Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kataasd PDF
Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kataasd PDF
Kata-kata
PUTU WIJAYA
Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku
belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan
menyapa dan memujikan dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan
menyapa.
Ia menunjuk ke sebuah rangkaian bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang
sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.
“Itu saya sendiri yang merangkainya.”
Mendadak bunga yang aku lihat dengan sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku
tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.
“Ya, itu yang saya cari.”
“Dia mengangguk senang.
“Mau diantar atau dibawa sendiri?”
“Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”
Ia kelihatan bimbang.
“Berapa duit?”
“Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau, nanti saya bikinkan lagi.”
“Tidak, aku mau ini.”
“Bagaimana kalau itu?”
Ia menunjuk ke bunga lain.
“Tidak. Ini!”
“Tapi itu tidak dijual.”
“Kenapa?”
“Karena dibuat tidak untuk dijual.”
Aku ketawa.
“Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.
“Dua.”
“Dua apa?”“Dua juta.”
Aku melongo. Mana mungkin ada bunga seharga dua juta. Dan bunga itu jadi makin
indah. Aku mulai penasaran.
“Jadi, benar – benar tidak dijual?”
“Tidak.”
Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk bunga lagi yang
lain.
“Bagaimana kalau itu?”
Aku sama sekali tidak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Ku
keluarkan semua. Isinya 900 ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut
uang receh logam.
Dia tercengang.
“Bapak mau beli?”
“Ya, tapi aku hanya punya uang 900 ribu. Itu juga berarti aku harus berjalan kaki
pulang.
Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku
merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu.
Aku mau beli bunga yang tak dijual di sini.”
Dia berpikir.
“Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk
diberikan pada seseorang.”
“Yang dicintai mestinya.”
“Ya. Jelas.”
“Sebaiknya bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar
dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku terpesona lalu mengangguk.
“Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya sekaligus dituliskan.”
Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.
“Sebaiknya bapak saja yang menulis.”
“Tidak. Kamu.”
Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan
sajak. Aku menolak.
“Kamu saja yang menulis.”
“Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”
“Pokoknya yang bagus. Yang positif.”
“Cinta, persahabatan dan sayang?”
“Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hafal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia
menunjukan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik
dari sajak. Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:
“Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata – kata.”
Aku terharu. Pantas Nielson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan
selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.
“Bagus?”
Aku tiba – tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat
memalukan. Cepat – cepat kuhapus.
“Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”
“Ya?”
“Ya, tapi sebaiknya bapak tanda tangani sekarang, nanti lupa.”
Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.
“Kamu saja yang tanda tangan.”
“Kenapa saya?”
“Kan kamu tadi yang menulis.”
“Tapi ini untuk Bapak.”
“Ya. Memang.”
Ia bingung.
“Kamu tidak mau menanda tangani apa yang kamu tulis?”
“Tapi, saya menulis ini untuk Bapak.”
“Makanya!”
Ia kembali bingung.
“Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”
Dia bengong.
“Aku memang tidak pantas diberi ucapan selamat.”
“Jadi bunga ini untuk Bapak?”
“Ya”
“Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”
“Ya. Apa salahnya?”
“Bapak yang ulang tahun?”
“Ya.”
Dia menatapku tak percaya.
“Kenapa?”
“Mestinya mereka yang mengirim bunga untuk Bapak.”
“Mereka siapa?”
“Ya, keluarga Bapak, teman – teman Bapak. Anak Bapak. istri Bapak, atau pacar Bapak
…”
“Mereka terlalu sibuk.”
“Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”
“Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat
untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”
Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.
“Terimakasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”
Aku tersenyum untuk meyakinkan dia kalau aku tidak marah. Percakapan kami tadi
terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapatkan hadiah ulang tahun
yang lain dari yang lain.
e) Sudut Pandang :
Aku (Bapak) : Orang pertama sebagai pelaku utama
Pemilik toko bunga : Orang pertama sebagai sampingan
f) Amanat : Perihal mengenai zona yang indah tetapi tidak
merasa nyaman itu sama saja merasa ada yang kurang. Tetapi jika
berada di suasana atau tempat nyaman akan merasakan semaangat,
nyaman, dan bahagia dalam setiap alurnya.
g) Gaya Bahasa : Litotes
Bukti Kalimat :
“Karena dibuat tidak untuk dijual.”
Aku ketawa.
“Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.
“Dua.”
“Dua apa?”“Dua juta.”
Aku melongo. Mana mungkin ada bunga seharga dua juta. Dan bunga itu jadi
makin indah. Aku mulai penasaran.
“Jadi, benar – benar tidak dijual?”
“Tidak.”
Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk bunga
lagi yang lain.
“Bagaimana kalau itu?”
Aku sama sekali tidak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa
isinya. Ku keluarkan semua. Isinya 900 ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh
di atas meja berikut uang receh logam.
Dia tercengang.
“Bapak mau beli?”
“Ya, tapi aku hanya punya uang 900 ribu. Itu juga berarti aku harus berjalan
kaki pulang.