Anda di halaman 1dari 132

Divisi 44

Lingkungan dan Infrastruktur


Proyek Sektor: “Saran Kebijakan Transportasi”.

Modul 2a

Perencanaan Guna Lahan dan Transportasi


Perkotaan

Transportasi yang Berkelanjutan:


Sebuah buku acuan bagi pembuat kebijakan di kota-kota yang
sedang berkembang

Deutsche Gesellschaft fur


Technish Zusammenarbeit (GTZ) GmbH

0
Ikhtisar buku acuan

Transportasi yang Berkelanjutan: Sebuah buku acuan bagi


pembuat kebijakan di kota-kota yang sedang berkembang

Apa itu buku acuan?

Buku Acuan tentang Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan ini

membahas area-area utama dari kerangka kerja kebijakan transportasi

yang berkelanjutan bagi kota yang sedang berkembang. Buku acuan ini

terdiri dari 20 modul.

Buku acuan ini untuk siapa?

Buku acuan ini diperuntukkan bagi para pembuat kebijakan di kota-

kota yang sedang berkembang dan para penasehatnya. Pembaca yang

menjadi sasaran ini tercermin dalam isi buku, yang memberikan sarana

kebijakan yang cocok untuk diterapkan di berbagai kota yang sedang

berkembang.

Bagaimana cara menggunakannya?

Buku acuan ini dapat digunakan dengan beberapa cara. Sebaiknya

buku ini disimpan di satu tempat bersama dengan modul-modul

lainnya yang tersedia bagi para pejabat resmi yang terlibat dalam

transportasi perkotaan. Buku acuan ini dapat dengan mudah

disesuaikan untuk pelaksanaan pelatihan atau kursus singkat yang

resmi atau sebagai pedoman untuk mengembangkan kurikulum atau

jenis pelatihan lain di bidang transportasi perkotaan, GTZ sedang

mengikuti jalan tersebut.

1
Apa saja keistimewaan pokoknya?

Keistimewaan-keistimewaan pokok buku acuan ini mencakup:

ƒ Orientasi praktis yang memusatkan perhatian pada praktek-praktek

terbaik dalam perencanaan dan regulasi dan bila memungkinkan,

pengalaman yang berhasil di kota-kota yang sedang berkembang.

ƒ Kontributor buku ini adalah para pakar dibidangnya masing-masing.

ƒ Tampilan buku yang berwarna, menarik dan mudah dibaca.

ƒ Bahasa tidak terlalu teknis (sampai tingkat tertentu) dengan istilah-

istilah teknis yang dijelaskan.

ƒ Selalu diperbaharui melalui internet.

Bagaimana saya dapat memperoleh salinan buku ini?

Silakan kunjungi website www.sutp-asia.org atau www.gtz.de/

transport untuk memperoleh informasi lengkap tentang cara memesan

salinan buku ini. Buku acuan tidak dijual untuk mencari keuntungan.

Biaya yang dikenakan hanya untuk menutupi ongkos cetak serta

distribusi saja.

Komentar atau saran?

Kami akan menerima dengan senang hati semua komentar atau saran

yang anda berikan atas setiap bagian yang ada dalam Buku Acuan ini

melalui email ke sutp@sutp.org atau langsung melalui surat ke alamat:

Manfred Breithaupt
GTZ, Division 44
Posfach 5180
65726 Eschborn

2
Germany

Modul dan kontributor

Ikhtisar Buku Acuan; dan Pembahasan Masalah Transportasi

Perkotana (GTZ)

Orientasi Kelembagaan dan Kebijakan

1a. Peran Transportasi dalam Kebijakan Perkembangan Perkotaan

(Enrique Penalosa)

1b. Lembaga Transportasi Perkotaan (Richard Meakin)

1c. Peran Serta Sektor Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur

Transportasi (Christopher Zegras, MIT).

1d. Instrumen Ekonomi (Manfred Breithaupt, GTZ).

1e. Meningkatkan Kesadaran Publik tentang Transportasi Perkotaan

yang Berkelanjutan (Karl Fjellstrom, GTZ).

Perencanaan Guna Lahan dan

Manajemen Permintaan

2a. Perencanaan Guna Lahan dan Transportasi Perkotaan (Rudolf

Petersen, Wuppertal Institute).

2b. Manajemen Mobilitas (Todd Litman, VTPI)

Angkutan, Jalan Kaki dan Bersepeda

3a. Pilihan Angkutan Massal (Lloyd Wright, ITDP; Karl Fjellstrom, GTZ).

3b. Angkutan Bus Cepat (Llyod Wright, ITDP).

3c. Perencanaan dan Peraturan Bus (Richard Meakin).

3
3d. Mempertahankan dan Memperluas Peran Angkutan Tidak

Bermotor (Walter Hook, ITDP).

Kendaraan dan Bahan Bakar

4a. Bahan Bakar yang Lebih Bersih dan Teknologi Kendaraan

(Michael Walsh; Reinhard Kolke,Umweltbundesamt-UBA).

4b. Pemeriksaan, Pemeliharaan dan Kelaikan Jalan (Reinhard Kolke,

UBA).

4c. Kendaraan Roda Dua dan Roda Tiga (Jitendra Shah, Bank Dunia;

N.V.Iyer, Bajaj Auto).

4d. Kendaraan yang berbahan bakar gas alam (MVV InnoTec).

Dampak Lingkungan dan Kesehatan

5a. Manajemen Kualitas Udara (Dietrich Schwela, Organisasi

Kesehatan Dunia).

5b. Keselamatan Jalan Perkotaan (Jacqueline Lacroix, DVR;David

Silcock, GRSP)

5c. Kebisingan dan Usaha Menguranginya (Civic Exhange Hong

Kong; GTZ; UBA).

Sumberdaya:

6. Sumberdaya bagi Pembuat Kebijakan (GTZ)

Modul dan sumber lebih lanjut

Modul lanjutan diharapkan meliputi bidang-bidang Pelatihan

Pengemudi; Pembiayaan Transportasi Perkotaan; Pembuatan Patokan

dan Rencana Partisipatif. Sumber-sumber lain sedang dikembangkan

4
dan saat ini sudah tersedia CD Foto Transportasi Perkotaan (GTZ

2002).

Modul 2a
Perencanaan Guna Lahan dan Transportasi
Perkotaan
Temuan, interpretasi dan kesimpulan yang tercakup dalam dokumen

ini dibuat berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh pihak GTZ

dengan para konsultan, rekanan dan kontributor dari sumber-sumber

yang dapat dipercaya. Namun demikian, GTZ tidak menjamin

keakuratan atau kelengkapan informasi dalam dokumen ini dan tidak

bertanggungjawab atas setiap kesalahan, penghapusan atau kehilangan

yang timbul dalam menggunakan dokumen ini.

Tentang penulis

The Wuppertar Institute for Climate, Environment, and Energy (WI)

bekerja untuk mengatasi pertentangan kebutuhan antara ekonomi dan

ekologi. Kemakmuran yang semakin meningkat ditambah dengan

penurunan pemakaian sumber daya alam menjadi paradigma bagi

inovasi eko-efisien dan bagi sebuah generasi baru teknologi.

Untuk membantu mencapai sasaran ini, WI menggodok konsep

kongkret untuk merealisasikannya dalam bidang kebijakan energi,

transportasi, arus materi dan iklim, termasuk penyediaan visi aktual

untuk sejumlah model baru kesejahteraan. Selanjutnya, WI secara aktif

memberikan sumbangan bagi pengembangan dan dukungan bagi opsi,

5
kebijakan dan langkah khusus untuk beradaptasi dengan perubahan

iklim.

Profesor Dr. Petersen menjadi Direktur Divisi Transportasi pada

Uppertal Institute sejak 1991. Sebelumnya dia bekerja untuk

Kementerian Pengembangan Kota dan Lalu lintas di Rhine Westphalia

Utara dan Badan Lingkungan Federal. Sejak 2001, dia menjadi

Profesor Kehormatan pada Fakultas Teknik Mesin Universitas Esses.

Keahlian kerja dan daftar publikasinya mencakupi analisis kebijakan

transportasi dan lingkungan serta teknologi kendaraan. Proyek riset

telah memperluas cakupan transportasi penumpang dan barang dengan

fokus terhadap aspek lingkungan. Pengalaman konsultasi internasional

menyangkut kebijakan transportasi dan pengembangan perkotaan

termasuk di Amerika Latin, Asia dan negara-negara Arab. Penulis

berterima kasih kepada Dipl.-Ing. Carolin Schäfer atas dukungannya

dalam penelitian dan penyuntingan.

Pengarang:

Rudolf Petersen (Wuppertal Institute)

Dengan kontribusi tambahan oleh Carolin Schäfer (Wuppertal Institute)

Editor:

Deutsche Gesellschaft fur

Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH

PO BOX 5180

65726 Eschborn Jerman

6
http://www.gtz.de

Divisi 44, Lingkungan dan Infrastruktur

Proyek Sektor: “Saran Kebijakan Transportasi”.

Disusun oleh:

Bundesministerium for wirtschaftliche

Zusammenarbeit und Entwickklung (BMZ)

Friedrich-Ebert-Allee 40

53113 Bonn, Jerman

http://www.bmz.de

Manajer:

Manfred Breithaupt

Dewan Editorial:

Manfred Breithaupt, Karl Fjellstrom, Stefan Opitz, Jan Schwaab.

Sampul Depan:

Karl Fjellstrom

Parkir Sepeda dan maksimalisasi pemanfaatan lahan di sekitar stasiun

transportasi umum cepat di Shanghai, Cina, Januari 2002.

Cetakan:

TZ Verlagsgesellschaft mbH

Bruchwiesenweg 19, 64380 Robdorf, Jerman

Eschborn, 2002

7
1. Sifat Masalah 10
1.1 Penggunaan lahan untuk keperluan transportasi 10
1.2 Interaksi antara pola penggunaan (pemanfaatan) lahan,
transportasi dan lingkungan. 14
1.3 Penanganan tuntutan yang saling bertentangan untuk ruang
perkotaan. 17
1.4 Rancangan dan implementasi rencana penggunaan lahan. 19

2. Mobilitas dan Transportasi dalam Perbandingan Internasional 20


2.1 Hasil survei internasional. 21
2.2 Kepadatan perkotaan dan pilihan moda 24
3. Dampak Penggunaan Lahan Terhadap Transportasi Perkotaan
Pada Skala yang Berbeda 288
3.1 Properti, ketinggian bangunan dan lokasi; karakteristik
jalan 28
3.2 Blok, wilayah hunian, lingkungan perkotaan 30
3.3 Tingkat kota: pembangunan perkotaan dan transportasi 35

4. Pola Pertumbuhan Perkotaan 39


4.1 Skema yang disederhanakan 39
4.2 Konsekuensi transportasi dari pertumbuhan perkotaan 41

5. Perkembangan di Luar Perbatasan Kota 43

6. Generasi Perjalanan dan Pilihan Mode Terkait


Parameter Penggunaan Lahan 50
6.1 Prinsip dasar 50
6.2 Penggunaan lahan dan tuntutan perjalanan di wilayah
perkotaan 52

7. Pengaruh Transportasi Terhadap Pengembangan Ruang 57

8. Cara Mengatur Penggunaan Lahan 65

8
8.1 Set-up organisasi dan legal 65
8.2 Praktek perencanaan penggunaan lahan 71
8.3 Provisi transportasi dalam rencana penggunaan lahan 74
Pejalan kaki 75
Pengendara sepeda 76
Akses transportasi publik 77
Kualitas transportasi publik 77
Kendaraan bermotor pribadi 78
Kebijakan parkir 80

9. Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Permintaan Perjalanan


yang Berkurang 81
9.1 Prinsip dasar 81
9.2 Penciptaan pengembangan penggunaan lahan
perkotaan untuk transportasi yang berkesinambungan 86
Perencanaan ABC Belanda 86
9.3 Pengembangan regional untuk transportasi yang
berkesinambungan 94
10. Ceklis untuk Penggunaan Lahan dan Rencana Transportasi 101
10.1 Pengembangan baru 101
10.2 Transportasi publik dan penggunaan lahan 102
10.3 Pengembangan perkotaan 104
10.4 Lalu lintas (Trafik) khusus bermotor 105
10.5 Transportasi barang 106

11. Sumber 107

11.1 Sumber Internet 107

11.2 Daftar Pustaka 109

9
1. Sifat Masalah

Ruang perkotaan harus memenuhi berbagai kebutuhan manusia:

perumahan, pekerjaan, interaksi sosial, santai serta mobilitas orang

dan barang. Manusia juga membutuhkan lingkungan alam yang

terdapat di sekitar wilayah tempat tinggal mereka, antara lain : daerah

hijau untuk rekreasi dan santai. Pohon-pohon, taman-taman dan ruang

hijau lainnya membantu memberikan kondisi hidup yang sehat melalui

pembersihan polutan di udara, peredam kebisingan dan pengatur

kelembaban. Di luar perspektif antroposentris (terpusat pada manusia)

langsung ini, konservasi habitat alami diperlukan untuk

mempertahankan fungsi ekosistem dari seluruh kehidupan di

permukaan bumi.

Untuk menciptakan atau melindungi lingkungan perkotaan yang layak

untuk hidup, kebutuhan terhadap fungsi-fungsi ini harus

diseimbangkan satu sama lainnya. Perencanaan penggunaan lahan

harus memenuhi keseimbangan proses keseimbangan tuntutan antara

persaingan kebutuhan terhadap ruang perkotaan yang terbatas. Tujuan

dari modul ini adalah untuk memberikan informasi dan

menyebarluaskan pengalaman yang terkait antara struktur penggunaan

lahan dan transportasi, dan untuk mendiskusikan strategi untuk

mendukung realisasi transportasi perkotaan yang lebih berkelanjutan

dengan perencanaan penggunaan lahan. Bagian lain dari seksi ini

10
memperkenalkan beberapa aspek pokok yang perlu dipertimbangkan

secara lebih rinci dalam seksi berikut ini.

1.1 Penggunaan Lahan untuk Keperluan Transportasi

Mobilitas, terutama moda kendaraan bermotor, membutuhkan lahan

yang semakin luas, baik di dalam kota maupun di daerah pedalaman.

Kota-kota di negara yang memiliki banyak kendaraan bermotor

menyediakan banyak lahan perkotaannya untuk jalan raya; gambaran

khusus untuk kota-kota AS, Jepang dan Eropa menjadi sekitar 15%

sampai 25% (Tabel 1).

Tabel 1: Perbandingan lahan jalan internasional

Lokakarya Transportasi Perkotaan dan Lingkungan CCICED/TWG, Beijing, April 1999.

Kota Kepadatan Jalan Rasio Jalan Area Jalan Per


(km/km2) terhadap wilayah Kapita (m3)
Kota (%)

Kota besar Cina Sekitar 4 Sekitar 5 Sekitar 6

sampai 6 sampai 7

Tokyo 18,9 14,9 10,9

London 18,1 24,1 28

New York 8 16,6 26,3

Sebaliknya, kota-kota Cina hanya menyediakan 5% sampai 7% untuk

jalan raya dari luas wilayah kota. Berrdasarkan ukuran per kapita,

setiap orang di Shanghai memiliki rata-rata ruang jalan 6 m2

sedangkan masing-masing warga New York memiliki 26 m2. Makanya

ada perbedaan yang nyata menyangkut ruang jalan yang tersedia untuk

11
setiap orang. Dalam arah perkembangan historisnya, masyarakat

dengan tingkat kepemilikan mobil yang tinggi telah menyerahkan porsi

yang semakin besar dari lahan perkotaan untuk mobil, dan pada waktu

yang bersamaan kepadatan populasi di kota-kota ini menurun. Apakah

arah ini yang akan diikuti oleh kota-kota di negara berkembang untuk

memperbaiki kondisi lalu lintasnya? Perencana di negara berkembang

sering merujuk pada angka ini untuk program konstruksi jaringan jalan

yang luas. Misalnya, Shanghai telah meningkatkan panjang dan daerah

jalan yang diaspal dari 1991 sampai 1997 masing-masing 18,6% dan

41,6%, memperluas terutama jaringan multi-lajur yang lebar dan

meningkatkan jalur cepat. Area jalan per kapita meningkat dari 4,7 m2

menjadi 6,5 m2. Merujuk kepada data internasional, strategi ini

sepertinya logis tapi perlu dipertanyakan apakah pengembangan jalan-

jalan benar-benar menyediakan perbaikan kondisi lalu lintas. Jumlah

kemacetan di jalan arteri utama di New York mungkin lebih parah

dibanding Shanghai, seperti halnya di Los Angeles atau London.

Walaupun perbandingan rata-rata kecepatan lalu lintas di antara kota

menunjukkan bahwa kondisi terburuk bisa dilihat di Bangkok, dan

beberapa kota besar Asia juga menunjukkan arus lalu lintas yang

mengkhawatirkan, namun data tersebut tidak bisa dijadikan sebagai

alat pembenaran yang valid untuk program pembangunan jalan.

Interaksi antara transportasi dan penggunaan lahan dan kemampuan

pembangunan-pembangunan terkait harus dipikirkan. Peningkatan

ruang jalan bisa mengurangi kualitas lingkungan perkotaan, mencegah

12
orang berjalan kaki atau bersepeda dan memaksa keluarga yang mampu

untuk pindah ke daerah yang lebih bersih dan tidak berisik.

Model pengembangan kota di Amerika Utara khususnya tidak

menyediakan panduan yang baik untuk kawasan Asia dan Amerika

Latin yang berpenduduk padat. Pandangan dari Seattle (Foto 1) dan

Singapura (Foto 2) menunjukkan perbedaan bentuk perkotaan dan

penggunaan lahan untuk transportasi. Sementara pengembangan di AS

menciptakan lahan yang tidak banyak dihuni orang, kota-kota Asia dan

Eropa menunjukkan kepadatan yang tinggi dan berbagai fungsi. Foto 1

menggambarkan sebuah sumber lahan yang tidak dihuni dan malah

memicu orang untuk bertanya apa ini sebuah kota.

Foto 1: Seattle, contoh dari penggunaan lahan perkotaan gaya AS.

13
Foto 2: Singapura, contoh dari penggunaan lahan perkotaan gaya Asia/Eropa.

Foto 3: Jalan utama di Jakarta Foto 4: Jalan kecil di Jakarta

Kondisi kehidupan dan transportasi sangat berbeda diantara kota-kota

berkembang. Solusi transportasi harus disesuaikan dengan kondisi dan

kebutuhan lokal. Foto 3 bisa saja diambil di sebuah kota AS dimana

jalan arteri utama menyediakan ruang yang luas untuk mobil besar.

Tapi jalan jenis ini tidak menceminkan kebutuhan orang yang tidak

memiliki mobil di lingkungan tanpa mobil (Foto 4). Kesimpulan apa

yang bisa ditarik untuk prioritas dalam kebijakan transportasi

perkotaan?

14
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa perbandingan sederhana rata-

rata ruang jalan di antara kota tidak dengan sendirinya menjadi alat

pembenaran bagi investasi baru untuk infrastruktur jalan raya. Tingkat

kepemilikan mobil berbeda secara signifikan sebagaimana halnya

permintaan dan jarak perjalanan. Gaya hidup yang berorientasi kepada

mobil di luar jangkauan pada sebagian besar orang-orang di negara

berkembang. Memang benar jika kepemilikan mobil pribadi meningkat

pesat seiring dengan peningkatan permintaan terhadap jasa

transportasi bermotor. Ini bermuara pada beban yang berlebihan pada

jalan raya, menimbulkan kemacetan dan penciutan lingkungan

perkotaan. Tapi pengalaman internasional menunjukkan bahwa

program pembangunan yang komprehensif tidak akan mampu

mengatasi permintaan mobil terhadap ruang jalan.

Para perencana diseluruh dunia tahu bahwa transportasi perkotaan

yang bertumpu pada mobil bukanlah jalur pengembangan yang

berkesinambungan—tidak pula fungsi perkotaan atau lingkungan.

Hanya transportasi publik yang bisa menjamin mobilitas di kota-kota

besar. Dan hanya dengan mempertahankan kondisi yang baik untuk

pejalan kaki dan pengendara sepeda yang bisa mempertahankan tingkat

kualitas perkotaan yang memuaskan.

Pengembangan jenis apa dan perencanaan penggunaan lahan apa yang

mendukung transportasi yang berkelenjutan?

15
1.2 Interaksi Antara Pola Penggunaan Lahan,
Transportasi dan Lingkungan.

Distribusi ruang untuk perumahan, pekerjaan, pusat belanja, waktu

senggang dan kegiatan lainnya menentukan rata-rata jarak perjalanan

dalam transportasi perkotaan. Tingkat kepadatan populasi yang tinggi,

sebagaimana halnya gabungan penggunaan lahan untuk berbagai

kegiatan sosial dan ekonomi, mempertahankan jarak yang dekat antara

asal dan tujuan perjalanan perkotaan. Pada sisi lain, pengembangan

dengan tingkat kepadatan yang rendah dan bidang jalan yang besar

meningkatkan jarak perjalanan dan mendorong porsi perjalanan mobil

yang lebih tinggi.

Dengan mempengaruhi struktur ruang lokasi di lingkungan perkotaan,

perencanaan penggunaan lahan bisa membantu menurunkan jarak yang

ditempuh dan mendukung porsi transit yang tinggi. Pengembangan

yang padat dan variasi penggunaan menjadi daya tarik bagi orang

untuk berjalan kaki dan naik sepeda. Ini merupakan mode transportasi

yang paling ramah lingkungan. Kajian kompratif internasional

menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara kepadatan

populasi, kendaraan bermotor ddengan konsumsi energi per kapita

pada sektor transportasi. Merujuk pada gas buang tertentu yang tinggi

per kilometer dari kendaraan bermotor di negara berkembang, jumlah

lalu lintas yang dihasilkan oleh struktur ruang yang tidak diharapkan

secara langsung mempengaruhi kualitas udara.

16
“Kesadaran meningkat bahwa paradigma perencanaan perkotaan
masa lalu harus diubah dan pengembangan luas harus diperangi”

Lebih jauh, konsumsi minyak dan emisi buang gas rumah kaca secara

tidak terelakkan akan meningkat cepat jika kebijakan transportasi dan

penggunaan lahan di negara berkembang mengikuti jenis transformasi

ruang yang dialami oleh negara dengan tingkat kepemilikan kendaraan

bermotor yang tinggi. Gambar 1 melukiskan “siklus yang jahat” dari

pada lalu lintas mobil yang bermuara pada memburuknya kondisi

hidup, mengarah kepada suburbanisasi (pergerakkan ke pinggir kota)

dan mengubah kawasan pinggir menjadi kompleks perumahan, dimana

keluarga-keluarga tergantung pada mobil pribadi untuk mobilitas

sehari-hari. Sekali lagi, peningkatan penggunaan mobil mengikuti

spiral lalu lintas, ketika lebih banyak jalan dibangun untuk memuaskan

penglaju bermobil, yang menyulap lahan kota yang berharga menjadi

wilayah kosong seperti ditunjukkan di Seattle (Foto 1).

Di Eropa, Jepang dan bahkan Amerika Utara, kesadaran meningkat

bahwa paradigma perencanaan perkotaan yang lalu perlu diubah, dan

pengembangan luas harus diperangi.

Pandangan ini berdasarkan pada pengalaman lokal, atas pengamatan

bahwa kemacetan dan waktu perjalanan semakin meningkat, dan pada

beban moneter yang harus ditanggung oleh anggaran swasta dan

publik.

17
Selanjutnya, ada kekhawatiran terhadap lingkungan lokal, terutama

menyangkut polusi udara, kebisingan, polusi air tanah akibat buangan

mesin, hilangnya fungsi tanah dan keragaman hayati. Dan kemudian

ada kecemasan global menyangkut sumber energi dan emisi gas rumah

kaca. Kebijakan iklim internasional mulai melirik komitmen

pengurangan, yang mencantumkan kebijakan penggunaan lahan hemat

energi ke dalam agenda. Ini memberikan sumbangan bagi sikap kritis

terhadap jumlah mobil yang digunakan—sebagian menyebutnya

ketergantungan pada mobil—di Eropa dan di Amerika Utara. Protokol

Kyoto hanyalah awal; negosiasi di masa datang mengharuskan negara

berkembang untuk juga membantu pengurangan emisi gas rumah kaca.

Bagaimana perencanaan panggunaan lahan membantu mobilitas masa

depan dengan emisi dan konsumsi energi yang lebih rendah?

Gambar 1. Interaksi penggunaan lahan dengan lalu lintas.

18
Lalu lintas mobil Æ lahan yang dipakai untuk jalan Æ emisi, kebisingan, kecelakaan
Æ peningkatan lalu lintas Æ
jarak yang bertambah

- di dalam kompleks hunian


- ke tempat kerja
- ke kawasan untuk santai
- (ini membutuhkan lebih banyak transportasi
Æ semakin rendahnya daya tarik lalu lintas pejalan kaki dan pemakai sepeda dan
berkurangnya akses ke transportasi publik Æ perubahan dari pejalan kaki ke
perjalanan dengan mobil Æ perjalanan dengan lebih banyak mobil.

1.3 Pengelolaan Tuntutan yang Saling Bertentangan


untuk Ruang Perkotaan

Mobilitas penumpang dan barang merupakan elemen penting dari

interaksi sosial dan ekonomi, yang menciptakan basis bagi kemajuan

dan kesejahteraan lewat penggabungan bakat dan keterampilan.

Pemisahan tenaga kerja menggenjot produktivitas yang menyebabkan

peningkatan aktivitas transportasi. Migrasi dan pertumbuhan populasi

memicu persyaratan tambahan untuk perumahan dan penggunaan

lainnya dari lahan. Individualisasi gaya hidup dan liberalisasi kegiatan

ekonomi berubah menjadi kekuatan pasar yang bersaing untuk

mendapatkan ruang perkotaan yang sempit. Kota yang nyaman untuk

dihuni perlu menyeimbangkan persyaratan ekonomi, sosial dan

lingkungan dalam menghadapi keterbatasan ruang. Disamping

kompetisi anyara perumahan, pusat belanja, kawasan hijau dan jalan

dalam batas perkotaan tradisional, ada masalah yang terjadi pada lahan

pertanian akibat pergerakan ke pinggir dari berbagai fungsi perkotaan.

19
Secara historis, kota-kota terletak di kawasan yang subur di mana

produksi pertanian bisa menghidup populasi perkotaan.

“Perencanaan penggunaan lahan harus diarahkan pada penciptaan


struktur yang menghindari transportasi”

Bahkan jika produksi pertanian sekarang di negara berkembang

mungkin cukup dalam jumlah kuantitas, kehilangan sumber produksi

makanan di sekitarnya meningkatkan volume barang yang diangkut

dalam jarak yang lebih jauh. Sebaliknya, pengembangan kawasan yang

berkesinambungan bertujuan untuk melindungi produksi pertanian

dalam kedekatan yang erat terhadap populasi perkotaan. Pada

umumnya, aktivitas manufaktur regional akan memberikan peluang

untuk kegiatan transportasi yang lebih sedikit, tapi merujuk pada

kondisi harga transportasi sekarang, faktor-faktor biaya lainnya

mendominasi keputusan menyangkut ruang sehingga memunculkan

jaringan produksi dan distribusi yang lebih luas.

Walaupun tekanan pasar di sebagian besar negara mendukung

keputusan permukiman yang menyita lahan dengan tingkat kepadatan

yang rendah, perencanaan penggunaan lahan harus mengarah kepada

penciptaan struktur yang menghindari transportasi. Keterlibatan publik

mungkin mendukung konsep ini, dan menyokong keputusan para

perencana dalam menghadapi kelompok kepentingan.

20
1.4 Rancangan dan Implementasi Rencana Penggunaan

Lahan.

Perencanaan penggunaan lahan diperlukan untuk mengamankan

pengembangan kawasan dan perkotaan yang seimbang dan sehat.

Kota-kota di Eropa dan Jepang sudah lama memiliki tradisi dalam

perencanaan penggunaan lahan, dan mencatat beberapa prestasi

penting dalam mempertahankan struktur perkotaan yang baik. Di

negara berkembang, ada kesadaran yang semakin meningkat tentang

perlunya untuk mengarahkan pengembangan perkotaan dalam upaya

menghindari struktur yang tidak berkesinambungan, tapi kapasitas

institusional dan provisi legal untuk perencanaan penggunaan lahan

pada dasarnya lemah. Tanpa pengakuan terhadap interaksi antara

perencanaan penggunaan lahan, pertumbuhan perkotaan dan

pengembangan transportasi, tidak akan ada sistem transportasi yang

berkesinambungan yang akan muncul, bahkan tidak pula berkaitan

dengan kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan. Penciptaan prioritas

atas perluasan kapasitas jaringan jalan tanpa sebuah visi

pengembangan ruang yang jelas telah gagal menurunkan tingkat

kemacetan di seluruh penjuru dunia. Peningkatan kapasitas lalu lintas,

terutama lajur cepat penglaju di perkotaan, menyebabkan kenaikan

pada permintaan lalu lintas yang sangat melemahkan perbaikan

kapasitas lalu lintas.

21
2. Mobilitas dan Transportasi dalam Perbandingan

Internasional

Istilah “mobilitas” dan “transportasi” sering dianggap sama. Mobilitas

terbatas pada pergerakan, berdiri semata untuk perubahan lokasi dan

transportasi sendiri. Jumlah kilometer yang ditempuh menjadi pusat

perhatian dan sering menjadi indikator dari mobilitas. Akibatnya,

pilihan lain untuk merealisasikan tujuan dan maksud yang berkaitan

dengan mobilitas tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan.

Kenyataannya, seseorang yang menempuh kilometer yang lebih sedikit

bisa menjadi lebih fleksibel dan mobil jika dia harus mengemudi atau

bahkan naik sepeda/berjalan kaki dengan kilometer yang lebih sedikit

untuk menjalankan aktivitasnya ketimbang seseorang yang bergantung

pada sebuah mobil agar bisa mencapai tujuannya. Dalam pengertian

ini, mobilitas harus diukur dengan pengertian yang lebih luas

berkenaan dengan “akses potensial” ketimbang semata “kilometer

pergerakan”.

Seksi berikut ini menyajikan perbandingan internasional dari pada

sifat pergerakan dan transportasi, dan menjelaskan hubungan antara

kepadatan perkotaan dengan pilihan moda transportasi.

2.1 Hasil Survei Internasional.

Survai mobilitas internasional menunjukkan bahwa jumlah perjalanan

pribadi dan waktu yang dihabiskan untuk perjalanan sangat konstan di

seluruh dunia (lihat Gambar 2). Ini terlepas dari fakta bahwa kondisi

22
untuk mobilitas sangat berbeda antara kawasan yang berlainan

berkaitan dengan struktur pendapatan dan ruang. Jelas sekali ada batas

waktu yang mengarah—secara rata-rata—kepada pemilihan lokasi dan

pola perilaku yang membatasi waktu perjalanan harian secara

keseluruhan menjadi sekitar 60 sampai 70 menit.

Tabel 2: Pola transportasi perkotaan internasional (1990)

Kenworthy dan Laube, dkk, 1999

Pola Transportasi Kota2 Kota2 Kota2


Asia Eropa
AS
Kepemilikan mobil (mobil penumpang per 1.000 109 392 608
orang)
Kepemilikan kendaraan (kendaraan per 1.000 orang) 224 452 749
Panjang jalan tertentu (meter per kapita) 1,1 2,4 6,7
Kepadatan jalan (meter jalan per ha kota) 122 115 89
NMT (jalan kaki+sepeda+pedicab, % perjalanan kerja 19 18 5
Peran transportasi publik (% dari seluruh kilometer 48 23 3
penumpang)
Penggunaan mobil per orang (kilometer per kapita per 1.397 4.519 11.155
tahun)
Energi yang dipakai per orang (transportasi 6.969 17.218 55.807
penumpang swasta per kapita (MJ))

Catatan: Kota-kota Asia termasuk dalam data ini adalah Tokyo, Singapura, Hong Kong,
Kuala Lumpur, Bangkok, Jakarta, Surabaya dan Manila.

23
Anggaran waktu perjalanan, jam/cap/hari

Gambar 2: Data survei waktu perjalanan internasional

Namun Persamaan dalam pola mobilitas mengacu hanya kepada waktu

perjalanan, bukan jarak perjalanan. Penting untuk membedakan antara

mobilitas sebagai sebuah permintaan dasar dan transportasi sebagai

sebuah permintaan turunan. Kajian tentang hubungan antara struktur

pendapatan, kepemilikan mobil dan transportasi menunjukkan

perbedaan besar menyangkut jarak yang ditempuh dan moda

transportasi yang dipakai antara kota-kota Asia, Eropa dan AS (lihat

Tabel 2).

Ditempat dimana mobil pribadi tersedia untuk setiap warga maka

kilometer per kapita yang ditempuh tinggi sedangkan porsi

transportasi publik merosot. Karena menurut Gambar 2 waktu

perjalanan harian lebih atau kurang konstan di berbagai kawasan dan

24
masyarakat, ini akan bermuara kepada kesimpulan bahwa penggunaan

moda yang lebih cepat tidak menghasilkan penghematan rata-rata

waktu tapi lebih memungkinkan orang untuk melakukan perjalanan

yang lebih panjang dalam waktu yang sama. Sebaliknya,

mempertahankan struktur permukiman yan padat dan beragam akan

memungkinkan orang ikut serta dalam banyak kegiatan ketika

menggunakan moda transportasi yang lebih lambat dibanding sebuah

masyarakat mobil dengan permukiman yang menyebar dan jaringan

jalan yang luas.

Perbedaan antara Asia, Eropa dan AS seperti ditunjukkan Tabel 2

signifikan. Tapi juga di tiga kawasan itu perbedaan besar di antara

kota bisa ditemukan berdasarkan pada filosofi pengembangan

perkotaan yang diikuti.

Sejumlah kota Asia mengambil keputusan yang menganjurkan untuk

tidak memakai mobil pribadi sembari ada perbaikan pada sistem

transportasi publik, pertama dengan membarui sistem bus dan

kemudian membangun atau memperluas sistem kereta api di pinggir

kota. Contoh dari cara pengembangan ini bisa dilihat di Singapura,

Hong Kong, Tokyo dan Seoul. Kota lain seperti Bangkok, Kuala

Lumpur dan Jakarta, misalnya, menempuh cara yang berbeda dengan

mencoba mengatasi motorisasi yang cepat lewat pembangunan jalan

(Barter, 2000).

25
2.2 Kepadatan Perkotaan dan Pilihan Moda

Keputusan yang diambil untuk mendukung salah satu dari dua arah

pengembangan itu tidak hanya berkaitan dengan hubungan kompetitif

antara moda transportasi perkotaan, tapi juga menciptakan

pengembangan perkotaan di luar sektor transportasi. Di mana

tranportasi lebih bertumpu pada transit, sebuah kota tumbuh secara

berbeda dengan kota yang memiliki paradigma pengembangan

berorientasi mobil.

Karakter khusus dari sistem transportasi perkotaan—dalam tabel yang

dirangking menurut porsi penggunaan kendaraan pribadi oleh

penglaju—tentu saja bukan hanya sebuah konsekuensi dari kebijakan

transportasi dan strategi penggunaan lahan tapi juga sangat

dipengaruhi oleh rata-rata pendapatan. Di kawasan berpendapatan

rendah di mana tingkat kepemilikan mobil rendah, ketergantungan

kepada transportasi publik pada umumnya tinggi. Ruang hidup per

kapita rendah—di Cina sekitar 6 m2 per orang, bandingkan dengan 60

m2 di AS dan sekitar 30 m2 di Jepang—dan kepadatan populasi

perkotaan sehingga memungkinkan perusahaan transportasi menguasai

rute tetap.

“Kepadatan merupakan sebuah indikator bagus bagi bentuk


angkutan perkotaan yang ramah transit.”

Pengembangan perkotaan yang berorientasi pada transit bertujuan

untuk mendukung struktur yang menopang transportasi publik dan

menolak pemakaian mobil. Tapi perencanaan penggunaan lahan hanya

26
bisa menahan perluasan penggunaan mobil sampai pada taraf yang

terbatas. Eropa—di mana tingkat perluasan terjadi terlepas dari upaya

perencanaan penggunaan lahan—berpengalaman dalam hal ini. Tapi

hasilnya lebih baik dari di AS dan contoh-contoh di Asia seperti

Singapura dan Hong Kong (dan contoh terkini dari Eropa seperti di

Zurich) menunjukkan bahwa transportasi publik diterima luas di kota-

kota besar dengan pendapatan yang relatif tinggi.

Gambar 3 menunjukkan bahwa kepadatan perkotaan yang lebih rendah

meningkatkan ketergantungan pada mobil, dengan seluruh

konseskuensi negatif terkait untuk konsumsi energi dan emisi gas

rumah kaca dari sektor transportasi.

Diagram itu merujuk kepada database yang sama seperti yang

digunakan pada Tabel 3. Temuan umum dan kesimpulan utama yang

didukung hasil survei internasional oleh Asosiasi Internasional

Transportasi Publik (UITP) (Rat, 2001), walaupun angka pastinya

berbeda.

Tabel 4 menghubungkan kepadatan perkotaan dengan porsi agregat

pejalan kaki, pemakai sepeda dan transportasi publik, dan memberikan

data biaya perjalanan dalam persentase produk domestik bruto (PDB),

jarak perjalanan per kapita dan konsumsi energi terkait.

Parameter “kepadatan populasi” yang ditekankan oleh Newman &

Kenworthy dan UITP tentu saja bukan merupakan satu-satunya elemen

dari pada sistem transportasi perkotaan yang berorientasi pada transit.

27
Gorham (1998) menjelaskan:

Riset terkini mengenai subjek ini telah mencabut penekanan peran

kepadatan itu sendiri karena, pertama, sebagai konsep dan alat ukur,

ia sering tidak jelas dan digunakan secara tidak benar, kedua, ia

mungkin bukan merupakan sebuah alat ukur yang akurat untuk

menggambarkan fitur penggunaan lahan yang paling mempengaruhi

perilaku perjalanan, dan ketiga, mungkin ada alat kebijakan

penggunaan lahan yang lebih efektif dalam mendorong perilaku

perjalanan yang berkesinambungan ketimbang semata kepadatan.

Aspek lain dari bentuk perkotaan selain kepadatan adalah termasuk

campuran penggunaan lahan, orientasi bangunan terhadap jalan, pola

dan layout jalan, lebar jalan dan beberapa fitur kecil lain rancangan

perkotaan. Diskusi yang lebih rinci dari parameter ini dilanjutkan pada

Seksi 3 di bawah ini.

Terlepas dari pentingnya faktor-faktor lain, kepadatan tidak terlihat

seperti sebuah indikator awal yang bagus dari bentuk perkotaan yang

ramah transit, dan basis yang masuk akal untuk nalar umum tentang

porsi moda dan jarak perjalanan. Struktu perkotaan dengan kepadatan

yang tinggi secara otomatis membatasi ruang untuk mobil, dan

kebutuhan mobilitas bisa lebih baik dilayani oleh transportasi publik,

berjalan kaki atau bersepeda. Foto 5 menunjukkan kebutuhan ruang

dari sekitar 80 orang yang melakukan perjalanan baik yang berangkat

dengan mobil, bus atau berjalan kaki dan naik sepeda. Semakin moda

28
ramah lingkungan maka semakin baik pula penggunaan ruang jalan.

Tabel 3 : Pembagian moda dalam perjalanan kerja di kota besar Asia,

awal 1990-an.

Berdasarkan pada O’Meara Sheeden, 2001, Kenworthy & Laube dan lain-lain (1999),
populasi dan kepadatan dari Demographia.com.
Populasi Kepadatan Kendaraan Transit Berjalan kaki/
Kota (juta) populasi/k pribadi (%) Publik (%) naik
m2 sepeda/lainnya
(%)
Bangkok 6,4 14.955 60 30 10
Kuala Lumpur 3 5.693 57,6 25,5 16,9
Jakarta 8,2 17.056 41,4 36,3 22,3
Tokyo 31,8 7.099 29,4 48,9 21,7
Manila 9,3 19.783 28 54,2 17,8
Singapura 2,7 8.697 21,8 56 22,2
Hong Kong 5,5 28.405 9,1 74 16,9

29
Gambar 3:
Penggunaan mobil tahunan per kapita (1990) dan kepadatan populasi perkotaan.
Kenworthy & Laube, dkk, 1999. Kepadatan perkotaan (dalam orang per ha).

30
Tabel 4: Kepadatan perkotaan dan parameter transportasi terkait.
Rat (UITP), 2001

Kota Kepadatan % Biaya Perjalanan Energi


penduduk Jalan kaki + perjalanan tahunan (mj/cap)
per ha naik sepeda (% PDB) (km/cap)
+ transit
Houston 9 5 14,1 25.600 86.000
Melbourne 14 26 - 13.100 -
Sydney 19 25 11 - 30.000
Paris 48 56 6,7 7.250 15.500
Munich 56 60 5,8 8.850 17.500
London 59 51 7,1 - 14.500
Tokyo 88 68 5 9.900 11.500
Singapura 94 48 - 7.850 -
Hong Kong 320 82 5 5.000 6.500

Foto 5:

Kebutuhan ruang untuk berbagai moda, poster dari Negara Bagian Nordrhein-

Westfalen, yang terlihat di Muenster, Jerman.

31
3. Dampak penggunaan lahan terhadap transportasi
perkotaan pada skala yang berbeda.

Aspek khusus dari konteks transportasi dan penggunaan lahan seperti

digambarkan pada perbandingan antar kota di atas menampilkan semua

skala geografis dan perwujudan khusus. Pengaruh dari parameter

penggunaan lahan yang berbeda terhadap transportasi dibahas di

bawah ini.

3.1 Properti, ketinggian bangunan dan lokasi; karakteristik

jalan

Frekuensi perjalanan, jarak perjalanan dan pilihan moda yang terkait

dengan karakteristik rumah lokasi dan jalan belum lama ini dianalisis

di Belanda (Meurs/Haaijer, 2001). Jenis rumah (rumah susun, rumah

terpisah/semiterpisah, rumah teras, tanpa taman) mempengaruhi

pilihan mobilitas pribadi termasuk karakteristik jalan (misalnya jalur

sepeda di pintu depan, kemudahan atau keterbatasan parkir, lalu lintas

yang tenang). Namun, dampak yang lebih kuat ditunuukkan oleh

variasi karakteristik lingkungan.

Jenis perumahan perkotaan tradisional berupa “bangunan dengan ujung

sayap blok” (pembangunan perimeter) menciptakan blok yang padat di

sepanjang jalan perkotaan; ini masih merupakan konfigurasi tipikal di

dalam dan sekitar banyak distrik pusat kota-kota Eropa. (Gambar 4

memberikan contoh dari Berlin). Di banyak kota Asia, bangunan jenis

ini muncul pada distrik yang dibangun sampai 1930-an. Kemudian,

32
pengembangan lahan menjadi paradigma penting bagi perencana

perkotaan di seluruh penjuru dunia—dengan konsekuensi

bertambahnya jarak perjalanan.

Blok sampai jalan tradisional sampai enam lantai memiliki sejumlah

keuntungan bagi mobilitas yang berkesinambungan: Akses yang besar

dari pintu masuk rumah ke trotoar pejalan kaki, dan penglihatan yang

dekat termasuk kontak suara antara penduduk dan kawasan pejalan

kaki yang membuat jalan kaki menyenangkan dan aman. Bagian depan

rumah biasanya sempit, sering kali dengan kombinasi toko pada lantai

dasar dengan rumah susun di lantai atas.

Perumahan campuran seperti ini menawarkan akses yang besar kepada

banyak fungsi perkotaan dalam jalan kaki jarak pendek. Akses ke

perhentian bus dan trem di sepanjang juga mudah. Ditemukan bahwa

jarak jalan kaki yang lebih jauh ke perhentian bus dan trem di

sepanjang barisan rumah bisa diterima di mana bagian depan bangunan

bervariasi. Penggunaan gaya yang berbeda dan lantai dasar akan

disukai dari sudut pandang itu, ketimbang bagian depan yang panjang

dan bagian depan bangunan yang monoton.

Dengan semakin meningkatkanya lalu lintas kendaraan bermotor di

jalan raya, kondisi kehidupan dipengaruhi oleh kebisingan dan emisi.

Menanggapi memburuknya lingkungan ini, rancangan gedung diubah

dengan mengalihkan bagian depan ruang tamu dari jalan menjadi

menghadap ke belakang. Kontak visual dan keselamatan publik

33
terganggu oleh perkembangan ini yang membuat jalan kaki menjadi

kurang nyaman dan aman.

Pada paruh kedua abad ke-20, pengembangan jalur hijau menjadi

populer di antara para arsitek dan pengembang, penempatan bangunan

tidak lagi menghadap ke jalan tapi agak jauh dari jalan dan dikelilingi

oleh taman dan rumput hijau.

Gambar 4: Bangunan dengan ujung sayap blok (Berlin), (model arsitek).


Kota Berlin.

(Lihat bangunan tinggi di bagian atas Gambar 4).

Gedung-gedung ini bukan merupakan tempat yang bagus untuk

pertokoan dan jasa mengingat jaraknya ke jalan dan orang yang

berseliweran, yang mengakibatkan peningkatan pemisahan fungsi-

fungsi. Walaupun struktur lokasi ini bisa memperbaiki kondisi

34
lingkungan, jenis pengembangan ini kurang menarik bagi pejalan kaki

karena menambah jarak perjalanan dan mengurangi aksesibilitas.

Perubahan paradigma yang berkaitan dengan bangunan telah mengubah

preferensi mobilitas. Ketika jarak bertambah jauh dan jalan semakin

lebar, dan ruang parkir disediakan di sekitar gedung yang terisolasi,

penggunaan mobil menjadi lebih nyaman ketimbang berjalan kaki atau

menggunakan transportasi publik.

3.2 Blok, wilayah hunian, lingkungan kota

Parameter penggunaan lahan pada tingkat lingkungan termasuk

kepadatan (dalam ukuran alamat per hektar) dan banyak konfigurasi

dari fungsi, dengan akses yang mudah ke semua tujuan harian dengan

berjalan kaki; lokasi untuk belanja, jasa, lokasi santai, taman dan

sebagainya. Sebagian besar aktivitas dilakukan di dalam kawasan

hunian dengan perjalanan yang pendek. Ini harus memusatkan

perhatian perencana transportasi pada tingkat lokal. Fasilitas yang

baik bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda, koneksi lewat blok untuk

lalu lintas non-motor, skema parkis dan transit akses jarak pendek (di

bawah 300 meter) merupakan variabel penting untuk mendukung

pemilihan moda transportasi yang berkesinambungan. Jarak ke

perhentian transportasi publik sangat mempengaruhi pemilihan moda

(Wagener/Furst, 1999).

Beban lalu lintas di jalan lokal menentukan kualitas hidup kawasan

35
hunian. Ketenangan lalu lintas meningkatkan minat orang untuk

berjalan kaki atau menggunakan sepeda. Rumah dengan kepadatan

yang tinggi, akibat kehadiran banyak rumah-rumah kecil dan bangunan

bertingkat, memunculkan permintaan transportasi yang cukup untuk

mendukung pasok transit puiblik yang bagus.

Kebutuhan ruang untuk moda transportasi yang berbeda secara

signifikan bervariasi seperti digambarkan oleh Foto 5. Ini penting

dalam mempertimbangkan jenis moda yang akan didukung oleh

perencanaan transportasi perkotaan. Dalam upaya menawarkan peluang

mobilitas bagi jumlah tertentu orang yang bepergian, bus, pejalan kaki

dan pengguna sepeda memanfaatkan ruang kota yang langka ketimbang

mobil. Jumlah maksimal penumpang yang bergerak untuk setiap jalur

ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5: Kebutuhan ruang untuk berbagai moda transportasi,

berdasarkan berbagai kondisi operasi.#

Moda Skenario kapasitas Kecepatan Permintaan ruang


(pengguna/jam/jalur*) (km/jam) (m2 per pemakai)
Pejalan kaki 23.500 4,7 0,7
Sepeda kayuh + 5.400 12 8
Sepeda motor ++ 2.400 12 17,5
Mobil (jalan kota) 1.050 12 40
Mobil (jalur cepat) 3.000 40 47
Bus (55 kursi) 7.700 10 4,5
Bus atau Trem (150 kursi 18.000 10 2
Trem (250 kursi) 24.000 10 1,5
Kereta api metro 40.000 25 2,5

36
# Angka ini bukan nilai maksimal atau kecepatan tipikal untuk semua situasi tapi
lebih merupakan penunjukkan ruang dalam berbagai kondisi.
* Lebar jalur diperkirakan 3,4 meter
+ Satu pemakai per sepeda kayuh
++ 1,1 pemakai per sepeda motor
Semua moda transportasipublik diperkirakan terisi 80%.

Kepemilikan mobil secara tidak terelakkan memerlukan konsumsi

lahan perkotaan bahkan ketika mobil tidak bergerak sekalipun,

sehingga mengurangi peluang bagi penggunaan lahan lainnya. Parkir

di sisi jalan menempati sumber ruang yang langka yang diperlukan

untuk perbaikan ruang publik, jalur bus, jalur sepeda dan perbaikan

arus lalu lintas. Sebuah mobil penumpang membutuhkan 10 sampai 15

m2 pada sisi jalan. Untuk lot parkir, seseorang harus menghitung dua

kali lebih banyak dari pemakaian ruang lahan untuk menjelaskan akses

dan pintu keluar (Gorham, 1998).

Untuk sebuah estimasi kasar dari cakupan akumulatif lahan, setiap

mobil bisa diperkirakan berhubungan dengan 1,5 tempat parkir di

berbagai lokasi (rumah, kantor, pusat perbelanjaan dan lain-lain) dan

dua pertiga dari tempat parkir ini diduga tidak berada di jalan. Ini

mendorong kebutuhan area parkir lebih dari 3 km2 untuk 100.000

mobil kota.

Mobil penumpang pribadi harus parkir di garasi atau lot parkir, atau di

properti pribadi. Vendor harus menyisakan ruang bagi penjalan kaki

dan perhentian bus juga membutuhkan ruang.

37
Perilaku mengemudi dan kecepatan berhubungan dengan rancangan

jalan. Semakin cepat seorang pengemudi akan semakin besar pula

risiko kecelakaan dan semakin berat konsekuensinya. Dalam situasi

lalu lintas di mana mobil, pejalan kaki dan pengguna sepeda berbagai

jalan, risiko tertinggi berada pada pihak “target lunak.”

Gambar 5 menunjukkan hubungan antara kematian pejalan kaki ketika

ditabrak sebuah mobil dan kendaraan yang melaju cepat. Pembatasan

kecepatan lalu lintas maksimal sampai 30 km/jam harus

diidentifikasikan sebagai langkah yang cocok dan efektif dari sisi

biaya dalam upaya mengurangi kecelakaan dan tingkat kematian.

Lebar jalan di kawasan hunian seharusnya tidak melebihi 3,5 meter,

guna mencegah pengemudi melaju dengan cepat. Gambar 5

menunjukkan risiko cedera fatal terhadap pejalan kaki dalam

kecelakaan mobil. Pengurangan lebar jalan memberikan peluang

kepada pejalan kaki dan/atau pengguna sepeda untuk mendapatkan

ruang tambahan.

Rata-rata kecepatan perjalanan pada jalan kota di kawasan perumahan

pada umumnya di bawah 30 km/jam. Di jalan yang sibuk dan kawasan

padat gedung, penurunan kecepatan puncak melalui batas kecepatan 30

km/jam tidak akan mempengaruhi waktu perjalanan mobil secara

signifikan.

Ada hubungan yang lazim antara lebar sebuah jalan dengan kecepatan

mengemudi. Sementara di sebagian besar negara kecepatan maksimal

38
yang diizinkan dalam kota adalah 50 km/jam, jalur yang lebar dan

kurangnya pengawasan polisi mendorong orang untuk mengemudi

lebih cepat sehingga meningkatkan risiko kecelakaan dan terutama

membahayakan jiwa pejalan kaki yang menyeberang jalan. Jalan arteri

yang sangat lebar seperti di kota-kota Cina (Foto 6), misalnya,

menggoda pengemudi mobil untuk memacu kendaraan lebih cepat

sampai 80 km/jam atau bahkan lebih cepat lagi di antara persimpang

jalan, yang tidak hanya meningkatkan risiko dan dampak kecelakaan

tapi juga gas buangan dan kebisingan. Karena batasan kapasitas jalan

biasanya disebabkan oleh kuantitas orang di persimpangan jalan,

ketimbang oleh dimensi jalan di antaranya, lebar jalan bisa dikurangi

tanpa ada efek negatif dalam hal kemacetan dan waktu tempuh

perjalanan. Ini bisa memicu perbaikan untuk pejalan kaki dan

pengguna sepeda, atau memberikan opsi bagi kawasan hijau di

sepanjang jalan (Foto 7).

Kualitas ekologi dari kawasan hijau di sepanjang jalan bisa jadi tidak

tinggi berkaitan dengan keragaman hayati flora dan fauna, tapi ada

sebuah dampak positif dalam hal kenyamanan berjalan kaki dan iklim

mikro, termasuk pembersihan aliran air. Keuntungan ini harus

diseimbangkan dengan kebutuhan area jalan.

3.3 Tingkat kota: Pembangunan Perkotaan dan Transportasi

Sebagian besar kota di negara berkembang, tapi juga di Amerika

Utara, menunjukkan sebuah klasifikasi fungsional pemakaian lahan

39
yang beragam berdasarkan pada jarak dari pusat kota (distrik bisnis

pusat/CBD). Di kawasan pusat di mana harga tanah diketahui paling

tinggi, kita menemukan gendung jangkung terutama untuk kantor dan

sebagian untuk fasilitas perbelanjaan. (Sebagian kota masih memiliki

sebuah inti CBD tradisional dalam CBD modern. Tingkat kepadatan

perumahan rendah karena tingginya harga. Kawasan terdalam dari kota

yang mengelilingi CBD menunjukkan campuran aktivitas perumahan

dan komersial, terutama dalam bangunan blok empat sampai enam

lantai. Di daerah agak keluar dari pusat kota, kawasan hunian lama

dengan rumah terpisah dan semi terpisah bercampur dengan

konsentrasi di sekitar sub-pusat. Pengembangan perumahan baru

terkonsentrasi dekat perbatasan luar kota.

Foto 6:
Contoh jalan kota yang biasa ditemui di Shanghai.

40
Gambar 5:
Kemungkinan kematian pejalan kaki karena tabrakan kecepatan tinggi.

Foto 7:
Ruang jalan perkotaan dengan sabuk hijau (Frankfurt), garis hijau adalah Zeil,
salah satu jalan pusat perbelanjaan utama di Eropa.

Gambar 6 menunjukkan sebuah model dari jenis struktur perkotaan,

dan menunjukkan bahwa konsentrasi tertinggi polutan udara dari

kendaraan bermotor terjadi pada jalan arteri radial yang

menghubungkan permukiman di pinggir kota dengan pusat kota. Ini

terutama berkaitan dengan karbon monoksida, hidrokarbon, oksida dari

nitrogen dan partikel solar.

41
Pada dasarnya, jenis radial dari struktur kota ini menciptakan kondisi

yang relatif baik untuk transportasi publik, sepanjang lokasi utama

pekerjaan dan fasilitas perbelanjaan berada di dalam atau dekat

pusatnya. Jalan arteri radial utama dan jalan lingkar bisa terbantu oleh

jalur transit cepat yang sangat efisien. Berlin merupakan contoh yang

sangat bagus dalam hal ini, dengan sebuah sistem kereta api cepat

yang dibangun seabad lalu. Jaringan ini mendukung pengembangan

desentralisasi yang berorientasi pada kereta api, dan sekarang

kondisinya masih bagus.

Gambar 6:

Struktur perkotaan dan polusi udara (contoh dari pengembangan radial).

Keterangan gambar: Pusat kota, distrik, daerah lain kota, batas kota,

kawasan padat bangunan, kawasan pinggir .

42
Jaringan serupa yang dirancang dan dibangun pada awal abad ke-20

ada di banyak kota Eropa. Curitiba, Brazil mungkin menjadi contoh

terbaik dari pengembangan yang berbasis transit di negara

berkembang, dengan sistem Transit Cepat Bus yang melayani lima

koridor dengan kepadatan yang tinggi.

Namun, pada abad terakhir kota mengalami berbagai fase

pembangunan kembali. Pertama, fasilitas manufaktur dan kegiatan

komersial intensif transportasi lainnya telah pindah dari kawasan pusat

ke lokasi yang lebih murah di pinggiran, yang juga mengubah arah

perjalanan kerja. Penglaju dari kawasan perumahan ke wilayah

pinggiran lebih sulit dengan transportasi publik ketimbang perjalanan

ke kawasan pusat, karena jaringan transit tidak dirancang untuk

keperluan itu. Penglaju cenderung beralih ke mobil pribadi.

Gelombang kedua restrukturisasi lansekap perkotaan mengubah arah

dan tujuan perjalanan belanja. Dengan meningkatnya kepemilikan

mobil, preferensi konsumen beralih ke pusat perbelanjaan yang lebih

besar dengan ruang parkis yang lebih besar. Supermarket besar dan

mega-store mengambil kuntungan dari kenyataan bahwa harga di

daerah pinggiran kota lebih murah. Transportasi publik hanya

menguasai sebagian kecil dari perjalanan belanja ini.

Dalam beberapa dekade terakhir, kantor pusat perusahaan dan kantor

lainnya juga pindah ke pinggir kota, sementara CBD pada umumnya

mempertahankan jasa bisnis dan konsumen.

43
Akibat proses ini, pola perjalanan yang terpusat seperti jari-jari

(radial) sebelumnya tidak lagi dominan. Walaupun pusat kota masih

menarik volume yang tinggi dari perjalanan angkutan umum dan lalu

lintas mobil perorangan, porsi utama perjalanan terjadi dari pinggir

kota ke pinggir kota. Di kota besar Eropa dan sampai taraf tertentu di

Amerika Utara, transportasi umum tidak bisa membantu kegiatan yang

tersebar tanpa subsidi yang substansial.

Pelajaran apa yang bisa dipetik dari proses ini berkaitan dengan

negara berkembang? Pertama, perlu dicamkan bahwa masih ada

perbedaan besar antara kota-kota besar di Amerika Utara dan Eropa,

dan dalam perbandingan terhadap kota berkembang. Di Eropa,

perencanaan penggunaan lahan secara besar-besaran telah

mengarahkan pembangunan—paling tidak sampai pada taraf tertentu.

Angkutan umum tetap memainkan sebuah peran penting. Pusat-pusat

kota mempertahankan peran sebagai kawasan belanja kelas tinggi, dan

sebuah lingkungan perkotaan yang layak untuk hidup masih menarik

bagi pejalan kaki. Investasi publik dan subsidi untuk transportasi

publik memungkinkan tingkat yang cukup dari jasa untuk menarik

pelanggan ke bus dan trem. Dalam kombinasi dengan kebijakan pasok

ini, pembatasan parkir, akses yang terbatas ke pusat kota untuk mobil

pribadi, dan kawasan pejalan kaki untuk membatasi pemakaian mobil.

Strategi “tarik ulur” jenis ini relatif sukses.

44
Kota berkembang menunjukkan berbagai jenis pola pengembangan

ruang berdasarkan kepada tahap historis di mana gelombang

pertumbuhan utama terjadi, dan kebijakan pemerintah. Sementara di

perekonomian negara terpusat, kontrol migrasi yang ketat mencegah

pembangunan permukiman ilegal dan semi-ilegal untuk masyarakat

miskin perkotaan di pinggir kota (pembangunan bangunan liar),

kekuatan seperti itu telah mendorong pengembangan perkotaan radial

misalnya seperti yang terlihat di Thailand dan Indonesia.

4. Pola pertumbuhan perkotaan

Model yang berbeda dari pertumbuhan perkotaan menciptakan

berbagai pola sistem transportasi dan mobilitas. Konsekuensi dari pola

pertumbuhan perkotaan dijelaskan dalam seksi berikut ini.

4.1 Skema yang Disederhanakan

Adalah berguna untuk menganalisi struktur perkotaan dan distribusi

kegiatan dalam ruang, untuk memahami pola kebutuhan transportasi

sekarang dan masa depan. Contoh berikut ini (lihat Gambar 7)

memberikan pengetahuan yang dalam mengenai dinamika perkotaan.

“Kota yang berorientasi radial…memungkinkan penyediaan sistem


kereta api dan bus berkapasitas besar/tinggi.”
Model pengambangan kawasan yang terkonsentrasi agak lebih

sederhana: pada kenyataannya kita menemukan segmen ring dengan

penggunaan lahan khusus, sebagaimana segmentasi dari populasi

berdasarkan parameter sosio-ekonomi: Kelompok dengan penghasilan

tinggi tinggal di lokasi utama kota sedang orang dengan

45
berpenghasilan rendah akan merasakan tekanan aktivitas industri. Di

beberapa kota besar, beberapa jenis lokasi terpusat pada sektor

tertentu. Ini pada khususnya terlihat di kawasan kota industri lama.

Elemen struktur lainnya muncul dari kenyataan bahwa pertumbuhan

kota memicu pelibatan bekas kota independen yang kemudian menjadi

sub-pusat.

Perbedaan dalam struktur pengembangan perkotaan memiliki

konsekuensi terhadap permintaan dan penyediaan jasa transportasi.

Kota yang berorientasi radial akan menunjukkan jalan arteri yang

mengarah ke jantung kota, yang memungkinkan penyediaan sistem

kereta api dan bus berkapasitas tinggi. Jenis pengembangan sektoral

tidak akan memiliki permintaan yang terstruktur secara jelas, dan

tidak akan mendukung angkutan umum bervolume tinggi, tapi akan

memberikan peluang untuk jarak yang singkat antara perumahan dan

fungsi lain; moda non-motor bisa mencapai porsi yang tinggi. Jenis

inti yang banyak memunculkan kondisi yang lebih problematik untuk

meyediakan angkutan umum yang efisien, dan jarak mungkin terlalu

jauh untuk perjalanan non-motor. Di sini, mobil penumpang pribadi

akan mempertahankan pangsa pasar yang tinggi, terutama rata-rata

kenaikan pendapatan.

46
Gambar 7: Skema pengembangan perkotaan

4.2 Konsekuensi transportasi dari pertumbuhan perkotaan

Seperti yang terlihat, perlu dicamkan untuk mempertahankan kondisi

ruang ketika membahas pilihan transportasi. Distribusi yang ada soal

aktivitas dan penggunaan lahan dalam perbatasan kota adalah hasil

dari pengembangan historis. Sistem transportasi sekarang harus

melayani struktur perkotaan yang luas, yang sebagian berkembang

pada waktu moda transportasi sebelumnya, dan menawarkan kondisi

yang tidak mendukung terhadap lalu lintas yang ada sekarang. Dalam

pengertian umum: Rancangan perkotaan dan transportasi modern

sering kali tidak cocok satu sama lain.

47
Sampai abad 19, diameter kota tidak melampui sebuah jarak yang bisa

ditempuh dengan berjalan kaki; pola dan dimensi jalan dirancang

sesuai dengan keburuhan mobil. Pertumbuhan kota selama proses

industrialisasi memunculkan kebutuhan yang mendesak untuk

transportasi massal yang cepat; mobil dan bus yang melayani jalan

arteri, yang mengarah kepada jenis sentralisasi yang terdesentralisasi.

Orang bisa mencapai rumahnya dengan berjalan kaki dari perhentian

transportasi publik. Pengembangan utama terjadi dalam jarak yang

bisa ditempuh dengan berjalan kaki dan naik sepeda dari perhentian-

perhentian ini.

Tingginya ketersediaan mobil pribadi sejak 1950-an dan 1960-an

mulai mendukung penyebaran permukiman dengan kepadatan yang

rendah. Di kawasan dengan tingkat penggunaan kendaraan bermotor

yang tinggi, pengembangan ini masih berlanjut. Di negara

berkembang, proses ini berkembang. Karena revolusi teknologi

transportasi ini, tapi juga sebagai konsekuensi dari perubahan sosial di

dalam masyarakat, kawasan perkotaan di sekitar CBD menjadi kurang

menarik,dan keamanan publik hilang. Terutama di AS, stabilitas sosial

terkikis di berbagai bagian kota, dan pihak yang sanggup untuk pindah

ke kawasan pinggir kota. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir

upaya keras dilakukan untuk membangkitkan kembali kota-kota di AS,

distribusi warga yang makmur masih menyerupai pola donat: kelas

menengah dan atas terkonsentrasi pada ring pinggir kota tradisional,

dengan pusat kota yang kehilangan momentum ekonomi.

48
Overlay dari pengembangan model konsentrik dan ciri khas lokal

mengarah kepada berbagai variasi dalam pengembangan perkotaan,

seperti ditunjukkan dalam skema pada Gambar 7. Segregasi sosial

dalam perumahan dan pertumbuhan manufaktur ringan yang marak di

dalam kota bisa bermuara pada situasi di mana sebagian pegawai

masih tinggal di daerah yang cukup dekat edngan tempak mereka

bekerja, tapi dengan perkembangan sosial dan ekonomi yang cepat di

kawasan pinggiran. Perlu juga dicamkan bahwa semakin banyak

perjalanan yang tidak terkait dengan pekerjaan menjadi penting ketika

pusat perbelanjaan dan jasa lainnya bergerak ke luar kota.

Ini dihadapi oleh kalangan menengah di kawasan Asia dan Amerika

Latin mengikuti trend di Eropa dan AS. Kota inti kehilangan populasi

dan wilayah sekitarnya berubah dari areal pertanian menjadi kawasan

permukiman. Sebagian besar kota besar melewati batas kota

tradisional dan sekarang perluasan wilayah perkotaan (metropolitan)

yang terbentang ratusan kilometer persegi dan menyatukan desa dan

kota yang sebelumnya berdiri sendiri.

5. Perkembangan di Luar Perbatasan Kota

Karena pertumbuhan populasi, dan juga disebabkan perubahan

preferensi pemukim dan investor komersial, fungsi perkotaan meluas

keluar dari batas tradisionalnya. Proses suburbanisasi menunjukkan

beberapa wajah dalam bagian yang berbeda dari dunia di bawah

perbedaan situasi politik, sosial dan ekonomi. Untuk kelompok dengan

49
pendapatan menengah dan tinggi, alasan mendasar bagi pergerakan

keluarga ke pinggir, menjauh dari kawasan kota yang padat ke lokasi

yang lebih berstruktur pedalaman, adalah harga pasar yang lebih

rendah untuk sebuah keluarga tunggal dan kualitas lingkungan yang

bagus. Di negara berpendapatan rendah dengan tingkat pertumbuhan

populasi yang tinggi, permukiman semi-legal dan akhir-akhir ini

perumahan besar (lihat Gambar 20) telah mendorong pertumbuhan

daerah pinggiran. Suburbanisasi dan pembangunan rumah pribadi di

pedesaan sering menjadikan pola kegiatan harian masih berorientasi

kepada kota, dan memulai arus transportasi untuk jarak yang lebih

jauh. Sementara penglaju (komuter) dan konsumen berpendapatan

tinggi terus semakin banyak menggunakan mobil pribadi, kondisi

perjalanan bagi orang dengan pendapatan rendah yang bergantung

kepada transportasi publik menjadi sulit dan bertambah buruk di

sebagian besar kota yang sedang berkembang.

Pengalaman sebelumnya dengan pertumbuhan kawasan perkotaan di

negara maju mungkin berguna untuk membahas pilihan bagi

pengarahan pembangunan di negara berkembang.

Mengikuti perkembangan ekonomi dan sosial, dan peningkatan rata-

rata pendapatan, trend serupa muncul di negara berkembang, dan bisa

diharapkan akan menguat.

Di Eropa, kota yang relatif padat masih mendominasi dalam pengertian

kepadatan populasi dan sentralitas fungsi-fungsi, tapi suburbanisasi

50
telah mengubah distribusi fungsi-fungsi tersebut. Interaksi antara

pembangunan perkotaan dan pembangunan infrastruktur transportasi,

seperti digambarkan pada Gambar 1 (“spiral lalu lintas”)

memungkinkan orang untuk hidup di luar, dan bekerja serta berbelanja

di dalam batas kota tradisional. Selanjutnya, kota tetap menjadi pusat

kebudayaan dan sosial.

Permintaan perjalanan berdasarkan terutama pada mobil pribadi, tapi

sebagian besar kota Eropa mempertahankan permukiman semi-

sentralisasi yang memungkinkan orang yang bepergian menggunakan

jaringan kereta api regional, yang menghubungkan sub-pusat dengan

kawasan pusat kota. Di AS, kota-kota kehilangan struktur, menyusul

gelombang desentralisasi yang dimunmgkinkan oleh kepemilikan

mobil pribadi, kurangnya peraturan penggunaan lanah, harga bahan

bakar yang rendah dan preferensi konsumen terhadap lot perumahan

yang besar.

Bagaimana kecenderungan pertumbuhan kawasan perkotaan dan

suburbanisasi ini terwujud di negara berkembang? Ada beberapa pola

yang berbeda dari pertumbuhan yang akan diamati di dunia. Batas kota

semakin bergerak ke pinggir; fenomena yang bahkan bisa dilihat dari

angkasa. Citra satelit menghasilkan gambar berbagai kawasan (untuk

contoh lihat www.geog.uu.nl/fg/UrbanGrowth, yang menggambarkan

situasi Ouagadougou (Burkina Faso) di Afrika Barat, dan contoh

lainnya). Karena adanya teknologi jenis ini, hanya trend sejak sekitar

pertengahan 1980-an yang bisa dilacak. Pola yang paling banyak

51
terjadi adalah perkembangan di sepanjang jalan arteri radial dan jalan

lingkar yang baru dibangun (lihat juga Seksi 7), yang diikuti oleh

pengisian segmen yang tersisa.

Tidak ada banyak peta yang tersedia dari kota-kota di negara

berkembang yang menggambarkan pertumbuhan dan perubahan

penggunaan lahan untuk waktu yang lama. Gambar 8 melukiskan

pembangunan permukiman perkotaan di Kota Dar Es Salaam dari tahun

1945 sampai tahun 1998. Gambar 9 menunjukkan perkembangan

pertumbuhan Kota Kairo dari tahun 1968 sampai tahun tahun 2000.

Pada kedua contoh itu, kita menemukan pola tipikal dari pertumbuhan

di sepanjang jalan arteri radial tradisional pada awal tahun,

pembangunan yang lebih menyebar di antara jalan besar ini pada

tahun-tahun kemudian, yang didukung oleh peningkatan penggunaan

mobil penumpang pribadi.

Penjelasan termudah untuk pertumbuhan geografis ini adalah

pertumbuhan populasi yang disebabkan oleh parameter alami dan

migrasi—tapi ini hanya bagian dari penyebab, karena dalam banyak

kasus wilayah perkotaan tumbuh dengan tingkat yang lebih cepat

ketimbang populasi. Kekuatan penggerak juga termasuk parameter

gaya hidup dan kebutuhan ekonomi. Ini tidak bisa dibicarakan secara

rinci di sini, tapi aspek transportasi dari bentuk pertumbuhan

perkotaan harus dipelajari.

52
Sementara pembangunan di sepanjang jalan utama bisa secara efisien

dilayani dengan bus besar, permukiman yang menyebar tergantung

kepada minibus dan orang yang berjalan kaki dan menggunakan

sepeda. Peningkatan waktu perjalanan untuk penglaju (komuter) yang

bekerja di wilayah kota tradisional—misalnya pada sektor informal

sebagai pedagang—memberikan beban yang berat terutama terhadap

orang miskin. Pembangunan yang menyebar dalam jangka yang lebih

panjang menciptakan permintaan terhadap kepemilikan dan

penggunaan mobil, sehingga memicu siklus peningkatan lalu lintas,

kemacetan, perluasan jaringan jalan dan degradasi lingkungan yang

hampir tidak terkontrol. Perbandingan antara pembangunan historis

kota-kota di Amerika Utara dan Eropa dengan kota di kawasan

berkembang seperti Asia, Amerika Latin dan Afrika bermanfaat

berkaitan dengan pembuatan kebijakan aktual di negara berkembang.

“Pembangunan yang menyebar dalam jangka yang lebih panjang


menciptakan permintaan terhadap kepemilikan dan penggunaan
mobil, sehingga memicu siklus peningkatan lalu lintas, kemacetan,
perluasan jaringan jalan dan degradasi lingkungan yang hampir
tidak terkontrol.”

Pertumbuhan kota yang cepat dan motorisasi yang cepat pula di negara

berkembang menghadapkan perencana dan pembuat kebijakan dengan

tantangan serupa seperti yang terjadi di masyarakat dengan tingkat

kendaraan bermotor yang tinggi.

Tapi sementara proses dasar dari perluasan wilayah kota dan

meluasnya batas kota tradisional bisa sama di negara maju dan negara

53
berkembang, kecepatan dan struktur ruangnya berbeda. Pengembangan

luas belum tercipta di negara berkembang karena tekanan populasi dan

kondisi ekonominya masih bermuara pada ring pertumbuhan kepadatan

dan kota satelit dengan kepadatan yang tinggi, masing memungkinkan

penawaran jasa transportasi secara efisien.

Akan menjadi penting bagi anggaran publik untuk mempertahankan

struktur kepadatan dalam dinamika pertumbuhan dan untuk

menghindari perluasan yang tidak terkendali dalam pembangunan masa

depan.

Juga terlepas dari masalah transportasi dan lingkungan, biaya

pembangunan kepadatan rendah yang menyebar pada umumnya akan

menjadi beban bagi kota yang sedang berkembang. Ini termasuk biaya

infrastruktur seperti pasok air, penanganan limbah, pasok listril dan

perawatan kesehatan, fasilitas pendidikan dan seterusnya.

Struktur administratif sering kali tidak berkembang sejalan dengan

perluasan geografi kawasan perkotaan. Ada dua cara yang berbeda

untuk mengatasi situasi ini: Satu strateginya adalah bahwa kota

memperluas batas admistratifnya dengan mengintegrasikan wilayah

kota dan pinggir kota yang secara fungsional cocok secara bersamaan.

Ada contoh dari Shanghai bahwa dalam Master Plan pertamanya

kawasan kota diperluas dari 140 km2 menjadi 600 km2, dan sejak itu

wilayahnya bertambah lagi menjadi 6.340 km2. (Kota Cina pada

umumnya juga memasukkan wilayah pedesaan).

54
Strategi formal lain adalah membangun entitas administratif regional di atas tingkat

kota untuk mengamankan kebijakan dan perencanaan yang terkoordinasi.

Keseimbangan tanggung jawab antara lembaga-lembaga itu dan pemerintahan kota

tradisional sangat penting untuk manajemen

Masalah.

Opsi pembentukan pertumbuhan kota dengan cara yang

berkesinambungan—baik di dalam kota atau di luar kota tradisional—

akan dibahas pada Seksi 9.

Masalah perluasan yang kurang terkendali


Masalah utama dari pembangunan dengan cara memperluas adalah:
• Tingginya rata-rata jarak perjalanan bagi penglaju.
• Tingginya ketergantungkan pada mobil penumpang pribadi.
• Polusi suara, kecelakaan lalu lintas.
• Tingginya tingkat polusi yang disebabkan oleh transportasi.
• Kemacetan di jalan arteri utama.
• Tingginya konsumsi energi transportasi.
• Rendahnya pangsa pasar transit karena struktur permukiman yang secara
ekosnomi tidak mendukung.
• Kondisi berbahaya bagi pejalan kaki dan pemakai sepeda.
• Jauhnya perjalanan bagi pejalan kaki karena banyaknya penghalang

55
Gambar 8:

Pertumbuhan perkotaan di luar batas kota tradisional.

Gambar Peta : 1968


16.000 hektar, penduduk 5,5 juta jiwa
Gambar Peta : 1977
20,600 hektar, penduduk 6,7 juta jiwa
Gambar Peta : 1982
25.400 hektar, penduduk 8,6 juta jiwa
Gambar Peta : 2000
29.000 hektar, penduduk 11, 3 juta jiwa

56
Gambar 9:

Pertumbuhan kota ke luar dari batas kota tradisional (Kairo)]

57
Bangkitan perjalanan berdasarkan model gravitas

Berdasarkan model gravitas seperti terlihat pada Gambar 10 di bawah ini, volume

tranportasi meningkat jika:

• Keuntungan dari perubahan tempat, dalam pengertian pencapaian tempat baru

tapi juga meninggalkan lokasi sekarang, meningkat.

• Resistensi total terhadap jarak yang ditempuh (ongkos, waktu,

ketidaknyamanan, kerusahakan) berkurang.

6. Bangkitan perjalanan dan pilihan mode terkait


parameter penggunaan lahan
6.1 Prinsip dasar

Perluasan area, kepadatan dan jenis lokasi serta tingkat kegiatan

menentukan asal perjalanan dalam sebuah kawasan. Pilihan moda

transportasi tergantung kepada daya tarik infrastruktur kawasan terkait

penggunaan mobil, transportasi publik dan lalu lintas non-motor.

Dalam model matematika yang menghitung kebutuhan transportasi

yang disebabkan oleh asal perjalanan, jarak geografis antara lokasi

disebutkan dalam pengertian fungsi resistensi yang terutama terdiri

dari harga dan waktu perjalanan. Semakin besar jumlah orang yang

tinggal, bekerja dan berbelanja di sebuah lokasi, semakin

terkonsentrasi pula arus orang yang melakukan perjalanan di antara

lokasi-lokasi ini. Sebaliknya, lokasi yang kecil dan tersebar akan

bermuara pada arus permintaan yang kecil dan tersebar. Rumus

(gambar 10) yang ditampilkan di bawah ini berdasarkan pada

pengalaman bahwa jumlah perjalanan secara linear berhubungan

58
dengan ukuran lokasi dan sebaliknya berhubungan dengan resistensi

perjalanan urutan kedua (model gravitas).

Hukum perjalanan Lille

V
E1 E2
D

V=c .E1.E2

Gambar 10: V
Bangkitan perjalanan E1 E2
ΣW
berdasarkan pada
sebuah model gravitas
V=c .P1.P2
α
ΣW

P = “potensi”/jumlah utilitas
ΣW = jumlah seluruh resistensi.

Jarak yang lebih dekat di antara lokasi meningkatkan permintaan

perjalanan di antara lokasi-lokasi itu, merujuk pada kecepatan

perjalanan yang konstan. Tapi juga perlu dicamkan bahwa perbaikan

kecepatan perjalanan memicu lebih banyak perjalanan di antara lokasi

(asal dan tujuan). Peningkatan kecepatan perjalanan dalam sebuah

moda mengubah preferensi orang yang melakukan perjalanan terhadap

moda tersebut. Dengan kata lain, lebih banyak jalan untuk mobil akan

meningkatkan volume trafik mobil karena ia menciptakan keunggulan

59
kompetitif untuk lalu lintas di jalan. Karena di sebagian negara

berkembang biaya sosial untuk lalu lintas mobil berasal dari luar,

keputusan orang yang melakukan perjalanan untuk memilih sebuah

mobil ketimbang transportasi publik bisa diterjemahkan sebagai

kesalahan alokasi sumber.

Permintaan agregat untuk lalu lintas mobil tidak hanya menyebabkan

masalah seperti kemacetan dan polusi udara, tapi juga menghasilkan

masukan untuk struktur ruang.

Perubahan pada sistem transportasi menyebabkan perubahan pada

struktur ruang dalam berbagai hal: Pertama, kebutuhan ruang untuk

sebuah moda mengurangi ketersediaan ruang bagi pihak lain dan

penggunaannya akan terhalang.

Semakin banyak dan semakin luas jalan akan mengurangi aksesibilitas

tujuan dengan berjalan kaki atau bersepeda. Di lain pihak, jalur bus

mengurangi ruang untuk kendaraan bermotor lainnya sehingga

menurunkan keinginan untuk menggunakan mobil. Kedua, kondisi

yang lebih baik dari moda yang lebih cepat akan memicu reorientasi

ruang bagi warga dan pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan

komersial, sehingga menciptakan jarak perjalanan yang semakin jauh.

Fasilitas perbelanjaan lainnya bisa dicapai dalam waktu yang tersedia,

dan pada sisi alin pengembang akan memilih lokasi untuk investasi

mereka menurut struktur aksesibilitas yang sudah berubah.

Pengembangan perkotaan yang berorientasi pada transit akan mengacu

60
kepada bentuk krakteristik pertumbuhan kota, pembangunan yang

berorientasi pada mobil terhadap yang lainnya. Dampak ini akan

dibicarakan kemudian.

6.2 Penggunaan lahan dan tuntutan perjalanan di wilayah perkotaan

Di kota dunia nyata, hubungan fungsional antara lokasi akan menjadi

sangat spesifik karena ia menjalankan fungsi kota yang bebeda.

Evaluasi fungsi-fungsi ini merupakan langkah pertama untuk

mengidentifikasikan kebutuhan perjalanan dan untuk mengoptimalkan

pilihan lokasi dan kebutuhan perjalanan. Gambar 11 menunjukkan

hubungan fungsional antara berbagai lokasi perkotaan yang

memunculkan permintaan perjalanan.

Pola bangkitan perjalanan dan pemilihan moda di kota-kota besar di

kawasan berkembang sangat berbeda dari kondisi di Amerika Utara

atau Eropa karena adanya perbedaan pada sisi pendapatan, tujuan

perjalanan, kepemilikan mobil dan juga kualitas layanan dalam

berbagai moda. Segregasi sosial ditunjukkan pada data tentang

kesenjangan pendapatan di antara berbagai bagian kota, dan lokasi

mempengaruhi persepsi masalah. Sementara keluhan utama warga di

wilayah berpendapatan tinggi mungkin terpusat pada kemacetan,

perhatian pada masyarakat yang hidup di daerah miskin akan terpusat

pada kemampuan membeli tiket bus, belum lagi ketiadaan infrastruktur

dan layanan di permukiman informal di pinggir kota. Permukiman liar,

misalnya, diperkirakan didiami oleh 60% populasi kota Caracas dan

61
Dar Es Salaam dan 50% di Karachi. (www.wri.org/wri/wr-96-

97/up_f3.gif).

Survei keluarga di kota besar negara berkembang menghasilkan

banyak data tentang perilaku perjalanan yang terkait dengan

pendapatan, struktur permukiman, frekuensi perjalanan, pilihan moda

dan jarak perjalanan. Karena struktur penggunaan lahan dan status

sosial secara tipikal berhubungan di kota besar negara berkembang,

data mobilitas mencerminkan kedua parameter tersebut. Ini

mempersulit identifikasi variabel yang akan dipakai sebagai dasar bagi

formulasi tujuan perencanaan dan langkah kebijakan. Karena rentang

masalah yang luas, perencana transportasi cenderung untuk

memisahkan dan menyederhanakan masalah, dengan menangani bagian

sistem secara terpisah. Sudah menjadi suatu hal biasa untuk

memisahkan problem lalu lintas jalan dari aspek angkutan umum.

Hasil survei tentang perjalanan mobil dimasukkan ke dalam model

arus lalu lintas; ini mendukung identifikasi penyempitan jalan

(bottleneck), yang akhirnya akan mendorong digelarnya proyek

konstruksi baru. Di lain pihak, perjalanan non-mobil dialokasikan

untuk jaringan angkutan umum saja. Sering kali tidak ada model

terintegrasi, dan perubahan moda tidak menjadi pusat perhatian dari

para perencana. Kekurangan lain terjadi pada perjalanan non-motor

jarak pendek yang sering kali terlupakan dan secara tipikal sering

tidak muncul dalam analisis masalah atau formulasi strategi.

62
Kekurangan dalam analisis struktur mobilitas ini menjadi penting bagi

keluarga berpendapatan rendah di wilayah yang berpenduduk padat,

baik di perbatasan kota tradisional maupun kawasan permukiman

informal. Bias dalam persepsi ini melahirkan bias dalam prioritas

kebijakan dan perencanaan. Mobil dipandang penting ketimbang

dijadikan sebegai pembenar dalam hubungannya dengan kebutyuhan

riil masyarakat, dan mobilitas non-motor terabaikan. Dalam

transportasi publik, ada bias terhadap perjalanan yang lebih jauh di

jalan arteri utama yang mengecilkan arti pentingnya perjalanan di

dalam lingkungan, dan dengan minibus.

Gambar 11: Hubungan fungsional di antara lokasi.

“Aturan umum perencanaan penggunaan lahan bagi transportasi


yang berkesinambungan—mengurangi kebutuhan untuk perjalanan
dan jarak perjalanan, mendukung orang untuk berjalan kaki,
bersepeda, menggunakan transportasi publik, membatasi
penggunaan mobil—harus diadaptasi ke situasi lokal.”

63
Perbedaan ruang dan sosial, dan pemisahan praktek model

menimbulkan kesulitan dalam penarikan kesimpulan umum dalam

perencanaan transportasi kota.

Bahkan menjadi lebih sulit ketika berhubungan dengan penggunaan

lahan dan interaksi transportasi, mengingat hubungan yang erat antara

status sosial, struktur penggunaan lahan dan mobilitas.

Aturan umum perencanaan penggunaan lahan bagi transportasi yang

berkesinambungan—mengurangi kebutuhan untuk perjalanan dan jarak

perjalanan, mendukung orang untuk berjalan kaki, bersepeda,

menggunakan transportasi publik, membatasi penggunaan mobil—

harus diadaptasi ke situasi lokal.

Ini termasuk pertimbangan kelayakan politis dari langkah yang

berbeda.

Tidak akan mungkin untuk menempatkan semua fungsi dalam kota

besar tanpa ada kedekatan antara satu sama lainnya sehingga bisa

meminimalkan jarak perjalanan. Namun lokasi harus distrukturisasi

dengan cara bahwa sebagian besar permintaan perjalanan bertujuan

untuk angkutan umum yang pada gilirannya membutuhkan kepadatan

penggunaan lahan yang tinggi dan—jika mungkin—penggunaan lahan

campuran. Ada dua alasan untuk itu:

1. Layanan angkutan umum berkualitas tinggi yang terdiri dari

jaringan rute yang padat dan waktu tunggu yang pendek di

perhentian hanya bisa dioperasikan secara ekonomis dan efisien

64
jika rasio kilometer perjalanan pengguna moda terhadap kilometer

bus tinggi: dengan kata lain tingkat okupansi yang tinggi dari bus

terjamin.

2. Gabungan penggunaan wilayah kota, yang menyatukan lokasi

perumahan, tempat kerja, pusat perbelanjaan, tempat santai, akan

membuat sebagian orang bisa mengurangi jarak perjalanan, tapi

keuntungan utama dari transportasi publik terletak pada distribusi

multiarah permintaan: ini memungkinkan tingkat okupansi yang

tinggi pada arah yang berbeda sepanjang hari. Jika strategi

perencanaan sebaliknya diikuti, misalnya perumahan di satu

sektor kota, tempat bekerja, pusat perbelanjaan dan tempat santai

juga terkonsentrasi terpisah dari kawasan permuahan, rata-rata

okupansi kendaraan transportasi publik akan sangat beragam

berdasarkan pada waktu dan arah sehingga bermuara pada

utilisasi faktor muatan yang tidak efisien dan tidak nyaman.

7. Pengaruh transportasi terhadap pengembangan ruang

Sementara pengaruh struktur ruang terhadap permintaan transportasi

diatasi dengan rencana induk (master plan) transportasi tradisional,

dampak balik dari transportasi terhadap pengembangan ruang belum

fokus pada perencanaan. Model komputer tradisional untuk master

plan transportasi dimulai dengan evaluasi asal dan tujuan dalam ruang,

dan kalkulasi generasi perjalanan (lihat Seksi 6 di atas). Tapi

65
bagaimana pilihan lokasi untuk perumahaan, bisnis atau tujuan lain

dipengaruhi oleh parameter transportasi?

Investor akan mempertimbangkan aksesibilitas pelanggan dalam

menentukan lokasi untuk toko. Kawasan perumahan akan lebih disukai

oleh keluarga yang mencari sebuah rumah yang memberikan

kemudahan akses ke tempat kerja, pusat perbelanjaan, tempat santai

dan aktivitas lainnya; mengingat tersedianya lingkungan hidup yang

berkualitas tinggi di lokasi itu.

Pembangunan infrastruktur transportasi dan layanan transportasi

mengubah pola aksesibilitas dan mempengaruhi keputusan pemilihan

lokasi kalangan keluarga dan bisnis. Keputusan ini membentuk

struktur kota dan kawasan sekitarnya, dan memunculkan pola

permintaan trafik yang baru. Perubahan ruang ini biasanya tidak

masuk dalam pertimbangan dalam arah perencanaan transportasi

tradisional. Ketika jalan baru diperkirakan bisa membantu mengatasi

kemacetan di koridor tertentu, perpindahan preferensi lokasi investor

swasta dan komersial bisa bermuara kepada perjalanan tambahan dan

jarak perjalanan yang lebih jauh, dan bahkan bisa menyebabkan lebih

banyak lalu lintas dalam koridor bersangkutan.

Dampak yang disebabkan oleh lalu lintas dari perluasan infrastruktur

bisa diterjemahkan sebagai sistem masukan yang positif. Langkah di

antaranya ditampilkan pada Gambar 12, yang menunjukkan sebuah

contoh sederhna dari sebuah hunian kecil di persimpangan jalan di

66
mana jalan lingkar dibangun. Dalam contoh ini, jalan lingkar itu

menciptakan inti baru pembangunan, yang mengubah prioritas

investasi dan memulai hubungan perjalanan yang baru. Sementara titik

tolak bagi pembangunan jalan lingkar sering merupakan keluhan

tentang through-traffic (lalu lintas terusan), beban lalu lintas yang

dihasilkan dari perluasan jaringan jalan dan lebih banyak hasil dari

perjalanan antara pusat dan lokasi pinggir kota yang baru. Sebagai

konsekuensi dari peningkatan jarak perjalanan dan volume trafik kota

menyusul pertumbuhan geografis kota, program pembangunan jalan

baru diperlukan.

Sebagian analisis di AS mengarah kepada argumen bahwa jalan lingkar

bisa menarik investor yang jika tidak ditawari akan memilih lokasi

lebih ke luar dari kota. Ini didukung oleh bukti yang dipaparkan

Hudson (Bolan dkk., 1997). Bahkan jika kondisi lokal di sana—dengan

jaringan jalan yang begitu padat dan tidak ada surat-surat tanah—yang

tidak bisa dibandingkan dengan Eropa atau negara berkembang—

mungkin ada dampak positif dari pengembangan banyak jalan besar

(highway) (lihat juga soal kota pinggir, Seksi 9.3).

Jenis rancangan jaringan jalan sentrifugal AS mendukung perluasan

yang hampir tidak terkontrol (Gambar 13), sementara investasi pada

jalan lingkar dalam situasi tertentu mungkin bisa menyebabkan

pembangunan yang lebih padat lagi.

67
Interaksi konstruksi infrastruktur transportasi dan pembangunan kota

bisa dipelajari dari banyak kasus nyata di negara yang memiliki

tingkat kepemilikan kendaraan bermotor yang tinggi. Ketika sebuah

jalan kecepatan tinggi baru bermula dari sebuah pengelompokan yang

melalui kawasan pedalaman (dan bergerak menuju sebuah

pengelompokan baru yang jauh), bagian dari properti keluarga dan

usaha komersial keluar dari pengelompokan dan berjejer di sepanjang

jalan di atas lahan yang lebih murah dan mudah dicapai.

Berdasarkan prinsip batasan waktu perjalanan (lihat Gambar 2), proses

optimisasi ekonomi menjadi awal dari hubungan perjalanan yang lebih

jauh jika waktu perjalanan dipersingkat dengan kehadiran infrastruktur

transportasi kecepatan tinggi. Pola hunian apa yang berkembang

sekarang tergantung kepada layanan transportasi yang tersedia dan

jenis infrastruktur yang dibangun. Dalam waktu perjalanan (dan biaya)

tertentu, kendaraan bermotor pribadi dan truk membuat lokasi lain

menjadi lebih mudah diakses dengan cepat ketimbang rute yang

dilayani angkutan umum. Jaringan jalan yang padat dan tingginya

tingkat kepemilikan mobil mendukung pembangunan perluasan

sementara jaringan kereta api mendukung pembangunan cluster di

sekitar stasiun kereta api. Dengan kepemilikan kendaraan yang rendah,

dan sistem transportasi publik yang bertumpu pada bus, pengembangan

cenderung terjadi di sepanjang jalan arteri utama yang dilayani dengan

baik oleh bus (lihat Ganbar 14). Untuk jarak yang lebih jauh dari pusat

kota, pengembangan mungkin terkonsentrasi seperti “untaian mutara.”

68
Dalam keadaan tertentu, keluarga dan perusahaan komersial akan

mengambil keuntungan dari akses yang lebih baik (dalan pengertian

biaya transportasi, baik biaya yang hilang dan biaya lain seperti untuk

kesenangan dan sebagainya) ke wilayah tertentu menyusul perbaikan

sistem transportasi. Perbaikan sistem termasuk perluasan infrastruktur

dan jasa transportasi baru yang ditawarkan, tapi juga disebabkan oleh

teknologi kendaraan.

Gambar 12: Jalan lingkar dan relokasi perkotaan

69
Gambar 13: Dampak ruang berbagai rancangan jaringan jalan.

Gambar 14: Pembangunan lahan dan infrastruktur transportasi.

Kaitan antara transportasi dan penggunaan lahan tidak cukup tercermin

dalam model perencanaan transportasi klasik, yang bertujuan untuk

perbaikan kondisi trafik berdasarkan konfigurasi ruang yang ada, ini

tidak mempertimbangkan pilihan lokasi yang dipengaruhi oleh pasar.

Pengamatan dan model komputer memberikan penjelasan yang

mendalam tentang mekanisme ini. Penggunaan lahan berkembang dari

strategi perencanaan menunjukkan variabel yang signifikan yang

terkait dengan pendapatan, peningkatan populasi, pertumbuhan

ekonomi, dinamika sektoral, dan juga skema perencanaan penggunaan

lahan. Kebijakan kontrol migrasi seperti di Cina dan peraturan

kepemilikan tanah akan membatasi pertumbuhan perluasan dibanding

kebijakan yang sepenuhnya membebaskan dari peraturan itu.

70
Dari persepektif lingkungan, sebuah pengembangan untaian mutiara

atau yang berorientasi pada koridor lebih disukai, berdasarkan pada

sistem transit regional, seperti yang ditunjukkan oleh penerapan model

komputer di Melbourne, Australia (Newton, 1999). Beberapa prototip

dasar dari bentuk pembangunan kota diperbandingan (lihat Gambar

15):

Kota Pinggir

Gambar 15:

Opsi struktur bagi pertumbuhan kota

ƒ Kota biasa —semata sebagai perluasan dari praktek pengembangan

yang ada sekarang.

ƒ Kota padat—populasi yang meningkat di bagian dalam pinggir

kota.

71
ƒ Kota pinggir—pertumbuhan populasi, kepadatan perumahan dan

pekerjaan pada simpul tertentu, dan peningkatan investasi pada

jalan tol yang menghubungkan simpul-simpul ini.

ƒ Kota koridor—pertumbuhan di sepanjang arteri yang muncul dari

distrik bisnis pusat, penghubung radial dan transportasi publik yang

sudah ditingkatkan.

ƒ Kota perbatasan—pertumbuhan terutama terjadi di bagian pinggir.

ƒ Kota ultra—pertumbuhan pada pusat regional dalam radius 100

kilometer dari CBD. Kereta api cepat menghubungkan pusat

regional dengan jantung kota.

Berdasarkan pada perkiraan pertumbuhan populasi kota, jenis koridor

dari pembangunan kota memberikan hasil yang paling mendukung

dalam hal perjalanan kendaraan, konsumsi energi dan paparan populasi

terhadap polusi udara.

Temuan ini sesuai dengan pengalaman kota-kota Eropa yang telah

menciptakan koridor pembangunan yang bertumpu pada kereta api

pada tahap awal pertumbuhan kota pada akhir abad 19.

Ketika jenis infrastruktur kereta api jenis ini dibangun, stasiun-stasiun

membentuk inti (nucleus) pembangunan yang padat, yang

memunculkan sebuah “sentralisasi yang terdesentralisasi.” Sekarang,

dengan transportasi bus yang mendominasi dan mobil pribadi bisa

diperoleh oleh sebagian populasi di negara berkembang, koridor-

koridor tersebut akan lebih menjadi seperti pita ketimbang untaian

72
mutiara, tapi dampak positif dasar, seperti yang ditunjukkan

olehmodel Melbourne, akan muncul. Keuntungan dari koridor atau

jenis struktur untaian mutiara muncul dari investasi permintaan

perjalanan dan porsi transportasi publik yang lebih tinggi.

Dalam upaya mempengaruhi pengembangan ruang dalam arah itu,

preferensi perencanaan transportasi dan prinsip perencanaan

penggunaan lahan harus dikoordinasikan. Pembangunan regional dan

kota yang menyebar merupakan hasil dari prioritas investasi untuk

jalan, dan perencanaan penggunaan lahan yang lemah. Peraturan

perencanaan yang relatif kuat di Eropa dan Jepang mencegah kota di

kawasan itu berkembang menyebar seperti di AS, di mana peraturan

peruntukkan lahan tidak diimplementasikan secara efektif.

Hanya dalam beberapa tahun terakhir ada upaya di AS untuk

mengkomunikasikan skema prencanaan sebagai langkah resmi untuk

mengatur hak atas properti.

Pembangunan ruang tidak bisa semata diarahkan dengan skema

perencanaan dan investasi infrastruktur, tapi ia juga merupakan sebuah

konsekuensi dari harga yang secara fiskal dipengaruhi dari berbagai

moda transportasi. Seksi 9 membahas perencanaan dan konsep

investasi transportasi dari Eropa dan Jepang yang berhasil mencapai

struktur pertumbuhan kota yang ramah lingkungan. Kedua kawasan

mengenakan pajak yang tinggi untuk bahan bakar dan kendaraan

bermotor.

73
Model penggunaan lahan

Proses pengkoordinasioan model komputer untuk perencanaan

penggunaan lahan dan transportasi (sering juga termasuk model polusi

udara) pada berbagai tingkat dan skala dikenal dengan istilah

“nesting.”

Berbagai sistem dukungan keputusan dan aplikasi model komputer

dihasilkan untuk membantu perencana memprediksikan dampak

strategi transportasi dan membuat rekomendasi berdasarkan pada

prediksi tersebut.

Model penggunaan lahan yang lebih kompleks dikembangkan untuk

membentuk rentang faktor yang lebih luas dan hubungan yang

mempengaruhi pembangunan lahan. Model-model ini bisa terdiri dari

transportasi dan komponen model penggunaan lahan, atau bisa terdiri

dari model penggunaan lahan yang berhubungan dengan sebuah model

permintaan perjalanan regional yang ada sekarang. Ia secara tipikal

mencakupi selurh kawasan metropolitan dan terdiri

dari sebuah struktur zona yang serupa dengan model permintaan

perjalanan.

Sesuai dengan perkiraan populasi dan tenaga kerja regional, ia

mengalokasikan pembangunan ke masing-masing zona berdasarkan

pada aksesibilitas transportasi, harga tanah, tanah yang tersedia

menurut jenis pengembangan, dan/atau parameter lainnya. Model ini

secara tipikal disesuaikan dengan menggunakan data historis tentang

74
pembangunan lahan, harga, aksesibilitas transportasi dan faktor

lainnya.

Contohnya termasuk DRAM/EMPAL (model AS yang paling banyak

dipakai);UrbanSim(www.urbansim.org);TRANUSwww.modelistica.co

m/modelistica.html)

;MEPLAN(www.meap.co.uk/meap/ME&P.htm);dan Smart Places

(www.smartplaces.com).

Diadaptasi dari US EPA, modelling and Forecasting Methods,

http://www.epa.gov/otaq/transp/modlmeth.pdf

8. Cara mengatur penggunaan/pemanfaatan lahan

Pada seksi sebelumnya ditunjukkan bahwa penggunaan lahan dan

perencanaan transportasi harus dikoordinasikan, karena berbagai

interaksi dan ketergantungan di antara bidang perencanaan ini. Selain

koordinasi dua bidang ini, koordinasi antara tingkat perencanaan yang

berbeda juga harus dilakukan.

Seksi berikut ini berhubungan dengan aspek legal dan organisasi dari

berbagai jenis koordinasi yang berbeda. Contoh-contoh diberikan,

yang menunjukkan bagaimana mempertimbangkan aspek transportasi

dalam rencana penggunaan lahan.

8.1 Menyusun organisasi dan peraturan perundang-undangan

75
Penggunaan lahan yang berkesinambungan utamanya adalah isu lokal

tapi perlu dipromosikan dan dipandu oleh strategi dan sumber provinsi

dan nasional. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa

pembangunan terjadi dalam sebuah kerangka ruang.

Keputusan tentang penggunaan lahan harus diambil secara bersamaan

pada tingkat distrik, kota dan regional.

Berdasarkan pada prinsip subsidiaritas, rincian dari perencanaan harus

diputuskan untuk tingkat paling rendah untuk pengenalan masalah

secara lebih baik. Di lain pihak, keputusan dan rencana ini harus

cocok dengan panduan dan kerangka perencanaan ruang yang

diterbitkan pada tingkat propinsi dan nasional. Gambar 16

menunjukkan priamid yang terstruktur secara vertikal dari tingkat

tanggung jawab. Dari perspektif organisasi, piramid itu juga

melukiskan pemindahan informasi dari atas ke bawah dan bawah ke

atas, termasuk kaitan praktis antara berbagai tingkat dalam prosedur

pemetaan. Peta tingkat rendah akan berdasarkan pada kerangka yang

dikirim dari tingkat atas, dan begitu pula sebaliknya.

Sementara struktur administrasi dan politik dari tanggung jawab bisa

ditemukan di berbagai negara berkembang, skema itu harus

disesuaikan dengan kondisi lokal. Berkaitan dengan hubungan antara

penggunaan lahan dan transportasi, kerja sama yang erat angara

lembaga terkait diperlukan. Pertumbuhan kota di luar batas

tradisionalnya mungkin telah mengarah kepada penciptaan otoritas

76
metropolitan antara tingkat kota dan provinsi. Provisi legal yang

berbeda bisa ditemukan di lembaga-lembaga ini, mulai dari status

komisi informal yang hanya menyediakan sebuah plafon untuk

pertukaran pendapat, sampai pada tingkat administratif yang lengkap

dengan mandat yang dinyatakan secara jelas untuk pembuatan

keputusan.

Pemerintah Nasional/Federal
Prinsip dan panduan untuk tingkat yang
lebih rendah

Negara Bagian Federal/Provinsi


Perencanaan negara, rencana dan program tentang
pembangunan Negara

Menyetujui memeriksa panduan

Potensial/sasaran/konflik

Perencanaan Regional, Wilayah Metropolitan


Sasaran dan proyek regional dalam rencana regional

Memeriksa panduan

Potensial/sasaran/konflik

Pemerintah Kota
Perencanaan pembangunan kota (rencana penggunaan lahan, rencana
pembangunan kota)

Gambar 16: Integrasi vertikal dari tingkat perencanaan yang berbeda.

77
Kerja sama antara berbagai tingkat hierarki harus diatur berdasarkan

prinsip “counter-current.” Rencana yang dirancang untuk misalnya di

tingkat distrik kota harus disetujui oleh tingkat yang lebih tinggi

(pemerintah kota) sebelum diterapkan; izin harus diperoleh dari

tingkat yang lebih di atas jika persyaratan formal terpenuhi. Hal yang

sama juga berlaku dalam perencanaan penggunaan lahan oleh tingkat

kota yang mendapatkan lampu hijau dari otoritas perencana regional

dan sebaliknya. Ketika rencana pengembangan kota oleh pemerintah

kota sesuai dengan skema pembangunan regional, izin harus diberikan

oleh lembaga regional.

Rencana Distrik

Penetapan Kawasan Tambahan Lainnya

Distrik Penggunaan Lahan

Pengontolan Wilayah Urbanisasi (PWU)


Promosi Wilayah Urbanisasi (PWU)
Perencanaan Wilayah Kota

Gambar 17: Konsep sistem perencanaan penggunaan lahan: Overlay


penggunaan lahan.

Sekali lagi, untuk perencanaan regional dan pembuatan keputusan,

panduan akan diberikan oleh perencanaan ruang dari tingkat provinsi

dan seterusnya.

Perencanaan pada tingkat nasional dan propinsi akan misalnya

dikongkretkan sebagai sebuah “Rencana Pembangunan Provinsi”, yang

78
mengatur fungsi dari penggunaan lahan kota dan pedesaan untuk

pertanian, kawasan lindung untuk habitat nasional, infrastruktur

transportasi antar-kota dan isu sektor lainnya. Rencana ini bisa

dirancang dalam skala 1 berbanding 50.000 atau bahkan lebih besar

lagi.

Perencanaan regional bisa dikongkretkan dalam “Rencana

Pembangunan Regional” yang memberikan lebih banyak rincian dari

penggunaan lahan yang dirancang pada skala 1 berbanding 25.000.

Kota besar dengan wilayah sekitarnya membentuk kawasan

metropolitan akan diatur dengan skala itu, yang membutuhkan

kegiatan perencanaan bersama antara pemerintah lokal kota besar dan

kota kecil di sekitarnya.

Pada tingkat kota, rencana perencanaan pembangunan kota bisa

diwujudkan dalam peta dengan skala 1 berbanding 10.000, dengan

diferensiasi dari kawasan kota untuk perumahan, kantor dan fasilitas

produksi. Pada tingkat ini, penggunaan lahan tidak akan diwujudkan

pada satu lokasi tunggal properti kecuali untuk pembangunan yang

sangat besar. Ketersediaan penggunaan lahan pada tingkat kota akan

menentukan fungsi utama dari kawasan terkait—perumahan (baik

berdiri sendiri atau berbaur dengan pusat perbelanjaan dan jasa),

fasilitas produksi (dikelompokkan berdasarkan dampak pada

lingkungan dan lingkungan alam), ruang hijau kota (taman, pinggir

sungai), dan infrastruktur transportasi.

79
Kepadatan populasi yang direncanakan dalam kawasan perumahan juga

bisa ditentukan pada tingkat ini dan porsi relatif dari kawasan lahan

yang akan diisi oleh bangunan. Parameter kepadatan seperti Rasio

Area Lantai atau Indeks Ruang Lantai akan ditentukan di sini, atau

pada tingkat plot (lihat di bawah).

Gambar 17 menunjukkan prinsip pengisian berbagai pemakaian lahan

dalam perencanaan kota. Berdasarkan fungsi yang dialokasikan untuk

kawasan itu, transportasi dan infrastruktur lainnya harus diputuskan

untuk menghindari friksi, penyempitan dan kerugian ekonomi yang

ditimbulkannya.

Dengan memperhatikan skala perencanaan, rincian selanjutnya dari

pembangunan akan diwujudkan pada tingkat distrik kota atau

perumahan kota, yang dirancang misalnya pada skala 1 berbanding

1.000 atau 1 berbanding 500. Untuk masing-masing lokasi atau

properti (plot), jenis penggunaan lahan yang diizinkan dan kepadatan

dari penggunaan akan dinyatakan secara jelas, termasuk di antaranya

jumlah tingkat, area lantai, ketinggian bangunan dan posisinya

terhadap lokasi yang lain.

Ia tentu saja bergantung pada kepemilikan dan status entitas

pembangunan jika keputusan akan dibuat oleh investor swasta atau

lembaga publik. Juga selalu ada ruang bagi perubahan dalam

penggunaan lahan yang direncanakan berdasarkan pada preferensi

politik dan ekonomi.

80
Diantara negara berkembang, ketentuan undang-undang berbeda dalam

pembatasan penggunaan properti swasta. Ini juga terjadi di negara

maju. Sementara sebagian pemilik tanah AS masih bebas menentukan

jika mereka ingin membangun sebuah rumah yang terpisah, satu

bangunan apartemen atau fasilitas komersial yang memiliki banyak

lantai di atas lahannya, di Eropa ada tradisi yang kuat untuk

menerapkan pembatasan dan panduan untuk penggunaan lahan pribadi.

Dalam upaya mendukung pembangunan kota yang sehat dan

terstruktur, pemilik lahan pribadi harus mengikuti peraturan

penggunaan lahan seperti tercantum dalam rencana pembangunan yang

diputuskan oleh publik. Dalam prakteknya, investor swasta sering

berusaha merevisi sebuah rencana pembangunan berkenaan dengan

jumlah tingkat atau persentase lahan yang boleh dibangun untuk

perumahan dan kantor, tapi pada umumnya pandangan publik terhadap

pembangunan kota sudah mapan.

8.2 Praktek perencanaan penggunaan lahan

Dalam Agenda 21, dokumen KTT Bumi Rio pada 1992, banyak

harapan diarahkan kepada masyarakat lokal. Berdasarkan kerangka

tanggung jawab politik dan administratif yang diperlihatkan pada

piramid Gambar 13, komite lokal dan kelompok konsultan yang

melibatkan wakil dari masyarakat madani dan bisnis bisa dibentuk

untuk memformulasikan dan mengimplementasikan rencana-rencana.

Komisi Perencanaan, Pemerintah India telah mengeluarkan provisi

81
(ketentuan2) pada Tabel 6 dalam menggodok Rencana Pembangunan

Lima Tahun ke-9 dari 1998 sampai 2003. Ini berdasarkan pada kerja

dari Masyarakat Internasional Kota dan Perencana Regional

(ISOCARP). Sumber daya manusia dan keuangan, termasuk sistem

tanggung jawab dan subsidiaritas yang seimbang ditampilkan pada

Tabel 6, rekomendasi tentang “Paradigma Perencanaan Baru .” Tabel 6

terutama berhubungan dengan perencanaan penggunaan lahan di India.

Sebuah contoh yang bagus dari perencanaan penggunaan lahan kota,

dan keuntungan dan perencanaan yang baik, adalah kota Qingdao, kota

pelabuhan di timur laut Cina (lihat Gambar 18). Qingdao memiliki

tradisi panjang dalam perencanaan penggunaan lahan sejak sekitar

1900, dengan penambahan dan perbaikan yang terus-menerus. Hasilnya

adalah kualitas perkotaan yang mengundang decak kagum. Lembaga

perencana secara berhati-hati mengkoordinasikan area perumahan dan

area pengembangan ekonomi dengan perbaikan infrastruktur

transportasi. Sebuah fokus khusus atas pengembangan kereta api

meminimalkan dampak negatif dari trafik barang pada lingkungan

perkotaan.

Perhatian khusus diberikan untuk perlindungan bangunan warisan kota

dan untuk melestarikan kawasan hijau di dalam lansekap perkotaan.

Tabel 6: Batasan tanggung jawab organisasi untuk rencana pertumbuhan

di India: Tanggung jawab perencanaan.

TINGKAT TINDAKAN
Pemerintah Pusat Kebijakan Nasional, merencanakan pendanaan, bantuan

82
program dengan target bilateral dan multilateral, koordinasi,
dan sebagainya
Pemerintah Negara Strategi Negara Bagian: kebijakan industri, distribusi populasi,
Bagian kebijakan lahan kota, jaringan regional, layanan sosial,
konservasi lingkungan, dan sebagainya.
Komite Perencana Rencana Distrik dan Struktur: jaringan regional, layanan sosial
Distrik (Regional) regional, konservasi lingkungan regional, alokasi dana,
identifikasi proyek regional, koordinasi antar dan intra distrik,
dan sebagainya.
Komite Perencana Rencana Struktur Metropolitan: jaringan metropolitan dan
Metropolitan rencana infrastruktur sosial, rencana koordinasi daerah pinggir
metropolitan, rencana perspektif ekonomi lokal, identifikasi
proyek metropolitan, formulasi kemitraan publik-swasta, dan
sebagainya.
Pemerintah Lokal Rencana Pembangunan yang Terinci: formulasi proyek,
Perusahaan Kota implementasi dan pemantauan, koordinasi antara tingkat
Dewan Kota wilayah (Komite Tingkat Wilayah direkomendasikan)
Panchayats Kota Untuk perusahaan kota, umumnya dengan populasi 3 juta jiwa
dan lebih, konsolidasi tingkat wilayah serta rencana lain dan
proyek, prioritas proyel, rencana investasi proyek, outlay
proyek, implementasi dan pemantauan proyek, dan
sebagainya.
Komite Tingkat Rencana Aksi Khusus Lokal: formulasi proyek lokal,
Lokal dan Wilayah implementasi dan pemantauan; koordinasi dengan pemerintah
lokal; input untuk rencana pembangunan.

83
Gambar 18: Rencana penggunaan lahan kota Qingdao (Cina).
Biro Perencana Kota Qingdao, 1999

Rencana penggunaan lahan kota Qingdao.

Struktur tata letak umum kota berdasarkan rencana adalah:

• menempatkan kawasan kota utama di sepanjang pantai timur Teluk

Jiaozhou

• Menempatkan daerah kota pelengkap di sepanjang pantai barat Teluk

Jiaozhou dan

• Mempromosikan pembangunan di sepanjang garis pantai Jiaozhou untuk

membentuk sebuah struktur pembangunan “dua titik dan sebuah

lingkaran.”

84
Kawasan kota utama dan pelengkap direncanakan dalam konsentrasi dan

kawasan pembangunan lainnya di sepanjang Teluk Jiaozhou direncanakan

untuk desentralisasi. Konsentrasi relatif dan desentralisasi yang cocok seperti

itu akan menjadi fitur utama dari struktur layout pembangunan umum.

8.3 Penyediaan transportasi dalam rencana penggunaan lahan

Penggunaan lahan yang direncanakan meningkatkan peluang dan

kebutuhan khusus bagi sistem transportasi. Akses untuk orang dan

barang harus disediakan oleh infrastruktur dan layanan transportasi.

Aksesibilitas terhadap properti tertentu biasanya dijamin oleh jalan,

tapi ini tidak akan diterima di kawasan y ang berpenduduk padat.

Karena kebutuhan ruang untuk mobil pribadi, transportasi publik

diperlukan. Dalam rencana pembangunan urban perkotaan, sebuah

sistem transportasi yang terstruktur secara hierarki dengan jalan dari

kelas dan kapasitas tertentu, termasuk fasilitas transit cepat massal

akan diintegrasikan. Dalam rencana pembangunan tingkat distrik,

rincian tambahan tentang ukuran jalan, rancangan persimpangan jalan,

koneksi antara jalan dan kereta api dan juga ruang yang cukup bagi

pejalan kaki dan pengendara sepeda akan disediakan.

Sejak awal 1960-an, paradigma perencanaan transportasi kota dan

penggunaan lahan telah berubah secara fundamental. Sementara visi

kota modern sebelumnya memberikan peran penting kepada mobil

pribadi dalam transportasi kota, yang memicu pembuatan jaringan

jalan raya baru menembus lansekap kota dan terutama melayani

85
lingkungan kota yang berfungsi tunggal, reorientasi memberikan lebih

banyak perhatian pada angkutan umum dan pejalan kaki (lihat Modul

1a: Peran Transportasi Dalam Kebijakan Pembangunan Perkotaan).

Terutama di kawasan kota yang memiliki bangunan rapat, moda yang

disukai ini seharusnya mendapatkan perlakuan istimewa dalam

distribusi ruang jalan.

Pejalan kaki

Syarat minimal untuk ukuran ruang bagi pejalan kaki telah dibangun,

berhubungan dengan volume pejalan kaki. Lebar minimal adalah 2

meter dirasakan cukup. Tergantung pada jumlah pejalan kaki yang

lewat, rata-rata kecepatan berjalan, dan kepadatan orang yang bisa

diterima dalam meter persegi, ukuran yang dperlukan bisa dihitung.

Misalnya, jika ada 5.000 orang lewat setiap jam, dan kepadatan yang

diterima adalah 0,3 orang per meter persegi, maka lebar ruang pejalan

kaki harus minimal 3,5 meter. Kepadatan lebih dari 0,3 menyebabkan

kondisi yang kurang nyaman sedangkan kepadatan lebih dari 1 orang

per meter persegi menghalangi mobilitas.

Seluruh ruang pejalan kaki harus terhubung dengan jaringan pejalan

kaki. Perencanaan pada tingkat distrik harus bertujuan untuk

mengembangkan kondisi yang nyaman dan aman bagi pejalan kaki

karena ini akan membuat kota menjadi menarik dan hasilnya adalah

penggunaan yang efisien dari lahan yang langka. Pelibatan polisi

86
diperlukan untuk memastikan jalur pejalan kaki tidak terhalang oleh

mobil yang parkir (Foto 8).

Pengendara sepeda

Sepeda adalah alat transportasi yang sangat membantu, tapi

perekayasa jalan sering kali mengeluh karena ia menghalangi arus lalu

lintas. Ini memicu sentimen anti-bersepeda di beberapa kota Cina

seperti Shanghai (lihat Foto 9). Penggunaan sepeda dalam trafik kota

harus sering didukung oleh rute dan jalur yang ditetapkan. (Lihat

Modul 3d: Menjaga dan Memperluas Peran Angkutan Tidak Bermotor,

untuk mendapatkan sebuah gambaran tentang kondisi di mana jalur

sepeda yang terpisah pantas untuk dipertimbangkan). Ini juga bisa

memungkinkan bersepeda melawan arah di jalan searah (lihat contoh

Beijing, Foto 10).

Akses angkutan umum

Kualitas akses ke angkutan umum bisa dinilai dari rata-rata waktu

berjalan ke perhentian bus atau stasiun kereta api berikutnya.

Tergantung pada kebutuhan kenyamanan dan tersedianya alternatif,

jarak berjalan kaki antara 200 dan 350 meter ke perhentian bus atau

stasiun kereta api bisa diterima, dengan waktu tempuh jalan kaki

sekitar 5 menit. Lingkaran dari berbagai diameter di sekitar perhentian

angkutan umum pada peta kota akan menunjukkan kualitas akses

dalam distrik, dan mengindikasikan kekurangan.

87
Penyebaran yang sudah diperbaiki dari blok bangunan dengan

penyediaan jalan pintas melalui blok mengurangi jarak jalan kaki yang

pada gilirannya memungkinkan terciptanya kawasan catchment yang

lebih besar.

Kualitas transportasi publik

Kualitas layanan transportasi publik bisa digambarkan oleh jumlah

keberangkatan bus atau kereta api per hektar, yang menjadi produk

dari sejumlah rute dan frekuensi layanan. Tergantung pada kepadatan

penggunaan tanah untuk perumahan dan keperluan lainnya, permintaan

terhadap kapasitas angkutan umum bisa dihitung dengan menggunakan

hasil survei keluarga tentang pola mobilitas.

Foto 8 : Mobil menghalangi pejalan kaki.

88
Foto 9 : Pengguna sepeda dilarang memakai jalur siang hari.

Foto 10 : Memperpendek jarak bersepeda dengan membolehkan


pemakainya mengambil jalur berlawanan yang arah pada jalan
satu arah (Beijing).

Jika kita memisalkan tingkat perjalanan harian 3 sampai 5 kali per

orang dan kepadatan 1.000 penduduk per hektar di kawasan perumahan

yang berpenduduk padat, dan porsi transportasi publik sekitar

seperempat dari perjalanan itu maka ia akan menciptakan permintaan

89
angkutan umum 1,000 per hektar, atau—dengan sebuah perhentian bus

atau trem yang melayani sekitar 4 hektar—permintaan harian dari

4.000 penumpang bus pada setiap perhentian. Merujuk pada porsi jam

sibuk 10% dari permintaan harian, 100 penumpang per jam akan

menunggu di perhentian bus atau trem.

Jika kita kembali memisalkan rata-rata jarak perjalanan 10 perhentian

bus, dan dengan kapasitas 80 kursi untuk bus besar, maka lebih dari 12

keberangkatan bus per jam diperlukan untuk melayani permintaan

tersebut. Ini akan menciptakan frekuensi 5 menit.

Perkiraan kasar dari permintaan angkutan umum ini di kawasan

perumahan tidak termasuk bobot fasilitas khusus untuk menarik

pelanggan. Ia hanya dimaksudkan untuk mendukung argumen yang

mendukung transportasi publik versus mobil pribadi bahkan untuk

aksesibilitas kawasan perumahan. Jika kita pergi ke CBD dengan

banyak gedung tingginya menarik 10.000 orang dan lebih banyak

penglaju dan orang yang berbelanja per hektar, jelas terlihat bahwa ini

membutuhkan sistem bus yang sangat efisien dengan jalur bus khusus

atau sistem kereta api kota. (Lihat Modul 3a: Opsi Transit Massal)

Kendaraan bermotor pribadi

Tergantung pada distribusi kegiatan dengan kawasan kota, lokasi yang

berbedaberkembang sebagai asal dan tujuan permintaan transportasi.

Di mana rata-rata pendapatan memungkinkan orang untuk memiliki

kendaraan pribadi, permintaan itu akan terwujud sampat taraf tertentu

90
dari lalu lintas kendaraan bermotor. Model perkiraan lalu lintas akan

dipakai untuk menghitung arus mobil pribadi dan kendaraan roda dua.

Seperti yang telah ditunjukkan pada seksi pembuka, mobil penumpang

menyita lebih banyak ruang jalan ketimbang moda lainnya. Dalam

upaya memperbaiki aksesibilitas untuk orang, akses untuk mobil harus

dibatasi. Juga ada pendapat bahwa kapasitas jaringan jalan kota

terbatas oleh persimpangan jalan ketimbang olehbagian jalan. Untuk

menghindari kemacetan parah akibat kelebihan beban, diperlukan

untuk mengatur permintaan trafik (lihat Modul 2b: Manajemen

Mobilitas). Strateginya termasuk penetapan harga trafik kendaraan

pribadi—misalnya penetapan h arga jaalan atau harga kawasan—dan

perbaikan sistem untuk transit, jalan kaki dan bersepeda. Akses mobil

ke bagian tertentu di dalam kota bisa ditutup sehingga memungkinkan

pejalan kaki berjalan dengan nyaman di sepanjang toko dan kafe.

Tergantung pada situasi lokal dan terutama ukuran kawasan pejalan

kaki, bus bisa diizinkan masuk.

“Penerimaan yang baik terhadap pembatasan parkir akan terjadi di


kawasan yang dirancang untuk permintaan transportasi bermotor
yang rendah, dan untuk angkutan umum yang efisien.”

Kebijakan parkir

Manajemen parkir merupakan elemen penting dalam manajemen

permintaan lalu lintas. Jumlah tempat parkir di sekitar tujuan

perjalanan menentukan jumlah mobil yang akan dipakai. Di kawasan

kota yang sudah dibangun, sebuah analisis arus lalu lintas dan

91
kegiatan lalu lintas yang bisa diterima akan dibuat, yang mengacu

pada jumlah maksimal lot parkir yang diterima di kawasan tertentu.

Harus ada jaminan bahwa tarif parkir disesuaikan dengan tingkat yang

mencerminkan nilai lahan perkotaan. Dalam batas kapasitas yang

diputuskan kota dan perencana transportasi, garasi parkir bisa

dibangun dan dioperasikan atas dasar komersial.

Pusat perbelanjaan dan pemancing kedatangan mobil lainnya juga

diharuskan menetapkan tarif parkir untuk menutupi biaya.

Untuk kawasan yang baru dibangun, rasio ruang lantai terhadap ruang

parkir akan dirinci di dalam rencana pembangunan. Pertanyaan

krusialnya adalah distribusi moda permintaan: di lokasi tertentu porsi

pemakai mobil bisa diizinkan mencapai 5% atau 10% atau lebih. Ini

tergantung kepada situasi lokal, kepadatan, dan jenis penggunaan

lahan, termasuk ketersediaan alternatif transportasi. Hasil erbaik dan

penerimaan yang tinggi dari pembatasan parkir akan tercapai di

kawasan yang dirancang untuk permintaan transportasi bermotor yang

rendah, dan untuk angkutan umum yang efisien.

9. Perencanaan penggunaan lahan untuk permintaan


perjalanan yang berkurang

Berkurangnya permintaan perjalanan dan peralihan ke moda

transportasi yang lebih ramah lingkungan bisa didukung dengan

berbagai langkah pada tingkat perencanaan penggunaan lahan yang

berbeda. Kebijakan dan prinsip perencanaan yang bertujuan untuk

92
mendukung moda transportasi yang berkesinambungan pada tingkat

perkotaan digambarkan, termasuk konsep pembangunan regional.

Transportasi perkotaan yang berkesinambungan dan perencanaan

penggunaan lahan membutuhkan ide yang jelas menyangkut sasaran

pembangunan kawasan kota dan regional.

9.1 Prinsip dasar

Perencanaan transportasi dan penggunaan lahan yang terintegrasi

penting bagi pembangunan kota yang berkesinambungan secara

lingkungan, sosial dan ekonomi. Rancangan permukiman kota dan

pilihan lokasi seharusnya bertujuan untuk:

ƒ mengurangi tingkat pertumbuhan perjalanan mobil,

ƒ mendukung angkutan umum (untuk penumpang dan barang), jalan

kaki dan penggunaan sepeda.

ƒ meningkatkan kondisi yang sehat untuk kehidupan.

Dalam upaya mewujudkan pembangunan kota dan sistem transportasi

yang berkesinambungan, yang tidak terlalu merusak lingkungan dan

juga secara efektif mendukung pembangunan ekonomi dan sosial,

prinsip kebijakan berikut ini harus dijalankan:

ƒ Pembangunan utama seharusnya dilakukan di lokasi yang bisa

dicapai dengan mudah oleh angkutan umum, atau penyediaan

angkutan umum dibutuhkan sebagai bagian dari pembangunan.

Lembaga atau perusahaan yang mempromosikan pembangunan akan

93
memberikan penilaian dampak transportasi dan rencana perbaikan

transportasi.

ƒ Sebagai bagian dari rencana pembangunan, skema manajemen lalu

lintas harus diimplementasikan, termasuk kebijakan parkir dan

pembatasan lalu lintas untuk kawasan sensitif.

ƒ Otoritas perencana dan pengembang harus memastikan kondisi yang

aman bagi pejalan kaki dan pemakai sepeda, dan memberikan

penekanan khusus pada rute aman ke sekolah bagi anak-anak.

ƒ Sebuah strategi angkutan umum harus dirancang dan

diimplementasikan, yang membuat perhentian transit menjadi lebih

mudah dicapai (lihat Modul 3c: Pengaturan dan Perencanaan Bus).

ƒ Dalam upaya melayani pembangunan besar yang baik dengan

angkutan umum, otoritas kota yang bertanggung jawab atas

perencanaan transportasi dan manajemen lalu lintasakan

memperkenalkan koridor angkutan umum khusus terutama jalur

bus.

ƒ Pembangunan baru akan dilakukan dekat rute, terminal dan titik

perlintasan transit berkapasitas tinggi setempat.

ƒ Pembangunan baru yang menarik jumlah yang signifikan dari

transportasi barang akan dilakukan dekat fasilitas jalan raya yang

ada. Rancangan jaringan dan manajemen lalu lintas akan menjamin

bahwa lalu lintas baru tidak akan mengganggu kawsan perumahan,

dan tidak akan menganggu perjalanan non-motor.

94
Pada tingkat permukiman, prinsip-prinsip ini akan terwujud dalam

penciptaan kondisi yang bagus untuk berjalan kaki dan bersepeda

tanpa halangan dari lalu lintas bermotor, akses yang bagus ke jalur

angkutan umum, dan restriksi akses mobil ke kawasan tertentu. Ide ini

disebut konsep “kawasan lingkungan”. Layout prinsip dari grid

jaringan dan kawasan akses terbatas ditunjukkan pada Gambar 19.

Gambar 19:
Rancangan kawasan perumahan untuk dukungan bagi pilihan moda
yang berkesinambungan.

95
Prinsip-prinsip ini diterapkan pada pembangunan Kota Percontohan

Shanghai di Yangpu/Dinghai. Permukiman kota seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 20 menghadapi pembaruan mendasar; ia

sekarang menjadi kawasan post-industri yang terdegradasi tapi dengan

letak yang bagus di tepi sungai Yangtse, tidak jauh dari pusat kota.

Rencana itu memperkenalkan sabuk hijau dan secara berhati-hati

mengoptimalkan infrastruktur transportasi, dan mengkonsentrasikan

penggunaan lahan intensif di sepanjang jalan utama.

Lingkaran-lingkaran itu menunjukkan jarak berjalan kaki 300 meter

dan 600 meter dari stasiun Metro. Rancangan itu dikembangkan dari

perlindungan dimensi tradisional ruang kota tanpa mengorbankan

lahan kota untuk jalan raya kota yang kelebihan ukuran.

Merupakan sebuah pertanyaan terbuka apakah rancangan ini akan

diwujudkan, dan penghargaan World Expo 2010 (lihat box teks)

memunculkan pertanyaan baru tentang masa depan perencanaan

transportasi dan penggunaan lahan.

96
Gambar 20: Rancangan kota untuk dukungan bagi moda yang

berkesinambungan.

Kota Percontohan Shanghai—Yangpu/Dighai

ƒ Hunian ƒ Pendidikan tinggi/fasilitas kesehatan


ƒ Jasa, perdagangan ƒ Ruang terbuka
ƒ Jasa perdagangan ƒ Penghubung hijau
ƒ Produksi tersier, ƒ Metro (kawasan catchment),
ƒ Industri ringan Pengembangan hidup
perkotaan pertama.

EXPO 2010 SHANGHAI CINA

97
Pameran Dunia 2010 di Shanghai

Pada Desember 2002, Biro Pameran Internasional memutuskan

menunjuk Shanghai sebagai tuan rumah Pameran Dunia 2010. Ini adalah

pameran pertama yang digelar di sebuah negara berkembang dan akan

mengusung moto “Better City, Better Life.”

Dalam cetakbiru perencanaan kota ambisius, bank-bank di pinggir Sungai

Huangpu akan menjadi pusat renovasi dengan 54, kilometer persegi wilayah

dialokasikan untuk proyek World Expo 2010. Kota Shanghai akan menanamkan

modal senilai US$3 miliar di lokasi pameran dan sekitar lima sampai 10 kali dari

jumlah itu diperkirakan dalam bentuk investasi tambahan untuk pembangunan

infrastruktur transportasi dan modernisasi kota. Expo itu akan memiliki implikasi

besar bagi kota dan struktur kawasan pinggirnya. Sampai sekarang masih

menjadi pertanyaan terbuka jika implikasinya akan positif atau negatif dan jika

Expo 2010 di Shanghai semata menjadi ajang prestise atau peluang untuk

modernisasi kota berkaitan dengan pelayanan terhadap warganya.

Beberapa proposal rancangan untuk Expo 2010 Shanghai terdaftar

padahttp://www.expo2010china.com/Expo.srv?action=CommonChannelLoad&col

umn=14&channel=17.

Merujuk kepada artikel koran sekarang, lokasi Expo seharusnya menjadi

percontohan dari renovasi kota. Penghasil polusi seperti pabrik baja, pembuatan

kapal, pabrik kimia, pabrik mesin pelabuhan, gudang dok yang tidak terpakai,

gubuk reot dan bangunan apartemen yang membentang di sepanjang sungai

akan digantikan dengan bangunan konferensi dan taman yang indah, yang

mengembalikan keelokan di sepanjang sungai. Perusahaan penyumbang polusi

dijadwalkan ditutup atau pindah ke luar kota. Sekitar 25.000 orang dari 8.500

keluarga akan direlokasi ke perumahan baru.

98
Pada masa lalu Shanghai menanggung kepadatan kota yang tinggi di

mana tidak banyak ruang hijau yang tersisa.

Menurut deputi direktur kantor penawaran Shanghai, Shanghai berniat menyulap

sepertiga lahanya menjadi ruang hijau.

Selain sistem angkutan umum yang sedang dibangun, infrastruktur

transportasi lainnya akan dibangun termasuk lokasi Expo di jaringan transit

massal Shanghai.

9.2 Penciptaan pengembangan penggunaan lahan perkotaan untuk

transportasi yang berkesinambungan

Penting untuk mengakses permintaan transportasi yang disebabkan

oleh berbagai penggunaan lahan pada tahap awal perencanaan kota,

dan memastikan integrasi awal dengan perencanan transportasi. Ini

kedengarannya sederhana, tapi tidak lazim di kota yang sedang

berkembang. Kebutuhan minimal adalah pembentukan kelompok kerja

gabungan pada tingkat kota, terdiri dari perencana kota dari kantor,

perencana transportasi dan unit manajemen trafik dan transportasi

publik terkait.

“Kebutuhan minimal adalah pembentukan kelompok kerja gabungan


pada tingkat kota.”

Perencanaan ABC Belanda

Penerapan perencanaan lahan untuk menurunkan permintaan

transportasi, dan peralihan permintaan pada moda transportasi yang

berkesinambungan membutuhkan sebuah diferensiasi yang jelas dari

kawasan berdasarkan pada aksesibilitas dengan moda transportasi yang

99
berbeda. Sebuah pendekatan pragmatis telah dikembangkan di Belanda

dengan 15 juta warganya dan kepadatan populasi tertinggi di Eropa

(410 orang per kilometer persegi). Otoritas perencana nasional telah

mengembangkan strategi penggunaan lahan yang terintegrasi sebagai

panduan bagi tingkat lokal. Kota dengan 100.000 penduduk diharapkan

mempersiapkan rencana penggunaan lahan dengan membagi kawasan

menjadi tiga kategori A, B dan C (Gambar 21).

A: Lokasi yang mudah dicapai oleh angkutan umum lokal, regional

dan nasional (daerah di sekitar persimpangan jalan transportasi

publik); porsi dari penglaju dengan mobil seharusnya di bawah 10%

sampai 20%.

Di Belanda, lokalitas ini secara tipikal cocok untuk kantor dengan

jumlah pegawai dan tamu yang besar. Lokasinya harus terletak 600

meter dari perhentian kereta api nasional atau regional atau 400 meter

dari perhentian bus atau trem yang bagus, tidak lebih dari 10 menit

berkendaraan dari stasiun kereta api nasional dan koneksi yang baik ke

taman hiburan di pinggir kota harus tersedia. Dalam kategori ini

perbedaan berikutnya adalah antara lokasi AI dan AII.

Sebuah lokasi AI seharusnya berdekatan langsung dengan stasiun

kereta api sedang lokasi AII tidak.

B: Lokasi yang mudah diakses oleh transportasi lokal dan regional dan

juga bisa diakses oleh mobil (daerah di aman rute transportasi publik

yang berstandard tinggi melintasi jalan lingkar); porsi dari penglajuan

100
dengan mobil harus di bawah 35%. Lokasi-lokasi ini secara

karakteristik dipilih untuk kantor dan lembaga dengan jumlah pegawai

yang besar, yang sebagian tergantung pada perjalanan mobil untuk

alasan profesional. Lokasi seperti itu berada dalam jarak 400 meter

dari perhentian bus dan trem berkualitas baik dan tidak lebih dari 5

menit berkendara dari stasiun kereta api regional. Selanjutnya, ia

harus dalam 400 meter dari sebuah jalan utama yang terhubung dengan

sebuah jalan raya nasional. Lokasi BI, BII dan BIII harus ditetapkan

berdasarkan kebutuhan organisasi di kawasan itu (misalnya fasilitas

parkir disamakan untuk mendorong orang untuk tidak menggunakan

mobil).

Gambar 21: Klasifikasi lokasi ABC dari daerah perkotaan.

101
Keterangan gambar:

A— lokasi stasiun kereta api cepat,

B— lokasi perhentian trem/metro,

C— lokasi akses jalan raya /jalan utama.

C: Lokasi bisa dengan mudah dicapai oleh mobil (daerah sepanjang

jalan raya yang hampir jadi) tapi dengan suplai angkutan umum yang

buruk. Secara khusus, lokasi-lokasi ini cocok untuk perusahaan yang

bergantung pada mobil seperti perusahaan jasa pengiriman, kurir atau

industri lainnya. Lokasi-lokasi ini berada dalam 1.000 meter dari

koneksi langsung ke jalan raya nasional. Lokasi C biasanya terletak di

pinggir daerah metropolitan. (www.epe.be/workbooks/tcui/

example12.html)

Dalam pengertian sederhana, ketiga kategori lokasi itu bisa juga

dipandang cocok untuk:

A: kegiatan yang berbasis populasi

B: kegiatan campuran

C: kegiatan pengangkutan barang

Karena ketersediaan ruang parkir merupakan aspek vital untuk

pengurangan penggunaan mobil di kawasan tertentu, kategori ABC

terkait dengan jumlah tetap parkir mobil untuk setiap daerah tertutup.

Rasio pada Tabel 7 berlaku di Belanda.

Lokasi cocok dengan kebutuhan berbagai bisnis dan jasa. Masing-

masing bisnis diberikan sebuah profil mbilitas berdasarkan jumlah

102
pegawai dan pengunjung, ketergantungan pada lalu lintas mobil dan

angkutan barang. Toko-toko lebih memilih berada di daerah A, tidak

pernah di daerah C.

Gambar 22: Konsep lokasi utama, kebijakan ABC.


Keterangan gambar: 5 menit jalan kaki.
Utama/Kunci
--Employment kepadatan tinggi dengan beberapa penggunaan campuran.
Pengunaan campuran dengan Hunian tertentu.
--Hunian dengan beberapa kantor dan toko
--Perhentian bus.
--Pertemuan jalan
--Koridor bus frekuensi tinggi
--Kereta api
Kantor-kantor berlokasi di daerah A dan B sedang daerah C

seharusnya hanya dipakai untuk fasilitas transportasi atau kegiatan

padat lahan. Sistem ABC ini mengintegrasikan sejumlah standard yang

103
berhubungan dengan kepadatan pegawai per meter persegi, dam tempat

parkir per pegawai. Misalnya berkaitan dengan standard parkir: Di

lokasi A pada kota besar jumlah maksimal ruang parkir adalah 10 per

seratus pegawai, dan di lokasi B 20 per seratus pegawai.

Tabel 7: Skema ABC: rasio ruang parkir terhadap ruang lantai dalam

hubungannya dengan fungsi dan lokalitas.

Lokalitas Rasio maksimal Rasio minimal

AI (kantor) 1:250 1:250


AII (kantor) 1:175 1:250
B (kantor, bisnis) 1:125 1:90
C (bisnis) 1:90 1:60
AI/AII (pendidikan tinggi) 1:250 1:250
B/C (pendidikan tinggi) 1:145 1:145
AI/AII (pusat perbelanjaan) 1:90 1:40
B/C (pusat perbelanjaan) 1:65 1:30

Sistem ABC merupakan strategi ruang yang ketat untuk lokalisasi yang

bagus dari kegiatan yang berbeda, berdasarkan pada analisis yang

komprehensif terhadap hubungan antara kualitas lokasi dan kebutuhan

transportasi.

Dalam konsep ABC Belanda, lokasi yang dikelompokkan pada “A”

akan menjadi daerah pembangunan penting dalam sebuah lansekap

kota. Tapi juga dalam pusat dan sub-pusat kota ada perbedaan

berkaitan dengan aksesibilitas. Gambar 22 melukiskan ini dengan

menunjukkan aksesibilitas terbaik dengan transportasi publik dalam

waktu hijau. Lokasi terbaik untuk fasilitas yang menarik banyak oang

104
yang berjalan bisa terjangkau dengan berjalan kaki di sekitar stasiun

kereta api yang juga dilayani rute utama bus. Jarak yang bertambah

dari titik itu akan menjadi kurang menarik untuk penumpan yang

transit, dan orang dalam perjalanan akan semakin cenderung

menggunakan mobil pribadi dan taksi.

Jenis differensiasi penggunaan lahan ini bisa menjadi dasar bagi

kebijakan khusus termasuk insentif pajak untuk investor komersial dan

prioritas investasi publik.

Skema ABC dan konsep lokasi utama seharusnya tidak disalahartikan

berkaitan dengan paradigma pembangunan perkotaan pada umumnya.

Konsep ini dimaksudkan untuk mendukung hanya pembangunan pusat.

Di dalam derah perkotaan banyak masalah lalu lintas yang terpicu oleh

pembangunan yang terkonsentrasi pada distrik pusat. Terutama ketika

perumahan menyebar ke pinggir kota dan tempat kerja serta pusat

perbelanjaan terletak di pusat kota mengundang kedatangan orang,

kemacetan dan titik panas emisi terjadi. Keluarga dan investor bisnis

kemudian cenderung melirik keluar yang memicu “siklus liar”dari

pembangunan perluasan dan lonjakan lalu lintas seperti dijelaskan

pada seksi 1.2 (lihat gambar “spiral trafik”). Cara yang lebih sehat

untuk mengatasi situasi ini adalah dengan pembentukan sub-pusat kota

seperti ditampilkan pada Gambar 23.

Tujuan dari jenis pembangunan perkotaan seperti itu adalah untuk

mengurangi tekanan trafik pada jalan yang mengarah ke pusat kota dan

105
untuk mempertahankan keluarga dan investor komersial dalam

perbatasan kota. Sub-pusat bisa dilayani dengan baik oleh angkutan

umum : ia kadang-kadang akan terwujud di sekitar stasiun transit

cepat massal. Rencana penggunaan lahan dan investasi publik bisa

mengarah kepada pembangunan, dalam koordinasi yang erat dengan

modernisasi jaringan angkutan umum.

Aktivitas pembangunan di sub-pusat kota akan mengarah kepada

distribusi yang lebih sejenis dari kegiatan-kegiatan sehingga

mengurangi rata-rata jarak perjalanan dan memperlambat peningkatan

trafik. Pembangunan seperti itu merupakan langkah penting dalam

upaya mempertahankan sebuah bentuk kota yang padu.

“Taman dan daerah hijau kecil penghubung…membentuk rantai hijau.”

Jenis desentralisasi yang tersentralisasi dalam kawasan kota ini bisa

terhambat oleh bekas lokasi industri (lapangan coklat), yang sering

terletak di tanah yang terkontaminasi. Lembaga manajemen lahan kota

perlu membeli dan membersihkan kawasan ini sebelum dipasarkan

untuk pembangunan perumahan dan gedung perkantoran, dan industri

manufaktur yang bersih yang cocok dengan pembangunan campuran.

Pembangunan kembali lapangan coklat juga menciptakan peluang

untuk meningkatkan porsi kawasan hijau perkotaan dengan

menciptakan kawasan lahan terbuka, taman dan sabuk hijau. Gambar

24 menunjukkan distribusi kawasan kota hijau dalam sebuah kota

besar (di sini: London).

106
Gambar 23: Pembangunan kota inti: desentralisasi kota menjadi sub-pusat

Keterangan gambar: Struktur sekarang, Konsep pembangunan masa depan.

Gambar 24: Perbatasan pertumbuhan dan kawasan sabuk hijau di London.

107
Gambar 25: Pembangunan lompatan terlepas dari batas pertumbuhan:
kepadatan penduduk dalam jarak radial dari pusat kota.
R e f o r ma s i u n tuk S k a l a K o t a- D e s a D a la m K o n tr o l P er en c an a an ,
Sh ang-Chu el Cho e (Seou l Nation al Un iv ersity) h ttp ://up.t.u-
tok yo.ac.jp /SU R/p apers/Choe.pdf diakses pad a 10 Ju li 2002

1971, kepadatan, pusat, sabuk hijau, jarak (km)


1980, kepadatan, pusat, sabuk hijau, jarak (km)
1990, kepadatan, pusat, sabuk hijau, jarak (km)
2000, kepadatan, pusat, sabuk hijau, jarak (km)

108
Fungsi ekologi didukung oleh koneksi taman dan kawasan hijau kecil

untuk membentuk rantai hijau. Peta hijau London juga menunjukkan

sabuk hijau di sekitar kota yang berfungsi sebagai penghalang bagi

perluasan.

Instrumen perencanaan untuk menghindari perluasan menyebar ke luar

dari kota ke lingkungan pedesaan adalah konsep “batas kota”. Denagn

melarang pembangunan di luar garis tertentu di sekitar kota, dan

menjaganya untuk pertanian dan habitat alami, investasi perkotaan

akan diarahkan baik dengan kawasan kota—atau akan fokus pada

kawasan di luar perbatasan, lebih disukai ke pusat yang ditetapkan

dengan jelas, sehingga membentuk kota-kota satelit. Dengan

peningkatan populasi kawasan perkotaan, kepadatan dalam kota dan

kawasan sekitarnya akan meningkat.

Gambar 25 menjelaskan pembangunan dalam jarak radial ke pusat kota

setelah batas kota untuk pembangunan diterapkan. Ia merujuk pada

Kota Seoul yang pada akhir 1960-an telah memperkenalkan sabuk

hijau yang menghalangi pembangunan perluasan yang menyebar.

9.3 Pengembangan regional untuk transportasi yang berkelanjutan

Pertumbuhan populasi di kota besar telah mengubah struktur

penggunaan lahan regional: Kawasan yang sudah dibangun meningkat

di luar batas tradisional; daerah metropolitan semakin banyak yang

menjadi kota termasuk kota yang sebelumnya independen. Ada strategi

yang berbeda untuk menangani tantangan administratif. Seperti

109
dibahas sebelumnya, satu pendekatannya adalah dengan merancang

kembali batas kota dengan cara bahwa ada tanggung jawab

administratif kota yang terintegrasi yang mencakup seluruh wilayah

kota. Pendekatan lainnya adalah pembentukan tingkat administrasi

regional seperti administrasi kawasan metropolitan di mana kota-kota

bekerja sama. Pembagian tanggung jawab antara tingkat kota dan

tingkat regional harus diputuskan. Tanggung jawab penggunaan lahan

utama akan beralih ke tingkat yang lebih tinggi.

Ada kompetisi alami di antara berbagai kota, atau distrik kota yang

diperluas berkaitan dengan investasi swasta dan publik. Politisi dan

perencana yang bertanggung jawab atas lokasi periferal dengan lebih

sedikit momentum pembangunan akan mendukung lebih banyak

pembangunan, merujuk pada harga lahan dan tenaga kerja yang murah.

Karena transportasi yang berkelanjutan membutuhkan pembangunan

yang terkonsentrasi dan campuran, perencanaan penggunaan lahan

tidak terelakkan akan menghadapi posisi yang kontroversial antara

minat berada di pusat dan lokasi periferal. Diperlukan implementasi

konsep untuk membangun lokasi terpencil tanpa mengkompromikan

prinsip-prinsip kesinambungan.

Dalam cakupan pembangunan regional, prinsip konsentrasi yang

terdesentralisasi bisa diterapkan, serupa dengan konsep yang

digambarkan dalam seksi sebelumnya. Ia membidik pembangunan kota

dan kawasan pinggir kota yang terkonsentrasi di lokasi tertentu, yang

110
dipilih berdasarkan pertimbangan aspek perencanaan regional dan

dengan infrastruktur transportasi publik yang dikembangkan dengan

baik. Kawasan bangunan baru harus dialokasikan di sekitarinti yang

dibentuk oleh stasiun transit, dan harus selalu dalam keadaan padu

untuk memungkinkan aksesibilitas penumpang dan barang dengan

kereta api atau bus, dan meminimalkan jarak perjalanan internal.

Konsentrasi yang terdesentralisasi, dalam kombinasi dengan campuran

yang baik dari fungsi-fungsi, dengan tempat kerja dan infrastruktur

lain yang melengkapi, akan melengkapi kawasan dalam bentuk untaian

mutiara yang terbentuk oleh lini transit. Bahkan dalam skala geografi

yang lebih besar, prinsip-prinsip ini mengacu kepada kota-kota satelit

di sekitar kawasan metropolitan, dengan populasi minimal beberapa

ratus jiwa.

Model pertumbuhan Yokohama

Kota Yokohama menumpukan pertumbuhan kawasan kotanya pada

jalur kereta api radial sejak 1960-an, yang mendukung pengembangan

yang direncanakan dekat stasiun (lihat Gambar 26). Perencana yang

bertanggung di kota itu menggodok sasaran perencanaan transportasi

untuk porsi angkutan umum yang tinggi sebagai berikut (pemerintah

Kota Yokohama 2000):

ƒ Diperlukan waktu kurang dari 15 menit (berjalan kaki, atau berjalan

kaki dan naik bus) ke stasiun terdekat.

ƒ Diperlukan waktu kurang dari 30 menit ke pusat kota Yokohama.

111
Sentralisasi terdesentralisasi yang didukung oleh transit massa ini

bisa menjadi model bagi pertumbuhan kota yang berkelanjutan.

Sebuah strategi berbeda tapi juga menuai sukses besar dicapai oleh

Kota Curitiba (Brazil) yang mengaitkan pembangunan sistem Transit

Cepat Bus yang sangat efisien dengan perencanaan penggunaan

lahan.

Ukuran kota satelit tergantung pada situasi lokal. Master Plan Beijing

menyebutkan populasi antara 150.000 sampai 400.000 (KTT Enam

Kota Besar, Beijing, 2000: Pengenalan Singkat Terhadap Rencana

Induk Beijing 1991-2010).

Sabuk hijau atau prinsip batas kota yang digambarkan di atas pada

seksi 9.2 membatasi pertumbuhan geografi kota tapi, seperti terlihat

pada Gambar 19, tentu saja bukan sebuah kendala bagi pertumbuhan di

luar sabuk itu. Tekanan populasi dan pasar akan menyebabkan

peningkatan aktivitas permukiman di luar yang bisa disalurkan ke

pusat-pusat kota atau menyebabkan perluasan tidak terkendali jika

tidak ada implementasi dari skema penggunaan lahan regional yang

ketat. Perpindahan dari kawasan utama kota ke wilayah sekitarnya

membutuhkan sebuah jenis pertumbuhan lompatan besar. Dari sudut

pandang lingkungan lebih disukai untuk menciptakan kluster

pembangunan yang terkonsentrasi, baik di sekitar desa atau kota kecil

yang ada, atau satu lainnya dari yang ditinggalkan. Di AS sebuah trend

terkini diidentifikasi dari kota yang tumbuh di sekitar persimpangan

jalan raya utama, periset menyebutnya “kota pinggir.”

112
Di negara Asia yang berkembang cepat seperti Cina, pembentukan kota

satelit tidak dipengaruhi pasar seperti kota pinggir di AS, tapi

berdasarkan pada perencanaan publik dan investasi. Ia

dikonseptualkan sebagai “kota pembebasan” dengan jarak yang jelas

dari kota besar yang ada, dalam upaya menjauhkan tekanan

pertumbuhan di kota-kota besar. Ide dasar di belakangnya adalah

untuk mendirikan kota mandiri yang tentunya mendapatkan

keuntungan karena kedekatannya dengan kota besar, tapi cukup jauh

untuk menghalangi penglajuan setiap hari. Masing-masing kota

pembebasan memiliki 100.000 penduduk yang mendapatkan layanan

untuk keluarga dan bisnis.

Kota-kota satelit bisa didefinisikan sebagai permukiman yang secara

fungsional berhubungan erat dengan unit kota yang luas, sementara

kota pembebasan memiliki potensi yang lebih tinggi untuk

pembangunan yang terlepas dari kota besar. Kota-kota satelit sampai

batasan tertentu secara fungsional masih berhubungan dengan kota

besar, tapi tidak merujuk kepada mobilitas harian dari populasinya.

Bisnis menuai keuntungan dari penumpukan di pinggir kota karena

harga lahan relatif masih murah dengan kualitas lingkungan yang baik

serta tidak terlalu macet. Di Cina, peningkatan jumlah kota-kota kecil

(kurang dari 200.000 penduduk) mengesankan (Huapu 2002) dan

menjadi pembebas untuk kota yang lebih besar. Ide dan tujuan dasar

kota satelit adalah untuk membatasi penyebaran ruang kota besar,

113
menghindari perluasan kota dan mempertahankan fungsi kawasan

metropolitan.

Penciptaan sistem kota satelit di Indonesia di kawasan ibukota Jakarta

lebih terdorong oleh pasar, dan dipromosikan oleh investor kakap

dengan dukungan lingkungan kebijakan yang kondusif (Dick &

Rimmer, 1998). Jakarta menanggung beban polusi dan kemacetan yang

kronis, dan pertumbuhan telah menyatu dalam kawasan besar

JABOTABEK. Pembangunan Jakarta memunculkan kekhawatiran

berkaitan dengan permintaan transportasi akibat perubahan ruang

karena pembangunan baru dirancang menurut model Amerika utara

yang berorientasi mobil.

Seluruh proyek kota dan kawasan industri baru dikembangkan di

sepanjang jalan tol yang menjadi pengumpan jalan lingkar kota (lihat

Gambar 26). Pada 1989, proyek kota baru Bumi Serpong Damai, yang

meliputi daerah seluas 6.000 hektar di barat Jakarta, dimulai

pembangunannya. Pertama lapangan golf dan sebuah gated community

dikembangkan dan seiring dengan peningkatan kepadatan, fasilitas lain

seperti sekolah, kantor dan pusat perbelanjaan muncul. Pada akhirnya,

proyek ini memasukkan 300 hektar CBD dan 200 hektar untuk kawasan

bisnis dengan jumlah tenaga kerja diperkirakan mencapai 140.000

orang. Contoh lain adalah kota satelit Lippo Karawaci (2360 hektar) di

barat Jakarta. Pada 1997, Lippo Karawaci memiliki sebuah CBD

dengan sejumlah gedung perkantoran, sebuah pusat perbelanjaan

seluas 100.000 meter persegi, dua menara kondominium, sebuah rumah

114
sakit internasional yang bisa menampung 328 pasien, sebuah sekolah

swasta serta country club dan sebuah hotel internasional bintang lima.

Konsep terkini dari pengembangkan penggunaan lahan di Jakarta

adalah dengan mengkombinasikan pembangunan kota satelit dan

perluasan Jakarta dengan intesifikasi pengembangan di dalam Jakarta.

Yang terakhir dilakukan dengan cara reklamasi pantai dan dengan,

misalnya, membolehkan pengembang membangun gedung melebihi

batas 32 tingkat. Intesifikasi pembangunan pada kawasan ini cocok

dengan rencana dalam pengertian transportasi hanya jika pelayanan

transportasi publik mencapai tingkat yang tinggi dan efisien. Tanpa

sistem transit dan langkah manajemen permintaan yang cukup, trend

yang kuat ke arah penyebaran aktivitas akan terjadi sehingga

melemahkan investasi yang ada dan membahayakan perluasan kota.

Sebuah contoh bagus dari pembangunan baru yang memperluas batas

kota sebelumnya tapi dengan konsekuensi transportasi yang

problematik adalah Pudong dekat Shanghai. Rancangan kota itu

berdasarkan pada jalan dan arteri yang luas, seperti ditunjukkan Foto

11. Gambar ini diambil dari brosur perencanaan resmi, dan

mencermnkan pembangunan kota gaya AS yang tidak dibangun dengan

praktek terbaik penggunaan lahan dan perencanaan transportasi yang

berbasis transit.

115
Gambar 26:

Kota satelit Jakarta: kota dan kawasan industri baru disetujui dan
sedang dalam tahan pembangunan. Dick & Rimmer, 1998. Catatan:
Kota Pantai Jakarta, Teluk Naga, Bukti Indah City dan Bukit Jonggol
Asri tidak terlihat.

116
Foto 11:

Visi pembangunan Shanghai/Pudong, Pemerintah Kota Shanghai.

10. Cheklist untuk penggunaan lahan dan rencana


transportasi

10.1 Pengembangan baru

Tugas 1.1 Konsentrasi yang terdesentralisasi

Apakah kawasan pengembangan kota baru terletak di sepanjang rute

angkutan umum yang menarik?

Apakah kawasan pengembangan kota baru terletak pada lokasi yang

117
menawarkan kenyamanan seperti pusat perbelanjaan dan fasilitas jasa

dan di mana ada pekerjaan?

Apakah perencanaan menjamin penggunaan yang seimbang dari rute

angkutan umum (untuk kedua arah)?

Tugas 1.2 Fasilitas yang terdesentralisasi

Apakah toko kebutuhan harian, fasilitas olah raga, taman kanak-kanak,

sekolah, praktek dokter, fasilitas administratif dan bersantai

direncanakan sebebas (desentralisasi) mungkin?

Apakah fasilitas-fasilitas bisa dicapai dengan berjalan kaki atau

bersepeda (dimulai dari kawasan hunian)?

Apakah fasilitas-fasilitas ini terutama terletak di pusat kawasan yang

sudah dibangun?

Apakah konsentrasi yang berlebihan dari utilitas, fasilitas bersantai dan

tempat kerja dihindari?

10.2 Angkutan umum dan penggunaan lahan

Tugas 2.1 Peningkatan penggunaan angkutan umum

Apakah penetapan kawasan baru kota atau kepadatan dari kawasan yang

sudah ada sesuai dengan kapasitas angkutan umum yang ada atau yang

direncanakan?

Apakah pusat baru kawasan kota terletak di kawasan catchment stasiun

rute transit lokal dan regional?

118
Apakah fasilitas pusat yang sibuk bisa dengan mudah dijangkau dengan

transportasi publik, jalan kaki, bersepeda oleh banyak orang? Apakah

fasilitas yang berbeda dekat satu sama lainnya sehingga memungkinkan

gabungan perjalanan dengan moda transportasi yang ramah lingkungan?

Apakah pembangunan infrastruktur angkutan umum yang hemat biaya

sesuatu yang memungkinkan?

ƒ dengan menggunakan rute atau perhentian yang ada

ƒ dengan memindahkan perhentian yang ada

ƒ dengan membangun perhentian tambahan untuk rute yang ada

ƒ Apakah tujuan yang penting dari kehidupan sehari-hari bisa dicapai

dengan angkutan umum dalam jarak dekat selama dan di luar jam

sibuk?

Apakah ada pilihan terbuka untuk memperbaiki operasi transit cepat

massal dengan mempertahankan kawasan yang ada untuk perluasan

jalan yang ada?

Tugas 2.2 Akses ke perhentian

Apakah ada akses yang mudah dan aman ke perhentian?

Apakah ada pemotongan jalan? Jika ada, apakah bisa dikurangi?

Apakah ada underpass atau overpass? Jika ada, apakah ia bisa diganti

dengan persimpangan di ground level.

Apakah keselamatan lalu lintas terjamin?

Apakah keselamatan sosial pada siang dan malam hari terjamin?

119
Berapa jarak jalan kaki (minimal dan maksimal) ke perhentian?

Tugas 2.3 Angkutan umum dalam trafik

Apakah kendala angkutan umum -- yang disebabkan oleh transportasi

bermotor pribadi yang sedang parkir atau berjalan—berkurang?

Apa langkah yang diambil untuk memisahkan angkutan umum dengan

lalu lintas kendaraan bermotor seperti jalur khusus bus atau lampu

pengatur lalu lintas?

Apakah kendala angkutan umum dikurangi dengan langkah penenangan

lalu lintas arsitektural?

Apakah solusi khusus untuk menghindari angkutan umum memotong

jalan, yang tidak bisa dipakai oleh lalu lintas kendaraan bermotor

lainnya (misalnya pintu bus yang memungkinkan pejalan kaki,

pengguna sepeda dan angkutan umum melintasi kawasan yang

dikhususkan untuk kendaraan pribadi?

10.3 Pengembangan perkotaan

Tugas 3.1 Lokasi dari kawasan baru perkotaan

Apakah kawasan untuk utilisasi baru/yang diintensifkan terletak di

pusat permukiman, di dalam lokasi yang sudah dibangun, pada pinggir

atau di luar kota?

Apakah fasilitas yang berbeda (misalnya tempat kerja, toko untuk

kebutuhan harian, taman kanak-kanak, sekolah, fasilitas olah raga) di

120
kawasan baru kota atau distrik sekitarnya yang bisa dijangkau dengan

berjalan kaki atau bersepeda?

Apakah fasilitas-fasilitas itu terletak di kawasan utama daerah yang

sudah dibangun?

Apakah perluasan kota dihindari?

Tugas 3.2 Minimalisasi ruang untuk kawasan baru kota

Apakah ada prioritas diberikan untuk pembangunan penyisipan

misalnya mendekatkan jarak di antara bangunan, menggunakan sisa

daerah yang belum diputuskan (misalnya lahan pembuangan sampah,

kawasan konversi) atau menggunakan bangunan kosong?

Apakah ada batasan yang wajar untuk kebutuhan ruang (kawasan

hunian atau komersial per kapita)?

Apakah ada pemadatan hunian/industri atau kawasan campuran yang

bisa diterima?

Apakah pemadatan di kawasan catchment perhentian menyediakan

angkutan umum berkualitas tinggi?

Tugas 3.3 Campuran utilisasi ruang

Apakah utilisasi seimbang (misalnya untuk kehidupan dan pekerjaan)

atau apakah ada kelebihan atau kekurangan (misalnya tempat kerja atau

toko)?

Apakah campuran utilisasi ada pada tingkat skala yang masuk akal

(lantai, bangunan, blok, distrik dan kota)?

121
Apakah kawasan untuk fasilitas, jasa dan perdagangan sudah ditetapkan

sebagian pada lantai dasar kawasan hunian?

Apakah sebuah campuran sosial yang seimbang diharapkan di kawasan

hunian baru yang padat?

10.4 Lalu lintas kendaraan bermotor pribadi

Tugas 4.1 Halangan yang disebabkan oleh kendaraan yang parkir

Apakah halangan terhadap arus lalu lintas, terutama untuk pejalan kaki,

pengguna sepeda dan angkutan umum berkurang?

Apakah halangan terhadap non-traffic terkait utilisasi (tinggal,

bermain, rekreasi, kawasan hijau) dan terhadap distrik sekitarnya

berkurang pada siang dan malam hari?

Tugas 4.2 Konstruksi fasilitas parkir

Apakah perhentian angkutan umum terletak pada posisi yang

menguntungkan dari sisi parkir?

Apakah konflik antara lalu lintas pejalan kaki dan sepeda dengan

kendaraan yang diparkir pada pintu masuk dan keluar kawasan parkir

berkurang?

Apakah kawasan masuk dan keluar dihindari di mana akses terbatas

dari persimpangan jalan dimungkinkan?

Apakah konflik antara lalu lintas bergerak dan parkir berkurang?

10.5 Transportasi barang

122
Tugas 5.1 Infrastruktur yang cocok dengan l ingkungan

Apakah utilisasi intensif dari transportasi baru (misalnya kawasan

industri atau komersial yang lebih luas) dan volume barang terkait

kereta api yang direncanakan dengan sebuah sisi jalur kereta api atau

dekat dengan fasilitas kereta api?

Apakah pusat pengangkutan barang untuk kereta api/angkutan air/jalan

menggambarkan hubungan jalan yang bagus?

Tugas 5.2 Penetapan kawasan komersial

Apakah infrastruktur angkutan umum dikembangkan dengan cara yang

efektif dari sisi biaya?

Apakah kawasan yang cocok dikhususkan untuk fasilitas logistik

(misalnya kota/logistik regional, pusat pengangkutan barang)?

11. Sumber

11.1 Sumber internet

ƒ Bank Pembangunan Asia (ADB), Perencanaan Transportasi,

Manajemen Permintaan, dan Kualitas Air, 26-27 Februari, Manila,

Filipina, www.adb.org/Documents/Events/2002/RETA5937/Manila/

transport_downloads.asp

ƒ BIAYA-Transportasi 332: Kebijakan Transportasi dan Penggunaan

Lahan, Laporan Akhir Manuskrip Aksi yang dirampungkan pada

Desember 2000, ftp://ftp.cordis.lu/pub/cost-transport/docs/332-

en.pdf

123
ƒ Institut untuk Kebijakan Transportasi dan Pembangunan (ITDP), e-

Bulletin “Transportasi yang Berkesinambungan”, http://itdp.org/

Ste/Index.html#asia.

ƒ Jonkhof, J. (tanpa tahun): Belanda: Kebijakan Lokasi ABC,

www.epe.be/workbooks/tcui/example12.html

ƒ Jaringan SUSTRAN, Jaringan Aksi Transportasi Berkelanjutan

untuk Asia dan Pasifik, www.geocities.com/RainForest/Canopy/2853

ƒ Website Transland, (Integrasi Perencanaan Transportasi dan

Penggunaan Lahan) dari RTD keempat Program Kerangka Kerja

Komisi Eropa, www.inro.tno.nl/transland/

ƒ Administrasi/Kantor Jalan Raya Federal AS untuk Perencanaan dan

Lingkungan, Referensi Pilihan untuk Evaluasi Hubungan Antara

Perjalanan dan Penggunaan Lahan (status 1999),

www.fhwa.dot.gov/tcsp/selrefev.html

ƒ Komisi Sosial dan Ekonomi PBB untuk Asia dan Pasifik

(UNESCAP), Manajemen Lahan Kota di Asia: Sebuah Kajian

Perbandingan, www.unescap.org/huset/m_land

ƒ Habitat PBB, Program Penempatan Manusia PBB, www.unchs.org

ƒ Universitas North Carolina di Charlotte,

www.uncc.edu/hscampbe/landuse/b-models/B-3mods.html

ƒ Universitas Utrech: Tren Pemantauan dalam Pertumbuhan Kota

dengan Menggunakan Pencitraan SPOT, Kasus Ouagadougou,

Burkina Faso, www.geog.uu.nl/fg/UrbanGrowth

124
ƒ Konsultasi Pengkajian Strategi Transportasi Perkotaan, Asia

Selatan dan Asia Timur, Yokohama, Jepang, 11-13 Desember 2000,

www.worldbank.org/transport/utsr/yokohama.agendayo/htm

ƒ Institut Kebijakan Transportasi Victoria (VTPI), Manajemen

Permintaan Transportasi Ensiklopedia Online,

www.vtpi.org/tdm/tdm12.htm

ƒ Institut Kebijakan Transportasi Victoria (VTPI): Analisis Biaya

dan Keuntungan Transportasi—Dampak Penggunaan Lahan,

http://vtpi.org/tca/tca0514.pdf

ƒ Grup Bank Dunia, Pembangunan Kota, Kota Dalam Transisi,

Strategi Pemerintah Kota dan Lokal,

http://wbln0018.worldbank.org/External/Urban/UrbanDev.nsf

ƒ Institut Sumber Daya Dunia (tanpa tahun): Perumahan Liar sebagai

Persen dari Total Stok Perumahan, Kota Pilihan,

www.wri.org/wri/wr-96-97/up_f3.gif

11.2 Daftar Pustaka

ƒ Barter, A. rahman Paul; Raad, Tamin (2000): Mengambil Langkah:

Panduan Aksi Masyarakat terhadap Transportasi Perkotaan yang

Terpusat pada Orang, Berkeadilan dan Berkelanjutan; Jaringan Aksi

Transportasi Berkelanjutan untuk Asia dan Pasifik (Jaringan

SUSTRAN), www.geocities.com/RainForest/Canopy/2853/

actionguide/Outline.htm.

ƒ Braendli, Heinrich (2001): Mengintegrasikan Jaringan Jalan Raya

dan Kereta Api, kuliah pada lokakarya tentang Perlindungan

125
Transportasi dan Lingkungan yang Terintegrasi, Koleksi Paper,

Kelompok Kerja Transportasi, Dewan Cina untuk Kerja Sama

Internasional tentang Lingkungan dan Pembangunan.

ƒ Buchanan, Colin dkk (2001): Metodologi Penilaian Lokasi Utama

untuk Perencanaan Pembangunan: Laporan Final, Eksekutif

Skotlandia, tersedia pada http://195.92.250.59/library3/planning/

ksap-00.asp

ƒ CCICED/TWG (1999): Lokakarya Transportasi dan Lingkungan

Perkotaan, Beijing

ƒ Cervero, Robert (2000): Transportasi dan Penggunaan Lahan: Isu

Utama dalam Perencanaan Metropolitan dan Pertumbuhan yang

Cerdas; Pusat Transportasi Universitas California Berkeley,

www.uctc.net/papers/436.pdf

ƒ Cervero, Robert (2001): Perluasan Jalan, Pertumbuhan Kota dan

Perjalanan yang Didorong: Sebuah Analisis Jejak, Universitas

California, Berkeley, www.uctc.net/papers/520.pdf

ƒ Chin, Nancy (2002): Pengungkapan Akar Perluasan Kota: Sebuah

Analisis Kritis dari Bentuk, Fungsi dan Metodologi, seri Pusat

Kerja Analisis Ruang yang Lebih Maju, Pusat untuk Analisis Ruang

yang Lebih Maju, Universitas College London,

www.casa.ucl.ac.uk/working _paper/paper47.pdf, Tanggal: Maret

2002 Paper 47.

ƒ Kota London (2001): Menuju Rencana London, Proposal Awal

untuk Stratagi Pengembangan Ruang Walikota .

126
ƒ Choe, Sang-Chuel (tanpa tahun): Reformasi untuk Rangkaian

Kesatuan dalam Kontrol Perencanaan (http://up.t.u-

tokyo.ac.jp/SUR/papers/Choe.pdf)

ƒ Dick H.W./Rimmer. P.J. (1998): Di Luar Kota Dunia Ketiga:

Geografi Kota Baru Asia Tenggara, Kajian Perkotaan, Volume 35,

No 12, 2303+-2321, 1998

ƒ Ebel, Enno (tanpa tahun): Utrecht: Perencanaan “ABC” sebagai

instrumen perencanaan dalam kebijakan transportasi perkotaan

(www.eaue.de/winuwd/131.htm)

ƒ Gilbert Alan (ed.) (1996): Kota Besar di Amerika Latin:UN

University Press, Tokyo; bisa diakses lewat

www.unu.edu/unupress/ unupbooks/uu23me/uu23me00.htm

ƒ Gorham, Roger (1998): Perencanaan Penggunaan Lahan dan

Perjalanan Perkotaan yang Berkelanjutan—Mengatasi Kendala

untuk Koordinasi yang Efektif, Lokakarya OECD-ECMT tentang

penggunaan lahan untuk Transportasi Perkotaan yang

Berkelanjutan: Implementasi Perubahan, Linz, Austria

ƒ Gorham, Roger (2002): Perbaikan Arus Trafik: Memberikan

Perhatian pada Perjalanan yang Didorong, Lokakarya Regional

ADB tentang Perencanaan Transportasi, Manajemen Permintaan dan

Kualitas Udara 27 Februari 2002 (Presentasi PowerPoint tersedia di

www.adb.org/Documents/Events/2002/RETA5937/Manila/transport

_downloads.asp

127
ƒ GTZ (ed.) (2001): upaya menuju transportasi perkotaan yang

berkelanjutan di Surabaya, Indonesia—Sebuah Pendekatan

Terintegrasi, Proyek Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan

GTZ, www.sutp.org, www.sutp.org/docs/policye.pdf

ƒ Huapu, Lu (2002): Tinjauan Pertumbuhan Kota Selama 20 Tahun

Terakhir dan Prospek untuk 2 sampai 3 dekade mendatang, Institut

Rekayasa Transportasi, Universitas Tsinghua 2002-1-16

ƒ Kenworthy Jeff; Laube, Felix dkk (1999); Sebuah Buku Sumber

Internasional soal Ketergantungan terhadap Mobil di Kota 1960-

1990; edisi baru, Boulder

ƒ Kenworthy, Jeff, Felix (2002): Pola Transportasi Perkotaan Dalam

Contoh Kota Global dan Hubungannya Dengan Infrastruktur

Transportasi, Penggunaan Lahan, Ilmu Ekonomi dan Lingkungan;

Institut untuk Kesinambungan dan Kebijakan Teknologi, Perth,

www.wmrc.com/businessbriefing/pdf/infrastructure2001/reference/

29.pdf diakses 17 Juli 2002

ƒ Martens, M.J.; v. Griethuysen, S. (1999): Kebijakan Lokasi ABC di

Belanda, Bisnis yang Tepat pada Tempat yang Tepat, TNO Inro,

www.inro.tno.nl/transland/cases_prio/01-ABCpolicy.PDF diakses

22 Juli 2002

ƒ McNulty, Kelvin (2002): dampak Penggunaan Massal Kendaraan

Bermotor terhadap Gaya Hidup dan Penggunaan Lahan;

www.gcircle.co.uk/glastonbury/philosophy/lut.html diakses

07.03.2002

128
ƒ Metge, Hubert (2000): Hubungan antara Perencanaan Penggunaan

Lahan Transportasi dan Kesejahteraan Orang Miskin—Studi Kasus

Kairo (Laporan Akhir—CATRAM, Prancis) Tinjauan Strategi

Transportasi Perkotaan Bank Dunia

ƒ Meurs, Haaijer (2001): Struktur Ruang dan Mobilitas, Riset

Transportasi, Bagian D, Transportasi dan Lingkungan, Volume 6

(6): 429-446

ƒ Maori, Hideki (2000): Pengalaman Jepang dalam Integrasi

Transportasi dan Penggunaan Lahan: presentasi PowerPoint yang

disiapkan untuk Lokakarya Konsultasi ASIAN tentang Tinjauan

StrategiSektor Transportasi Perkotaan, bisa diakses di

www.worldbank.org/transport/utsr/yokohama.agendayo.htm

ƒ Newton, P. (1999): Transportasi, Udara Bersih dan Opsi Rancangan

untuk Kota Masa Depan; Inovasi Bangunan dan Teknologi

Konstruksi Nomor 8, Agustus 1999;

www.dbce.csiro.au/innovation/1999-08/pdf/innovation_cities.pdf

diakses 17 Juli 2002)

ƒ Biro Perencana Kota Qingdao (1999): Qingdao berkembang dengan

era baru. Rencana menyeluruh kota Qingdao

ƒ Ranhagen, Ulf; Trobeck, Sara (1998): Perencanaan Fisik dan

Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan, Sebuah Analisis

Komparatif dari Empat Kota Internasional, FFNS Arkitekter Sida,

Desember 1998

129
ƒ Rat, Hans (2001): Pertumbuhan Kota versus Mobilitas yang

Berkesinambungan; Pernyataan UITP, Konferensi Tahunan FIDC

2001, www.fidic.org/conference/2001/talks/monday/rat/rat.pdf

ƒ Replogle, Michael (1992/1994): Kendaraan Non-motor di Asia:

Strategi untuk Manajemen; Pusat untuk Energi yang Bisa Dibarui

dan Teknologi yang Berkelanjutan (CREST),

http://solstice.crest.org/planning/nmv-mgmt-asia

ƒ Rodrigue, J-P dkk (2002) Geografi Transportasi di Web,

Universitas Hofstra, Jurusan Ekonomi dan Geografi,

http://people.hofstra.edu/geotrans

ƒ Schafer, A.; Victor, D. (2000): Mobilitas Masa Depan Populasi

Dunia, Riset Tranportasi A, 34 (3): 171-205

ƒ Sheehan, Molly O’Meara (2001): Batas Kota: Pengereman

Perluasan yang tidak Terkendali; Paper WorldWatch 156,

Washington

ƒ KTT Enam Kota Utama Beijing (2000): sebuah pengenalan singkat

tentang Rencana Induk Kota Beijing (1991-2010) http://202.84,

11.103/docs/bjfc/2000-08-30/30975.shtml

ƒ Southwoth, Frank (1995): Sebuah Tinjauan Teknis Tentang

Penggunaan Lahan Perkotaan—Model Transportasi sebagai Alat

Evaluasi Strategi Reduksi Perjalanan Kendaraan; untuk US-DOE,

Pustaka Transportasi Nasional, Biro Statistik Transportasi AS

ORNL-6881 http://ntl.bts.gov/DOCS/ornl.html

130
ƒ Speer, Albert, Kornmann, Stefab (2001): Planen Und Bauen uber

Grenzen, Informationen zur Raumentwicklung, Heft 4/5.2001

ƒ UNCHS (ed.) (2002) Penilaian Ulang terhadap Perencanaan

Perkotaan dan Regulasi Pembangunan di Kota-Kota Asia,

http://unchs.org.unchs.english/urban/asian/asian.htm#4. diakses

06.05.2002

ƒ Wagener, Michael, Furst, Franz (1999): Interaksi Transportasi

Penggunaan Lahan: Teknik Terbaru, Bisa Disampaikan 20 a dari

proyek TRANSLAND (Integrasi Perencanaan Transportasi dan

Penggunaan Lahan) dari Program Kerangka Kerja ke-4 Komisi

Eropa, Dortmund

D eu ts ch e G e s e l ls ch af t f u r
T e chn is ch e Zu s a mme n arb e it (G TZ) G mb H
D ag-Hamma r skjo ld-W eg 1-5
Po stf ach 51 80
65726 Eschborn
Telepon (0 61 96) 79-1357
Fax. (0 61 96) 79 -7194
In tern et : www.g tz.d e

D ibu a t o l eh
Bundesmin is ter iu m fur
Wirtsch aftliche Zu same n arbeit
Und Entwicklung

131

Anda mungkin juga menyukai