Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpatik, respek, apresiasi,
dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda
• Pengembangan leterasi etnis dan budaya. Memfasilitasi siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang berbagai budaya semua kelompok etnis.
• Perkembangan pribadi. Memfasilitasi siswa bahwa semua budaya setiap etnis sama nilai antar satu
dengan yang lain. Sehingga memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan orang lain (kelompok
etnis) walaupun berbeda budaya masyarakatnya.
• Klarifikasi nilai dan sikap. Pendidikan mengangkat nilai-nilai inti yang berasal dari prinsip martabat
manusia, keadilan, persamaan, dan, dan demokratis. Sehingga pendidikan multikultural membantu
siswa memahami bahwa berbagai konflik nilai tidak dapat dihindari dalam masyarakat pluralistik.
• Untuk menciptakan pesamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis,
kelas sosial, dan kelompok budaya.
• Untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam
menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan
untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta
sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
• Persamaan dan keunggulan pendidikan. Tujuan ini berkaitan dengan peningkatan pemahaman guru
terhadap bagaimana keragaman budaya membentuk gaya belajar, perilaku mengajar, dan keputusan
penyelenggaraan pendidikan. Keragaman budaya berpengaruh pada pola sikap dan perilaku setiap
individu. Sehingga guru harus mampu memahami siswa sebagai individu yg memiliki ciri unik dan
memperhitungkan lingkungan fisik dan sosial yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.
• Memperkuat pribadi untuk reformasi sosial. Pendidikan multikultural memfasilitasi peserta didik
memiliki dsan mengembangkan sikap, nilai, kebiasaan, dan keterampilan sehingga mampu menjadi agen
perubahan sosial yang memiliki komitmen tinggi dalam reformasi masyarakat untuk memberantas
perbedaan (disparaties) etnis dan rasial.
Perjanjian Lama mencatat perbedaan budaya yang dipengaruhi agama karena ada hubungan yang erat
antara agama dan budaya. Relasi itu tampak dalam hubungan antara bangsa Israel dengan bangsa-
bangsa Kanaan di sekitar yang menimbulkan berbagai pengaruh. Bangsa Israel berhadapan dengan
kemajemukan budaya bangsa di sekitarnya, namun ketika bangsa Israel bersosialisasi dengan bangsa di
sekeliling, mereka tidak selektif. Efeknya, budaya-budaya bangsa sekitarnya yang negatif membawa
bangsa Israel pada penyembahan berhala. Alkitab mencatat, sepanjang sejarah hakim-hakim sampai
dengan bangsa Israel menuju ke pembuangan, Israel terjerat dengan penyembahan berhala yang
dipengaruhi oleh budaya kair bangsa-bangsa di tanah Kanaan.
Budaya bangsa Israel di zaman Perjanjian Baru dipengaruhi oleh warna-warni budaya dari beberapa
bangsa yang pernah menjajah Israel, seperti Persia, Yunani dan Romawi. Secara khusus, saat itu bangsa
Israel yang tersebar di luar Yerusalem sebagai pusat aktivitas rohani- membawa mereka pada konsep
eksklusivisme sebagai umat pilihan Allah. Pada zaman Tuhan Yesus, Dia membawa pemikiran baru
tentang pentingnya inklusivisme. Yesus tidak menutup diri dari kemajemukan kebudayaan. Yesus tidak
memandang latar belakang budaya, suku maupun ras, Ia berkenan menerima semua orang dalam
pergaulan multikultural. Ketika seorang perempuan Kanaan hendak meminta tolong Matius 15:21-28
dan seorang Perwira Roma meminta kesembuhan Lukas 7:1-10, Yesus menjawab kebutuhan mereka dan
menolong mereka. Ini menyatakan Yesus sendiri menghargai keberagaman dan perbedaan budaya.
Dalam Perjanjian Baru, jemaat multikultural secara eksplisit dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:41-47
orang-orang yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai budaya yang berbeda mendengarkan
khotbah Petrus. Pada waktu itu ada tiga ribu orang bertobat, dan mereka menjadi model gereja
pertama. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi masalah antara jemaat yang berbudaya Yunani dan
Yahudi. Perbedaan budaya antara Yahudi dan Yunani menimbulkan banyak persoalan dalam beberapa
jemaat, seperti di Roma dan Korintus. Perpecahan dan perselisihan tersebut timbul hanya karena
mengenai kebiasaan-kebiasaan jemaat 1 Korintus 11. Namun, Paulus menegaskan bahwa sekarang tidak
ada lagi orang Yunani atau Yahudi, tidak ada orang bersunat maupun tidak bersunat, tidak ada budak
atau orang merdeka. Semua orang sama di hadapan Allah, semua menjadi satu jemaat dimana
kepalanya adalah Yesus Kristus.