Anda di halaman 1dari 4

BIOGRAFI SINTA NURIYAH

Sinta Nuriyah, dilahirkan di Jombang pada tanggal 08 Maret 1948 M, Dan biasa disapa
dengan sapaan bu Sinta. Ayahnya sendiri seorang penulis kaligrafi professional. Beliau tergolong
putri sulung dari delapan belas bersaudara. Suaminya bernama Abdurrahman Wahid presiden RI
ke-4, dan dari pernikahan dengannya, bu Sinta mendapat karunia terindah dengan memiliki
empat buah anak yaitu, Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zanubba Arifah Chafsoh, Anita
Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.

Sejak kecil bu Sinta dalam kungkungan pesantren. Hal ini dibuktikan ketika bu Sinta
belajar dalam pendidikan formal dan non-formal. Beliau belajar non formalnya di pesantren
Tebuireng, selain menjadi santri di pesantren Tebuireng alam pendidikan non formalnya, beliau
juga belajar pendidikan formalnya di MI (Madrasah Ibtidaiyah) yang masih dalam naungan
pesantren Tebuireng Jombang. Setelah lulus dari MI (Madrasah Ibtidaiyah), beliau melanjutkan
di MTs (Madrasah Tsanawiyah) yang juga masih dalam naungan pesantren Tebuireng Jombang.
Tamat dari MTs (Madrasah Tsanawiyah) Jombang, beliau melanjutkan ke Madrasah muallimat,
yang mana madrasah tersebut dikhusus untuk perempuan saja. Dari madrasah Muallimat inilah,
bu Sinta mengenal Abdurahman Wahid alis Gus Dur yang kelak menjadi suaminya bu Sinta. Bu
Sinta ketika itu menjadi murid, sedangkan Abdurrahman Wahid sebagai pengajarnya. Dari
situlah kisah cinta bu Sinta dan Abdurahman Wahid bermula.

Selesai menamatkan belajarnya di pendidikan formal Madrasah Muallimat, beliau lantas


melanjutkan pengembaraan mencari ilmunya di perguruan tinggi Islam, yakni di IAIN (Institut
Agama Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang sekarang berubah menjadi UIN
(Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga. Ketika belajar di IAIN Sunan Kalijaga, beliau
mengambil bidang Ilmu Syari’ah dan selesai tepat pada waktunya.

Tidak berhenti semangat belajarnya bu Sinta di Strata Satu begitu saja. Setelah
menamatkan Strata Satunya di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Beliau (bu Sinta) lantas melanjutkan kuliah lagi S2 di UI Universitas Indonesia pada tahun 1999
M, dengan mengambil program studi kajian Wanita. Tapi sangat disayangkan, ketika beliau (bu
Sinta) berada disemester empat (4), tuhan mengujinya dengan terjadinya kecelakaan latu lintas
yang membuat beliau harus duduk di atas kursi roda dalam menjalankan aktivitasnya. Tetapi
walaupun beliau (bu Sinta) diterpa musibah seperti itu, tidak menghalangi semangatnya untuk
menyelesaikan pendidikan S2-nya yang tinggal sejengkal untuk selesai studinya

Ketika bu Sinta menginjak masa remaja. Beliau akan dinikahkan dengan seorang putra
kiai yang juga cucu dari pendiri organisasi besar, yakni Abdurahman Wahid alias gus dur.
Perjalanan asmara bu Sinta dengan Abdurahman Wahid alias gus dur sangatlah menarik. Ketika
itu Beliau (bu Sinta) menjadi murid gus dur di madrasah muallimat, sedangkan gus dur menjadi
gurunya bu Sinta. Ketika itu, beliau dijodohkan oleh seorang kiai yakni, Kiai Fatah, yang juga
paman dari Abdyrahman Wahid. Gus dur pun tidak terlalu banyak bicara dan mengiyahkan
perjodohan tersebut. Namun, waktu memang belum terlalu cocok untuk terlalu buru-buru dalam
asmara. Beliau (bu Sinta) ketika itu belum bisa bersedia, karena memang beliau (Sinta) terlalu
trauma sama salah satu seorang guru yang juga pernah memintanya ketika beliau masih berumur
tiga belas tahun.

Dan ternyata, apa yang dimaksud beliau (bu Sinta) trauma dengan yang disebut seorang
guru tersebut, yang tak lain adalah Abdurahman. Namun semua itu berubah, ketika beliau (bu
Sinta) sangat bersimpati terhadap Abdurahman setelah keduanya saling berkomunikasi melalui
sebuah surat menyurat. Dengan surat menyurat tersebut, beliau (bu sinta) bisa memahami
karakter Abdurahman yang begitu lemah lembut dan sangat cerdas pemikirannya.

Tukar menukar surat berjalan begitu lama, kemudian Abdurahman memutuskan untuk
melamar beliau (bu Sinta), Tetapi bu Sinta masih menunjukkan kebimbangannya. Dan lama-
lama kelamaan beliau (bu Sinta) memutuskan mengiyakan Abdurahman Wahid sebagai patner
hidup. Lalu pada pertengahan tahun 1966 Masehi, Abdurahman Wahid dan Bu Sinta
melangsungkan pertunangan.

Setelah menyelesaikan pertunangannya. Dua tahun setelahnya, tepatnya pada bulan


September 1968 M, beliau (Bu Sinta) akhirnya memutuskan menikah dengan Abdurahman yang
sudah meminangnya jauh-jauh hari tersebut. Namun, prosesi pernikahan untuk mempelai berdua
tergolong sangatlah unik. Karena Abdurahman sendiri ketika itu masih berada jauh untuk
menyelesaikan pendidikannya di al-azhar Kairo Mesir. Namun ketika itu, kiai Bisri Syansuri
menjadi wakil dari Abdurahman, karena Abdurahman sendiri tidak bisa hadir saat upacara
pernikahannya. Tetapi, walaupun Abdurahman Wahid tidak bisa datang saat itu, karena masih
terkendala belajar, maka ketika sama-sama lulus entar, keduanya berjanji untuk mengulangi
pernikahan tersebut.

Sejak menjadi Istrinya Abdurahman Wahid, beliau (bu Sinta) sudah banyak malang
melintang di berbagai aktivitas yang ada saat itu. Karir beliau dimulai dengan menjadi wartawan
di sebuah berita yakni majalah zaman, mulain dari tahun 1980 sampai 1985. Kemudian setelah
itu, karena majalah zaman telah gulung tikar dan dinyatakan tutup, maka beliau (bu Sinta) lalu
pindah membantu Syu’ban Asa di sebuah majalah TEMPO.

Disamping karir-karir beliau yang sangat moncer tersebut. Beliau juga aktif menjadi
aktivis untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, yang kemudian ikut berkumpul
dengan beberapa organisasi-organisasi, diantaranya yaitu menjadi anggota kongres Wanita
Indonesia (Kowani), juga anggota komite Nasional kedudukan Wanita Indonesia atau bahasa
inggrisnya (National Commission on the status of Woman).

Dalam bergabungnya beliau bersama organisasi-organisasi Perempuan tersebut, beliau


lantas mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama yayasan puan amal hayati. Yang mana,
yayasan tersebut memiliki sebuah arti pesantren untuk pemberdayaan perempuan, yang didirikan
pada tanggal 03 Juli tahun 2000 M. Yang mana yayasan tersebut baru beroperasi pada tahun
2001 M, guna menghindari adanya persepsi yang tidak baik dari masyarakat, karena beliau
sendiri tidak mau dikatakan sebagai memanfaatkan tahta Ibu Negara atau ibu presiden saat itu
untuk mendirikan yayasan tersebut.

Dalam aktivitasnya menjadi pejuang perempuan. Dalam sebuah acara talkshow, beliau
mengatakan sangat menolak sekali dalam hal poligami. Karena pada waktu itu, beliau
mendengar sebuah kabar bahwa, ada seorang pria yang diberitakan bisa berbuat adil kepada dua
belas istrinya. Karena beliau mendengar kabar tersebut, lantas beliau berkata tidak mungkin ada
seorang pria yang mampu berbuat adil kepada duabelas istrinya tersebut, karena itu semua sangat
mustahil.

Bu Sinta dan Abdurahman Wahid alias Gus Dur memang sangat berjodoh sekali, karena
memang kedua-duanya sama-sama menjadi seorang aktivis. Walaupun sama-sama menjadi
seorang aktivis, tetapi aktivitasnya beliau (Bu Sinta) tidak mengalahkan Abdurahman Wahid
sebagai suaminya. dalam artian, aktivitas beliau berdua tidak begitu jauh beda dalam melakukan
aktivitas organisasi. Tetapi walaupun sama-sama beraktivitas dalam organisasi, beliau (bu Sinta)
tetap selalu mendampingi suaminya dengan kesetiaan. Tidak hanya itu, beliau (bu Sinta) juga
menjaga fisik suaminya, dan juga ikut membantu memahami pemikiran-pemikaran Gus Dur
yang kadang kala terbilang kontroversial. Beliau (bu Sinta) mendampingi Gus Dur mulai awal
dari sebagai aktivis, pemikir, ketua PBNU, dan hingga Abdurahman Wahid menjadi Presiden RI
Republik Indonesia. Dalam hal itu juga, beliau (bu Sinta) masih tetap dalam pendirian, seperti
halnya suaminya yang juga selalu menyuarakan hak-hak, seperti halnya hak asasi manusia,
pemberdayaan perempuan, kebebasan, dan toleransi.

Anda mungkin juga menyukai