Anda di halaman 1dari 52

1

ABSTRAK

Nama Penulis : SULAEMANG L.


NIM : 80100308118
Judul Disertasi : Hadis-hadis Tentang Penimbunan Barang Pokok (Analisis Syarah
Tematik )

Penelitian ini membahas hadis-hadis tentang penimbunan barang pokok (analisis


syarah tematik). Dalam membahasnya, penulis mengangkat pokok permasalahan:
Bagaimana hadis-hadis tentang penimbunan barang pokok? Pokok permasalahan ini
dibahas dengan membatasinya pada tiga sub masalah: (1) Bagaimana kualitas hadis-hadis
penimbunan barang pokok? (2) Bagaimana pemaknaan terhadap hadis-hadis tentang
penimbunan barang pokok? (3) Bagaimana dampak yang ditimbulkan karena penimbunan
barang pokok menurut hadis?. Penelitian ini bertujuan: Untuk mengetahui kualitas hadis-
hadis penimbunan barang pokok, pemaknaan dan dampak yang ditimbulkan karena
penimbunan barang pokok menurut hadis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif
dengan pendekatan historis, sosiologis, dan teologis, dengan langkah-langkah takhrij al-
hadis. Untuk memudahkan penelusuran hadis, penulis mengklasifikasi hadis yang
mengandung makna penimbunan dengan menggunakan kata-kata yang mengarah pada
makna penimbunan, yaitu, hadis-hadis yang melarang penimbunan, hadis-hadis mengenai
ancaman bagi penimbun barang pokok dan waktu penimbunan yang disebutkan dalam
hadis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hadis-hadis tentang penimbunan barang-
barang pokok setelah dikritik kualitasnya berdasarkan kaidah-kaidah yang digunakan dapat
disimpulkan bahwa hadis yang dikaji ada yang berkategori sahih, hasan, daif dan adapula
yang tidak dapat dinilai. Hadis yang kategori sahih adalah hadis tentang pelaku
penimbunan bersalah. Hadis kategori hasan adalah hadis tentang larangan melakukan
penimbunan dan orang yang menimbun selama 40 hari akan dibebaskan oleh Allah. Hadis
kategori daif adalah hadis orang yang menimbun akan dilaknat, sementara hadis yang tidak
dapat dinilai adalah hadis tentang sanksi bagi pelaku penimbunan adalah akan bangkrut dan
terkena penyakit kusta atau lepra.
Pemaknaan terhadap hadis-hadis tentang penimbunan dapat dikategorikan dalam
tiga kategori besar, yakni hadis tentang larangan melakukan penimbunan dengan berbagai
argumentasi, sanksi bagi pelakunya baik di dunia maupun di akhirat dan hadis yang
menyebutkan waktu penimbunan yang dapat mengakibatkan sanksi berat bagi pelakunya.
Penelitian ini berimplikasi bahwa hadis Nabi saw. memberikan dasar dalam
kegiatan perdagangan. Bagi pedagang agar tidak melakukan penimbunan barang pokok
kebutuhan masyarakat. Bagi masyarakat agar terhindar dari kesulitan, dan mendapatkan
hak untuk berbelanja dengan harga yang wajar, sehingga terjadi saling menguntungkan, dan
tidak terjadi saling merugikan.
2

ABSTRACT
The Author : SULAEMANG L.
Reg.Num : 80100308118
Title :The Hadiths about Hoarding Basic Needs (Thematic Explanation Analysis)

This research discussed the hadiths about hoarding basic needs (thematic
explanation analysis). In discussing it, the writer has presented a main problem is how the
hadiths about hoarding basic needs? The research was limited in four sub problems, are: (1)
how are the quality of those hadiths about hoarding basic needs? (2) how are the forms and
categorizations of main commodity stockpiling according to those hadiths? (3) how are the
impacts of these main commodity stockpiling according to those hadiths? This research
aims to determine the quality of the hadiths about hoarding of essential goods, meaning
and impact caused due to accumulation of staple goods according to hadiths.
The research using qualitative or library research by historical, sociological, and
theologycal approaches through the steps of takhrij al-Hadiths (verification of hadiths). For
getting good analysis, the writer classified the hadith containing stockpiling meaning, the
hadiths that prohibit any acts of stockpiling and the threats for who act the main commodity
stockpiling and the time of it in hadiths .
The results showed that the hadiths about hoarding essential items after quality
criticized by the rules that are used can be concluded that there is a hadith that were
examined valid (sahih) category, h}asan, weak (dha‘if) and those that can not be assessed.
The hadith in valid (sahih) category is about hoarding offender guilty. Category of h}asan
is hadith about the prohibition of hoarding and amassing over 40 days will be freed by God.
Category of weak (dha‘if) is hadith about hoards of people who will be cursed, while the
hadith that can not be assessed sancsions for the actor of hoarding is going bankrupt and
affected by leprosy.
The meaning of the traditions of hoarding can be categorized into three broad
categories, are hadith about a ban on landfilling with various arguments, sanctions for the
actors both in this world and in the hereafter and the hadith which mentions time can lead
to the accumulation of sancsions for the actor.
This study implies that the hadiths provide a basis for trading activities. For traders
to refrain from hoarding basic needs of the community. For society to avoid trouble, and
get right to shop at a reasonable price, resulting in a mutually beneficial, and there is no
harm to each other.
‫‪3‬‬

‫اﳌﻠﺨﺺ‬

‫‪ :‬ﺳﻠ ن ل‪.‬‬ ‫إﰟ اﻟﲀﺗﺐ‬


‫‪۸۰۱۰۰۳۰۸۱۱۸ :‬‬ ‫رﰴ اﻟ ﺴﺠﯿﻞ‬
‫اﻟﺴﻠْﻊ ِ ا '( َﺳﺎ ِﺳ‪# $‬ﯿ ِﺔ ِﻣ َﻦ ْ 'ا( َ‪3‬ﺎ ِدﯾْ ِﺚ اﻟﻨ‪َ #‬ﺒ ِﻮﯾ ‪ِ #‬ﺔ ) ِد َر َاﺳ ًﺔ َ ْ‬
‫ﴍ ِﺣ‪ً #9‬ﺔ َﻣ ْﻮﺿُ ْﻮ ِﻋ ‪#‬ﯿ ًﺔ(‬ ‫‪ِ :‬ا ْﺣ‪َ ِ,‬ﲀ ُر ‪#‬‬ ‫اﳌﻮﺿﻮع‬
‫ﻫﺬﻩ ا<راﺳﺔ ﺗﻨﺎﻗﺶ أ(‪3‬ﺎدﯾﺚ ﺣﻮل إﺣ‪,‬ﲀر اﻟﺴﻠﻊ أ(ﺳﺎﺳ‪$‬ﯿﺔ )دراﺳﺔ ﴍﺣ‪9‬ﺔ ﻣﻮﺿﻮﻋﯿﺔ(‪ .‬ﰲ ﻣ‪E‬ﺎﻗﺸﺔ‬
‫أ(ﻣﺮ‪GHٔ،‬ر اﻟﲀﺗﺐ ﻫﺬﻩ اﻟﻨﻘﻄﺔ‪M :‬ﯿﻒ ﰷﻧﺖ أ(‪3‬ﺎدﯾﺚ ﺣﻮل إﺣ‪,‬ﲀر اﻟﺴﻠﻊ أ(ﺳﺎﺳ‪$‬ﯿﺔ؟ ﯾﱲ ﺗﻨﺎول ﻫﺬﻩ اﳌﺴ‪ UٔT‬ﻋﻦ‬
‫ﻃﺮﯾﻖ ﺗﻘ‪9‬ﯿﺪ ﻟﺜﻼث ﻣﺸﺎﰻ ﻓﺮﻋﯿﺔ ﱔ )‪M (١‬ﯿﻒ ﰷﻧﺖ ﻗﻮة أ(‪3‬ﺎدﯾﺚ ﺣﻮل إﺣ‪,‬ﲀر اﻟﺴﻠﻊ أ(ﺳﺎﺳ‪$‬ﯿﺔ؟ )‪M(٢‬ﯿﻒ‬
‫ﻣﻌﲎ إﺣ‪,‬ﲀر اﻟﺴﻠﻊ أ(ﺳﺎﺳ‪$‬ﯿﺔ وﻓﻘﺎ ﳊﺪﯾﺚ؟ )‪M(٣‬ﯿﻒ ﺗ‪ٔT‬ﺛﲑ ‪f‬ﺴ‪e‬ﺐ إﺣ‪,‬ﲀر اﻟﺴﻠﻊ أ(ﺳﺎﺳ‪$‬ﯿﺔ وﻓﻘﺎ ﳊﺪﯾﺚ اﻟﻨﱯ؟‬
‫واﻟﻬﺪف ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ا<راﺳﺔ ﻟﺘ‪j‬ﺪﯾﺪ أ(‪3‬ﺎدﯾﺚ ﻋﻦ إﺣ‪,‬ﲀر اﻟﺴﻠﻊ أ(ﺳﺎﺳ‪$‬ﯿﺔ ﻗﻮة وﻣﻌﲎ ؤ‪oH‬ﺮا ‪n‬ﻠﻤﺠﳣﻊ ‪f‬ﺴ‪e‬ﺐ إﺣ‪,‬ﲀر‬
‫(ﺳﺎﺳ‪$‬ﯿﺔ وﻓﻘﺎ ﳊﺪﯾﺚ اﻟﻨﱯ‪.‬‬ ‫اﻟﺴﻠﻊ أ‬
‫اﻟﻄﺮﯾﻘﺔ اﳌﺴ‪$‬ﺘ‪p‬ﺪﻣﺔ ﰲ ﻫﺬﻩ ا<راﺳﺔ ﱔ ﻃﺮﯾﻘﺔ ﻣﳯﺞ اﻟﺒﺤﺚ اﻟﻨﻮﻋﻲ ٔ‪H‬و اﳌﺮاﺟﻊ ﺑﻮﺳﺎﺋﻞ اﻟﺘﺎرﳜﯿﺔ‬
‫و‪z‬ﺟ‪y‬ﻋﯿﺔ واﻟﻼﻫﻮﺗﯿﺔ ﻣﻊ ﺧﻄﻮات ﲣﺮﱕ اﳊﺪﯾﺚ‪• .‬ﺴﻬﯿﻼ ﻟﺒﺤﺚ اﳊﺪﯾﺚ‪ ،‬ذﻫﺐ اﻟﲀﺗﺐ ﺗﻨﻮﯾﻊ أ(‪3‬ﺎدﯾﺚ‬
‫اﻟﱴ ﺗﺘﻌﻠﻖ •ٕﺣ‪,‬ﲀر اﻟﺴﻠﻊ أ(ﺳﺎﺳ‪$‬ﯿﺔ „ﲆ ﺛﻼﺛﺔ ٔ‪H‬ﻧﻮاع‪ .‬ﻣﳯﺎ أ(‪3‬ﺎدﯾﺚ اﻟﱴ ﲤﻨﻊ اﻻٕﺣ‪,‬ﲀرات وأ(‪3‬ﺎدﯾﺚ اﻟﱴ‬
‫ﲥﺪد اﶈﺘﻜﺮˆﻦ ﻣﻦ اﻟﺴﻠﻊ أ(ﺳﺎﺳ‪$‬ﯿﺔ ﻣﻦ ‪M‬ﻮﳖﻢ •ﺎﻃﺌﲔ‪Hٔ ،‬و ﻣﻠﻌﻮﻧﲔ ٔ‪H‬و ‪Ž‬ﺮﯾﺌﲔ ﻣﻦ ﷲ‪ .‬وأ(‪3‬ﺎدﯾﺚ اﻟﱴ ﺗﺬ‪M‬ﺮ‬
‫وﻗﺖ اﻻٕﺣ‪,‬ﲀر‪.‬‬
‫ؤ‪H‬ﻇﻬﺮت اﻟﻨﺘﺎﰀٔ‪H‬ن اﳊﺪﯾﺚ ﺑﻌﺪ ﲣﺮﱕ اﳊﺪﯾﺚ وﻧﻘﺪﻫﺎ ﺣﺴﺐ ﻣ‪E‬ﺎﱑ اﶈﺪﺛﲔ ﯾﱰﺗﺐ „ﲆٔ‪H‬رﺑﻌﺔٔ‪H‬ﻧﻮاع‪ .‬ﻣﳯﺎ‬
‫ﻣﺎ ﻫﻮ ﲱﯿﺢ وﻣﳯﺎ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺣﺴﻦ وﻣﳯﺎ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺿﻌﯿﻒ وﻣﳯﺎ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻣﻮﻗﻮف‪ .‬ﻓﺎﳊﺪﯾﺚ اﻟﺼﺤﯿﺢ ﻫﻮ اﳊﺪﯾﺚ ا™ى‬
‫ﯾﺪل „ﲆٔ‪H‬ن اﶈﺘﻜﺮ •ﺎﻃﺊ‪ .‬واﳊﺪﯾﺚ اﳊﺴﻦ ﻫﻮ اﳊﺪﯾﺚ ا™ى ﯾﺪل „ﲆ اﻣ‪,‬ﻨﺎع اﻻٕﺣ‪,‬ﲀر واﳊﺪﯾﺚ ا™ى ﯾﺪل „ﲆ‬
‫ٔ‪H‬ن اﶈﺘﻜﺮ ٔ‪H‬رﺑﻌﲔ ﯾﻮﻣﺎ ﻓﻘﺪ ‪Ž‬ﺮئ ﻣﻦ ﷲ‪ .‬واﳊﺪﯾﺚ اﻟﻀﻌﯿﻒ ﻫﻮ اﳊﺪﯾﺚ ا™ى ﯾﺪل „ﲆ ٔ‪H‬ن اﶈﺘﻜﺮ ﻣﻠﻌﻮن‪،‬‬
‫واﳊﺪﯾﺚ ا™ى ﯾﺘﻮﻗﻒ „ﻠﯿﻪ ﻫﻮ اﳊﺪﯾﺚ ا™ى ﯾﺪل „ﲆٔ‪H‬ن اﶈﺘﻜﺮ ﴐﺑﻪ ﷲ •ﻻٕﻓﻼس واﳉﺬام‪.‬‬
‫ا(ٓ‪G‬ر اﳌﱰﺗﺒﺔ „ﲆ ﻫﺬﻩ ا<راﺳﺔ ﱓ ٔ‪H‬ن ‪3‬ﺪﯾﺚ اﻟﻨﱯ وﻓّﺮ ﻗﺎ„ﺪة ﻟ ٔ‪£¤‬ﺸﻄﺔ اﻟﺘ¨ﺎرﯾﺔ و‪n‬ﻠﺘ¨ﺎر „ﲆ ا ٕﻻﻣ‪,‬ﻨﺎع‬
‫ﻋﻦ إﺣ‪,‬ﲀر اﻟﺴﻠﻊ أ(ﺳﺎﺳ‪$‬ﯿﺔ وﻓﻘﺎ ‪n‬ﻠ‪j‬ﺪﯾﺚ اﻟﻨﺒﻮي و‪n‬ﻠﻤﺠﳣﻊ ﻣﻦٔ‪-H‬ﻞ ﲡﻨﺐ اﳌﺘﺎﻋﺐ واﳊﺼﻮل „ﲆ اﳊﻖ ﰱ •ﺴﻮق‬
‫اي ﴐر ﻟﺒﻌﻀﻬﺎ ﺑﻌﻀﺎ‪.‬‬ ‫ﺑ‪ٔT‬ﺳﻌﺎر ﻣﻌﻘﻮ‪ U‬ﳑﺎٔ‪H‬دى إﱃ اﳌﻨﻔﻌﺔ اﳌﺘﺒﺎد‪ ،U‬وﻟ‪°‬ﺲ ﻫﻨﺎك ّ‬
4

HADIS-HADIS TENTANG PENIMBUNAN BARANG POKOK


( Analisis Syarah Tematik )

Oleh : Sulaemang L

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadiś Nabi sebagai sumber kedua ajaran Islam bukan hanya menyangkut persoalan
hukum saja melainkan keseluruhan aspek kehidupan manusia, baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Selain sebagai sumber hukum, hadiś Nabi juga merupakan sumber
kerahmatan, sumber keteladanan, dan/ atau sumber ilmu pengetahuan. Otoritas Hadiś yang
bersumber dari Nabi Muhammad saw., mendapat pengakuan dan legitimasi ilahiah.1 Beliau
merupakan manifestasi al-Qur’an yang bersifat praktis. Antara keduanya; al-Qur’an dan
hadiś Nabi dalam beberapa literatur, dinilai berasal dari sumber yang sama. Perbedaan
keduanya hanya pada bentuk dan tingkat otentisitasnya, bukan pada substansinya.2
Hadis-hadis tentang penimbunan barang pokok yang sering dilakukan para
pedagang. Perdagangan merupakan salah satu sumber utama pencaharian masyarakat. Hasil
pertanian sebagai kebutuhan pokok masyarakat biasanya dibawa ke pasar, dijual untuk
mendapatkan keuntungan serta untuk terpenuhinya barang pokok yang dibutuhkan
masyarakat.
Tujuan utama perdagangan atau bisnis adalah mengejar keuntungan. Sebagaimana
pendapat Sonny Keraf yang dikutif oleh Andi Darussalam dalam bukunya “Etika Bisnis
Menurut Hadiś”, menyatakan keuntungan adalah hal yang sangat penting bagi
kelangsungan suatu bisnis, walaupun bukan merupakan tujuan satu-satunya.3 Menurut
sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk, bahkan dalam syariat agama
keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima.4 Keuntungan justru sangat penting,
karena beberapa alasan. Pertama, keuntungan memungkinkan suatu perusahaan dapat
mempertahankan kegiatan bisnisnya. Kedua, dengan adanya keuntungan, pemilik modal
memungkinkan bersedia menanamkan modalnya pada suatu perusahaan, sehingga akan
terjadi kegiatan ekonomi produktif yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi sehingga
dapat tercipta kemakmuran suatu bangsa. Ketiga, keuntungan memungkinkan suatu
perusahaan tidak hanya dapat bertahan melainkan juga dapat menghidupi karyawan-
karyawannya, bahkan pada tingkat dan taraf hidup yang semakin baik. Lebih dari itu
semua, dengan keuntungan yang ada, perusahaan dapat mengembangkan usahanya dan
akhirnya dapat membuka lapangan kerja bagi banyak orang dan puncaknya dapat
memajukan ekonomi suatu bangsa.5

1
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadiś, Kajian Ilmu Ma’ni al-Hadis (Cet. II; Makassar:
Alauddin University Press, 2012), h. 1. Lihat, QS. Al-Nisa’ /4: 80; al-Hasyr /59: 7; dan al-Nahal/ 16: 44.
2
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadiś, Kajian Ilmu Ma;ani al-Hadis, h. 1. Lihat, Imam
Muslim, Shahih al-Muslim, Juz. I (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 512-513.
3
Lihat Andi Darussalam, Etika Bisnis Menurut Hadiś (cet. I; Jakarta: Rabbani Press, 2009), h. 57.
4
Andi Darussalam, Etika Bisnis Menurut Hadiś, h. 57.
5
Andi Darussalam, Etika Bisnis Menurut Hadiś, h. 57.
5

Sebagai penjual yang berhati mulia, tentu tidak sekedar berpikir untuk memperoleh
keuntungan pribadi melainkan juga harus berpikir untuk kemaslahatan masyarakat. Karena
itu, walaupun peluang mendapatkan keuntungan besar dengan cara menimbun, tetapi
karena merugikan orang banyak maka tidak akan dilakukan.6
Penimbunan harta dikutuk oleh Islam dengan ancaman siksa yang pedih, karena
perputaran harta itu merupakan keharusan. Dilarangnya penimbunan harta itu tidak hanya
memaksa harta yang ditimbun itu keluar dari peti simpanannya melainkan juga menjamin
alirannya ke saluran-saluran investasi sehingga akhirnya akan sampai ke saluran
distribusinya yang alami.7
Penimbunan adalah pengumpulan dan penimbunan barang-barang tertentu yang
dilakukan dengan sengaja sampai batas waktu untuk menunggu tingginya harga barang-
barang tersebut. Terma penimbunan dalam bahasa Arab disebut ihtikār bermakna
istabadda yang berarti bertindak sewenang-wenang.8
Inti dari larangan menimbun harta adalah karena kegiatan menimbun harta itu
menghalangi beredarnya harta di masyarakat, sehingga menjadikan harta itu terkonsentrasi
di tangan orang tertentu. Itu sama artinya dengan menjadikan harta itu tersia-siakan dan
akibatnya menyengsarakan hidup banyak orang.9 Oleh karena itu, orang yang menimbun
barang pokok masyarakat akan mendapatkan dosa. Mengenai hal ini, Nabi saw., bersabda
dalam hadiśnya yang diriwayatkan Imam Muslim:
‫ ُﻦ َﺳ ِﻌﯿ ٍﺪ ﻗَﺎ َل َﰷ َن‬Žْ ‫ َﻦ ﺑ َِﻼلٍ َﻋ ْﻦ َ ْﳛ َﲕ َوﻫ َُﻮ ا‬Žْ ‫ﺪﺛ َ َﻨﺎ ُﺳﻠَ ْﯿ َﻤ ُﺎن ﯾ َ ْﻌ ِﲏ ا‬# 3َ ‫ ِﻦ ﻗَ ْﻌﻨَ ٍﺐ‬Žْ ‫ ُﻦ َﻣ ْﺴﻠَ َﻤ َﺔ‬Žْ ¸‫ا‬ ِ # ُ‫ﺪﺛَ َﻨﺎ َﻋ ْﺒﺪ‬# 3َ
‫ َﻞ‬9‫َ َﻜ َﺮ ﻓَﻬ َُﻮ •َﺎ ِﻃ ٌﺊ ﻓَ ِﻘ‬,‫ َﲅ َﻣ ْﻦ ا ْﺣ‬# ‫ا¸ „َﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬ ِ # ‫ن َﻣ ْﻌ َﻤ ًﺮا ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل‬# H' ‫ ِﺐ ُ َﳛ ِّﺪ ُث‬# °‫ ُﻦ اﻟْ ُﻤ َﺴ‬Žْ ُ‫َﺳ ِﻌﯿﺪ‬
10 ِ
.‫ﯾﺚ َﰷ َن َ ْﳛ َﺘﻜ ُﺮ‬ َ ‫ ِﺪ‬jَ ْ‫ ِا™ي َﰷ َن ُ َﳛ ِّﺪ ُث َﻫ َﺬا اﻟ‬# ‫ن َﻣ ْﻌ َﻤ ًﺮا‬# ‫ﻚ َ ْﲢ َﺘ ِﻜ ُﺮ ﻗَﺎ َل َﺳ ِﻌﯿ ٌﺪ ا‬#َ ‫ِﻟ َﺴ ِﻌﯿ ٍﺪ ﻓَﺎﻧ‬
Artinya:
¼ ¼
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullāh bin Maslamah bin Qa‘nab, telah
menceritakan kepada kami Sulaimān -yaitu Ibnu Bilāl- dari Yahyā -yaitu Ibnu Sa‘īd-
dia berkata, Sa‘īd bin Musayyab menceritakan bahwa Ma‘mar berkata, Rasulullah
saw., bersabda: Barangsiapa menimbun barang, maka dia berdosa lalu dikatakan
kepada Sa‘īd: Sedang engkau menimbun, Sa‘iīd menjawab: sesungguhnya Ma‘mar
yang meriwayatkan hadiś ini juga melakukan penimbunan.
Hadiś tersebut mengisyaratkan bahwa termasuk perbuatan yang salah adalah
menyimpang dari peraturan jual beli atau perdagangan dalam sistem ekonomi Islam yang
berdasarkan al-Qur’an dan hadiś. Dalam hadiś itu tidak ditentukan jenis barang yang
dilarang untuk ditimbun, tetapi hadiś-hadiś lain yang senada menyatakan bahwa barang
yang dilarang untuk ditimbun adalah makanan, atau barang pokok kebutuhan masyarakat.

6
Hasan Aedy, Indahnya Ekonomi Islam (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2007), h. 62.
7
Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar (Cet. I; Jakarta: Kencana,
2012), h. 107.
8
Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam al-Qur’an (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), h.
128.
9
Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar, h. 108.
10
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburiy, Sahih Muslim, Juz V (Bairut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1061 H), h. 537-538.
6

Allah swt., tidak membiarkan manusia saling berbuat zalim. Dia telah
mengharamkan kezaliman pada diri-Nya sebagaimana Dia mengharamkan kezaliman itu di
antara sesama manusia, tetapi, manusia mempunyai tabiat bersifat tamak, serakah, kikir,
dan ingin menguasai dunia seluas-luasnya, sehingga sebagian manusia tidak mengindahkan
cara yang ditempuh, apakah hak atau batil untuk menggapai keinginannya. Oleh karena itu,
Allah swt., mengingatkan manusia khususnya orang-orang yang beriman dalam firman-
Nya, QS. al-Nisa/4: 29.
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. al-Nisa/4: 29).11
Ayat ini jelas sekali ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Ketetapan ayat
bagi orang yang beriman mesti ada hukumnya, yaitu larang atau perintah. Sebaimana
yang tersurat, ayat ini berisi perintah supaya orang-orang yang beriman untuk tidak
berbuat zalim kepada sesama dengan cara memakan harta mereka secara batil.
Penyebab terjadinya penimbunan barang pokok manusia adalah, (1) untuk
mengeruk keuntungan ketika orang lain sangat kesusahan,12 sehingga terjadi pengumpulan
dan penimbunan barang-barang tertentu yang dilakukan dengan sengaja sampai batas waktu
tertentu untuk menunggu tingginya harga barang-barang tertentu,13 menimbun barang
makanan untuk dijual pada masa sulit dengan harga yang tinggi.14 (2) Apabila barang
makanan berlimpah ruah dan orang tidak begitu membutuhkan dan menginginkannya
kecuali dengan harga yang rendah, kemudian pemilik barang makanan menunggu
perubahan kondisi itu dan tidak menunggu sampai paceklik, maka tindakan ini tidak
termasuk tindakan yang membahayakan.15 (3) Menimbun barang demi kemaslahatan
penduduk dalam rangka menyiapkan musim paceklik tidak termasuk perbuatan dosa.16
Maksudnya apabila pedagang melakukan penimbunan barang pokok kebutuhan
manusia untuk persiapan musim kemarau panjang (paceklik), dan persiapan makanan
masyarakat telah berkurang, barulah pedagang menjual barang yang ditimbunnya itu
kepada masyarakat dengan harga yang murah atau membagikannya secara gratis, seperti
pada zaman Nabi Yūsuf as.
Penimbunan merupakan perilaku ekonomi yang merugikan orang lain. Terlebih
dengan sengaja menyimpan barang kebutuhan pokok yang mengakibatkan kelangkaan

11
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Di ponegoro, t.th.), h. 103.
12
Rachmat Syafe’i, al-Hadis, Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum (Cet. I; Bandung: CV Pustaka Setia,
2000), h. 176.
13
R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam al-Qur’an (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006),
h. 128.
14
Muhammad bin ‘Abd al-Rah}ma>n al-Dimasyqiy, Fiqih Empat Mazhab (Cet. I; Bandung: Hasyimi
Press, 2001), h. 241.
15
Yusuf Qardhawi, Dar al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtisad al-Islamiy (judul asli), diterj. Oleh;
Didin Hafidhuddin, Setiawan Budiutomo, dan Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, Peran Nilai dan Moral dalam
Perekonomian Islam (Cet. I; Jakarta: Robbani Press, 1997), h. 324.
16
Rachmat Syafe’iy, al-Hadis, Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum, h. 179.
7

komoditas di pasar sehingga harga barang menjadi naik lebih mahal. Sirkulasi (peredaran)
harta mesti berputar di masyarakat supaya tidak berkumpul pada golongan orang-orang
kaya saja.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan pokok-pokok pikiran di atas, maka dapat dirumuskan
sebagai berikut: Bagaimana hadiś-hadiś tentang penimbunan barang pokok kebutuhan
masyarakat?. Agar pembahasan lebih terfokus pada pokok masalah yang diteliti, maka
dapat dijabarkan pada beberapa submasalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas hadiś-hadiś tentang penimbunan barang pokok ?
2. Bagaimana pemaknaan hadiś-hadiś tentang penimbunan barang pokok?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan karena penimbunan barang pokok menurut
hadiś?

C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian


1. Pengertian Judul dan Definisi Operasional
Berdasarkan permasalahan tersebut, disertasi ini diberi judul “Hadiś-hadiś Tentang
Penimbunan Barang Pokok (Analisis Syarah Tematik)”. Disertasi ini diharapkan dapat
mendiskripsikan hadiś Nabi saw., sebagai sebuah dalil hukum atau sumber ajaran Islam
yang dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman secara mendalam tentang kualitas
hadiś-hadiś penimbunan barang pokok.
Pada bagian ini terdapat tiga variabel yang perlu didefinisikan, untuk menghindari
kekeliruan dalam memahami judul tersebut, yaitu variabel pertama adalah hadiś-hadiś Nabi
saw., variabel kedua adalah penimbunan dan variabel ketiga adalah barang pokok yang
perlu didefinisikan, yaitu:
a. Hadiś.
b. Penimbunan
c. Barang Pokok

2. Ruang Lingkup Pembahasan Penelitian


Penelitian ini, akan; (1) mengemukakan kualitas hadiś-hadiś tentang penimbunan
barang pokok; (2) pemaknaan hadis-hadis tentang penimbunan barang pokok; (3) serta
dampak yang ditimbulkan karena penimbunan barang pokok menurut hadis. (4) kaedah dan
argumen-argumen yang mendasarinya ditelaah kemudian dinilai dengan mengacu pada
tujuan penelitian, yakni untuk mengetahui tingkat kualitas hadiś apakah şahih berasal dari
Nabi atau tidak, dalam kaitannya dengan dapat atau tidak dapatnya dijadikan sebagai
hujjah. Kemudian untuk mengetahui implementasi dan pemaknaan penimbunan barang
pokok itu sendiri melalui pemaknaan hadis (syarah hadis).

D. Kajian Pustaka
Dari penelusuran penulisan mengenai masalah menimbun barang pokok, terdapat
beberapa literatur yang membahas tentang masalah tersebut, lebih banyak pada kitab-kitab
yang penyusunannya berdasarkan atas pembahasan tentang hadiś-hadiś Nabi.
Sepanjang penelusuran peneliti tentang penelitian yang terkait dengan penimbunan
barang pokok, baik dalam bentuk buku atau karya ilmiah lainnya, peneliti kesulitan
menemukan hal-hal yang terkait.
8

Peneliti menemukan beberapa karya buku yang di dalamnya terdapat pembahasan


tentang ihtikār atau penimbunan. Di antaranya:
1. Mirqaāt al-Mafātīh Syarh Misykāt al-Masābīh yang ditulis oleh al-Malā ‘Ali al-
Qāriy yang diterbitakan pada tahun 1992 yang dicetak oleh Dār al-Fikr, Bāirut,
Lebanon.
Dari sepuluh jilid yang ditulis oleh al-Malā ‘Ali al-Qāriy tersebut, peneliti
menemukan satu sub bab pada jilid IX tentang Kitāb al-Buyū‘ yang membahas tentang Bāb
al-Ihtikār. al-Qāriy menguraikan tiga fasal terkait dengan penimbunan dengan berpatokan
‫ﻜﺮ ﻓﻬﻮ •ﺎﻃﺊ‬,‫ﻣﻦ اﺣ‬
pada 3 hadis. Fasal pertama menjelaskan secara singkat tentang hadiś .
Fasal kedua menguraikan tentang hadiś riwayat ‘Umar ‫واﶈﺘﻜﺮ ﻣﻠﻌﻮن‬, sedangkan fasal
ketiga menjelaskan hadiś riwayat ‘Umar tentang hadiś ‫ﻜﺮ „ﲆ اﳌﺴﻠﻤﲔ ﻃﻌﺎ¿ﻢ ﴐﺑﻪ‬,‫ﻣﻦ اﺣ‬
.‫ﷲ •ﳉﺬام واﻻٕﻓﻼس‬.17
Dalam menguraikan ketiga hadiś tersebut, al-Qāriy memperkuat dengan beberapa
hadiś lain yang terkait tanpa memperpanjang pembahasannya. Hal itu dibuktikan dengan
pembahasannya yang hanya satu paragraf.
Dengan demikian, dapat dipahami pembahasan buku ini dengan penelitian yang
akan dilakukan berbeda dari aspek komprehensifitas dan pendekatannya.
2. ‘Aun al-Ma‘būd Syarh Sunan Abī Dāwud yang disusun oleh Muhammad Syams al-
Haq al-‘Azīm Abādiy yang diterbitkan oleh Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah tahun 1415 H.
Dalam kitab tersebut, ada satu sub bab yang membahas tentang penimbunan dengan
judul Bāb fi al-Nahy ‘an al-Hukrah. Hadiś yang menjadi obyek kajiannya adalah hadiś
Ma‘mar ‫ﻜﺮ ﻓﻬﻮ •ﺎﻃﺊ‬,‫ﻣﻦ اﺣ‬ . Al-‘Azīm Abādiy lebih menekankan pada penjelasan tentang
ragam pendapat ulama terkait dengan hukum penimbunan.18
3. al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuh karya Wahbah al-Zuhailiy yang terdiri dari 10 jilid.
Kitab diterbitkan oleh Dār al-Fikr pada tahun 2002 M.
Dalam jilid keempat pembahasan tentang masalah-masalah transaksi dan
mu’amalah dijelaskan satu sub bab yang mengkaji tentang al-ihtikār/penimbunan. Aspek
penekanan dari Wahbah adalah pada makna dari ihtikār itu sendiri, kapan seseorang
dianggap ihtikār dan bagaimana modelnya hingga pembahasan tentang masa ihtikār dan
hukumnya.19
4. Etika bisnis menurut hadis sebagai berikut:

17
Nūr al-Dīn ‘Ali bin Sultān bin Muhammad al-Malā ‘Ali al-Qāriy, Mirqāt al-Mafātīh Syarh
Misykāt al-Masābīh, Juz IX (Bairut: Dār al-Fikr, 1992), h. 360.
18
Muhammad Syams al-Haq al-‘Azīm Abādiy, ‘Aun al-Ma‘būd Syarh Sunan Abī Dāwud, Juz IX
(Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H), h. 225.
19
Wahbah bin Mustafā al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuh, Juz IV (Sūriyah: Dār al-Fikr,
2002), h. 236-240.
9

‫ ِ ْﰊ ُﻫ َﺮ ْˆ َﺮ َة ﻗَﺎ َل‬H' ‫ ِ ْﰊ َﺻﺎ ِﻟ ٍﺢ َﻋ ْﻦ‬H' ‫ﴍﯾْ ٌﻚ َﻋ ِﻦ ْ 'ا( ْ َﲻ ِﺶ َﻋ ْﻦ‬ ِ َ ‫ﺪﺛ َﻨَﺎ‬# 3َ ‫ َﺔ ﻗَﺎ َل‬Âَ ْ°‫ ِ ْﰊ َﺷ‬H' ‫ ُﻦ‬Žْ ‫َ ْﻜ ٍﺮ‬Ž ‫ﺑ ُ ْﻮ‬H' ‫ﺪﺛَﻨَﺎ‬# 3َ
20
‫ﳤَ ُﻮا‬Æْ ‫ ُﺬ ْو ُﻩ ُو َﻣﺎ ﳖَ َ ْﯿ ُﺘ ُ ْﲂ َﻋ ْﻨ ُﻪ ﻓَﺎ‬pُ َ‫ُ ُ ْﲂ ِﺑ ِﻪ ﻓ‬Ä ‫ َﻣ ْﺮ‬H' ‫ َﲅ َﻣﺎ‬# ‫ﻢ „َﻠ َ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬# ُ‫ﻠﻬ‬n‫ﲆ ا‬# ‫ﷲ َﺻ‬
ِ ‫ﻗَﺎ َل َر ُﺳ ْﻮ ُل‬
Artinya:
Sebuah riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah menyatakan bahwa Rasulullah
saw., menjelaskan bahwa apa saja beliau perintahkan, maka harus dikerjakan, dan
apa saja yang beliau larang, maka wajib ditinggalkan. (HR. Ibnu Majah).

Maksud hadis di atas adalah bahwa apa yang diperintahkan maka harus dikerjakan,
dan apa yang dilarang, maka wajib ditinggalkan. Apabila dihubungkan dengan hadis
tentang larangan menimbun barang, maka segala apa yang dilarang oleh Nabi pada hadis
tersebut di atas, wajib ditinggalkan termasuk menimbun barang pokok kebutuhan
masyarakat.
Dari sekian item-item tersebut, Wahbah membahasnya hanya dalam 4 halaman saja.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pembahasan yang dilakukan tidak komprehensif
dan lebih menekankan pada pendekatan hukum saja. Hal tersebut sangat wajar karena
bukunya memang berbicara tentang hukum Islam.
Berdasarkan analisis di atas, maka peneliti mengatakan bahwa penelitian ini
berbeda dengan apa yang telah ditulis oleh penulis sebelumnya. Lebih-lebih lagi jika dilihat
obyek penelitiannya, yakni meneliti kualitas sanad dan matan serta kandungan hadiś-hadiś
tentang penimbunan barang pokok.
Di samping itu, penulis juga akan menganalisis kandungan hadiś berdasarkan
fenomena yang berkembang saat ini, yaitu pedagang menimbun barang dagangannya pada
saat masyarakat sedang membutuhkan, dengan tujuan memperoleh laba sebanyak-
banyaknya. Kalau ini yang terjadi akan menimbulkan keresahan sosial dan tidak menutup
kemungkinan menimbulkan banyak korban kalau barang tersebut mereka jual kepada
masyarakat dengan harga sangat tinggi sehingga tidak dapat dijangkau oleh penduduk.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pokok masalah yang telah dikemukakan terdahulu, maka tujuan
diadakannya penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui kualitas hadis-hadis tentang penimbunan barang pokok.
b. Untuk mengetahui bagaimana pemaknaan hadis-hadis tentang penimbunan barang
pokok menurut hadiś.
c. Untuk mengungkap dampak yang ditimbulkan penimbunan barang pokok menurut
hadiś.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan penelitian ini, agar para pedagang dan pengusaha, serta masyarakat dapat
mengetahui pemaknaan terhadap hadiś-hadiś tentang penimbunan barang pokok.
b. Kegunaan Akademis, atau bersifat ilmu pengetahuan.21 Diharapkan Disertasi ini
berguna bagi pengembangan keilmuan dibidang hadis khususnya yang berkaitan

20
Muhammad Ibn Yazid Abu ‘Abdillah al-Qazwini, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) Kitab
Muqaddimah ban Atba’ Sunnah Rasulillah saw., Juz. I, h. 3. Lihat, Andi Darussalam, Etika Bisnis Menurut
Hadis, h. 17-18.
10

dengan penimbunan barang pokok. Disertasi ini juga diharapkan berguna bagi dunia
akademik sebagai bahan referensi dalam kajian ilmu hadiś.
c. Kegunaan pragmatis (kepraktisan dan kegunaan).22 Diharapkan Disertasi ini berguna
dalam pengimplementasian dan prakteknya dalam dunia jual-beli atau perdagangan.
Selain itu, disertasi ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan bagi
masyarakat umum serta para pedagang dan pengusaha.
d. Kegunaan Praktis (mudah).23 Diharapkan disertasi ini secara praktis dapat berguna bagi
semua lapisan masyarkat yang memerlukannya, terutama dikalangan pedagang atau
pengusaha yang melakukan jual-beli dipemasaran.

II. KAJIAN TEORETIS TENTANG BARANG POKOK

A. Pengertian Menimbun Barang pokok.


Pengertian menimbun menurut bahasa ialah ihtakara watahakkara al-syai’a artinya
menahan/menimbun agar terjual mahal.24 Sedangkan kata al-Hakiru wal-Muhtakiru artinya
menimbun barang.25 Dan kata al-Hakaru wal-Hukratu wal-Ihtikaru artinya penimbunana
barang agar terjual mahal.26 Dalam buku Abuddin Nata, Ensiklopedi Islam bahwa
menimbun dalam bahasa Arab disebut ‫َ َﻜ َﺮ‬,‫ِا ْﺣ‬
artinya memborong, menyimpan,
memonopoli.27 Ihtikār juga bermakna istabadda yang berarti bertindak sewenang-
wenang.28 Juga dalam Kamus al-Munawwir istabadda artinya bertindak sesuka
hatinya/sewenang-wenang.29 Dalam buku Ensiklopedi Islam jilid I dijelaskan, “Ihtikār”
artinya menyimpan barang dagangan untuk menunggu lonjaknya harga. Secara etimologi
ihtikār berasal dari kata hakara yang berarti az-zulam (aniaya) dan isa’ah al-mu’asyarah
(merusak pergaulan).
Sedangkan menurut Istilah bahwa, “menimbun” ialah membeli barang dalam
jumlah yag banyak kemudian menyimpannya dengan maksud untuk menjualnya dengan
harga tinggi kepada penduduk ketika mereka sangat membutuhkannya.30 Dan dalam buku
Etika Bisnis dalam al-Qur’an oleh Lukman Fauroni bahwa “Penimbunan” adalah
pengumpulan dan penimbunan barang-barang tertentu yang dilakukan dengan sengaja
sampai batas waktu untuk menunggu tingginya harga barang-barang tersebut.31

21
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa IndonesiA, Edisi III, h. 18.
22
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, h. 891.
23
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi, III, h. 892.
24
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Ed. II (Cet. IV;
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 285.
25
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Ed. II, h. 285.
26
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Ed. II, h. 285’
27
Abuddin Nata, et al., eds., Ensiklopedi Islam (Jakarta: Cet. VIII; PT. Lehtiar Baru Van Hoeve,
2001), h. 224.
28
Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam al-Qur’an, Cet, I., h. 128.
29
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Ed. II, h. 285.
30
Racmat Syafe’i, al-Hadis, Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum, h. 174.
31
Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam al-Qur’an, h. 128.
11

Dalam hukum ekonomi Islam, yang dimaksud dengan menimbun barang adalah
membeli barang dengan jumlah besar agar barang tersebut berkurang di pasar sehingga
harganya (barang yang ditimbun tersebut) menjadi naik, dan pada waktu harga naik baru
kemudian dilepas (dijual) ke pasar sehingga mendapat keuntungan yang berlipat ganda.32
Dalam fiqih empat mazhab disebutkan, Ihtikār (menimbun barang makanan untuk dijual
pada masa sulit dengan harga yang tinggi) hukumnya haram.33
Ihtikār atau penimbunan dalam al-Qur’an disebut dengan yaknizuun. Kata yaknizūn
yang berasal dari kanaza, kanaztum, dan taknizūn berarti harta yang kamu simpan QS. al-
Taubah / 9: 53, yaknizūn berarti menimbun harta QS. al-Taubah / 9: 34. Pada bentuk
kanzun disebut tiga kali dalam pengertian perbendaharaan, kekayaan harta simpanan QS.
Hud / 11: 12, al-Kahfi / 18: 82 dan al-Furqan / 25: 8.34 Kata Kanzun dari tiga surat dan ayat
tersebut yang berarti harta kekayaan tersimpan di bumi ini yang diturunkan Allah swt.,
untuk hamba-Nya, dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bukan untuk ditimbun atau
dimonopoli.
Menurut Imam asy-Syaukani (w.1250 H/1834 M), ahli hadis dan usul fikih, ihtikār
adalah penimbunan barang dagangan dari peredarannya. Imam Al-Gazali (450-505 H/1058-
1111 M) mengartikannya sebagai penjual makanan yang menyimpan barang dagangannya
dan menjualnya setelah harganya melonjak. Adapun menurut ulama mazhab Maliki, ihtikār
adalah penyimpanan barang oleh produsen, baik berupa makanan, pakaian, dan segala
barang yang dapat merusak kegiatan jual beli di pasar.
Ketiga pendapat tersebut secara esensi (inti, pokok) mempunyai pengertian yang
sama, yaitu menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dan memasarkannya setelah
harga melonjak, namun dari jenis barang yang disimpan atau ditimbun terjadi perbedaan.
Imam asy-Syaukāni dan ulama mazhab Maliki tidak merinci barang apa saja yang disimpan
tersebut. Berbeda dengan pendapat keduanya, Imam Al-Gazāli mengkhususkan ihtikār
kepada jenis makanan.35
Dengan menganalisis berbagai pengertian tentang ihtikār yang dikemukakan oleh
para ulama dan memperhatikan situasi perekonomian pada umumnya, Fathi ad-Duraini
(Guru besar bidang Fikih dan Usul Fikih di Fakultas Syariah Universitas Damaskus)
memberikan suatu pengertian. Menurutnya, ihtikār adalah tindakan menyimpan harta,
manfaat atau jasa serta enggan untuk menjual dan memberikan harta atau jasanya kepada
orang lain sehingga harga pasar melonjak secara drastis karena persediaan terbatas atau
stok hilang sama sekali dari pasar sementara kebutuhan masyarakat amat mendesak untuk
mendapatkan barang atau jasa tersebut. Pengertian yang dikemukakan ad-Duraini lebih luas
karena tidak saja menyangkut komoditi, tetapi juga manfaat suatu komoditi dan bahkan jasa
para pemberi jasa. Misalnya, seorang pedagang kacang tanah tidak mau menjual barang
dagangannya pada awal bulan ramadhan karena pada akhir ramadhan orang sangat
membutuhkan kacang tanah dan saat itu ia menjual dagangannya dengan menaikkan
harganya. Dalam masalah jasa, contohnya adalah jasa penerbangan, transportasi atau buruh

32
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h.139-140.
33
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, al-Fiqh alā Mazāhib al-Arba’a
(Cet.II; Bandung, 2004), h.241.
34
Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam al-Qur’an, h. 128.
35
Abuddin Nata, et al., eds., Ensiklopedi Islam, h. 228.
12

ketika terjadi embargo (penyitaan sementara terhadap kapal-kapal asing atau larangan lalu
lintas antara Negara)36 maka harga jasa ini akan naik dan pada saat itulah mereka mulai
menawarkan jasanya.
Berdasarkan analisis yang mereka lakukan, para ahli fikih menghubungkan ihtikār
sebagai perbuatan terlarang dalam agama. Dasar hukum pelarangan ini berdasarkan
kandungan al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan batil termasuk di dalamnya
kegiatan ihtikār diharamkan oleh agama,37 sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-
Baqarah / 2: 188 yang berbunyi:
Terjemahnya:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa Padahal kamu mengetahui.38
Disamping itu dalam sunnah Rasulullah saw. banyak dijumpai hadis yang tidak
membenarkan perbuatan ihtikār, misalnya Hadis Umar dari Nabi saw:
‫َ َﻜ َﺮ „َ َﲆ اﻟْ ُﻤ ْﺴ ِﻠ ِﻤ َﲔ َﻃ َﻌﺎ ًﻣﺎ‬,‫ َﲅ ﯾ َ ُﻘﻮ ُل َﻣ ْﻦ ْاﺣ‬# ‫ا¸ „َﻠ َ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬ ِ # ‫َﻄ ِﺎب ﻗَﺎ َل َ ِﲰ ْﻌ ُﺖ َر ُﺳﻮ َل‬# ‫ ِﻦ اﻟْﺨ‬Žْ ‫َﻋ ْﻦ ُ َﲻ َﺮ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬
39 َ ْ
‫ا¸ ِ•ﻟْ ُ¨ َﺬا ِم َواﻻﻓْﻼ ِس‬ُ # ‫ﴐﺑ َ ُﻪ‬
ََ
Artinya:
¼
Dari Umar Ibnul Khaththab ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa menimbun makanan atas kaum muslimin maka Allah akan
menghukumnya dengan penyakit dan kerugian.
Kemudian sabda Rasulullah saw., yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abu
Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
‫ ْن ﯾُﻐ ِ َْﲇ ﲠِ َﺎ „َ َﲆ اﻟْ ُﻤ ْﺴ ِﻠ ِﻤ َﲔ‬H' ُ‫ َﻜ َﺮ ُﺣ ْﻜ َﺮ ًة ˆُ ِﺮﯾﺪ‬,َ ‫ َﲅ َﻣ ْﻦ ْاﺣ‬# ‫ا¸ „َﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬ ِ # ‫ ِﰊ ﻫ َُﺮ ْˆ َﺮ َة ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل‬H' ‫َﻋ ْﻦ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬
40
‫ﻓَﻬ َُﻮ •َﺎ ِﻃ ٌﺊ‬
Artinya:
Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Bersabda:
"Barangsiapa menimbun (barang makanan), dengan maksud menaikkan harga atas
kaum muslimin maka ia telah berdosa.
Berdasarkan al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw di atas, para ulama sepakat bahwa
ihtikār tergolong ke dalam perbuatan yang dilarang atau haram. Meskipun demikian
terdapat sedikit perbedaan pendapat di antara mereka tentang cara menetapkan hukum
tersebut, sesuai dengan sistem pemahaman hukum yang mereka miliki.41

36
Departemen Pendidkan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Cet. III; Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 296.
37
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 296.
38
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: t.p. 2004), h. 36.
39
Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibnu Majah , Juz II; Dar al-Fikr, 207-275 M), h. 279.
40
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Musnad Ahmad, Juz II (Beirut: ‘Ālim al-Kutub,
1419 H / 1998 M), H. 351
41
Abuddin Nata, et al, eds, Ensiklopedi Islam, h. 228.
13

B. Hukum menimbun harta (kajian tentang pandangan ulama)


Menimbun atau menyembunyikan harta atau barang-barang kebutuhan pokok
untuk menaikkan harga dengan sengaja, untuk memperoleh keuntungan yang besar.
Perbuatan seperti ini dilarang oleh Rasulullah saw. Barangsiapa yang menimbun barang
perdagangan, maka orang itu melakukan kesalahan (dosa).
Sebagaimana sabda Nabi saw., Riwayat Muslim dari Ma’mar yang menyatakan:
42 ِ ‫ ﻗَﺎ َل َرﺳُﻮْ ُل‬:‫نﻣَﻌْﻤَﺮً ﻗَﺎ َل‬# H'
ٌ‫ﷲ ﺻَﻠَّﯽ ﷲﻋَﻠَﯿْﻪِ َوﺳَﻠَّﻢَ ﻣَ ِن اﺣْﺘَﻜَ َر ﻓَﻬْﻮَﺧَﺎﻃِﺊ‬
Artinya:
Bahwa sesungguhnya Ma’mar berkata, Rasulullah saw., bersabda: “Barang siapa
yang menimbun barang perdagangan, maka orang itu melakukan kesalahan (dosa).
(HR. Muslim).

Hukum menimbun barang pokok kebutuhan masyarakat menurut pandangan


sahabat dan para ulama :
1. Pandangan Para Sahabat.
Menurut Khalifah Umar bahwa menyembunyikan barang dagangan itu tidak
sah dan haram. Khalifah Umar melarang para pedagang berbuat seperti itu selama
masa kekhalifaannya. Imam Malik meriwayatkan bahwa Khalifah Umar berpesan
bahwa tdak seorangpun yang boleh menyembunyikan keadaan barang dagangan
dalam pemasarannya. Menurut riwayat Ibn Majah, Umar pernah berkata, “Orang
yang membawa hasil panen ke dalam kota akan dilimpahkan kekayaan yang banyak
dan orang yang menyembunyikan akan dikutuk. Sedangkan Khalifah Usman
sebagai khalifah ketiga, juga melarang menyembunyikan barang-barang selama
kehlalifaannya.43
2. Pandangan para ulama :
a) Afzalurrahman menyatakan jika ada seseorang yang menyembunyikan hasil
panen (barang-barang kebutuhan lainnya) sementara orang lain
memerlukannya, maka pemerintah dapat menjual hasil panennya (barang-
barang keperluan lainnya) tersebut dengan paksa.44
b) Abu Yusuf menyatakan bahwa barang apa saja dilarang untuk ditimbun
kalau akan menyebabkan kemadaratan kepada manusia walaupun barang
tersebut emas dan perak.45 Pendapat ini disepakati oleh sebagian ulama
terakhir dari Hanabilah, Ibn Abidin Syaukani, dan sebagian ulama
Malikiyah.
c) Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan, barang yang dilarang untuk ditimbun
adalah barang kebutuhan primer, sedangkan barang kebutuhan sekunder
tidaklah diharamkan. Ulama lainnya berpendapat bahwa penimbunan yang

42
Muslim, Shahih Muslim, juz III; Kitab al-Musaqat Bab Tahrim al-Ihtikar fi al-Aqwat (t.p.,
t.th. ), h. 1227. Lihat Andi Darussalam, Etika Bisnis Menurut Hadis, h. 97.
43
Andi Darussalam, Etika Bisnis Menurut Hadis, h. 97-98. Lihat, Afzalul Rahman, Doktrin
Ekonomi Islam, h. 83.
44
Andi Darussalam, Etika Bisnis Menurut Hadis, h. 98.
45
Lihat, Ibn Hajar al-Asqalany, Subulu al-Salam, juz III; h. 25.
14

dilarang adalah barang-barang yang biasa diperdagangkan karena akan


menimbulkan ketidakstabilan harga.46
d) Orang yang memahalkan harga itu tetap berdosa. Sedangkan menurut
Maliki: Pembelian itu tidak sah.47
e) Menurut mazhab jumhur dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyah, Hanabilah,
Zahiriyah, Zaidiyah, Ibadiyah, al_Imamiyah, dan al-Kasani dari golongan
Hanafiyah, bahwa penimbunan barang hukumnya haram. Dengan
pertimbangan bahwa perbuatan tersebut akan menimbulkan kemadaratan
bagi manusia.48
f) Menurut pendapat fuqaha dari kalangan mazhab Hanafiyah, bahwa
penimbunan barang dagangan hukumnya adalah makruh tahrim. Dengan
prtimbangan bahwa penimbunan tersebut diperbolehkan jika demi
memaslahatan manusia.49 Seperti dalam sejarah Nabi Yusuf pernah
menimbun barang dalam jumlah yang sangat besar berdasarkan mimpi raja
yang ia ta’birkan bahwa negeri itu akan mengalam musim kemarau sangat
panjang. Ketika mimpi tersebut terjadi, ppenduduk negeri berdatangan untuk
membeli barang yang pengelolaannya dipercayakan kepada Nabi Yusuf.50
Maka penimbunan seperti ini diperbolehkan, karena demi kemaslahatan
masyarakat pada musim paceklik.
g) Dari sudut pandang ahli hukum Islam, para ulama bersepakat tentang
ketidak bolehan (keharaman) praktik ihtikar.
h) Menurut Muhammad Salam Madkur, ihtikar sangat dilarang oleh Islam
karena menyimpan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang banyak
dalam kehidupannya dan karenanya mengakibatkan kesusahan bahkan
kemudharatan.51
i) Abu Yusuf menyatakan bahwa setiap perbuatan yang akan menimbulkan
kesusahan pada orang banyak atau kepentingan umum, apabila ditimbun
maka itulah ihtikar walaupun berupa emas dan pakaian.52
3. Hukum menimbun barang menurut agama dan ekonomi Islam
a) Menurut Pandangan Agama.
Ihtikar jelas dilarang dan diharamkan oleh Agama. Karena di samping
merupakan kerakusan pelakunya, kebiadaban dan kebejatan moralnya, juga merusak
kehidupan umum.53 Muslim telah meriwayatkan dari Ma’mar, bahwa Nabi saw.,
bersabda:
46
Lihat, Ibn Rusy, Bidayatul al-Mujtahid wa Nhayatu al-Muqtashil (Beirut: Darul Fikr, 595
H), h. 164. Fathly Ar-Raniry, al-Fiqh, al-Islamy al-Muqarin Ma’al Al-Madzahiby, Damsyik:
Muthaba’ah Thabirin, Madzahib, 1980), h. 71-72, 87-88. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah juz III, (Libanon:
Daru Fikr 1981), h. 98.
47
Syaikh al-‘Allamah Muhammad, Fiqih Empat Mazhab, h. 240.
48
Lihat, Rachmat Syafe’i, al-Hadis, h. 175.
49
Lihat, Rachmat Syafe’i, al-Hadis, h. 175-176.
50
Lihat, Rachmat Syafe’i, al-Hadis, h. 178.
51
Dikutif dari Abdul Sami, al-Misri, Perniagaan dalam Islam, terj. Ahmad Haji Hasbullah,
(Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1993), h. 50-51.
52
Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam al-Qur’an, h. 131-132.
53
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqih Wanita, Judul asli, Fiqhul Mar’ahal-Muslimah,
diterjemah, Anshori Umar Sitanggal (Semarang: CV asy-Syifa’, t. Th.), h. 497.
15

54
ِ ‫ ﻗَﺎ َل َرﺳُﻮْ ُل‬:‫نﻣَﻌْﻤَﺮً ﻗَﺎ َل‬# H'
ٌ‫ﷲ ﺻَﻠَّﯽ ﷲﻋَﻠَﯿْﻪِ َوﺳَﻠَّﻢَ ﻣَ ِن اﺣْﺘَﻜَ َر ﻓَﻬْﻮَﺧَﺎﻃِﺊ‬
Artinya:
Ma’mar berkata: “Rasulullah saw., bersabda: Barangsiapa menimbun barang,
maka dia berdosa (HR. Muslim).

Pada hadis lain Riwayat Ahmad dari Ibn Umar menyatakan bahwa, mereka yang
menimbun barang selama empat puluh hari dianggap telah terlepas diri dari Allah
swt., sebagaimana sabda Rasulullah saw:
ِ # ‫َ ِﺮ َئ ِﻣ ْﻦ‬Ž ْ‫ ﻓَ َﻘﺪ‬Ðً َ ‫ ْرﺑ َ ِﻌ َﲔ ﻟَ ْﯿ‬H' ‫َ َﻜ َﺮ َﻃ َﻌﺎ ًﻣﺎ‬,‫ َﲅ َﻣ ْﻦ ا ْﺣ‬# ‫ا¸ „َﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬
‫َ ِﺮ َئ‬Ž‫ا¸ ﺗَ َﻌ َﺎﱃ َو‬ ُ # ‫ﲆ‬# ‫ ِ ِ ّﱯ َﺻ‬#‫ ِﻦ ُ َﲻ َﺮ َﻋ ْﻦ اﻟﻨ‬Žْ ‫َﻋ ِﻦ ا‬
55 ِ َ
‫ ُﻪ‬Eْ ‫ا¸ ﺗَ َﻌﺎﱃ ﻣ‬ُ#
Artinya :
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw: Barangsiapa menimbun makanan hingga empat
puluh malam, berarti ia telah berlepas diri dari Allah Ta'ala dan Allah Ta'ala juga
berlepas diri dari-Nya.

b) Menurut Ekonomi Islam


Menurut pandangan ekonomi Islam tentang hukum penimbunan barang bahwa, bila
penimbunan dilakukan beberapa hari saja sebagai proses pendistribusian barang dari
produsen ke konsumen, maka belum dianggap sebagai suatu yang membahayakan.
Namun bila bertujuan menunggu saatnya naik harga sekalipun hanya satu hari maka
termasuk penimbunan yang membahayakan dan tentu saja diharamkan.56
Dari beberapa pandangan hasil kajian dari para sahabat, ulama, agama, dan ekonomi
Islam maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Khalifah kedua Umar menyatakan
menyembunyikan barang dagangan itu tidak sah dan haram. Usman khalifah ketiga
menyatakan melarang menyembunyikan barang-barang;
(2) Para ulama umumnya menyatakan menimbun barang-barang dagangan kebutuhan
masyarakat dengan maksud untuk menunggu naiknya harga baru dijual kepada
masyarakat hukumnya haram, karena dapat menyensarakan masyarakat. Namun ada
ulama /fuqaha dari kalangan mazhab Hanafiyah, berpendapat bahwa penimbunan
barang hukumnya makruh tahrim, diperbolehkan jika demi kemaslahatan manusia,
seperti penimbunan pada musim paceklik, dan nantinya akan dijual dengan harga
wajar, atau dibagikan secara cuma-cuma tentu saja diperbolehkan; (3) menurut
pandangan agama dan ekonomi Islam bahwa, penimbunan dengan tujuan untuk
menunggu naiknya harga barang walaupun hanya satu hari saja, hukumnya
diharamkan.
C. Jenis Barang Kebutuhan Pokok
Berkaitan dengan kebutuhan jasmani atau kebutuhan fisik yang terdiri atas sandang,
pangan dan papan, sedangkan kebutuhan rohani terdiri atas banyak komponen termasuk di

54
Muslim, Shahih Muslim, juz III; Kitab al-Musaqat Bab Tahrim al-Ihtikar fi al-Aqwat (t.p.,
t.th. ), h. 1227. Lihat Andi Darussalam, Etika Bisnis Menurut Hadis, h. 97.
55
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz II, h. 33. Lihat, Rachmat Syafe’i, al-Hadis
(Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 177.
56
Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, h. 71.
16

dalamnya kebutuhan sosial budaya. Namun yang paling menentukan adalah kepahaman
akan agama. Jika sebuah rumah tangga di bangun di atas pondasi agama yang kuat maka
kebutuhan jasmani dan rohani yang menjadi prasyarat untuk mencapai kebahagiaan dunia
dan akhirat dapat terwujud dengan ridha Allah swt.
1. Pangan (makanan, sebagai kebutuhan pokok57
2. Sandang (bahan pakaian)
3. Papan (peralatan tempat tinggal).

D. Pemilikan Harta Dalam Islam.


Pemilikan harta dalam Islam dinyatakan dalam perinsip ekonomi ada empat hal
yakni; 1) segala sesuatu adalah milik Allah (segala ciptaan-Nya bumi dan langit bersama
isinya adalah milik-Nya; 2) manusia berkuasa di atas milik Allah (sebagai amanah), yakni
harta yang dimiliki merupakan tanggung jawab dalam memilikinya dan memanfaatkannya;
3) manusia wajib berusaha mencari nafkah dan memanfaatkan apa yang dimilikinya, untuk
kebutuhan hidup di dunia dan di akhirat nanti; 4) membelanjakan harta adalah wajib.58
Lima hal pemilikan harta tersebut maka dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang
dimiliki berupa materil dapat digunakan dalam menunjang dalam menunjang kehidupan
seperti tempat tinggal, kendaraan, barang-barang perlengkapan, emas, perak, tanah,
binatang ternak, bahkan berupa uang, atau sesuatu yang yang mempunyai nilai dalam
pandangan manusia. Sebagaimana firman Allah QS. al-Imtan/ 3: 14 menyatakan:
Terjemahnya:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia,
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).59

Keindahan terhadap ciptaan Allah di dunia menjadikan manusia mencintai berbagai


hal yang semakin diinginkan, “Zuyyina linnasi hubbusy-syahawati.” Kata syahawat
menjadi penguat dari hubbu yang berarti kecintaan yang mendorong untuk memiliki dan
lebih memanfaatkannya. Hingga akhirnya kata syahawat lebih identik dengan hasrat
sehingga sering terjebak dalam sikap berlebih-lebihan.
Lalu disebutkan satu persatu harta apa saja yang sering menjadi perhiasan dunia
yaitu, wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Adanya kata nisa’i menunjukka adanya
keterkaitan kepada lawan jenis. Kata banina menunjukkan hasrat untuk mengutamakan
keberlanjuta garis keturunan. Untuk kata kanathiril muqantharati merupakan keutuhan
harian sekaligus kebanggaan untuk memperlancar hidup.60

Begitu banyak keistimewaan harta yang diberikan Allah kepada manusia di dunia
tetap menjadi perhiasan dan fasilitas hidup. Ayat tersebut bila dihubungkan dengan
hadis tentang penimbunan barang pokok, agar pemiliknya jangan ditahan atau ditimbun
57
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III, h. 992.
58
Ambo Asse, Konsep Syari’at Islam Tentang Masyarakat Adi dan Makmur (Makalah yang disajikan
dalam diskusi Ilmiah pada IAIN Alauddin Makassar: Makassar, 1983), h. 90.
59
Departemen Agama RI, alQur’an dan Terjemahnya. H. 64.
60
Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir, Ayat- Ayat Ekonomi Islam, h. 162.
17

yang menjadi hak kebutuhan masyarakat walaupun harta tersebut sangan dicintainya,
karena akan merugikan banyak masyarakat, dan pedagang yang menimbun dengan
tujuan untuk menunggu naiknya harga baru dijual dengan harga yang tinggi hukumnya
haram.
E. Menimbun Barang Pokok dalam Sistem Ekonomi
Ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang berdasar pada al-Qur’an dan
hadis yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia dan akhirat (al-
Falah)61. Ada tiga asas filsafat ekonomi Islam, yaitu:
1. Semua yang ada di alam semesta ini adalah milik Allah swt.,
2. Untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah,
3. Beriman kepada hari kiamat,
Selain dari asas filsafat tersebut di atas, ekonomi Islam juga memiliki nilai-nilai
tertentu, yaitu:
a) Nilai dasar kepemilikan,
b) Nilai Keseimbangan.
c) Nilai Keadilan
F. Kerangka Teoretis
Kerangka teoretis dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara ringkas
dan padat tentang alur pemikiran yang melandasi penelitian dalam disertasi ini. Hal
tersebut dapat dijelaskan dalam bagan sebagai berik

61
Nurul Huda, et.al, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoretis (Cet. I; Jakarta:Prenada Media
Group, 2008), h.3.
18

Skema 1
KERANGKA TEORETIS

Al-Qur’an dan Hadis

Ekonomi Islam

Jenis Barang

Pangan Sandang Papan

Penimbunan
Barang Pokok
Fiqh al-Hadis Naqd al-Hadis

Bentuk-bentuk Hukum Menimbun Dampak Penimbunan


Penimbunan Barang Pokok Barang Pokok Barang Pokok

Masyarakat Pedagang

Hasil Penelitian
III. METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Sumber utama penelitian ini adalah sembilan kitab standar hadiŝ yang dikenal
dengan al-kutub al-tis‘ah, yang di dalamnya terdapat hadiŝ-hadiŝ Nabi Muhammad saw.,
yang berkaitan dengan berbagai persoalan termasuk penimbunan barang.62
Selain itu, untuk memperdalam pemahaman tentang hadis-hadis, dipergunakan pula
sumber pendukung lainnya berupa kitab-kitab yang ada kaitannya dengan penelitian ini.63

62
Andi Darussalam, Etika Bisnis Menurut Hadis (Cet. I; Jakarta: Rabbani Press, 2009), h. 12-13.
19

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yang berusaha untuk menghasilkan


data diskriptif berupa kata-kata (sabda) Rasulullah saw., yang berkaitan dengan
penimbunan barang pokok. Penelusuran terhadap sabda-sabda Rasulullah saw., dilakukan
dengan memahami metode maudu’iy (tematik).
Untuk menemukan teks-teks hadis yang dimaksud, maka diadakan takhrīj al-hadīś.
Disebabkan karena takhrīj al-hadīś mempunyai pengertian yang bermacam-macam, maka
terlebih dahulu harus ditetapkan pengertian takhrīj al-hadīś yang digunakan dalam
penelitian ini.64
Tkhrij al-Hadis yang dikehendaki dalam penelitian ini adalah pencarian teks-teks
hadis tentang penimbunan barang pokok dengan menelusuri term-term al-Buyu’ dengan
berbagai kata jadian (isytiqaq-nya) maupun term lain yang sepadan ataupun yang tidak
sepadan dengan al-Buyu’ tapi mengandung pada dirinya makna penimbunan barang
pokok.65
Sesuai dengan jenis dan metode penelitian yang telah dietapkan, yaitu metode
maudū’īy, maka langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Melakukan penelusuran dengan mengumpulkan hadiś-hadiś yang berkaitan dengan
penimbunan barang pokok.
2. Melakukan kategorisasi berdasarkan kandungan hadiś dengan memperhatikan adanya
kemungkinan perbedaan peristiwa dan perbedaan periwayatan hadiś (lafal dan
makna).
3. Melakukan I’tibār dengan jalan menelusuri jalur-jalur sanad yang lain untuk
mengetahui apakah ada periwayat lain yang juga meriwayatkan hadiś tersebut.
4. Melakukan kritik sanad yang meliputi; kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para
periwayat yang menjadi sanad hadiś bersangkutan.
5. Melakukan pembahasan dan uraian mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan
makna hadiś baik secara tekstual, intertekstual, maupun kontekstual, sampai pada
penjelasan maksud-maksud tertentu hadiś.
6. Menyusun dan merumuskan konsep-konsep penimbunan barang pokok, berdasarkan
hadiś-hadiś yang telah dibahas.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka seluruh hadis yang berkenaan dengan topik
tentang penimbunan barang pokok, yang akan diteliti, maka terlebih dahulu seluruh
riwayatnya harus dikutip secara cermat, baik sanadnya maupun matannya. Untuk
melengkapi bahan penelitian, berbagai matan yang telah dikutip itu dapat dilakukan takhrij
melalui lafal.

B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian normatif, yang bersumber pada bahan bacaan,
dapat dilakukan dengan cara penelaahan naskah, terutama studi kepustakaan.66 Dengan
menggunakan Metode Maudū’īy (Tematik). Prosedur metode maudū’īy (tematik) adalah
sebagai berikut:

63
Andi Darussalam, Etika Bisnis Menurut Hadis, h. 12.
64
Andi Darussalam, Etika Bisnis Menurut Hadis, h. 12.
65
Andi Darussalam, Etika Bisnis Menurut Hadis, h. 12.
66
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir (Cet. III; Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), h. 179.
20

1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).


2. Menghimpun hadis yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Menyusun runtutan hadis sesuai dengan asbab al-wurūd.
4. Memahami korelasi hadis-hadis tersebut, dengan hadis-hadis dan ayat-ayat yang lain
yang ada kaitannya dengan tema atau hadis yang diteliti.
5. Menyusun pembahasan hadis yang diteliti dalam kerangka yang sempurna (out line).
6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis lain yang relevan dengan pokok
bahasan.
7. Mempelajari hadis-hadis tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun hadis
yang mempunyai pengertian sama atau mengkompromikan antara hadis yang ‘ām
(umum) dan yang khās (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat) atau yang pada
lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam suatu muara tanpa
perbedaan atau pemaksaan.67

C. Pendekatan
Adapun pendekatan yang digunakan peneliti adalah pendekatan historis, sosiologis
dan teologis yaitu:
1. Pendekatan Historis
2. Pendekatan Sosiologis
3. Pendekatan Teologis
Adapun teknik interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
interpretasi tekstual, intertekstual, dan kontekstual. Teknik interpretasi tekstual yakni
dengan memperhatikan redaksi teks, kosa kata dan makna-makna lafadz (tersurat).68 Dan
teknik interpretasi intertekstual yaitu interpretasi atau pemahaman terhadap matan hadis
dengan memperhatikan hadis lain dan atau ayat-ayat al-Qur’an yang senada. Dasar
penggunaan teknik ini adalah penegasan bahwa hadiś Nabi sebagai informan hadis utama
dengan segala keragamannya. Sedangkan teknik interpretasi kontekstual yakni
mengalihkan arti dari tekstualnya berdasarkan fenomena dan fakta sosial (tersirat).69

D. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data ini mencakup teknik-teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan data yang akan penulis teliti, karena kajian ini adalah penelitian
kepustakaan murni, maka metode pengumpulan data yang dipergunakan yaitu dengan cara
mengklasifikasi sumber-sumber pokok dan menelaah sebagai literatur utama (primer),
seperti kutub al-tis’ah atau dikenal dengan kitab sembilan imam. Pembahasan kitab tersebut
akan diteliti dan dikelola satu-persatu untuk mengetahui dan mengungkapkan metodologi
penelitian hadis tersebut.

67
Rosibon Anwar, Ilmu Tafsir, Cet.III; h.161.
68
M. Syuhudi Ismail, Hadis-Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma’ani Hadis
Tentang Ajaran yang Universal, Temporal dan lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 6.
69
M.Syuhudi Ismail, Hadis-Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma’ani Hadis,
Tentang Ajaran yangUniversal dan Lokal, h. 6.
21

Penulis juga akan membaca literatur-literatur lainnya sebagai sumber referensi


kedua (sekunder) yang mempunyai kaitan dengan studi pembahasan disertasi ini.

E. Metode Pengolahan dan Analisis Data


Agar data yang diperoleh dapat dijadikan sebagai bahasan yang akurat, maka
penulis menggunakan metode pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:
70
a. Melakukan kegiatan takhrīj al-hadīś.
b. Melakukan penelitian sanad.71
c. Melakukan penelitian matan.
d. Melakukan analisis terhadap kandungan dengan teknik interpretasi tekstual,
intertekstual, dan konstektual.

F. Teknik.
Penelitian ini meggunakan teknik interpretasi tekstual, iantar tekstual, dan
kontekstual. Hal ini dilakukan karena penelitian ini menggunakan metode mauȡū’i. Kata
mauȡū’i berasal dari akar kata “ wa-ȡa-‘u” yang merupakan bentuk isim maf’ul dari kata
tersebut. Kata “mauȡū’i” sendiri berarti “masalah” (al-mas’alah) atau
pokok pembicaraan /tema” (madar al-kalam).72 Pengimbuhan “ya’al-nisbat” di akhir kata
(sufiks inflektif) menjadikannya berarti bersifat tema (tematik).
Matode mauȡū’i ini memiliki kelebihan. Pertama; menunjukkan kemungkinan
yang lebih besar akan suatu pemahaman yang lebih utuh, otentik mengenai petunjuk-
petunjuk hadis tentang masalah yang dikaji. Kedua; metode tersebut lebih relevan dengan
kebutuhan akan jawaban terhadap problema yang muncul sesuai tingkat relevansinya
dengan kondisi perkembangan selama ini. Ketiga; metode mauȡū’i ini tidak membahas
segala segi permasalahan yang terkandung dalam satu hadis. Yang dibahas hanyalah
berkaitan dengan tema ditentukan. Keempat; metode maudu’i ini menghimpun hadis-hadis
bertema sama, sehingga memudahkan membahas pokok masalah yang dipilih secara tuntas.

G. Langkah-langkah Pengumpulan Data (Takhrīj).


Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data adalah sebagai
berikut:
a. Langkah-langkah yang ditempuh untuk menetapkan metode maudū’īy adalah:
1) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
2) Menghimpun hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3) Menyusun runtutan hadis sesuai dengan asbab al-wurudnya, jika hadis tersebut
mempunyai asbab al-wurud.
4) Memahami korelasi hadis-hadis tersebut.
5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline).
6) Melengkapi pembahasan dengan ayat-ayat yang relevan dengan pokok bahasan.

70
Muhammadiyah Amin, Menembus Lailatul Qadar Pendekatan Interpretasi Hadis Tekstual dan
Kontekstual (Cet. I; Makassar: Melania Press, 2004), h. 13-14.
71
Muhammadiyah Amin, Menembus Lailatul Qadar Pendekatan Interpretasi Hadis Tekstual dan
Kontekstual, h. 13-14.
72
A.W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia (Ed. Luks; t.t., tp. Th), h. 1671.
22

7) Menghimpun hadis-hadis yang mempunyai pengertian yang sama, atau


mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khās (khusus), mutlak dan
muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya
bertemu dalam suatu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan.73
b. Langkah-Langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data adalah:
1) Mengumpulkan seluruh hadis yang semakna dalam sebuah tema (takhrīj,
identifikasi, dan klasifikasi).
2) Melakukan kritik sanad untuk mendapatkan sanad yang sahih.
3) Melakukan kritik matan dengan segala langkahnya sampai mendapatkan matan
hadis yang berkualitas.
4) Mengkaji makna-makna lafal, kemudian menentukan atau memastikan makna yang
digunakan.
5) Mengkaji hadiś-hadiś Nabi saw., tersebut dengan menghubungkan petunjuk-
petunjuk al-Qur’an sebagai sumber ajaran dan sumber hukum Islam yang pertama
dan utama.
6) Melakukan singkronisasi hubungan hadiś yang berada dalam sebuah tema dengan
melihat lafal-lafal yang tampak ta’ārud atau tanawwu’ dengan menggunakan
metode muqāran (perbandingan), yakni metode yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan makna-makna yang tampak bebeda dengan menggunakan metode
berikut secara bertingkat atau alternatif. Metode al-Jam’u (kompromi), metode
tarjīh (memilih yang paling kuat), metode al-Nāsikh wa al-Mansūkh (memilih dalil
pengganti), atau metode-metode lainnya.
7) Memahami hadis sesuai latar belakang situasi dan kondisi yang berpengaruh pada
saat lahirnya serta situasi dan kondisi pada masa kontemporer.
8) Membedakan sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang bersifat tetap.
9) Membedakan hal-hal yang gaib dan yang nyata, termasuk membedakan hal-hal
yang bersifat substansi dan yang berkaitan dengan metodologi.
10) Membuat kesimpulan.74

H. Metode Analisis Kaidah Kesahihan sanad dan matan hadis.


1. Metode Analisis Kesahihan Sanad Hadis.
Ulama hadis dari kalangan al-Mutaqaddimūn, yakni ulama hadis sampai abad ke-3
H, belum memberikan pengertian (definisi) yang eksplisit (sarih) tentang hadis sahih.
Mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang penerimaan berita yang
dapat diperpegangi. Pernyataan-pernyataan mereka misalnya berbunyi:
1) Tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali yang berasal dari orang-orang
yang ŝiqah.75

73
M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), h. 174.
74
Ambo Asse, Disertasi, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi saw., h. 76-77.
75
Istilah ŝiqah pada zaman itu lebih banyak diartikan sebagai kemampuan hafalan yang sempurna
daripada diartikan sebagai gabungan dari istilah ‘adl dan dābit yang dikenal luas pada zaman berikutnya.
Lebih lanjut lihat misalnya contoh ke-ŝiqah-han periwayat hadis yang dikemukakan oleh Abu Muhammad
‘Abd al-Rahman al-Dārimīy (selanjutnya ditulis sebagai al-Dārimīy), Sunan al-Dārimīy ( t.tp: Dār Ihya’ al-
Sunnah al-Nabawiyyah, t.th), Juz I, h. 112.
23

2) Hendaklah orang yang akan memberikan riwayat hadis itu diperhatikan ibadah
salatnya, perilakunya dan keadaan dirinya; apabila salatnya, perilakunya dan keadaan
orang itu tidak baik, maka tidak diterima riwayat hadisnya.
3) Tidak boleh diterima riwayat hadis orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan
hadis.
4) Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta, mengikuti
hawa nafsunya dan tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya.
5) Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.76
Pernyataan-pernyataan tersebut tertuju kepada kualitas dan kapasitas periwayat,
baik yang boleh diterima maupun yang harus ditolak riwayatnya. Berbagai pernyataan itu
belum melingkupi seluruh syarat kesahihan suatu hadis.
Imam al-Syafi’iy telah mengemukakan penjelasan yang lebih kongkret dan terurai
tentang riwayat hadis yang dapat dijadikan hujjah. Dia menyatakan, khabar al-khassah
(hadiś ahād) tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali apabila hadis itu:
1. Diriwayatkan oleh para periwayat yang: [a] dapat dipercaya pengamalan agamanya;
[b] dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita; [c] memahami
dengan baik hadis yang diriwayatkan; [d] mengetahui perubahan makna hadis bila
terjadi perubahan lafalnya; [e] mampu menyampaikan riwayat hadis secara lafal,
tegas, tidak meriwayatkan hadis secara makna; [f] terpelihara hafalannya, bila dia
meriwayatkan secara hafalan, dan terpelihara catatannya, bila dia meriwayatkan
melalui kitabnya; [g] apabila hadis yang diriwayatkannya diriwayatkan juga oleh
orang lain, maka bunyi hadis itu tidak berbeda; dan [h] terlepas dari perbuatan
penyembunyian cacat (tadlis).
2. Rangkaian periwayat bersambung sampai kepada Nabi, atau dapat juga tidak sampai
kepada Nabi.77
Kriteria yang dikemukakan oleh al-Syafi’ī tersebut sangat menekankan pada sanad
dan cara periwayatan hadis. Kriteria sanad hadis yang dapat dijadikan hujjah tidak hanya
berkaitan dengan kualitas dan kapasitas pribadi periwayat saja, melainkan juga berkaitan
dengan persambungan sanad. Cara periwayatan hadis yang ditekankan oleh al-Syafi’ī
adalah cara periwayatan secara lafal (harfiah).
Menururt Ahmad Muhammad Syakir, kriteria yang dikemukakan oleh al-Syafi’iy
di atas telah mencakup seluruh aspek yang berkenaan dengan kesahihan hadis. Kata Syakir,
al-Syafi’ī-lah ulama yang mula-mula menerangkan secara jelas kaidah kesahihan hadis.
Pernyataan Syakir ini memberi petunjuk, bahwa kaidah kesahihan hadis yang dikemukakan
oleh al-Syafi’ī telah melingkupi semua bagian hadis yang harus diteliti, yakni sanad dan
matan hadis. Dalam hubungan ini dapat dinyatakan bahwa untuk sanad hadis, kriteria al-
Syafi’ī tersebut pada dasarnya telah secara tegas melingkupi seluruh aspek yang
seharusnya mendapat perhatian khusus secara tegas. Walaupun demikian tidaklah berarti
kriteria al-Syafi’ī terlihat belum memberikan perhatian khusus secara tegas.
Al-Bukhārī dan Muslim juga tidak membuat definisi yang tegas tentang hadis
sahih. Walaupun demikian, berbagai penjelasan kedua ulama tersebut telah memberikan

76
M.Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendidikan Ilmu Sejarah (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 123-124.
77
M.Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendidikan Ilmu Sejarah, Cet III; h. 125.
24

petunjuk tentang kriteria hadis yang berkualitas sahih. Ulama telah melakukan penelitian
terhadap berbagai penjelasan itu. Hasil penelitian ulama memberikan gambaran tentang
hadis sahih menurut kriteria al-Bukhārī dan Muslim.78
Adapun persyaratan-persyaratan lainnya dapat dinyatakan sama antara yang
dikemukakan oleh al-Bukhārī dan Muslim. Persyaratan-persyaratan itu, menurut hasil
penelitian ulama, ialah:
1) Rangkaian periwayat dalam sanad hadis itu harus bersambung mulai dari periwayat
pertama sampai periwayat terakhir ;
2) Para periwayat dalam sanad hadis itu haruslah orang-orang yang dikenal ŝiqah, dalam
arti adil dan dābit;
3) Hadis itu terhindar dari cacat (‘illat) dan kejanggalan (syuzūz); dan
4) Para periwayat yang terdekat dalam sanad harus sezaman.79
Menurut al-Nawāwī (wafat 676 H / 1277 M), semua persyaratan di atas telah
mencakup persyaratan kesahihan sanad dan matan hadis.80 Karena, persyaratan yang
disebutkan ketiga berkaitan dengan sanad dan matan, sedangkan ketiga syarat lainnya
berkaitan dengan sanad saja.
Dalam kaitannya dengan penelitian sanad, maka yang digunakan adalah unsur-unsur
kaidah kesahihan sanad hadis yang berhubungan dengan sanad. Unsur-unsur itu ada yang
berhubungan dengan keadaan para periwayat.
2. Metode Analisis Kesahihan Matan Hadiś.
Jika mengacu pada pernyataan Muhammad al-Ghazali bahwa apa yang
dikemukakan oleh fuqahā’ itu sesungguhnya adalah kerja lanjutan dari pada yang
dilakukan oleh muhaddiŝūn, maka dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah itu sebenarnya
tidak dikotomistik. Apalagi kenyataan bahwa kalangan muhadditsun juga mengemukakan
sejumlah kaedah kesahihan matan hadis di luar kaidah syuzūz dan ‘illah, ketika mereka
membahas maqbūl (diterima) dan mardud-nya (ditolak) sebuah hadiŝ dan membahas
kaidah kepalsuan hadiŝ, menegaskan bahwa dikotomi itu tidak perlu ada, sebab sebagian
dari apa yang dikemukakan oleh fuqahā’ ternyata juga telah dikemukakan oleh
muh}addiŝūn. Mungkin tinggal mencari di mana titik temu diantara keduanya.81
Dari paparan tentang sejarah penelitian hadis, tampak bahwa penelitian matan hadis
telah dirintis pada masa Nabi saw., dan para sahabatnya. Saat itu, setidaknya ada dua
bentuk penelitian matan hadis, muqāranah dan mu’āradah. M. Azami mensinyalir bahwa
penelitian hadis sejak awal sampai sekarang menggunakan dua metode ini, muqāranah dan
mu’āradah: Metode muqāranah sesungguhnya adalah perbandingan antar riwayat satu
hadis diantara para sahabat. Satu hadis yang dinyatakan diriwayatkan oleh seorang sahabat
dibandingkan dengan riwayat sahabat lain tentang hadis tersebut untuk ditemukan
kesesuaian dan keselarasannya. Sedangkan mu’āradah intinya adalah pencocokan konsep

78
M.Syhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendidikan
Ilmu Sejarah, Cet III; h. 126.
79
M.Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan
Ilmu Sejarah, Cet. III; h. 127.
80
M.Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan
Ilmu Sejarah, Cet. III; h. 127.
81
Rajab, Kaidah Kesahihan Matan Hadis (Cet. I; Yogyakarta: Graha Guru, 2011), h. 97.
25

yang menjadi muatan pokok setiap matan hadis, agar tetap terpelihara ketertautan dan
keselarasan antar konsep dengan hadis lain dan dengan dalil syariat yang lain. Langkah
pencocokan dilakukan dengan petunjuk eksplisit al-Qur’an (zāhir al-Qur’an), pengetahuan
kesejarahan (al-sirah al-nabawiyyah) dan dengan penalaran akal sehat. Inilah garis pemisah
antara metode muqāranah dengan metode mu’āradah. Muqāranah perbandingan antar
riwayat hadis yang sama, sedangkan mu’āradah adalah perbandingan riwayat hadis dengan
dalil yang lain.82
Penelitian sanad sebenarnya juga didasari oleh metode muqāranah dan mu’āradah
ini. Pengembaraan mencari hadis yang telah dimulai pada masa sahabat dan lebih marak
dimasa tabi’in, dan masa-masa berikutnya, tujuannya adalah untuk melakukan dua metode
ini. Pada saat itu, jumlah sahabat yang masih hidup tersebar diberbagai daerah, para tabi’in
yang ingin menerima hadis dari mereka atau ingin mengecek hafalan yang sudah ada pada
mereka, harus melakukan perjalanan ke daerah-daerah untuk bertanya dan melakukan
konfirmasi kepada sahabat-sahabat tersebut. Hal seperti ini juga berlaku pada generasi-
generasi di bawah sahabat. Para tabi’in yang lebih kecil bertanya kepada tabi’in besar dan
tabi’ tabi’īn bertanya kepada tabi’in.
Pengembangan mencari hadis itu bertujuan untuk melakukan check and recheck
hafalan sebagai bagian dari metode muqāranah dan mu’āradah, tercermin dari ucapan
Ayyūb al-Sakhtiyani, “Jika engkau ingin mengetahui kekeliruan gurumu, maka engkau juga
harus duduk bersama dengan guru yang lain.”83 Juga pernyataan Yahya bin Ma’ĩn, bahwa
ada empat orang yang tidak pernah dewasa dalam hidupnya, salah satu diantaranya adalah
orang yang menuliskan hadis di kotanya sendiri dan tidak melakukan perjalanan untuk
itu.84
Ketika masa-masa belakangan, muncul kaidah kesahihan hadis yang terangkum
dalam lima pokok; (1) sanadnya bersambung; (2) periwayat bersifat ‘adil; (3) periwayat
bersifat dabit; (4) terhindar dari syuzūz; dan (5) terhindar dari ‘illat, kaidah –kaidah ini
tidak dapat dipisahkan dari dua metode di atas. Dua kaidah kesahihan matan; terhindar dari
syuzūz; dan terhindar dari ‘illat merupakan manifestasi dari dua metode muqāranah dan
mu’āradah. Hal ini tampaknya tidak disadari oleh banyak orang sehingga muncul tuduhan
bahwa ulama hadiŝ tidak memperhatikan penelitian matan hadiŝ.85
Dengan demikian, kaidah matan terhindar dari syuzūz adalah kaidah mayor untuk
sejumlah kaidah minor matan hadis yang dilakukan dengan menggunakan metode
muqāranah. Sedangkan kaidah terhindar dari ‘illat adalah kaidah mayor dari sejumlah
kaidah minor yang dilakukan dengan menggunakan metode mu’āradah. Inilah titik temu
dari berbagai kaidah kesahihan matan hadis, baik yang dikemukakan oleh muhaddiŝūn
maupun fuqahā’. Ini sekaligus mempertegas bahwa tidak ada dikotomi di antara kaidah
kesahihan matan hadis antara muhaddiśūn dan fuqahā.
Periwayatan hadis yang sahih sanad-nya tidak berarti sahih matannya, karena itu
sahihnya matan merupakan syarat tersendiri bagi kesahihan suatu hadis. Untuk menentukan
kesahihan matan suatu hadis, maka para ulama telah menyatakan penelitian dan kritik

82
Rajab, Kaidah Kesahihan Matan Hadis, h. 98.
83
Rajab, Kaidah Kesahihan Matan Hadis, h. 98.
84
Rajab, Kaidah Kesahihan Matan Hadis, h. 98-99.
85
Rajab, Kaidah Kesahihan Matan Hadis h. 99.
26

secara seksama terhadap matan hadis, sehingga mereka memberikan kriteria-kriteria


tertentu.
Salāh al-Dīn al-Adlabiy menyebutkan empat kriteria kesahihan matan hadis yaitu:
1) Matan hadis itu tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an;
2) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat;
3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, persepsi indra dan sejarah; dan
4) Susunan redaksinya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.86
Al-Khātib al-Bagdādiy menyatakan bahwa matan hadis yang dinyatakan maqbūl
apabila memenuhi syarat-syarat tidak bertentang dengan:
1) Akal sehat;
2) Ayat al-Qur’an yang muhkam;
3) Hadis mutawatir;
4) Konsensus Ulama Salaf;
5) Dalil yang telah pasti;
6) Hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.87
Kriteria yang lebih rinci dikemukakan oleh Jumhur Ulama bahwa tanda-tanda hadis
yang palsu minimal tujuh macam. Jika suatu matan hadis bebas dari ketujuh poin tersebut,
maka matan hadis tersebut dapat diterima, yaitu :
1) Susunan redaksinya rancu;
2) Kandungan pernyataan hadis itu bertentangan dengan akal sehat dan sangat sulit
diinterpretasikan secara rasional;
3) Kandungan hadis itu bertentangan dengan tujuh pokok ajaran Islam, misalnya
anjuran untuk berbuat maksiat;
4) Kandungan hadis itu bertentangan dengan sunnatullah (hukum alam);
5) Kandungan hadis itu bertentangan dengan fakta sejarah;
6) Bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an dan hadis mutawatir yang qath’i;
7) Kandungan hadis berlawanan dengan kewajaran, jika dilihat dari petunjuk umum
ajaran Islam, misalnya amalan agama yang amat ringan tetapi mendapat janji pahala
yang amat besar.88
Memperhatikan banyaknya kriteria kesahihan matan yang dikemukakan oleh para
ulama hadis, maka penulis perlu mengambil kriteria-kriteria tersebut secara kolektif sebagai
acuan atau tolok ukur dalam mengkaji matan hadis yang sedang diteliti. Tolok ukur yang
dimaksud adalah:
1) Matan hadis tidak bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang muhkam (mengandung
ketentuan hukum yang benar) dari hadis mutawatir serta hadis-hadis ahad yang
lebih kuat;
2) Matan hadis itu tidak bertentangan akal sehat;
3) Susunan kalimat hadis itu tidak rancu;

86
Lihat: Salāh al-Dīn al-Adlabiy, Manhaj al-Naqd al-Matan (Cet. I; Beirut: Dār al-Afāq, 1983), h.
238.
87
Lihat: Abu> Bakar Ah}mad bin ‘Ali Sa>bit al-Khatīb, al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah (Mesir :
Matba‘ah al-Sa‘ādah, 1972), h. 206-207.
88
Lihat: Muhammad al-Sabbāq, al-Nabawi (t.tp. al-Maktabah al-Islamiy, 1932 H / 1972 M), h. 132-
135.
27

4) Matan hadis itu tidak bertentangan dengan fakta sejarah dan mencerminkan ciri-ciri
sabda kenabian.

3. Skema Hadiś
Untuk memperjelas dan mempermudah proses kegiatan al-i‘tibār, diperlukan
pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadis yang akan diteliti. Dalam pembuatan
skema, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yakni (1) jalur seluruh sanad;
(2) nama-nama periwayat untuk seluruh sanad; dan (3) metode periwayatan yang
digunakan oleh masing-masing periwayat.89

I. Metode Syarah Maudū’i


1. Syarah.
Pada prinsipnya, metode syarah yang diterapkan dan dikembangkan dalam analisis
hadis mengadopsi metode penafsiran al-Qur’an dengan melihat persamaan karakter antara
penafsiran al-Qur’an, atau lebih dikenal dengan syarah hadis.
Secara umum, terdapat tiga teknik interpretasi yang digunakan para pensyarah hadis
dalam menguraikan pemahaman sebuah hadis yakni:
1) Interpretasi tekstual.
2) Interpretasi intertekstual
3) Interpretasi kontekstual
Dari ketiga teknik interpretasi tersebut di atas, maka penulis menggunakan ketiga
teknik interpretasi dalam mensyarah hadis-hadis tentang penimbunan barang pokok
kebutuhan manusia, dengan menggunakan metode maudū’īy (tematik).
2. Maudū’īy.
Metode maudū’īy, walaupun benihnya telah dikenal sejak masa Rasul saw., ia baru
berkembang jauh sesudah masa beliau.90 Metode ini mulai berkembang pada tahun enam
puluhan. Didasari oleh para pakar dengan menghimpun pesan-pesan hadis yang terdapat
pada satu tema.91
Penerapan metode maudū’īy memerlukan keahlian akademis, karena itu kehati-
hatian dan ketekunan sangat diperlukan.92 Benar, bahwa menerapkan metode ini bukan saja
memerlukan waktu yang cukup, tetapi juga ketekunan dan ketelitian, apalagi jika
diinginkan mencapai tingkat mendekati sempurna.93
Jadi syarah maudū’īy adalah suatu metode, dimana peneliti berupaya menghimpun
hadis-hadis dari berbagai kitab yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan
sebelumnya. Kemudian, peneliti mensyarah dan menganalisis kandungan hadis-hadis
tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Dalam hal syarah maudū’īy, setelah mencari dan menghimpun hadis-hadis tentang
penimbunan barang pokok kebutuhan masyarakat, penulis akan mengklasifikasi hadis

89
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 52.
90
M. Quraish Shihab, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. I; Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2007), h. xiii.
91
M.Quraish Shihab, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. I; h. Xiii.
92
M.Quraish Shihab, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. I; h. xv.
93
M.Quraish Shihab, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. I; h. xvi.
28

tersebut, kemudian mensyarah, menginterpretasi lalu menganalisis kandungan hadiś


tersebut.

IV. KUALITAS HADIŚ TENTANG PENIMBUNAN BARANG POKOK

A. Takhîj Hadiŝ-Hadiŝ dari Berbagai Kitab Hadiŝ


1. Pengertian Takhrîj al-Hadiŝ
Kata ‫ ﺗ َْﺨ ِﺮ ْﻳ ٌﺞ‬berasal dari kata ‫ ﺧ ﱠَﺮ َﺝ‬yang semakna dengan kata ‫ﺎﻁ‬ ٌ َ‫ ﺇِ ْﺳ ِﺘ ْﻨﺒ‬artinya
94
mengeluarkan. Mahmūd al-Tahhān mengartikn dengan:
َ َ ‫ﺇِﺟْ ِﺘ َﻤﺎﻉُ ﺃ َ ْﻣ َﺮﻳ ِْﻦ ُﻣﺘ‬
95
.‫ْﺊ َﻭﺍﺣِ ٍﺪ‬ َ ‫ﻀﺎﺩﱠﻳ ِْﻦ ﻓِﻰ‬
ٍ ‫ﺷﻴ‬
Artinya:
Bertemu dua hal yang bertentangan pada suatu waktu yang sama.
Kata ‫ ﺗ َْﺨ ِﺮ ْﻳ ٌﺞ‬adalah bentuk masdar dari kata ‫ ﺗ َْﺨ ِﺮ ْﻳ ًﺠﺎ‬-‫ ﻳُﺨ ِ َّﺮ ُﺝ‬-‫ ﺧ ﱠَﺮ َﺝ‬bermakna
mengeluarkan. Kata ‫ ﺧ ﱠَﺮ َﺝ‬adalah bentuk fi‘il al-mādiy al-sulaasiy al-mazīd dari kata -‫ﺧ ََﺮ َﺝ‬
‫ ﻳَ ْﺨ ُﺮ ُﺝ‬terdiri atas tiga huruf, yakni kha’, ra’, dan jim, makna dasarnya ada dua, yakni
penebusan sesuatu dan perbedaan dua warna.96
Kata ‫ ﺧ ََﺮ َﺝ‬berarti menampakkan, mengeluarkan, dan memecahkan sesuatu.97 Dalam
kamus al-Munjid disebutkan bahwa kata ‫ ﺗ َْﺨ ِﺮ ْﻳ ٌﺞ‬mempunyai beberapa makna, yakni
menjelaskan (َ‫) َﺑ ﱠﻴﻦ‬, menyatukan ( َ‫)ﺃَﺑ َْﺮﺯ‬, mengambil sebagian (‫ﺴ َﻢ‬ َ ‫ )ﺃَ ْﻗ‬dan mengeluarkan sesuatu
ٌ َ‫)ﺇ ْﺳ ِﺘ ْﻨﺒ‬. Dalam kamus Lisān al-‘Arab menyebutkan bahwa makna ‫ ﺗ َْﺨ ِﺮ ْﻳ ٌﺞ‬adalah
(‫ﺎﻁ‬ 98
99
mengeluarkan (‫ْﺐ‬ ُ ‫)ﺍﻟﺘﱠﺪ ِْﺭﻳ‬, dan menjelaskan dengan sesuatu (ُ‫ )ﺍﻟﺘ ﱠ ْﻮ ِﺟ ْﻴﻪ‬hal memperhadapkan.
‫ﺗ َْﺨ ِﺮ ْﻳ ُﺞ‬
Adapun pengertian al-takhrīj yang digunakan peneliti untuk maksud kegiatan
penelitian hadis lebih lanjut adalah pengertian yang dikemukakan pada bagian huruf b ayat
1) di atas. Berangkat dari pengertian itu, maka yang dimaksud dengan takhrīj al-hadīś
dalam hal ini adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber
asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap
matan dan sanad hadis tentang penimbunan barang pokok.100

2. Tujuan dan Kegunaan Mentakhrij Hadiś


Ilmu takhrīj merupakan bagian dari ilmu agama yang perlu dipelajari dan dikuasai,
sebab di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui dari mana sumber hadis

94
Lihat A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta : Pondok Pesantren al-
Munawwir, 1984), h. 356, Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1990), h.115.
95
Lihat: Mahmūd al-Tahhān, Usūl Takhrīj al-Hadīś wa Dirāsāt al-Asānīd (Halb: Matba‘ah al-
‘Arabiyah, 1979), h. 9.
96
Lihat: Abu al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyah, Mu’jam al-Maqayis al-Lugah, Juz III (Beirut:
Dār al-Jil, 1411 H/1991 M), h. 175.
97
Lihat: Ibrahim Anis, et., al-Mu’jam al-Wasif, Juz I (Teheran al-Maktabah al-Islāmiyah, t.th.), h. 244.
98
Lihat: Karīm al-Bustamy, al-Munjid fi al-Lugah wa al-A‘lām (Beirut: Dār al-Masyriq, 1973), h. 172.
99
Lihat: Abū al-Fadl Bin Mansūr Jamāl al-Dīn Muhammad bin Mukarrām, Lisān al-‘Arab, (Bairut : Dār
al-Qadr, 1968), h. 249.
100
M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 43.
29

itu berasal. Selain itu, di dalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh,
khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadis:
a. Tujuan pokok men-takhrīj hadis ialah untuk mengetahui sumber asal hadis yang di-
takhrīj. Tujuan lainnya, untuk mengetahui keadaan hadis tersebut yang berkaitan dengan
maqbūl dan mardūd-nya. Dengan kegiatan ini, segala hadis yang banyak dikutip dan
tersebar dalam berbagai kitab. Dengan pengutipan yang bermacam-macam dan
terkadang tidak memperhatikan kaidah yang berlaku, dapat segera diketahui. Dengan ini,
sehingga menjadi jelas keadaan, baik asal maupun kualitas hadis tersebut.101
b. Adapun kegunaan takhrīj ini, antara lain:
1) Dapat mengetahui keadaan hadis sebagaimana yang dikehendaki atau yang ingin
dicapai pada tujuan pokok di atas.
2) Dapat mengetahui keadaan sanad hadis dan silsilahnya berapapun banyaknya,
apakah sanad-sanad itu bersambung atau tidak.
3) Dapat meningkatkan kualitas suatu hadis dari daif menjadi hasan, karena
ditemukannya syāhid atau mutābi‘.
4) Dapat mengetahui bagaimana pandangan para ulama terhadap kesahihan suatu
hadis.
5) Dapat membedakan mana para perawi yang ditinggalkan atau dipakai.
6) Dapat menetapkan suatu hadis yang dipandang mubham menjadi tidak mubham
karena ditemukannya beberapa jalan sanad atau sebaliknya.
7) Dapat menetapkan muttasil kepada hadis yang diriwayatkan dengan menggunakan
alat al-tah}ammul wa al-adā’ (kata-kata yang dipakai dalam penerimaan dan
periwayatan hadis) dengan ‘an‘anah (kata-kata ‘an/dari).
8) Dapat memastikan identitas para periwayat, baik berkaitan dengan kunyah
(julukan), laqab (gelar) atau nasab (keturunan), dengan nama yang jelas. Masih
banyak lagi kegunaan lainnya, khususnya yang berkaitan dengan kelemahan-
kelemahan atau kekuatan-kekuatan hadis dari sudut sanadnya.102 Takhrīj al-hadīś
dapat diibaratkan sebagai pintu masuk bagi kegiatan penelitian hadis.103
3. Metode Takhrīj al-Hadīś
Penelusuran hadiś (takhrīj al-hadīś) kepada sumber aslinya tidak mudah,
sebagaimana penelusuran ayat al-Qur’an. Penelusuran terhadap ayat al-Qur’an cukup
diperlukan sebuah kitab kamus al-Qur’an, misalnya al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfāz al-
Qur’ān al-Karīm, sedangkan penelusuran terhadap hadis Nabi tidak cukup hanya
menggunakan sebuah kamus, karena hadis Nabi terhimpun dalam banyak kitab dengan
metode peneliti an yang beragam.104 Ambo Asse dalam bukunya menjelaskan bahwa istilah
takhrīj al-hadīś dapat pula diartikan dengan mengeluarkan hadis dari kitab-kitab sumber

101
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 114. Lihat: Abū
Muhammad ‘Abd al-Mahdiy, Turuq Takhrīj Hadīś Rasūlillāh shalla ‘alaihi wa sallam, Dār al-I‘tisām, t.th.), h.
11.
102
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h. 114-115.
103
Suryadi Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis (Cet. I; Yogyakarta: Teras,
2009), h. 31.
104
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi Refleksi Pembaruan Pemikiran (Cet. I;
Jakarta: Renaisan, 2005), h. 72.
30

yang standar untuk diteliti tingkat akurasi dan validitasnya, dengan menggunakan metode
atau teknik tertentu berdasarkan petunjuk-petunjuk yang dikembangkan oleh ulama hadis,
untuk mendapatkan hadis-hadis yang berkualitas sahih dan dapat diamalkan atau dijadikan
sebagai hujjah.105

B. Klasifikasi Hadiś yang Mengandung Makna Penimbunan


Dari kedua petunjuk kitab takhrīj tersebut ditambah metode digital ditemukan
bahwa hadiś-hadiś tentang ihtikār dapat diklasifikasi dalam lima bagian besar, yaitu:
1. Hadiś tentang larangan menimbun ( ihtikār)
‫َﻒ‬ ُ ‫ﻲ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ْﺍﻷَﺣْ ﻨ‬ ‫ ﺑْﻦُ ﻳَ ِﺰﻳﺪَ ﺑ ِْﻦ ْﺍﻷ َ ْﻗﻨ َِﻊ ْﺍﻟﺒَﺎ ِﻫ ِﻠ ﱡ‬¢‫ﺍ‬ِ ‫ﻋ ْﺒﺪ ُ ﱠ‬َ ‫ﺎﻥ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬ َ ‫ﻋ ْﻦ ْﺍﻟ ُﻤﻐ‬
ِ ‫ِﻴﺮ ِﺓ ﺑ ِْﻦ ﺍﻟﻨﱡ ْﻌ َﻤ‬ َ ُ‫ﺳ ْﻔﻴَﺎﻥ‬ُ ‫ﻕ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬ ِ ‫ﺍﻟﺮ ﱠﺯﺍ‬ َ ‫َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬
‫ﻋ ْﺒﺪ ُ ﱠ‬
ُ‫ﺻﺎﺣِ ﺐ‬ َ َ َ ْ
َ ‫ﺎﺱ ﻣِ ْﻨﻪُ ﺣِ ﻴﻦَ َﻳ َﺮ ْﻭﻧَﻪُ ﻗَﺎ َﻝ ﻗُﻠﺖُ َﻣ ْﻦ ﺃ ْﻧﺖَ ﻗَﺎ َﻝ ﺃﻧَﺎ ﺃﺑُﻮ ﺫَ ٍ ّﺭ‬ َ ْ
ُ ‫ ُﻛ ْﻨﺖُ ِﺑﺎﻟ َﻤﺪِﻳﻨَ ِﺔ َﻓﺈِﺫَﺍ ﺃﻧَﺎ ِﺑ َﺮ ُﺟ ٍﻞ ﻳَﻔ ﱡِﺮ ﺍﻟﻨﱠ‬:‫ﺑْﻦُ َﻗﻴ ٍْﺲ ﻗَﺎ َﻝ‬
‫ﺳﻮ ُﻝ‬ ُ ‫ﻋ ْﻨﻪُ َﺭ‬ ‫ﻢ‬
َ ْ َ َُ
‫ﻫ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻬ‬‫ﻨ‬ْ ‫ﻳ‬ َ‫ﺎﻥ‬ َ
‫ﻛ‬ ‫ِﻱ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﱠ‬ ‫ﺎﻟ‬‫ﺑ‬ ‫ﻮﺯ‬
ِ ِ ُ ‫ﻨ‬ ُ
‫ﻜ‬ ْ
‫ﺍﻟ‬ ْ
‫ﻦ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻢ‬
َ ْ َ ُ
‫ﻫ‬ ‫ﺎ‬‫ﻬ‬ ْ
‫ﻧ‬ َ ‫ﺃ‬ ّ
‫ِﻲ‬ ‫ﻧ‬‫ﺇ‬
ِ ‫ﻝ‬
َ ‫ﺎ‬َ ‫ﻗ‬ َ ‫ﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َﻝ ﻗُ ْﻠﺖُ َﻣﺎ ﻳُﻔ ﱡِﺮ ﺍﻟﻨﱠ‬
‫ﺎﺱ‬ َ ‫ﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ َﻭ‬
َ ُ¢‫ﺍ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﱠ‬ َ ¢‫ﺍ‬ِ ‫ﺳﻮ ِﻝ ﱠ‬ ُ ‫َﺭ‬
106 ‫ﱠ‬ ‫ﱠ‬
.‫ﺳﻠ َﻢ‬ َ
َ ‫ﻋﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ‬ ‫ﺻﻠﻰ ﱠ‬
َ ُ¢‫ﺍ‬ َ ¢‫ﺍ‬ ِ‫ﱠ‬

Artinya:
Ahmad berkata: telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-Razzāq, telah menceritakan
kepada kami Sufyān dari Mugīrah bin al-Nu‘mān dia berkata, telah menceritakan
kepada kami ‘Abdullāh bin Yazīd bin al-Aqna‘ al-Bāhiliy dia berkata, telah
menceritakan kepada kami al-Ahnaf bin Qais dia berkata, Ketika aku di Madinah ada
seorang lelaki yang jika orang-orang melihatnya mereka akan menjauh darinya. Al-
Ahnaf berkata, Aku bertanya, Siapa anda? Dia menjawab, Saya Abū Zar, sahabat
Rasulullah saw. Al-Ahnāf berkata, Aku bertanya, Kenapa orang-orang menjauh
darimu? Dia menjawab, Aku telah melarang mereka untuk menimbun harta
sebagaimana Nabi saw. pernah melarangnya.
2. Hadis tentang ih}tikār merupakan perbuatan salah
‫ﺳﻌِﻴﺪ ُ ْﺑ ُﻦ‬ َ َ‫ﺳﻌِﻴ ٍﺪ ﻗَﺎ َﻝ َﻛﺎﻥ‬ َ ُ‫ﻋ ْﻦ ﻳَﺤْ ﻴَﻰ َﻭﻫ َُﻮ ﺍﺑْﻦ‬ َ ‫ﺳﻠَ ْﻴ َﻤﺎﻥُ ﻳَ ْﻌﻨِﻲ ﺍﺑْﻦَ ِﺑ َﻼ ٍﻝ‬ُ ‫ﺐ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬ٍ َ‫ِ ﺑْﻦُ َﻣ ْﺴﻠَ َﻤﺔَ ﺑ ِْﻦ ﻗَ ْﻌﻨ‬¢‫ﺍ‬ َ ‫َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬
‫ﻋ ْﺒﺪ ُ ﱠ‬
‫ ﻓَﻘِﻴ َﻞ ِﻟ َﺴﻌِﻴ ٍﺪ ﻓَﺈِﻧﻚَﱠ‬.‫ﺊ‬ ‫ﱠ‬
ٌ ِ‫ﺳﻠ َﻢ َﻣ ْﻦ ﺍﺣْ ﺘَﻜ ََﺮ ﻓَ ُﻬ َﻮ ﺧَﺎﻁ‬ َ
َ ‫ﻋﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ‬ ‫ﺻﻠﻰ ﱠ‬
َ ُ¢‫ﺍ‬ ‫ﱠ‬ َ ¢‫ﺍ‬ ِ ‫ﺳﻮ ُﻝ ﱠ‬ َ َ َ ُ
ُ ‫ ﻗﺎ َﻝ َﺭ‬:‫ﺐ ﻳُ َﺤﺪِّﺙ ﺃ ﱠﻥ َﻣ ْﻌ َﻤ ًﺮﺍ ﻗﺎ َﻝ‬ َ ‫ْﺍﻟ ُﻤ‬
ِ ‫ﺴﻴ ﱠ‬
107 ْ ‫ﱠ‬
ُ ‫ﺗَﺤْ ﺘَﻜ ُِﺮ ﻗَﺎ َﻝ َﺳﻌِﻴﺪ ٌ ِﺇﻥﱠ َﻣ ْﻌ َﻤ ًﺮﺍ ﺍﻟﺬِﻱ َﻛﺎﻥَ ﻳُ َﺤﺪ‬
ُ ‫ِّﺙ َﻫﺬَﺍ ﺍﻟ َﺤ ِﺪﻳﺚَ َﻛﺎﻥَ ﻳَﺤْ ﺘ‬
.‫َﻜِﺮ‬

Artinya:
Muslim berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullāh bin Maslamah bin Qa‘nab
telah menceritakan kepada kami Sulaimān -yaitu Ibnu Bilāl- dari Yahyā -yaitu Ibnu
Sa‘īd- dia berkata, Sa‘īd bin Musayyab menceritakan bahwa Ma‘mar berkata, Rasulullah
saw., bersabda: Barangsiapa menimbun barang, maka dia berdosa. Maka aku katakan
kepada Said; Sesungguhnya engkau menimbun. Ia berkata; sesungguhnya Ma’mar yang
menceritakan hadis larangan menimbun.
3. Hadiś tentang sanksi ihtikār adalah laknat

105
Ambo Asse, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi saw. (Cet. I; Makassar: Dar al-Hikmah
wa al-‘Ulum AlauddinPres, 2010), h. 168.
106
Abū ‘Abdillāh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Asbahiy, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz V
(Cet. I; Bairut: ‘Alam al-Kutub, 1419 H/1998 M), h. 164. Selanjutnya disebut Ahmad bin Hanbal.
107
Abū al-Husain Muslim bin al-Hajjāj al-Naisābuūriy, Sahīh Muslim, Juz III (Bairut: Dār Ihyā’ al-Turās
al-‘Arabiy, t.th.), h. 1227. Selanjutnya disebut Muslim. Lihat juga: Ahmad bin Hanbal, Sunan Ahmad Ibn
Hanbal, Juz II, h. 351.
31

‫ﻲ ِ ﺑ ِْﻦ ﺯَ ْﻳ ِﺪ ﺑ ِْﻦ‬ َ ‫ﺳﺎﻟ ِِﻢ ﺑ ِْﻦ ﺛ َ ْﻮﺑَﺎﻥَ َﻋ ْﻦ‬


ّ ‫ﻋ ِﻠ‬ َ ‫ﻲ ِ ﺑ ِْﻦ‬ َ ‫ﻲ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﺃَﺣْ َﻤﺪَ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺇِﺳ َْﺮﺍﺋِﻴ ُﻞ َﻋ ْﻦ‬
ّ ‫ﻋ ِﻠ‬ َ ‫ﻲ ٍ ْﺍﻟ َﺠ ْﻬ‬
‫ﻀﻤِ ﱡ‬ َ ُ‫ﺼ ُﺮ ﺑْﻦ‬
ّ ‫ﻋ ِﻠ‬ ْ َ‫َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﻧ‬
ٌ ‫ِﺐ َﻣ ْﺮ ُﺯ‬
‫ﻭﻕ‬ ُ ‫ﺳﻠﱠ َﻢ ْﺍﻟ َﺠﺎﻟ‬
َ ‫ﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ َﻭ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﱠ‬
َ ُ¢‫ﺍ‬ َ ¢‫ﺍ‬ ِ ‫ﺳﻮ ُﻝ ﱠ‬ ُ ‫ ﻗَﺎ َﻝ َﺭ‬:‫ﺏ ﻗَﺎ َﻝ‬ ِ ‫َﻄﺎ‬ ‫ﻋ َﻤ َﺮ ﺑ ِْﻦ ْﺍﻟﺨ ﱠ‬
ُ ‫ﺐ َﻋ ْﻦ‬ َ ‫ﺳﻌِﻴ ِﺪ ﺑ ِْﻦ ْﺍﻟ ُﻤ‬
ِ ‫ﺴﻴ ﱠ‬ َ ‫ﻋﺎﻥَ َﻋ ْﻦ‬ َ ‫ُﺟ ْﺪ‬
108
ٌ.‫َﻜِﺮ َﻣ ْﻠﻌُﻮﻥ‬
ُ ‫َﻭ ْﺍﻟ ُﻤﺤْ ﺘ‬

Artinya:
Ibn Mājah: Telah menceritakan kepada kami Nasr bin ‘Ali al-Jahdamiy, telah
menceritakan kepada kami Abā Ahmad, telah menceritakan kepada kami Isrā’īl dari
‘Ali bin Sālim bin Saubān dari ‘Ali bin Zaid bin Jud‘ān dari Sa‘īd bin al-Musayyab
dari ‘Umar bin Khattāb ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: Orang yang mencari
nafkah itu diberi rizki dan orang yang menimbun itu dilaknat.
4. Hadiś tentang sanksi ihtikār 40 hari berarti menjauhkan diri dari Allah, dan Allah
pula jauh dari-Nya.
‫ﻋ َﻤ َﺮ‬ُ ‫ﻋ ِﻦ ﺍﺑ ِْﻦ‬ َ ِ‫ﻲ‬ ّ ِ‫ِﻴﺮ ﺑ ِْﻦ ُﻣ ﱠﺮﺓ َ ْﺍﻟ َﺤﻀ َْﺮﻣ‬ ِ ‫ﻋ ْﻦ َﻛﺜ‬ َ ‫ﺍﻟﺰﺍﻫ ِِﺮﻳﱠ ِﺔ‬ ‫ﺻﺒَ ُﻎ ﺑْﻦُ ﺯَ ْﻳ ٍﺪ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ِﺑ ْﺸ ٍﺮ َﻋ ْﻦ ﺃ َ ِﺑﻲ ﱠ‬ ْ َ ‫َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﻳَ ِﺰﻳﺪُ ﺃ َ ْﺧﺒَ َﺮﻧَﺎ ﺃ‬
‫ُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻣِ ْﻨﻪُ َﻭﺃَﻳﱡ َﻤﺎ‬¢‫ﺍ‬
‫ﺉ ﱠ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺑ‬
َ َِ َ ‫ﻭ‬ ‫ﻰ‬ َ ‫ﻟ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻌ‬َ
َ ِ ‫ﺗ‬ ¢‫ﺍ‬‫ﱠ‬ ْ
‫ﻦ‬ ‫ﺉ‬
ِ‫َ ِ َ ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺑ‬ ْ
‫ﺪ‬ َ ‫ﻘ‬ َ ‫ﻓ‬ ً ‫ﺔ‬ َ ‫ﻠ‬ ‫ﻴ‬ َ َ َ
ْ َ‫ﻋ ْ ِ َ َ َ َ ﺍﺣْ َ َ ً ْ َ ِﻴﻦ‬
‫ﻟ‬ ‫ﻌ‬‫ﺑ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺃ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻣ‬‫ﺎ‬‫ﻌ‬ ‫ﻁ‬ ‫َﺮ‬ ‫ﻜ‬ َ ‫ﺘ‬ ‫ﻦ‬ْ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬‫ﱠ‬ ‫ﻠ‬‫ﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬‫ﻴ‬َ ‫ﻠ‬ َ ُ¢‫ﺍ‬‫ﺻﻠﱠﻰ ﱠ‬ َ ِ‫ﻲ‬ ّ ‫ﻋ ْﻦ ﺍﻟﻨﱠ ِﺒ‬ َ
109
َ
.‫ ﺗَﻌَﺎﻟﻰ‬¢‫ﺍ‬ ُ
ِ ‫َﺖ ﻣِ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ِﺫ ﱠﻣﺔ ﱠ‬ْ ‫ﺻﺒَ َﺢ ﻓِﻴ ِﻬ ْﻢ ْﺍﻣ ُﺮ ٌﺅ َﺟﺎ ِﺋ ٌﻊ ﻓَ َﻘ ْﺪ ﺑَ ِﺮﺋ‬ َ
ْ ‫ﺻ ٍﺔ ﺃ‬ َ ‫ﺃَ ْﻫ ُﻞ َﻋ ْﺮ‬
Artinya:
Ahmad berkata: telah menceritakan kepada kami Yazīd telah mengabarkan kepada
kami Asbāg bin Zaid telah menceritakan kepada kami Abū Bisyr dari Abū al-
Zāhiriyyah dari Kasīr bin Murrah al-Hadramiy dari Ibn ‘Umar dari Nabi saw.:
Barangsiapa menimbun makanan hingga empat puluh malam, berarti ia telah
berlepas diri dari Allah dan Allah juga berlepas diri dari-Nya. Dan siapa saja
memiliki harta melimpah sedang di tengah-tengah mereka ada seorang yang
kelaparan, maka sungguh perlindungan Allah telah terlepas dari mereka.
5. Hadiś tentang sanksi ihtikār adalah penyakit juzam dan bangkrut.
َ‫ﻋ ْﺜ َﻤﺎﻥ‬
ُ ‫ﻋ ْﻦ َﻓ ﱡﺮﻭ َﺥ َﻣ ْﻮﻟَﻰ‬ َ ‫ﻲ‬ ‫ﻲ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ْﺍﻟ َﻬ ْﻴﺜ َ ُﻢ ﺑْﻦُ َﺭﺍﻓ ٍِﻊ َﺣﺪﱠﺛَﻨِﻲ ﺃَﺑُﻮ ﻳَﺤْ ﻴَﻰ ْﺍﻟ َﻤ ِ ّﻜ ﱡ‬ ‫ِﻴﻢ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ ْﺍﻟ َﺤﻨَ ِﻔ ﱡ‬ ٍ ‫َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ َﻳﺤْ ﻴَﻰ ﺑْﻦُ َﺣﻜ‬
ْ
َ‫ﻋﻠﻰ ﺍﻟ ُﻤ ْﺴﻠِﻤِ ﻴﻦ‬ َ َ ‫ﺳﻠ َﻢ ﻳَﻘﻮ ُﻝ َﻣ ْﻦ ﺍﺣْ ﺘَﻜ ََﺮ‬ ُ ‫ﱠ‬ َ
َ ‫ﻋﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ‬َ ُ¢‫ﺍ‬‫ﺻﻠﻰ ﱠ‬ ‫ﱠ‬ َ ¢‫ﺍ‬ ِ ‫ﺳﻮ َﻝ ﱠ‬ ُ ‫ﺳﻤِ ْﻌﺖُ َﺭ‬ َ :‫ﺏ ﻗَﺎ َﻝ‬ ‫ﱠ‬ ْ
ِ ‫ﻋ َﻤ َﺮ ﺑ ِْﻦ ﺍﻟﺨَﻄﺎ‬ ُ ‫ﻋ ْﻦ‬ َ َ‫ﻋﻔﱠﺎﻥ‬ َ ‫ﺑ ِْﻦ‬
110
.‫ﺍﻹ ْﻓ َﻼ ِﺱ‬ ِْ ‫ُ ِﺑ ْﺎﻟ ُﺠﺬَ ِﺍﻡ َﻭ‬¢‫ﺍ‬
‫ﺿ َﺮﺑَﻪُ ﱠ‬ َ ‫ﻁﻌَﺎ ًﻣﺎ‬ َ
Artinya:
Ibn Mājah berkata: telah menceritakan kepada kami Yahyā bin Hākim berkata, telah
menceritakan kepada kami Abū Bakr al-Hanafiy berkata, telah menceritakan kepada
kami al-Haisam bin Rāfi‘ berkata, telah menceritakan kepadaku Abū Yahyā al-
Makki dari Farūkh -mantan budak ‘Usman bin ‘Affān- dari ‘Umar bin al-Khattāb ia
berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa menimbun
makanan atas kaum muslimin, maka Allah akan menghukumnya dengan penyakit
lepra dan kerugian.

C. Analisis Kualitas Penimbunan.


1. Kebaikan Menimbun.

108
Abū ‘Abdillāh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīniy Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, Juz II (Bairut: Dār
al-Fikr, t.th.), h. 728. Selanjutnya disebut Ibn Mājah. Lihat juga: Abū Muhammad ‘Abdullāh bin ‘Abd al-
Rahmān al-Dārimiy, Sunan al-Dārimiy, Juz II (Cet. I; Bairut: Dār al-Kitāb al-‘Arabiy, 1407 H), h. 324.
109
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Manbal, Juz II, h. 33; lihat juga: Al-Hākim, Abu ‘Abdillah
Muhammad bin ‘Abdullah, al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain. Juz II, h. 14.
110
Ibn Mājah, Sunan Ibn Majah, Juz II, h. 729.
32

a) Bila penimbunan atau penahanan barang dilakukan beberapa hari saja


sebagai proses pendistribusian barang dari produsen ke konsumen, maka
penimbunan atau penahanan seperti ini belum dianggap sebagai sesuatu
yang membahayakan, karena bukan dengan niat untuk menjual dengan harga
yang tinggi.111
b) Penimbunan barang yang dikoordinasikan oleh pemerintah atau individu
dengan maksud untuk menghadapi musim paceklik, dan nantinya akan dijual
dengan harga yang wajar atau dibagikan secara Cuma-Cuma tentu saja
diperbolehkan.112
c) Dalam sejarah, Yusuf pernah menimbun barang dalam jumlah yang sangat
besar berdasarkan pada mimpi rajayang ia ta’birkan bahwa negeri itu akan
megalami musim kemarau sangat panjang. Ketika mimpi tersebut terjadi,
peduduk negeri berdatangan untuk membeli barang yang pengelolaannya
dipercayakan kepada Yusuf.113
Dari beberapa penjelasan kebaikan penimbunan barang tersebut di
atas, maka diperbolehkan jika penimbunan itu dilakukan untuk
pendistribuasian dari produsen ke konsumen, atau penimbunan itu untuk
menghadapi musim paceklik, seperti penimbunan yang dilakukan oleh
Yusuf ketika menghadapi musim paceklik.
2. Keburukan Menimbun.
a) Keburukan penimbunan, Islam melarang penimbunan atau hal-halal yang
menghambat pendistribusian barang sampai ke konsumen. Penimbunan
dilarang agar harta tidak beredar hanya dikalangan orang-orang tertentu.114
b) Keburukan penimbunan merupakan perilaku ekonomi yang merugikan
orang lain. Terlebih dengan sengaja menyimpan barang kebutuhan pokok
yang mengakibatkan kelangkaan komoditas di Pasar sehingga harga barang
menjadi naik lebih mahal (ihtikar). Menimbun jelas merugikan banyak
orang sehingga disalahkan oleh Rasulullah saw.115
c) Keburukan penimbunan diancam bagi pelaku penimbunan adalah
sebagaimana hadis riwayat Umar Ibn Khattab diancam kebangkrutan dan
termasukorang yang melakukan kesalahan, dan terlepas dari Allah swt.116
d) Keburukan menimbun adalah Rasulullah saw., menyatakan bahwa siapa
yang merusak harga Pasar sehingga harga itu melenjak tajam, maka Allah
swt., akan menempatkannya di dalam Neraka pada hari kiamat.117
Keburukan penimbunan karena, menghambat pendistribusian barang
untuk sampai kekonsumen dan hanya beredae dikalangan orang-oeang
tertentusaja, merugikan orang banyak, dianggap melakukan kesalahan dan
terlepas diri dari Allah swt., serta akan ditempatkan di neraka pada hari
kiamat.

111
Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, h. 71.
112
Rachmat Syafe’i, al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum, h. 177.
113
Rachmat Syafe’i, al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum, h. 178.
114
Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, h. 67.
115
Dwi Suwiknyo, Ayat-Ayat Ekonomi Islam (Komfilasi Tafsir), h. 30.
116
Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, h. 69.
117
Andi Darussalam, Etika Bisnis Menurut Hadis, h. 97.
33

V. ANALISIS PEMAHAMAN TERHADAP HADIS-HADIS TENTANG


LARANGAN MENIMBUN BARANG POKOK MENURUT HADIS DAN
EKONOMI ISLAM

A. Kualitas Terhadap Hadiś-Hadiś Tentang Ihtikar.

1. Analisis hadis tentang larangan ihtikar.

Hadiś yang menjadi objek kajian tentang larangan al-ihtikar tidak memakai lafal
ihtikār, tetapi memakai lafal al-kunūz. Dalam riwayat lain memakai lafal al-kanz.118 Kata
al-kunūz dan al-kanz merupakan isim masdar dari fiil madi ‘kanaza’ ( َ‫) َﻛﻨَﺰ‬, berasal dari akar
119
kata kaf, nun, dan zai. Memiliki makna dasar ٍ‫َﻲء‬ْ ‫( ﺗ َ َﺠ ﱡﻤ ٍﻊ ﻓِﻲ ﺷ‬mengumpulkan sesuatu).
Dikatakan al-kunūz ‘menimbun barang’ karena barang-barang yang diperjualbelikan itu
dikumpulkan sedikit demi sedikit kemudian di naikkan harganya.

Dalam kitab ‘Umdah al-Qāri’ Syarh Şahīh al-Bukhāriy kata al-kunūz secara bahasa
diartikan ‫‘ ﺍﻟ َﻤﺎﻝ ﺍﻟﻤﺪﻓﻮﻥ‬harta terpendam/tersimpan dalam tanah’.120
Maksudnya dua kata memiliki makna yang sama yakni al-Kunuz dan al-Mal artinya
harta atau barang. Tetapi barang yang diteliti oleh penulis ialah harta atau barang kebutuhan
masyarakat lalu ditimbun untuk menaikkan harga.
Dari beberapa pengertian di atas tentang kalimat “kanzun dan kunuz”, maka dapat
dibedakan bahwa, kanzun ialah “perbendaharaan” atau harta yang banyak, yang dijaga dengan baik
cara pembelanjaannya dengan cara yang hemat, tidak terlalu bakhil atau tidak terlalu kikir.
Sedangkan kata kunuz ialah, “menimbun barang” karena barang-barang yang diperjual belikan itu
dikumpul sedikit-demi sedikit kemudian dinaikkan harganya.
Sehubungan dengan pengertian di atas Rasulullah saw., dalam hadiŝnya yang diriwayatkan
oleh Umar Ibn Khattāb yang menyatakan:
‫ َﻜ َﺮ „َ َﲆ اﻟْ ُﻤ ْﺴ ِﻠ ِﻤ َﲔ َﻃ َﻌﺎ ًﻣﺎ‬,َ ‫ َﲅ ﯾ َ ُﻘﻮ ُل َﻣ ْﻦ ا ْﺣ‬# ‫ا¸ „َﻠ َ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬ ِ # ‫َﻄ ِﺎب ﻗَﺎ َل َ ِﲰ ْﻌ ُﺖ َر ُﺳﻮ َل‬# ‫ ِﻦ اﻟْﺨ‬Žْ ‫َﻋ ْﻦ ُ َﲻ َﺮ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬
121
.‫ا¸ ِ•ﻟْ ُ¨ َﺬا ِم َو ْاﻻﻓْ َﻼ ِس‬
ُ # ‫ﴐﺑ َ ُﻪ‬
ََ
Artinya:
¼
Dari Umar Ibn Khattāb ia berkata, Aku mendengar Rasulullah saw., bersabda:
Barangsiapa menimbun makanan atas kaum muslimin, maka Allah akan
menghukumnya dengan penyakit dan kerugian.

118
Ahmad bin Hanbal Abū ‘Abdullah al-Syaibānī, Musnad al-Imām Ahmad bin Hambal, juz XXXV
(Cairo: Muassasah Qartiyah, t.th.), h. 357 dan 425.
119
Abu al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Mu‘jam Maqāyīs al-Lugah, Juz V (Beirut: Dār al-
Fikr, 1399 H / 1979 M), h. 141.
120
Abū Muhammad Mahmūd bin Ahmad bin Mūsā bin Ahmad bin Husain al-Gaitābiy al-Hanafiy
Badar al-Dīn al-‘Ainiy, ‘Umdah al-Qāri’ Syarh Sahīh al-Bukhāriy, juz VIII (Beirut: Dār Ihyā’ al-Turās al-
‘Arabiy, t.th.), h. 265.
121
Muhammad bin Yazīd Abu ‘Abdullāh al-Qaswīny, Sunan Ibn Mājah, Juz.II, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th), h.729, selanjutnya disebut Ibn Mājah.
34

Pedagang dan pengusaha yang menimbun barang dagangannya dan menjualnya


pada saat harga barang melambung tinggi diancam oleh Allah swt., berupa:
1) Penimbun Barang Pokok Akan Diseterika di Neraka.
Sebagaimana al-Ahnaf bin Qais memberitakan bahwa, Rasulullah saw., bersabda:
“Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang menimbun hartanya dengan batu yang
distrikakan kepadanya di Neraka jahanam.” Sebagaimana bunyi hadisnya yang
menyatakan:
‫ َﻌ ِﺮ َواﻟ ِﺜ ّ َﯿ ِﺎب َواﻟْﻬَ ْﯿﺌَ ِﺔ‬#‫ ٌﻞ ﺧ َِﺸ ُﻦ اﻟﺸ‬-ُ ‫ ٍْﺶ ﻓَ َ¨ َﺎء َر‬Ó‫ﻠَ ْﺴ ُﺖ ا َﱃ َﻣ َﻼ ِﻣ ْﻦ ﻗُ َﺮ‬-َ ‫َ ُ ْﻢ ﻗَﺎ َل‬Ñ#‫ﺪ‬3َ ‫ْ ٍﺲ‬°َ‫ َﻦ ﻗ‬Žْ ‫َ َﻒ‬E‫ن ْ 'ا( ْﺣ‬# H'
122 Ò ¼
ِ
﴾‫ َ ﴿ﺮﻭﺍﻩﺍﻟﺒﺧﺎﺮﻯ‬#‫ﲌ‬Üَ َ ‫َ ِر‬Ú ‫ َﺮﺿْ ٍﻒ ُ ْﳛ َﻤ ﻰ „َﻠ ْﯿﻪ ِﰲ‬Žِ ‫ ِﺰ َˆﻦ‬Æِ ‫َﴩ ا ْﻟ َﲀ‬
َ ْ ّ ِ f ‫ﰒ ﻗَﺎ َل‬# ُ ‫ َﲅ‬# ‫ﱴ ﻗَﺎ َم „َﻠَﳱْ ِ ْﻢ ﻓَ َﺴ‬# ‫َﺣ‬

Artinya:
Al-Ahnaf bin Qais menceritakan kepada mereka, katanya: Aku duduk bersama para
pembesar orang-orang Quraisy kemudian datanglah seseorang yang rambut pakaian dan
penampilannya berantakan hingga ia berdiri di antara mereka lalu ia mengucapkan
salam dan berkata,: “Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang menimbun
hartanya dengan batu yang diseterikakan kepadanya di Neraka jahanam.”
Hadiŝ di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang suka menimbun hartanya
diancam oleh Allah swt., yakni akan disetrikakan hartanya dengan batu di Neraka jahanam.
Penimbunan dalam Islam dilarang karena ada beberapa faktor, antara lain adalah:
a) Penimbunan atau ihtikār dilarang oleh Islam karena akan mengakibatkan kerugian pada
pihak lain. Dengan demikian, hal ini bertentangan dengan prinsip pokok dari fungsi
kekhalifahan manusia di muka bumi.123 Dengan demikian, di samping masyarakat,
pemerintah mempunyai keharusan dalam melarang praktik ihtikār ini.124
b) Dari sudut pandang ekonomi, ihtikār tidak dibenarkan karena akan menyebabkan tidak
transparan dan keruhnya pasar serta menyulitkan pengendalian pasar. Menimbun,
membekukan, atau menahan dan menjauhkannya dari peredaran akan menimbulkan
bahaya terhadap perekonomian dan moral.125 Bila suatu barang tidak ditimbun, tentu
akan ikut andil dalam usaha-usaha produktif yang akan memberikan kesempatan-
kesempatan baru seperti menyelesaikan masalah kurangnya pangan, menambah
pendapatan, mendorong peningkatan produksi, menstabilkan harga sampai menciptakan
lapangan kerja.126 Perlaku penimbunan akan menimbulkan spekulasi-spekulasi yang
berakibat pada kerugian pihak konsumen dan dapat menghancurkan stabilitas ekonomi
umat.127

122
Muhammad bin Ismā’īl bin Ibrāhm Abu ‘Abdillāh al-Bukhāry, Sahīh al-Bukhāry, Juz II, (Cet.I;
Beirut: Dar al-Fikr, 1407H / 1987M), h. 510, selanjutnya disebut al-Bukhāry
123
Lukman Fauroni, Etika Bisns dalam al-Qur’an, Cet. I; Yogyakarta: Putaka Pesantren, 2006. h.
132.
124
Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalm alQur’an, h. 132.
125
Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam al-Qur’an, h. 132.
126
Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Ial-Qur’an, h. 132-133.
127
Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam al-Qur’an, h. 133.
35

Dengan demikian menurut pandangan Islam dan Ekonomi, bahwa perbuatan


ihtkar itu dilarang karena akan menimbulkan harga tidak stabil di pasar, akan
meloncatnya harga yang tinggi, menyulitkan masyarakat, dan akan mengakibatkan
kerugian masyarakat.
Dalam hukum ekonomi Islam, mempunyai pandangan yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat yaitu :
a. Memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana
b. Memenuhi kebutuhan keluarga
c. Memenuhi kebutuhan jangka panjang
d. Menyediakan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan
e. Memberikan bantuan sosial dan sumbangan menurut jalan Allah.128
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa menurut pandangan Islam dan ekonomi,
jika terjadi penimbunan barang maka akan berdampak untuk merugikan orang banyak dan
akan menimbulkan bahaya terhadap perekonomian dan moral, serta tujuan tersebut akan
tercapai apabila penimbunan dan penahanan barang dapat terhindarkan.
Al-Dārimy berstatus sebagai periwayat terakhir dan sekaligus sebagai mukharrij, ia
menerima hadis tersebut dari Ahmad bin Khālid dengan sigāt haddas\ana. Ahmad
menerima hadis itu dari Muhammad bin Ishāq dengan sigāt haddasana juga. Muhammad
Ibn Ishāq menerima hadis itu dari Muhammad bin Ibrāhīm dengan sigāt ‘an. Muhammad
bin Ibrāhīm menerima hadis itu dari Sa’īd dengan sigāt ‘an juga. Sa’īd menerima hadis itu
dari Ma’mar bin ‘Abdullāh dengan sigāt ‘an juga. Ma’mar bin ‘Abdullāh menerima hadis
itu dengan sigāt sami’tu. Ma’mar bin ‘Abdullāh, seorang sahabat Nabi, mengatakan hadis
tersebut menggunakan lafal sami’tu Rasulullah saw., Isi hadis itu berkenaan dengan
qauliyah atau ucapan Nabi.
Setelah diteliti, ternyata Ma’mar bin ‘Abdullāh adalah seorang periwayat yang
siqah (terpercaya), dia menerima hadis dari Rasulullah saw., dengan menggunakan lafal
sami’tu artinya ia mendengar langsung dengan menggunakan panca indra pendengaran.
Hadis Ma’mar bin ‘Abdullāh melalui jalur periwayat al-Dārimy tentang “Tidak
menimbun kecuali ia akan berdosa.” Beliau mengucapkan hingga dua kali. Jika suatu
perintah atau larangan yang diucapkan berulang kali maka dapat dipahami bahwa sesuatu
itu mutlak dikerjakan dan tidak boleh sama sekali dilanggar. Pada hakikatnya, di dalam
Islam dilarang menimbun atau hal-hal yang menghambat pendistribusian barang sampai ke
konsumen. Menimbun adalah membeli barang dalam jumlah yang banyak kemudian
menyimpannya dengan maksud untuk menjualnya dengan harga tinggi. Penimbunan
dilarang agar harta tidak beredar hanya di kalangan orang-orang tertentu sebagaimana misi
Islam.129

Dalam hadis yang lain dari jalur riwayat Ahmad sebagai berikut:
‫ ِﰊ ﻫ َُﺮ ْˆ َﺮ َة ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل‬H' ‫ ِﰊ َﺳﻠ َ َﻤ َﺔ َﻋ ْﻦ‬H' ‫ ِﻦ „َﻠْﻘَ َﻤ َﺔ َﻋ ْﻦ‬Žْ ‫ ِﻦ َ ْﲻ ِﺮو‬Žْ ‫ﻤ ِﺪ‬# ‫ﴩ َﻋ ْﻦ ُﻣ َﺤ‬
ٍ َ ‫ﺑُﻮ َﻣ ْﻌ‬H' ‫ﺪﺛَ َﻨﺎ‬# 3َ ‫ﴎﯾْ ٌﺞ‬
َ ُ ‫ﺪﺛَ َﻨﺎ‬# 3َ
130
.(‫ ْن ﯾُﻐ ِ َْﲇ ﲠِ َﺎ „َ َﲆ اﻟْ ُﻤ ْﺴ ِﻠ ِﻤ َﲔ ﻓَﻬ َُﻮ •َﺎ ِﻃ ٌﺊ )رواﻩ اﲪﺪ‬H' ُ‫َ َﻜ َﺮ ُﺣ ْﻜ َﺮ ًة ˆُ ِﺮﯾﺪ‬,‫ َﲅ َﻣ ْﻦ ا ْﺣ‬# ‫ا¸ „َﻠ َ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬ ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬ ِ#

128
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, h.3.
129
Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi (cet.I; Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 67.
130
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, h. 351
36

Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Suraij berkata; telah menceritakan kepada kami Abu
Ma’syar dari Muhammad bin ‘Amru bin al-Qamah dari Abu Salamah dari Abu
Hurairah ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa menimbun (bahan
makanan, pent) dengan maksud menaikkan harga atas kaum muslimin maka ia telah
berdosa.” (HR. Ahmad).
Hadiŝ tersebut mengisyaratkan bahwa perbuatan yang salah yaitu menyimpang dari
peraturan jual beli atau perdagangan dalam sistem ekonomi Islam yang berdasarkan al-
Qur’an dan Hadis. Dalam hadis itu, tidak ditentukan jenis barang yang dilarang ditimbun.
Akan tetapi, hadis lain yang semakna menyatakan bahwa barang yang dilarang ditimbun
adalah barang makanan.
Dalam hadis Ibn Mājah telah dijelaskan larangan menimbun barang makanan
sebagai berikut.
‫ﺮوخَ َﻣ ْﻮ َﱃ‬â َ‫ﲄ َﻋ ْﻦ ﻓ‬ â ّ ِ ‫ﺑُﻮ َ ْﳛ َﲕ اﻟْ َﻤ‬H' ‫ﺪﺛَ ِﲏ‬# 3َ ٍ ‫ ُﻦ َرا ِﻓﻊ‬Žْ ‫ﺪﺛَﻨَﺎ اﻟْ َﻬ ْﯿ َ ُﱸ‬# 3َ ‫ﻲ‬â ‫َ ْﻜ ٍﺮ اﻟْ َﺤﻨَ ِﻔ‬Ž ‫ﺑُﻮ‬H' ‫ﺪﺛَﻨَﺎ‬# 3َ ‫ ُﻦ َﺣ ِﻜ ٍﲓ‬Žْ ‫ﺪﺛَﻨَﺎ َ ْﳛ َﲕ‬# 3َ
‫َ َﻜ َﺮ „َ َﲆ‬,‫ َﲅ ﯾ َ ُﻘﻮ ُل َﻣ ْﻦ ا ْﺣ‬# ‫ا¸ „َﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬ ِ # ‫َﻄ ِﺎب ﻗَﺎ َل َ ِﲰ ْﻌ ُﺖ َر ُﺳﻮ َل‬# ‫ ِﻦ اﻟْﺨ‬Žْ ‫ َﺎن َﻋ ْﻦ ُ َﲻ َﺮ‬#‫ ِﻦ َﻋﻔ‬Žْ ‫ُﻋﺜْ َﻤ َﺎن‬
131
(‫ﻪ‬-‫ﻦ ﻣﺎ‬Ž‫ا¸ ِ•ﻟْ ُ¨ َﺬا ِم َو ْاﻻﻓْ َﻼ ِس)رواﻩ ا‬ َ َ ‫اﻟْ ُﻤ ْﺴ ِﻠ ِﻤ َﲔ َﻃ َﻌﺎ ًﻣﺎ‬
ُ # ‫ﴐﺑ َ ُﻪ‬
Artinya :
¼
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hakīm berkata, telah menceritakan kepada
kami Abu Bakr al-Hanafy berkata, telah menceritakan kepada kami al-Haisam bin
Rafi’ berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Yahya al-Makky dari Farrūkh -
mantan budak Usmān bin Affān- dari ‘Umar Ibn al-Khattāb ia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa menimbun makanan atas kaum
muslimin, maka Allah akan menghukumnya dengan penyakit dan kerugian.” (HR. Ibn
Majah)
Muncul perbedaan pendapat di kalangan Ulama tentang jenis barang yang dilarang
ditimbun. Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah, barang yang dilarang ditimbun adalah
barang kebutuhan primer. Abu Yunus berpendapat bahwa barang yang dilarang ditimbun
adalah semua barang yang dapat menyebabkan kemudaratan orang lain, termasuk emas dan
perak. Pendapat ini disepakati sebagian ulama terakhir dari Hanabilah dan sebagian Ulama
Malikiyyah dan Ibn ‘Abidin al-Syaukāny.132
Adapun ancaman bagi pelaku penimbunan sebagaimana hadis di atas adalah
kebangkrutan dan termasuk orang yang melakukan kesalahan dan terlepas dari Allah swt.
serta lebih jelas lagi ancamannya dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah yaitu
dilaknat oleh Allah swt.

131
Ibn Mājah, Sunan Ibn Majah, h.729,
132
Ibn Hajar al-Asqalāny, Fath al-Bari, (Kairo: Mustafa al-Bab al-Halabi, 1959), h. 25.
37

َ ْ ‫ﺪﺛَﻨَﺎ ا‬# 3َ َ‫ ْ َﲪﺪ‬H' ‫ﺑُﻮ‬H' ‫ﺪﺛَﻨَﺎ‬# 3َ ‫ﻲ‬â ‫ ُﻦ „َ ِ ٍ ّﲇ اﻟْ َﺠﻬْﻀَ ِﻤ‬Žْ ‫َﴫ‬
‫ ِﻦ َزﯾْ ِﺪ‬Žْ ‫ ِﻦ ﺛَ ْﻮ َ• َن َﻋ ْﻦ „َ ِ ِ ّﲇ‬Žْ ‫ ِﻦ َﺳﺎ ِﻟ ِﻢ‬Žْ ‫ﴎاﺋِﯿ ُﻞ َﻋ ْﻦ „َ ِ ِ ّﲇ‬ ُ ْ ‫ﺪﺛَﻨَﺎ ﻧ‬# 3َ
‫ َﲅ اﻟْ َ¨ﺎ ِﻟ ُﺐ‬# ‫ا¸ „َﻠ َ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬ ِ # ‫َﻄ ¼ ِﺎب ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل‬# ‫ ِﻦ اﻟْﺨ‬Žْ ‫ ِﺐ َﻋ ْﻦ ُ َﲻ َﺮ‬# °‫ ِﻦ اﻟْ ُﻤ َﺴ‬Žْ ‫ﺪْ „َ َﺎن َﻋ ْﻦ َﺳ ِﻌﯿ ِﺪ‬-ُ ‫ ِﻦ‬Žْ
133
(‫ﻪ‬-‫ﻦ ﻣﺎ‬Ž‫ﻮن )رواﻩ ا‬ ٌ ‫َﻣ ْﺮ ُز ٌوق َواﻟْ ُﻤ ْﺤ َﺘ ِﻜ ُﺮ َﻣﻠْ ُﻌ‬
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Nasr bin ‘Ali al-Jahdamy telah menceritakan kepada
kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Isrā’īl dari ‘Ali bin Sālim bin
Saubān dari ‘Ali bin Zaid bin Jud'ān dari Sa'īd bin al-Musayyab dari ‘Umar bin
Khattāb ia berkata, Rasulullāh saw., bersabda: “Orang yang mencari nafkah itu diberi
rezki dan orang yang menimbun itu dilaknat.” (HR. Ibn Majah)
Dalam kaitannya dengan hadis ini, para ahli fiqih berpendapat bahwa penimbunan
diharamkan apabila:
1. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya.
2. Barang yang ditimbun dalam usaha menunggu saat naiknya harga, misalnya emas dan
perak.
3. Penimbunan dilakukan di saat masyarakat membutuhkan, misalnya bahan bakar
minyak, beras dan lain-lain.134
Adapun mengenai waktu penimbunan tidak terbatas dalam waktu pendek maupun
panjang, jika dapat menimbulkan fluktuasi ataupun tiga syarat tersebut diatas terpenuhi
maka haram hukumnya.
Dalam sejarah Islam, banyak sekali contoh yang baik dalam jual beli atau
perdagangan. Abd al-Rahmān Azzām Pasha meriwayatkan tentang seorang saudagar Islam
yang bernama Yunus bin ‘Ubaid.
Dia menjual pakaian dengan berbagai macam harganya. Ada yang harganya 400
dirham dan ada juga yang harganya 200 dirham. Ketika tiba waktu shalat, Yunus bin
‘Ubaid pergi ke masjid dan menyuruh anak saudaranya untuk menjaga barang-barang
dagangannya. Kemudian datanglah seseorang dari kota dan menanyakan harga kain. Jual
beli pun terjadi, tetapi kain yang semestinya berharga 200 dirham dijual dengan 400
dirham. Ditengah jalan, Yunus bin ‘Ubaid yang sudah selesai dari salatnya, berjumpa
dengan pembeli kain tadi. Dihampirinya orang itu, dan dia bertanya: “Berapakah saudara
membeli kain ini?” kemudian dijawab, “400 dirham.” Kemudian ia berkata, “Harga kain ini
tidak patut melebihi 200 dirham, kembalikanlah ke tempat saudara membelinya.”
Kemudian dijawab, “Tidak apa-apa, saya menyukainya dan dikampung saya harganya 500
dirham.” Kemudian ia berkata, “Pergilah dan kembalikan, sesungguhnya nasihat dalam
agama lebih baik daripada dunia dengan segala isinya.”
Si pembeli itu pun akhirnya mengikuti nasihat Yunus bin ‘Ubaid. Sesampainya di
tempat jual beli itu, Yunus mengembalikan 200 dirham kepada orang tersebut karena harga
kain yang sebenarnya adalah 200 dirham. Kemudian Yunus menegur anak saudaranya,
“Apakah kamu tidak merasa malu? Tidakkah kamu bertakwa kepada Allah? Kamu
mengambil keuntungan sampai berlipat dan kamu meninggalkan nasihat sesama kaum
muslimin?” kemudian anak itu menjawab, “Demi Allah, dia membelinya dan itu adalah

133
Ibn Mājah, Sunan Ibn Majah, h.728
134
Ilfi Nur Diana, Ulumul Hadis, h.70. Lihat Huzaimah T Yanggo, Problema Hukum Islam
Kontemporer (Jakarta: LSIK, 1997), h. 103
38

dengan ridanya sendiri.” Lalu Yunus berkata, “Betul! Namun, apakah kamu senang
menjual baginya dengan harga yang kamu sendiri tidak senang untuk dirimu sendiri?”135
Inilah suatu contoh yang tepat untuk menggambarkan bagaimana eratnya pertalian
antara kepentingan ekonomi dan semangat sosial. Menurut paham ekonomi tidak ada
salahnya menjual barang yang semestinya berharga 200 dirham dengan harga 400 dirham.
Akan tetapi, perasaan prikemanusiaan tidak dapat membiarkan seseorang yang belum
mengetahui harga yang sebenarnya membeli dengan harga yang berlipat ganda seperti itu.

2) Hadis tentang Penimbun Dianggap Bersalah


Sebagaimana sabda Rasulullah saw., yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd sebagai
berikut.
‫ﻻ‬# ‫ َﲅ َﻻ َ ْﳛ َﺘ ِﻜ ُﺮ ا‬# ‫ا¸ „َﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬ ِ # ‫ ِﻦ َﻛ ْﻌ ٍﺐ ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل‬Žْ ‫ ِﺪ ﺑ َ ِﲏ „َ ِﺪ ِ ّي‬3َ H' ‫ ِﰊ َﻣ ْﻌ َﻤ ٍﺮ‬H' ‫ ِﻦ‬Žْ ‫َﻋ ْﻦ َﻣ ْﻌ َﻤ ِﺮ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬
¼ 136
﴾‫•َﺎ ِﻃ ٌﺊ ﴿ﺮﻭﺍﻩﺍﺑﻮ دﺍﻭﺪ‬
Artinya:
Dari Ma’mar bin Abū Ma’mar salah satu Bani ‘Ady bin Ka’b, ia berkata; Rasulullah
saw., bersabda: “Tidaklah seseorang menimbun barang, kecuali telah berbuat salah.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pedagang atau pengusaha yang menimbun
hartanya untuk tujuan akan menjualnya pada saat barang langka dan harganya melonjat
tinggi barulah dijual untuk memperoleh keuntungan yang berlipat, maka perbuatan seperti
itu dianggap bersalah.
Menurut Muhammad Salam Madkur, ihtikar sangat dilarang oleh Islam karena
menyimpan barang-barang yang yang dibutuhkan oleh orang banyak dalam kehidupannya
dan karenanya mengakibatkan kesusahan bahkan kemudaratan.137 Dalam buku Ensiklopedi
Islam jilid I dijelaskan, “Ihtikār” artinya menyimpan barang dagangan untuk menunggu
lonjaknya harga. Secara etimologi ihtikār berasal dari kata hakara yang berarti al-zulm
(aniaya) dan isā’at al-Mu’syarah (merusak pergaulan).
Kemudian kata ‫•َﺎ ِﻃ ٌﺊ‬
artinya orang yang melakukan kesalahan (dosa). Hadis
tersebut mengisyaratkan bahwa perbuatan yang salah yaitu menyimpang dari peraturan jual
beli atau perdagangan dalam sistem ekonomi Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan
Hadis.138
Dengan demikian pedagang tidak menimbun barang dagangan pada saat masyarakat
sedang membutuhkan–dengan tujuan memperoleh laba sebanyak-banyaknya– karena
menimbun dengan tujuan seperti itu hukumnya haram. 139

135
Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi dalam Perspektif Islam (Cet. I; Bandung : CV. Pustaka Setia,
2002), h. 17.
136
Abu Sulaimān bin al-Asy’as bin Syidād bin ‘Umar al-Azady Abu Dāwūd, Sunan Abi Dāwūd, Juz
X, (t.d.), h. 313, selanjutnya disebut Abu Dāwūd.
137
Lukman Fauroni, Etika Bisnis Dalam al-Qur’an, h. 131.
138
Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, Cet. I; h. 68.
139
Rachmat Syafe’i, al-Hadis, Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum, Cet. I; h. 178.
39

‫ﻻ‬# ‫ َﲅ َﻻ َ ْﳛ َﺘ ِﻜ ُﺮ ا‬# ‫ا¸ „َﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬ ِ # ‫ ِﻦ َﻛ ْﻌ ٍﺐ ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل‬Žْ ‫ ِﺪ ﺑ َ ِﲏ „َ ِﺪ ِّي‬3َ H' ‫ ِﰊ َﻣ ْﻌ َﻤ ٍﺮ‬H' ‫ ِﻦ‬Žْ ‫َﻋ ْﻦ َﻣ ْﻌ َﻤ ِﺮ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬
¼ 140
﴾‫•َﺎ ِﻃ ٌﺊ ﴿ﺮﻭﺍﻩﺍﺑﻮ دﺍﻭﺪ‬
Artinya :
Dari Ma’mar bin Abū Ma’mar salah satu Bani ‘Ady bin Ka’b, ia berkata; Rasulullah
saw., bersabda: “Tidaklah seseorang menimbun barang, kecuali telah berbuat salah.”
Hal itu mencakup semua barang dagangan yang dibutuhkan oleh kaum muslimin,
baik berupa makanan pokok maupun bukan. Rasulullāh saw., memberi predikat
penimbunan dengan ‫•َﺎ ِﻃ ٌﺊ‬
artinya orang yang berbuat dosa dan bukanlah perkara yang
ringan karena Allah swt., juga telah menyebut Firaun dan Hāman beserta tentaranya dengan
istilah yang sama. Sebagaimana Firman-Nya, “Sesungguhnya Fir’aun dan Hāman beserta
tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.” (QS al-Qasās / 28: 8).141
Dengan demikian, maka hadis riwayat Ma’mar bin Abdullah tentang penimbunan
barang pokok dapat dipahami secara tekstual bahwa, “tidak menimbun kecuali ia akan
berdosa.” Maksudnya orang yang menimbun barang pokok kebutuhan masyarakat akan
mendapatkan dosa kepada Allah swt.
Penimbunan merupakan perilaku ekonomi yang merugikan orang lain. Terlebih
dengan sengaja menyimpan barang kebutuhan pokok yang mengakibatkan kelangkaan
komoditas di pasar sehingga harga barang menjadi naik lebih mahal (ihtikr).142 Menimbun
jelas merugikan banyak orang dan termasuk perbuatan yang salah, penipuan, dan termasuk
memakan harta dengan jalan yang batil.
3) Hadiš tentang Pelaku Ihtikār Dilaknat.
Laknat bagi penimbun itu terungkap dalam sabda Nabi saw., yang diriwayatkan
oleh ‘Umar bin Khattāb:
143
ٌ ‫ َﲅ اﻟْ َ¨ﺎ ِﻟ ُﺐ َﻣ ْﺮ ُز ٌوق َواﻟْ ُﻤ ْﺤ َﺘ ِﻜ ُﺮ َﻣﻠْ ُﻌ‬# ‫ا¸ „َﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬
.‫ﻮن‬ ِ # ‫َﻄ ِﺎب ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل‬# ‫ ِﻦ اﻟْﺨ‬Žْ ‫َﻋ ْﻦ ُ َﲻ َﺮ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬

Artinya:
Dari ‘Umar bin Khattāb ia berkata, Rasulullah saw., bersabda: “Orang yang mencari
nafkah itu diberi rezeki dan orang yang menimbun itu dilaknat.”
Hadiš di atas menjelaskan bahwa orang yang mencari nafkah akan diberi rezeki oleh
Allah swt., sedangkan para pedagang dan pengusaha yang menimbun barang pokok
kebutuhan masyarakat akan dilaknat oleh Allah swt.
Al-Tībiy mengatakan mal‘ūn diperlawankan dengan marzūq dalam hadis ‘Umar
tersebut sejatinya tidak sepadan, sebab kata yang sepadan untuk diperlawankan adalah

140
Muslim, Sahih Muslim, h. 2074.
141
Departemn Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 455. Lihat, Rachmat Syafe’i, al-Hadis,
Aqidah, Akhlak,Sosial dan Hukum, h.178.
142
Dwi Suyiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam Buku Referensi Program Stud Ekonomi
Islam, h.30.
143
Ibn Mājah, Sunan Ibn Majah, h. 728.
40

marhūm lawan mahrūm, karena seseorang disebut mahrūm karena ia telah memberikan
keluasan kepada halayak, sedangkan penimbun disebut mahrūm karena ia telah
mempersulit orang lain.144
Sementara dalam Fiqh al-Sunnah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan al-jālib
adalah orang yang menarik barang dagangannya dan menjualnya dengan keuntungan yang
sedikit.145
Dalam sebuah kitab fikih yang berjudul Tabyĩn al-Haqāiq dijelaskan maksud dari
al-muhtakir mal‘ūn karena barang yang ditimbun terkait dengan hak umum. Dengan
demikian, keengganan menjual barang berarti meniadakan hak-hak mereka, mempersulit
urusan mereka.
4) Hadis tentang Ihtikār selama 40 hari dianggap menjauhkan diri dari Allah, dan
Allah juga jauh darinya.
Adapun mengenai waktu penimbunan tidak terbatas dalam waktu pendek maupun
panjang jika dapat menimbulkan fluktuasi (gejala yang menunjukkan turun naiknya harga)
ataupun 3 syarat yakni:
a) Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya.
b) Barang yang ditimbun dalam usaha menunggu saat naiknya harga, baru dijual
dengan harga tinggi.
c) Penimbunan dilakukan disaat masyarakat membutuhkan, misalnya barang bakar
minyak, beras dan lain-lain.146
Ihtikār pada dasarnya tidak berjangka dan tidak berwaktu, tetapi Allah terkadang
memberikan jangka waktu yang membuatnya marah dan murka kepada pelakunya. Artinya,
seseorang yang melakukan penimbunan sampai waktu tersebut maka Allah sangat murka,
terlebih lagi jika lebih dari waktu yang ditentukan. Salah satu hadisnya:
ِ # ‫َ ِﺮ َئ ِﻣ ْﻦ‬Ž ْ‫ ﻓَ َﻘﺪ‬Ðً َ ‫ ْرﺑ َ ِﻌ َﲔ ﻟَ ْﯿ‬H' ‫َ َﻜ َﺮ َﻃ َﻌﺎ ًﻣﺎ‬,‫ َﲅ َﻣ ْﻦ ا ْﺣ‬# ‫ا¸ „َﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬
‫َ ِﺮ َئ‬Ž‫ا¸ ﺗ َ َﻌ َﺎﱃ َو‬ ُ # ‫ﲆ‬# ‫ ِ ِ ّﱯ َﺻ‬#‫ ِﻦ ُ َﲻ َﺮ َﻋ ْﻦ اﻟﻨ‬Žْ ‫َﻋ ِﻦ ا‬
147 َ ِ # ‫ﻣ ُﺔ‬# ‫َ ِﺮﺋ َ ْﺖ ِﻣﳯْ ُ ْﻢ ِذ‬Ž ْ‫ﺎﺋِ ٌﻊ ﻓَﻘَﺪ‬-َ ‫ ْﺻ َﺒ َﺢ ِﻓ ِﳱ ْﻢ ا ْﻣ ُﺮ ٌؤ‬H' ‫ ْﻫ ُﻞ َﻋ ْﺮ َﺻ ٍﺔ‬H' ‫ َﻤﺎ‬â ‫ﯾ‬H' ‫ْ ُﻪ َو‬E‫ا¸ ﺗَ َﻌ َﺎﱃ ِﻣ‬
.‫ا¸ ﺗ َ َﻌﺎﱃ‬ ُ#
Artinya:
Dari Ibn ‘Umar dari Nabi saw.: Barangsiapa menimbun makanan hingga empat puluh
malam, berarti ia telah berlepas diri dari Allah dan Allah juga berlepas diri dari-Nya.
Dan siapa saja memiliki harta melimpah sedang di tengah-tengah mereka ada seorang
yang kelaparan, maka sungguh perlindungan Allah telah terlepas dari mereka.
Secara tekstual, Nabi melarang menimbun barang pangan selama 40 hari, biasanya
pasar akan mengalami fluktuasi jika sampai 40 hari barang tidak ada di pasar karena
ditimbun, padahal masyarakat sangat membutuhkannya. Bila penimbunan dilakukan
beberapa hari saja sebagai proses pendistribusian barang dari produsen ke konsumen, maka
belum dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Namun bila bertujuan menunggu

144
Nūr al-Dīn al-Malā Alī al-Qāriy, Mirgāt al-Mafātīh (syarh) Miskāt al-Masyābīh, Juz IX, h. 361.
145
Al-Sayyid al-Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III (Bairut: Dār al-Kitāb al-‘Arabiy, t.th.), h. 108.
146
Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi (Cet. I; Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 70.
147
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Juz II, h. 33; lihat juga: al-Hākim, Al-Mustadrak
‘ala al-Sahihain, Juz II, h. 14.
41

saat harganya naik, sekalipun hanya satu hari maka termasuk penimbunan yang
membahayakan dan tentu saja diharamkan.148
Yusuf Qardhawi dalam bukunya, “Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian
Islam” dijelaskan bahwa, Berkata Ali ra., “Barang siapa memonopoli barang makanan
selama empat puluh hari niscaya hatinya menjadi keras”.149
Sebabnya adalah ia hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri dan tidak
menghiraukan bahaya yang menimpa masyarakat. Setiap kali terjadi penimbunan harga, dia
merasa sakit dan menderita. Tetapi setiap kali mendengar berita kenaikan harga, dia merasa
senang dan gembira. Karena itu, tidak ada lagi rasa kasih sayang dan pasti akan lenyap dari
hatinya karena terjangkiti oleh egoisme dan kekesatan (kasar) hati.150
5) Hadis tentang Ihtikār akan Bangkrut/penyakit juzam.
Apabila ia menimbun barang dagangannya dan menjualnya setelah harga barang
menjadi naik untuk memperoleh keuntungan yang berlipat. Nabi saw., bersabda yang
diriwayatkan oleh ‘Umar sebagai berikut.
¸‫ا‬ َ َ ‫َ َﻜ َﺮ „َ َﲆ اﻟْ ُﻤ ْﺴ ِﻠ ِﻤ َﲔ َﻃ َﻌﺎ َﻣﻬ ُْﻢ‬,‫ َﲅ ﯾ َ ُﻘﻮ ُل َﻣ ْﻦ ا ْﺣ‬# ‫ا¸ „َﻠ َ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬
ُ # ‫ﴐﺑ َ ُﻪ‬ ِ # ‫ُ َﲻ ُﺮ َ ِﲰ ْﻌ ُﺖ َر ُﺳﻮ َل‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬
151
﴾‫ِ• ْﻻﻓْ َﻼ ِس﴿رواﻩ اﲪﺪ‬
Artinya:
¼
‘Umar berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw., bersabda: “Barangsiapa menimbun
harta kaum muslimin maka Allah akan menimpakan kepadanya kebangkrutan atau
penyakit kusta.”
Hadiš di atas hanya mengambil sampel satu penyakit yang menjijikkan dan ditakuti
oleh semua manusia yaitu penyakit kusta yang disertai dengan kebangkrutan usaha. Tidak
menutup kemungkinan pula untuk tertimpa penyakit lain yang lebih hina dan kehancuran
yang lebih dahsyat bahkan kerugian psikis yang bersifat ukhrawi, bahkan bencana besar
yang menunggu pelaku penimbun.
Dari beberapa penjelasan hadis di atas tentang penimbunan barang pokok, maka
hadis-hadis tersebut dapat dimaknai bahwa penimbunan itu adalah membeli barang dan
menyimpannya dengan tujuan agar jumlah barang yang ada di tengah-tengah masyarakat
menjadi sedikit sehingga menjadikan harga barang semakin mahal dan masyarakat
menderita kerugian karenanya.152 “Hukum melakukan penimbunan adalah haram dan
dilarang oleh syariat karena mencerminkan kerakusan, ketamakan, dan akhlak yang buruk,
serta menyusahkan masyarakat.”153

B. Pemaknaan Hadis-Hadis Tentang Penimbunan Barang Pokok.

148
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, h. 71.
149
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam (Cet. I; Jakarta: Robbani
Press, 1997), h. 322.
150
Yusuf Qardawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, h. 322.
151
Yusuf Qardawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Cet. I; h.141.
152
Sayyid Sabiq, Fiqhi Sunnah, Jilid V, (Cet. I; Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h. 205.
153
Sayyid Sabiq, Fiqhi Sunnah, h. 206.
42

Menimbun dalam bahasa Arab adalah ihtakara yang berkamakna menahan


/menimbun.154 Sedangkan dari kata alhabsu adalah penahanan,155 sedangkan dari kata
aljam’u adalah pengumpulan.156
Sedangkan makna secara syar’i al-ihtikar adalah menahan suatu barang (tidak
menjualnya), padahal dia tidak membutuhkannya, sedangkan manusia sangat
membutuhkannya, lalu menjualnya disaat harga melambung tinggi sehingga menyulitkan
manusia. Dalam buku Subulu al-Salam dijelaskan bahwa menimbun artinya membeli
barang dalam jumlah yang banyak kemudian menyimpannya dengan maksud untuk
menjualnya dengan harga tinggi kepada penduduk ketika mereka sangat membutuhkannya.
Biasanya barang-barang yang ditimbun adalah barang sedang melimpah dan harganya
murah. Ketika barang sudah jarang dan harganya tinggi, sipenimbun mengeluarkan
barangnya dengan harga tinggi sehingga ia memperoleh keuntungan yang berlipat. Abu
Yusuf yang mengatakan bahwa barang apa saja dilarang untuk ditimbun kalau akan
menyebabkan kemadaratan kepada manusia.157
Rasulullah saw., melarang menimbun barang pokok kebutuhan masyarakat karena
akan menimbulkan beberapa akibat yakni:
1. Barang tersebut tidak beredar di pasar, atau kepada orang-orang yang
membutuhkannya sehingga berakibat kerugian terhadap masyarakat.
2. Penimbunan barang seperti beras, dapat merugikan masyarakat, dan apabila barang
tersebut rusak maka akan merugikan diri sendiri, dan sekaligus kerugian terhadap
Negara.
3. Penimbunan/ penahanan barang yang mengakibatkan rusak tersia-sia maka sipenimbun
itu dianggap berbuat mubazzir, sedangkan orang yang mubazzir itu bersaudara dengan
setan. Sebagaimana yang diperingatkan Allah dalam firman-Nya Q.S. al-Isra’ /17: 27.
Terjemahnya :
“Sesungguhnya orang-orang yang suka berbuat mubazzir (sia-sia) itu
adalah saudara syaitan.”158

Dalam ayat tersebut di atas Allah swt., menyatakan bahwa para pemboros adalah
saudara setan. Ungkapan serupa ini biasa dipergunakan oleh orang-orang Arab. Orang
yang membinasakan diri mengikuti peraturan suatu kaum atau mengikuti jejak
langkahnya, disebut saudara kaum itu. Jadi orang-orang yang memboroskan hartanya
berarti orang-orang itu mengikut langkah setan. Sedangkan yang dimaksud pemboros
dalam ayat ini ialah orang-orang yang menghambur-hamburkan harta bendanya dalam
perbuatan maksiat yang tentunya di luar perintah Allah. Orang-orang yang serupa

154
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Ed II, (Cet. IIV;
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 285.
155
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, h. 231.
156
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, h. 209.
157
Imam Muhammad Ibn Ismail, Subulu al-Salam, Juz III, (Beirut Libanun: Dar al-Fikr, 1991 M/
1411 H), h. 47.
158
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Tafsirnya (cet. II; Jakarta: Departemen Agama dengan
biaya DIPA Ditjen Bimas Islam, 2008), h.464.
43

inilah yang disebut kawan-kawan setan. Di dunia mereka tergoda oleh setan, dan di
akhirat mereka akan dimasukkan ke dalam neraka jahannam.159
4. Penimbun barang pokok kebutuhan masyarakat dianggap serakah, kikir, dan tamak.
Allah swt. tidak memberikan manusia saling berbuat dzolim. Dia telah mengharamkan
kedzoliman pada diri-Nya sebagaimana ia mengharamkan kedzoliman itu diantara
manusia semuanya. Akan tetapi manusia mempunyai tabi’at bersifat serakah, kikir,
tamak dan ingin menguasai dunia seluas-luasnya, sehingga sebagian manusia tidak
mengindahkan cara yang ditempuh apakah haq atau bathil untuk menggapai
maksudnya. Oleh karena itu, Allah swt., mengingatkan manusia khususnya orang-
orang yang beriman dalam firman-Nya Q.S. al-Nisa/4:29.

Terjemahnya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”160

Sesungguhnya agama Islam yang suci ini memerintahkan ummatnya untuk selalu adil
dan tidak melakukan perbuatan yang membahayakan diri mereka sendiri atau kepada
orang lain. Sebagaimana Rasulullah saw., bersabda :
161
َ ِ ‫ﴐ َر َو َﻻ‬
(‫ﴐ َار )رواﻩ اﻟﱰ ﻣﺬي‬ َ َ ‫َﻻ‬
Artinya :
Tidak boleh mengadakan mudhorat dan tidak boleh memadhorotkan (orang
lain). (H.R. Tirmidzi)

Hadis riwayat Umar Ibn Khathab


‫ َﻜ َﺮ „َ َﲆ اﻟْ ُﻤ ْﺴ ِﻠ ِﻤ َﲔ‬,َ ‫ َﲅ ﯾ َ ُﻘﻮ ُل َﻣ ْﻦ ا ْﺣ‬# ‫ا¸ „َﻠ َ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬ ِ # ‫َﻄ ِﺎب ﻗَﺎ َل َ ِﲰ ْﻌ ُﺖ َر ُﺳﻮ َل‬# ‫ ِﻦ اﻟْﺨ‬Žْ ‫َﻋ ْﻦ ُ َﲻ َﺮ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬
162
(‫ا¸ ِ•ﻟْ ُ¨ َﺬا ِم َو ْاﻻﻓْ َﻼ ِس)رواﻩ اﻟﱰ ﻣﺬي‬ َ َ ‫َﻃ َﻌﺎ ًﻣﺎ‬
ُ # ‫ﴐﺑ َ ُﻪ‬
Artinya :
¼
Dari umar Ibn Khathab ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw.
Bersabda : “Barangsiapa menimbun makanan atas kaum muslimin, maka
Allah akan menghukumnya dengan penyakit dan kerugian.”

159
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 464.
160
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta : t.p., 2004), h.107-108
161
Lihat Muhammad bin Isa Abu Isa al-Tirmidzi as-Salmi, Sunan Trmidzi, Juz V, (Beirut: Dar at-
Turas al-Arabi, t,th), h. 44. Nomor Hadis. 2676.
162
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Sunan Ibn Majah, Juz II, (Dar Al-Fikr, 275), h. 729.
44

Pada ayat 29 dari surat an-Nisa tersebut diatas menyatakan bahwa, jangan mengerjakan
hal-hal yang diharamkan Allah dan jangan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat
terhadap-Nya serta memakan harta orang lain secara bathil. Sedangkan hadis
Rasulullah saw., melarang perbuatan yang membahayakan diri dan orang lain.
1. Pedagang dan pengusaha yang menimbun barang dagangannya dan menjualnya
pada saat harga barang melambung tinggi diancam oleh Allah swt., berupa
menimbun barang pokok akan diseterika di neraka, sebagaimana Al-Ahnaf bin Qais
berkata: “Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang menimbun hartanya dengan batu
yang diseterikakan kepadanya di Neraka jahannam.” Rasulullah saw., bersabda yang
diriwayatkan oleh Al-Ahnaf bin Qais, hadis Nomor. 1319.
‫ َﻌ ِﺮ َواﻟ ِﺜ ّ َﯿ ِﺎب‬#‫ ٌﻞ ﺧ َِﺸ ُﻦ اﻟﺸ‬-ُ ‫ ٍْﺶ ﻓَ َ¨ َﺎء َر‬Ó‫ﻠَ ْﺴ ُﺖ ا َﱃ َﻣ َﻼ ِﻣ ْﻦ ﻗُ َﺮ‬-َ ‫َ ُ ْﻢ ﻗَﺎ َل‬Ñ#‫ﺪ‬3َ ‫ْ ٍﺲ‬°َ‫ َﻦ ﻗ‬Žْ ‫َ َﻒ‬E‫ن ْ 'ا( ْﺣ‬# H'
Ò ¼
‫َ ِر‬Ú ‫ َﺮﺿْ ٍﻒ ُ ْﳛ َﻤ ﻰ „َﻠَ ْﯿ ِﻪ ِﰲ‬Žِ ‫ ِﺰ َˆﻦ‬Æِ ‫َﴩ ا ْﻟ َﲀ‬ ْ ّ ِ f ‫ﰒ ﻗَﺎ َل‬# ُ ‫ َﲅ‬# ‫ﱴ ﻗَﺎ َم „َﻠَﳱْ ِ ْﻢ ﻓَ َﺴ‬# ‫َواﻟْﻬَ ْﯿﺌَ ِﺔ َﺣ‬
163
﴾‫ َ﴿ﺮﻭﺍﻩﺍﻟﺒﺧﺎﺮﻯ‬#‫ﲌ‬Üَ َ
Artinya:
Al-Ahnaf bin Qais menceritakan kepada mereka, katanya: Aku duduk bersama
para pembesar orang- orang Quraisy kemudian datanglah seseorang yang
rambut pakaian dan penampilannya berantakan hingga ia berdiri di antara
mereka lalu ia mengucapkan salam dan berkata,: “Berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang menimbun hartanya dengan batu yang
diseterikakankepadanya di Neraka Jahannam.”

Hadis tersebut di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang suka menimbun


hartanya diancam oleh Allah swt., yakni akan diseterikakan hartanya dengan batu di
Neraka Jahannam.
2. Penimbun barang pokok dianggap bersalah, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
antara lain hadis riwayat Abu Dawud, hadis Nomor, 2990.
‫ َﲅ َﻻ‬# ‫ا¸ „َﻠ َ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬ ِ # ‫ ِﻦ َﻛ ْﻌ ٍﺐ ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل‬Žْ ‫ ِﺪ ﺑ َ ِﲏ „َ ِﺪ ِ ّي‬3َ H' ‫ ِﰊ َﻣ ْﻌ َﻤ ٍﺮ‬H' ‫ ِﻦ‬Žْ ‫َﻋ ْﻦ َﻣ ْﻌ َﻤ ِﺮ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬
164
﴾‫ﻻ •َﺎ ِﻃ ٌﺊ ﴿ﺮﻭﺍﻩﺍﺒﻭﺪﺍﻭﺪ‬# ‫َ ْﳛ َﺘ ِﻜ ُﺮ ا‬
Artinya:
¼
Dari Ma’mar bin Abu Ma’mar salah satu Bani Adi bin Ka’b, ia berklata;
Rasulullah saw., bersabda: “Tidaklah seseorang menimbun barang, kecuali
telah berbuat salah.”

Hadis tersebut menunjukkan bahwa, pedagang atau pengusaha yang menimbun


hartanya untuk tujuan akan menjualnya pada saat barang langka dan harganya
meloncat tinggi barulah dijual untuk memperoleh keuntungan yang berlipat, maka
perbuatan seperti itu dianggap bersalah.

163
Imam Bukhari, CD Rom Hadis, Shahihal-Bukhari, Bab. Mayuzkaru fi ba’I Ta’ami wal-Hukrati,
nomor hadis 1319.
164
Abu Dawud, ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud, Juz IX, (t.t. Dar al-Fikr, t. th), h. 313.
45

3. Pedagang atau pengusaha yang menimbun barang pokok dilaknat oleh Allah swt.,
sebagaimana sabda Nabi saw., yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khaththab, hadis
Nomor. 2144.
‫ َﲅ اﻟْ َ¨ﺎ ِﻟ ُﺐ َﻣ ْﺮ ُز ٌوق َواﻟْ ُﻤ ْﺤﺘَ ِﻜ ُﺮ‬# ‫ا¸ „َﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬ ِ # ‫َﻄ ِﺎب ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل‬# ‫ ِﻦ اﻟْﺨ‬Žْ ‫َﻋ ْﻦ ُ َﲻ َﺮ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬
165
﴾‫َﻣﻠْ ُﻌﻮ ٌن ﴿ﺮﻭﺍﻩﺍﻟﺘﺮﻤﺰﻯ‬
Artinya:
Dari ‘Umar bin Khaththab ia berkata, “Rasulullah saw., bersabda: “Orang
yang mencari nafkah itu diberi rizki dan orang yang menimbun itu dilaknat.”

Hadis tersebut di atas menjelaskan bahwa orang yang mencari nafkah akan diberi
rizki oleh Allah swt., sedangkan para pedagang dan pengusaha yang menimbun
barang pokok kebutuhan masyarakat akan dilaknat oleh Allah swt.
4. Penimbun barang pokok dengan maksud untuk menaikkan harganya atas kaum
muslimin maka dipandang berdosa, sebagaimana sabda Nabi saw., yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah, hadis Nomor. 8263.
‫ ْن ﯾُﻐ ِ َْﲇ ﲠِ َﺎ‬H' ُ‫َ َﻜ َﺮ ُﺣ ْﻜ َﺮ ًة ˆُ ِﺮﯾﺪ‬,‫ َﲅ َﻣ ْﻦ ا ْﺣ‬# ‫ا¸ „َﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬ ِ # ‫ ِﰊ ﻫ َُﺮ ْˆ َﺮ َة ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل‬H' ‫َﻋ ْﻦ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬
166
﴾‫„َ َﲆ اﻟْ ُﻤ ْﺴ ِﻠ ِﻤ َﲔ ﻓَﻬ َُﻮ •َﺎ ِﻃ ٌﺊ﴿ﺮﻭﺍﻩﺍﺤﻤﺪ‬
Artinya:
Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah saw., bersabda: “Baranssiapa
menimbun (barang makanan) dengan maksud menaikkan harganya atas kaum
muslimin maka ia telah berdosa.” ( HR. Ahmad).

Hadis tersebut di atas menjelaskan bahwa penimbun barang makanan dengan


maksud untuk menaikkan harganya supaya memperoleh keuntungan yang berlipat
terhadap kaum muslimin, maka penimbun tersebut telah berdosa.
5. Penimbun diancam kebangkrutan dan penyakit kusta, apabila ia menimbun barang
dagangannya dan menjualnya setelah harga barang menjadi naik untuk memperoleh
keuntungan yang berlipat. Nabi saw., bersabda yang diriwayatkan oleh ‘Umar; hadis
Nomor. 130.
َ َ ‫َ َﻜ َﺮ „َ َﲆ اﻟْ ُﻤ ْﺴ ِﻠ ِﻤ َﲔ َﻃ َﻌﺎ َﻣﻬُ ْﻢ‬,‫ َﲅ ﯾ َ ُﻘﻮ ُل َﻣ ْﻦ ْاﺣ‬# ‫ا¸ „َﻠ َ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬
‫ﴐﺑ َ ُﻪ‬ ِ # ‫ُ َﲻ ُﺮ َ ِﲰ ْﻌ ُﺖ َر ُﺳﻮ َل‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬
167
﴾‫ا¸ ِ• ْﻻﻓْ َﻼ ِس﴿ﺮﻭﺍﻩﺍﺤﻤﺪ‬ ُ#
Artinya:
¼
‘Umar berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw., bersabda: “Barangsiapa
menimbun harta kaum muslimin maka Allah akan menimpakan kepadanya
kebangkrutan atau penyakit kusta.”

165
Muhammad Fu’ad Abd Baqi, Sunan Ibn Majah, Juz II, h. 729.
166
Ahmad bin Hanbal, CD Rom Hadis, Kitab Sunan Ahmad bin Hanbal, bab. Fi al-Nahyi Min al-
Hukrah, nimir hadis 8263.
167
Ahmad bin Hanbal, CD Rom Hadis, Kitab Sunan Ahmad bin Hanbal, Bab. Fi al-Nahyi Min al-
Hukrah, nomor hadis, 8263.
46

Hadis tersebut di atas hanya mengambil sampel satu penyakit yang


menjijikkan manusia yaitu penyakit kusta yang disertai dengan kebangkrutan usaha.
Tidak menutup kemungkinan pula untuk tertimpa penyakit lain yang lebih hinah,
dan kehancuran yang lebih dahsyat bahkan kerugian psikis yang bersifat ukhrawi,
bahkan bencana besar yang menunggu pelaku penimbun.
Dari beberapa penjelasan hadis di atas tentang penimbunan barang pokok,
maka hadis-hadis tersebut dapat dimaknai bahwa, penimbunan itu adalah membeli
barang dan menyimpannya dengan tujuan agar jumlah barang yang ada ditengah-
tengah masyarakat menjadi sedikit sehingga menjadikan harga barang semakin
mahal dan masyarakat menderita kerugian karenanya.168 “Hukum melakukan
penimbunan adalah haram dan dilarang oleh syariat karena mencerminkan
kerakusan, ketamakan, dan akhlak yang buruk, serta menyusahkan masyarakat.”169
Abu Dawud, Tirmidzi dan Muslim meriwayatkan dari Ma’mar bahwa sanya
Rasulullah saw., bersabda,
170
‫َ َﻜﺮ ﻓَﻬ َُﻮ •َﺎ ِﻃ ٌﺊ‬,‫َﻣ ْﻦ ْاﺣ‬
Artinya:
“Siapa yang menimbun, maka dia adalah orang yang durhaka.”
Pada hadis lain riwayat Abu Dawud dari Ma’mar bahwa Rasulullah saw., bersabda,
‫ َﲅ َﻻ‬# ‫ا¸ „َﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ‬
ُ # ‫ﲆ‬# ‫ا¸ َﺻ‬ ِ # ‫ ِﻦ َﻛ ْﻌ ٍﺐ ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل‬Žْ ‫ ِﺪ ﺑ َ ِﲏ „َ ِﺪ ِ ّي‬3َ H' ‫ ِﰊ َﻣ ْﻌ َﻤ ٍﺮ‬H' ‫ ِﻦ‬Žْ ‫َﻋ ْﻦ َﻣ ْﻌ َﻤ ِﺮ‬
‫'ﻟْ ُﺖ‬T‫'ﺑُﻮ د َُاود َو َﺳ‬H ‫ﻚ َ ْﲢ َﺘ ِﻜ ُﺮ ﻗَﺎ َل َو َﻣ ْﻌ َﻤ ٌﺮ َﰷ َن َ ْﳛ َﺘ ِﻜ ُﺮ ﻗَﺎ َل‬#َ ‫ﻻ •َﺎ ِﻃ ٌﺊ ﻓَ ُﻘﻠْ ُﺖ ِﻟ َﺴ ِﻌﯿ ٍﺪ ﻓَﺎﻧ‬# ‫َ ْﳛ َﺘ ِﻜ ُﺮ ا‬
¼
‫ﻲ اﻟْ ُﻤ ْﺤﺘَ ِﻜ ُﺮ َﻣ ْﻦ ﯾ َ ْﻌ َ ِﱰ ُض‬â ‫ﺑُﻮ د َُاود ﻗَﺎ َل ْ 'ا( ْو َزا ِﻋ‬H' ‫ ِﺎس ﻗَﺎ َل‬#‫ْ ُﺶ ¼ اﻟﻨ‬°َ„ ‫ ِﻪ‬9‫' ْ َﲪﺪَ َﻣﺎ اﻟْ ُﺤ ْﻜ َﺮ ُة ﻗَﺎ َل َﻣﺎ ِﻓ‬H
171
﴾‫اﻟﺴ َﻮق﴿ﺮﻭﺍﻩﺍﺒﻭﺪﺍﻭﺪ‬ â

Artinya:
Dari Ma’mar bin Abu Ma’mar salah satu Bani Adi bin Ka’b, Ia berkata;
Rasulullah saw., bersabda: “Tidaklah seseorang menimbun, kecuali telah
berbuat salah.” Kemudian aku katakana kepada Sa’id; Sesungguhnya engkau
menimbun. Ia berkata; dan ma’mar perna menimbun, Abu Dawud berkata, dan
aku bertanya kepada Ahmad; apakah hukrah itu ? Ia berkata; sesuatu yang
padanya terdapat kehidupan manusia. Abu Dawud berkata; Al-Auza’i berkata;
muhtakir adalah orang yang datang ke pasar untuk membeli apa yang
dibutuhkan orang-orang dan menyimpannya.

168
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid V, (Cet. I; Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h. 205.
169
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid V, h. 206.
170
Muhammad Fu’ad Abd Baqi, Sunan Ibn Majah, Juz II, h. 729.
171
Abdur Rahman Muhammad ‘Utsman, Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud, Juz IX, h. 313,
47

C. Dampak yang Ditimbulkan dari Penimbunan Barang Pokok dan Akibat yang
terjadi di Masyarakat.
1. Dampak yang ditimbulkan dari penimbunan barang pokok
Diantara dampak yang ditimbulkan terhadap penimbunan barang pokok adalah
sebagai berikut.
a) Penimbunan merupakan perilaku ekonomi yang merugikan orang lain.
b) Menimbun kebutuhan pokok masyarakat akan menyebabkan kelangkaan barangnya.
c) Penimbun barang pokok diancam kebangkrutan dan penyakit kusta.
d) Menimbun merupakan pekerjaan yang buruk.
Secara tegas masyarakat manapun dalam keadaan normal, akan menolak pekerjaan
yang buruk karena manusia pada dasarnya orang baik dan cenderung kepada kebaikan.
Pekerjaan buruk yang dimaksud adalah memperoleh rezeki dengan jalan menipu,
merampok, mencuri, korupsi dan sebagainya.
Dari beberapa pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menimbun adalah
suatu pekerjaan yang buruk dan penipuan, merugikan, dan menyengsarakan masyarakat.
Secara empiris (pengalaman dan pengetahuan) pekerjaan yang buruk dan penipuan akan
menghasilkan keburukan pula sehingga walaupun pekerjaan tersebut memberikan
pendapatan yang tinggi namun tidak akan mendapatkan berkah. Bahkan akan membawa
malapetaka bagi kehidupan manusia.

Barang-barang yang haram ditimbun (dimonopoli).


Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai jenis barang yang haram ditimbun dan
waktu diharamkannya menimbun. Diantaranya, ada yang membatasi pengharaman
menimbun pada barang makanan pokok saja. Berkata Imam al-Gazāly, “Adapun yang
selain barang makanan pokok dan yang tidak termasuk penopang bahan makanan pokok
seperti obat-obatan, jamu-jamuan, wewangian dan sebagainya maka tidak terkena larangan
meskipun termasuk barang yang dimakan. Adapun yang menopang barang makanan pokok
seperti daging, buah-buahan dan apa saja yang kadang-kadang dapat menggantikan fungsi
makanan pokok meskipun tidak dapat disejajarkan dengannya, maka hal ini perlu dikaji.”
Diantara para ulama ada yang menolak pengharaman menimbun pada mentega, madu, keju,
minyak, biji-bijian dan sebagainya yang dianggap di luar lingkup barang makanan pokok.

2. Akibat yang Terjadi di Masyarakat Terhadap Penimbunan Barang Pokok.


a. Merugikan Masyarakat.
b. Menyengsarakan masyarakat.
c. Menyulitkan Pengendalian Pasar.
d. Bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan.
Dengan demikian, maka penimbunan adalah merugikan, menyengsarakan, dan
menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok di pasar,
sehingga masyarakat akan merasakan kesulitan, kelaparan dan penderitaan, bahkan bisa
muncul kebencian terhadap orang yang menimbun barang pokok kebutuhan masyarakat.

D. Bentuk dan Kategorisasi Barang-Barang Pokok dalam Sistem Ekonomi


Perdagangan Islam.
1. Bentuk Barang-Barang Pokok dalam Sistem Ekonomi Perdagangan Islam
48

Berdasarkan hasil penelitian penulis melalui hadis-hadis larangan menimbun barang


pokok kebutuhan masyarakat yang sering dilakukan oleh para pedagang dan pengusaha
atau pelaku bisnis yang terdapat dalam berbagai riwayat, maka terdapat beberapa macam
penimbunan yakni sebagai berikut.
a. Menimbun barang pokok dan menunggu sampai harga tinggi.
b. Menimbun barang pokok sampai 40 hari
c. Menimbun barang pokok untuk menghadapi musim paceklik
d. Memborong barang-barang di pasar kemudian menimbunnya
e. Menimbun barang-barang pokok untuk menunggu sampai barang langka, atau musim
paceklik, kemudian menjualnya kepada masyarakat dengan harga murah. Penimbunan
seperti ini dibolehkan seperti penimbunan yang pernah dilakukan oleh Yusuf as.
f. Orang yang mengimport (mendatangkan) barang dari luar lalu menunggu harga naik.
2. Kategorisasi Barang-Barang Pokok dalam Sistem Ekonomi Perdagangan Islam
Dari beberapa bentuk penimbunan barang pokok di atas, maka dapat
dikategorisasikan menjadi dua macam yakni bentuk primer dan sekunder.
a. Bentuk Primer
Adapun bentuk kategorisasi primer (pokok) dalam sistem ekonomi perdagangan
Islam adalah sebagai berikut.
1) Beras dan singkong
2) Daging sapi dan daging ayam
3) Jagung dan sagu
4) Garam beryodium
5) Susu
b. Bentuk Sekunder
Adapun bentuk kategori sekunder (tambahan) dalam sistem ekonomi perdagangan
Islam berupa:
1) Minyak goreng dan margarin
2) Telur ayam
3) Minyak tanah dan gas elpiji
4) Emas dan perak
5) Kapas dan kulit binatang.
Jenis kategori sekunder tersebut suatu waktu dibutuhkan dan apabila jenis barang
tersebut langka maka tidak akan membuat perut kelaparan.
Adapun bentuk dan kategorisasi barang-barang pokok dalam sistem ekonomi
perdagangan Islam adalah sebagai berikut.
1. Menurut Hadis.
Ada beberapa hadis tentang larangan menimbun barang pokok yakni sebagai
berikut.
a. Salah satu hadis yang dapat dikemukakan adalah hadis dari Ma’mar jalur riwayat
Muslim yakni:
172
(‫ﻻ •َﺎ ِﻃ ٌﺊ )رواﻩ ﻣﺴﲅ‬# ‫ﷲ ص م ﻗَﺎ َل َﻻ َ ْﳛﺘَ ِﻜ ُﺮ ِا‬ ِ ‫ ِﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ‬Žْ‫َﻋ ْﻦ َﻣ ْﻌ َﻤ َﺮ‬
ِ ِ‫ﷲ َﻋ ْﻦ َر ُﺳ ْﻮل‬
Artinya:

172
Muslim, Sahih Muslim, h.1227
49

Dari Ma’mar bin Abdullah, dari Rasulullah saw. berkata : “Orang-orang yang
menimbun (barang) termasuk para pendosa”(HR. Muslim).
b. Pada hadis lain dari Sa’id bin Musayyib jalur riwayat Ad-Darimi berbunyi :
173
(‫ َواﻟْ ُﻤ ْﺤ َﺘ ِﻜ ُﺮ َﻣﻠْ ُﻌ ْﻮ ٌن )رواﻩ ا<ارﱉ‬,‫ ِ ِ ّﱯ ص م ﻗَﺎ َل َاﻟْ َ¨ﺎ ِﻟ ُﺐ َﻣ ْﺮ ُز ْو ٌق‬#‫َﻋ ْﻦ ُ َﲻ َﺮ َﻋ ِﻦ اﻟﻨ‬
Artinya:
Dari Umar, dari Nabi saw., bersabda : “Orang yang berlaku baik itu murah rezkinya,
sedangkan penimbun barang itu terlaknat” (HR. al-Dārimy)
Dengan demikian ihtikār adalah membeli barang pada saat lapang lalu
menimbunnya supaya barang tersebut langka dipasaran sehingga otomatis harga
melambung naik.
Para ulama berbeda pendapat dalam mengharamkan ihtikār. Di antaranya adalah
sebagai berikut:
a. Dari Umar bahwa ia berkata. Tidak boleh ada penimbunan barang dipasar ini. Yakni
sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-barang dipasar lalu ia
menimbunnya.
b. Dari Usmān bahwa beliau melarang penimbunan barang.
c. Imam Mālik dan al-S|aury juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam
Mālik mengatakan “Dilarang menimbun kain wol, minyak dan seluruh jenis barang
yang dapat merugikan pasar (konsumen)”.
d. Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku khusus pada
barang makanan saja karena hal itu merupakan kebutuhan pokok manusia.
e. Para mazhab Syafi’i mengatakan, ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang
pokok tertentu yaitu ia membelinya pada saat harga murah untuk dijual kembali. Ia
tidak menjual pada saat itu juga, namun ia simpan sampai harganya melonjak naik.174
2. Menurut Pandangan Ekonomi.
Dalam pandangan sistem ekonomi, pelaku ekonomi dalam dunia perdagangan
disebut pedagang. Para pedagang tersebut melakukan kegiatan jual beli, baik sebagai
penjual maupun sebagai pembeli harus memiliki budi yang mulia sehingga barang menjadi
laris dan semua mitra dagang senang. Adapun budi mulia sebagai penjual adalah sebagai
berikut :
a. Sopan santun terhadap calon pembeli untuk mendapatkan simpati dan daya tarik
langganan.
b. Pedagang hendaknya berlaku jujur karena jujur adalah sikap yang terpuji dan disukai
oleh setiap orang yang memiliki hati nurani.
c. Pedagang tidak suka menimbun, sebagai penjual yang berhati mulia tentu tidak sekedar
berpikir untuk memperoleh keuntungan pribadi melainkan juga harus berpikir untuk
kemaslahatan masyarakat.
Dari lima macam pendapat ulama tersebut di atas, maka penulis menarik suatu
kesimpulan dan lebih cenderung mengarah kepada pendapat Imam Mālik dan al-S|aury,

173
‘Abdullāh bin ‘Abd al-Rahmān Abu Muhammad al-Dārimy, Sunan al-Dārimy, juz.II, (Cet.I;
Beirut: Dar al-Kitāb al-‘Araby, 1407), h. 324, selanjutnya disebut al-Dārimy
174
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaki, Al-Manahisy Syar’iyyah fi Sahih al-Sunnah al-Nabawiyyah, h.
215-217.
50

yang melarang seluruh jenis barang. Beliau mengatakan “dilarang menimbun kain wol,
minyak dan seluruh jenis barang yang dapat menyulitkan dan menyengsarakan masyarakat
atau dapat merugikan pasar (konsumen)”

VI. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan hasil penelitian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Kualitas hadiś-hadiś tentang penimbunan barang pokok yang telah diklasifikasi
dalam lima bagian, dan dapat disimpulkan bahwa kritik hadiś Pertama jalur
periwayat Ahmad pada bab IV ayat C, dinilai sahih, karena sanad dan periwayatnya
Muttasil (bersambung) mulai dari sanad pertama sampai kepada Rasulullah saw.,
semua mendapatkan penilaian Tsiqah, dan dari segi matan didukung oleh periwayat
lain yang berkualitas shahih, dan ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah ini,
maka hadis ini dapat dihukumi berkualitas shahih. Kritik Hadiś kedua jalur
periwayat Muslim, hadis tentang ihtikar merupakan perbuatan salah. Sanadnya
bernilai siqah dan saduq, dan matannya terhindar dari syuzuz dan illat, maka hadis
tersebut dapat dihukumi shahih. Kritik hadis ketiga jalur periwayat Darimiy, tentang
sanksi ihtikar adalah laknat, berdasarkan penilaian oleh para kritikus hadis, dari segi
sanad semuanya mendapatkan penilaian kualitas shahih, karena telah memenuhi
syarat kaidah mayor kesahihan sanad hadis, sanad dan periwayatnya bersambung
dari murid, keguru, kesahabat, sampai kepada Rasulullah saw. Sedangkan dari segi
matannya juga bernilai shahih karena terhindar dari sifat syudzudz dan illat, maka
hadis tersebut berkualitas shahih dan dapat dijadikan hujjah. Kritik hadis keempat
tentang sanksi ihtikar 40 hari adalah jauh dari Allah dan Allah juga jauh dari-Nya.
Hasil kritik sanad tersebut dianggap bersambung karena ada ketersambungan antara
murid, guru, sahabat, dan sampai kepada Rasulullah saw., dan dari segi matannya
tidak ditemukan adanya syuz dan illat, maka hadis tersebut berkualitas shahih.
Kritik Hadis kelima tentang sanksi ihtikar adalah bangkrut dan penyakit kusta. Hasil
kritik sanad tersebut, yakni dua periwayat Abu Sa’id dan al-Haisam bin Afi’
mendapat penilaian saduq, Farrukh mendapat penilaian maqbul, Umar bin Khattab
sebagai sahabat, Ahmad bin Hanbal sebagai mukharrij mendapat penilaian tsiqah,
sedangkan satu periwayat yakni Abu Yahya mendapat penilaian majhul, maka sanad
dan matan tersebut da’if, dan penelitian matan tersebut tidak dapat dilanjutkan.
Hal tersebut terjadi karena salah satu periwayatnya tergolong majhūl,
sementara peneliti tidak menemukan riwayat lain yang dapat mendukung atau
memperkuat sanadnya. Meski demikian, kesemua hadiś tersebut dapat dikaji dan
dijadikan sebagai dalil hukum karena kesemuanya tidak terkait dengan ibadah dan
akidah.
2. Pemaknaan hadiś-hadiś tentang penimbunan barang pokok yang telah diklasifikasi
dalam lima bagian secara pemaknaan dapat dikelompokkan dalam tiga bagian besar.
Pemaknaan pertama, Rasulullah saw., melarang melakukan penimbunan barang
pokok karena akan menimbulkan beberapa kesulitan di tengah-tengah masyarakat.
Pemaknaan kedua, Rasulullah menyampaikan beberapa sanksi bagi pelakunya, baik
sanksi sosial dengan dianggap sebagai pelaku kesalahan atau kejahatan atau
diancam dengan ancaman penyakit dan kebangkrutan, maupun sanksi akhirat
51

dengan dianggap sebagai orang yang dilaknat atau dibenci oleh Allah swt.,
maksudnya ia telah berlepas diri dari Allah dan Allah juga berlepas diri dari-Nya.
Pemaknaan ketiga, Rasulullah menyebutkan waktu dalam melakukan penimbunan.
Penyebutan waktu tersebut dapat berimplikasi pada dua makna, batas maksimal
dibolehkan melakukan penimbunan. Artinya, boleh melakukan penimbunan kurang
dari 40 hari. Namun, dapat juga dimaknai bahwa seseorang yang melakukan
penimbunan selama 40 hari akan diberikan sanksi yang sangat berat yakni dilaknat
dan tidak dianggap lagi oleh Allah swt., sebagai hamba-Nya. Sanksi ini merupakan
sanksi yang sangat berat. Dengan demikian, penimbunan di bawah 40 hari bukan
berarti boleh, tetapi dipahami bahwa pelakunya tetap salah, namun belum diberikan
sanksi yang amat berat.
3. Dampak yang ditimbulkan terhadap penimbunan barang pokok dan akibat yang
terjadi di masyarakat dapat dibuat dalam beberapa poin, yakni:
a. Penimbunan barang pokok merupakan perilaku ekonomi yang merugikan orang
lain, karena akan mengakibatkan kelangkaan komoditas di pasar sehingga harga
barang menjadi naik lebih mahal, dan merugikan banyak orang.
b. Penimbunan barang pokok akan mengakibatkan kelangkaan, akan
menimbulkan kenaikan harga dengan dampak langsung menurunkan daya beli
masyarakat sekaligus menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat, bahkan
menyengsarakan masyarakat setelah kebutuhan pokok mereka benar-benar
sudah tidak mencukupi.
c. Penimbun barang pokok diancam kebangkrutan dan penyakit kusta. Maksudnya
Allah swt., mengancam mereka akan mendapatkan kutukan Tuhan berupa
penyakit kusta yang menjijikkan, dan kebangkrutan atau kemiskinan. Sehingga
akan dibenci dan dijauhi orang, seperti dijauhinya orang yang menderita
penyakit kusta yang menjijikkan.
Sementara akibat yang terjadi di masyarakat terhadap penimbunan barang
pokok antara lain:
a) Merugikan masyarakat, karena masyarakat akan kesulitan mendapatkan
bahan pokok, terutama bahan makanan.
b) Menyengsarakan masyarakat, tersiksa, dan akan mengalami penderitaan,
karena ketiadaan bahan kebutuhan pokok.
c) Menyulitkan masyarakat dalam pengendalian pasar.
d) Menghilangkan sifat-sifat prikemanusiaan, karena orang yang melakukan
penimbunan barang pokok ingin bahagia sendiri, dan bersenang-senang di
atas penderitaan orang lain.

B. Implikasi Penelitian.
Penelitian ini telah mengungkapkan bahwa hadis Nabi saw., memberikan dasar dan
pedoman dalam kegiatan perdagangan dan mengatur kehidupan sosial masyarakat. Di
samping itu, bagi pedagang agar tidak melakukan penimbunan barang pokok agar usahanya
diridai dan diberkati, bukan sebaliknya dilaknat atau disanksi dengan sanksi yang berat.
Begitu juga bagi masysrakat agar terhindar dari kesulitan dan mendapatkan hak untuk
berbelanja dengan harga yang wajar, sehingga terjadi saling menguntungkan dan tidak
saling merugikan.
52

Disertasi ini yang membahas tentang hadis-hadis penimbunan barang pokok


(Analisis Syarah Tematik), yang di dalamnya dibahas ih}tikar, pemahaman terhadap hadis-
hadis tersebut menjadikan penelitian ini sangat penting. Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an
yang memerintahkan orang-orang yang beriman untuk patuh dan mengikuti petunjuk-
petunjuk Nabi Muhammad saw., utusan Allah swt. Sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an itu
adalah Q.S. al-Hasyr /59: 7, Q.S. ali-Imran/ 3: 32, Q.S. al-Nisā’/ 4: 80, dan Q.S. al-Ahzab
/33: 21 yang kesemuanya terkait dengan kepatuhan terhadap Rasulullah saw.
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhammad adalah teladan hidup bagi
orang-orang yang beriman. Bagi orang yang sempat bertemu langsung dengan Rasulullah,
maka cara meneladani Rasulullah dapat mereka lakukan secara langsung, sedangkan bagi
mereka yang tidak sezaman dengan Rasulullah, maka cara meneladani Rasulullah adalah
dengan mempelajari, memahami, dan mengikuti berbagai petunjuk yang termuat dalam
sunnah atau hadiś beliau.
Dengan petunjuk ayat-ayat di atas maka jelaslah bahwa hadiś atau sunnah Nabi
Muhammad merupakan sumber ajaran Islam, disamping al-Qur’an. Orang yang menolak
hadiś sebagai salah satu sumber ajaran Islam berarti orang itu menolak petunjuk al-Qur’an.
Ihtikār (penimbunan barang pokok) merupakan perbuatan yang dikecam oleh al-
Qur’an dan hadis-hadiś Rasulullah sebagaimana yang telah dipaparkan dalam disertasi ini,
bahkan para ahli fikih sepakat mengharamkannya.
Namun demikian, untuk mencegah agar para penimbun tidak leluasa melakukan
perbuatan tercela tersebut diperlukan peran pemerintah untuk mengatur mekanisme
perdagangan secara adil dan bertindak tegas. Hal ini karena perbuatan mereka
menimbulkan kerusakan sosial dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan banyak
korban kalau barang tersebut mereka jual kepada masyarakat dengan harga sangat tinggi
sehingga tidak dapat dijangkau oleh penduduk.
Semoga hasil penelitian yang dikembangkan dalam disertasi ini dapat memberi
sumbangan yang bermanfaat dalam dunia ilmu-ilmu ke-Islaman yang diharapkan dapat
merespon perkembangan dan kemajuan masyarakat dalam berbagai bidang dan aspek
kehidupan, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, lebih khusus terhadap
pengembangan ilmu tentang muamalah atau bisnis dan perdagangan.

Anda mungkin juga menyukai