Skripsi Konflik Sosial PDF
Skripsi Konflik Sosial PDF
Tugas Akhir
Oleh
NIM: 124114024
FAKULTAS SASTRA
YOGYAKARTA
2016
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERSEMBAHAN
(Citra Scholastika)
Bapakku T. Sipayung,
Mamaku E. BoruTurnip,
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya hadiratkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya tugas akhir ini yang berjudul “Konflik Sosial Tokoh
Maryam dalam Novel Maryam karya Okky Madasari: Kajian Sosiologi Sastra”
dapat diselesaikan dengan baik dan merupakan salah satu persyaratan untuk
Dalam penyusunan laporan penyelesaian skripsi ini juga tidak lupa juga
1. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. selaku dosen pembimbing I yang telah
3. Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Dosen
4. Seluruh staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia S.E Peni Adji, S.S., M.
Hum.; Drs. Hery Antono, M.Hum.; Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum.;
Drs. F.X. Santosa.; Dra. Fransisca Adji, M.Hum. yang telah memberikan
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
oleh penulis.
9. Mba Bety dan Kakak A. Ria Puji Utami yang selalu memberikan doa dan
10. Teman-teman Sastra Indonesia Angkatan 2012: Bella, Roby, Gaby, Dorce,
Patrick, Silvy, Shanty, Carlos, Wily, Lina, Ovi, Venta, Peng, dan Mei atas
11. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK
Penelitian ini mengangkat topik konflik sosial yang dialami oleh tokoh
Maryam dalam novel Maryam. Konflik merupakan dilema sosial ketika orang-
perorangan atau kelompok manusia yang ingin memenuhi tujuannya dengan cara
menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan. Tujuan penelitian
ini (i) menganalisis dan mendeskripsikan struktur novel Maryam yang meliputi
tokoh dan penokohan, alur, dan latar, (ii) menganalisis dan memaparkan bentuk-
bentuk konflik sosial yang dialami tokoh Maryam dalam novel Maryam.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kajian struktural dan pendekatan
sosiologi sastra dengan teori konflik sosial Soerjono Soekanto. Kajian struktural
digunakan untuk menganalisis struktur novel dan untuk melihat permasalahan
yang berhubungan dengan tokoh Maryam. Kajian sosiologi sastra digunakan
untuk menganalisis bentuk-bentuk konflik sosial yang dialami tokoh Maryam
yang meliputi konflik karena perbedaan orang-perorangan dan konflik karena
perbedaan kebudayaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan tiga teknik, yaitu, teknik studi pustaka, teknik baca, dan teknik
catat. Sementara itu, dalam metode analisis data, menggunakan metode
berdasarkan isi laten dan isi komunikasi. Selanjutnya, dalam metode penyajian
data, menggunakan deskriptif analisis.
Hasil kajian dalam novel ini dibagi menjadi dua, yaitu analisis struktur
novel dan sosiologi sastra. Struktur novel berisi tokoh dan penokohan, tokoh
protagonis dalam novel ini adalah Maryam, Umar, Pak Khairuddin, dan Zulkhair;
dan tokoh antagonis yaitu Alam, Ibu Alam, Pak RT, Pak Haji, dan Gubernur.
Maryam adalah tokoh yang memiliki permasalahan sosiologis. Alur yang
digunakan, yaitu: tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap
peningkatan konflik tahap klimaks, dan tahap penyelesaian. Latar terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu latar tempat (Lombok, Gerupuk, Gegerung, dan Gedung
Transito), latar waktu (tahun 1999, tahun 2001, tahun 2003), dan latar sosial (segi
kebiasaan hidup, segi tradisi, segi cara berpikir dan bersikap).
Hasil kajian sosiologi sastra dengan teori Soerjono Soekanto terhadap
tokoh Maryam mengungkap bentuk-bentuk konflik sosial sebagai berikut. 1)
Konflik karena perbedaan orang-perorangan dalam novel Maryam yang meliputi:
perbedaan antara individu dengan individu, perbedaan antara individu dengan
kelompok, dan perbedaan antara kelompok dengan kelompok. 2) Konflik karena
perbedaan kebudayaan dalam novel Maryam meliputi: kebudayaan khusus atas
dasar kedaerahan, kebudayaan khusus atas dasar agama, dan kebudayaan khusus
atas dasar kelas sosial.
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV PENUTUP
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang
kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini,
seseorang. Hal inilah yang menjadi pantulan hubungan seseorang dengan orang
perilaku, struktur ide, dan berbagai kecenderungan sosial (Ratna, 2003: 214).
yang saling menggantungkan. Jika novel dikatakan sebagai sebuah totalitas, unsur
kata, bahasa, misalnya merupakan salah satu bagian dari totalitas (Nurgiyantoro,
2007: 22).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai
peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail. Ciri
khas novel ada pada kemampuannya untuk menciptakan satu semesta yang
“cermin” sebagai ciri khas dalam keseluruhan karya. Mencerminkan menurut dia,
“sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih
dinamik” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak
ketiga yang diterbitkan pada tahun 2012 oleh Gramedia Pustaka Utama.
Award tahun 2012. Maka dari itu, penulis akan menyoroti tokoh Maryam. Tokoh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
khususnya konflik sosial yang dialami oleh dirinya untuk bisa berusaha melawan
ketidakadilan yang ia dapat selama hidupnya sebagai seorang wanita yang terlahir
dari Ahmadiyah. Maryam merupakan seorang wanita yang cerdas, ramah, taat
beribadah. Namun dari itu semua, Maryam justru mendapatkan pertentangan dari
keluarga sang suami dan lingkungan sekitarnya yang menilai bahwa ia merupakan
seorang yang terlahir dari Ahmadiyah yang dinilai sesat, karena memiliki ajaran
sendiri dengan menganggap nabi terakhir adalah Mirza Ghulam Ahmad bukan
Islam, hal tersebut tidaklah menutup hati mereka (bukan kelompok Ahmadiyah
Hal ini juga disampaikan oleh pengarang novel Maryam, Okky Madasari,
Ahmad adalah nabi mereka, sedangkan menurut Islam secara umum menganggap
bahwa nabi terakhir mereka adalah Nabi Muhammad s.a.w. sehingga membuat
berontak terhadap tata nilai keluarga, berontak terhadap perilaku masyarakat yang
Menurut Coser melalui Saifuddin (1986: 7), konflik adalah gejala yang
wajar terjadi dalam setiap masyarakat yang selalu mengalami perubahan sosial
konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial antarmanusia, atau masalah-
Menurut Boulding (1962: 166), yang paling menarik dari konflik adalah
ketika mereka berada dalam satu pihak, menganggap bahwa adalah orang-
perseorangan dan pihak lain adalah kelompok atau organisasi. Konflik seperti itu
atau pola perilaku yang ia suka dan berpikir mampu melakukannya. Untuk
beberapa konflik ini tak terelakkan lagi; mereka diciptakan oleh fakta keanggotaan
individu dalam suatu kelompok atau organisasi pembentukan yang tidak bisa
dan Kepatuhan Hukum.” Bulan Juli 1983, ia dikukuhkan sebagai guru besar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masa yang silam. Sosiologi merupakan suatu ilmu yang masih muda usianya,
kenyataan sosial. Hal ini terlihat pada novel Maryam karya Okky Madasari
sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial (Ratna, 2003:
11).
Novel Maryam karya Okky Madasari menarik untuk diteliti karena adanya
beberapa alasan. Pertama, novel ini memaparkan sebuah kisah perjuangan seorang
Terlihat pada perjuangan Maryam yang berusaha melewati masa hidupnya yang
merasa gagal dalam membina rumah tangga. Kedua, novel Maryam karya Okky
sosial yang dialami oleh tokoh Maryam itu sendiri dalam novel Maryam karya
sastra. Langkah awal memahami karya sastra adalah menganalisis struktur novel
yang meliputi tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Selanjutnya, akan diteruskan
lagi oleh penulis dalam bentuk-bentuk konflik sosial yang dialami tokoh Maryam
sosial tokoh Maryam karya Okky Madasari akan dibahas dalam Bab
III.
meliputi tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Serta kajian sosiologi sastra untuk
memahami konflik sosial yang dialami oleh tokoh Maryam karya Okky Madasari
dan pemahaman tentang novel Maryam karya Okky Madasari. Selain itu, melalui
lebih luas sehingga ilmu yang dirasakan bermanfaat bagi pembaca dapat
Okky Madasari menulis novelnya yang berjudul Entrok. Novel Entrok ini
dua generasi dan kesewenangan militer pada masa Orde Baru (Orba). Novel
ketiganya adalah novel yang dibahas oleh penulis, yaitu Maryam. Novel ini
Novel Maryam ini pernah dikaji oleh Susi Lailatul Musarrofah (2013)
sosiologi sastra, dengan judul “Konflik Sosial Dalam Novel Maryam Karya Okky
Madasari.” Sementara itu, topik permasalahan “konflik sosial” juga dikaji oleh
Lucia Intan Suharti (USD-2006). Penelitian yang berjudul Konflik Sosial Antar
Tokoh Novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract Karya Emil W.
dalam penelitian Lucia Intan Suharti adalah (1) Bagaimana tokoh dan penokohan,
alur, dan latar serta keadaan sosial novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat
Koeli Contract karya Emil W. Aulia: Suatu Pendekatan Sosiologi Sastra, (2)
Bagaimana konflik sosial novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli
masalah (1) Bagaimana tokoh dan penokohan serta keadaan sosial dalam Orang-
orang Malioboro karya Eko Susanto, (2) Bagaimana konflik sosial yang ada
Penulis belum menemukan penelitian dengan pendekatan subyek yang sama yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
mengkaji “Konflik Sosial Tokoh Maryam dalam Novel Maryam karya Okky
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (i) kajian
struktural, (ii) kajian sosiologi sastra, (iii) bentuk-bentuk konflik sosial yang
dialami tokoh Maryam dalam novel Maryam karya Okky Madasari. Kajian
struktural digunakan untuk menganalisis tokoh dan penokohan, alur, dan latar.
Soekanto dalam memahami bentuk-bentuk konflik sosial yang dialami oleh tokoh
Maryam.
Dalam penelitian ini, kajian struktural dibatasi pada tokoh dan penokohan,
alur, dan latar. Untuk kepentingan adanya tokoh dan penokohan, alur, dan latar
akan digunakan penulis untuk dapat lebih mengenal dan memahami tokoh
Maryam serta konflik sosial yang dialaminya dalam novel Maryam karya Okky
Madasari.
semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh. Setiap karya sastra memerlukan metode analisis yang sesuai dengan
11
latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dicoba jelaskan bagaimana fungsi
alur, dan latar. Ketiga analisis ini sangat penting bagi penulis karena berperan
1.6.1.1 Tokoh
orang yang ditampilkan dalam karya naratif atau drama yang oleh pembaca
menyarankan pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita
yang ditampilkan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral
12
emosi, dan prinsip moral dari invidu-individu tersebut. Sebagian besar cerita dapat
ditemukan satu ‘karakter utama’ yaitu karakter yang terkait dengan semua
pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada
pembaca. Keadaan ini dapat berakibat kurang menguntungkan para tokoh cerita
itu sendiri dilihat dari segi kewajarannya dalam bersikap dan bertindak. Tokoh
cerita seolah-olah hanya sebagai corong penyampai pesan atau bahkan mungkin
haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar bagaimana
kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging, mempunyai pikiran dan
perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi, maka ia
harus bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan
jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Menurut
menjadi tokoh utama (sentral) dan tokoh tambahan (periferal). Tokoh utama
adalah tokoh yang paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan
tokoh-tokoh lain. Ia selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan
13
tokoh yang dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tak dipentingkan, dan
kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang selalu
menjadi tokoh yang sentral dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam
itu sendiri tidak semua berhubungan satu dengan yang lain (Sudjiman, 1987: 18).
protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer
yang ideal bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan
antagonis, beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung atau pun tidak
langsung, bersifat fisik atau pun batin. Tokoh antagonis cenderung menjadi tokoh
yang menyakiti tokoh protagonis. Dia adalah tokoh yang jahat sehingga akan
menimbulkan rasa benci. Tokoh antagonis tidak hanya pada individu atau
lingkungan alam dan sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral, kekuasaan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
kekuatan yang lebih tinggi, dan sebagainya. Hal ini dapat dikatakan sebagai
sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat
(complex atau round character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya
memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Tokoh
bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi
183).
dapat dibedakan ke dalam tokoh statis atau tokoh tak berkembang (static
tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan
menjadi tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya
kualitas pekerjaan dan kebangsaannya atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat
penunjukkan terhadap orang atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga yang ada di
Dalam penelitian novel Maryam karya Okky Madasari, jika dilihat dari
fungsi penampilan tokoh cerita, penulis manganalisis tokoh cerita tersebut dalam
1.6.1.2 Penokohan
dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
ini sekaligus terkandung dalam dua aspek, yaitu: isi dan bentuk.
Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya atau
lengkapnya: pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang
berhubungan dengan jati diri tokoh, dapat dibedakan ke dalam dua cara atau
teknik, yaitu teknik pelukisan secara langsung (teknik ekspositori) dan teknik
16
secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi
kehadirannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan
akan berwujud penuturan yang bersifat deskriptif pula. Artinya, ia tak akan
pantangan atau pelanggaran jika dalam dialog pun tercermin watak para tokoh
Teknik dramatik atau pelukisan tokoh cerita yang dilakukan secara tidak
langsung. Artinya, pengarang tak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap
serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk
secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan
Kelebihan teknik dramatik yang lain adalah sifatnya yang lebih sesuai
dengan situasi kehidupan nyata. Dalam situasi kehidupan sehari-hari, jika kita
berkenalan dengan orang lain, kita tak mungkin menanyakan sifat kedirian orang
17
dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Dalam sebuah karya fiksi, biasanya
bawah ini.
201).
fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku dapat
18
Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di
dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang dipikir dan dirasakan oleh tokoh,
dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya juga. Perbuatan dan
Dengan demikian, teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik
cakapan dan tingkah laku. Artinya, penuturan itu sekaligus untuk menggambarkan
Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan.
sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses
kehidupan batin, yang memang hanya terjadi di batin, baik yang berada di ambang
kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap tingkah laku orang lain, dan
sebagainya yang berupa “rangsang” dari luar diri tokoh yang bersangkutan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu
2007: 207).
Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh
lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa
kedirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam sebuah
seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Keadaan latar
Pelukisan keadaan latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu mendukung teknik
penokohan secara kuat walau latar itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang
20
dilukiskan, terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat
peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-
peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain
dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya.
lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar
memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’.
Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki ‘konflik internal’ yang hadir melalui
hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya
lima bagian yaitu, (i) tahap peyituasian atau tahap situation, (ii) tahap pemunculan
konflik atau tahap generating circumstances, (iii) tahap peningkatan konflik atau
tahap rising action, (iv) tahap klimaks atau tahap climax, (v) tahap penyelesaian
21
pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahapan ini merupakan tahap
ini merupakan tahapan awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan
pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh
cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh
tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik
sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar,
22
peristiwa dalam cerita tentulah terjadi pada suatu waktu atau suatu rentang waktu
tertentu dan pada suatu tempat tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun alur cerita
Latar dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau
disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
diceritakan.
Unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur, yaitu tempat, waktu, dan
berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan
Dalam penelitian ini, latar berfungsi untuk menganalisis latar tempat pada
lokasi peristiwa yang terjadi, latar waktu yang digunakan untuk menganalisis
23
dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan berupa tempat-tempat
dengan nama tertentu atau inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa nama jelas.
Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata
mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan
geografis tempat yang bersangkutan. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis
sungguh-sungguh ada dan terjadi, yaitu di tempat (dan waktu) seperti yang
masyarakat. Setelah mengetahui dengan jelas latar tempat, maka akan membantu
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat
24
sejarah. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan waktu, langsung atau tidak
karya naratif bermakna ganda di satu pihak menyaran pada waktu penceritaan,
waktu penulisan cerita, dan di pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu
Latar waktu dapat memberikan gambaran waktu terjadinya cerita karena waktu
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup
yang cukup kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang
233-234).
dalam novel Maryam. Hal ini sangat dibutuhkan dalam penelitian dengan adanya
latar sosial, penulis dapat dengan mudah dalam menemukan proses yang terjadi
25
studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai
konsep tentang sosiologi sastra, yaitu: (i) karya sastra tidak dapat dipahami
menghasilkannya, (ii) gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya
dengan bentuk teknik pelukisannya, (iii) karya sastra bisa bertahan lama pada
hakikatnya adalah suatu prestasi, (iv) masyarakat dapat mendekati sastra dari dua
arah: pertama, sebagai kekuatan atau faktor material istimewa, dan kedua, sebagai
tradisi.
kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Istilah itu pada
Menurut Damono (1978: 2), ada dua kecenderungan utama dalam telaah
26
bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra, sastra hanya
Dalam pendekatan ini, teks sastra tidak dianggap utama, ia hanya merupakan
sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
lain-lain. Dalam hal ini, tugas ahli sosiologi sastra adalah menghubungkan
keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam
karya sastra yang bersifat pribadi itu, harus diubah menjadi hal-hal yang sosial
dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan
kekerasan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
konflik sebagai salah satu bentuk proses sosial mempunyai fungsinya bagi
persoalan yang dipertentangkan dan juga dari struktur sosial di mana konflik
faktor yang dapat membatasi akibat-akibat negatif dari suatu konflik adalah sikap
organisasi sosial. Tiap kesatuan itu menunjukkan pembagian yang sama, yakni
antara sejumlah orang yang berada di dalam posisi memegang kuasa dan
wewenang, dan sejumlah besar lain yang berada di posisi bawahan (Veeger, 1992:
93).
karena alasan inilah, istilah “teori konflik” merupakan suatu istilah yang tidak
cocok. Perhatian yang utama umumnya terhadap pelbagai teori konflik adalah
mengenal dan menganalisa kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, sebab dan
bentuknya, dan dalam banyak hal, akibatnya dapat menimbulkan perubahan sosial
28
masalah pokok. Prinsip dasar yang menerangkan kehidupan sosial ialah dominasi
pihak kuat atas pihak lemah. Penekanan hidup rakyat, manipulasi pendapat umum,
bersifat goyah karena menjadi arena persaingan dan penabrakan kepentingan yang
pertentangan atau pertikaian atau kita juga sering menyebutnya sebagai konflik.
menghancurkan. Perasaan tersebut biasanya berwujud amarah dan rasa benci yang
dari: (i) konflik karena perbedaan orang-perorangan, (ii) konflik karena perbedaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
kebudayaan, (iii) konflik karena perbedaan kepentingan, dan (iv) konflik karena
perubahan-perubahan sosial.
perasaan yang akan setiap orang biasanya menjadi pemicu utama dalam konflik
soisal. Sebab dalam menjalin hubungan sosial yang baik, seseorang tidaklah selalu
penting adalah rekasi, entah yang berwujud pujian atau celaan yang kemudian
kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara
mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitan timbal balik yang
saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong menolong
itu. Suatu contoh adalah hubungan antara mayoritas dengan minoritas. Reaksi
golongan minoritas cenderung dalam bentuk sikap tidak bisa menerima, agresif,
30
penulis dalam penelitian ini menjadi beberapa bagian, yakni: (i) perbedaan antara
individu dengan individu, (ii) perbedaan antara individu dengan kelompok, dan
merupakan bentuk jamak dari kata “buddhi” yang berarti budi dan akal. Dengan
kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perikelakuan
normatif, yaitu mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan
tersebut. Seseorang secara sadar maupun tidak sadar, sedikit banyaknya akan
31
mencapai taraf perkembangan teknologi yang sudah lebih tinggi. Dalam suatu
masyarakat yang mempunyai jumlah anggota yang besar serta menempati daerah
tidak selalu baik baginya. Kecuali daripada itu, manusia dan masyarakat
khusus atas dasar faktor kedaerahan, kebudayaan khusus atas dasar agama, dan
32
wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang,
1982: 260).
berkuasa dan yang dikuasai, atau dengan kata lain, antara pihak yang memiliki
pengaruh ini dengan rela atau karena terpaksa (Soekanto, 1982: 259-260).
kekuasaan yang nyata. Acapkali terjadi letaknya wewenang yang diakui oleh
masyarakat dan letaknya kekuasaan yang nyata, tidak di satu tempat atau tidak di
dalam satu tangan. Dalam masyarakat kecil dan susunannya sederhana, pada
bermacam bidang, sehingga terdapat gejala yang kuat, bahwa kekuasaan itu
260).
masyarakat itu sendiri, oleh karena sifatnya yang mungkin abnormal menurut
faktor pengikat atau pemersatu yang terwujud dalam diri seseorang atau
33
yang terjadi secara lambat dan cepat, (ii) perubahan-perubahan yang pengaruhnya
kecil dan pengaruhnya besar, dan (iii) perubahan yang dikehendaki dan tidak
dikehendaki.
konflik yang berdasarkan pada tindakan yang disertai dengan adanya kekerasan
dan ancaman terhadap tokoh Maryam dalam konflik yang menjadi permasalahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
dalam hidupnya, yakni: (i) pertama, konflik karena perbedaan orang perorangan
yang terdiri dari: perbedaan antara individu dengan individu, perbedaan antara
(ii) kedua, konflik karena perbedaan kebudayaan yang terdiri dari: kebudayaan
khusus atas dasar faktor kedaerahan, kebudayaan khusus atas dasar agama, dan
kebudayaan khusus atas dasar kelas sosial, (iii) ketiga, konflik karena perbedaan
terdiri dari: kekuasaan dan wewenang, (iv) keempat, konflik karena perubahan
sosial yang terdiri dari: perubahan-perubahan yang terjadi secara lambat dan
teori konflik, yaitu konflik karena perbedaan orang-perorangan dan konflik karena
dan perubahan sosial ke dalam Bab III, yakni: pertama, konflik karena perbedaan
perbedaan kebudayaan.
Penelitian ini dilakukan melalui empat tahap, yakni (i) pendekatan, (ii)
pengumpulan data, (iii) analisis data, dan (iv) penyajian hasil analisis data. Berikut
35
1.7.1 Pendekatan
dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2007: 37).
tersebut pada kajian yang terdiri dari: tokoh dan penokohan, alur, dan latar.
dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu (Ratna, 2013: 59).
Dalam penelitian ini, pendekatan sosiologi sastra lebih sesuai untuk menganalisis
Metode ini dipakai untuk mendapatkan data pada novel Maryam, buku-buku
baca dan teknik catat. Teknik baca digunakan untuk mengumpulkan data dengan
36
digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung penulis
Pada tahap analisis data, penulis menggunakan metode analisis isi untuk
menganalisis data-data yang telah dikumpulkan. Isi dalam metode analisis isi
terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang
terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan
yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi yang
terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen. Analisis terhadap isi laten
Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran. Oleh karena itu,
metode analisis isi dilakukan dalam novel Maryam karya Okky Madasari untuk
penelitian ini.
37
hasil penelitian tentang tokoh dan penokohan, alur, dan latar, serta kajian sosiologi
Sumber data terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder.
dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini
dapat dirinci dalam empat bab. Bab I berisi pendahuluan yang berisi latar
38
melakukan penelitian terhadap novel Maryam karya Okky Madasari dengan teori
penelitian ini. Manfaat penelitian memaparkan manfaat yang dapat diambil dari
hasil penelitian ini. Landasan teori berisi teori-teori yang digunakan dalam
landasan penelitian ini. Metode penelitian ini berisi tentang pendekatan, metode
pengumpulan data, metode analisis data, metode penyajian data, sumber data yang
Bab II berisi tentang struktur novel Maryam yang meliputi tokoh dan
penokohan, alur, dan latar. Bab III berisi tentang kajian novel Maryam karya Okky
dalam kajian sosiologi sastra. Bab IV berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan
BAB II
2.1 Pengantar
Pada bab ini, penulis akan menganalisis struktur novel Maryam karya
Okky Madasari yang akan difokuskan pada tokoh dan penokohan, alur, dan latar.
konflik sosial pada tokoh Maryam dengan melihat bagaimana keadaan para tokoh
cerita, bagaimana peristiwa itu dibangun, dan bagaimana latar dalam cerita
tersebut.
Dalam novel Maryam, terdapat banyak tokoh dalam penelitian ini. Penulis
hanya akan memfokuskan pada tokoh Maryam, Umar, Pak Khairuddin, Zulkhair,
Alam, Ibu Alam, Pak RT, Pak Haji, Gubernur. Dalam novel ini, akan dibahas
tokoh dan penokohan yang memfokuskan penulis pada tokoh protagonis dan
tokoh antagonis.
dengan membawa ide-ide kebenaran (jujur, setia, baik hati, cerdas, cantik,
40
protagonis dalam novel Maryam adalah Maryam, Umar, Pak Khairuddin, dan
Zulkhair.
Maryam merupakan gadis yang sangat cantik di daerah itu. Kulitnya yang
sawo matang, matanya yang bulat dan tajam, alis tebal, dan bibir agak tebal,
rambutnya yang lurus dan hitam. Namun, dari kecantikannya itulah ia tak juga
dari mereka memandang Maryam sebagai perempuan yang sombong dan tak suka
bergaul dengan orang lain. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut:
(1) Maryam memiliki kecantikan khas perempuan dari daerah timur. Kulit
sawo matang yang bersih dan segar. Mata bulat dan tajam, alis tebal, dan
bibir agak tebal yang selalu kemerahan. Rambutnya yang lurus dan hitam
sejak kecil selalu dibiarkan panjang melebihi punggung dan lebih sering
dibiarkan tergerai. Di luar segala kelebihan fisiknya, Maryam gadis yang
cerdas dan ramah. Apalagi yang kurang ketika semuanya telah dibungkus
dalam kesamaan iman?
(Madasari, 2012: 24)
(2) Karena itu, sampai tamat SMA di pulau kelahirannya, Maryam tak pernah
punya pacar. Ia sudah tahu mana orang yang sejalan dengannya, mana
yang bukan. Sejak awal ia membatasi diri ketika ada laki-laki yang berbeda
darinya mulai mendekati. Maryam yang ketus, Maryam yang sombong,
Maryam yang tak mau bergaul. Begitu pikir laki-laki yang mencoba
merayunya. Tapi ketika ada laki-laki Ahmadi mendekatinya, ternyata
sikap Maryam pun tak jauh berbeda. Ya, laki-laki Ahmadi tak ada yang
terlihat menarik di matanya.
(Madasari, 2012: 21)
seorang perempuan yang cantik sehingga banyak laki-laki yang terpikat olehnya
untuk dijadikan pacar maupun istri. Di luar dari kecantikan fisiknya, Maryam
merupakan gadis yang cerdas dan ramah. Maryam adalah seorang anak muda yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
telah lulus SMA pada tahun 1993. Setelah ia lulus SMA, ia sangat ingin sekali
tinggi yang ia inginkan. Maryam pun tinggal bersama saudaranya yang tak lain
adalah Pak dan Bu Zul, teman dekat ayahnya. Hal tersebut seperti dalam kutipan
berikut:
(3) Lulus SMA pada tahun 1993, Maryam berangkat ke Surabaya. Mengikuti
ujian masuk ke perguruan tinggi negeri. Ia diterima di Universitas
Airlangga Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi. Ia tinggal bersama
keluarga yang sudah seperti saudara, kenalan orangtuanya. Sama-sama
Ahmadi. Pasangan suami-istri dengan dua anak yang masih SMA dan
SMP, Pak dan Bu Zazuli, yang kemudian biasa dipanggil Maryam dengan
sebutan Pak dan Bu Zul. Keduanya berasal dari pulau yang sama dengan
Maryam, hanya beda kampung. Tepatnya dari Praya, hampir dua puluh
kilometer di sebelah utara rumah keluarga Maryam. Pak Zul teman bapak
Maryam. Mereka satu sekolah sampai SMP. Lulus SMP Pak Zul merantau
ke Surabaya, menumpang hidup pada keluarga Ahmadi yang mau
membiayainya sekolah sampai lulus SMA. Bapak Maryam juga mendapat
tawaran serupa. Tapi ia enggan. Memilih tetap tinggal di kampung, di
antara ikan-ikan. Toh keduanya sama-sama berhasil. Pak Zul yang
disekolahkan di Sekolah Pendidikan Guru menjadi guru SD di Surabaya.
(Madasari, 2012: 21)
(4) Begitu juga Maryam. Tinggal di kota besar justru makin menguatkan
iman. Ia kuliah dan bergaul dengan teman-teman seperti biasa tiap hari.
Tapi begitu pulang, hari-harinya dipenuhi dengan ibadah, pembicaraan-
pembicaraan tentang keyakinan bersama Pak dan Bu Zul, lalu pengajian
di rumah salah satu keluarga Ahmadi seminggu sekali.
(Madasari, 2012: 22)
seorang perempuan yang tak mudah berputus asa begitu saja terlihat dengan
42
Gamal telah pergi dari rumahnya, membuat Maryam semakin tak henti-hentinya
(5) Semua orang di pengajian terdiam mendengar cerita bapak dan ibu Gamal.
Beberapa orang ikut menangis. Di balik punggung Bu Zul, air mata
Maryam tak berhenti mengalir. Ia kemudian berlari ke kamarnya.
Membenamkan muka di bantal hanya untuk meredam tangisnya. Maryam
kehilangan semua harapannya. Kehilangan orang yang dicintainya. Tapi ia
tak tahu harus bagaimana. Ia hanya ingin menangis.
(Madasari, 2012: 29)
(7) Maryam merindukan Gamal dengan ragu. Tak tahu apakah rasa seperti ini
masih boleh dipelihara sementara Gamal sendiri entah di mana. Tak tahu
apakah rasa rindu ini punya wujud nyata, atau hanya serupa godaan-
godaan kecil yang datang saat ia dalam sepi. Apakah ia berhak merawat
cintanya setelah Gamal terang-terangan menanggalkan iman? Maryam tak
pernah mendapatkan jawaban dari segala kerisauan, sebagaimana ia juga
selalu gagal menyingkirkan rasa rindunya pada Gamal. Bayangan Gamal
senantiasa menyertainya. Mimpi-mimpi tentang Gamal menjadi hiburan
tidurnya. Bayangan tentang kepulangan Gamal yang telah menemukan
kembali iman menjadi doa-doanya. Maryam tak tahu lagi bagaimana ia
bisa mendapatkan rasa yang serupa pada orang lain. Ia ingin, tapi tak
pernah bisa.
(Madasari, 2012: 31)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Berdasarkan kutipan (5), (6), dan (7) digambarkan bahwa Maryam telah
Setelah lulus kuliah pada tahun 1997, Maryam bekerja di salah satu bank
besar Jakarta. Saat itulah Maryam dan Alam berkenalan dan menjalin hubungan.
Setelah kepedihannya waktu itu bersama Gamal, ia telah menemukan sisi baiknya
Gamal pada diri Alam. Hal itu semakin membuat Maryam jatuh cinta pada Alam,
(8) Pada awal tahun 1997, Maryam lulus kuliah dengan terengah-engah.
Menyelesaikan segala kewajiban sambil tetap harus mengatur segenap
rasa gundah. Bayangan Gamal masih tetap mengiringinya. Bahkan ketika
ia berhasil mendapat pekerjaan di sebuah bank besar di Jakarta. Baru
kemudian, ketika Alam datang, Maryam kembali merasakan apa yang dulu
dirasakannya saat mulai dekat dengan Gamal. Maryam juga sengaja
membanding-bandingkan keduanya. Wajah mereka yang hampir mirip,
sifat dan perilaku yang serupa, dan nama mereka yang tak jauh berbeda:
Gamal dan Alam. Maryam jatuh cinta. Satu-satunya yang dipikirkan
adalah jangan sampai yang baru didapatkannya ini terlepas. Ia tak mau lagi
mengulang masa-masa kehampaan yang melelahkan ketika kehilangan
Gamal. Dengan Alam ia tak berpikir apa-apa lagi, selain ingin berdua
selamanya.
(Madasari, 2012: 32)
(9) Delapan tahun lalu, tak lama setelah Maryam mulai bekerja di bank,
mereka berdua berkenalan dalam sebuah pertemuan. Dua puluh empat
tahun usia Maryam saat itu. Ia pindah ke Jakarta setelah tamat kuliah di
Surabaya. Baru menikmati punya penghasilan sendiri, yang jumlahnya
paling besar dibanding teman-teman kuliah seangkatan, dua juta rupiah.
Sedang senang-senangnya berbelanja baju-baju baru, memoles wajah tiap
pagi, pergi ke salon sebulan sekali. Punya penghasilan sendiri membuat
Maryam jauh lebih percaya diri. Punya penghasilan sendiri membuatnya
tak perlu bergantung pada orangtuanya lagi.
(Madasari, 2012: 16)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
salah satu bank terbesar di kota Jakarta. Di kota itulah Maryam dan Alam bertemu,
dan mereka pun berpacaran setelah Maryam berhasil move on dari Gamal mantan
suaminya, Alam. Meskipun ia tahu segala usahanya untuk bahagia bersama Alam,
kini telah sirna. Namun, ia bisa bebas keluar dari kehidupannya yang karam
dengan bekerja dan bekerja tanpa kenal lelah. Hal tersebut seperti dalam kutipan
berikut:
(10) Perkawinan yang belum genap lima tahun itu karam. Maryam yang
memilih keluar. Ia sendiri heran, bagaimana ia bisa selama itu bertahan.
Berusaha membangun kebahagiaan di tengah-tengah kecurigaan dan
kepalsuan. Ia selalu berpikir, yang penting Alam, suaminya itu, tulus
mencintainya tanpa prasangka. Tapi siapa yang menyangka nyali laki-laki
yang dicintainya hanya sebatas bualan?
(Madasari, 2012: 15)
janda. Perkawinannya yang belum genap lima tahun. Baginya, cinta Alam
hanyalah sebagai bualan saja, tak ada cinta, tak ada kebahagiaan, yang ada
berpisah dari suaminya yang tak pernah bisa mengerti akan dirinya. Di samping
itu, Maryam tetap menjadi dirinya yang bisa bekerja seperti biasanya tanpa
45
itu. Maryam semakin diperlakukan seperti anak yang baru pertama kali menikah.
hanya demi laki-laki yang tak bisa berbuat apa-apa untuknya. Hal tersebut seperti
(12) Dalam hatinya timbul sedikit heran, kenapa bapak dan ibunya
memperlakukannya seperti anak gadis yang baru pertama kali menikah.
Mungkin ini karena begitu takut yang dulu terjadi pada pernikahanku
dengan Umar, sisi hati Maryam yang lain menjawab pertanyannya sendiri.
(Madasari, 2012: 159)
(13) Umar memberikan alat salat dan Al Quran sebagai mas kawin. Saat suara
“sah” diucapkan berkali-kali, air mata Maryam menetes. Bayangan
pernikahannya dengan Alam kembali datang. Sangat jelas dan terasa
nyata. Maryam bahkan merasa semuanya hanya pengulangan. Peristiwa
yang sama. Hanya waktu dan tempatnya yang berbeda. Namun saat
pandangannya bertemu dengan bapak dan ibunya, Maryam tahu ini
bukanlah pernikahannya yang dulu. Ada bahagia yang mengintip pelan-
pelan dari balik hatinya. Bahagia karena telah membuat orangtuanya
bahagia. Rasa yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.
(Madasari, 2012: 164)
merasa dihargai, menjadi pusat perhatian. Dalam hatinya, Maryam yang bangga
46
kedua kalinya. Maryam pun kembali meneteskan air mata, ia tahu bahwa ini
bukanlah pernikahannya seperti yang dulu. Ada rasa bahagia dibalik hatinya, ia
dan sempurna. Inilah yang membuat Umar dan Maryam sama-sama bahagia.
Tidak hanya mereka saja yang berbahagia, keluarga dan kerabat keluarganya pun
ikut berbahagia menyambut kedatangan satu orang lagi dalam keluarga mereka.
(14) Dalam duka, anak Umar dan Maryam lahir. Bayi perempuan. Sehat dan
sempurna. Mandalika. Begitu mereka memberinya nama. Di hari-hari
terakhir kehamilannya, Maryam berkata pada Umar ingin memberi nama
yang berasal dari Lombok untuk anaknya. Bukan nama Arab, seperti ayah
dan ibunya. Bagi Maryam, itu langkah paling awal sekaligus langkah
paling mudah dilakukan untuk menjauhkan anaknya dari segala kepedihan
yang dialami keluarganya. “Biarlah anak ini jauh dari agama tapi dekat
dengan kebaikan,” kata Maryam berulang kali. Umar mengiyakan. Dalam
soal iman, ia selalu sepaham dengan Maryam. Semua yang mereka
lakukan selama ini adalah bentuk cinta pada keluarga dan orang-orang
yang teraniaya. Bukan untuk iman keluarga.
(Madasari, 2012: 241)
(15) Maryam dan Umar mulai memikirkan nama. Mereka membeli buku, juga
membuka-buka internet. Lalu nama itu diingat Maryam begitu saja:
Mandalika. Cerita yang sering didengarnya sejak kecil di Gerupuk.
Tentang seorang putri cantik yang diperebutkan dua raja dari dua kerajaan
besar. Perang besar akan terjadi. Tapi Mandalika memilih pergi.
Mengorbankan diri agar perang tak terjadi. Ia menenggelamkan diri di
pantai indah yang berbukit-bukit di wilayah selatan. Tak jauh dari
Gerupuk, hanya beberapa langkah kaki dari hotel tempat menginap
Maryam dan Umar dulu. Semua warga di daerah selatan akrab dengan
cerita ini. Barangkali kisah Mandalika inilah yang pertama menyapa
mereka di dunia dongeng. Demikian juga Maryam.
(Madasari, 2012: 242)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
melahirkan seorang anak perempuan yang cantik, sehat, dan sempurna. Mereka
agar dapat menjauhkan anaknya dari segala kepedihan yang dialami oleh keluarga
dan dirinya yang nantinya Mandalika mengorbankan diri agar perang takkan
terjadi lagi.
Umar merupakan anak dari Pak Ali dan Bu Ali. Umar adalah anak satu-
satunya keluarga Pak Ali. Umar kuliah di Universitas Udayana, Bali, Jurusan
Sastra Inggris. Umar yang belum lulus juga masih terpesona pada kehidupannya
dengan berkuliah yang membuatnya belum juga lulus. Hal tersebut seperti dalam
kutipan berikut:
(16) Anak mereka kuliah sastra Inggris di Universitas Udayana. Kata Pak Ali,
ia ingin anaknya segera lulus hanya karena satu alasan, agar anaknya cepat
pulang dan kembali hidup bersama mereka. Umar nama anak itu, akan
melanjutkan usaha bapak dan ibunya itu. “Biarlah dia dagang madu dan
susu saja, yang penting tidak terpengaruh orang-orang luar,” kata Pak Ali.
(Madasari, 2012: 94)
(17) Pak Ali dan Bu Ali hanya punya satu anak laki-laki. Sekarang kuliah di
Bali. Sudah tahun kelima. “Harusnya sudah lulus dan bekerja. Tapi
biasalah anak muda,” kata Bu Ali. Mereka semua tertawa.
(Madasari, 2012: 94)
anak dari Ibu dan Pak Ali. Ia kuliah di Universitas Udayana, Bali. Mengambil
Jurusan Sastra Inggris. Umar diharapkan kedua orangtuanya untuk segera cepat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Setelah kematian ayahnya, Umar tidak pernah lagi kembali ke Bali. Kuliah
pun tidak lagi. Kekasihnya pun tidak. Umar meneruskan usaha yang dijalankan
oleh bapaknya dengan mengurus susu dan madu milik orangtuanya dulu. Ia
melanjutkan semuanya dari apa yang dilakukan oleh ayahnya sebelum meninggal.
(18) Umar tak kembali lagi ke Bali. Ia meninggalkan semua begitu saja. Demi
ibunya. Tak sampai hati ia meningalkan ibunya sendirian. Lebih dari itu,
hanya dialah satu-satunya harapan untuk meneruskan usaha yang telah
puluhan tahun dijalankan bapaknya. Umar kini yang mengurus susu dan
madu. Ia melanjutkan semua yang dulu dilakukan bapaknya. Pada bulan-
bulan awal, agar lebih tahu semuanya, ia berangkat ke Sumbawa setiap
minggu. Mendatangi tempat-tempat yang biasa memasok susu untuk
mereka. Membandingkan satu dengan yang lain, mengenali kualitas,
mengingat harga. Ia juga pergi ke tempat madu-madu dihasilkan. Mencari
tahu dari proses awal hingga akhirnya siap dikirim ke Lombok. Umar
belajar dengan cepat. Ia merasakan bagaimana pundaknya kini membawa
sesuatu yang dinamai “tanggung jawab”. Ia harus melanjutkan semuanya,
membesarkan, melakukan yang lebih baik. Demi kebahagiaan ibunya.
Juga demi kebanggaan dan nama bapaknya.
(Madasari, 2012: 101)
juga yang menjaga ibunya setelah ayahnya meninggal. Ia sangat tak ingin
meninggalkan ibunya hidup sendirian. Maka dari itu, ia belajar menjadi orang
membesarkan, dan melakukan yang lebih baik demi membahagiakan ibunya dan
49
juga yang membuat Maryam merasa senang. Hal tersebut seperti dalam kutipan
berikut:
(19) Umar selalu sopan dan lembut pada Maryam. Setiap pulang dalam keadaan
lelah karena baru berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, ia mendekati
Maryam dan berkata pelan, “Sabar ya, sampai besok Jumat semua selesai.”
Maryam tersenyum. Ia tahu maksud Umar. Dan ia memang tak
mempermasalahkan apa-apa. Semua begitu mudah dipahami.
(Madasari, 2012: 166)
suami yang bersikap sopan dan lembut pada Maryam. Ia berusaha menenangkan
Maryam agar tak bosan. Terlihat jelas juga bahwa Maryam sangat menyukai sikap
kepala keluarga yang dapat menghidupi keluarganya dengan baik. Dari hasil
itulah bapak Maryam bisa membangun rumah serta membiayai kuliah Maryam,
50
(21) Gerupuk adalah deretan perahu-perahu nelayan, bau amis ikan, dan
nelayan-nelayan berkulit legam. Setiap orang hidup dari tangkapan ikan,
udang, atau teripang. Bapak Maryam satu dari sedikit orang yang
beruntung. Ia hidup dari ikan-ikan itu tanpa perlu lagi melaut sendiri. Ia
hanya perlu menunggu orang-orang, membelinya sesuai kesepakatan, lalu
menjualnya di Pasar Sengkol, dua puluh kilometer ke arah barat dari
Gerupuk.
(Madasari, 2012: 42)
Berdasarkan kutipan (20) dan (21) digambarkan bahwa Pak Khairuddin
bekerja sebagai tengkulak ikan. Ia mempunyai usaha yang bagus di desa itu
dengan hasil dari tangkapan ikan itulah Pak Khairuddin bisa membangun rumah
yang layak, mempunyai satu pikap, dan dapat menyekolahkan dua anaknya,
Ia selalu mendidik keras anak-anaknya dari kecil. Dari situ terlihat jelas bahwa ia
sangat menyayangi anak-anaknya. Ia tak ingin anaknya lupa akan agama. Pak
Surabaya. Ia juga percaya bahwa Maryam juga sedang mendalami agama saat
(22) Bagi Pak Khairuddin, untuk urusan keyakinan anak-anak harus dididik
keras sejak kecil. Mereka harus menjadi orang-orang Ahmadi yang sejati.
Yang bisa menjadi penerus dan penyiar ketika generasi-generasi lama
mati. Karena itu, Pak Khairuddin begitu gembira ketika mendengar kabar
tentang Maryam saat masih tinggal di rumah Pak Zu dan Bu Zul. Ia
percaya, di Surabaya Maryam tak hanya mencari gelar sarjana tapi juga
sedang mendalami agama.
(Madasari, 2012: 88)
harus dididik sejak kecil. Bagi Pak Khairuddin, anaknya haruslah menjadi orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
sangat percaya anaknya akan mendalami agama lagi di Surabaya selain mencari
gelar sarjana.
pilihannya ini adalah yang tepat. Pak Khairuddin pun mengenal baik dengan
(23) Bagi Pak Khairuddin, Umar sudah menjadi menantu dalam hatinya. Tidak
ada lagi yang kurang dari pemuda itu. Selain seorang Ahmadi, ia mandiri
dengan usahanya, bahkan menjadikannya lebih besar daripada saat
dipegang bapaknya. Apalagi keluarga Bu Ali banyak membantu saat
mereka berada di pengungsian.
(Madasari, 2012: 136)
(24) Pada malam terakhir sebelum pernikahan digelar, Maryam diajak bicara
oleh kedua orangtuanya. Berbagai nasihat disampaikan Pak Khairuddin.
Ada kata-kata tertentu yang diulang berkali-kali. Yakni ikhlas, setia, dan
Ahmadi.
(Madasari, 2012: 159)
benar-benar menemukan pemuda yang tepat untuk Maryam. Selain dikenal sama-
sama menjadi Ahmadiyah, Pak Khairuddin menilai Umar adalah laki-laki yang
mandiri dengan usahanya itu. Pak Khairuddin tambah yakin lagi dengan mengenal
orangtua Umar adalah keluarga yang membantu keluarga Pak Khairuddin saat
berada di pengungsian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
(25) Laki-laki itu diam beberapa saat. Sampai kemudian tersenyum, seolah
ingin memberi tanda ia sudah paham maksud Maryam. Laki-laki itu
mengajak Maryam keluar dari masjid, menuju rumah di samping yang
menjadi kantor pengurus organisasi. Ternyata laki-laki itulah yang ia cari.
Ketua organisasi yang sekarang, menggantikan ketua yang diingat
Maryam. Namanya Zulkhair. Lebih muda sedikit dari bapak Maryam.
berpakaian rapi, berbicara santun. Ia berpendidikan tinggi. Sarjana lulusan
Universitas Mataram. Sekarang pegawai negeri di kantor provinsi. Tiap
hari, sepulang kerja, Zulkhair datang ke kantor ini. Kadang ada pertemuan,
kadang hanya sekadar memantau keadaan. Ada seorang penjaga yang
setiap hari tinggal di tempat ini.
(Madasari, 2012: 66)
(26) “Meski demikian, dalam segala keputusasaan, tak ada satu pun yang
berpikir untuk meninggalkan keimanan,” kata Zulkhair. Ia mengulang
kalimat itu berkali-kali. Ada nada syukur dan bangga. Seolah ia ingin
meyakinkan pada Maryam bahwa iman orang-orang Ahmadi tak bisa
dikalahkan hanya sekadar oleh penderitaan.
(Madasari, 2012: 77)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Ahmadiyah secara utuh. Zulkhair pun meyakinkan Maryam bahwa iman orang-
Zulkhair semakin menelan kekecewaan dan tak ada harapan lagi. Namun,
keadilan. Zulkhair pun merasa tertantang. Hal tersebut seperti dalam kutipan
berikut:
(27) “Tak ada salahnya mencoba lagi, Pak. Saya dan Umar kalau boleh ingin
ikut juga ke sana,” kata Maryam sambil melirik suaminya. Umar
mengangguk. Bagi Maryam, inilah saatnya ia melakukan sesuatu lebih dari
sekadar memasok makanan dan pakaian. Selama hamil, ia memang
sengaja membatasi diri untuk tidak terlibat dalam banyak hal. Tapi
sekarang sudah tak ada lagi yang perlu dirisaukan.
(Madasari, 2012: 246)
(28) Melihat niat Maryam dan Umar, Zulkhair kembali bersemangat. Dengan
pengurus organisasi yang telah tua dan lelah, ia kehabisan semua
kegigihan. Bersama-sama mereka, Zulkhair akhirnya ikut
menenggelamkan diri dalam keyakinan akan kesabaran dan kepasrahan
diri. Tapi sekarang tidak lagi. Ia tertantang oleh jiwa-jiwa penuh energi
dan sorot mata penuh keyakinan dan kegigihan.
(Madasari, 2012: 247)
putus asa. Zulkhair pun bertambah semangat lagi dengan melihat semangat
kepasrahan diri. Ia merasa tertantang oleh jiwa-jiwa penuh energi dan sorot mata
54
secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik maupun batin. Tokoh
antagonis juga dapat dikatakan sebagai pelaku yang menentang pelaku protagonis.
Dalam novel Maryam karya Okky Madasari, yang termasuk pada tokoh antagonis
adalah Alam, Ibu Alam, Pak RT, Pak Haji, dan Gubernur. Mereka disebut tokoh
yang kini membuatnya bingung dengan pilihan yang harus ditentukannya. Ketika
orangtua Maryam akan merestui Alam, bila ia menjadi bagian dari Ahmadiyah.
(30) Lalu ibu Maryam dengan lembut bertanya, “Apa itu berarti Nak Alam
sudah siap menjadi seorang Ahmadi?”
Alam kebingungan. Maryam yang terkejut berseru memanggil ibunya.
Beberapa detik ruangan senyap, masing-masing menahan napas penuh
ketegangan.
(Madasari, 2012: 18)
55
bingung akan pernyataan ibu Maryam yang baru ditemui di rumah Maryam,
Lombok.
Alam adalah seorang laki-laki yang tak bisa mengambil keputusan dengan
berhubungan dengan orang yang tak satu keyakinan dengannya. Hal tersebut
(32) Maka Alam memberanikan diri bercerita pada ibunya tentang latar
belakang Maryam. Tak bisa ia hanya diam, menyembunyikan apa yang
sebenarnya diketahui dan pura-pura tak terjadi apa-apa. Bukan karena apa-
apa, tapi hanya ia tak bisa seperti itu. Sejak kecil begitulah Alam dibentuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
ibunya. Tak akan ada satu keputusan pun ia ambil tanpa ibunya. Apalagi
untuk urusan sebesar ini: soal jodoh dan pernikahan. Alam ingin
menceritakan semuanya, membuat ibunya paham dan mengerti, lalu
sepenuh hati merestui rencananya menikahi Maryam.
(Madasari, 2012: 38)
dibandingkan dengan Maryam istrinya yang selalu menjadi istri yang penurut
kepadanya, Maryam yang selalu menerima siksaan dari ibunya. Hal tersebut
(33) Dari kisah yang paling lama hingga yang paling baru. Sambil ia sedikit
menyisipkan harapan, agar Alam mempertahankannya. Juga agar Alam
bisa memahaminya setelah mendengar bagaimana selama ini Maryam
merasa begitu tertekan. Maryam diam-diam berdoa agar Alam mau
menukar perceraian dengan keputusan besar untuk kembali
mempertahankan pernikahan ini sesuai dengan yang diharapkan Maryam.
Tapi ternyata Alam hanya diam.
(Madasari, 2012: 128)
merupakan seorang suami yang baik dan pengertian terhadap istrinya. Maryam
yang selalu tersiksa akan siksaan yang dilakukan oleh Alam dan keluarganya. Ia
57
Ibu Alam merupakan ibu dari Alam. Ibu Alam memiliki tiga anak, Alam
anak laki-laki satu-satunya dan dua lainnya perempuan. Ibu Alam terlihat lebih
muda dibandingkan dengan ibu Maryam dan Bi Zul. Hal tersebut seperti dalam
kutipan berikut:
(34) Ibu Alam guru SMA. Dua adik Alam, keduanya perempuan, satu baru
lulus kuliah dan yang satunya masih SMA.
(Madasari, 2012: 35)
(35) Ibu Alam kelihatan masih muda, lebih muda daripada ibu Maryam atau Bu
Zul.
(Madasari, 2012: 36)
merupakan seorang guru SMA. Ia memiliki tiga anak. Anak pertamanya Alam,
anak keduanya baru lulus kuliah dan yang satunya masih SMA. Selain itu, Ibu
Alam juga terihat jauh lebih muda dibandingkan oleh Ibu Maryam dan Ibu Zul,
saudaranya.
Ibu Alam merupakan seorang yang tak begitu menyukai Maryam. Saat
(36) Ibunya berteriak menyerukan nama Alam, saat Alam mengatakan bahwa
Maryam seorang Ahmadi. Semuanya di luar yang dibayangkan Alam.
Ibunya kecewa dan marah. Tanpa memberi kesempatan Alam berbicara,
ibunya terus menyesalkan kenapa Alam mau berhubungan dengan orang
seperti Maryam. Ibunya berkata tegas, “Tinggalkan Maryam sekarang
juga.” Setiap bantahan dari Alam membuat ibunya semakin gusar. Setiap
kata Alam dibalas ibunya dengan rentetan kalimat. Pembicaraan itu
berakhir dengan tangisan ibunya. Alam diam. Ia bingung sekaligus merasa
bersalah.
(Madasari, 2012: 38)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
menyesalkan atas segala hubungan Maryam dengan anaknya, Alam. Ibunya yang
tak terima mengenai Maryam, meminta pada Alam untuk meninggalkan Maryam.
Pernikahan yang dijalankan oleh Maryam dan Alam tidak cukup sampai
di situ saja, Ibu Alam selalu menyiapkan rencana untuk membuat Maryam tak bisa
(38) Pada Sabtu pagi, ibu Alam mengundang seluruh keluarga besar. Pengajian
sekaligus syukuran hari kelahiran bapak Alam. Ustaz langganan diundang.
Di tengah acara, ibu Alam tiba-tiba berseru, “Pak Ustaz, tolong anak saya
ini didoakan agar segera punya keturunan. Tolong dimintakan ampun
kalau memang dulu pernah sesat.”
(Madasari, 2012: 121)
Berdasarkan kutipan (37) dan (38) digambarkan bahwa Ibu Alam selalu
menambahi ibadahnya agar dapat diterima tobatnya. Bagi Ibu Alam, itu
merupakan hal yang wajib disampaikan pada Maryam. Lain dari itu, Ibu Alam
mengundang keluarga besar dan seorang Ustaz sambil meminta tolong untuk
mendoakan menantunya agar kembali ke jalan yang benar supaya tak sesat lagi
59
Ibu Alam masih saja belum bisa menerima Maryam sepenuhnya menjadi
adalah menantu yang sangat kurang ajar. Hal tersebut seperti dalam kutipan
berikut:
(39) Rumah itu jauh dari kata nyaman. Ibu Alam masih menyimpan dendam.
Ia menganggap Maryam sudah kelewatan. Menantu yang kurang ajar.
(Madasari, 2012: 125)
(40) Ibu Alam pun semakin kecewa. Belum pulih hatinya setelah dilawan
Maryam, kini ia merasa anaknya telah meninggalkannya. Segala ketakutan
datang. Bayangan bahwa Alam telah dikendalikan istrinya, kekhawatiran
bahwa Alam akan ikut terseret ke dalam kesesatan. Ketakutan yang
sebenarnya diciptakan oleh pikiran-pikirannya sendiri. Ibu jatuh sakit.
Sakit yang berpangkal dari pikiran lalu menyerang ke organ-organ.
Banyak keluhan, mulai dari kepala, perut, hingga dada. Dokter bilang tak
ada penyebab apa-apa selain karena terlalu banyak pikiran.
(Madasari, 2012: 126)
Berdasarkan kutipan (39) dan (40) digambarkan bahwa Ibu Alam sebagai
menantu yang kurang ajar. Ia merasa Alam telah berubah dan bersikap kasar
dikendalikan oleh istrinya dan takut akan terseret ke dalam kesesatan. Hal itulah
yang membuatnya jatuh sakit akibat ia banyak pikiran yang selalu memikirkan
Maryam.
kasar kepada Maryam. Ia sangat tak menyambut kedatangan Maryam dan Umar
di rumah Nur, teman semasa kecilnya tersebut. Rohmat sangat tak menginginkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
berikut:
(41) Tapi Rohmat tak menyambut hangat. Wajah dan sikapnya masih dingin
dan kaku seperti berbicara dengan orang yang sebelumnya tak pernah
bertemu. “Sebelumnya maaf...” kata Rohmat. “Sebagai RT, yang saya
inginkan hanya warga saya tenang, lingkungan aman.” Semua orang diam.
Maryam makin berdebar. Raut muka Umar mendadak tak tenang. Nur dan
ibunya tak menunjukkan perubahan. Entah apa yang mereka berdua
pikirkan. “Kampung ini sudah tenang sekarang. Semua rukun, semuanya
damai. Saya minta tolong, jangan lagi diganggu-ganggu,” kata Rohmat.
(Madasari, 2012: 207)
(42) Rohmat menunjuk ke arah orang-orang yang baru datang. “Jangan sampai
tambah banyak warga yang datang ke sini lalu terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan,” katanya.
(Madasari, 2012: 209)
tenang. Semua rukun, semua damai sambil memberikan peringatan dengan kata
kasar sambil berkata “Jangan sampai tambah banyak orang yang datang agar tak
61
Pak Haji mendatangi rumah Nur, teman Maryam, ia dan pak RT. Maryam
mengenal pria ini adalah seorang haji. Pak haji pun tak segan-segan menegur
langsung mengusir Maryam dan Umar secara tidak hormat. Hal tersebut seperti
(43) Laki-laki yang satu terlihat tua. Berjenggot putih, berbaju putih, berpeci
putih bahan rajut. Di bagian bawah ia kenakan sarung warna cokelat.
Maryam masih bisa mengenal laki-laki yang lebih tua itu. Dia dulu guru
mengaji anak-anak di masjid Gerupuk. Meski tak pernah ikut mengaji di
masjid itu, Maryam sering melihat laki-laki itu pulang bersama teman-
temannya. Sekarang laki-laki itu tampak tua. Maryam menebak ia pasti
sudah menjadi imam di masjid kampung, menggantikan imam sebelumnya
yang pasti sudah meninggal. Apalagi orang itu sudah mengenakan peci
putih. Tanda bahwa dia sudah menjadi haji. Penanda yang masih tetap
diteruskan di kampung ini sampai sekarang.
(Madasari, 2012: 206)
(44) “Sudahlah, Nak... tak ada gunanya meributkan hal yang sudah jelas. Masih
banyak kesempatan untuk bertobat,” potong Pak Haji. Masih dengan nada
lembut.
(Madasari, 2012: 208)
Berdasarkan kutipan (43) dan (44) digambarkan bahwa Pak Haji dikenal
sebagai Ustaz di masjid tempat Maryam dan keluarganya tinggal dulu. Jenggotnya
yang berwarna putih, jubahnya berwarna putih, berpeci putih, dan bahan rajut. Ia
juga yang pernah mengajar anak-anak mengaji di masjid Gerupuk. Pak haji
62
pada rakyatnya bila rakyatnya menderita. Gubernur justru tak pernah membantu
Maryam dan keluarganya untuk keluar dari pengusiran yang dilakukan oleh
orang Ahmadiyah yang sedang mengungsi akibat pengusiran. Hal tersebut seperti
(45) Zulkhair bersama pengurus lainnya telah beberapa kali datang ke kantor
Gubernur. Katanya, mereka seperti mengulang apa yang terjadi empat
tahun lalu. Datang ke Gubernur, meminta penjelasan kapan mereka bisa
kembali ke rumah masing-masing. Gubernur tak pernah bisa memberi
jawaban pasti. Pada kedatangan terakhir, Zulkhair dan pengurus lain
marah besar. Mereka tak mau lagi datang ke kantor Gubernur sampai
sekarang. “Gubernur macam apa, malah menyalahkan kita,” kata Zulkhair
berulang kali.
(Madasari, 2012: 246)
seorang pemimpin yang tak pernah peduli pada rakyatnya. Ia selalu menyalahkan
marah kepadanya karena tak tegas menjadi seorang Gubernur dan tak pernah
masing.
bersama Zul, Maryam, dan Umar dipotong langsung oleh Maryam. Wajah
Gubernur ini menunjukkan bahwa ia sedang kesal pada sikap Maryam. Hal
63
(46) “Maaf, Pak Gub, jadi bagaimana nasib kami yang di Transito ini? Kapan
bisa kembali ke rumah kami?” tanya Maryam. Ia memotong cerita
Gubernur. Gubernur mengernyitkan dahi. Raut mukanya mendadak
berubah. Antara sedang berpikir dan merasa tak suka. Seolah sedang pura-
pura tak mendengar apa yang ditanyakan Maryam. Baru saat Gubernur
mengeluarkan suara, mereka sama-sama mengangkat muka, memandang
ke arah Gubernur, berusaha menunjukkan benar-benar sedang
mendengarkan.
(Madasari, 2012: 248)
antara sedang berpikir dan merasa tak suka. Seolah-olah sedang berpura-pura tak
Umar bahwa ini adalah demi kebaikan bersama, jadi seharusnya membiarkan
(47) “Saya ini harus bagaimana lagi,” kata Gubernur. “Sudah berkali-kali saya
jelaskan, semua ini demi kebaikan bersama. Mau kembali ke sana
sekarang lalu ada kerusuhan?” tanyanya sambil menatap muka Maryam.
“Tapi itu rumah kami, Pak. Bukankah kita punya hukum? Siapa yang
mengganggu dan siapa yang diganggu?” Maryam balik bertanya.
(Madasari, 2012: 248)
Marah pada Maryam. Baginya, ia sudah berkali-kali menyatakan bahwa ini semua
adalah demi kebaikan mereka secara bersama. Ia tak ingin bila mereka kembali
64
mengingatkan Zulkhair sebagai ketua organisasi untuk bisa memahami akan itu
semua. Ia tahu betul tentang Ahmadiyah itu, karena ia merasa bahwa ia telah
(48) “Pak Zul,” kata Gubernur. Kini pandangannya beralih ke arah Zulkhair.
“Anda ketua organisasi. Juga pegawai pemerintah. Tahu mana yang benar
dan mana yang salah...” Gubernur memenggal kalimatnya, seperti
menunggu tanggapan dari Zulkhair. Tapi Zulkhair hanya diam. “Semua
hal tentang Ahmadiyah itu sudah saya pegang,” lanjutnya.
(Madasari, 2012: 249)
ketua, ia tahu betul mana yang salah dan mana yang benar. Ia memberikan
pernyataan bahwa semua hal yang mengenai Ahmadiyah telah diatur olehnya
untuk ke depannya.
Pak Gubernur tak bisa memahami Maryam dan keluarganya hidup dalam
65
(50) “Itu urusan kami, Pak, mau salat Jumat di mana,” jawab Umar. “Ini soal
rumah kami yang dirampas. Kami diusir dari rumah sendiri!”
”Bukan soal pengusiran! Bantah Gubernur. Suaranya meninggi. “Ini soal
bagaimana agar kita damai. Tak ada kekerasan. Kalian cuma ratusan.
Orang-orang itu ribuan. Bisa jadi puluhan ribu kalau datang juga dari
mana-mana. Lebih mudah mana, mengungsikan kalian atau mengungsikan
mereka?”
(Madasari, 2012: 249)
yang semula wajahnya tak memerah, kini memerah. Ia menyatakan pada Maryam
buat apa harus kembali ke Gegerung, kalian sudah cukup aman berada di
pengungsian. Ia semakin marah sambil berkata dengan nada tinggi. Sekali lagi ia
katakan bahwa agar semua ini bisa tenang dan damai tak ada kekerasan.
Ahmadiyah, dan ia akan mengatur itu semua. Hal tersebut seperti dalam kutipan
berikut:
(51) “Jadi hanya karena mereka banyak, lalu kami yang harus mengalah?”
tanya Maryam.
Gubernur berdecak sambil menggeleng. “Sudahlah. Tak ada ujungnya
kalau bicara seperti ini,” katanya. “Pilih saja. Keluar dari Ahmadiyah lalu
pulang ke Gegerung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan
keluarnya.
(Madasari, 2012: 249)
pembicaraan dengan begitu saja. Ia langsung berkata bila ingin kembali harus
66
bagian, yaitu (i) tahap penyituasian atau tahap situation, (ii) tahap pemunculan
konflik atau tahap generating circumstances, (iii) tahap peningkatan konflik atau
tahap rising action, (iv) tahap klimaks atau tahap klimax, dan (v) tahap
Pada tahap penyituasian dalam novel Maryam, awal cerita diawali dengan
flashback (kilas balik) mengenai kehidupan Maryam yang telah menjadi seorang
janda semenjak ia bercerai dengan suaminya, Alam. Maryam yang tak tahan akan
kehidupannya sebagai istri yang sudah cukup banyak bersabar akan kecurigaan
(52) Perkawinan yang umurnya belum genap lima tahun itu karam. Maryam
yang memilih keluar. Ia sendiri heran, bagaimana ia bisa selama itu
bertahan. Berusaha membangun kebahagiaan di tengah-tengah kecurigaan
dan kepalsuan. Ia selalu berpikir, yang penting Alam, suaminya itu, tulus
mencintainya tanpa prasangka. Tapi siapa yang menyangka nyali laki-laki
yang dicintainya hanya sebatas bualan?
Sepenuh hati Maryam datang ke pengadilan agama meminta perceraian.
Tak butuh waktu terlalu lama, dua minggu saja, permohonannya
dikabulkan. Alam melepasnya begitu saja, mertuanya ikut melancarkan
segala urusan. Menjadi saksi yang menunjukkan perpisahan inilah yang
terbaik untuk keduanya.
(Madasari, 2012: 15)
anaknya yang sekarang menjadi bapak dari Maryam, yaitu Pak Khairuddin. Kakek
Maryam bukanlah seorang yang tak mengenal agama. Kakek Maryam menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
pemeluk agama yang sangat taat menjadi Islam. Hal tersebut seperti dalam kutipan
berikut:
(53) Keluarga Maryam menjadi Ahmadi tidak tiba-tiba. Pak Khairuddin sudah
menjadi Ahmadi sejak lahir. Kakek dan nenek Maryam-lah yang menjadi
pemula, lebih dari tujuh puluh tahun lalu.
(Madasari, 2012: 53)
(54) Kakek Maryam bukan orang yang belum kenal agama. Ia pemeluk Islam
yang taat, membaca Al Quran dengan indah, hafal banyak surat, dan tahu
banyak cerita tentang malaikat-malaikat dan nabi-nabi. Semua diajarkan
oleh bapaknya, kakek buyut Maryam. Meski tak pernah sekolah dan tak
tahu huruf Latin, mereka menguasai ilmu agama dengan baik. Karena
dianggap orang yang paling tahu di Gerupuk, kakek Maryam sering
diminta menjadi imam dan khatib di masjid kampung. Ada tanda hitam di
keningnya. Bekas terlalu banyak sujud. Tanda hitam itu juga yang
membuat orang-orang memercayainya untuk jadi imam atau khatib.
(Madasari, 2012: 53)
(55) Kakek Maryam kini sudah memilih jalan yang berbeda. Islam-nya tak lagi
sama. Orang-orang pun mengerti. Entah benar-benar paham atau sekadar
tak mau pusing. Tak ada yang menjadikan semua itu masalah. Semua
orang masih menghormati kakek Maryam sebagai sesepuh kampung ini.
(Madasari, 2012: 54)
Dalam novel Maryam, tahap penyituasian diawali dengan kilas balik (flash
back) mengenai kehidupan Maryam yang telah menjadi janda setelah bercerai
dengan Alam. Selanjutnya diketahui bahwa Maryam berasal dari bagian keluarga
Ahmadiyah.
ia merasa sedih dan merasa telah menyakiti hati kedua orangtuanya. Kepulangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
rasa bersalahnya terhadap ibunya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut:
(56) Maryam memang malu. Malu karena tak tahu apa-apa yang terjadi pada
keluarganya. Malu karena tidak melakukan apa-apa, ketika keluarganya
terusir karena mempertahankan iman. Maryam juga menyesal. Menyesal
atas semua yang dilakukannya demi Alam. Menyesali segala
keputusannya untuk menikah dengan Alam, tanpa memedulikan apa yang
dikatakan orangtuanya. Tapi entah kenapa, Maryam sama sekali tak malu
dan menyesal telah jauh meninggalkan keimanannya. Ia juga tak tahu
kenapa tak ada ruang lagi dalam hatinya untuk kembali meyakini apa yang
sejak kecil diperkenalkan, yang beberapa tahun lalu telah ia tinggalkan. Ia
pulang sama sekali bukan untuk iman. Ia pulang hanya untuk keluarganya.
Ia terharu, ia bangga, ia menitikkan air mata atas kegigihan dan kekokohan
keluarganya mempertahankan iman. Ia marah, ia dendam, ia tak bisa
memaafkan orang-orang yang merongrong keluarganya karena dianggap
tak benar. Tapi tidak, Maryam sama sekali tak pulang untuk iman.
(Madasari, 2012: 77-78)
Tidak hanya diusir dari rumah saja. Orang-orang telah berpikir bahwa
nama Pak Khairuddin sudah tak ada lagi. Setelah mendengarkan cerita Zulkhair,
Maryam memikirkan apa yang diungkapkan oleh laki-laki bernama Jamil. Laki-
laki yang pernah bekerja menjadi bawahan Pak Khairuddin. Mereka menjadikan
Pak Khairuddin dan keluarganya sebagai keluarga yang mengundang aib untuk
69
beringas dengan seenaknya mengusir keluarganya dari rumah yang dimiliki dari
kakeknya dan tanah yang dibeli dari hasil bekerja. Ia tidak pernah melihat ini
kesakitan dan penderitaan yang dialami oleh keluarganya. Hal tersebut seperti
70
menghadapi peristiwa ini. Ia kembali menitikkan air mata dan bangga. Hal
(60) “Meski demikian, dalam segala keputusasaan, tak ada satu pun yang
berpikir untuk meninggalkan keimanan,” kata Zulkhair. Ia mengulang
kalimat itu berkali-kali. Ada nada syukur dan bangga. Seolah ia ingin
meyakinkan pada Maryam bahwa iman orang-orang Ahmadi tak bisa
dikalahkan hanya sekadar oleh penderitaan. Tapi dalam telinga Maryam,
pengulangan itu seperti sindiran. Ia merasa Zulkhair sedang membicarakan
dirinya, ingin membuatnya malu dan menyesal atas apa yang dilakukan.
Maryam memang malu. Malu karena tak tahu apa-apa yang terjadi pada
keluarganya. Malu karena tidak melakukan apa-apa, ketika keluarganya
terusir karena mempertahankan iman. Maryam juga menyesal. Menyesal
atas semua yang dilakukannya demi bersama Alam. Menyesali segala
keputusannya untuk menikah dengan Alam, tanpa memedulikan apa yang
dikatakan orangtuanya. Tapi entah kenapa, Maryam sama sekali tak malu
dan menyesal telah jauh meninggalkan keimanannya. Ia juga tak tahu
kenapa tak ada ruang lagi dalam hatinya untuk kembali meyakini apa yang
sejak kecil diperkenalkan, yang beberapa tahun lalu telah ia tinggalkan. Ia
pulang sama sekali bukan untuk iman. Ia pulang hanya untuk keluarganya.
Ia terharu, ia bangga, ia menitikkan air mata atas kegigihan dan kekokohan
keluarganya mempertahankan iman. Ia marah, ia dendam, ia tak bisa
memaafkan orang-orang yang merongrong keuarganya karena dianggap
tak benar. Tapi tidak, Maryam sama sekali tak pulang untuk iman.
Kesadaran itu membuat Maryam mendapatkan kembali seluruh
kepercayaan dirinya. Kata-kata Zulkhair tak lagi terdengar seperti
sindiran. Ia kembali menyimak cerita Zulkhair sepenuhnya, merekam
dalam ingatannya, ia ingin menyimpan semuanya, seolah-olah ia sendiri
ikut melihat dan mengalaminya.
(Madasari, 2012: 78)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
pulang Maryam yang ingin mencari kedua orangtuanya. Saat tahu keluarganya
diusir dan telah dianggap aib di kampung itu, tak ada seorang pun yang berusaha
mempertahankan keluarga Pak Khairuddin untuk tidak diusir. Mengetahui hal itu,
Maryam dari dulu tak pernah tahu akan kejadian ini sebelumnya namun saat
meninggalkan iman.
pernah menyangka peristiwa ini terjadi. Di saat ia tak ada di sisi keluarganya, ia
tak bisa menerima dengan semua perbuatan mereka terhadap keluarganya. Hal
(61) “Aku masih tak terima. Tapi harus pura-pura ikhlas karena Bapak dan Ibu
pun sudah merelakannya. Tak mau megungkit-ungkit karena itu akan
membuat mereka sedih,” kata Maryam dengan suara lebih keras dan nada
lebih tegas. Tapi air matanya masih tetap mengalir.
(Madasari, 2012: 170)
(62) “Aku masih tak bisa menerima orangtua dan adikku pernah hidup di
pengungsian. Sementara rumah yang dibangun susah payah tak boleh
digunakan...” Suara Maryam mulai memelan. Isakannya juga melemah.
Maryam terlihat sudah lebih tenang.
(Madasari, 2012: 170-171)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
laki yang ternyata mencabuli beberapa perempuan adalah seorang dukun. Hal ini
keluarganya diusir waktu itu dan mengapa mereka main hakim sendiri tanpa
(63) “Guru mengaji ternyata dukun. Dukun sesat. Cabul!” kata laki-laki itu
dengan suara lantang. Laki-laki itu menyebut nama Abah Aziz, pemilik
rumah yang baru saja dibakar. “Ite7 pikir iye8 orang baik. Guru mengaji.
Muridnya sudah banyak. Delapan puluh orang ada. Tiap hari mengaji di
sini.”
“Kenapa bisa sesat?” tanya Maryam. Ia disekap. Iye laporan ke ite.”
“Abah Aziz mati dibakar?” tanya Umar.
“Ndeq9. Sudah kabur. Ite mau lapor polisi. Biar diburu. Dipenjara.”
(Madasari, 2012: 177)
(64) “Mungkin seperti itu juga waktu Bapak dan Ibu diusir,” kata Maryam tiba-
tiba.
“Tidak ada pembakaran...” jawab umar.
“Hanya belum kejadian saja. Karena Bapak cepat-cepat mengalah dan
pergi...”
“Tapi ini berbeda, Maryam,” Umar memotong dengan cepat. “Dukun itu
salah. Dia menyekap orang, mencabuli seenaknya...”
“Kenapa tidak lapor polisi?” Maryam menyambar dengan suara tinggi.
Umar tersentak mendengar pertanyaan Maryam. Ia tak bisa buru-buru
menjawab. “Ya, memang harusnya lapor polisi... tapi mungkin orang-
orang sudah tak bisa lagi menahan marah,” kata Umar setelah diam agak
lama.
“Ya kalau yang dikatakan orang-orang itu memang benar. Bagaimana
kalau ternyata hanya fitnah? Bagaimana juga kalau yang tak salah nanti
terbakar?” lagi-lagi Maryam bicara dengan suara tinggi. Meski nadanya
menyerupai pertanyaan, ia sama sekali tak butuh jawaban.
(Madasari, 2012: 178)
Nuraini, teman kecilnya dulu. Setelah bercerita dan bercanda, Maryam dan Umar
dikejutkan dengan kondisi yang menyesakkan, mereka diusir dari kampung itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
yang dulu pernah menjadi tempat tinggal Maryam sebelum diusir. Hal tersebut
(65) Maryam merangkul Nur. Entah kenapa tiba-tiba air mata berdesakan ingin
keluar dari matanya. Maryam menahan sekuat tenaga. Perjumpaan tak
sengaja ini menghadirkan rasa haru dalam dirinya. Betapa masa lalu,
apalagi masa-masa yang membahagiakan, tetapi punya ruang sendiri di
hatinya. Tak bisa tergusur dan hilang meski ia berkeras tak mau
megingatnya.
(Madasari, 2012: 192)
(66) “Tolong pulang saja... jangan sampai ada apa-apa di rumah ini,” katanya
pelan.
Maryam membelalak tak percaya. Ia marah pada Nur yang ternyata sama
saja dengan orang-orang. Umar bergerak cepat. Menyentuh pundak
Maryam dan memberinya isyarat untuk meninggalkan tempat ini. Muka
Maryam merah padam. Matanya berkaca-kaca. Sambil mengikuti langkah
Umar ia berteriak-teriak.
“Kalian semua bukan manusia!”
“Yang sesat itu kalian, bukan kami!”
“Rumah itu milik kami. Kalian semua perampok!”
(Madasari, 2012: 211)
rubuhnya seorang wanita tua serta isak tangis para ibu Ahmadiyah dan anak-anak.
(67) Orangtua Maryam sudah memilih hari pada pertengahan Ramadan untuk
menggelar pengajian empat bulan kehamilan Maryam. Pengajian akan
diakhiri dengan buka puasa bersama. Persiapan sudah dilakukan sejak tiga
hari sebelumnya. Ibu Umar ikut berbelanja sesuai bagian yang telah
mereka atur bersama. Pengajian ini akan mengundang seluruh anggota
organisasi. Sekaligus menggantikan pengajian rutin yang diadakan
organisasi seminggu sekali.
(Madasari, 2012: 220)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
(69) Tiba-tiba seorang perempuan tua roboh. Tamu yang datang dari jauh. Satu
daerah di bagian timur Lombok. Dia datang bersama anak laki-laki satu-
satunya dengan menggunakan angkutan umum. Selama ini mereka
memang rajin datang ke pengajian. Meski tak seminggu sekali, setidaknya
mereka selalu muncul sekali sebulan. Ibu tua itu sudah lama menjadi
Ahmadi. Semua orang di dalam berteriak saat tubuh itu terkulai. Anak laki-
lakinya yang berada di luar langsung lari ke dalam, sambil berseru
memanggil ibunya. Yang lainnya juga ikut bergerak. Mendekat ke pintu
rumah. Salah satu dari mereka memberi aba-aba, menunjuk Umar dan dua
laki-laki lain yang terihat masih muda untuk menggotong tubuh
perempuan tua itu dan membawa mereka ke rumah sakit.
(Madasari, 2012: 227-228)
kemarahan Maryam yang semakin tak bisa menerima dengan kejadian yang
dialami oleh keluarganya di saat ia tak ada bersama mereka waktu itu. Kemudian,
sehingga Maryam pun memandang bahwa peristiwa tersebut tak jauh berbeda
peningkatan konflik juga terjadi ketika pertemuan Maryam dan Nuraini, Maryam
Maryam dari rumah Nuraini. Hal itu membuat Maryam marah besar pada semua
pengajian empat bulanan pada kehamilan Maryam. Maryam dan lainnya yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
terkejut akan sikap polisi yang anarkis. Hal itu pula yang membuat seorang
yang menjadi perebutan mereka. Terlihat bahwa klimaks dalam novel ini adalah
penolakan yang dilakukan oleh kelompok penentang yang tak menginginkan Pak
adalah orang yang suci. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut:
76
mereka. Seperti pada klimaks yang terjadi pada saat kematian Pak Khairuddin
sangat menolak kehadiran orang-orang yang datang ke tempat itu, mereka masih
saja menganggap Ahmadiyah adalah sesat yang tak bisa dipandang sebagai ajaran
yang benar.
Maryam yang tak tahan lagi berada dalam pengungsian, berusaha mencari
tidak pernah mencari keributan. Mereka diusir dari rumah yang sebenarnya rumah
itu masih menjadi milik mereka. Orang-orang Ahmadiyah selalu mencari uang
dengan bekerja. Bagi Maryam, ini sangatlah tidak adil. Tak seharusnya
Maryam berharap surat yang kali ini bisa ditanggapi. Mereka tak bisa menahan
lagi dengan hidup yang bersesakan. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut:
Saya Maryam Hayati. Ini surat yang saya kirim ke Bapak. Semoga surat
saya kali ini bisa mendapat tanggapan. Hampir enam tahun keluarga dan
saudara-saudara kami terpaksa tinggal di pengungsian, di Gedung
Transito, Lombok. Selama itu kami berbagi ruangan dengan membuat
kamar-kamar bersekat kain. Lebih dari dua ratus orang hidup bersama di
situ.
Setiap hari kami memasak di dapur umum, yang sebenarnya juga tak layak
disebut dapur. Hanya karena kami meletakkan kompor di situ dan
memasak di situ setiap hari, tempat sempit di sebelah kamar mandi itu
menjadi dapur. Setiap pagi kami mengantri untuk buang air besar, anak-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
anak yang mau sekolah mandi di luar kamar mandi, dengan ember besar
berisi air.
(Madasari, 2012: 273)
(73) Kami hanya ingin pulang. Ke rumah kami sendiri. Rumah yang kami beli
dengan uang kami sendiri. Rumah yang berhasil kami miliki lagi dengan
susah payah, setelah dulu pernah diusir dari kampung-kampung kami.
Rumah itu masih ada di sana. Sebagian ada yang hancur. Bekas terbakar
di mana-mana. Genteng dan tembok yang tak lagi utuh. Tapi tidak apa-
apa. Kami mau menerimanya apa adanya. Kami akan memperbaiki
sendiri, dengan uang dan tenaga kami sendiri. Kami hanya ingin bisa
pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada
lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam
pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang
penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram.
(Madasari, 2012: 274)
Usaha Maryam tak cukup sampai di situ saja, ia tetap memohon dan
memohon pada pemerintah untuk bisa melindungi dirinya yang diusir dari
rumahnya sendiri. Ia tak meminta lebih, yang terpenting baginya adalah ia bisa
kembali ke rumah dan hidup dengan damai. Hal tersebut seperti dalam kutipan
berikut:
(74) Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu
agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan
uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-
anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak
kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri.
Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri,
kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak
pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang bisa diterima akal,
sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian
seperti ini?
Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu?
Salam hormat,
Atas nama warga Gegerung yang diusir
Maryam Hayati
(Madasari, 2012: 274-275)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
peristiwa. Unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: latar tempat, latar
waktu, dan latar sosial. Ketiga unsur tersebut akan diuraikan di bawah ini.
2.4.1.1 Lombok
Lombok untuk mencari kedua orangtuanya yang telah ia tinggali selama beberapa
(75) Hari itu juga Maryam meninggalkan daerah selatan. Menyusuri jalan raya,
menuju utara. Melewati pusat Kecamatan Sengkol, tempat ia bersekolah
SMP dan SMA, juga tempat bapaknya dulu tiap hari membawa keranjang-
keranjang berisi ikan untuk dijual di pasar. Terus berjalan melalui kota-
kota kecamatan lain: Panujak, Kediri, Cakranegara, hingga Mataram, dari
pusat Lombok itulah ia akan mencari di mana bapak, ibu, dan adiknya
berada.
(Madasari, 2012: 60)
tersebut setelah ia lama tak pernah mendatangi kota dan menemui kedua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
jawab kepadanya.
2.4.1.2 Gerupuk
Lombok. Kampungnya para nelayan untuk mencari ikan di laut. Di tempat inilah,
Maryam bersama orangtua dan adiknya tinggal sebelum ia diusir dari tempat itu.
(76) Gerupuk hanyalah kampung kecil di sudut timur pesisir selatan Lombok.
Nyaris tak dikenal. Peta-peta wisata menggambarkan hanya Kuta sebagai
satu-satunya nama tempat di sepanjang garis pantai itu. Baru tahun-tahun
belakangan, ketika orang-orang asing mulai mengetahui ada ombak tinggi
di kampung ini, Gerupuk mulai didatangi. Itu pun hanya oleh mereka yang
ingin mencari kepuasan berdiri di papan selancar, menaklukkan ombak
yang bergulang tinggi. Semuanya orang asing.
(Madasari, 2012: 41)
Gerupuk yang merupakan tempat para nelayan mencari uang di sebuah pesisir
mengingat kembali masa-masa ia dan keluarga di tempat itu dan sampai pada
Maryam karena masih saja berpegang teguh pada kepercayaannya yang dinilai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
sesat oleh jemaah kelompok penentang. Hal tersebut seperti dalam kutipan
berikut:
(78) Gerupuk pun tak mau ketinggalan. Seluruh laki-laki bergerak ke arah
rumah Pak Khairuddin. Yang perempuan berdiri di sepanjang jalan. Empat
kali lemparan batu dan teriakan orang-orang sudah cukup untuk Pak
Khairuddin mengambil keputusan. Tanpa ada perlawanan. Tanpa perlu
perusakan dan pembakaran.
(Madasari, 2012: 52)
peristiwa pengusiran. Di mana semua orang yang tinggal di Gerupuk itu, dan
2.4.1.2 Gegerung
Gerupuk. Rumah yang ia dan keluarganya tempati di waktu itu. Gegerung inilah
masih menjadi tempat tinggal jemaah Ahmadiyah yang pernah diusir. Hal tersebut
(79) Meski terpisah dari rumah-rumah penduduk lain, tanah yang dihuni orang-
orang Ahmadi itu termasuk kampung Gegerung. Sekitar satu setengah
kilometer jauhnya dari perkampungan utama Gegerung, dipisahkan oleh
sawah-sawah padi dan sungai.
(Madasari, 2012: 83)
Gegerung tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Gegerung menjadi incaran kerusuhan setelah apa yang terjadi di Gerupuk juga
berikut:
(80) Dalam perjalanan pulang, Maryam membeli beberapa koran. Satu koran
lokal menjadikan peristiwa Gegerung sebagai berita utama. Gambar
barisan rumah Gegerung yang rusak dipasang dengan ukuran besar di
halaman pertama. Rumah-rumah itu rusak parah. Lebih parah
dibandingkan dengan saat ditinggalkan. Beberapa bagian hangus terbakar.
“Lihat!” seru Maryam sambil mengangkat koran yang dipegangnya agar
semua yang di mobil bisa melihat foto itu. “Mereka merusaknya saat kita
pergi!”
(Madasari, 2012: 232)
yang beringas itu pun kembali mengincar orang-orang Ahmadiyah yang tinggal
di tempat itu sambil merusak tempat itu seperti tempat yang tak layak untuk
ditinggalkan.
Keluarganya yang diusir dari Gerupuk dan kini tinggal di Gedung Transito
hidup dalam kesesakan. Tempat ini dipergunakan mereka sebagai tempat kegiatan
agama mereka. Di mana mereka menjadikan tempat ini sebagai masjid tempat
82
tempat tinggal bagi para pengungsi yang diungsikan di tempat tersebut khususnya
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi antara lain: tahun 1999, tahun
yang terjadi di Jakarta dan kota-kota lainnya. Hal tersebut seperti dalam kutipan
berikut:
(82) Memang pernah sekali terjadi ribut-ribut, tambah Zulkhair. Tapi itu dulu
sekali. “Semua orang sudah memaklumi. Pasti saat itu karena negara kita
sedang kacau. Ribut di mana-mana.” Zulkhair menyebut peristiwa itu
terjadi pada tahun 1999. Tak lama setelah televisi menayangkan peristiwa
kerusuhan di Jakarta dan di banyak kota. Seorang Ahmadi dibunuh di
daerah utara. Seorang lagi luka parah.
(Madasari, 2012: 69)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
marah. Tak hanya di situ saja kelompok penentang pun melawan kelompok
Ahmadiyah tersebut.
Berdasarkan kutipan (83) dan (84) digambarkan bahwa pada tahun 2001
merupakan tahun pengusiran terhadap keluarga Pak Khairuddin. Entah apa yang
84
Tahun 2003 menjadi tahun di mana keluarga Pak Khairuddin pindah dari
pengungsian dengan berusaha mencari rumah agar bisa tinggal, dan mencari
(85) Pada awal tahun 2003, kata Zulkhair, keluarga Maryam pindah dari
pengungsian. Pikapnya dijual. Sebagian hasil penjualan digunakan untuk
mengontrak rumah. Sisanya untuk terus mempertahankan hidup, sambil
mencari-cari cara untuk bisa punya penghasilan. Sebuah rumah kecil tak
jauh dari tempat Zulkhair, di gang kecil di pinggiran. Mataram, menjadi
tempat tinggal keluarga Maryam.
(Madasari, 2012: 78)
Khairuddin beserta anak dan istrinya pindah dari pengungsian dengan menjual
mobil pikap, Pak Khairuddin bisa mengontrak rumah dan bisa mencari pekerjaan
lain.
Dalam novel ini, latar sosial akan dibedakan menjadi beberapa bagian,
diantaranya: (i) latar sosial dari segi kebiasaan hidup, (ii) latar sosial dari segi
tradisi, dan (iii) latar sosial dari segi cara berpikir dan bersikap.
Dalam novel Maryam, terdapat latar sosial dari segi kebiasaan hidup
adalah tanah yang berdebu saat cuaca panas dan becek penuh kubangan selepas
hujan juga deretan perahu-perahu nelayan, bau amis ikan, dan nelayan-nelayan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
udang, teripang, dan lain-lain. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut:
(86) Gerupuk hanyalah kampung kecil di sudut timur pesisir selatan Lombok.
Nyaris tak dikenal. Peta-peta wisata menggambarkan hanya Kuta sebagai
satu-satunya nama tempat di sepanjang garis pantai itu. Baru tahun-tahun
belakangan, ketika orang-orang asing mulai didatangi. Itu pun hanya oleh
mereka yang ingin mencari kepuasan berdiri di papan selancar,
menaklukkan ombak yang bergulung tinggi.
Tak ada keistimewaan lain yang ditawarkan Gerupuk selain ombak tinggi
itu. Ia tak punya pantai indah berpasir putih, sebagaimana pantai-pantai
lain yang berjajar di pesisir ini. Gerupuk adalah deretan perahu-perahu
nelayan, bau amis ikan, dan nelayan-nelayan berkulit legam. Setiap orang
hidup dari tangkapan ikan, udang, atau teripang.
(Madasari, 2012: 41)
Dalam novel Maryam, terdapat latar sosial dari segi tradisi yang
Ahmadiyah dan kelompok penentang berbeda. Hal tersebut seperti dalam kutipan
berikut:
(87) Semua orang tahu keluarga Maryam tak pernah mau ikut pengajian
bersama mereka. Semua anak Pak Khairuddin disekolahkan di sekolah
negeri, bukan di madrasah seperti anak tetangga.
Mereka semua juga tahu, Pak Khairuddin punya kelompok pengajian
sendiri. Beberapa kali ada pengajian di rumah Pak Khairuddin, didatangi
oleh orang-orang jauh. Mereka semua juga sudah paham, keluarga Pak
Khairuddin punya musala kecil di belakang rumah. Pada hari Jumat,
menjelang zuhur, Pak Khairuddin pergi dengan sepeda motornya, salat
Jumat entah di mana. Semua tahu mereka berbeda. Tapi mereka juga sadar
mereka punya satu nama agama. Maka biasa saja ketika satu-dua kali
dalam obrolan ada yang berkata, “Itu beda, itu Islamnya Pak Khairuddin,”
atau, “Itu masjid kelompoknya Pak Khairuddin.”
(Madasari, 2012: 56)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Dalam novel Maryam, terdapat latar sosial dari segi cara berpikir dan
Ahmadiyah. Semula yang bisa hidup rukun sebagai tetangga, tidak ada lagi yang
berkelakuan seperti itu lagi. Pikiran mereka telah dirusak oleh pendapatnya yang
menganggap bila Ahmadiyah telah menduakan nabi sudah tak bisa ditolerir lagi.
Maka kehidupan semula yang menjadi aman dan tenteram, kini mereka tak bisa
(88) Orang-orang yang mereka anggap telah menduakan nabi mereka dan telah
memperlakukan agama sesuai keinginan mereka. Bukan lagi berdasar
yang seharusnya.
(Madasari, 2012: 51)
(89) Mereka marah pada orang-orang yang selama puluhan tahun hidup rukun
sebagai tetangga. Mereka melempar batu ke genteng, memecahkan kaca
jendela, merusak pagar dengan parang dan cangkul. Laki-laki dewasa
semuanya siaga. Mengepung rumah orang-orang yang mereka anggap
telah menyimpang.
(Madasari, 2012: 51)
(90) Semuanya diawali sekitar seminggu sebelumnya. Saat ribut-ribut besar
terjadi di sebuah desa, sepuluh kilometer dari Gerupuk ke arah timur utara.
Orang-orang Gerupuk sering datang ke desa itu. Di sana mereka biasa
mendengarkan ceramah dari para tuan guru4. Di sana juga banyak anak
Gerupuk bersekolah. Tempat itu memang sudah menjadi tempat sekolah
agama. Banyak madrasah berdiri di sana. Mulai dari yang setingkat SD
hingga SMA. Tanpa ada yang bisa menjelaskan asal mulanya, tiba-tiba
semua orang di desa itu menjadi beringas.
(Madasari, 2012: 51)
2.5 Rangkuman
kesimpulan bahwa tokoh protagonis dalam novel Maryam adalah Maryam, Umar,
Pak Khairuddin, dan Zulkhair. Dalam novel tersebut diceritakan sosok Maryam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
yang cantik khas perempuan dari perempuan daerah timur. Maryam adalah wanita
yang dikagumi oleh laki-laki. Tak heran bila Maryam bersikap cuek pada mereka.
Di luar dari itu semua Maryam merupakan seorang yang cerdas dan ramah.
laki yang bersikap sopan yang tidak hanya pada orangtuanya saja, ia juga sopan
digambarkan sebagai kepala keluarga yang tegas dan juga bertanggung jawab
kerabat dari Pak Khairuddin dan juga banyak membantu keluarga maryam untuk
Tokoh antagonis dalam novel Maryam adalah Alam, Ibu Alam, Pak RT,
Pak Haji, Gubernur. Tokoh antagonis tersebut menjadi penyebab konflik pada
menceraikan Maryam begitu saja. Ibu Alam digambarkan sebagai ibu mertua yang
jelekkan Maryam. Pak Haji digambarkan sebagai orang yang sangat sombong. Ia
peduli terhadap rakyatnya, ia justru memikirkan dirinya sendiri dan tak pernah
88
alur dalam novel Maryam adalah alur maju atau plot progresif. Sebab pada plot
ini fokus pada permasalahan Maryam yang mengalami konflik dengan orang lain.
Selain menyajikan tokoh dan penokohan dan alur, Okky Madasari juga
menyajikan latar cerita yang lengkap dalam novel ini. Mulai dari latar tempat,
latar waktu, dan latar sosialnya. Ketiga latar ini merupakan penggambaran dari
jalannya cerita dalam novel Maryam tersebut. Latar tempat dalam kaitannya
peristiwa itu dan juga pembentukan watak Maryam. Latar waktu dalam kaitannya
dengan penelitian ini berfungsi untuk menyaran pada yang berhubungan dengan
dalam kaitannya dengan penelitian ini berfungsi untuk menyaran pada hal-hal
Kajian struktural dalam novel ini mencakup tokoh dan penokohan, alur,
dan latar. Dalam Bab II ini memperlihatkan secara jelas adanya berbagai bentuk-
bentuk konflik sosial, terutama yang dialami tokoh Maryam. Persoalan bentuk-
BAB III
3.1 Pengantar
Setelah menganalisis struktur tokoh dan penokohan, alur, dan latar dalam
mengenai konflik sosial yang terdapat dalam novel tersebut. Pemikiran, sikap, dan
tindakan tokoh Maryam dalam cerita novel tersebut menjadi cerminan dalam
gambaran konflik. Konflik yang tercermin dalam novel Maryam tersebut adalah
konflik sosial.
Kajian tentang konflik cukup menyita perhatian. Hal ini dapat dimengerti
banyak nyawa korban yang mati sia-sia. Belum lagi kerugian materi, hilangnya
masa depan sebagaimana dialami oleh anak-anak di kawasan konflik. Apa yang
bahkan tidak jarang dengan kondisi yang lebih tragis (Susetyo, 2010: 13).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
pemikiran manusia yang aktif terlibat dalam peristiwa sosial dan politik. Kita
hampir tak perlu diyakinkan lagi bahwa konflik merupakan fakta yang sering
dan keyakinannya pun sama, yakni mengakui keesaan Allah dan kenabian
dari ikatan Islam yang disebabkan oleh dua hal, yaitu: pertama, ajarannya tentang
s.a.w. adalah nabi yang terakhir. Menurut mereka ada banyak nabi yang akan
datang sesudah Muhammad s.a.w. yang berfungsi sebagai pelanjut syariat beliau,
sebagaimana Isa al-Masih melanjutkan syariat musa a.s. oleh karena pada nabi
yang akan datang itu berfungsi sebagai pelanjut syariat Muhammad s.a.w. maka
mereka juga diberi gelar al-Masih, yakni al-Masih dalam kalangan ummat Islam
91
Khalifah sebagai pemimpin rohani secara hirarkis memimpin segenap ummat atau
pengikut yang loyal setelah berbai’at kepadanya. Hal-hal serupa ini tidak terdapat
yang rapi, tetapi ia juga merupakan golongan yang mempunyai ideologi tersendiri.
sehingga ia harus menghadapi tantangan yang berat dari ummat Islam. Akibatnya
adalah bahwa ia terisolir dari dunia Islam, sebab ideologi yang dikembangkan itu
lebih dari itu, Ahmadiyah dapat dikatakan sebagai aliran yang merupakan agama
tersendiri yang berbeda dari lingkungan agama Islam. Dikatakan sebagai agama
baru, oleh karena Ahmadiyah percaya akan kedatangan seorang nabi sesudah
Ghulam Ahmad, sebagai nabi yang datang sesudah Muhammad s.a.w., bukan
tetapi mengandung pula pengertian bahwa Ghulam Ahmad itulah pemimpin dan
ummat tersendiri bagi Ghulam Ahmad. Kelanjutan daripada masalah itu, bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
bahagian dari ummat Islam yang setia menjadi ummat Muhammad s.a.w. (Al-
meliputi konflik sosial pada perbedaan antara Maryam dengan Ibu Alam, konflik
sosial pada perbedaan antara Maryam dengan Alam, konflik sosial pada
perbedaan antara Maryam dengan Tuan Guru Ahmad Rizki, konflik sosial pada
bawah ini.
perbedaan antara Maryam dengan Ibu Alam, perbedaan antara Maryam dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
sebagai keluarga ‘sesat’. Selain itu, Maryam berani menikahi anaknya yang
bernama Alam. Maka perkelahian antara menantu dan mertua pun tak dapat
(1) Rumah itu jauh dari kata nyaman. Ibu Alam masih menyimpan dendam.
Ia menganggap Maryam sudah kelewatan. Menantu yang kurang ajar.
Demikian pula Maryam. Semua penerimaan dan kesabarannya telah
usang. Ia telah menggunakan topeng: berpura-pura baik, berpura-pura
menjadi penurut. Bagi Maryam, semua yang dilakukannya selama ini
sudah lebih dari cukup. Telah ia ikuti semua kata-kata ibu Alam, hanya
agar ia bisa diterima sepenuhnya sebagai bagian keluarga ini. Sekarang,
saat berpapasan, keduanya hanya diam. Ibu Alam malah sengaja
memalingkan muka. Tak pernah lagi ada pertanyaan tentang anak.
Perubahan yang diam-diam disyukuri Maryam.
(Madasari, 2012: 125)
(2) Di tengah acara, ibu Alam tiba-tiba berseru, “Pak Ustaz, tolong anak saya
ini didoakan agar segera punya keturunan. Tolong dimintakan ampun
kalau memang dulu pernah sesat.”
Emosi Maryam memuncak. Ia merasa kalimat ibu Alam sengaja ditujukan
untuknya. Semua yang terjadi ini karena ia penuh dosa, pernah hidup
dalam kesesatan. Hal itu dikatakan di depan banyak orang. Seperti sengaja
membuat Maryam malu dan jadi bahan gunjingan.
(Madasari, 2012: 123)
Berdasarkan kutipan (1) dan (2) terlihat jelas perkelahian antara Maryam
dan Ibu Alam. Ibu Alam, sejak awal tak menyukai kehadiran Maryam di
94
masih saja belum mengandung, baginya hal itu terjadi karena ia lahir dalam
perkelahian antara keduanya. Hal ini disebabkan karena ibu Alamlah yang
menjadi perusak dalam rumah tangga Maryam dan Alam. Keduanya pun
menginginkan perceraian itu terjadi. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut:
Berdasarkan kutipan (3) dan (4) terlihat jelas bahwa perbedaan antara
Maryam dengan Alam menyebabkan keduanya berpisah. Tak ada pembelaan dari
Maryam, istrinya, yang selalu mendapatkan tuduhan serta hinaan dari ibu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
tangganya dan ia memilih keluar dari rumah Alam dan menceraikan Alam.
Gubernur datang membawa kabar yang tak menyenangkan hati rakyatnya. Hal ini
(5) “Maaf, Pak Gub, jadi bagaimana nasib kami yang di Transito ini? Kapan
bisa kembali ke rumah kami?” tanya Maryam. Ia memotong cerita
Gubernur.
Gubernur mengernyitkan dahi. Raut mukanya mendadak berubah. Antara
sedang berpikir dan merasa tak suka. Diam beberapa saat. Semua
bawahannya menunduk. Seolah sedang pura-pura tak mendengar apa yang
ditanyakan Maryam. Baru saat Gubernur mengeluarkan suara, mereka
sama-sama mengangkat muka, memandnag ke arah Gubernur, berusaha
menunjukkan benar-benar sedang mendengarkan.
“Saya ini harus bagaimana lagi,” kata Gubernur. “Sudah berkali-kali saya
jelaskan, semua ini demi kebaikan bersama. Mau kembali ke sana
sekarang lalu ada kerusuhan?” tanyanya sambil menatap muka Maryam.
“Tapi itu rumah kami, Pak. Bukankah kita punya hukum? Siapa yang
mengganggu dan siapa yang diganggu?” Maryam balik bertanya.
(Madasari, 2012: 248-249)
tidak terbantu sama sekali. Yang ada, Gubernur sama sekali tak peduli pada orang-
orang Ahmadiyah yang diusir dari kampung halamannya sendiri, justru Gubernur
96
karena Tuan Guru Ahmad Rizki sebagai penghasut warga Gerupuk dengan
Maryam dengan menyatakan bahwa Gegerung tak pantas menjadi tempat bagi
kutipan berikut:
97
tempat untuk menjadi markas bagi kelompok Ahmadiyah. Hal itu membuat
dijadikan sebagai markas Ahmadiyah,” kata Tuan Guru Ahmad Rizki yang tertulis
di koran.
meliputi konflik sosial perbedaan antara Maryam dengan dua laki-laki dan konflik
antara Maryam dengan warga Gerupuk. Analisis konflik sosial pada perbedaan
laki-laki di rumah itu. Hal ini tak terelakkan lagi, sehingga terjadilah adu mulut
antara Maryam dengan dua laki-laki yang berbeda profesi tersebut. Hal ini
(7) “Mereka yang sesat tak boleh lagi berada di kampung ini,” Pak Haji
sekarang ikut berbicara.
“Siapa yang sesat?” Nada bicara Maryam tidak lagi menyerupai
pertanyaan, tapi bentakan.
“Siapa saja yang mengingkari agamanya,” jawab Pak Haji dengan tenang.
“Bagaimana kalian semua tahu kami mengingkari agama kami?” Maryam
makin tak memperhatikan kesopanan. Ia sengaja menyebut dua orang itu
dengan “kalian” untuk menunjukkan kemarahan.
“Siapa yang tidak tahu kalian orang Ahmadiyah?” balas Rohmat.
“Itu bukan berarti kami ingkar...” “Sudahlah, Nak... tak ada gunanya
meributkan hal yang sudah jelas. Masih banyak kesempatan untuk
bertobat,” potong Pak Haji. Masih dengan nada lembut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Maryam semakin meradang. “Pak Haji, siapa yang perlu bertobat? Saya
dan keluarga saya atau orang-orang yang sudah mengusir kami dari rumah
kami sendiri?”
Umar mengangguk. Ingin menunjukkan ia mendukung apa yang dikatakan
istrinya.
“Kami warga Gerupuk, hanya sedang membela agama kami...” jawab Pak
Haji.
“Sudah... sudah... tidak usah terlalu panjang,” potong Rohmat. “Akan lebih
tidak enak kalau nanti semua orang datang ke sini karena dengar orang
teriak-teriak. Kita cari jalan yang paling enak, Bu Maryam. tinggalkan saja
kampung ini sekarang.”
Maryam bangkit dari duduk. Setengah berteriak dia berkata, “Saya masih
punya hak di kampung ini. Rumah itu masih milik keluarga kami. Saya
akan lapor ke polisi. Ke pengadilan. Semua yang mengusir kami harus
mendapat hukuman!”
(Madasari, 2012: 208-209)
diperintahkan untuk tidak menginjak wilayah itu lagi, sehingga membuat Maryam
selalu menyebutkan bahwa Maryam harus bertobat dari jalan yang ia yakini
sebelumnya.
dimakamkan di wilayah itu. Hal ini tak terelakkan lagi, sehingga terjadi
99
(9) Saat itulah, tiba-tiba beberapa laki-laki datang. Maryam langsung tak
tenang. Mereka orang-orang Gerupuk. Satu di antaranya adalah orang
yang dulu mengusir Maryam saat berada di rumah Nur. Rohmat, teman
semasa kecilnya yang waktu ia bertandang ke rumah Nur menjabat sebagai
ketua RT. Rohmat yang sekarang mengucapkan salam, menyapa orang-
orang yang mengerumuni makam. “Siapa yang meninggal?” tanyanya.
“Pak Khairuddin. Orang asli kampung ini,” jawab Zulkhair.
“Tapi Pak Khairuddin bukan orang kampung ini lagi,” kata Rohmat.
(Madasri, 2012: 263)
(10) “Makam ini milik warga Gerupuk. Mereka bisa menentukan siapa yang
tidak,” jawab Rohmat. Suaranya tenang. Seolah yakin apa yang
dikatakannya benar dan akan didengar.
“Kami juga warga Gerupuk!” Maryam kembali berteriak. “Itu di sana
masih ada rumah kami,” katanya sambil menunjuk ke arah jalan.
(Madasari, 2012: 264)
Berdasarkan kutipan (8), (9), (10) dan (11) terlihat jelas bahwa perbedaan
antara Maryam dengan warga Gerupuk menimbulkan konflik. Maryam tak bisa
Kampung Gerupuk, kampung yang dulu ia dan keluarga tempati sebelum terusir.
perbuatan orang di Gerupuk dan Maryam pun akhirnya lebih memilih mundur dan
100
Dari berbagai data dan informasi yang dikemukakan di luar teks sastra,
Indonesia, yang telah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI
1930 (http://duniabaca.com/asal-usul-sejarah-ahmadiyah-di-indonesia.html).
penentang pun membakar masjid yang menjadi milik kaum Ahmadiyah di Bayan,
Kabupaten Lombok Barat. Sebagian dari mereka terluka dan meninggal akibat
101
Timur memberikan dua opsi: warga Ahmadiyah boleh tetap di Pancor tapi keluar
(http://www.andreasharsono.net/2010/02/ahmadiyah-rechtstaat-dan-hak
asasi_18.html).
setelah jajak pendapat dan menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari
secara terbuka. Ketika Tahun 2000, tibalah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke
Indonesia datang dari London menuju Indonesia. Ketika itu beliau sempat
sejarah-ahmadiyah-di-indonesia.html).
Dalam teks sastra, yaitu novel Maryam pun terungkap adanya konflik
Ahmadiyah. Mereka pun percaya sekali akan pembicaraan sang Ustaz dan ikut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
berikut:
(12) Sayup-sayup terdengar suara dari masjid di seberang jalan utama. Sekitar
tiga ratus meter dari rumah ini. Masjid utama di Ketapang, tempat
kampung Gegerung berada. Seseorang sedang berceramah. Hal yang biasa
dilakukan pada bulan Ramadan seperti ini. Suara bapak Maryam beradu
dengan suara yang menggunakan pengeras itu. Diam-diam bapak Maryam
menyesal memilih mengadakan pengajian hari ini. Kenapa tidak besok
atau lusa saat tak bersamaan dengan ceramah di masjid itu. Tapi, ah, siapa
yang bisa menjamin besok tak ada ceramah? Pikirnya. Maka segera ia
tuntaskan sambutannya diserahkannya acara selanjutnya pada Ustaz.
Ustaz itu yang akan memimpin pengajian dan memberi ceramah hingga
buka puasa tiba.
Saat menunggu Ustaz mulai memimpin pengajian, suara dari masjid jelas
terdengar. Orang itu sedang bicara soal kelompok aliran sesat. Nama
Ahmadiyah berkali-kali disebut. Semua yang ada di rumah Pak
Khairuddin mulai tak tenang. Masing-masing berbicara dengan orang di
sebelahnya. Berbisik-bisik, saling bertanya. Raut muka penuh kemarahan,
sekaligus rasa resah dan takut. Umar pun berbisik kepada bapak
mertuanya. Bertanya itu suara siapa. “Tuan Guru Ahmad Rizki,” jawab
bapak Maryam. “Dua bulan ini sering sekali ada pengajian seperti itu.
Tidak tahu apa maksudnya,” lanjutnya tetap sambil berbisik.
(Madasari, 2012: 221-222)
(13) “Usir orang Ahmadiyah dari Gegerung. Kalau masyarakat di sini tidak
mampu mengusir, saya akan mendatangkan masyarakat dari tempat lain
untuk mengusir mereka... Darah Ahmadiyah itu halal!”
Suara isakan terdengar dari dalam rumah. Perempuan-perempuan itu
menangis. Awalnya hanya satu, lalu menular ke yang lain. Dan akhirnya
mereka semua sama-sama menangis. Tidak semuanya tangis karena
ketakutan. Ada yang menangis hanya karena melihat temannya yang
menangis. Ada yang menangis karena bingung dan sudah tak tahu lagi
harus berbuat apa. Para laki-laki yang berada di luar rumah itu terhanyut
oleh suara tangis itu. Mereka yang semula menunjukkan wajah marah kini
luluh dengan mata berkaca-kaca yang memerah. Tangis yang ditahan agar
tak keluar lebih menyakitkan dibanding tangis yang tersedu-sedu. Mereka
harus menahan untuk tak menangis agar perempuan-perempuan itu masih
percaya ada yang bisa melindungi mereka di depan rumah jika terjadi apa-
apa.
(Madasari, 2012: 223)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Berdasarkan kutipan (12) dan (13) terlihat jelas bahwa perbedaan antara
Ahmadiyah selalu dipandang rendah dan sebagai aliran ‘sesat’ oleh kelompok
mengatakan kelompok Ahmadiyah merupakan ‘aliran yang sesat’. Hal inilah yang
membuat Maryam sebagai keluarga Ahmadiyah dan keluarga lainnya marah besar
dan tak terima dengan pernyataan sang Ustaz kepada ummatnya di dalam
merasa sakit atas apa yang didengar dari salah satu masjid di tempat itu.
Kemarahan penentang Ahmadiyah pun terjadi saat mereka sudah tak bisa
104
(15) Mereka marah pada orang-orang yang selama puluhan tahun hidup rukun
sebagai tetangga. Mereka melempar batu ke genteng, memecahkan kaca
jendela, merusak pagar dengan parang dan cangkul. Laki-laki dewasa
semuanya siaga. Mengepung rumah orang-orang yang mereka anggap
telah menyimpang. Mereka memberikan dua pilihan: kembali ke jalan
yang benar atau segera meninggalkan tempat ini. Pada hari ketiga, dalam
puncak ketegangan dan ketidaksabaran, api-api pun dilemparkan. Tujuh
belas rumah dibakar. Penghuninya memilih pergi. Meninggalkan semua
yang mereka miliki. Melepaskan kehidupan yang telah bertahun-tahun
mereka miliki. Orang-orang desa itu mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Tapi api kemarahan terlanjur berkobar. Di desa-desa lain di
seluruh Lombok, orang-orang mulai membersihkan iman dalam
lingkungan mereka. Mengangkat parang dan cangkul, melempari dengan
batu. Membakar ketika tak segera didengarkan. Gerupuk pun tak mau
ketinggalan. Seluruh laki-laki bergerak ke arah rumah Pak Khairuddin.
Yang perempuan berdiri di sepanjang jalan. Empat kali lemparan batu dan
teriakan orang-orang sudah cukup untuk Pak Khairuddin mengambil
keputusan. Tanpa ada perlawanan. Tanpa perlu perusakan dan
pembakaran.
(Madasari, 2012: 51-52)
(16) Maryam menangis. Cerita Jamil tergambar jelas dalam pikirannya. Ia tak
melihat peristiwa itu langsung, tapi ia merasa cukup tahu bagaimana menit
demi menit peristiwa itu terjadi. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan
orangtua dan adiknya saat itu. Sakitnya, pedihnya, dukanya, takutnya,
semua bisa ia rasakan saat itu. Tapi kemudian buru-buru ia mengoreksi
pikirannya sendiri. Tahu apa dia tentang perasaan keluarga saat itu?
Bagaimana mungkin dia bisa menakar segala duka saat itu dengan duka
yang baru saja dirasakannya saat ini? Duka yang datang dari cerita Jamil,
tanpa merasakan langsung. Duka yang dirasakan sambil duduk tenang di
berugak, bukan dalam ketergesaan dan ketakutan di tengah kepungan
banyak orang.
(Madasari, 2012: 52)
Berdasarkan kutipan (14), (15), dan (16) terlihat jelas bahwa kelompok
105
memecahkan kaca jendela, merusak pagar dengan parang dan cangkul. Kelompok
penentang akan bisa menerima kelompok Ahmadiyah, jika mereka bisa bertobat
menuju jalan yang benar jika tidak mereka harus pergi dari kampung yang sudah
lama ditempati tersebut. Hal inilah yang membuat Maryam marah pada kelompok
penentang Ahmadiyah. Meskipun Maryam tak berada dalam peristiwa itu, ia bisa
merasakan luka, sakit, dan derita yang dialami kelompok Ahmadiyah dan
keluarganya.
sadar maupun tidak sadar, sedikit banyaknya akan terpengaruh oleh pola-pola
yang berlangsung di dalam kelompok atau antar kelompok selalu ada orang yang
menaruh simpati kepada kedua belah pihak. Ada pribadi-pribadi yang tahan untuk
menghadapi situasi demikian, akan tetapi banyak pula yang merasa dirinya
menjadi: kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan dan kebudayaan khusus
atas dasar agama, dan kebudayaan khusus kelas sosial. Hal ini akan terlihat jelas
di bawah ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
berjudul Sosiologi Suatu Pengantar, bahwa kebudayaan khusus atas dasar faktor
berwajah cantik dan menjadi salah satu idaman laki-laki di kampungnya. Dilihat
(17) Maryam memiliki kecantikan khas perempuan dari daerah timur. Kulit
sawo matang yang bersih dan segar. Mata bulat dan tajam, alis tebal, dan
bibir agak tebal yang selalu kemerahan. Rambutnya yang lurus dan hitam
sejak kecil selalu dibiarkan panjang melebihi punggung dan lebih sering
dibiarkan tergerai. Di luar segala kelebihan fisiknya, Maryam gadis yang
cerdas dan ramah. Apalagi yang kurang ketika semuanya telah dibungkus
dalam kesamaan iman?
(Madasari, 2012: 24)
dari daerah timur yang memiliki kecantikan khas timur dari tempat tinggalnya.
Selain dikenal gadis yang cantik, ia juga dikenal sebagai orang cerdas sekaligus
ramah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Dari hasil menjadi tengkulak ikan itulah Maryam dapat berkuliah di universitas
(19) Tak ada keistimewaan lain yang ditawarkan Gerupuk selain ombak tinggi
itu. Ia tak punya pantai indah berpasir putih, sebagaimana pantai-pantai
lain yang berjajar di pesisir ini. Gerupuk adalah deretan perahu-perahu
nelayan, bau amis ikan, dan nelayan-nelayan berkulit legam. Setiap orang
hidup dari tangkapan ikan, udang, atau teripang. Bapak Maryam satu dari
sedikit orang yang beruntung. Ia hidup dari ikan itu tanpa perlu lagi melaut
sendiri. Ia hanya perlu menunggu setoran orang-orang, membelinya sesuai
kesepakatan, lalu menjualnya di Pasar Sengkol, dua puluh kilometer ke
arah barat dari Gerupuk.
(Madasari, 2012: 41-42)
Berdasarkan kutipan (18) dan (19) terlihat jelas bahwa secara sosial,
bekerja sebagai tengkulak ikan dari hasil tangkapan ikan daripada nelayan-
nelayan. Maryam pun dapat berkuliah di Surabaya berkat hasil kerja keras
ayahnya tersebut.
yang berasal dari Ahmadiyah yang sama dengannya. Di sisi lain, Maryam merasa
heran akan aturan yang diberikan oleh orangtuanya mengenai pernikahan yang
108
yang sama. Meskipun begitu, Maryam telah memiliki kekasih yang sangat ia
cintai, tetapi bukan dari keluarga Ahmadiyah. Hal ini digambarkan dalam kutipan
berikut:
(20) Maryam menjadi gusar. Ia merasa kepulangan dan segala upayanya untuk
meredam segala kemarahan sia-sia. Tapi Maryam masih mencoba
bertahan. Ia merasa masih punya harapan. Bapak dan ibunya mungkin
masih menyimpan pengertian. Maka pelan-pelan Maryam menyampaikan
apa yang dipikirkannya. Tentang pernikahan yang tak mengungkit-ungkit
keyakinan. Tentang hidup bersama dalam bahagia dengan membiarkan
satu sama lain memelihara apa yang sejak kecil telah mereka percayai.
Maryam juga menambahkan cerita-cerita tentang keluarga Ahmadi di
Kampung Gondrong. Maryam ingin menunjukkan ia tak akan melupakan
akarnya, ia akan sering-sering datang ke sana, ia akan makin rajin datang
ke pengajian Ahmadi setelah menikah dengan Alam. Sampai pada cerita
ini Maryam berkaca-kaca. Ia menyembunyikan kenyataan bahwa Alam
dan keluarganya telah memintanya menanggalkan semua yang jadi
keyakinannya, menjauhi orang-orang yang jadi keyakinannya, menjauhi
orang-orang yang sekelompok dengannya, setelah nanti menjadi istri
Alam.
(Madasari, 2012: 34-35)
meyakinkan kedua orangtuanya untuk selalu ingat bahwa ia akan selalu ingat
bahwa ia adalah Ahmadiyah. Di sisi lain, ia tak bisa menepati janjinya terhadap
menikah dengan sesama Ahmadiyah. Maryam justru diminta oleh Alam dan
Sikap dan tindakan Maryam sangat berbeda saat berada di rumah Alam.
Maryam digambarkan sebagai sosok wanita yang sabar dan pasrah dalam keadaan
yang ia jalani kepada keluarga Alam. Meskipun segala kekecewaan pun bisa ia
109
(21) “Aku capek. Aku bosan disalahkan terus. Kenapa semua hal gara-gara
aku? Kenapa semuanya karena dulu aku Ahmadi?” jawab Maryam penuh
emosi, meski tidak dengan nada tinggi. Setiap kata diucapkan dengan
penuh tekanan, untuk menggantikan suara tinggi yang sengaja dikekang.
“Siapa yang menyalahkan kamu?” Tidak ada yang mengatakan seperti
itu.”
“Ah... sudahlah. Nggak usah pura-pura bodoh. Selama ini aku sudah
banyak mengalah. Tapi jangan terus-terusan aku dijadikan sumber
masalah. Kalau memang aku belum hamil mau diapakan lagi?”
“Tapi memang tidak ada yang menyalahkan kamu...”
“Kamu nggak dengar, tadi Ibu kamu bilang apa di depan banyak orang?”
“Cuma minta didoakan. Nggak ada yang salah, kan?”
“Dia bilang ‘sesat’! Apa lagi maksudnya kalau bukan Aku?”
“Maryam, kamu terlalu sensitif. Tersinggung terhadap sesuatu yang jelas-
jelas bukan ditujukan ke kamu...”
(Madasari, 2012: 123)
terus-menerus oleh Alam. Alam yang tak peka terhadap penderitaan Maryam,
menganggap bahwa tak ada hinaan ibunya kepada Maryam. Maryam justru dinilai
masih keturunan Ahmadiyah, ia juga masih belum bisa dikaruniai seorang anak.
Kehidupan rumah tangga antara Maryam dan Alam pun tak berjalan
memilih pergi dari rumah Alam. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut:
(22) Perkawinan yang umurnya belum genap lima tahun itu karam. Maryam
memilih keluar. Ia sendiri heran, bagaimana ia bisa selama itu bertahan.
Berusaha membangun kebahagiaan di tengah-tengah kecurigaan dan
kepalsuan. Ia selalu berpikir, yang penting Alam, suaminya itu, tulus
mencintainya tanpa prasangka. Tapi siapa yang menyangka nyali laki-laki
yang dicintainya hanya sebatas bualan?
(Madasari, 2012: 15)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
pilihan yang tepat dengan mengambil tindakan bercerai dengan Alam, suaminya,
tangganya.
Adanya madzhab dalam agama pun melahirkan kepribadian yang berbeda pula.
Ahmadiyah tidak terjadi begitu saja. Dimulai dari kakek Maryam yang memilih
(23) Keluarga Maryam menjadi Ahmadi tidak tiba-tiba. Pak Khairuddin sudah
Ahmadi sejak lahir. Kakek dan nenek Maryam-lah yang menjadi pemula,
lebih dari tujuh puluh tahun lalu. Kakek Maryam bertemu dengan seorang
dai saat pergi ke Praya. Tanpa sengaja, hanya pertemuan biasa. Awalnya
ia juga tak tahu laki-laki itu dai. Sekali bertemu, mereka langsung akrab
tanpa bisa dijelaskan kenapa dan bagaimana. Kakek Maryam diajak ke
pengajian kecil di Praya, pengajian orang-orang Ahmadi yang saat itu
pengikutnya hanya enam orang. Salah satu di antara mereka ayah Pak Zul.
Memang, persahabatan kedua keluarga itu bukan diawali dari Pak Zul dan
Pak Khairuddin, tapi dari orangtua mereka. Generasi pertama yang masuk
Ahmadi di Praya.
(Madasari, 2012: 53)
(24) Rasa ingin tahu lebih banyak tentang agamanya membuat kakek Maryam
tak ragu-ragu saat diajak ikut pengajian. Baginya, apa pun yang bermuara
pada keberadaan Tuhannya adalah jalan kebaikan. Ia banyak
mendengarkan ceramah-ceramah dari orang-orang baru. Bukan hanya dai
yang pertama kali ditemuinya, tapi juga dai-dai lain yang bergiliran
didatangkan dari Jawa dan Sumatra. Kakek Maryam sekaligus merasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Berdasarkan kutipan (23) dan (24) terlihat jelas bahwa kakek Maryam
memilih jalan yang berbeda dengan memasuki Ahmadiyah. Tidak hanya kakek
Maryam, ayah Pak Zul, sahabat Pak Khairuddin, ikut menjadi Ahmadiyah
bersama kakek Maryam. Kakek Maryam merasa dengan kedatangan para dai dari
Jawa dan Sumatra. Kakek Maryam merasa memiliki banyak teman. Dari situlah
Pak Khairuddin, bapak Maryam, menjadi Ahmadiyah yang awal mulanya berasal
Pada novel ini, digambarkan Maryam sebagai orang yang dapat marah di
depan orang-orang di Gerupuk itu. Ia juga menganggap Nur, temannya, tak lebih
(25) Rohmat memandang ke arah Nur dan ibunya. Tanpa kata-kata. Seolah
yakin Nur akan paham maksudnya. Maryam ikut menatap Nur. Ada
keyakinan Nur akan membelanya di depan orang-orang. Mengulang
semua yang tadi ia katakan saat bertemu Maryam di Kuta. Pandangan Nur
bertemu dengan pandangan Maryam. Lalu Nur melirik ibunya. Perempuan
itu memainkan bibirnya tanpa ada yang bisa menebak apa artinya. Nur
menunduk sebentar. Lalu beranjak mendekati Maryam.
“Tolong pulang saja... jangan sampai ada apa-apa di rumah ini,” katanya
pelan.
Maryam membelalak tak percaya. Ia marah pada Nur yang ternyata sama
saja dengan orang-orang. umar bergerak cepat. Menyentuh pundak
Maryam dan memberinya isyarat untuk meninggalkan tempat ini. Muka
Maryam merah padam. Matanya berkaca-kaca. Sambil mengikuti langkah
Umar ia berteriak-teriak.
“Kalian semua bukan manusia!”
“Yang sesat itu kalian, bukan kami!”
“Rumah itu milik kami. Kalian semua perampok!”
(Madasari, 2012: 210-211)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
mereka dinilai buruk oleh Maryam. Maryam yang diusir tak dapat terima dengan
pengusiran itu. Ia pun menilai bahwa orang-orang itu adalah orang yang sesat dan
bukan Maryam, meskipun ia adalah bagian dari Ahmadiyah. Ia tak percaya akan
tindakan Nur, ia merasa yakin akan ada pembelaan dari Nur, tapi Nur ikut-ikutan
mempertahankan iman walaupun terusir dari rumah. Maryam tak malu dan
menyesali atas iman yang dilahirkan untuknya. Meskipun ada sedikit penyesalan
menikahi Alam, Maryam yang lebih memilih meninggalkan keyakinannya dan tak
(26) Maryam memang malu. Malu karena tak tahu apa-apa yang terjadi pada
keluarganya. Malu karena tidak melakukan apa-apa, ketika keluarganya
terusir karena mempertahankan iman. Maryam juga menyesal. Menyesal
atas semua yang dilakukannya demi bersama Alam. Menyesali segala
keputusannya untuk menikah dengan Alam, tanpa memedulikan apa yang
dikatakan orangtuanya. Tapi entah kenapa, Maryam sama sekali tak malu
dan menyesal telah jauh meninggalkan keimanannya. Ia juga tak tahu
kenapa tak ada ruang lagi dalam hatinya untuk kembali meyakini apa yang
sejak kecil diperkenalkan, yang beberapa tahun lalu telah ia tinggalkan. Ia
pulang sama sekali bukan untuk iman. Ia pulang hanya untuk keluarganya.
Ia terharu, ia bangga, ia menitikkan air mata atas kegigihan dan kekokohan
keluarganya mempertahankan iman. Ia marah, ia dendam, ia tak bisa
memaafkan orang-orang yang merongrong keluarganya karena dianggap
tak benar. Tapi tidak, Maryam sama sekali tak pulang untuk iman.
(Madasari, 2012: 77-78)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Berdasarkan kutipan (26) terlihat jelas bahwa Maryam memang malu dan
menyesali atas semua yang ia lakukan sebelumnya. Maryam begitu bangga akan
marah dan dendam pada orang-orang yang berani mengusir keluarganya dari
imannya.
Dengan demikian, kita mengenal lapisan sosial yag tinggi, rendah dan menengah.
orangtuanya meskipun ia tak bisa terima akan pengusiran yang terjadi oleh
114
(28) “Rumah itu milik kakekku. Dibangun dengan uangnya sendiri. Tanahnya
warisan dari buyut-buyutku. Lalu diwariskan ke bapakku. Dibangun
sampai bisa seperti yang sekarang dari hasil keringat bapak. Aku dan
Fatimah lahir dan besar di sana. Dan sekarang kami diusir begitu saja?”
gugat Maryam. Suara Maryam bergetar. Air matanya jatuh. Ia terisak.
Umar kaget dan bingung. Ia tak menyangka emosi Maryam bisa berubah
begitu cepat. Digenggamnya tangan Maryam. Dielusnya. Sambil dari
mulutnya keluarkan desis “ssssh”. “Sabar, Maryam...” katanya.
“Aku masih tak terima. Tapi harus pura-pura ikhlas karena Bapak dan Ibu
pun sudah merelakannya. Tak mau mengungkit-ungkit karena itu akan
membuat mereka sedih,” kata Maryam dengan suara lebih keras dan nada
lebih tegas. Tapi air matanya masih tetap mengalir.
(Madasari, 2012: 170)
(29) “Kita semua marah,” kata Umar. “Kita semua tak terima. Tapi apa gunanya
sekarang? Yang penting bagaimana kita kedepannya bisa hidup lebih baik.
Lebih aman.”
“Aku masih tak bisa menerima orangtua dan adikku pernah hidup di
pengungsian. Sementara rumah yang dibangun susah payah tak boleh
digunakan...” Suara Maryam mulai memelan. Isakannya juga melemah.
Maryam terlihat sudah lebih tenang. Tangan kiri Umar menggenggam erat
tangan istrinya sementara tangan kanan terus mengendalikan setir.
(Madasari, 2012: 170-171)
(30) “Namanya juga cobaan. Bagian dari ujian iman, Maryam. Juga bukti
bahwa kita memang benar...” kalimat Umar terdengar menggantung. Ia
ingin menenangkan Maryam dengan cara terbaik. Meredam kemarahan
dan menumbuhkan keikhlasan. Kata-kata itu keluar begitu saja dari
mulutnya. Sepanjang umurnya, inilah pertama kalinya Umar bicara
tentang iman dengan begitu bijak. Umar seorang Ahmadi. Beribadah
bersama-sama orang Ahmadi. Mengaji bersama orang-orang Ahmadi. Ia
hafal di luar kepala tentang sejarah keyakinannya. Tapi tak satu alasan pun
baginya untuk menjadi bagian dari Ahmadiyah selain karena memang
sejak lahir ia telah dijadikan seorang Ahmadi oleh kedua orangtuanya.
Karenanya ketika tiba-tiba saja kata-kata tentang iman keluar dari
mulutnya, ia sendiri menjadi ragu atas apa yang dikatakannya. Apalagi
yang baru ia katakan sebenarnya hanya pengulangan atas apa yang
dikatakan orang-orang Ahmadi lainnya atas kepedihan yang telah mereka
alami.
(Madasari, 2012: 171)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
Berdasarkan kutipan (27), (28), (29) dan (30) terlihat jelas bahwa Maryam
merasakan kesakitan atas derita yang ia dan keluarganya alami. Ia tak bisa
menerima pegusiran yang terjadi di waktu itu. Ia memang dilahirkan dari bagian
yang terjadi pada anak-anak yang tak bersekolah, langsung dinikahkan di tempat
(31) Gedung Transito kian hari terasa kian sesak. Barang-barang bertambah:
baju dan aneka perkakas. Kamar sempit yang disekat dengan kain itu kini
terlihat penuh tumpukan barang. Enam bayi telah lahir di pengungsian ini.
Anak-anak bertambah besar. Beberapa anak remaja yang remaja yang
sudah di bangku SMP dikirim ke Surabaya dan Kuningan. Tinggal
bersama keluarga Ahmadi dan disekolahkan seperti anak sendiri. Ada
yang masih betah sampai sekarang. Ada yang minta pulang setelah tiga
bulan. Di pengungsian ini juga, pemuda-pemudi yang sudah tak sekolah
langsung dikawinkan. Berumah tangga dan tinggal di sini juga. Lalu
lahirlah lagi generasi-generasi baru Ahmadi. Ada yang lahir, ada yang
pergi. Selama di pengungsian ini, empat orang telah meninggal. Pak
Khairuddin salah satunya.
(Madasari, 2012: 266)
Berdasarkan kutipan (31) terlihat jelas bahwa kelas sosial yang terjadi
semenjak pengusiran dan pengungsian itu terjadi. Tidur dalam kamar yang sempit,
anak-anak yang bertumbuh remaja, tak dapat bersekolah lagi. Anak-anak ini pun
dinikahi di tempat ini. Sampai pada akhirnya melahirkan anak dan menjadikan
anak tersebut sebagai Ahmadiyah. Namun, tak sedikit dari mereka dapat bertahan
hidup akibat hidup dalam kesesakan yang dipenuhi banyak pengungsi di tempat
tersebut dan kurangnya kebutuhan sehari-hari mereka untuk bisa bertahan hidup.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
ketidakadilan yang ia alami selama ini. Berusaha meminta keadilan atas tindakan
berusaha menulis sebuah surat agar dapat diterima dan dapat membantunya keluar
dari kejahatan kelompok penentang. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut:
(32) Ini surat ketiga yang saya kirimkan ke Bapak. Semoga surat saya kali ini
bisa mendapat tanggapan.
Hampir enam tahun keluarga dan saudara-saudara kami terpaksa tinggal
di pengungsian, di Gedung Transito, Lombok. Selama itu kami berbagi
ruangan dengan membuat kamar-kamar bersekat kain. Lebih dari dua ratus
orang hidup bersama di situ.
(Madasari, 2012: 273)
(33) Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu
agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan
uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-
anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak
kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri.
Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri,
kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak
pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang bisa diterima akal,
sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian
seperti ini?
Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu?
(Madasari, 2012: 274-275)
Berdasarkan kutipan (32) dan (33) terlihat jelas bahwa Maryam tak tahan
lagi dengan hidupnya yang diharuskan mengungsi di tempat yang benar-benar tak
luas karena banyaknya mereka diusir dari rumah mereka. Meskipun mereka
membeli rumah itu dengan usaha dan hasil kerja keras mereka, Maryam sungguh
tak bisa menerima perbuatan ini. Maryam sangat membutuhkan bantuan dari
117
penderitaan ini. Maryam tahu perbuatannya ini sudah tak bisa ditolerir lagi karena
3.4 Rangkuman
individu dengan individu, (ii) perbedaan antara individu dengan kelompok, dan
yang terdiri dari: (i) kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan dan (ii)
kebudayaan khusus atas dasar agama, dan (iii) kebudayaan khusus atas dasar kelas
sosial.
eksistensinya dari dunia Islam. Ahmadiyah sendiri dapat dikatakan sebagai aliran
yang merupakan agama tersendiri yang berbeda dari lingkungan agama Islam.
Dikatakan sebagai agama baru, oleh karena Ahmadiyah percaya akan kedatangan
seorang nabi sesudah Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, Ahmadiyah mengingkari
Perbedaan antara individu dan individu terjadi antara: (i) Maryam dengan
Ibu Alam disebabkan karena Maryam merupakan anak yang dilahirkan oleh
keluarga Ahmadiyah yang dinilai ‘sesat’, (ii) perbedaan antara Maryam dan Alam
Maryam dengan Tuan Guru Ahmad Rizki disebabkan karena Tuan Guru Ahmad
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
sebagai penghasut warga Gerupuk, dan (iv) perbedaan antara Maryam dengan
individu dengan kelompok terjadi antara: (i) Perbedaan antara Maryam dengan
Nur mengundang kemarahan pada dua laki-laki yang bernama Rohmat sebagai
Pak RT dan satunya Pak Haji, (ii) perbedaan antara Maryam dengan Warga
Gerupuk disebabkan karena kebencian dan kemarahan pada Maryam. Mereka tak
Ahmadiyah.
dari: (i) kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan dijumpai kepribadian
tertentu, (ii) kebudayaan khusus atas dasar agama mempunyai pengaruh yang
khusus kelas sosial dijumpai lapisan sosial oleh karena masyarakat memiliki sikap
119
sebuah tulisan surat yang berisikan permintaan kepada pemerintah supaya bisa
halamannya sendiri. Mereka dapat hidup dengan usaha mereka diwaktu itu. Itulah
yang benar-benar diharapkan Maryam. Tak ada lagi yang dapat membeda-
bedakan agama baik Islam Ahmadiyah maupun bukan Islam Ahmadiyah, karena
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Studi ini membahas Konflik Sosial Tokoh Maryam dalam Novel Maryam
Pendekatan struktural berkaitan dengan tokoh dan penokohan, alur, dan latar.
penampilan tokoh dalam cerita yang terdapat dalam novel Maryam karya Okky
Madasari, dibedakan menjadi dua bagian, yaitu, tokoh protagonis dan tokoh
antagonis. Pada tokoh protagonis terdapat empat tokoh, yaitu: Maryam, Umar,
Pak Khairuddin, dan Zulkhair. Keempat tokoh tersebut merupakan tokoh yang
dapat disikapi sebagai tokoh protagonis yang dilihat dari tokoh-tokoh tersebut
yang memberikan rasa simpati dan empati serta melibatkan dalam berbagai
kecantikan khas dari daerah timur. Selain itu, ia merupakan seorang yang cerdas,
ramah, dan taat beribadah. Di sisi lain, Maryam mempunyai kesalahan di masa
121
seorang janda. Tokoh Pak Khairuddin merupakan seorang kepala keluarga yang
Maryam karya Okky Madasari, yaitu Alam, Ibu Alam, Pak RT, Pak Haji, dan
digambarkan sebagai seorang yang sama sekali tidak bisa bertanggung jawab pada
keluarganya. Ia rela berpisah dengan Maryam dan memilih hidup bersama ibunya.
Tokoh Ibu Alam merupakan ibu mertua dari Maryam. Ibu Alam sangat tak
dinilainya sesat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
angkuh sekali. Sebagai RT, ia sama sekali tak bersikap ramah pada kedatangan
Maryam yang hanya ingin mengunjungi kampung halamannya dulu. Tokoh Pak
Tokoh Gubernur merupakan seorang pemimpin yang tak bisa bertanggung jawab
dan tak bisa berpegang pada ucapannya. Ia menganggap tak ada urusannya
sekali tak membantu Maryam dan jemaah lainnya untuk bisa kembali ke
rumahnya masing-masing.
Teknik pelukisan tokoh yang digunakan dalam novel Maryam karya Okky
Zulkhair, Alam, Ibu Alam, Pak RT, Pak Haji, dan Gubernur. Namun, beberapa
konflik sosial yang dialami tokoh Maryam. Dari keseluruhan cerita dalam novel
Maryam karya Okky Madasari dengan kajian sosiologi sastra dapat ditarik
dilema sosial ketika orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan
ancaman dan atau kekerasan. Konflik yang mencakup dua aspek permasalahan,
yaitu, konflik karena perbedaan orang perorangan dan konflik karena perbedaan
kebudayaan.
4.2 Saran
Namun, masih ada beberapa saran yang dapat diajukan perihal penelitian yang
bersumber pada novel Maryam karya Okky Madasari. Penelitian dengan sumber
data novel Maryam masih dapat diteliti jauh dengan sudut pandang yang berbeda,
misalnya dengan kajian psikologi sastra, kajian kritik sosial, kajian kritik
eksistensi kemanusiaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Faruk. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra dari Struturaisme Genetik sampai Post-
Modernisme. Jakarta: Pustaka Jaya
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (Terjemahan:
Robert M. Z. Lawang). Jakarta: Gramedia
Santosa, Heru Wijaya dan Sri Wahyunngtyas. 2011. Sastra: Teori dan
Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Sudjiman, Panuti. 1987. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya
Suharti, Lucia Intan. 2006. “Konflik sosial antar tokoh Novel Berjuta-juta dari
Deli Satoe Hikajat Koeli Contract Karya Emil W. Aulia: Suatu Pendekatan
Sosiologi Sastra.” Skripsi. Yogyakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia-Daerah, Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan, Universitas
Sanata Dharma
Tania, Ulfa Rahma. 2012. “Kajian Feminisme dalam Novel Maryam Karya Okky
Madasari.” Skripsi. Jakarta. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayattulah
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya
Sumber Internet:
http://www.andreasharsono.net/2010/02/ahmadiyah-dan-hakasasi_18.html.
diunduh pada 2 Maret 2016, pukul 13:57
http://www.duniabaca.com/asal-usul-sejarah-ahmadiyah-di-indonesia.html.
diunduh pada 6 Juni 2016, pukul 10:05
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
PROFIL PENULIS
Atas Sekolah Lentera Harapan Banjar Agung, Lampung, Tulang Bawang, pada
tahun 2009-2012. Pada tahun 2012 menempuh gelar Sarjana di Program Studi
Selama masa aktifnya, ia terlibat dalam acara pementasan drama “Bunga Rumah
Makan” Produksi Bengkel Sastra Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
tugas akhir yang berjudul “Konflik Sosial Tokoh Maryam dalam Novel Maryam