Anda di halaman 1dari 5

Analisis Kekuatan

Kekuatan dari konsep local wisdom atau kearifan lokal yang diterapkan di Provinsi Bali ini
satu di antaranya adalah kebiasaan dan kehidupan masyarakat Bali yang telah terbiasa
mencantumkan kearifan lokal mereka kepada kehidupan dan aktivitas atau kegiatan mereka sehari-
hari sehingga dalam penerapannya secara berkelanjutan akan dapat lebih mudah. Sejak dulu, para
leluhur/tertua Bali telah memberikan dan mengajarkan cara hidup Krama Bali yang menyatu dengan
alam, yaitu perlunya menjaga kelestarian lingkungan hidup untuk menjaga kelangsungan kehidupan.
Ciri khas dan keunikan yang terdapat dalam kearifan lokal Provinsi Bali menjadikan sebuah kekuatan
tersendiri untuk menarik wisatawan baik dalam maupun luar negeri, hal ini dapat dilihat dengan
konsep pariwisata yang diberikan bali adalah pariwisata budaya dimana selain difungsikan sebagai
wadah dalam sektor pariwisata dan mampu menyokong perekonomian tapi disatu sisi, tanpa
disadari pariwisata budaya ini juga dapat melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang ada ditengah
era globalisasi saat ini. Tidak hanya itu, kekuatan kearifan lokal juga terlihat dari berbagai sektor
seperti halnya dalam tata ruang, pariwisata hingga mitigasi bencana.

Konsep local wisdom ini juga memberikan manfaat bagi tata ruang yang ada di Bali. Konsep
tata ruang, sejatinya sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Indonesia terlebih masyarakat Bali,
bahkan sebelum ledakan penduduk terjadi seperti saat ini. Keberadaan kearifan lokal ternyata
mampu memperbaiki perlahan-lahan tatanan ruang seperti halnya adanya ruang yang dikeramatkan,
hutan yang dikeramatkan, lahan yang tidak boleh untuk mendirikan rumah, Kawasan pemukiman
yang berkelompok, kawasan untuk kuburan, kawasan untuk jalan, kawasan untuk pemujaan,
kawasan untuk pertanian, merupakan bentuk tata ruang lokal yang dikenal oleh masyarakat Bali
pada umumnya. Pada dasarnya tempat-tempat atau Kawasan tersebut biasanya dianggap keramat
karena memiliki dampak negatif bagi masyarakat sekitar bahkan lingkungan mereka. Dalam
masyarakat Bali, warga pendatang tidak wajib mengikuti kegiatan desa adat, namun wajib menaati
seluruh peraturan yang berlaku pada desa adat, umumnya diatur dalam awig-awig desa adat. Antara
lain aturan yang wajib ditaati oleh warga pendatang adalah peraturan menyangkut tata ruang desa
adat dalam pembangunan sarana dan prasarana baru bagi pemukiman dan fasilitas pendukungnya.

Seperti halnya melabeli sebuah tempat atau kawasan menjadi lokasi keramat, hal ini
rupanya juga berguna bagi mitigasi bencana yang bisa dilakukan di Bali. Provinsi Bali pada dasarnya
telah menetapkan kearifan lokal sebagai bagian dalam upaya mitigasi bencana. Bentuk kearifan lokal
Bali sebagai bentuk mitigasi bencana yaitu menempatkan gunung dan laut sebagai kawasan suci. Hal
yang terpikirkan selama ini mengenai kawasan suci terbatas pada keberadaan bangunan pura.
Namun jika dipahami dalam sudut pandangan mitigasi bencana, penetapan kawasan suci merupakan
bentuk upaya membangun kesadaran akan pentingnya pemilihan lokasi dalam membangun
pemukiman atau infrastruktur lainnya. Apalagi daerah pegunung cenderung memiliki kemiringan
tanah yang terjal dan apabila membangun didaerah tersebut tentu rawan terhadap bencana longsor.
Begitu juga daerah pesisir pantai jika dijadikan daerah pemukiman maka akan rawan terkena ombak
besar.

Dalam hal pembangunan pemukiman yang mitigatif terhadap bencana, Bali juga memiliki
kearifan lokal yang lumrah disebut dengan istilah “tenget”. Tenget dalam bahasa Bali memiliki
makna tempat atau daerah yang angker, mistis dan berbahaya. Tenget dalam keseharian masyarakat
Bali selama ini selalu hanya dipandang sebagai tempat yang mistis dan dihubungan dengan kekuatan
magis. Apabila dipandang dari sisi mitigasi bencana alam, maka kearifan lokal yang disebut tenget ini
berkaitan dengan peringatan bahwa tempat atau daerah tersebut rawan terhadap bencana,
sehingga tidak sesuai untuk dijadikan tempat tinggal. Beberapa kriteria tempat yang harus dihindari
untuk dijadikan tempat tinggal seperti Karang matundun klipes, yakni karang tempat tinggal yang
letaknya paling tinggi sementara di samping kanan kiri dan depan belakang agak rendah sehingga
kesannya mudah terjatuh baik ke kiri maupun ke kanan atau ke depan dan ke belakang. Serupa pula
dengan karang matundun jaran, yaitu karang tempat tinggal yang posisinya di ketinggian sementara
di samping kanan dan sebelah kirinya curam. Selanjutnya karang tuang, yakni sepetak tanah tempat
tinggal yang diyakini sangat angker karena di tempat tersebut sering terjadi hal-hal aneh/gaib di luar
akal sehat.

Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Bali dan diimplementasikan pada penataan ruang
dapat dilihat dari desa-desa adat yang terdapat di wilayah tersebut. Keberadaan desa adat menjadi
kekuatan sendiri yang selama ini dikenal sebagai benteng penjaga Bali dari berbagai ancaman, tidak
terkecuali dalam masalah pandemi ini. Keberhasilan Bali menekan laju Covid-19 tanpa menerapkan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak lepas dari peran desa adat dalam upaya pencegahan
penanganan virus corona. Desa adat ini dijadikan sebagai pilar utama untuk mendisiplinkan
masyarakat, melalui hukum adat, agar masyarakat tertib dan disiplin dan untuk mengendalikan
pergerakan masyarakat. Keberhasilan Bali menekan penyebaran virus ini tidak lain karena
mendisiplinkan masyarakat dan menangani kasus yang ada dari tingkat yang paling bawah yaitu
desa.

Desa adat hasil dari implementasi kearifan lokal juga memiliki kekuatan tersendiri, salah
satunya ada di kebuadayaan setiap desa yang beragam dan mampu menarik minat warga domestik
maupun internasional. Seperti halnya di Desa Adat Penglipuran, rumah-rumah penduduknya yang
tampak seragam pada bagian depan hingga larangan untuk kendaraan bermotor untuk masuk
kawasan desa ini. Jadi, jika ingin berkunjung kesini harus berjalan kaki karena kendaraan harus
diparkir di luar desa. Karena peraturan inilah yang membuat desa ini sangat hijau dan udaranya
sejuk bebas polusi.

Keberadaan konsep kearifan lokal juga menjadikan penataan ruang Bali juga untuk
melindungi simbol-simbol kesatuan kearifan budaya dan spirit masyarakat Bali secara keseluruhan.
Sebagai salah satu contoh tinggi bangunan diBali tidak lebih dari tiga lantai yaitu maksimal 15 meter
dan sampai saat ini masih terus dipertahankan walaupun sebenarnya kebutuhan untuk bangunan
tingkat seperti rumah susun sangat mendesak. Dalam konsep kearifan lokal ini, semua kalangan
masyarakat memiliki andil untuk ikut dalam pembangunan. Setia prencana penataan ruang di
Provinsi Bali, masyarakat adat diharuskan untuk ikut terlibat dalam setiap proses perumusan atau
rencana kebijakan pembangunan agar dikemudian hari tidak menimbulkan konflik yang dapat
merugikan masyarakatnya sendiri. Lokasi mana saja yang kiranya masuk daerah kawasan suci,
menjadi prioritas utama untuk dilindungi, para tokoh adat dan para pendeta juga dilibatkan selama
menjalani proses rencana tata ruang agar semua dapat terakomodir kawasan suci serta radiusnya
yang harus tetap dilindungi meskipun pembangunan terus berjalan, karena merekalah yang paling
mengerti atau menguasai tentang itu semua sehingga rencana penataan ruang yang berjalan dapat
mempertahankan kearifan lokal di Bali bahkan dapat berjalan beriringan.

Selai itu, kekuatan konsep local wisdom yang diterapkan dalam kebijakan tata ruang dibali
seperti halnya Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali dengan pola Pembangunan Semesta Berencana
berarti, pembangunan dilakukan secara semesta atau dengan cakupan seluruh Provinsi Bali. Konsep
semesta atau menyeluruh ini mengharuskan seluruh pemangku jabatan di tiap-tiap daerah Bali
berkontribusi dan mengambil perannya agar dapat tercapainya pembangunan yang semesta dan
tidak terpisah-pisah. Hal ini menjadi keunggulan dari Pembangunan Semesta Berencana karena akan
semakin memudahkan pembangunan Provinsi Bali yang kondisi geografisnya merupakan pulau kecil
yang tidak terpisah-pisah dan akan mengurangi rasa egois atau masalah terkait keinginan para
petinggi daerah untuk hanya dapat membangun daerahnya. Pendekatan Satu Kesatuan Wilayah ini
sangat penting karena sebagai sebuah pulau kecil, Bali menghadapi banyak masalah yang bersifat
lintas sektor dan lintas wilayah geografis. Pendekatan yang parsial, sektoral dan dibatasi wilayah
geografis akan gagal menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Terdapat 17 isu strategis yang
sedang dihadapi Pulau Bali. Seluruh isu strategis itu tentunya tidak bisa diselesaikan oleh satu
kabupaten atau satu kota semata. Dibutuhkan pengelolaan dan penataan bersifat “semesta” yang
hanya bisa dilakukan di tingkat provinsi.

Analisis Kelemahan

Berlakunya kearifan lokal di Provinsi Bali rupanya teradap masalah atau kelemahan
didalamnya. Hal yang terjadi dapat dilihat dari segi pariwisata mereka. Pariwisata di Bali adalah
pariwisata budaya, yang mengekpos budaya Bali sebagai produk utama. Interaksi panjang antara
orang Bali dan wisatawan telah menghasilkan akulturasi, membuat orang Bali hidup dalam dua
dunia, dunia tradisional dan dunia pariwisata. Namun sejajar dengan pergeseran arti Pariwisata
Budaya, telahterjadi pergeseran dalam urutan prioritas. Hal yang kini lebih diperhatikan pemangku
kebijakan adalah bagaimana memanfaatkan budaya demi pariwisata, bukan lagi menilai dampak
pariwisata terhadap kebudayaan mereka. Hal tersebut dapat dilihat dengan pembangunan vila di
tengah sawah yang ada di Bali. Tentu saja hal tersebut akan berdampak pada pemotongan jalur air.
Air yang seharusnya untuk pertanian pada akhirnya habis untuk puluhan hingga ratusan vila di satu
tempat. Namun yang terlihat dewasa ini bukanlah pembangunan vila dan hotel, melainkan
eksploitasi pariwisata secara berlebihan sehingga bermuara pada alih fungsi lahan hijau. Kebudayaan
dan kearifan lokal yang diterpkan pada pariwisata Bali pada dasarnya memberikan dampak positif
yaitu memberikan kekhasan bagi Bali untuk lebih dikenal dunia lewat budayanya dan sekaligus dapat
menjadi ajang pelestarian. Namun, terkenalnya Bali akan kearifan lokal dan budaya pada
pariwisatanya telah meningkatkan keinginan masyarakat domestik dan global untuk berkunjung. Hal
ini tentunya menjadikan adanya peningkatan kualitas yang dilakukan pemerintah demi menunjang
aktivitas tersebut dan dalam hal ini untuk menunjang sarana dan prasarana yang ada terjadilah
konversi lahan besar-besaran untuk pembangunan vila dan semacamnya. Hingga tidak dipungkiri,
telah ada wacana yang menyebutkan bahwa akan adanya reklamasi di Teluk Benoa untuk
meningkatkan pariwisata di daerah ini.

Kelemahan selanjutnya ialah, pembangunan semesta yang berfokus pada tatanan adat
istiadat Bali dapat memunculkan rasa sukuisme atau suatu paham yang menganggap suku
bangsanya lebih baik dibandingkan suku bangsa yang lain. Seluruh aspek pembangunan yang
menitikberatkan perencanaan pada adat istiadat bali dapat menimbulkan rasa iri bagi para penganut
suku dan agama lainnya yang bertempat tinggal di Bali. Bali merupakan bagian dari Indonesia yang
terbentuk atas beberapa suku dan agama, sehingga asas keadilan seharusnya tetap dituangkan
dalam Konsep Nangun Sat Kerthi Loka Bali yang mencakup seluruh wilayah di Provinsi Bali. Pada
tiap-tiap aspek kehidupan yang terdapat dalam konsep pembangunan semesta berencana Bali
menitikberatkan pada falsafah nenek moyang dan adat istiadat.

Analisis Tantangan
Seperti halnya yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa satu di antara program dari
penerapan konsep kearifan lokal pada kebijakan penataan ruang di Bali yaitu program Kota Tanpa
Kumuh (Kotaku) yang sejalan dengan satu di antara misi pembangunan pemerintah Bali yaitu misi
ke-11 mengedepankan cara hidup manusia Bali, yang harus memelihara serta menjaga kelestarian
lingkungan hidup untuk menjaga kelangsungan kehidupan. Hal ini pula yang akan diterapkan dalam
mengurangi keberadaan pemukiman kumih di Bali. Namun, dalam upaya ini di mana era
pembangunan semakin menjamur akibat dari peningkatan jumlah penduduk yang semakin tahun
semakin bertambah hal ini menjadi tantangan tersendiri dari realisasi program tersebut.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Bali 2009-2029, lahan terbuka hijau minimal harus mencapai 30 persen dari luas
wilayah. Sementara alokasi peruntukan kawasan permukiman seluas 532,10 kilometer persegi atau
9,44 persen dari luas daerah Provinsi Bali (5.636,66 km²). Aturan inilah yang menjadi tantangan yang
perlu diperhatikan soal luasan wilayah yang masih tersedia dalam hal penyediaan rumah untuk
permukiman. Kelestarian alam dapat terganggu jika lahan pertanian yang produktif atau jalur hijau
pun nantinya dikalahkan menjadi alih fungsi lahan untuk kawasan permukiman.

Selain itu tantangan yang tidak dapat dipungkiri adalah kemajuan teknologi dan zaman yang
dimana pastinya berperan besar dalam mengubah prespektif, kebiasaan dan kebudayaan
masyarakat Bali. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana tetap mempertahankan kearifan lokal
yang sejak dulu telah direalisasi kepada berbagai tatanan kehidupan seperti dalam hal mitigasi
bencana. Terlihat dari semakin padatnya pemukiman, larangan yang pada dasarnya merupakan
konsep mitigasi bencana seakan terabaikan. Tempat-tempat keramat yang dulunya dipercayai
sebagai tempat yang bisa menimbulkan bencana seperti halnya kawasan larangan untuk
permukiman dan lain-lain sejatinya pada saat ini telah dianggap hal mustahil bagi anak muda di
zaman sekarang.

Dalam realisasi penataan ruang pun, dengan menadaptasi kearifan lokal yang ada
pemerintah dan para pemangku kebijakan lainnya diharuskan dapat menyeimbangi antara kearifan
lokal yang diterpakan dengan pembangunan yang dibutuhkan. Seperti halnya dengan peningkatan
pariwisata pastinya akan berimbas pada keharusan peningkatan sarana dan prasarana penunjangnya
seperti hotel dan villa. Untuk itu tantangan yang dihadapi baik pemerintah, pemangku kepintingan
lainnya hingga masyarakat adalah bagaimana ditengah kepentingan dan keperluan pembangunan ini
tidak hanya memikirkan peningkatan ekonomi semata namun juga lingkungan, yang dimana
pembangunan berbasis kearifan lokal telah dilakukan oleh pendahulu. Sekarang, bagaimana caranya
untuk mempertahankan hal tersebut ditengah kemajuan teknologi dan modernisasi serta
meningkatnya pertumbuhan penduduk serta kebutuhannya terhadap keinginan dan keharusan
untuk pembangunan.

Selain itu, secara umum terdapat tantangan berupa perubahan sosial dan kearifan lokal
terhadap pemanfaatan ruang di Provinsi Bali seperti:

1. Perubahan sosial karena keadaan demografi, maka jumlah penduduk semakin bertambah
baik terhadap pengayah Ngarep, Penyade maupun pengayah pengele/Tamiu baik yang
beragama Hindu dan beragama lainnya di Bali. Penambahan jumlah penduduk kawasan
perkotaan akan membawa konsekwensi terhadap perubahan kebutuhan ruang untuk
membangun dan tidak sering masalah ini menyebabkan semakin berkembangnya rumah-
rumah kumuh di kawasan perkotaan.
2. Perubahan sosial karena teknologi. Perkembangan teknologi semakin canggih, utamanya
teknologi komunikasi akan membawa pengaruh social semakin kuat, karena dunia telah
dibatasi oleh ruang dan waktu. Ruang semakin sempit dan waktu semakin dipersingkat
dalam interaksi dan komunikasi, sehingga terjadi banjir informasi yang berpengaruh kepada
cara pandang maupun gaya hidup masyarakat dan ini awal suatu proses yang akhirnya bisa
bermuara pada perubahan sikap-mental dan cultural. Akhirnya masyarakat memandang
bahwa teknologilah yang dapat mensiasati hidup dan kehidupan serta bangunan-bangunan
yang tidak lagi mempertimbangkan nilai budaya yang ada dan ruang-ruang terbuka untuk
sirkulasi udara.
3. Karena masalah ekonomi. Pada era globalisasi dan pasar bebas, segala sesuatu diukur
dengan ekonomi komersial oleh masyarakat, sehingga terjadinya pelanggaran-pelanggaran
nilai budaya yang dimilikinya, seperti ruang hunian penduduk masyarakat Bali yang dahulu
berkembang secara horizontal tetapi sekarang telah berkembang secara vertical dengan
konsep Tri Angga, serta tidak memperhatikan nilai-nilai kesucian dan kesakralan suatu
tempat, dengan contoh setra berubah menjadi pasar, tempat suci dipersempit dipakai ruko,
dan tempat-tempat suci serta kawasan suci didesak oleh bangunan-bangunan bertingkat
yang tidak mengindahkan Bhisama PHDIP tentang kesucian pura.
4. Perubahan karena budaya, sebuah kebudayaan akan berubah karena orientasi nilai, yang
berlanjut pada perubahan norma prilaku yang bisa berwujud ; pergeseran (asimilasi nilai dan
norma), persengketaan (ambivalensi) sikap menerima atau menolak dan perbenturan
(penentangan yang ekstrim). Pluralisme kebudayaan dan peradaban akan tetap menjadi cirri
khas kemanusiaan dan setiap pengingkaran cirri khas tersebut akan membangkitkan
penentangan, apapun caranya dan bagaimanapun pengejawantahannya. Seperti perubahan
cara pandang karang kekeran seperti perbatasan desa, perbatasan kabupaten, sungai,
jurang, ngarai (campuhan), dan lain sebagainya yang dipandang sebagai suatu tempat yang
patut dinikmati dari segi social ekonomi sehingga pemanfaatan tempat-tempat tersebut
secara berlebih-lebihan atau tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Seperti contoh
perbatasan Tabanan dengan Badung disengaja atau tidak terpampang papan bertuliskan
“dicari investor untuk membangun ruko, serius Hub. HP…..” padahal tempat itu sebuah
jurang yang menganga sangat dalam.
5. Perubahan karena hukum. Hukum yang selalu berubah-ubah di negara ini, sehingga
masyarakat belum paham betul dengan hokum yang pernah berlaku lalu dicabut dan diganti
dengan hokum yang berlaku maka masyarakat menjadi passive terhadap pelanggaran
hokum. Dengan demikian sering terjadinya pelanggaran-pelanggaran di lapangan karena
hokum kalah cepat dengan keinginan pengguna hokum tersebut.
6. Perubahan karena perencanaan. Suatu perencanaan adalah sangat berpengaruh sekali
terhadap baik- buruk, kualitas dan kuantitas perubahan tersebut. Seperti perencanaan kota,
wilayah, jalan, permukiman penduduk yang akan membawa perubahan pisik suatu wilawah
desa maupun perkotaan. Seperti jalur terbuka hijau dibuka menjadi jalan alteri sehingga
mengundang minat masyarakat untuk membangun di kawasan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai