics of “Identity”
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA